• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Terhadap Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM TERHADAP KESENGAJAAN KREDITUR TIDAK MENDAFTARKAN OBJEK FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN LEASING

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

YUDHI AKBAR SIREGAR NIM : 070200292

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

AKIBAT HUKUM TERHADAP KESENGAJAAN KREDITUR TIDAK MENDAFTARKAN OBJEK FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN LEASING

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

YUDHI AKBAR SIREGAR NIM : 070200292

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

NIP. 196204211988031004

Pembimbing II

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum

NIP. 195905021986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “AKIBAT HUKUM TERHADAP KESENGAJAAN KREDITUR TIDAK MENDAFTARKAN OBJEK FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN LEASING”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Dosen Pembimbing I Penulis. - Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis. - Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

(4)

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2013 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. HUKUM PERJANJIAN LEASING ... 9

A. Pengertian Perjanjian ... 9

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 11

C. Pengertian dan Sejarah Leasing ... 20

D. Ciri-Ciri Perjanjian Leasing ... 26

BAB III HUKUM JAMINAN FIDUSIA ... 29

A. Pengertian Fidusia ... 29

B. Objek Fidusia ... 35

(6)

BAB IV. JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN LEASING

YANG DIDAFTARKAN ... 46

A. Pentingnya Pendaftaran Fidusia Dalam Perjanjian Leasing ... 46

B. Faktor Penyebab Kreditur Tidak Melakukan Pendaftaran Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing ... 57

C. Akibat Hukum Apabila Kreditur Tidak Melakukan Pendaftaran Objek Fidusia Dalam Hal Perjanjian Leasing ... 70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

(7)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM TERHADAP KESENGAJAAN KREDITUR TIDAK MENDAFTARKAN OBJEK FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN LEASING

Sebagai salah satu bentuk lembaga pembiayaan, leasing juga menggunakan jaminan untuk menjaga agar pihak yang mengajukan pembiayaan leasing untuk mencegah terjadinya wanprestasi dalam pembayaran. Bentuk-bentuk jaminan ini dapat berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak. Salah satu jenis jaminan yang sering dipakai adalah fidusia. Suatu perjanjian yang didalamnya dimuat unsur jaminan fidusia maka untuk kepastian hukum terhadap pemberian jaminan tersebut maka objek jaminan fidusia tersebut harus didaftarkan. ke kantor fidusia di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini berjudul “Akibat Hukum Terhadap Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing”. Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Apakah pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing, Apakah faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan leasing dan Bagaimana akibat hukum apabila kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia dalam hal perjanjian leasing.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis juridis normatif dan analisis juridis empiris. Analisis juridis normatif mengemukakan pembahasan dari perundang-undang yang dipakai.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing adalah untuk memberikan perlindungan hukum penerima fidusia dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia terbuka untuk umum. Kecuali terhadap barang persediaan, melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai hak kebendaan dan asas droit de suite. Faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan leasing adalah disebabkan oleh faktor intern seperti Mengurangi besarnya biaya administrasi yang harus dikeluarkan oleh konsumen, Persaingan bisnis pada Perusahaan Leasing dan Jumlah kredit kecil dan jangka waktu kredit relatif pendek, serta faktor ekstern seperti pemberi fidusia tidak berdomisili di wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia, kesalahan penomoran akta, kesalahan pada komparasi atau penghadap (kreditur penerima jaminan fidusia), ketiadaan surat kuasa dan ketidakcocokan antara objek yang disebutkan dalam akta dengan dokumen-dokumen yang diserahkan. Akibat hukum apabila kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia dalam hal perjanjian leasing adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak dapat melakukan sita atas objek jaminan fidusia karena tidak didaftarkan.

(8)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM TERHADAP KESENGAJAAN KREDITUR TIDAK MENDAFTARKAN OBJEK FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN LEASING

Sebagai salah satu bentuk lembaga pembiayaan, leasing juga menggunakan jaminan untuk menjaga agar pihak yang mengajukan pembiayaan leasing untuk mencegah terjadinya wanprestasi dalam pembayaran. Bentuk-bentuk jaminan ini dapat berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak. Salah satu jenis jaminan yang sering dipakai adalah fidusia. Suatu perjanjian yang didalamnya dimuat unsur jaminan fidusia maka untuk kepastian hukum terhadap pemberian jaminan tersebut maka objek jaminan fidusia tersebut harus didaftarkan. ke kantor fidusia di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini berjudul “Akibat Hukum Terhadap Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing”. Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Apakah pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing, Apakah faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan leasing dan Bagaimana akibat hukum apabila kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia dalam hal perjanjian leasing.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis juridis normatif dan analisis juridis empiris. Analisis juridis normatif mengemukakan pembahasan dari perundang-undang yang dipakai.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing adalah untuk memberikan perlindungan hukum penerima fidusia dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia terbuka untuk umum. Kecuali terhadap barang persediaan, melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai hak kebendaan dan asas droit de suite. Faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan leasing adalah disebabkan oleh faktor intern seperti Mengurangi besarnya biaya administrasi yang harus dikeluarkan oleh konsumen, Persaingan bisnis pada Perusahaan Leasing dan Jumlah kredit kecil dan jangka waktu kredit relatif pendek, serta faktor ekstern seperti pemberi fidusia tidak berdomisili di wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia, kesalahan penomoran akta, kesalahan pada komparasi atau penghadap (kreditur penerima jaminan fidusia), ketiadaan surat kuasa dan ketidakcocokan antara objek yang disebutkan dalam akta dengan dokumen-dokumen yang diserahkan. Akibat hukum apabila kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia dalam hal perjanjian leasing adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak dapat melakukan sita atas objek jaminan fidusia karena tidak didaftarkan.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dalam suatu masyarakat diikuti dengan kebutuhan keberadaan lembaga-lembaga pembiayaan. Sejalan dengan semakin berkembang dan meningkatnya pembangunan nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan akan semakin ditingkatkan pula, baik langsung maupun tidak langsung akan menuntut lebih aktifnya kegiatan di bidang pembiayaan. Berbagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat telah dilakukan melalui penerapan kebijakan pemerintah.

