• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Kontrak Baku antara Pihak Penyedia dan Pengguna Jasa Terkait Asas Keseimbangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Kontrak Baku antara Pihak Penyedia dan Pengguna Jasa Terkait Asas Keseimbangan"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Ali, Zainuddin . Metode Penelitian Hukum . Jakarta: Sinar Grafika , 2009.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2006.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : RinekaCipta, 2010.

Boediono, Herlien. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2006.

Darus, Mariam. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni,1994.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) BukuKedua . Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2003.

H.P, Panggabean. Praktik Standaard Contract(Perjanjian Baku) Dalam

Perjanjian Kredit Bank. Bandung: PT.Alumni, 2012.

Herawati, Elly dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan

Perjanjian. Jakarta: NLRP,2010.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Kristiyanti ,Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika,2009.

Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pasca Sarjana FH UI,2003.

M. Nazil. Metode Penelitian . Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.

(2)

Muhammad,Abdulkadir. HukumPerikatan. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1990.

Muhammad ,Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004.

Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1993.

Mertokusumo,Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2008.

Prodjodikoro, R. Wiryono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung, 1987.

R. Setiawan. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta,1979

Salim H.S. Hukum Kontrak dan Teknik Perancangan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika,2011.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.Intermasa,2001. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.Intermasa, 1963..

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2014.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian HukumNormatif: Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Grasindo, 2006.

Siregar,Mahmul. Fotocopy Slide Bahan Kuliah Materi Hukum Kontrak Bisnis. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015.

Siregar,Mahmul. Materi Kuliah Hukum Untuk BisnisS Progran Magister

Manajemen PPS – USU. Medan: Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera

(3)

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

.W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1983.

B.Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

C.Skripsi/Tesis

Dewitasari, Yulia.“Akibat hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila

Terjadi Pembatalan Perjanjian”. Skripsi. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2009.

Tumbelaka, Arkie V,Y. “Kajian Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun Dalam Perspektif Itikad baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X Dengan PT.Putra Surya Perkasa).Tesis.Sekolah Pasca Sarjana Magister Hukum Ekonomi UI. 2012.

D.Website

Rachmad, Lenny. “Klausula Baku Dalam Kontrak Rentan Batal Demi Hukum”. http://www.jpplawyer.com/2009/05-Klausula-Baku-Dalam-Kontrak-Rentan-Batal-Demi- Hukum(diakses pada tanggal 26 Januari 2016). Politkum. Blogspot.Com/2013/05/Pengertian-Perlindungan-Hukum.Html(diakses

(4)

BAB III

PENGATURAN MENGENAI PEMBATALAN PERJANJIAN DI INDONESIA

A.Perjanjian yang Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan

Menurut hukum perjanjian yang dimaksudkan dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian maka eksistensi perjanjian dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan yang menghapus eksistensi kontrak selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya perjanjian.121Pemahaman mengenai pembatalan perjanjian seharusnya dihubungkan dengan tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian yaitu: i.Tidak dipenuhinya unsur subjektif, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) – (Pasal 1320 BW syarat 1 dan 2), sehingga berakibat kontrak tersebut “dapat dibatalkan (vernietigbaar).”

Dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah suatu kedaaan yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian yang terjadi karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dari syarat-syarat sahnya perjanjian.122

ii.Tidak dipenuhinya unsur objektif, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak

121

(5)

diperbolehkan (Pasal 1320 BW angka 3 dan 4 jis. 1335, 1337, 1339 BW), sehingga berakibat kontrak tersebut “batal demi hukum (nietig”).

Batal demi hukum (nietig) adalah suatu kedaaan yang mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian yang terjadi karena tidak terpenuhinya syarat objektif dari syarat-syarat sahnya perjanjian.123

Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/ dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal.124 Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void.125

Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undang-undang merumuskan secara konkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak terpenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya).126

Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi,

123Ibid 124

Elly Herawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (Jakarta: NLRP,2010), hlm. 1.

(6)

dan beraneka ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain pengertian, batasan, dan unsur-unsur yang menyatakan tidak terpenuhinya syarat objektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Yang dimaksud hal tertentu adalah suatu perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus ditentukan jenisnya.127 Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sehingga barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.

Frasa dapat dibatalkan sangat berbeda maknanya dengan frasa batal demi hukum sebab dapat dibatalkan menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. 128 Kecuali itu, frasa dapat dibatalkan juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya.129 Dengan kata lain, bila sesuatu hal dapat dibatalkan maka bisa terjadi dua kemungkinan:130

1. Sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat adanya permintaan untuk membatalkan, atau;

2. Sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal.

127 Ibid. 128

Ibid., hlm. 4.

(7)

Frasa batal demi hukum merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna tidak berlaku, tidak sah menurut hukum. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi, walaupun kata batal sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, ternyata frasa batal demi hukum lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/kepatutan. 131 Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan perundang-undangan) memang begitu adanya. 132Dengan demikian, batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.133

B. Hal atau Kondisi Yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian

Konteks Hukum Perjanjian di Indonesia menurut KUH Perdata menganut beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam enam (6) kategori sebagai berikut:134

1. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum

131 Ibid. 132

Ibid.

133Ibid

(8)

Perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil apabila tidak dipenuhinya ketentuan hukum dalam perjanjian formil tersebut misalnya tentang bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum.135Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hokum.Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan.136

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum.137 Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme. Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk

135

Ibid., hlm 6.

(9)

formal tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perubatan hukum tersebut batal demi hukum.138

2. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat: a. perjanjian batal demi hukum.

b. perjanjian dapat dibatalkan.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada kesepakatan, kecakapan,suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif sedangkan syarat yang kedua disebut syrat objektif. Syarat subjektif untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian. Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu melakukan tindakan hukum yang dalam konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga menimbulkan perikatan. 139 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi "setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap". Orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap, dilarang melakukan tindakan hukum termasuk membuat perjanjian.140

Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum

(handelingson-bekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan

seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidak melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh

138Ibid.,

hlm 18. 139

(10)

undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.141 Jadi, seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasikan sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang.142

Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya, ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu.143

Selain itu, perjanjian juga dapat dibatalkan karena ada cacat pada kehendak pihak yang membuatnya. Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.144Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat, sehingga terancam kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 1321, 1322,

141

Ibid., hlm 12.

