LAMPIRAN
Lampiran 3. Peletakkan Tanaman dalam Ruangan
Tanaman Dieffenbachia sp. Tanaman
Spathiphyllum sp. Tanaman
Aglaonema sp.
Kelas VC Kelas VB
Lampiran 4: Diagram Peletakkan Tanaman dan Titik Pengambilan Sampel dalam Ruangan
Keterangan:
: Pintu masuk
: Tanaman dalam pot
Lampiran 5. Komposisi Media yang Digunakan
MEDIA KOMPOSISI
NA (Nutrient Agar)
Peptic digest of animal tissue 5 g Sodium chloride 5 g
Beef extract 1 g Yeast extract 1.5 g Agar 15 g
Aquadest 1000 ml pH =7.4
PCA
(Plate Count Agar)
Casein enzymic hydrolysate 5 g Yeast extract 2.5 g
Dextrose 1 g
Peptic digest of animal tissue 5,0 g Pancreatic digest of casein 5,0 g Agar 15 g
Peptic digest of animal tissue 5,0 g Pancreatic digest of casein 5,0 g Kloramfenikol 0,05 g
Peptone Yeast extract 17 gram Agar 13,5 gram
Protease Pepton 3 gram Netral Red 0,03 gram Lactosa 10 gram
Lampiran 6. Uji Biokimia Bakteri Garam Positif
Uji katalase (+) Uji katalase (-)
Fermentasimanitol (+) Fermentasi manitol (-)
Koagulase (+) Koagulase (-)
Lampiran 7. Uji Biokimia Bakteri Garam Negatif
Uji SIM (+ motility) Uji SCA (+)
Uji SCA (+) Uji TSIA (-)
Lampiran 8. Diagram Alir Lengkap Penelitian
Isolasi Mikroorganisme bioaerosol
Ruangan tanpa tanaman Ruangan dengan tanaman
Isolasi Mikroorganisme bioaerosol
Dihitung jumlah mikroorganisme yang
tumbuh
Diidentifikasi jenis mikroorganisme yang
DAFTAR PUSTAKA
Antoniusman, M. 2014. Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Ruang dan Faktor Demografi Terhadap Kejadian Gejala Fisik SickBuildingSyndrome Pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013. [Skripsi]. Jakarta: UIN
Adita, B.R. dan Naniek, R.J. 2012. Tingkat Kemampuan Penyerapan Tanaman Hias dalam Menurunkan Polutan Karbon Monoksida. J. Ilmiah Tek. Ling. 4(1):57.
Ambarwati, S. (2000). Budi Daya Tanaman Hias. Jakarta: Azka Press. Hlm:35-36.
Bas, E. 2004. Indoor Air Quality: A Guide for Facility Managers. Lilburn, Georgia: The Fairmont Press,Inc.
Budiarto, K. 2007. Panduan Karakterisasi Tanaman Aglaonema. Jawa Barat: Balai Penelitian Tanaman Hias. Hlm 1.
Cross, F.B. 1990. Legal Responses to Indoor Air Pollution. New York: Qurom Book.
Chun, Chul, S., Yoo, M.H., Moon, Y.S., Shin, M.H., Son, K.C., Chung, M. and Stanley J.K. 2010. Effect of bacterial population from rhizosphere of various foliageplants on removal of indoor volatile organic compounds. Kor. J. Hort. Sci. Technol. 28(3):476-483. Korea.
EPA. 2004. Air Quality Criteria for Particulate Matter. Center for Environmental Research Information Office of Research and Development.
Fatemeh, K dan Hassan, S. 2013. Effects of different pot mixtures on spathiphyllum (Spathiphyllum wallisii regel) growth and development. J. Centr Europ Agri. 14(2):618-619.
Fitria, L., Ririn A.W., Ema H., dan Dewi S. 2008. Kualitas Udara dalam Ruang Perpustakaan Universitas ”X” Ditinjau dari Kualitas Biologi, Fisik, dan Kimiawi. J.Makara Kesehatan 12(2):77.
Gandjar, I., Samson, R.A., Tweel K.V.D., Vermeulen, Oetari, A. dan Santoso, I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Holt, J.G., Noel R.K., Sneath, T.S., James dan Stanley. 1994. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. 9th edition. The Williams and Wilkins Co. Baltimore.
Kamel, Imael dan Ahmed. 2012. Effect of natural surface secretes of some common ornamental plants leaves on pathogenic microorganisms. J. Life Sci. 6 (2) :1387-1390.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. Jakarta.
Kobayashi, K.D., Andrew, J.K., John, G., and James M.C. 2007. Using Houseplants to Clean Indoor Air. University of Hawai. Manoa: Cooperative Extension Service. Hlm:1-5.
Lisyastuti, E. 2010. Jumlah Koloni Mikroorganisme Udara dalam Ruang dan Hubungannya dengan Kejadian SickBuilding Syndrome (SBS) pada Pekerja Balai BesarTeknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPTdi Kawasan Puspiptek Serpong. [Tesis]. Depok:FKM UI.
Mandal, J. dan Helmut, B. 2011. Bioaerosol in Indoor Environmental-A ReviewwithSpecial Reference to Residential and Occupational Locations. J.The Open Envir.& Bio. Monitoring.(4): 87-89.
Moerdjoko. 2004. Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan dengan Keberadaan Mikroorganisme Udara. Dimensi Teknik Arsitektur32(1):89-90.
Pramayu, A.P. 2012. Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Ruang Kelas dengan
Gangguan ISPA Siswa SD Kecamatan Cipayung Kota Depok Tahun 2012. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Prasasti, C.I. dan Retno, A. 2013. Kualitas udara dalam ruang kelas ber-AC. Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. J. Kesehatan Ling. 7 (1):14.
Prasasti, C.I., Mukono dan Sudarmaji. 2005. Pengaruh kualitas udara dalam ruangan ber –AC terhadap gangguan kesehatan. J. Kesehatan Ling. 1(2): 161-163.
Rohman, A.F. 2011. Analisis Kualitas Udara Ruang (Indoor) Secara Mikologis; Studi Kasus di Pemukiman Kumuh Kecamatan Semampir Surabaya. [Skripsi]. Surabaya:Universitas Airlangga.
Sekulska, M.S., Piotraszewska, P., A. Szyszka, M., Nowicki and M. Filipiak. 2007. Microbiological quality of indoor air in university rooms. Polish J. Environ. Stud. 16 (4) : 623.
Setyaningsih, Y., Bayu, W., Yusniar, H., Cahya, T. P. dan Praba, G. 1998. Inventarisasi Mikroorganisme Udara dalam Ruangan dengan Sistem Pendingin Sentral. Semarang: Universitas Diponegoro. Hlm: 8.
Sinicina, N., Andris S. and Andris M. 2013. Impact of microclimate and indoor plants on air ion concentration.Env. Tech. Resources Proceedings of the 9th Int. Scientific and Practical Conference. 1(1):67.
Suharti, N. 2013. Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme Udara dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun Medan. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara:Universitas Negeri Medan.
WHO. 2009. WHO Guidelines For Indoor Air Quality : Dampness And Mould,. Europe: WHO Regional Office for Europe.
Widyati, E. 2013. Memahami interaksi tanaman – mikroba. Tekno HutanTanaman.6(1):13 – 20.