Pada hakekatnya perluasan usaha membutuhkan dana yang dapat berupa pembiayaan. Dalam pembiayaan dana, selain, melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank, juga dikenal pembiayaan lain yakni sistem bisnis usaha atau yang biasa disebut leasing. Pembiayaan leasing dijadikan sebagai suatu sistem pembiayaan disebabkan ia memberikan pemecahan masalah dalam kegiatan suatu usaha yang membutuhkan modal, karena jenis barang yang dijadikan modal tersebut dapat dipakai oleh debitur meskipun debitur belum melunasi barang modal tersebut.1

Usaha leasing yang dikenal selama ini relatif masih baru. Sebagai alternatif bagi teknik pembiayaan, usaha leasing dapat menciptakan wahana baru untuk mengembangkan investasi bagi dunia usaha baik usaha kecil maupun usaha besar.

1

(10)

Adanya jasa leasing (sewa guna usaha) dapat melakukan perluasan produksi dan penambahan barang modal dengan cepat dan juga dapat dijadikan alternatif pendanaan. Selain itu pasaran barang-barang yang bersifat konsumtif itu turut dibiayai melalui sewa guna usaha.

Kehadiran bisnis sewa guna usaha di Indonesia, ternyata telah menciptakan wahana baru untuk pengembangan investasi bagi dunia usaha, baik usaha kecil, menengah dan besar dengan adanya jasa sewa guna usaha ini, pengusaha dapat melakukan perluasan produksi dan penambahan barang modal dengan cepat dan dijadikan alternatif pendanaan usaha.

Sebagai salah satu bentuk lembaga pembiayaan, leasing juga menggunakan jaminan untuk menjaga agar pihak yang mengajukan pembiayaan leasing untuk mencegah terjadinya wanprestasi dalam pembayaran. Bentuk-bentuk jaminan ini dapat berupa benda bergerak ataupun tidak bergerak. Salah satu jenis jaminan yang sering dipakai adalah fidusia.2

Pendaftaran objek fidusia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kreditur, akan tetapi kenyataan yang ditemukan ada juga perusahaan leasing selaku kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pihak leasing selaku kreditur adalah Suatu perjanjian yang di dalamnya dimuat unsur jaminan fidusia maka untuk kepastian hukum terhadap pemberian jaminan tersebut maka objek jaminan fidusia tersebut harus didaftarkan ke kantor fidusia di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia.

(11)

disebabkan oleh karena adanya biaya pendaftaran, sehingga kreditur enggan untuk mendaftarkannya. Pihak kreditur ternyata cukup puas dan memiliki kekuatan hukum atas timbulnya hak retensi atas objek leasing tersebut. Sehingga pihak kreditur menilai bahwa jaminan fidusia tidak perlu lagi didaftarkan. Tetapi apabila dilihat kebelakang apabila timbul wanprestasi oleh pihak debitur maka penarikan objek fidusia yang tidak didaftarkan tentunya akan memberikan kesulitan kepada kreditur.

Menurut hukum, penarikan suatu objek fidusia dapat dilakukan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan dapat dimintakan setelah objek fidusia didaftarkan. Kenyataan yang terjadi adalah tidak didaftarkan objek fidusia oleh kreditur, sehingga terkadang terjadi dalam penarikan objek fidusia tersebut adalah melalui pihak ke tiga seperti debt collector atau orang-orang yang ditakuti.

Ketentuan di atas menentukan bahwa setiap perjanjian jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dan didaftarkan, maka perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan yang hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja tidak mempunyai kekuatan sebagai perjanjian fidusia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi, apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

(12)

bermotor misalnya yang sekaligus dijadikan jaminan fidusia atas fasilitas kredit yang diberikan, yang seharusnya lembaga pembiayaan tersebut dapat melakukan eksekusi atas kendaraan bermotor tersebut sebagai kreditur yang didahulukan. Namun lembaga pembiayaan mendapat hambatan karena pengikatan kendaraan bermotor sebagai jaminan kredit tersebut hanya dilakukan dengan pengikatan fidusia secara di bawah tangan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian tentang Akibat Hukum Terhadap Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing (Studi Pada Ridho Rahayu Mobil Medan).

B. Permasalahan

Masalah dapat dirumuskan sebagai suatu pernyataan tetapi lebih baik dengan suatu pertanyaan. Keunggulan menggunakan rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan ini adalah untuk mengontrol hasil dan penelitian.

Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing?

b. Apakah faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan leasing?

(13)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah, untuk :

1. Untuk mengetahui pentingnya pendaftaran fidusia dalam perjanjian leasing. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab kreditur tidak melakukan pendaftaran objek

fidusia sebagai jaminan leasing.

3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila kreditur tidak melakukan pendaftaran objek fidusia dalam hal perjanjian leasing.

D. Manfaat Penelitian

Faedah penelitian di dalam pembahasan skripsi ditunjukkan kepada berbagai pihak terutama :

a. Secara teoretis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal pelaksanaan pendaftaran objek fidusia.

b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu pihak yang terkait langsung dengan perusahaan leasing atau konsumen leasing itu sendiri.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

(14)

dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain dan penelitian lapangan.

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data sekunder dan data primer. Sumber data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUH Perdata, Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan serta Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/I74, tertanggal 7 Pebruari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo. Sedangkan data primer didapatkan melalui studi lapangan di Ridho Rahayu Mobil Medan sebagai data penunjang terhadap data sekunder tersebut.

3. Alat pengumpul data

(15)

Medan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen serta penelitian lapangan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan yang dituangkan da;am bentuk pernyataan dan tulisan yang berasal dari studi kepustakaan didukung studi lapangan sehingga menghasilkan data penelitian yang bersifat deskriptif analisis.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Kesengajaan Kreditur Tidak Mendaftarkan Objek Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Leasing” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Dari analisis kepustakaan di Fakultas Hukum USU tidak ditemukan, sehingga dengan demikian kajian dan penelitian ini adalah yang pertama sekali. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

(16)

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Hukum Perjanjian Leasing

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengertian Perjanjian, Syarat Sahnya Perjanjian, Pengertian dan Sejarah Leasing serta Ciri-Ciri Perjanjian Leasing.

Bab III. Hukum Jaminan Fidusia

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian Fidusia, Objek Fidusia serta Hak Kebendaan Pada Fidusia.

