• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Skor Klinis A2DS2 (Age, Atrial Fibrillation, Dysphagia, Sex And Stroke Severity) Terhadap Kejadian Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Skor Klinis A2DS2 (Age, Atrial Fibrillation, Dysphagia, Sex And Stroke Severity) Terhadap Kejadian Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SKOR KLINIS A

2

DS

2

(AGE, ATRIAL

FIBRILLATION, DYSPHAGIA, SEX AND STROKE

SEVERITY) TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA

PADA PENDERITA STROKE AKUT

dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu), Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah ini. Karya ilmiah ini dibuat untuk mewujudkan tridarma perguruan tinggi

(pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) dalam hal publikasi hasil

penelitian.

Dalam pelaksanaan Karya ilmiah, penulis telah banyak mendapat

bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan materi maupun bantuan dukungan

moril. Rasa hormat dan terimakassih juga Saya persembahkan kepada (Alm)

Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) dan Dr.dr. Aldy S Rambe, Sp.S (K).

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan karya

ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2015

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR SINGKATAN iv

DAFTAR LAMPIRAN v

Abstract vi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Rumusan Masalah 4

I.3. Tujuan Penelitian 4

I.3.1. Tujuan Umum 4

I.3.2. Tujuan Khusus 4

I.4. Hipotesis 5

I.5. Manfaat 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

II.1 STROKE 6

(4)

II.1.2. Faktor Risiko 6

II.1.3. Klasifikasi 7

II.1.4. Patofisiologi 9

II.2. PNEUMONIA PADA STROKE 11

II.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA 15

PNEUMONIA PADA PENDERITA STROKE

II.4. SCREENING TEST UNTUK DISFAGIA 17

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL 19

BAB III METODE PENELITIAN 20

III.1. Tempat dan Waktu 20

III.2. Subjek Penelitian 20

III.2.1. Populasi Sasaran 20

III.2.2. Populasi Terjangkau 20

III.2.3. Besar Sampel 20

III.2.4. Kriteria Inklusi 21

III.2.5. Kriteria Eksklusi 21

III.3. Batasan Operasional 21

(5)

III.5. Pelasanaan Penelitian 23

III.5.1. Instrumen Penelitian 23

III.5.2. Pengambilan Sampel 23

III.5.3. Kerangka Operasional 24

III.5.4. Variabel yang Diamati 25

III.5.5. Analisa Statistik 25

III.5.6. Jadwal Penelitian 25

III.5.7. Biaya Penelitian 26

III.5.8. Personalia Penelitian 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 27

IV.1. HASIL PENELITIAN 27

IV.1.1 Karateristik Subjek Penelitian 27

IV.1.2. Hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian 29

pneumonia pada penderita stroke iskemik

IV.1.3. Nilai sensitifitas dan spesifisitas dari skor klinis 30

A2DS2

IV.1.4. Hubungan tiap komponen skor A2DS2 terhadap 31

Kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

IV.2. PEMBAHASAN 33

(6)

IV.2.2. Hubungan tiap komponen skor A2DS2 terhadap 34

Kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

BAB V KESIMPULAN 38

DAFTAR PUSTAKA 39

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Gambaran karakteristik demografik subjek penelitian

Tabel. 2 Hubungan skor A2DS2 dengan insidens pneumonia pada

penderita stroke iskemik

Tabel. 3 Nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing dari skor A2DS2

Tabel. 4 Hubungan usia dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut

Tabel. 5 Hubungan disfagia dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut

Tabel. 6 Hubungan seks dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut

Tabel. 7 Hubungan keparahan stroke (NIHSS) dengan kejadian pneumonia

(8)

DAFTAR SINGKATAN

A2DS2 Age, Atrial Fibrillation, Dysphagia, Sex, And Stroke Severity

SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga

ASNA Asean Neurologic Association

NIHSS National Institutes of Health Stroke Scale

PIS Perdarahan intraserebral

PSA Perdarahan subarakhnoid

TIA Transient Ischemic Attack

CDC Center for Disease Control

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

CT SCAN Computed Tomography Scan

EKG Elektrokardiograf

SPSS Statistical Product and Science Service

FK USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUMPULAN DATA

LAMPIRAN 3 NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE (NIHSS)

LAMPIRAN 4 SCREENING TEST DISFAGIA

(10)

ABSTRACT

Intoduction: Pneumonia is one of the most frequent medical complications of stroke, which is consistently associated with a high attributable risk of early mortality in acute stroke. The A2DS2 score is a new valid tool for predicting poststroke pneumonia. The purpose of this study was to confirm our hypothesized that there was association between A2DS2 score and incidence of pneumonia in acute phase of stroke patients.

Methods: This cross sectional study observed 32 acute stroke patients who stayed in Adam Malik General Hospital from September until November 2012. Patients were excluded if admitted with pneumonia or others pulmonary infections and were using antiobiotics. A 10-point score was derived for prediction of poststroke pneumonia ( Age ≥ 75 years = 1, Atrial fibrillation = 1, Dysphagia = 2, male Sex = 1, stroke Severity, National Institutes of Health Stroke Scale 0 – 4 = 0, 5 –15 = 3, ≥ 16 = 5 ; A2DS2 ). Patients were followed in acute phase and pneumonia was diagnosed based on Center for Disease Control criterias that were adopted by Indonesia Association of Lung Doctors.