Wolverton, B.C. and John D. 1996. Interior plants : their influence on airbone microbes inside energy-efficient buildings. Jour. of the Mississippi academy of sciences. 41(2):100.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2015 sampai Oktober 2015.
Lokasi pengambilan sampel jamur dan bakteri bioaerosol dilakukan di dalam
beberapa ruangan kelas V Sekolah Dasar Negeri 060849 Jl. Karsa II Sei Agul
Medan Barat, Sumatera Utara. Penelitian ini dilanjutkan di Laboratorium
Kesehatan Daerah Medan (LABKESDA) Jl. William Iskandar Medan.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Deskripsi Tempat Pengambilan Sampel Bioaerosol
Lokasi pengambilan sampel bakteri dan jamur bioaerosol dilakukan pada
tiga ruangan kelasV Sekolah Dasar Negeri 060849 Medan. Ruangan kelas ini
masih menggunakan ventilasi alami dan memiliki luas 49 m2 (7 x 7 m), dengan
jumlah siswa rata-rata 41 siswa/kelas (Lampiran 1). Isolasi bakteri dan jamur
bioaerosol dilakukan pada satu titik yang telah ditentukan yaitu di bagian tengah
pada masing-masing ruangan.
3.2.2Pengukuran Parameter Kualitas Fisik Udara
Pengukuran terhadap kualitas fisik udara meliputi suhu, intensitas cahaya dan
kelembaban udara. Pengukuran intensitas cahaya diukur dengan Luxmeter, suhu
dan kelembaban udara diukur dengan alat Termohigrometer (Lampiran 2).
Pengukuran tersebut dilakukan pada setiap ruangan pada saat pengambilan sampel
sebelum dan setelah tanaman diletakkan, kemudian dibandingkan dengan baku
mutu menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
3.2.3 Peletakkan Tanaman dalam Ruangan
Tiga jenis tanaman (Aglaonema sp., Spathiphylum sp. dan Dieffenbachia
sp.) masing-masing disediakan dalam empat pot dengan diameter pot ±35cm,
setiap pot terdapat 20-25 helai daun, kemudian setiap tanaman diletakkan pada
masing-masing ruangan kelas yang berbeda. Tanaman Aglaonema sp. diletakkan
pada ruangan kelas A, tanaman Spathiphylum sp. diletakkan pada ruangan kelas
B, dan tanaman Dieffenbachia sp. diletakkan pada ruangan kelas C. Tanaman
diletakkan di setiap sudut ruangan pada masing-masing kelas (Lampiran 3).
Tanaman disiram setiap hari sebelum proses pembelajaran berlangsung.
3.2.4 Isolasi Mikroorganisme Bioaerosol
Prosedur isolasi mikroorganisme bioaerosol dilakukan berdasarkan metode
air sampling dengan menggunakan alat Mas Exampler dengan code Mas 100
diletakkan di atas meja pada bagian tengah ruangan (Lampiran 2). Cara
pengambilan sampel adalah dengan membuka tutup alat lalu meletakkan cawan
petri berisi media Plate Count Agar (PCA) dalam keadaan terbuka, lalu alat
ditutup dan alat dihidupkan, diatur waktu selama lima menit (Suharti, 2013).
Kemudian penutup alat dibuka dan diambil cawan petri yang berisi media PCA
tersebut lalu ditutup, disegel dengan wrapping plastick dan diberi label sesuai
lokasi. Dilakukan hal sama pada media Sabouraud Dextroxe Agar (SDA), Manitol
Salt Agar (MSA), dan Mac Conkey (MC) (komposisi media pada Lampiran 4)
secara bergantian pada masing-masing kelas, setelah itu cawan petri dibawa ke
laboratorium mikrobiologi LABKESDA Medan lalu diinkubasi pada suhu 370C di
dalam inkubator selama ± 1-2 hari. Sampel diambil pada tiga ruang kelas secara
bergantian pada saat sebelum dan sesudah diletakkannya tanaman Aglaonema sp.,
Dieffenbachia sp., dan Spathiphyllum sp.
Pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, sebelum
tanaman diletakkan dilakukan setiap seminggu sekali pada hari ke-0 (ulangan 1),
hari ke-7 (ulangan 2) dan hari ke-14 (ulangan 3) sedangkan pengambilan sampel
setelah tanaman diletakkan yakni pada hari ke-21 (ulangan 1), hari ke-28 (ulangan
2) dan hari ke-35 (ulangan 3). Bakteri dan jamur yang tumbuh di hitung jumlah
sebelum dan sesudah diletakkannya tanaman hias. Koloni yang tumbuh diamati
dan diseleksi beberapa koloni yang paling dominan untuk diidentifikasi.
3.2.5 Identifikasi Mikroorganisme Bioaerosol
Identifikasi bakteri dilakukan dengancara mengamati morfologi koloni
yang terpisah dari media Manitol Salt Agar (MSA) untuk mengidentifikasi bakteri
Gram positif dan media Mac Conkey (MC) untuk mengidentifikasi bakteri Gram
negatif, kemudian setiap koloni dimurnikan pada media Nutrien Agar (NA).
Setiap koloni yang didapat diidentifikasi dengan pewarnaan Gram serta uji
biokimia bakteri Gram positif (uji katalase, manitol, dan koagulase) (Lampiran 5)
dan bakteri Gram negatif (uji oksidase, SIM, SCA, dan TSIA) (Lampiran 6)
dengan menggunakan buku Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt
et al., 1994).
Identifikasi jamur dilakukan dengan menggunakan pewarnaan jamur
Lactophenol Cotton Blue (LPCB) kemudian diidentifikasi jamur secara
mikroskopis dengan melihat miselium, kantung spora, dan tipe hifa dan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jumlah Populasi Koloni Bakteri dan Jamur Aerosol dalam Ruangan Kelas
Penelitian dilakukan di ruangan kelas Sekolah Dasar, tepatnya yaitu pada tiga
ruangan kelas V SDN 060849. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan jumlah koloni bakteri saat sebelum diletakkan
tanaman dan sesudah diletakkan tanaman dalam ruangan kelas. Sebelum
diletakkannya tanaman didapatkan jumlah rata-rata koloni bakteri aerosol pada
ruangan kelas A 321 cfu/m3, pada ruangan kelas B 327 cfu/m3, sedangkan pada
ruangan kelas C 380 cfu/m3. Setelah diletakkannya tanaman pada masing-masing
kelas, didapatkan jumlah rata-rata koloni bakteri aerosol pada ruangan kelas A
(Aglaonema sp.) 288 cfu/m3, pada ruangan kelas B (Spathiphylum sp.) 208
cfu/m3, dan pada ruangan kelas C (Dieffenbachia sp.) 169 cfu/m3. Hal tersebut
menunjukkan adanya penurunan jumlah koloni bakteri aerosol setelah diletakkan
tanaman dalam ruangan kelas, terutama pada ruangan kelas C dengan peletakkan
tanaman Dieffenbachia sp. yakni mencapai 55,5% (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah koloni bakteri aerosol sebelum dan setelah tanaman diletakan
Jika dilihat dari hasil rata-rata jumlah koloni bakteri selama tiga minggu
setelah diletakkan tanaman, tanaman Dieffenbachia sp. memiliki potensi tertinggi
dalam penurunan jumlah bakteri dalam ruangan kelas dibandingkan dengan
tanaman Aglaonema sp. dan Spathiphylum sp. Hal ini dimungkinkan karena Kelas
Jumlah koloni bakteri aerosol (cfu/m3)
Penurunan koloni bakteri (%) Sebelum diletakkan
tanaman Setelah diletakkan tanaman
adanya perbedaan ukuran daun pada ketiga tanaman tersebut, dimana tanaman
Dieffenbachia sp. yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ukuran daun
yang lebih lebar dibanding kedua tanaman lainnya sehingga memungkinkan
banyak bioaerosol yang menempel pada permukaan daun.