Bab IV. Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Leasing Yang Didaftarkan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan yaitu Pentingnya Pendaftaran Fidusia Dalam Perjanjian Leasing, Faktor Penyebab Kreditur Tidak Melakukan Pendaftaran Objek Fidusia Sebagai Jaminan Leasing serta Akibat Hukum Apabila Kreditur Tidak Melakukan Pendaftaran Objek Fidusia Dalam Hal Perjanjian Leasing.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

(17)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN LEASING

A. Pengertian Perjanjian

Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan “verbintenis” dan “overeenkomst”, dari hasil kutipan R. Setiawan dapat dilihat seperti di bawah ini:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk “verbintenis” dan persetujuan untuk “overeenkomst”.

2. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah perutangan untuk “verbintenis” dan perjanjian untuk “overeenkomst”.

3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menterjemahkan “verbintenis” dengan perjanjian dan “overeenkomst” dengan persetujuan.3

Dari uraian di atas ternyata bahwa untuk “verbintenis” dikenal tiga istilah Indonesia yaitu: perikatan, perutangan dan perjanjian. Sedangkan untuk overeenkomst” dipakai dua istilah perjanjian dan persetujuan.

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

3

(18)

terlalu luas. 4

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.5

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.6

Hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam Dari pengertian singkat di atas dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Perjanjian atau verbintennis adalah hubungan hukum/rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

4

Mariam Darus Badrulzaman, I, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

(19)

hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechtshandeling. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Pihak yang satu memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan

berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan

sebagai schuldenaar atau debitur.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

(20)

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .7

a. Syarat itikad baik,

Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari:

b. Syarat sesuai dengan kebiasaan, c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,

d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu,

(21)

d. Syarat izin dari yang berwenang. 8

Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.9

2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).

Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi:

1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi:

1). Suatu hal (objek) tertentu

10

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

11

8

Munir Fuady, I, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 34.

9

Mariam Darus Badrulzaman, II, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993, hal. 98.

10

Abdul R. Saliman, dkk. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Prenada Media. Jakarta, 2004. hal. 12-13.

11

(22)

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu harus dilihat pengertian yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

(23)

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.12

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”. Untuk Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan di atas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

12

(24)

dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat dibedakan: a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah. b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Sedangkan perihal ketidakcakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu:

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal

(25)

adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat orang yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh orang yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, maka konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa maka pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

(26)

yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang-orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

(27)

mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 13

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.14

“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli berjanjin membunuh orang”.

Suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

15

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian

13

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2000, hal. 94.

14

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991, hal. 36.

15

(28)

telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

C. Pengertian dan Sejarah Leasing

Kehadiran perusahaan leasing di Indonesia menciptakan suatu konsep baru untuk mendapatkan barang-barang modal serta dapat menggunakannya tanpa harus membeli atau memiliki barang tersebut.

Leasing adalah salah satu metode pembelanjaan yang sangat penting di

dalam dunia usaha, karena dengan adanya leasing suatu badan usaha dapat mempe-roleh atau menggunakan alat-alat produksi juga barang-barang modal tanpa harus memilikinya sendiri. Ditinjau dari sudut pembangunan ekonomi, leasing dapat pula dikatakan sebagai salah satu cara untuk menghimpun dana yang

(29)

Lebih memberi pengertian yang jelas mengenai leasing, Sri Suyatmi dan J. Sadiarto, berpendapat : Leasing atau leasing company adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease mauoun operating lease yang digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.16

Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu jangka tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau mem-perpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

Namun sampai saat ini undang-undang tentang leasing belum ada, maka sebagai landasan hukumnya keluar Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan No. KP/122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/I/1974, yang sekaligus dikeluarkan pengertian leasing :

17

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa-menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa-menyewa.18

Leasing dapat digolongkan dalam salah satu lembaga pembiayaan yang

menurut Pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan “adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara

16

Sri Suyatmi dan J. Sadiarto, Op.Cit, hal. 8.

17

Y. Sri Susilo dan kawan-kawan, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000., hal. 128.

18

(30)

langsung dari masyarakat”.

Leasing adalah suatu bentuk pemberian kredit yang meyerupai sewa beli

(huurkoop), maka tidaklah mengherankan bahwa persamaan sepintas lalu menimbulkan pengertian yang simpang siur tentang leasing di satu pihak dan sewa beli serta jual beli mencicil di lain pihak. Kiranya berguna kalau terlebih dahulu dibahas apa yang sesungguhnya diartikan sewa beli dan jual beli mencicil.

Sebagaimana diketahui, jual beli dapat dilakukan dengan tunai atau dengan mencicil (angsuran). Jual beli dengan mencicil dan sewa beli sebagai perbuatan hukum yang tidak diatur dalam KUH Perdata Indonesia, maka sebagai bahan perbandingan dilihat terlebih dahulu arti jual beli biasa seperti yang diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata : “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.

Melihat ketentuan isi Pasal 1457 KUH Perdata terhadap suatu kebendaan dalam jual beli, hanya ada satu kali pembayaran sesuai dengan harga yang disepakati atau dua kali pembayaran bila jual beli itu dengan memakai uang panjar. Jelas bahwa perbedaan antara perjanjian jual beli biasa dan jual beli mencicil terdapat dalam cara pembayarannya. Dapat disimpulkan bahwa jual beli dengan mencicil merupakan suatu pengertian umum yang mencakup dua pengertian dan termasuk juga pengertian khusus, yaitu jual beli dalam arti kata sempit dan sewa beli.

(31)

diserahkan oleh penjual kepada pembeli, sekalipun harga jual belinya masih harus dilunasi dalam beberapa angsuran. Perlu diperhatikan, bahwa bilamana pada saat perjanjian jual beli ditanda tangani, di samping penyerahan barangnya, juga dilakukan pembayaran pertama, maka angsuran berikutnya sedikit-dikitnya harus dua kali dan paling sedikit terdapat tiga kali pembayaran. Perlakuan ini merupakan syarat minimum bagi suatu jual beli mencicil, sebab bila terdapat hanya dua kali angsuran saja yaitu pembayaran pertama pada waktu penandatanganan perjanjian disertai dengan penyerahan barangnya dan yang kedua kalinya hingga lunas, maka jual beli semacam ini disebut jual beli biasa.

Sementara sewa beli adalah bentuk jual beli dengan mencicil dimana dengan tegas diperjanjikan barang harus diserahkan (feittelijke levering) oleh penjual kepada pembeli pada waktu perjanjian ditandatangani, namun hak milik atas barang tersebut tetap berada pada penjual dan baru akan beralih kepada pembeli pada saat angsuran terakhir dibayar oleh pembeli.