(11)

1323, 1324, 1325, dan Pasal 1328 KUH Perdata.145 Bentuk-bentuk cacat kehendak yang dimaksud disni sudah dijelaskan secara jelas pada sub bab sebelumnya pada bagian kesepakatan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian maka dari itu tidak akan diuraikan lebih lanjut, namun yang perlu ditegaskan bahwa adapun bentuk-bentuk cacat kehendak tersebut yaitu kekhilafan, penipuan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.

Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa "perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya". Kalimat terakhir Pasal itu, yaitu “menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya” menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya.146

Kemudian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Herlien Boediono sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditur dan kewajiban bagi debitur menurut Subekti. Objek perjanjian

(12)

berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1).147

Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada, sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1). Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa barang tersebut tidak ada.148

Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga

ipso jure batal demi hukum.149 Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian

adalah suatu sebab atau kausa yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna sebab yang halal itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar perjanjian, bukan sebagai penyebab ataupun motif dibuatnya perjanjian. Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut tidak sah, tidak berkekuatan hukum.Hal ini secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata.150 Kausa atau perjanjian dinyatakan

147

Ibid., hlm. 8.

(13)

bukan merupakan sebab yang halal sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupakan kausa yang “dilarang oleh undang -undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”.151

Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum.

3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;

Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata.152

Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata adalah batal demi hukum. Alasan dari ketentuan itu masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau

151

(14)

kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.153

Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi hukum.154 Hal ini secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata. Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu syarat kausa yang halal.155

Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.

153Ibid.

(15)

4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;

Pembatalan oleh pihak ketiga berdasarkan actio pauliana diatur dalam pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1341 KUH Perdata berbunyi “persetujuan hanya berlaku bagi pihak yang menbuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317.156 Kemudian, Pasal 1341 ayat (1) menyebutkan bahwa meskipun demikian tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apapun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan , debitur dan orang yang dengan nya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Kemudian Pasal 1341 ayat (2) menyatakan bahwa hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati dan Pasal 1341 ayat (3) menyatakan bahwa untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.157

Menurut Herlien Budiono kedua pasal tersebut menegaskan bahwa pengertian kreditur dalam Pasal 1341 mencakup tidak hanya orang yang berhak

156Ibid

(16)

atas pembayaran hutang saja, tetapi juga orang lain (yakni debitur) terhadapnya, seperti prestasi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. 158

Pasal 1341 ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditur dari tindakan debitur untuk yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh undang-undang dan merugikan kreditur, dengan demikian dapat terjadi bahwa seorang pihak ketiga (kreditur) yang sebenarnya bukan merupakan pihak yang membuat perjanjian dengan debitur ternyata meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debitur tersebut dengan orang lain (yang merupakan pihak kedua dalam perjanjian dengan sang debitur tersebut), dengan alasan perjanjian tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang kepada debitur untuk melakukannya, dan juga perjanjian itu merugikan kepentingan kreditur. Hak menggugat yang dimiliki pihak ketiga untuk meminta pembatalan perjan jian yang dibuat oleh orang lain inilah yang disebut dengan actio pauliana.159

5. Perjanjian batal karena wanprestasi atas dasar kelalaian sebagai syarat batal Bagian kelima dari Bab I dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan Bersyarat terdapat ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267.160 Kedua pasal ini sebenarnya berisi tentang pembatalan perjanjian timbal balik akibat salah satu pihak wanprestasi karena kelalaiannya. Penempatan kedua Pasal dengan topik tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik, tetapi juga ditemukan alasan pembenarnya. Pembuat KUH Perdata

158 Ibid. 159

(17)

menganggap bahwa kelalaian debitur sehingga wanprestasi tergolong sebagai suatu syarat batal yang dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik.161

Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, dalam perikatan yang timbul dari perjanjian timbal balik apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dijanjikan dalam perjanjian itu, kreditur atas dasar wanprestasi dari debitur berhak untuk memilih apakah memaksa debitur untuk memenuhi perjanjian apabila hal itu masih dapat dilakukan atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari pihak debitur.162

Berdasarkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat diketahuibahwa kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian sepihak. Dalam hal terjadi wanprestasi pada suatu perjanjian para pihak yang merasa dirugikan tidak boleh serta merta membatalkan perjanjian secara sepihak, dalam hal ini, pihak yang merasa dirugikan harus terlebih dahulu melakukan teguran kepada pihak yang diduga melakukan wanprestasi, apabila teguran tersebut tidak diindahkan oleh pihak yang diduga melakukan wanprestasi maka dapat dilanjutkan dengan pemberian sommasi (peringatan) kepada pihak yang diduga melakukan wanprestasi, apabila sommasi tidak bisa menyelesaikan pemasalahan tersebut diantara para pihak maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada hakim, hakim lah yang kemudian memutuskan dan menetapkan apakah telah terjadi wanprestasi atau tidak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Apabila dalam hal wanprestasi salah

(18)

satu pihak membatalkan perjanjian secara sepihak maka orang tersebut dapat digugat dengan dugaan telah melakukan perbuatan hukum.