Widyati (2013) menyatakan bahwa jenis tanaman diduga juga
mempengaruhi daya dukung daun terhadap mikroba (microbial carrying
capacity). Hasil isolasi mikroba dari tumbuhan berdaun lebar memiliki potensi
jauh lebih tinggi.
Namun, jika dilihat dari minggu ke-1 hingga minggu ke-3 setelah
diletakkan tanaman, tanaman Aglaonema sp. memiliki kemampuan untuk
menurunkan jumlah koloni bakteri aerosol hingga minggu ke-3, sedangkan
dengan perlakuan tanaman Dieffenbachia sp. dan Spathiphylum sp. pada minggu
ke-1 mengalami penurunan jumlah koloni bakteri aerosol tetapi mengalami
peningkatan jumlah koloni bakteri aerosol hingga minggu ke-3. Hal ini
menunjukkan bahwa tanaman Aglaonema sp. paling efektif dalam menurunkan
jumlah koloni bakteri aerosol dari minggu ke minggu. Kemampuan tanaman
Aglaonema sp. ini kemungkinan didukung oleh adanya kandungan senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan pada permukaan daun. Tanaman ini juga telah
diteliti oleh Kamel et al. (2012), dimana tanaman Aglaonema yang digunakan
kemungkinan mengeksresikan suatu senyawa yang mampu menurunkan jumlah
koloni bakteri E. coli, P. aeruginosa dan S. aureus yang diinokulasikan pada
permukaan daun mencapai ±30%. Air bilasan dari daun tanaman ini juga
menunjukan adanya aktivitas daya hambat pada bakteri E. coli dan S. aureus
sebesar 15mm.
Jumlah koloni jamur aerosol sebelum diletakkannya tanaman didapatkan
jumlah rata-rata koloni jamur aerosol pada ruangan kelas A 4 cfu/m3, pada
ruangan kelas B4 cfu/m3, sedangkan pada ruangan kelas C 3 cfu/m3. Setelah
diletakkannya tanaman pada masing-masing kelas, didapatkan jumlah rata-rata
jamur aerosol pada ruangan kelas A (Aglaonema sp.) 3 cfu/m3, pada ruangan kelas
B (Spathiphylum sp.) 3 cfu/m3, dan pada ruangan kelas C (Dieffenbachia sp.) 3
Tabel 2. Jumlah koloni jamuraerosol sebelum dan setelah tanaman diletakan
Kelas
Jumlah koloni jamur aerosol (cfu/m3) Sebelum diletakkan
tanaman Setelah diletakkan tanaman
Minggu ke-
Jenis tanaman Minggu ke-
1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata
A 3 4 5 4 Aglaonema sp. 4 3 2 3
B 5 3 4 4 Spathiphylum sp. 3 4 3 3
C 2 4 4 3 Dieffenbachia sp. 3 3 4 3
Jumlah koloni jamur aerosol yang didapatkan sebelum dan setelah
diletakan tanaman tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah yang kontras. Hal
ini disebabkan karena jumlah koloni jamur aerosol yang ditemukan lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri aerosol dalam ruangan. Hasil
penelitian Sekulska et al. (2007) juga memperoleh jumlah koloni bakteri aerosol
yang lebih tinggi dibanding jumlah koloni jamur aerosol dalam ruangan belajar
suatu universitas, dimana jumlah koloni bakteri aerosol yang ditemukan mencapai
3300 cfu/m3 sedangkan jumlah koloni jamur aerosol mencapai 1100 cfu/m3.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jumlah koloni
bioaerosol dalam ketiga ruang kelas tersebut masih di bawah ambang batas
standar jika dibandingkan dengan keputusan Menteri Kesehatan RI nomor :
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran
dan Industri. Kualitas udara dalam ruang dikatakan baik apabila angka kuman
dalam ruang kurang dari 700 koloni/m3. Meskipun dari jumlah koloni yang ditemukan masih berada di bawah ambang batas, akan tetapi keberadaan jenis bakteri dan jamur di udara ini perlu diwaspadai (Antoniusman, 2014), karena kualitas udara yang buruk dalam ruangan sering menimbulkan keluhan gangguan
kesehatan pada penghuninya (Moerdjoko, 2004).
4.2 Pengukuran Faktor Fisik dalam Ruangan Kelas
Keberadaan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
penting, diantaranya suhu, kelembaban, kepadatan hunian, ventilasi dan lain-lain
(Yanti, 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk
pengukuran suhu dan kelembaban sebelum diletakkan tanaman pada Minggu ke-1
pada Minggu ke-3 terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban (Tabel 3).
Perbedaan suhu dan kelembaban tersebut dapat saja terjadi karena perubahan suhu
harian pada iklim lingkungan.
Tabel 3. Faktor fisik ruangan kelas V SD Negeri 060849 selama tiga minggu sebelum tanaman diletakkan
Minggu ke- Kelas Jumlah
Pengukuran suhu dan kelembaban setelah diletakkan tanaman pada
Minggu ke-1, Minggu ke-2 dan Minggu ke-3 tidak menunjukkan perbedaan yang
kontras, namun pada Minggu ke-3 terdapat sedikit perbedaan yaitu terjadi
peningkatan kelembaban dan penurunan suhu (Tabel 4).
Tabel 4. Faktor fisik ruangan kelas V SD Negeri 060849 selama tiga minggu setelah tanaman diletakkan
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata suhu dalam ruangan tersebut
masih berada pada ambang batas yang telah ditentukan, sedangkan kelembaban
dalam ruangan tersebut berada di atas ambang batas yang telah ditentukan yaitu
lebih dari 60%. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1077/Menkes/Per/V/2011, suhu udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam ruangan adalah 18-300C dan kelembaban udara yang dipersyaratkan adalah
40-60%, sedangkan untuk intensitas cahaya adalah minimal 60 Lux. Hal ini
menurut Prasasti et al. (2005) yang berarti udara dalam ruangan tersebut
berpotensi sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Mukono
(2000), kelembapan udara ruang merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
suhu ruangan sehingga jika kelembapan tinggi suhu udara akan turun, sebaliknya
jika kelembapan rendah, suhu udara naik. Hal ini dapat memengaruhi kesehatan
penghuni ruangan sehingga perlu diperhatikan.