Perjanjian semacam ini sesungguhnya merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan dalam Pasal 1459 KUH Perdata: “Hak milik atas barang yang dijual tidak berpindah kepada si pembeli, selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613 dan 616 KUH Perdata”. Akan tetapi sudah dibenarkan oleh jurisprudensi sejak tahun 1902.

(32)

biasa adalah bahwa dalam hal jual beli hak milik beralih pada saat penyerahan, sedangkan dalam hal sewa-menyewa pembayaran terakhir mengakibatkan hak milik tersebut beralih.

Pada dasarnya barang-barang yang dapat disewa belikan adalah semua barang niaga tahan lama yang baru dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari hasil produksi sendiri ataupun perakitan lainnya di dalam negeri kecuali apabila produksi dalam negeri belum memungkinkan untuk itu. Perjanjian sewa beli diadakan dalam bentuk tertulis dan isinya paling tidak harus menyebutkan dengan tegas seluruh harga jual beli, jadwal angsuran dan besarnya setiap angsuran serta ketentuan mengenai kapan hak milik beralih dari penjual kepada pembeli. Penjual wajib menjamin bahwa pembeli akan dapat menikmati pemakaian barang dengan aman tanpa gangguan dari siapapun, dan juga terhadap cacat yang tidak kelihatan.

Sebaliknya pembeli wajib memelihara barang tersebut dengan baik, selain ia dilarang memindahkan barang tersebut kepada pihak lain. Kalaupun terjadi, maka perbuatan demikian tidak dapat merugikan pembeli pertama, karena dalam hal demikian berlaku ketentuan “koop breektgeen huurkoop”. Dengan kata lain, semua kewajiban penjual akan beralih kepada pembeli terakhir, sedang pembeli pertama tetap akan menjadi pemilik barang itu segera setelah ia melunasi pembayaran angsuran terakhir.

(33)

mungkin tanpa harus membeli atau memiliki barang tersebut.19

19

Djoko Prakoso, Leasing dan Permasalahannya, Dahara prize, Semarang, 1990, hal. 1.

Meskipun leasing merupakan bentuk baru segi pembiayaan barang modal yang diperlukan oleh suatu perusahaan, akan tetapi pada hakekatnya leasing adalah suatu bentuk khusus sewa menyewa, karena perjanjian leasing memuat ketentuan-ketentuan juridis yang amat khas dan dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang khas pula. Maka dirasakan kurang memadai apabila istilah sewa menyewa dipakai bagi leasing. Oleh sebab itu istilah leasing tetap digunakan untuk menggambarkan bentuk perbuatan hukum yang baru. Selanjutnya dibandingkan dengan sewa menyewa biasa yang lazim kita kenal, perjanjian leasing menunjukkan perbedaan sebagai berikut :

(34)

D. Ciri-Ciri Perjanjian Leasing

Perjanjian leasing antara lessor dan lessee mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Diadakan untuk jangka panjang sesuai dengan masa kegunaan ekonomis barang yang bersangkutan,

2. Harga sewa sama dengan harga beli barang ditambah dengan bunga,

3. Semua risiko berkenaan dengan objek leasing sepenuhnya ditanggung oleh lessee,

4. Lessee wajib memelihara dan mengasuransikan objek leasing atas biaya dan

risiko sendiri,

5. Lessor tidak memberi jaminan apapun sehubungan dengan objek leasing, dan

6. Pada akhir masa leasing, lessee mempunyai pilihan, membeli atau menyewa lagi atau mengembalikan objek leasing kepada lessor.20

Perjanjian leasing yang mempunyai ciri-ciri tersebut dinamakan financial lease, yang pada hakekatnya berbeda dari bentuk leasing lain, seperti operating

lease dan renting. Dalam hal operating leasing, risiko ekonomis leasing berada pada lessor dan bukan pada lessee seperti halnya financial leasing.

Bentuk usaha leasing di Indonesia mulai timbul sejak tahun 1974, dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/I74, tertanggal 7 Pebruari 1974, sebagai salah satu sistem usaha leasing relatif masih muda usianya.

(35)

Seperti diketahui, leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan. Di lain pihak, bank melakukan usahanya dalam bidang pembiayaan juga. Sepintas lalu, bidang ini seolah-olah dilaksanakan oleh dua instansi yang berbeda. Di dalam kenyataannya memang pembiayaan yang dilakukan oleh usaha leasing tidak sama dengan pembiayaan yang dilakukan oleh bank. Leasing

business sebagai suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan, dianggap penting

peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian nasional. Usaha leasing dalam perwujudannya adalah membiayai penyediaan barang-barang modal,

yang akan dipergunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala, yang disertai hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing.

Dana merupakan salah satu sarana penting dalam rangka pembiayaan. Kalangan perbankan selama ini diandalkan sebagai satu-satunya suatu sumber dana dimaksud, sehingga keberadaan dana masih dianggap langka. Namun sekarang dengan adanya usaha leasing, maka perihal modal ini sebagian kecil dapat diatasi.

Berdasarkan cara ini, jelas akan dapat membantu guna meningkatkan perekonomian Indonesia dan diharapkan dapat berkembang dengan pesat pula. Jenis pembiayaan dengan menggunakan sistem leasing ini mulai banyak ditemukan di negara Indonesia, hal ini memang dapat dipahami mengenai sifat dari transaksi leasing itu sendiri yang mana menampung masalah-masalah yang tidak dapat

(36)

Setelah lebih dari sepuluh tahun leasing ada di Indonesia, banyak perkembangan-perkembangan yang berarti atas usaha leasing. Perkembangan ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari masyarakat, terutama mereka yang secara langsung memperoleh manfaat dari leasing ini. Selain itu, pihak pemilik modal juga mempunyai andil atas perkembangan leasing di Indonesia dimana mereka menanamkan modalnya yang tidak sedikit jumlahnya. Mekanisme serta interaksi bisa terjadi karena selama ini pihak pemerintah, yang dalam hal ini adalah Departemen Keuangan, memberikan iklim yang baik yang memungkinkan leasing bisa tumbuh dengan baik.

Pada mulanya, yaitu sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, hanya lima buah perusahaan leasing yang telah memperoleh izin usaha leasing ini. Selanjutnya disebabkan karena adanya sokongan serta bantuan,

(37)

BAB III

HUKUM JAMINAN FIDUSIA

A. Pengertian Fidusia

Fidusia atau lengkapnya disebut juga dengan Fidusia Eigendoms overdracht dan sering juga disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan,

merupakan suatu jaminan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh Yurisprudensi.