6. Perjanjian batal karena wanprestasi akibat dari keadaan memaksa

Salah satu alasan yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi dapat berupa karena adanya keadaan memaksa. Keadaan memaksa (force majeur) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.163 Adapun unsur-unsur keadaan memaksa antara lain:164

a. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan.

b. Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk melakukan prestasi.

c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Doktrin force majeure merupakan doktrin “pemaafan” yang diterima secara universal.Pengakuan terhadap ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu prestasi (impossibility of performance) disebabkan halangan yang tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya serta yang bukan dari dirinya atau akibat dari kesalahannya, membuat orang yang secara normal tidak memungkinkan lagi

163

(19)

untuk melaksanakan prestasinya tersebut dimaafkan dan dibebaskan untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga.165

Menurut Subekti, pada awalnya pengertian force majeure dipahami para sarjana sebagai halangan yang muncul dari kejadian hebat dan menimbulkan akibat besar dan luas dan permanen, seperti bencana alam, wabah penyakit, peperangan, atau kekacauan yang begitu hebat. Dalam perkembangannya force

majeure mencakup kejadian-kejadian penghalang yang tidak bersifat mutlak atau

sementara. Sedangkan menurut William F. Fox force majeur yakni sebagai halangan yang timbul dari bencana alam (natural dissasters) hingga kekecauan politik suatu negara (political disruptions).166

Apabila wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari keadaan memaksa (force majeure atau overmacht), perjanjian menjadi batal.167Namun demikian, menjadi kewenangan hakimlah untuk menilai apakah benar telah terjadi keadaaan memaksa atau bukan. Untuk itu, hakim akan membuat putusan yang bersifat deklaratoir. Jadi, keadaan memaksa juga dapat menjadi syarat batal bagi sebuah perjanjian, tetapi syarat ini tidak perlu diperjanjikan oleh para pihak.

Beberapa contoh dalam KUH Perdata yang mengatur tentang keadaan memaksa yang membuat perjanjian menjadi batal, misalnya Pasal 1545 tentang musnahnya objek tukar-menukar, Pasal 1553 tentang musnahnya barang yang

165

Siregar, Op.Cit., hlm. 9.

(20)

disewakan, Pasal 1607 tentang musnahnya pekerjaan di luar kelalaian pemborong, dan Pasal 462 tentang berakhirnya carter kapal karena kapal musnah.168

C. Akibat Pembatalan Perjanjian

Berbicara mengenai akibat dari suatu pembatalan perjanjian, maka terlebih dahulu haruslah dipahami tentang akibat hukum perjanjian yang sah. Menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu emmenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 169

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.170

Selain itu, perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Artinya perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara

168Ibid.

169

(21)

sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian tersebut haruslah memperoleh persetujuan pihak lainnya.171

Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan para pihak harus dijamin pemenuhan nya agar perjanjian tersebut mecapai tujuannya. Tujuan pembuatan perjanjian tidak akan terwujud tanpa ada pelaksanaan perjanjian yang dilakukan dengan baik. Masing-masing pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat apa yang telah disetujui untuk dilakukan. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pemenuhan prestasi.172

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkandirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Keabsahan perjanjian ditentukan oleh syarat sah perjanjian yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Konsekuensi tidak terpenuhi syarat sah perjanjian adalah perjanjian menjadi tidak sah, dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. 173

Pembatalan perjanjian sendiri diakui dan di atur dalam KUH Perdata tepatnya dalam Pasal 1446 sampai Pasal 1456 KUH Perdata . Namun tidak semua perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan perjanjian harus memenuhi syarat pembatalan yang telah di tentukan dalam undang-undang. Pembatalan perjanjian

171Ibid.

172 Ibid. 173

Dewitasari, Yulia. “Akibat hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila

(22)

yang membawa akibat perjanjian dianggap tidakpernah ada tentu saja menimbulkan akibat hukum baru bagi para pihak di dalam perjanjian tersebut. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.174

Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasadirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.Walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya penuntutan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan sehinggayang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata.175

Menurut ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.

Akibat pembatalan perjanjian di atur dalam Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata. Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah pengembalian pada posisi semula sebagaimana halnya sebelum terjadi perjanjian.Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum pada akhirnya

174

Ibid.

175Ibid

(23)

akan berakhir sama, yakni perjanjian-perjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum, tidak mengikat para pihak dan tidak memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak. 176

Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek. Pada keadaan seperti itu, hukum menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup.177Karena perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan.Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 harus dikembalikan.178

Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim, mengakibatkan 'kembalinya' barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 1451.179 Kemudian, khusus untuk perjanjian yang dibuat oleh orang yang berada di bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas tegas disebutkan dalam Pasal 1452.

176

Ibid.

177

Herlien Budiono dan Elly Herawati, Op.Cit., hlm. 28.

(24)

Apabila pihak-pihak yang tidak cakap hukum, dan/atau yang tidak memiliki kehendak bebas, ketika membuat perjanjian mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada alasan untuk itu. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1453.180 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat hukum terhadap para pihak dalam perjanjian apabila terjadi pembatalan perjanjian adalah timbulnya hak untuk pemulihan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian dan menuntut pemulihan sebagaimana keadaan semula merupakan hak bagi para pihak yang merasa dirugikan, dan pihak yang terlanjur menerima prestasi wajib mengembalikan. Selain itu, akibat hukum bagi perjanjian sendiri adalah perjanjian tersebut menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum, tidak lagi memilki daya mengikat bagi para pihak dan tidak memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak.

D. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak yang Berwenang Karena Undang-Undang

Selain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi 'khusus' lagi, yaitu pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum dalam sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat

(25)

publik tertentu berdasarkan undang-undang tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian tertentu. Hal ini ditemukan dalam peraturan berikut ini:181 1. UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Pasal 6 ayat (2): "LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal dengan kewenangan:meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat ank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank".

Pasal 26: Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut:meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak baru yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.

Pasal 52 ayat (1): "Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha".

Pasal 52 ayat (2): "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang".

(26)

2. UU No. 7 tahun 1992 jo UU no.10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 37 a dan c

a. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

a. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain, yaitu meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank.