Hartoyo (2009) juga menyatakan bahwa pertumbuhan bakteri dan jamur
juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pencahayaan. Semakin
tingginya jumlah pencahayaan dalam ruangan juga akan meningkatkan jumlah
suhu dan begitu sebaliknya. Berdasarkan hasil laporan penelitian Wolverton and
Jhon (1996), tanaman yang diletakkan dalam ruangan dapat mempengaruhi suhu
dan kelembaban dalam ruangan tersebut, dimana sebelum diletakkannya tanaman
kelembaban udara dalam ruangan mencapai 56,54% sedangkan setelah diletakkan
tanaman menjadi 60,75% dan mampu menurunkan jumlah koloni mikroba aerosol
hingga 50 %.
4.3 Identifikasi Bioaerosol dari Ruangan Kelas SD Negeri 060849
Untuk mendapatkan jenis bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif, pada saat
pengambilan sampel digunakan media Manitol Salt Agar (MSA) untuk
menentukan bakteri Gram positif dan media Mac Conkey (MC) untuk menentukan
bakteri Gram negatif. Identifikasi lebih lanjut masing-masing koloni bakteri yang
berbeda dibiakmurnikan pada media Nutrient Agar (NA) dan dilakukan
pewarnaan bakteri.
Hasil dari pewarnaan dan uji biokimia bakteri Gram positif pada media
etal., 1994 ) didapatkan lima jenis koloni bakteri yang berbeda dari golongan
Gram positif, dua diantaranya terduga genus Streptococcus dan Bacillus
sedangkan tiga koloni bakteri terduga genus Staphylococcus (Tabel 5).
Tabel 5. Pewarnaan dan uji biokimia bakteri Gram (+) pada media Manitol Salt Agar (MSA)
Spora Mikroskopis Bentuk sel Genus terduga
Sp 1 - + + - bulat,
Keterangan: Kat.= Katalase Koa. = Koagulase
Gram negatif. Koloni bakteri tersebut terduga genus Shigella dan terduga empat
genus Pseudomonas. Berdasarkan hasil uji oksidasi, didapatkan empat koloni
bakteri dengan uji oksidasi positif yakni Sp1, Sp2, Sp3, dan Sp4 yang diduga
genus Pseudomonas sp. Sedangkan satu koloni lagi yakni Sp5 dengan uji oksidasi
negatif diduga termasuk genus Shigella sp. (Tabel 6).
Bakteri terduga tersebut merupakan jenis bakteri yang umum ditemukan
di udara dalam ruangan kelas, kemungkinan juga dapat ditemukan pada ruangan
lainnya. Hasil penelitian Mandal dan Helmut (2011) juga menunjukkan adanya
beberapa persamaan genus bakteri udara yang diambil dari berbagai lokasi seperti
ruang rumah sakit, museum, perkantoran, apartemen/perumahan, sekolah dan
universitas. Pada ruang kelas sekolah, didapatkan genus yang dominan seperti
Bacillus, Corynobacterium, Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, dan
Pseudomonas.
Mikroorganisme yang ditemukan dari ruangan kelas tersebut seperti
Staphylococcus, Streptococcus, Shigella, Bacillus dan Pseudomonas pada
umumnya tidak bersifat pathogen, namun dalam jumlah dan kondisi tertentu
dapat menyebabkan alergi pernafasan seperti infeksi pernafasan dan asma oleh
orang-orang yang sensitif. Setiap mikroorganisme dapat menulari hanya pada
keadaan tertentu (Pudjiastuti dkk, 1998).
Dalam jumlah tertentu, bakteri dapat menyebabkan infeksi atau penyakit
misalnya Staphylococcus aureus dapat menyebabkan banyak penyakit infeksi
bernanah, infeksi pada folikel rambut dan kelenjar keringat, bisul, infeksi pada
luka dan pneumonia, Pseudomonas aeroginosa dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernafasan bagian bawah, saluran kemih, mata dan lain-lain. P.
aeroginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahanannya
abnormal, misalnya selaput mukosa, kulit telinga dan menimbulkan penyakit
sistemik. Streptococcus pneumoniae merupakan penghuni normal pada saluran
pernafasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis,
bronchitis, meningitis, dan proses infeksi lainnya (Antoniusman, 2014).
4.4 Karakteristik Jamur
Hasil pengambilan sampel didapat empat koloni jamur yang berbeda dan
dominan. Masing-masing koloni yang didapat yaitu tergolong ke dalam genus
Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Dua isolat yang berbeda, yakni Sp1 dan
Sp4 ditemukan dari golongan genus yang sama yaitu Aspergillus. Sedangkan
beberapa persamaan genus jamur pada ruang kelas sekolah seperti Aspergillus,
Penicillium, Cladosporium, Rhizopus, dan Alternaria. Hasil penelitian Rohman
(2011) juga menunjukkan adanya beberapa golongan genus yang sama pada
pengambilan sampel udara di perumahan kumuh yaitu Aspergillus, Penicillium,
dan Rhizopus.
Tabel 7. Karakteristik mikroskopis jamur aerosol dari ruangan kelas SD Negeri
060849 Medan
Isolasi Warna Koloni
Hifa Mikroskopis Genus terduga
Sp 1 Hitam Septet Aspergillus sp.
Sp 2 Putih Septet Penicillium sp.
Sp 3 Putih kekuningan
Septet Neurospora sp.
Sp 4 Hijau
keputih-putihan
Septet Aspergillus sp.
Keberadaan fungi di udara menunjukkan bahwa fungi dapat ditemukan di
semua tempat dimana terdapat bahan organik. Jamur dapat tumbuh pada
bahan-bahan seperti kulit, gabus, rambut, lilin, tinta, bahkan pada bahan-bahan-bahan-bahan plastik
(Merlin, 2012). Kebanyakan fungi menyukai lingkungan yang lembab dengan
optimal bagi kebanyakan fungi adalah 20-350C). Keberadaannya dalam ruangan
kelas didukung pula oleh hasil pengukuran faktor fisik dalam ruangan kelas SD
Negeri 060849 (Tabel 3 dan Tabel 4) dengan tingkat kelembaban rata-rata di atas
60% dan suhu 28-330C.
Berdasarkan hasil penelitian Fitria et al. (2008), salah satu jenis kapang
patogen yang sering mencemari udara di dalam ruangan adalah Aspergillus.
Kapang tersebut dapat menyebabkan pulmonary aspergillosis karena menghirup
udara yang terkontaminasi kapang Aspergillus. Aspergillus merupakan
mikroorganisme multisel berfilamen, bersifat heterotrofik, dan dapat ditemukan
pada media organik tidak hidup.
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa
kepadatan siswa mencapai 40 hingga 43 siswa/kelas dengan luas kelas ±49m2,
sehingga dapat memungkinkan keberadaan mikroorganisme yang salah satunya
adalah jamur di dalam kelas.Selain itu, aktivitas seperti berbicara, batuk dan
berjalan yang dilakukan oleh siswa maupun guru pada umumnya adalah sebagian
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ialah:
a. Jumlah populasi koloni bioaerosol yang ditemukan dalam ruangan kelas V
Sekolah Dasar Negeri 060849 sebelum tanaman diletakan masih sesuai
dengan baku mutu Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 Tahun 2002
yaitu jumlah koloni bakteri ±343 cfu/m3 sedangkan koloni jamur ±4
cfu/m3.
b. Tanaman Aglaonema sp. memiliki kemampuan paling efektif
dibandingkan tanaman Dieffenbachia sp. dan Spathiphyllum sp. dalam
menurunkan jumlah bakteri aerosol dari minggu ke minggu sedangkan
untuk koloni jamur tidak menunjukkan adanya penurunan yang kontras.
c. Jenis bakteri dan jamur yang ditemukan yaitu untuk jenis bakteri Gram
positif ditemukan genus terduga seperti Streptococcus, Staphylococcus,
dan Bacillus, untuk bakteri Gram negatif ditemukan genus terduga
Pseudomonas dan Shigella, sedangkan untuk jamur ditemukan genus
terduga Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Beberapa spesies dari
genus tertuga yang ditemukan berpotensi patogen.