Menurut asal katanya fidusia berasa dari kata fides yang berarti “kepercayaan” berarti hubungan hukum antara debitur dengan kreditur diletakkan atas kepercayaan dalam hal ini pihak kreditur percaya sepenuhnya kepada debitur, bahwa tanpa jaminan yang dipegangnya debitur akan melaksanakan prestasi atau kewajibannya, hal ini sangat bertentangan dengan cara gadai, pada gadai benda itu diserahkan kepada debitur sebagai jaminannya.

Menurut asal usulnya, fidusia ini sudah dikenal sejak zaman Romawi, menurut hukum Romawi dengan fidusia dimaksudkan, peristiwa seorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya, dengan mengadakan jual pura-pura dengan maksud menerima benda itu kembali dari kredit tersebut setelah barang dibayar lunas, jadi sebagai gadai.

“Orang-orang Romawi mengenal dua bentuk fidusia yaitu fiducia cum creditore

dan fiducia cum amico, keduanya timbul dari perjanjian yang disebut dengan

pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure

cessio”.21

21

(38)

Dalam bentuk yang pertama (fiducia cum creditore) seorang debitur menyerahkan suatu barang dalam pemilikan kreditur, kreditur sebagai pemilik mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemilikan atas barang itu kepada debitur apabila debitur sudah memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

Timbulnya fiducia cum creditore adalah disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan pada masyarakat Romawi saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan pada masyarakat Romawi pada saat itu, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan sehingga dalam prakteknya mempergunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pengalihan hak milik dari debitur kepada kreditur, cara pengalihan hak itu pada saat itu bukanlah berdasarkan atas kekuatan hukum akan tetapi berdasarkan atas kekuatan moral saja.22

Karena pada fiducia cum creditore banyak terdapat kelemahan, maka sebagai penggantinya timbul pula fiducia cum amico. Bentuk fidusia ini terjadi apabila seseorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain untuk diurus. Jadi terlihatlah perbedaan dengan fiducia cum creditore, dimana kewenangan Oleh karena kelemahan-kelemahan yang terdapat pada bentuk fiducia cum creditore, maka ketika gadai dan hipotik berkembang sebagai hak-hak jaminan

kebendaan maka terdesaklah fidusia hingga akhirnya sama sekali hilang dari hukum Romawi.

(39)

seakan pada pihak penerima akan tetapi kepentingan kepada pihak pemberi, jelasnya penerima hanya sebagai pihak yang menjalankan kewenangan untuk kepentingan pihak pemberi (debitur).

Kalau diperhatikan uraian di atas mengenai bentuk fidusia yang terjadi pada zaman Romawi, maka untuk itu tidaklah sama dengan fidusia yang kita pergunakan sekarang ini, akan tetapi fiducia cum creditore adalah sama dengan perjanjian jaminan dengan gadai.

Jadi jelasnya fidusia yang terjadi di zaman Romawi sebenarnya adalah gadai sebab dengan nyata yang menjadikan objek perikatan itu berpindah dan beralih dari tangan debitur ketangan kreditur, sedangkan pengertian fidusia yang dikenal saat ini objek jaminan itu tetap berada dalam tangan pihak debitur.

Karena lembaga jaminan hipotik dan gadai pada zaman Romawi sudah diatur pada peraturan hukum yang tertulis, maka masyarakat pada masa itu banyak yang memakainya, karena pihak-pihak akan lebih terjamin hak-haknya sehingga lembaga jaminan fidusia yang tidak diatur secara tertulis itu ditinggalkan.

Tetapi saat sekarang ini lembaga jaminan fidusia telah menampakan wujudnya yang baru, dengan bentuk yang baru dan disesuaikan dengan kebutuhan pada jaman sekarang ini, fidusia yang baru ini dikenal dengan istilah fiduciare eigendoms overdracht. Di Indonesia telah diatur di dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri yaitu pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

(40)

terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, oleh karena itu hukum Romawi diterima oleh hukum Belanda, fiducia tidak ikut diterima di negeri Belanda, demikian B.W Belanda tidak memuat pengaturan tentang fidusia, dengan demikian juga halnya KUH Perdata Indonesia, yang menurut azas concordantie disesuaikan dengan B.W yang berlaku di negeri Belanda.

Dalam hukum di Romawi dan Belanda di Indonesia tentang lembaga jaminan dikenal dengan bentuk hipotik dan gadai, untuk jaminan benda bergerak dan hipotik untuk jaminan benda tidak bergerak. Kedua lembaga jaminan ini pada mulanya dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam perkreditan, akan tetapi pada abad pertengahan sampai akhir abad ke 19, terjadi krisis dalam bidang pertanian di negara-negara Eropah, sehingga menghambat perusahaan-perusahaan pertanian dalam memperoleh kredit, tanah sebagai objek hipotik tidak populer, pihak pemberi kredit menghendaki jaminan gadai, sebagai tambahan di samping hipotik, untuk perusahaan pertanian memberikan gadai dan hipotik sekaligus dapat berarti menghentikan usahanya. Dengan memberikan gadai ia harus menyerahkan alat-alat usahanya atau pertaniannya kepada kreditur atau pihak ke tiga yang ditunjuk, dengan demikian seandainya ia memperoleh kreditpun ia tidak akan dapat mengolah pertaniannya karena tidak ada alat-alatnya.

(41)

Keadaan itu artinya keadaan dimana tidak ada bentuk jaminan yang memadai, telah berakhir dengan dikeluarkannya keputusan Hoge Raad Belanda

Cara ini dipergunakan hanya untuk menutupi sesuatu perjanjian pinjam uang dengan suatu jaminan.

Jual beli dengan hak membeli kembali ini agaknya dapat mengatasi masalah, akan tetapi karena ia bukan suatu bentuk jaminan yang sebenarnya tentu saja mempunyai kekurangan - kekurangan dalam hubungan antara debitur dan kreditur, yang pertama adalah dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali, pihak pembeli menjadi pemilik dari barang-barang yang dijual, sampai pihak penjual membeli kembali, bilamana dalam jangka waktu yang ditentukan penjual tidak membeli maka pembeli menjadi pemiliknya untuk seterusnya, kelemahan kedua ialah jangka waktu pembelian kembali itu terbatas sesuai dengan apa yang diperjanjikan tetapi tidak boleh lebih dari lima tahun.