(27)

apabila pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat dari perjanjian tersebut yang bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan oleh hukum atau undang-undang. Dalam undang-undang tentang LPS ataupun Perbankan di atas, kewenangan LPS dan badan khusus penyehatan perbankan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat pihak lain, yaitu bank gagal, tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan LPS ataupun badan khusus tersebut, tetapi pertimbangan bahwa perjanjian itu merugikan pihak bank gagal.182

Perbedaan lain adalah tampaknya ketentuan dalam undang-undang di atas lebih didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan publik, dalam hal ini kepentingan keuangan negara karena kedua undang-undang di atas mengatur tentang perbankan yang memperoleh fasilitas penjaminan oleh pemerintah, dan tentang perlunya menyehatkan perbankan yang sedang mengalami kesulitan sehingga dapat membahayakan ekonomi nasional.183

182Ibid

(28)

BAB IV

PERANAN HAKIM DALAM PEMBATALAN PERJANJIAN KONTRAK BAKU ANTARA PIHAK PENYEDIA DAN PENGGUNA JASA TERKAIT

ASAS KESEIMBANGAN

A.Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Dikaitkan dengan Sifat dari Perjanjian Kontrak Baku

Berdasarkan konteks hukum kontrak, diketahui bahwa hakim memiliki kewenangan untuk mencegah terjadinya rasa keadilan. Dengan kewenangannya, hakim harus mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali suatu kewajiban kontraktual darisuatu kontrak yang mengandung ketidakadilan. Mengikuti yurisprudensi di Belanda, maka kepatutan atau keadilan tersebut adalah kepatutan atau keadilan yang berkembang dalam masyarakat.184

Peranan hakim dapat digolongkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu:185

1. Bidang non litigasi, yaitu berbagai tindakan yang dilakukan hakim (dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri) menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian kredit bank. Misalnya, penyampaian somasi, penyitaan barang jaminan, aanmaning, sita eksekusi, pelelangan dan pengosongan, tindakan pencegahan seperti legalisasi dan waarmerking tergolong bidang ini. Tindakan hakim dalam hal ini dilakukan tanpa didahului persidangan.

2. Bidang litigasi, yaitu pemutusan sengketa melalui putusan hakim. Litigasi dalam bahasa inggris disebut sebagai “to bring a law suit againts to have

184

(29)

dispute settled”, yang artinya diuraikan sebagai upaya menagjukan gugatan terhadap seseorang untuk mendapatkan putusan.

Upaya hakim dibidang litigasi ini dapat juga disebut sebagai peranan hakim mencampuri isi perjanjian dalam arti membatalkan suatu perjanjian melalui gugatan perkara.186Hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenanangan kehakiman diberikan otonomi kebebasan, otonomi tersebut mencakup:187

1. Menafsirkan peraturan perundang-undangan.

2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum.

3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang-undangan.

4. Dibenarkan pula melakukan contra legem apabila ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum.

5. Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.

Tindakan hakim memeriksa dan memutus perkara adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum untuk mengakhiri suatu sengketa. Dalam melaksanakan hal tersebut, Pasal 5 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan Pasal 5 tersebut mengandung arti bahwa di dalam proses penegakan hukum itu, para hakim juga melakukan penemuan hukum. penemuan hukum itu sangat berguna untuk menyelesaikan sengketa meskipun ketentuan undang-undang yang

(30)

berkaitan dengan sengketa belum ada atau sudah ketinggalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.188

Berdasarkan kewenangan yang dimilki hakim tersebut, penemuan hukum yang dilakukan tidak sekedar menginterpretasi undang-undang atau hanya melaksanakan undang-undang saja, tetapi juga penemuan hukum karena hakim bukan hanya seagai corong undang-undang (la boche du droit).189Dan berdasarkan kewenangan tersebut pula maka hakim haruslah melakukan penemuan hukum bebas. Undang-undang memang harus dihormati, tetapi undang-undang selalu ketinggalan jaman, sehingga hakim tidak harus secara mutlak mematuhinya. Hakim dapat melihat undang-undang sebagai alat atau sarana untuk membantu menemukan hukum. Dalam hal ini hakim semata-mata tidak hanya berfungsi menafsirkan undang-undang, tetapi juga berfungsi sebagai pencipta hukum. 190

Sudikno Mertokusumo, memberikan pengertian terhadap “penegakan hukum”, itu sebagai pelaksanaan atau penegakan undang-undang.

Putusan-putusan hakim sering didasarkan pada asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kepatutan. Dalam satu kasus, putusan hakim lebih mendasarkan putusannnya pada asas kepastian hukum, tetapi pada kasus yang lain lebih mendasrkannya pada asas keadilan dan kepatutan.191Untuk memenuhi terlaksananya fungsi hukum memberi perlindungan hukum bagi pencari keadilan, Sudikno Mertokusumo,

188

Panggabean, Op.Cit., hlm. 87.

189

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1993), hlm. 4.

190

(31)

mengingatkan para penegak hukum agar dalam upaya penegakan hukum memerhatikan 3 unsur secara seimbang,yaitu:192

1. Unsur kepastian hukum, untuk melindungi yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang.

2. Unsur kemanfaatan, untuk memberi manfaat/kegunaan bagi masyarakat. 3. Unsur keadilan, untuk menerapkan hukum itu secara adil.

Peranan hakim dalam menangani sengketa perjanjian bakuadalah bertujuan untuk memberi perlindungan hukum bagi pihak yang lemah kedudukannya dalam hubungan kontraktual yang menerapkan perjanjian baku.

Verpubliekrechtelijking (upaya pempublikan) hukum dapat dipahami merupakan

suatu kebutuhan untuk memacu perkembangan ekonomi. Akan tetapi, hal itu pasti mengakibatkan terjadinya amputasi bagi hak menuntut seseorang, terlebih jika orang itu adalah pihak yang lemah kedudukan ekonominya.193

Masalah apakah hakim berkuasa mencampuri suatu perjanjian yang (maksudnya menilai atau membatalakan suatu perjanjian), Subekti mengemukakan pendapatnya bahwa untuk kepastian hukum (sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan Hukum Perjanjian bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian, Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata) seharusnya hakim dilarang mencampuri isi suatu perjanjian, namun Pasal 1338 ayat 1 tidak dapat berdiri sendiri dan dilepaskan dari ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang mengamanatkan tuntutan keadilan dan itikad baik dalam perjanjian.194 Apabila kedudukan ekonomi salah satu pihak jauh lebih lemah daripada kedudukan

192Ibid. 193Ibid

(32)

lawannya, sehingga nyatanya pihak yang lemah tadi berada dalam keadaan darurat, disinilah peran hakim sebagai pihak yang berwenang dalam menangani sengketa hukum dan menegakkan hukum untuk menggali nilai-nilai keadilan dalam perjanjian kontrak baku yang tidak seimbang yang mungkin mencederai hak seseorang yang pada akhirnya berimplikasi terhadap ketidakadilan bagi salah satu pihak dalam perjanjian.