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah:
a. Perlunya dilakukan penelitian terhadap bagian tanaman yang mampu
mengurangi jumlah bakteri dan jamur di udara.
b. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini cocok digunakan sebagai
tanaman hias dalam ruangan untuk mengatasi polusi bioaerosol dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udara dalam Ruangan
Udara merupakan salah satu komponen lingkungan yang paling utama untuk
mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak
mungkin dapat berlangsung tanpa oksigen yang berasal dari udara. Selain oksigen
terdapat zat-zat lain yang terkandung di udara, yaitu karbon monoksida, karbon
dioksida, formaldehid, jamur, virus,dan sebagainya. Zat-zat tersebut jika masih
berada dalam batas-batas tertentu masih dapat dinetralisasi, tetapi jika sudah
melampaui ambang batas maka proses netralisasi akan terganggu. Peningkatan
konsentrasi zat-zatdi dalam udara tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas
manusia (Fitria etal., 2008).
Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas makhluk hidup atau sisa
yang berasal dari makhluk hidup. Makhluk hidup terutama adalah jamur dan
bakteri. Penyebaran bakteri, jamur, dan virus pada umumnya terjadi melalui
sistem ventilasi. Sumber bioaerosol ada 2 yakni yang berasal dari luar ruangan
dan dari perkembangbiakan dalam ruangan atau dari manusia, terutama bila
kondisi terlalu berdesakan (crowded) (Prasasti etal., 2005).
Udara dalam ruangan (indoor air) menurut NHMRC (National Health
Medical Research Council of Australian) merupakan udara dalam ruang gedung
(rumah, sekolah, restoran, hotel, rumah sakit, perkantoran) yang ditempati oleh
sekelompok orang dengan tingkat kesehatan yang berbeda-beda selama minimal
satu jam. EPA (Environmental Protection Agency of America) menempatkan
polusi dalam ruangan pada urutan ke tiga dari faktor lingkungan yang beresiko
terhadap kesehatan manusia. Selain itu, kualitas udara dalam ruangan 2-5 kali
lebih buruk dari pada udara di luar ruangan (Lisyastuti, 2010).
Menurut Cross (1990), manusia yang berada di ruangan dalam jangka
sebagai pengatur suhu mengakibatkan udara dalam ruangan tidak mengalami
pertukaran udara segar sehingga berpotensi meningkatkan jumlah kontaminasi
polutan. Hal ini memengaruhi kesehatan siswa karena semakin sering terpapar
AC, risiko mengalami gangguan kesehatan akibat buruknya kualitas udara dalam
ruangan akan semakin besar.
2.2 Masalah Kualitas Udara dalam Ruangan
Menurut Fitria et al. (2008), masalah kualitas udara dalam ruang salah satunya
disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi. Walaupun hal tersebut bukan
merupakan penyebab yang umum dari masalah di perkantoran, kontaminasi
mikrobiologi dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius, yang dikenal
dengan hypersensitivity pneumonitis. Gangguan kesehatan tersebut menyerang
saluran pernafasan, dapat disebabkan oleh bakteri, kapang, protozoa dan
produk-produk mikroba lainnya yang mungkin berasal dari sistem ventilasi. Gejala fisik
yang biasa dijumpai akibat kontaminan biologis adalah batuk, dada sesak, demam,
menggigil, nyeri otot dan reaksi alergi seperti iritasi membran mukosa dan
kongesti saluran nafas atas. Salah satu bakteri kontaminan udara dalam ruang,
Legionella, menyebabkan Legionnaire’s Disease dan Pontiac Fever.
Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya tidak berbahaya
bagi kesehatan manusia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi potensi
mikroorganisme menimbulkan penyakit yaitu tempat masuknya mikroorganisme,
jumlahnya cukup banyak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan
kemampuan berpindah kepada host yang baru. Potensi mikroorganisme tersebut
dalam menimbulkan penyakit masih tergantung pada patogenitas mikroba dan
daya tahan tubuh host (Hartoyo, 2009).
Menurut keputusan Menteri Kesehatan RI nomor :
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran
dan Industri, kualitas udara dalam ruang dikatakan baik apabila angka kuman
dalam ruang kurang dari 700 koloni/m3 udara dan bebas kuman patogen.
Menurut Prasasti et al.(2005), dampak pencemaran udara dalam ruangan
terhadap tubuh terutama pada daerah tubuh atau organ tubuh yang kontak
1. Iritasi selaput lendir: Iritasi mata, mata pedih, mata merah, mata berair
2. Iritasi hidung, bersin, gatal: Iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, batuk
kering
3. Gangguan neurotoksik: Sakit kepala, lemah/capai, mudah tersinggung, sulit
berkonsentrasi
4. Gangguan paru dan pernafasan: Batuk, nafas berbunyi, sesak nafas, rasa berat
di dada
5. Gangguan kulit: Kulit kering, kulit gatal
6. Gangguan saluran cerna: Diare/mencret
7. Lain-lain: Gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dan sulit belajar
Kondisi fisik lingkungan bangunan suatu sekolah juga dapat memengaruhi
kesehatan siswa di dalamnya. Kondisi bangunan yang tidak baik dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi udara di dalam gedung. Gejala ini dapat berupa
batuk-batuk kering, sakit kepala, iritasi dimata, hidung dan tenggorokan, kulit
kering dan gatal, badan lemah, dan lain-lain. Kualitas udara ruangan yang buruk
menyebabkan gangguan kesehatan yang cukup serius bahkan dapat juga
menyebabkan kematian (Bas, 2004).
Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan prasaran
sekolah, ditetapkan sebesar ≥ 2 m 2/siswa dengan luas ruang kelas sekolah dasar
yaitu 56 m2 dengan kapasitas maksimum 28 orang atau sekitar 2m2/orang. Jika
dirasakan dalam suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak,
penyebab kondisi ini dapat dimungkinkan karena luas ruangan yang tidak
mencukupi untuk menampung murid-murid. Terlalu padatnya kondisi ruang kelas
dapat menghalangi proses pertukaran udara bersih, sehingga kebutuhan udara
bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012).
2.3 Kualitas Fisik Udara dalam Ruangan
Menurut Hartoyo (2009), penilaian suhu udara ruangan umumnya dibedakan
mengandung uap air. Pembacaannya dilakukan dengan termometer sensor kering
dan sensor basah. Kisaran suhu kering 22º-25ºC. Bagi pekerja dengan beban kerja
ringan kisaran suhu dapat lebih luas yaitu 20º-25ºC.