Kelemahan-kelemahan atas apa yang dilakukan pihak-pihak terutama pihak debitur, akan tetapi mereka dipaksa oleh keadaan yaitu dengan memperoleh kredit dengan mengadakan jual beli dengan hak membeli kembali sehingga ia dapat meneruskan usahanya, atau sama sekali tidak memperoleh kredit, apabila ingin memperoleh kredit maka dipergunakanlah lembaga jual beli dengan hak membeli kembali dengan segala akibatnya.

(42)

tanggal 29 Januari 1929 yang terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest.

Sejak dikeluarkannya putusan Arrest tersebut di atas maka timbullah kembali nama fidusia, fidusia yang dimaksud adalah penemuan dari hakim, yang berbeda dengan fidusia yang dikenal dalam Hukum Romawi.

Menurut beberapa ahli hukum Belanda nama fidusia itu adalah beraneka ragam, antara lain :

Eggen menyebutkan dengan Oneigenlijk Pandrecht-Pandrecht palsu, fiducia adalah banci, mukanya adalah eigendom, tetapi jiwanya adalah Pand.

Bloom memberi nama Bezit loos Pand, Pand tanpa bezit, Pitlo menamakan bentuk ini Zakerheid Eigendom, Fiduciare Eigendom atau Uitgeholde Eigendom, hak milik sebagai tanggungan atau hak milik yang sudah digerogoti.24

Kahrel memberi nama, Verium Pand Begrip (pengertian gadai yang diperluas). A. Veenhoven menyebut Eigendomsoverdracht Tot Zakerheid (penyerahan milik sebagai jaminan).25

R. Subekti, menyebutkan dengan nama fiducia saja.26

Perihal keberadaan lembaga fiducia ini di Indonesia sama saja seperti di Negara Belanda bahwa mereka juga mencari jalan keluar cara tersebut, juga jual beli dengan hak membeli kembali, hal ini terlihat dengan dikeluarkannya peraturan tentang ikatan panen (Dogsverbend) yang diatur dalam Stb. 1886 No. 57. Ikatan panen itu ialah suatu jaminan untuk pinjam uang, yang diberikan atas panenan yang diperoleh dari suatu perkebunan.27

Dalam lembaga ini ikatan panenan jaminan dapat terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak, dimana benda itu masih berada di tangan debitur, namun perikatan itu hanya terbatas di perkebunan-perkebunan, akan tetapi dalam

24

Sumardi Mangunkusumo, “Fiducia Bangun-Bangunan di Atas Tanah Hak Sewa”,

Majalah Hukum dan Keadilan, No. 3 Tahun III, Mei – Juni 1972, hal. 4.

25

Mariam Darus Badrulzaman, III, Hipotik dan Credietverband II, FH-USU, Medan, 1978, hal. 4.

(43)

bidang lainnya seperti perdagangan dan lain-lain belum dapat pemecahannya. Setelah keluarnya keputusan Hoge Raad tanggal 29 Januari 1929 tersebut, barulah ada petunjuk bahwa praktek hukum di Indonesia mengikuti Arrest tersebut, hal ini terbukti dalam sebuah kasus yang dikenal dengan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) lawan Pedro Clignett.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diterangkan bahwa “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda “.

Dengan demikian maka keberadaan jaminan fidusia adalah sangat membantu pihak debitur dimana alat-alat atau benda-benda yang dijaminkan dapat dipergunakan debitur.

B. Objek Fidusia

Lembaga jaminan fidusia memegang peranan yang penting, karena selain sebagai jaminan tambahan apabila dianggap masih kurang mencukupi, artinya, apabila jaminan dengan hak tanggungan sebagaimana diterangkan dalam UU No. 4 Tahun 1996 kurang mencukupi, atau tidak jelas apakah benda tersebut digolongkan kepada benda bergerak atau tidak bergerak, maka keadaan demikian benda tersebut dijaminkan melalui fidusia, misalnya mesin-mesin pabrik, ada kalanya melalui fidusia ia digolongkan kepada benda tidak bergerak.

(44)

lain-lainnya, kemudian perkembangan selanjutnya dalam praktek juga seperti bangunan-bangunan, misalnya rumah, toko, gedung di atas tanah orang lain, yaitu tanah sewa dan pakai , semua ini dapat difidusiakan, bahkan juga hak pakai atas tanah juga dapat difidusiakan.

Sri Soedewi Majhoen Sofwan, mengemukakan, mengenai pertumbuhan fidusia di Indonesia mengalami perkembangan yang lain, perkembangan menjurus kearah pertumbuhan yang semarak, subur dan meluas kearah jaminan dengan benda tidak bergerak.28

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka sebaliknya kita melihat dahulu pendapat yang dikemukakan oleh Asser Scholten, mengemukakan apakah benda

Selanjutnya beliau mengatakan “Pada umumnya perkembangan fidusia di Indonesia disebabkan rasa kebutuhan dari masyarakat sendiri, di samping juga terpengaruh dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 di Indonesia, dirasakan sesuai dengan kebuthan masyarakat karena prosesnya lebih mudah, lebih luwes biayanya murah, selesainya cepat dan meliputi benda-benda bergerak ataupun benda tidak bergerak.

Sebagai mana kita ketahui objek dari hak tanggungan itu adalah benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan yang ada di atasnya, akan tetapi di dalam fidusia dimungkinkan jaminannya dengan benda tidak bergerak, yang menjadi masalah apakah hak jaminan yang seharusnya dengan hak tanggungan dapat difidusiakan.

28

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, I, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan

(45)

tidak bergerak dapat difidusiakan atau tidak, secara dogmatis dikatakan tidak mungkin, karena tidak ada publisitas dari penyerahan dan karena Bierbroowerij Arrest memberi sanksi pada kebutuhan dan kebiasaan menjamin benda bergerak

saja.

Atas jawaban tersebut Pitlo mengemukakan dengan mengatakan “Bisa saja dan kiranya bila penyerahnnya secara yuridis juga telah terjadi, artinya dengan Zakelijk Overeenkost, pendaftaran pada pejabat pendaftaran tanah di samping adanya perjanjian bahwa penyerahannya ini hanya atas kepercayaan saja, bukanlah fidusia itu dalam sistematika B.W merupakan suatu perjanjian baru yang bernama. Hanya tentunya tidak banyak yang menggunaan karena sudah ada lembaga jaminan dengan hipotik yang untuk mendapatkan sertifikatnya lebih murah biayanya.