Perjanjian kontrak baku apabila dikaji dari sifatnya yakni take it or leave it

contract kemudian dikaitkan dengan asas pacta sunt servanda dan asas kebebasan

berkontrak memang memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian, namun harus dipahami dan perlu diperhatikan bahwa asas kebebasa berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut hendaknya diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang.

(33)

dan kepatutan dalam masyarakat dan hal ini pun juga telah diamanatkan dalam UUPK yang mana mengatakan apabila dalam suatu perjanjian pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen maka dalam hal ini perjanjian tersebut batal demi hukum, yang kemudian harus dipahami lebih lanjut bahwa pembatalan tersebut dapat terjadi sepanjang konsumen yang dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan atau badan perlindungan sengketa konsumen sebab masalah perjanjian berada dalam ranah perdata atau privat sehingga harus ada gugatan terlebih dahulu maka permasalahan tersebut dapat ditangani.

B. Pertimbangan Hakim Mengenai Asas Keseimbangan dan Penyalahgunaan Keadaan pada Perjanjian Kontrak Baku

Sub-bab berikut akan memaparkan beberapa contoh kasus penggunaan perjanjian kontrak baku yang dibatalkan oleh hakim dalam berbagai bidang jasa beserta dengan pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim dalam memutus kasus yang bersangkutan. Adapun contoh kasus yang akan dipaparkan antara lain. 1. Penggunaan kontrak baku dalam bidang jasa perbankan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.24/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 09 September 2009.

Para pihak:

(34)

a. Bahwa PT.Permata Hijau Sawit (selanjutnya disebut Penggugat) telah menjadi nasabah dari CITIBANK, N.A Jakarta Branch (selanjutnya disebut Tergugat) sejak tahun 2001. Tergugat melalui karyawannya bernama Lince menawarkan lewat telpon suatu sructured product bernama Callable

Forward. Ibu lince tersebut menyatakan dan menjamin nilai rupiah tidak

akan melebihi 10.000 per dollar Amerika serikat, sehingga Penggugat tidak akan mengalami kerugian.

b. Bahwa pada tangggal 05 September 2008, Tergugat mengirimkan

confirmation letter kepada seorang karyawan Penggugat. Confirmation

Letter tersebut dianggap sebagai perjanjian antara Penggugat dan Tergugat

dalam melakukan transaksi callable forward dilakukan setiap minggu selama 52 minggu, yakni transaksi awal pada tanggal 04 September 2008 dan transaksi terakhir pada tanggal 27 Agustus 2009.

c. Bahwa dalam confirmation letter tersebut dinyatakan juga bahwa selama transaksi ke 1 s.d. ke 6 Penggugat dijamin (quaranted period) dalam arti bahwa Tergugat akan membeli dolar AS yang diserahkan Penggugat di harga Rp.9.800,00 dan pada transaksi ke-7 s.d ke-52 Tergugat akan membeli dolar AS milik Penggugat di harga Rp.9.600,00.

(35)

Rp.9800,00 sebanyak USD 100.000.000,00 Namun, setelah quaranteed

period (transaksi ke-7 s.d ke-52), maka jumlah dollar AS yang diserahkan

Penggugat kepada Tergugat bervariasi. Apabila nilai dolar AS di pasaran lebih tinggi dari Rp.9.600,00 (strike rate), Penggugat wajib menyerahkan USD sebanyak 2.000.000,00.

e. Bahwa selain itu apabila nilai 1 USD lebih rendah dari Rp.9.600, Tergugat mempunyai hak untuk membatalkan transaksi sepihak, namun sebaliknya apabila nilai USD lebih tinggi dan RP.9.600,00 (di atas strike rate), Penggugat tidak berhak membatalkan transaksi. Antara Penggugat dan Tergugat telah melakukan 8 kali transaksi, di mana total dollar AS yang telah diserahkan sebanyak 10.000.000,00 dan total rupiah yang telah diterima Penggugatsebesar Rp. 97.200.000.000,00.

f. Bahwa manajemen Penggugat baru mengetahui adanya transaksi dengan Tergugat pada tanggal 11 Oktober 2008, callable forward ini , yang dijawab oleh Tergugat melalui email pada tanggal 17 Oktober 2008 dengan menyatakan bahwa untuk pembatalan transaksi tersebut, Penggugat wajib membayar sebesar USD 9.000.000,00 hingga pada tanggal 17 November 2008 Tergugat kembali mengirim surat meminta pembayaran sebesar USD 23.192.274,66 akibat dari pembatalan dini (realy terminination)

(36)

Terkait keabsahan confirmation letter tertanggal 5 September 2008 dan transaksi callable forward berdasarkan confirmation letter tertanggal 5 September 2008 adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala konsekwensi hukumnya dengan menimbang alasan-alasan bahwa pada Pasal 1320 KUH Perdata menetukan syarat sahnya perjanjian sebagai berikut:

1. Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3. Adanya suatu hal tertentu.

4. Adanya sebab yang halal.

Berdasarkan keempat syarat tersebut, syarat no 1 dan 2 dikenal dengan syarat-syarat non essensialia atau syarat subjektif, dan syarat no 3 dan 4 dikenl dengan syarat essensialia atau syarat objektif yang mana apabila syarat-syarat non essensialia tidak terpenuhi maka resikonya perjanjian yang telah dibuat antara para pihak tersebut dapat dibatalkan, tetapi apabila syarat-syarat essensialia yang tidak terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat antara para pihak tersebut batal demi hukum.