Kelembaban ruangan yang dianggap nyaman adalah 40-60%. Bila
kelembaban ruangan di atas 60% akan menyebabkan berkembangbiaknya
organisme pathogen maupun organisme yang bersifat alergen. Namun bila
kelembaban ruangan di bawah 40% (misalnya 20-30%) dapat menimbulkan
ketidaknyamanan, iritasi mata, dan kekeringan pada membran mukosa (misal
tenggorokan) (Fitria et al., 2008).
2.4Mengatasi Polusi Udara dalam Ruangan
Pengurangan konsentrasi sejumlah gas/partikel dan mikroorganisme di dalam
ruangan dapat juga dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di
dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali menjadi upaya yang sangat
efektif untuk mengurangi polusi di dalam ruangan (Hartoyo, 2009). Penggunaan
Air Conditioner (AC) sebagai alternatif untuk mengganti ventilasi alami dapat
meningkatkan kenyamanan dan produktivitas kerja, namun AC yang jarang
dibersihkan akan menjadi tempat nyaman bagi mikroorganisme untuk berbiak.
Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas udara dalam ruangan menurun dan dapat
menimbulkan berbagai gangguan kesehatan (Prasasti et al., 2005).
Menurut Sinicina (2013), senyawa organik dari tanaman mengionisasi
oksigen di udara, sehingga meningkatkan aktivitas biologisnya. Senyawa organik
tersebut mampu meningkatkan efisiensi dan keuntungan dari energi sel serta
meningkatkan endapan partikel debu, mengurangi indeks elektrik dari polusi
udara dan menetralkan mikroorganisme di udara.
Tanaman menyerap senyawa organik yang mudah menguap dari udara
ke dalam daun dan kemudian mentranslokasikannya ke zona akar, kemudian
dihancurkan oleh mikroba yang ada di dalam akar. Mikroorganisme dalam tanah
dapat menggunakan sejumlah polutan sebagai sumber makanan. Beberapa bahan
kimia organik diserap oleh tanaman dari udara dihancurkan oleh proses biologis
tanaman sendiri. Akar tanaman mengambil larutan air di media perakaran.
adalah cara lain dimana udara dapat dimurnikan (Kobayashiet al., 2007). Berbagai
jenis tumbuhan menghilangkan polusi udara dalam ruangan dengan penyerapan
stomata, adsorpsi daun, permukaan tanah dan mikroorganisme tanah (Chun et al.,
2010).
Menurut Wolverton and John (1996), sejak tahun 1980 telah banyak
penelitian yang dilakukan terhadap kemampuan dari tanaman dalam ruangan
untuk mengurangi Volatile Organic Compouns (VOC), zat yang mudah menguap
dipancarkan oleh tanaman hias dapat menjadi faktor penting dalam
mengendalikan jumlah dan jenis mikroba di udara.
2.5 Tanaman Hias dalam Ruangan
Tanaman menambah kenyamanan estetika dan biologis untuk interior ruangan.
Ketika tanaman ditambahkan ke dalam ruangan, kelembaban relatif dapat
meningkat dan akumulasi partikel (debu) dapat diturunkan. Meningkatkan
kelembaban relatif memiliki efek relaksasi pada orang, dan membantu menghapus
debu dengan mengurangi partikel yang berpotensi sebagai penyebab alergi
(Kobayashi et al., 2007).
Ada beberapa jenis tanaman dalam ruangan, diantaranya yaitu Aglaonema
sp., Dieffenbachia sp., dan Spathiphyllum sp. yang ketiganya merupakan satu
family yaitu Araceae. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kobayashi et
al. (2007), Wolverton and John (1996) dan Kamel et al. (2012), membuktikan
bahwa tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk mengurangi polusi udara
dalam ruangan. Dalam penelitian Kamel et al. (2012), menunjukkan bahwa
tanaman Aglaonema commutatum dapat menurunkan jumlah pada bakteri E. coli,
P. aeruginosa dan S. aureus dengan menginkubasi bakteri pada permukaan daun
tanaman.
2.5.1 Tanaman Aglaonema sp.
Aglaonema diyakini berasal dari daratan Asia, menyebar dari wilayah China
bagian selatan, Thailand, Birma, Indonesia hingga Filipina. Habitat asli tanaman
Gambar 1: Tanaman Aglaonema sp.
Aglaonema termasuk tanaman monokotil berakar serabut yang berbentuk
silinder, berwarna putih hingga putih kekuningan dan sukulen. Batang tanaman
aglaonema berbentuk silinder, tidak berkayu, berwarna putih, hijau atau merah,
dan berbuku. Setiap buku pada batang mempunyai satu mata tunas yang
berpotensi untuk tumbuh menjadi percabangan baru bila kondisi memungkinkan.
Bentuk daun bervariasi dari oval hingga lanset (lanceolate) dengan susunan tulang
daun menyirip. Daun pada umumnya berwarna hijau dengan variasi gradasi
warna, variasi berupa bulatan (marbled), dan perforasi pada helaian daun. Tangkai
daun berpelepah dan saling menutupi batang, hingga terkesan tanaman aglaonema
tidak mempunyai batang yang jelas (Gambar 1) (Budiarto,2007).
2.5.2 Tanaman Dieffenbachia sp.
Tanaman Dieffenbachia berasal dari Amerika Selatan. Di Indonesia
tanaman ini (Gambar 2) juga dapat tumbuh. Biasanya orang Jakarta menyebut
tanaman ini dengan istilah Balanceng. Pemeliharaan tanaman ini sangatlah
mudah, namun harus hati-hati terhadap getahnya. Dieffenbachia sangat menyukai
daerah yang teduh, semi basah, dan tidak terkena sinar matahari (Ambarwati,
2000). Selain pemeliharaannya yang mudah, tanaman Dieffenbachia (Gambar 2)
Gambar 2: Tanaman Dieffenbachia sp.
2.5.3 Tanaman Spathiphyllum sp.
Spathiphyllum sp. merupakan salah satu genus dari sekitar 40 spesies
tanaman pada family Araceae, banyak terdapat pada daerah tropis Amerika dan
Asia Tenggara. Spathiphyllum (Gambar 3) pada umumnya dikenal dengan peace
lily yang merupakan tanaman hias yang banyak digemari oleh para penyuka
tanaman hias sebagai tanaman penghias di rumah. Tanaman ini mampu
membersihkan udara dalam ruangan dari kontaminasi beberapa lingkungan,
seperti benzene, formaldehid, dan polutan lainnya dengan satu tanaman per 10 m3.
Tanaman ini dapat hidup dengan baik pada daerah teduh dan hanya membutuhkan
sedikit cahaya (Fatemeh dan Hassan, 2013).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Lebih dari 90% orang menjalankan aktivitas kehidupannya di dalam ruangan,
seperti di rumah, perkantoran, dan sekolah, oleh sebab itu mereka berhubungan
dengan faktor lingkungan dalam ruangan salah satunya seperti bioaerosol yang
dapat mempengaruhi kesehatan (Sekulska et al., 2007). Ironisnya masih sedikit
perhatian masyarakat atas kualitas udara di dalam ruangan, terutama di
lingkungan sekolah. Kualitas udara sekolah seharusnya menjadi perhatian penting
karena anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah
dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena penyakit (EPA, 2004).