Sedangkan freferensi-freferensi dan klausule-klausulenya telah diatur rapi dalam undang-undang dan grossenya telah mempunyai titel executorial.29

Pendapat yang menerima pendapat Pitlo adalah A. Veenhoven, ia menegaskan bahwa, semua benda baik bergerak maupun tetap yang dapat diserahkan hak miliknya dapat pula diserahkan hak miliknya atas kepercayaan (sebagai jaminan).30

Dari pendapat-pendapat di atas, dijelaskan bahwa lembaga jaminan cara fidusia ini yang objeknya benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak adalah wajib untuk dipertahankan dan disebarluaskan penggunaannya, karena lembaga ini prosesnya tidak panjang, tidak berbelit-belit, jaminan dapat dimanfaatkan terus oleh debitur, sehingga hal ini cocok di dalam pembangunan nasional sekarang ini, dan lembaga ini sesuai dengan sikap dan keperibadian bangsa Indonesia yang memegang teguh setiap janiji karena sangat menghargai

29

Roesnastiti Prayitno, “Suatu Tinjauan Mengenai Masalah Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Jaminan Hutang”, Majalah Hukum Universitas Indonesia, No. 3 Tahun ke-VI, Mei 1976, hal. 203.

30

(46)

kehormatannya.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Pitlo dan A. Veenhoven dapatlah kita ketahui bahwa mereka tidak mempermasalahkan apakah fidusia itu benda tetap atau tidak tetap, tetapi lebih jauh menekankan semua itu kepada cara penyerahannya, jelaslah cara penyerahan atas jaminan itu secara yuridis berdasarkan kepercayaan.

Cara membedakan benda yang bergerak dan benda tidak bergerak itu adalah dengan sistem yang dianut oleh UUPA No. 5 tahun 1960.

Perihal apakah jaminan benda bergerak, tidak bergerak itu dapat jaminan secara fidusia, Sumardi Mangun Kusumo mengemukakan :

Bila di Indonesia sekarang ini hak tanahpun dapat difidusiakan tanpa mempersoalkan pengertian “roerand” dan “onroerand”, apakah gerangan tidak dapat memfidusiakan suatu bagunan di atas tanah hak sewa yang tidak merupakan kesatuan hak dengan tanah, sungguhpun bangunan itu tertancap atau terpaku di atasnya”. Selanjutnya beliau mengemukakan : Bahwa dalam Hukum Adat yang telah disempurnakan dan yang disesuaikan dengan perkembangan suatu negara modern, maka soal pendaftaran dan registrasi menjadi unsur yuridis dari peristiwa hukum walaupun hukum Agraria kita tidak mengenl pengertian kebendaan dan zakelijk overenkomst.31

Praktek perbankan di Indonesia telah sejak lama berpengalaman dengan pemasangan fidusia sebagai jaminan atas pemberian kreditnya, hal ini dilakukan baik oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta, jaminan fidusia ini terutama tertuju kepada benda-benda bergerak yang berupa barang-barang invetaris, barang-barang dagangan, mesin-mesin maupun kenderaan bermotor dan lain-lain.

Di Indonesia penggunaan lembaga jaminan ini banyak dilakukan di bank-bank, menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, :

32

Selanjutnya beliau mengemukakan lagi “praktek lain yang terjadi pada

31

Ibid., halaman 19.

(47)

bank, yaitu di samping akta fidusia, bank juga mengadakan perjanjian dengan pemilik tanah, dimana dalam perjanjian itu pemilik tanah menyetujui bila bank mengoper hak sewa atas tanah tersebut kepada pihak lain selama bank mempunyai hak milik atas kepercayaan terhadap bangunan di atas tanah tersebut, di samping itu juga menyetujui untuk meneruskan perjanjian sewa kepada si pembeli jika bank terpaksa harus menjual bangunan tersebut.

Untuk kepastian hukum maka sebaliknya pemberian jaminan kredit secara fidusia ini dibuat dihadapan notaris karena perjanjian yang hanya diberikan dengan pengakuan atau dengan akta dibawah tangan akan banyak mendapat kesulitan apabila timbul perselisihan dikemudian hari.

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sri Soedowi Masjhoen Sofwan, dalam kertas kerjanya pada Seminar Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, tanggal 28 sampai 30 Juli 1977 yang diadakan di Yogyakarta, beliau berkesimpulan. “Fidusia hendaknya dapat diadakan atas rumah atau bangunan di atas tanah orang lain, tanah-tanah hak sewa, hak pakai, hak pengelolaan dan demi kepastian hukum mengenai fidusia di atas tanah orang lain hendaknya dicatat pada sertifikat tanahnya pada Kantor Seksi Pendaftaran Tanah.

(48)

C. Hak Kebendaan Pada Fidusia

Fidusia mempunyai sifat kebendaan (zakelijkrecht), yang disebut dengan droite de suite, artinya hak-hak yang melekat pada benda itu mengikuti dimanapun

benda itu berada dan dapat dipertahankan terhadap siapa saja, dan dalam tangan siapapun benda itu berada. Demikian seperti yang terkandung di dalam Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.

Hak kebendaan (zakelijkrecht) berbeda dengan hak perseorangan (persoonlijkrecht), perbedaan tersebut adalah :

1. Hak kebendaan itu adalah hak absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan kepada setiap orang. Hak perorangan adalah hak relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, ia hanya dapat dipertahankan melakukan terhadap debitur itu saja.

2. Hak kebendaan mempunyai sifat droite de suite, artinya hak itu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada. Dalam hak perorangan sebaliknya mempunyai kekuatan yang sama atas hak-hak lainnya, tanpa memperhatikan saat kelahirannya.

3. Hak kebendaan memberian wewenang yang luas kepada pemiliknya, hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Hak perorangan memberikan wewenang terbatas kepada pemiliknya. Ia hanya dapat menikmati apa yang menjadi miliknya. Dan tidak dapat dialihkan kecuali dengan persetujuan pemiliknya.

(49)

terbatas.