Structured product berupa transaksi callable forward in casu menentukan

bahwa apabila nilai rupiah terus menerus berada dibawah strike rate maka pihak Tergugat dapat membatalkan atau tidak melanjutkan transaksi berikutnya secara sepihak tetapi disisi lain nasabah Penggugat tidak dibenarkan untuk membatalkan kontrak apabila nilai rupiah terus menerus melemah bahkan selalu berada diatas

(37)

perjanjian yang tidak seimbang karena resiko rugi terbesar akan selalu berada pada nasabah. Kemudian Penggugat meminta pada pihak Tergugat untuk meninjau ulang perjanjian tersebut ternyata pihak Tergugat tidak menanggapinya dan malah melakukan pengakhiran dini bahkan terus dan terus mengakumulasikan tuntutan pembayaran kepada nasabah bahkan pihak bank melakukan perjumpaan hutang tanpa melalui prosedur hukum dan menarik sendiri uang nasabah yang ada pada rekening pihak bank.

Hal ini jelas merugikan pihak nasabah. Menurut Drajad Hari Wibowo bahwa transaksi structured product dalam bentuk transaksi callable forward adalah merupakan transaksi derivatif yang bersifat spekulatif sehingga tidak dapat dianggap sebagai sebuah hedging yang normal apalagi jika dalam perjanjian tersebut memuat pula ketentuan yang menyatakan bank dapat membatalkan kontrak saat dalam posisi kalah harus menjual dollar nya 2 (dua) kali lipat jumlahnya, disamping bersifat spekulatif juga bersifat eksploitatif karena nilai akhir yang diharapkan sangat tidak seimbang antara bank dan nasabah karena bank mempunyai mekanisme exit saat mengalami kerugian sedangkan nasabah tidak dibolehkan.

(38)

Penggugat dimana Tergugat berada pada posisi yang superior dibanding dengan Penggugat, spekulatif dan eksploitatif yang dapat menyebabkan ketidakstabilan nilai rupiah yang mana perjanjian yang demikian walaupun pada saat dibuatnya perjanjian tersebut belum dilarang oleh Peraturan Bank Indonesia, secara yuridis telah tidak dibenarkan karena merupakan perjanjian yang mengandung kausa yang tidak halal sehingga lahirnya Peraturan Bank Indonesia No.10/28/PBI/2008 tanggal 12 November 2008 serta Surat Edaran Bank Indonesia No.10/42/DPD tanggal 27 November 2008 hanya mempertegas bahwa callable forward tersebut merupakan structured product yang terlarang dan tidak halal.

Menurut Henry Pandapotan Panggabean bahwa setiap perjanjian harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, tidak boleh ada yang terselubung dan tidak boleh ada penyalahgunaan keadaan.Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang terbentuk dari 2 (dua) unsur, yaitu kehendak dan penyertaan. Apabila suatu perjanjian yang tidak sesuai dengan tujuan awal, kurangnya informasi yang diberikan oleh bank bisa dijadikan alasan untuk pembatalan, begitu pula dengan transaksi callable forward yang dibuat oleh pihak bank dengan nasabah yang mana structured product didalamnya mengandung kausa yang tidak halal sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat objektif yang bersifat esensil maka dalam hal ini konsekuensi hukum yang harus diterima adalah bahwa perjanjian yang demikian adalah batal demi hukum.

(39)

namun dalam membuat kontrak haruslah tetap mengacu pada asas-asas dalam hukum perjanjian sebagai pedoman dalam hubungan kontraktual. Tindakan pihak Tergugat dalam kasus ini jelas melanggar asas keseimbangan yang berimplikasi pada terciderai nya hak pihak nasabah dan berujung pada kerugian nasabah karena nasabah berada dalam posisi yang berat sebelah. Hal ini jelas bertentangan dengan kepatutan sehingga dalam hal ini hakim dapat membatalkan perjanjian tersebut sebab perjanjian tersebut telah mengandung klausul yang berat sebelah yang merugikan konsumen yang pada akhirnya berimplikasi terhadap terlanggar nya asas keseimbangan.

2. Penggunaan kontrak baku dalam bidang jasa penerbangan

PutusanPengadilan Negeri Jakarta PusatNo.309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst tertanggal 26 Januari 2008.

Para pihak:

Penggugat: David M.L Tobing, SH.,Mkn. Tergugat: PT.Lion Mentari Air Lines Kasus Posisi:

(40)

b. Bahwa pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 2007 pukul 06.50 Penggugattelah tiba di Terminal 1 A Bandara Soekarno Hatta (Bandara) dan langsung mengurus pas naik (Boarding Pas) di meja konter Wings Air. Bahwa selanjutnya oleh petugas konter yang notabene adalah pegawai PT.Lion Mentari Air Lines (selanjutnya disebut Tergugat), Penggugat diberikan pas naik dan melakukan pembayaran airport tax sebesar Rp.30.000,00 untuk keberangkatan pesawat Wings Air pukul 08.35.

c. Bahwa pada saat mengurus pas naik tersebut Pengguga tmenanyakan kepada pegawai Tergugat apakah pesawat masih on schedule dan dijawab oleh pegawai Tergugat bahwa pesawat masih on schedule. Sambil menunggu waktu naik ke pesawat pada pukul 08.05 (tertera di pas naik) Penggugat pada pukul 07.10 WIB sarapan di JW Lounge, Terminal 1 A dan pada pukul 07.50 Penggugat keluar dari JW Lounge menuju pintu A 4 Keberangkatan dengan maksud akan segera naik ke pesawat.

(41)

terlambat kira-kira 90 menit karena masih berada di Yogya dan menyatakan permohonan maafnya. Ketika diminta pertanggungjawabannya kenapa hal ini bisa terjadi apalagi hingga 90 menit keterlambatan pegawai Tergugat tersebut tidak bisa memberikan keterangan selain mengatakan pesawat belum ada karena masih di Yogya. Pegawai Tergugat menganggap keterlambatan merupakan hal yang biasa dan harus diterima oleh calon penumpang. Karena sudah tidak dilayani dengan baik maka Penggugat mencari pesawat lain yang dapat membawa nya ke Surabaya dan pada akhirnya menggunakan Pesawat Garuda Indonesia yang berangkat pada pukul 10.00 WIB dari Bandara dan tiba di Bandara Juanda Surabaya pukul 11.10 WIB.