Kualitas udara dalam ruangan merupakan faktor penting untuk kesehatan
manusia. Polusi udara dalam ruangan dapat mempengaruhi kesehatan
individu-individu yang dalam kondisi imunitas yang tidak baik (immunocompromise)
karena status kesehatan mereka ataupun usia. Polusi mikroba di udara
(bioaerosol) melibatkan ratusan spesies bakteri dan jamur yang tumbuh di dalam
ruangan ketika tingkat kelembaban memadai. Paparan kontaminan mikroba secara
klinis terkait dengan gejala pernapasan, alergi, asma dan reaksi imunologi (WHO,
2009).
Tingkat kontaminasi mikroorganisme dalam ruangan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti luas ventilasi, kepadatan dan tingkat aktivitas individu
yang berada dalam ruangan tersebut (Setyaningsih et al., 1998). Penyebab polusi
udara dalam ruangan juga berhubungan dengan kondisi bangunan itu sendiri,
perlengkapan dalam bangunan, suhu, kelembaban, pertukaran udara, dan hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku orang-orang yang berada di dalam ruangan
(Fitria etal., 2008).
Menurut Prasasti et al. (2005), banyaknya aktivitas di gedung juga
terpaparnya polutan dalam ruangan terhadap manusia semakin tinggi, namun hal
ini masih kurang disadari oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil laporan U.S. Environmental Protection Agency (EPA,
2004), hampir semua tipe sekolah di Amerika (sekolah baru atau lama, besar atau
kecil, sekolah dasar sampai sekolah menengah umum) mengalami masalah dalam
hal kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara di dalam ruangan kelas akan
sangat mempengaruhi kesehatan siswa dan karyawan sekolah lainnya.
Dalam beberapa penelitian, tanaman hias memiliki potensi dalam
meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Beberapa tanaman secara efektif
membersihkan udara dari kontaminan organik. Tanaman hias memiliki dampak
positif pada keadaan psiko-emosional penghuni (Sinicina, 2013). Hasil penelitian
Kamel et al. (2012) menunjukkan bahwa tanaman Aglaonema commutatum
mampu menurunkan jumlah koloni bakteri E. coli, P. aeruginosa dan S. aureus
yang diinokulasikan pada permukaan daun mencapai ±30%. Tanaman ini juga
menunjukan adanya aktivitas daya hambat pada bakteri E. coli dan S. aureus
sebesar 15mm.
1.2 Permasalahan
Disamping kualitas udara ambien, kualitas udara dalam ruangan (indoor
air quality) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan
berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang berada di dalamnya. Selain faktor
udara luar yang masuk ke dalam ruangan, ruangan kelas juga di tempati oleh
sejumlah siswa/i dalam jumlah yang cukup banyak. Hal tersebut memungkinkan
terjadinya polusi dalam ruangan yang salah satunya disebabkan oleh
mikroorganisme, yang disebut dengan bioaerosol. Bioaerosol berhubungan
dengan beberapa penyakit infeksi. Beberapa tanaman hias dalam ruangan (indoor)
dipercaya dapat mengurangi polusi dalam ruangan. Selain dalam mengurangi
polutan gas beracun, perlunya dilakukan penelitian apakah tanaman hias tersebut
mampu mengurangi polutan organik seperti mikroorganisme. Penelitian mengenai
perbaikan kualitas udara terhadap mikroba secara alami dengan tanaman masih
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah:
a. mengetahui jumlah total koloni bakteri dan jamur dari udara dalam ruangan
kelas Sekolah Dasar Negeri 060849 Medan
b. mengetahui pengaruh tanaman ornamental Aglaonema sp., Dieffenbachia sp.,
dan Spathiphyllum sp. dalam menurunkan jumlah koloni bakteri dan jamur
dari udara dalam ruangan kelas Sekolah Dasar Negeri 060849 Medan
c. mengisolasi dan mengetahui jenis bakteri dan jamur dari udara dalam ruangan
kelas Sekolah Dasar Negeri 060849 Medan
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini ialah mencari cara alternatif untuk memperbaiki
kualitas udara dalam ruangan secara biologis dengan harga yang murah serta
memberikan aspek keindahan dalam ruangan tanpa menyebabkan efek pemanasan
global.
1.5 Hipotesis
Tanaman ornamental Aglaonema sp., Dieffenbachia sp., dan Spathiphyllum
ABSTRAK
Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas bakteri dan jamur beserta spora lainnya yang mampu bertahan hidup dalam ruangan ketika tingkat suhu dan kelembaban yang memadai. Keberadaannya diruangan dalam batas tertentu tidak berbahaya, namun sewaktu-waktu dapat mengganggu kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanaman ornamental Aglaonema sp., Dieffenbanchia sp. dan Spathiphyllum sp. dalam mengurangi jumlah koloni bakteri dan jamur dalam ruangan. Isolasi mikrob bioaerosol dilakukan dengan metode air sampling dengan tiga kali ulangan sebelum dan setelah tiga jenis tanaman diletakkan pada tiga ruangan kelas yang berbeda. Tanaman Aglaonema sp. memiliki potensi paling efektif dalam menurunkan jumlah bakteri aerosol dari minggu pertama hingga minggu ke tiga, sedangkan untuk koloni jamur tidak menunjukkan adanya penurunan. Jumlah koloni bioaerosol pada control dalam ruangan masih sesuai dengan baku mutu keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2002. Jenis bakteri yang ditemukan seperti Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Pseudomonas dan Shigella, sedangkan jenis jamur yang ditemukan seperti Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Beberapa spesies dari genus yang ditemukan berpotensi patogen.
ABSTRACT
Bioaerosol is dust particles consisting of bacteria and other fungi with spores that are in the room when the temperature and humidity level are adequate. Its presence in the room are generally harmless, but some time causes disease. This research was aims to determine the effect of ornamental plant Aglaonema sp., Dieffenbachia sp., and Spathiphyllum sp. on amount of bacteria and fungi in the class room. Bioaerosol isolation was performed according to the method of air sampling with three repetition before and after the plant placed on three classrooms. Plants Aglaonema sp. potentially the most effective in reducing the number of bacteria aerosols from the first week to the third week, whereas for fungal colonies do not show a reduction. The number of bioaerosol were found still in accordance with three quality standarts of Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Bacteria found in this study were Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Pseudomonas and Shigella, while from fungi were Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Some species of the genus are found potentially pathogenic.