Selanjutnya dalam praktek pembedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan itu tidak mutlak lagi. Dengan kata lain sifat-sifat yang bertentangan itu tidak tajam lagi. Pada tiap-tiap hak kita mendapatkan adanya hak kebendaan dan hak perorangan, bahwa titik beratnya saja yang berlainan. Mungkin pada hak kebendaan atau sebaliknya.33

Tetapi karena kebutuhan masyarakat yang begitu mendesak akan adanya suatu bentuk jaminan barang bergerak yang tetap dapat dikuasai oleh siberutang, yaitu barang-barang yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan, maka akhirnya fidusia ini diberikan legalitas.

Begitu sukarnya memperjuangkan kedudukan fidusia ini sebagai suatu hak kebendaan (yaitu suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan berlaku terhadap setiap orang terutama memberikan potensi kepada seorang kreditur di atas kreditur lainnya), disebabkan dalam hukum perdata sudah lama dianut suatu sistem bahwa hak kebendaan itu terbatas jumlahnya dan hanya dapat diciptakan oleh undang-undang, berlainan dengan suatu perikatan atau hak perorangan yang hanya memberikan hak-hak terhadap suatu pihak tertentu saja, yang tidak dibatasi jumlahnya karena diserahkan kepada kebebasan para pihak.

34

33

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, I, Op.Cit, hal. 27.

34

R. Subekti, III, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Fidusia Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 76.

(50)

Pasal 1134 ayat (2) “ Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya”.

Jadi jelasnya perjanjian dengan jaminan hak kebendaan lebih menguntungkan dibandingkan dengan jaminan lainnya.

Hak mendahulu ini juga diatur di dalam Bab IV Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang lengkapnya berbunyi :

(1) Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya.

(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

(3) Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.

Mariam Darus mengatakan, bahwa pemilik fidusia mempunyai hak preferen. Jika pemberi jaminan secara fiducia berhak menjual benda fidusia untuk pelunasan hutangnya.35

35

Jika kita kembali menelusuri bahwa fidusia tercipta karena masyarakat menuntut, lembaga yang sedemikian adanya seperti fidusia ini, dimana kepercayaan merupakan faktor utamanya untuk penjaminan hutang. Dan hal pengaturannyapun tidak ada ditemui dalam undang-undang.

(51)

Kembali kepada lembaga fidusia ini, dimana akan memberikan contoh antara dua orang yang membuat perjanjian, yaitu :

Si A meminjam uang kepada si B, dalam hal ini si A menjaminkan alat-alat usahanya sebagai jaminan hutangnya secara fidusia yaitu secara kepercayaan. Dimana barang-barang yang dijadikan jaminan oleh si A tetap dipegang oleh si A karena kepentingan usahanya.

Hal perjanjian antara si A dan si B di atas tidak kita temui dalam perundang-undangan. Seharusnya benda jaminan tersebut berada di tangan si B, tetapi karena perundang-undangan dan kebutuhan akan si A maka hal tersebut dapat terjadi. Jelaslah di dalam perjanjian fidusia bukan menciptakan hak milik tetapi jaminan saja.

Kreditur dalam hal ini dapat mengadakan pengawasan terhadap benda-benda yang dijadikan jaminan oleh debitur. Kreditur sebagai pemegang fidusia mempunyai kedudukan sebagai pemegang jaminan, sedang kewenangannya sebagai pemilik yang dipunyainya ialah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri, oleh karena itu, dikatakan pula kewenangannya sebagai pemilik terbatas.

Jika pemilik fidusia pailit, benda fidusia tidak termasuk ke dalam boedel pailit. Kurator kepailitan tidak berhak menuntut benda fidusia dari kekuasaan pemberi fidusia.

Benda fidusia hanya dapat dilelang dalam batas-batas sebagai benda jaminan untuk melunasi hutang pemberi fidusia kepada pemilik fidusia.

(52)

fidusia mempunyai hak preferen. Yang sebagaimana terdapat di dalam gadai dan hak tanggungan. Dan dengan alasan yang lebih kuat lagi bahwa fidusia bukan diadakan oleh undang-undang tetapi oleh kebiasaan dan kebutuhan akan lembaga fidusia itu sendiri. Tetapi dengan keluarnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia maka setiap pengikatan jaminan fidusia harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan ini. Selain bersifat preferen fidusia juga memiliki sifat accesoir.

Fidusia adalah perjanjian jaminan yang tidak berdiri sendiri, tetapi bersifat accesoir, artinya hak fidusia ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri, akan

tetapi adanya hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. Misal perjanjian dengan jaminan fidusia.

A meminjam uang kepada bank dengan menjamin mobilnya, dalam hal ini pada saat perjanjian akan dibuat sampai berakhirnya perjanjian, maka benda yang difiduciakan harus dalam keadaan utuh, artinya yaitu yang menjadi kepatutan atas mobil itu harus ada, misalnya lampu mobil, roda, knalpot dan lain-lain.

Dalam perjanjian dengan cara fidusia, dapat dilakukan terhadap benda-benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, disini pihak debitur tetap menguasai benda yang difidusiakan, tetapi hanya sebagai pemakai saja bukan sebagai pemilik.

Hal yang membedakan fidusia dengan hak tanggungan adalah bahwa selama perjanjian hak tanggungan belum hapus debitur tidak dapat memakai atau memanfaatkannya untuk tujuan produktif atau menghasilkan.

(53)

Referensi

Dokumen terkait

Kedudukan hukum perjanjian fidusia secara di bawah tangan adalah sebagai perjanjian jaminan fidusia yang tidak memenuhi syarat formalitas sesuai UUJF yang mewajibkan dengan

fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan peran notaris dalam pembuatan akta. pemberian

Peran notaris terhadap pendaftaran objek jaminan fidusia secara online yaitu Sesuai dengan undang-undang jaminan fidusia pembebanan suatu benda atas jaminan fidusia

Kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur apabila objek jaminan fidusia yang hilang atau musnah tersebut tidak didaftarkan dalam asuransi dalam undang-undang

Demikian bahwa sertifikat Jaminan Fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah

Dalam praktik di dunia usaha, baik pada lembaga leasing maupun lembaga pembiayaan setelah akta pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan akta, hal ini berkaitan dengan

Para pihak dalam perjanjian pengikatan jaminan fidusia tidak cukup hanya membuktikan adanya fidusia dengan mempertunjukan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris sebab menurut

Terhadap perjanjian pengikatan jaminan fidusia antara pihak Bank sebagai Kreditur yang akan menerima objek jaminan untuk pelunasan utang dengan Debitur sebagai pihak penerima kredit