Adapun pertimbangan hakim terkait keseimbangan para pihak dan penyalahgunaan keadaan dalam kasus dan putusan yang telah dipaparkan diatas adalah sebagai berikut:

(42)

(bargaining position) yang kuat karena memiliki dan menguasai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen.

Pencantuman klausula baku yang menyatakan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan atau keterlambatan penyerahan bagasi adalah bertentangan dengan Undang-undang. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Pasal 42 huruf c Peraturan Pemerintah Rl. No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara dan merupakan ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pengangkut dalam menjalankan kegiatan angkutan udara, termasuk oleh Tergugatsecara tegas telah diatur bahwa perusahaan angkutan udara harus bertanggung jawab- atas keterlambatan penumpang / barang dan atau yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.

(43)

yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi adalah batal demi hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut membatalkan klausul baku pada tiket pesawat yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, yang mana hal ini dilarang oleh UUPK. Klausula eksonerasi pada perjanjian kontrak baku dalam lapangan hukum perjanjian telah lama dikenal sebagai klausula yang timpang dan tidak adil. Pencantuman klausula tersebut patut dicurigai sebagai upaya salah satu pihak untuk melepaskan risiko bisnis yang seharusnya menjadi bagian yang melekat pada setiap praktik bisnis yang dilakukan.Risiko adalah sesuatu yang pasti ada, dan karenanya para pihak dilarang untuk melepaskan tanggungjawab atas risiko, para pihak bahkan harus berusaha untuk meminimalisir risiko tersebut bersama-sama dengan menerapkan manajemen resiko yang baik dan reliable (andal).195

Manajemen resiko yang baik dapat diakomodir para pihak melalui hubungan pra kontraktual, dimana para pihak dapat bersama-sama menyampaikan kehendak dan kepentingan sehingga para pihak dapat mencapai kepentingan nya dalam posisi yang seimbang, namun dalam perjanjian kontrak baku yang notabene memiliki sifat take it or leave it maka hubungan pra-kontraktual dimungkinkan tidak dapat terjadi, maka seharusnya dalam hal ini pelaku usaha sebagai pihak yang membuat kontrak seyogyanya diharapkan mampu beritikad baik dalam

195

(44)

menentukan klausul-klausul perjanjian sehingga tidak memberatkan dan merugikan konsumen sebagai pihak yang menerima kontrak baku.

3. Penggunaan kontrak baku dalam bidang jasa perpakiran

Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.300/Pdt.G/2010/PN.TNG tanggal 27 Januari 2011.

Putusan Banding Pengadilan Tinggi Banten No.28/PDT.2011/PT.BTN tanggal 09 Juni 2011.

Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.2902K/Pdt/2011 tanggal 6 September 2012.

Para pihak:

Penggugat: Ir. Vovo Budiman

Tergugat:PT. Dinamika Mitra Pratama Kasus Posisi:

(45)

diareal perparkiran tersebut dalam keadaan terkunci . Selanjutnya Penggugat masuk ke ruko tempat usahanya dan karcis parkir , kunci mobil serta STNK atas mobil Penggugat dipegang dan dibawa oleh nya.

b. Bahwa pada keesokan harinya , tepatnya pada hari Selasa tanggal 09 September 2008 kira - kira pukul07.00 Wib, karyawan dari Penggugat mendapati mobilnya telah hilang dari area parkir yang dikelola oleh Tergugat tersebut. Sedangkan kunci mobil , karcis parkir serta STNK mobil masih dimiliki oleh Penggugat. Padahal , sesuai dengan ketentuan yang diterap kan oleh Tergugat, tanpa karcis dan atau STNK asli dari mobil tidak mungkin mobil pihak yang parkir dapat keluar dari area parkir .

c. Bahwa pada hari Selasa tanggal 09 September 2008, Penggugat dibuatkan berita acara (Surat Tanda Bukti Lapor No. 001/STBL- DMP/BSD/IX/2008) oleh karyawan Tergugat di Posko Tergugat atas hilangnya mobilnya di area perparkiran yang dikelola oleh Tergugat, Penggugat juga telah melaporkannya kepada Polsek Serpong dengan Surat Laporan Polisi No.Pol. LP/319/K/IX/2008/Sek Srp tertangga l 09 September 2008.

(46)

e. Bahwa Sdr. Endro memberi tahu kepada Penggugat bahwa akan diberikan uang sejumlah Rp.20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sebagai bentuk ganti kerugian dariTergugat. Namun, Penggugat menolak tawaran tersebut karena kerugian yang dialami oleh nya jauh melebihi nilai tawaran itu . f. Bahwa hingga bulan Januari 2009, keluhan Penggugat ternyata tidak pernah

ditanggapi dengan baik oleh Tergugat. Sekalipun ditanggapi, maka itu cenderung basa-basi sekedar untuk mengulur waktu dan memberikan janji - janji belaka hingga akhirnya Penggugatpun jenuh mempertanyakan sikap dari PT. Dinamika Mitra Pratama . Dan Ir. Vovo Budiman pun telah beberapa kali mengirimkan somasi kepada PT. Dinamika Mitra Pratama namun tetap tak ditanggapi dalam bentuk yang tegas seperti yang ia harapkan.

Adapun pertimbangan hakim terkait keseimbangan para pihak dan penyalahgunaan keadaan dalam kasus yang telah dipaparkan diatas adalah sebagai berikut:

(47)

merupakan perjanjian yang kesepakatannya bercacat hukum dan dilarang oleh UUPK yaitu pada Pasal 18 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/a tau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Demikian pula dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2002 yang membebaskan petugas parkir dari tuntutan dan tanggung jawab kehilangan kendaraan ditempat parkir , menurut hemat Majelis ketentuan tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang- undang Perlindungan Konsumen, sehingga sudah sepatutnya untuk dikesampingkan.