POTENSI TANAMAN ORNAMENTAL (Aglaonema sp., Dieffenbachia sp.,
dan Spathiphyllum sp.) DALAM MENURUNKAN JUMLAH MIKROBA
UDARA DALAM RUANGAN KELAS SEKOLAH DASAR
SKRIPSI
OLEH
SISCA NENCY TERESIA MANGUNSONG 110805061
DEPARTEMEN BIOLOGI
POTENSI TANAMAN ORNAMENTAL (Aglaonema sp., Dieffenbachia sp.,
dan Spathiphyllum sp.) DALAM MENURUNKAN JUMLAH MIKROBA
UDARA DALAM RUANGAN KELAS SEKOLAH DASAR
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
OLEH
SISCA NENCY TERESIA MANGUNSONG 110805061
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Potensi Tanaman Ornamental (Aglaonema sp., Dieffenbachia sp., dan Spathiphyllum sp.) dalam Menurunkan Jumlah Mikroba Udara dalam Ruangan Kelas Sekolah Dasar
Kategori : Skripsi
Nama : Sisca Nency Teresia Mangunsong
NomorIndukMahasiswa : 110805061
Program Studi : Sarjana (S1) Biologi
Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universtas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, April 2016
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2, Pembimbing 1,
NIP.196404281996032001
Dr. It Jamilah, M.Sc NIP.196310121991032003
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
POTENSI TANAMAN ORNAMENTAL (Aglaonema sp., Dieffenbachia sp.,
dan Spathiphyllum sp.) DALAM MENURUNKAN JUMLAH MIKROBA
UDARA DALAM RUANGAN KELAS SEKOLAH DASAR
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, April 2016
anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Potensi Tanaman Ornamental (Aglaonema sp., Dieffenbachia sp., dan Spathiphyllum sp.) dalam Menurunkan Jumlah Mikroba Udara dalam Ruangan Kelas Sekolah Dasar”, Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua terkasih dan terbaik Ayahanda Parlindungan Simangunsong dan Ibunda Resmi Butar-butar yang selalu memberikan doa, semangat, perhatian, kasih sayang dan pengorbanan yang begitu besar kepada penulis. Kepada Kakak tersayang Merry D.K. Simangunsong, dan Adik tersayang Rani Wita Simangunsong yang selalu memberikan dukungan semangat dan perhatian kepada penulis serta Abang tersayang Rudson Wadi Lumbantoruan yang selalu memberikan semangat dan tenaga dalam pelaksanaan penelitian ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. It Jamilah M.Sc. selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Sc. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama masa penelitian dan penulisan skiripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir M.Sc. dan Ibu Dr. Saleha Hanum M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. Bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan semangat selama masa perkuliahan. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M. Sc. selaku ketua Departemen Biologi FMIPA USU. Ibu Nurhasni Muluk, Bang Erwin dan Ibu Rosalina Ginting selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Medan yang telah memberikan tempat dan bimbingan selama pengerjaan penelitian ini.
Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di Laboratorium Mikrobiologi Chandra Oktavianus, Steven Taniwan, Grace Lumbantoruan, Grace Sonia, Rani Artha Munthe, Ria Yelvi Ningsih, Famela Cisilia Sipayung, Virza Ratika Inneke Putri, Rasmin Harefa, Harnisyah Nasution, Imelda Margaretha, dan Dewi Olivia terima kasih atas canda dan tawa yang menghiasi hari-hari penulis selama penelitian dan pengerjaan skiripsi ini serta seluruh teman-teman Biologi 2011.
Medan, April 2016
ABSTRAK
Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas bakteri dan jamur beserta spora lainnya yang mampu bertahan hidup dalam ruangan ketika tingkat suhu dan kelembaban yang memadai. Keberadaannya diruangan dalam batas tertentu tidak berbahaya, namun sewaktu-waktu dapat mengganggu kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tanaman ornamental Aglaonema sp., Dieffenbanchia sp. dan Spathiphyllum sp. dalam mengurangi jumlah koloni bakteri dan jamur dalam ruangan. Isolasi mikrob bioaerosol dilakukan dengan metode air sampling dengan tiga kali ulangan sebelum dan setelah tiga jenis tanaman diletakkan pada tiga ruangan kelas yang berbeda. Tanaman Aglaonema sp. memiliki potensi paling efektif dalam menurunkan jumlah bakteri aerosol dari minggu pertama hingga minggu ke tiga, sedangkan untuk koloni jamur tidak menunjukkan adanya penurunan. Jumlah koloni bioaerosol pada control dalam ruangan masih sesuai dengan baku mutu keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2002. Jenis bakteri yang ditemukan seperti Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Pseudomonas dan Shigella, sedangkan jenis jamur yang ditemukan seperti Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Beberapa spesies dari genus yang ditemukan berpotensi patogen.
ABSTRACT
Bioaerosol is dust particles consisting of bacteria and other fungi with spores that are in the room when the temperature and humidity level are adequate. Its presence in the room are generally harmless, but some time causes disease. This research was aims to determine the effect of ornamental plant Aglaonema sp., Dieffenbachia sp., and Spathiphyllum sp. on amount of bacteria and fungi in the class room. Bioaerosol isolation was performed according to the method of air sampling with three repetition before and after the plant placed on three classrooms. Plants Aglaonema sp. potentially the most effective in reducing the number of bacteria aerosols from the first week to the third week, whereas for fungal colonies do not show a reduction. The number of bioaerosol were found still in accordance with three quality standarts of Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Bacteria found in this study were Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Pseudomonas and Shigella, while from fungi were Aspergillus, Penicillium, dan Neurospora. Some species of the genus are found potentially pathogenic.
DAFTAR LAMPIRAN xi
BAB 1PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
1.5 Hipotesis 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Udara dalam Ruangan 4
2.2 Masalah Kualitas Udara dalam Ruangan 5
2.3 Kualitas Fisik Udara dalam Ruangan 6
2.4 Mengatasi Polusi Udara dalam Ruangan 7
2.5 Tanaman Hias dalam Ruangan 2.5.1 Tanaman Aglaonemasp.
BAB 3 METODE PENELITIAN 11
3.1 Waktu dan Tempat 11
3.2 Cara Kerja 11
3.2.1 Deskripsi Tempat Pengambilan Sampel Bioaerosol 11
3.2.2 Pengukuran Parameter Kualitas Fisik Udara 11
3.2.3 Peletakkan Tanaman dalam Ruangan 3.2.4 Isolasi Mikroorganisme Bioaerosol
12 12
3.2.5 Identifikasi Mikroorganisme Bioaerosol 13
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14
4.1 Jumlah Populasi Koloni Bakteri Aerosol dan Jamur dalam Ruangan Kelas
4.2 Pengukuran Faktor Fisik dalam Ruangan Kelas
14
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 24
5.1 Kesimpulan 24
5.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
Nomor Judul Halaman
1. Jumlah koloni bakteri aerosol sebelum dan setelah tanaman diletakan
14
2. Jumlah koloni jamur aerosol sebelum dan setelah tanaman diletakan
16
3. Faktor fisik ruangan kelas V SD Negeri 060849 Medan selama tiga minggu sebelum tanaman diletakan
17
4. Faktor fisik ruangan kelas V SD Negeri 060849 Medan selama tiga minggu setelah tanaman diletakan
17
5. Pewarnaan dan uji biokimia bakteri Gram (+) pada media Manitol Salt Agar (MSA)
19
6. Pewarnaan dan uji biokimia bakteri Gram (-) pada media Mac Conkey (MC)
20
7. Karakteristik mikroskopis jamur aerosol dari ruangan kelas SD Negeri 060849 Medan
Nomor Judul Halaman
1. Tanaman Aglaonema sp. 9
2. Tanaman Dieffenbanchia sp. 10
Nomor Judul Halaman
1. Lokasi penelitian 28
2. Pengambilan sampel dengan menggunakan alat Mas
exampler dan pengukuran intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara
29
3. Peletakkan tanaman dalam ruangan 30
4. Diagram peletakkan tanaman dan titik pengambilan sampel dalam ruangan
31
5. Komposisi media yang digunakan 32
6. Uji biokimia bakteri gram positif 33
7. Uji biokimia bakteri gram negatif 34