Putusan ini merupakan salah satu putusan yang mendapat banyak perhatian, terutama karena praktik pengelolaan parkir di kota besar yang banyak merugikan pemilik kendaraan sebagai konsumennya. 196Meski putusan ini bukan yang pertama kalinya, namun dengan keluarnya putusan ini semakin memperkuat payung hukum bagi kasus perpakiran. Memang, pada kenyataannya perjanjian perparkiran berbentuk perjanjian baku yang sifatnya take it or leave it, sehingga konsumen tidak memiliki opsi lain dalam butir-butir perjanjian tersebut. 197

Terlebih dengan adanya klausula eksonerasi yang melepaskan tanggung jawab pengelola parkir atas kehilangan kendaraan sangat dirugikan konsumen, karena dapat dipandang sebagai penyalahgunaan keadaan karena konsumen berada pada pihak yang tidak seimbang (inferior).198 Sikap pengelola parkir yang hanya ingin menerima bayaran jasa parkir tetapi tidak ingin bertanggungjawab atas kehilangan

196Ibid.,

hlm. 148.

(48)

kendaraan adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan prinsip keadilan.199

C. Perlindungan hukum bagi pihak yang lemah kedudukan nya dalam perjanjian kontrak baku

Bentuk perlindungan hukum yang diberikan bagi pihak yang lemah kedudukan nya dalam perjanjian kontrak baku yang menimbulkan kerugian bagi konsumen barang dan jasa karena lahirnya kondisi yang tidak seimbang dari para pihak dalam perjanjian adalah adanya pembatalan perjanjian yang bersangkutan oleh hakim. Sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian kontrak baku sepanjang ditandatangani oleh para pihak dan isi perjanjiannya disetujui,maka kontrak baku tersebut berlaku sebagai undang-undangdan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Namun jika kontrak baku tersebut isinya terdapat unsur ketidakseimbangan yang dalam penerimaannya juga mengandung unsur keterpaksaan, maka secara normatif perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke pengadilan

Berdasarkan kasus-kasus yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya, bahwa untuk melihat bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pihak pengguna jasa yang terkena efek dari penggunaan kontrak baku dapat dilihat pada putusan-putusan hakim terkait kasus-kasus tersebut. Putusan hakim dalam hal ini dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum yang nyata bagi pihak-pihak yang dirugikan sebagai akibat dari penerapan perjanjian kontrak baku yang dilakukan

(49)

oleh pihak pelaku usaha terhadap konsumen-konsumennya. Berikut akan dipaparkan berbagai perlindungan hukum yang diberikan pada pihak konsumen dalam kasus-kasus yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya.

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna jasa dalam bidang jasa perbankan

Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen sebagai pengguna jasa yang terkena efek penggunaan kontrak baku dalam kasus PT.Permata Hijau Sawit vs CITIBANK, N.A Jakarta Branch dapat dilihat melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.24/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 09 September 2009. Dalam amar putusan tersebut, bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak konsumen yaitu adanya pembatalan hakim terhadap

confirmation letter tertanggal 05 September 2008 yang dibuat oleh Tergugat yang

dimana hakim menyatakan confirmation letter tersebut adalah batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala konsekuensi hukumnya.

Selain itu hakim juga menyatakan batal demi hukum seluruh transaksi

callable forward diantara para pihak yang terjadi berdasarkan confirmation letter

tertanggal 05 September 2008. Dengan pembatalan confirmation letter dan transaksi yang ditimbulkan dari perjanjian maka segala konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut tidak akan mengikat Penggugat sehingga dengan pembatalan ini dapat meminimalisir kerugian yang dialami Penggugat. 2. Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna jasa dalam bidang

(50)

Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen sebagai pengguna jasa yang rugi akibat efek penggunaan kontrak baku dalam kasus antara David M.L. Tobing, SH. Mkn vs PT. Lion Mentari Air lines dapat dilihat melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.309/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Januari 2008. Dari amar putusan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk nyata perlindungan hukum bagi Penggugat sebagai konsumen pengguna jasa penerbangan Tergugat adalah adanya pembatalan hakim terhadap klausula baku yang terdapat pada tiket pesawat yang menyatakan “pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi “ yang dimana hakim menyatakan klausula tersebut adalah batal demi

hukum dan tidak mempunyai hukum mengikat. Dengan pembatalan klausula tersebut, maka segala akibat hukum dari perjanjian tersebut adalah tidak mengikat sehingga konsumen sebagai pengguna jasa yang dirugikan pada kasus ini dapat memperoleh hak nya sebagai konsumen.

3. Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna jasa dalam bidang jasa perparkiran

Referensi

Dokumen terkait

lokasi minimarket dengan pasar, di Kabupaten Banyumas terdapat 58 minimarket atau sekitar 55 % sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas sedangkan sisanya

Dari hasil penelitian, observasi dan data penelitian maka dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya adalah : 1) Berdasarkan hasil penilaian terhadap 14 unsur

Unsur Fluor yang merupakan unsur dengan keelektronegatifan terbesar di alam, hanya memiliki bilangan oksidasi 0 (F 2 ) dan -1 (fluorida).. Halogen dapat bereaksi dengan

Dalam hal ini, bagaimana strategi bauran pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing Lembaga Keuangan syariah, Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dalam dunia perbankan

menjadi negara-negara Arab independen. Hal itu bermula dari dialektika inteligensia 19 yang mendapat tantangan hebat dari penetrasi lempengan sejarah menarik yang menyedot

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penerapan model Discovery Learning mampu meningkatkan aktivitas belajar pada peserta

strategi adaptasi yang dilakukan adalah dengan cara meninggikan pondasi rumah dari bahan bangunan seperti batu, semen dengan perkiraan ketinggian banjir rob

© 2011 Bali Botanic Garden, Indonesian Institute of Sciences, Baturiti, Tabanan, Bali, Indonesia – 82191 available at http://www.krbali.lipi.go.id. Rhododendron