Results: There were 32 subjects in this study, consist of 40,6% male and 59,4% female, with the mean of age 62,38 years. The proportion of pneumonia varied between 6,25% in patients with a score of <5 point to 62,5% in patients with a score of ≥ 5 points. There was a significant associaton between A2DS2 score and incidence of pneumonia in patients with acute stroke (p=0,038), with a significant positive correlation (r = 0,200 ; p = 0,040). An A2DS2score of ≥ 5 predicts with a sensitivity of 90,9% and a specificity of 70% the occurrence of poststroke pneumonia; an A2DS2 score of ≥ 6 yields a sensitivity of 90,9% and a specificity of 100%.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada

usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian

sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia.(1) Di Amerika

Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit

jantung dan kanker,(2) Biaya perawatan stroke adalah sangat besar, pada tahun

2004 diperkirakan 53,6 miliar dolar Amerika.(1) Di Indonesia, menurut survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, stroke merupakan salah satu

penyebab kematian dan kecacatan yang utama yang harus ditangani segera,

tepat dan cermat.(3) Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian yang berskala

cukup besar oleh survei ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah

sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut

yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survei mengenai faktor-faktor risiko,

lama perawatan dan mortalitas serta morbiditasnya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil

usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah

54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5%.(4)

Lebih dari 40% penderita stroke mempunyai prognosis outcome yang

jelek, meliputi kematian, dan disabilitas dalam 3 bulan setelah serangan

stroke.(5) Banyak penelitian telah mengidentifikasi komplikasi awal selama

perawatan sebagai faktor potensial utama yang dapat dimodifikasi yang

(12)

terutama pneumonia merupakan komplikasi yang serius pada penderita stroke.

Komplikasi ini dilaporkan terjadi 5 – 65% pada penderita stroke akut.(9)

Penelitian Vermeij, dkk, 2009 mendapati 15% infeksi terjadi pada penderita

stroke dalam 7 hari masa rawatan (stroke-associated infection), dimana 7,5%

menderita pneumonia dan 4,4% infeksi saluran kemih.(9) Penelitian Koennecke

HC, dkk, 2011, dalam waktu 3 tahun, mendapati dari 16.518 penderita stroke

iskemik dan hemoragik, 12,2% mengalami komplikasi berupa pneumonia.(10)

Pneumonia erat kaitannya dengan risiko mortalitas yang tinggi pada

stroke fase akut, sehingga identifikasi yang segera pada pasien dengan risiko

tinggi mendapatkan pneumonia dapat menentukan panderita stroke yang

memerlukan pengawasan ketat dan pengobatan profilaksis.(6)

Parameter klinis seperti keparahan stroke, disfagia, usia dan diabetes

telah menunjukkan hubungan yang erat dengan pneumonia pada penderita

stroke.(6) Penelitian Chumbler, dkk, 2010 mendapati bahwa usia > 70 tahun,

disfagia, nilai NIHSS dan riwayat menderita pneumonia sebelumnya dapat

digunakan untuk mengetahui risiko pneumonia post-stroke.(11) Penelitian Sellar,

dkk, 2007 menyimpulkan bahwa pneumonia pada penderita stroke berkaitan

dengan usia tua ( > 65 tahun ), disartria, keparahan disabilitas poststroke,

gangguan kognitif dan abnormalitas hasil tes menelan air.(12)

Namun demikian sampai saat ini belum didapati sistim skor untuk

memprediksi pneumonia pada penderita stroke yang dapat digunakan dengan

rutin secara klinis dan pada penelitian-penelitian. Hoffmann, dkk, 2012 meneliti

suatu sistim skor A2DS2 untuk memprediksi pneumonia pada penderita stroke

(13)

kelamin) dan S=stroke severity (keparahan stroke) yang dinilai dengan NIHSS.

Penelitiannya menyimpulkan skor A2DS2 merupakan alat yang valid untuk

memprediksi pneumonia post stroke dan mungkin sebagai petunjuk

pengawasan pada penderita stroke dengan risiko tinggi menderita pneumonia

atau penatalaksanaan profilaksis pneumonia. Dari penelitiannya tersebut

didapatkan bahwa skor klinis A2DS2 ≥ 4 memiliki sensitifitas 91% dan

spesifisitas 57% untuk memprediksi kejadian poststroke pneumonia.(6)

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka

dirumuskanlah masalah sebagai berikut, apakah terdapat hubungan skor klinis

A2DS2 terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut ?

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1.3.1 Tujuan Umum :

Untuk mengetahui hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian

pneumonia pada penderita stroke akut.

1.3.2. Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian

pneumonia pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat

inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan masing-masing komponen skor

klinis A2DS2 (age/usia, atrial fibrilasi, disfagia, sex/jenis kelamin dan

(14)

stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H.

Adam Malik Medan.

3. Untuk melihat gambaran karakteristik demografi penderita stroke

akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam

Malik Medan.

I.4. Hipotesis

Ada hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian pneumonia pada

penderita stroke akut.

I.5. Manfaat

Dengan mengetahui hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian

pneumonia pada penderita stroke akut, dapat diupayakan tindakan preventif

terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut, sehingga outcome

(15)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II.1. STROKE

II.1.1. Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa ada

penyebab lain yang jelas selain vaskuler.(3,13) Definisi ini mencakup stroke

akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non

traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan

subarakhnoid (PSA).(14)

Iskemik adalah kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu

kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.(15,16) Sedangkan hemoragik

adalah keluarnya darah ke jaringan otak dan ke ektravaskular di dalam

kranium.(16)

II.1.2. Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor

yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke.

Faktor risiko timbulnya stroke: (1,15,17)

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

(16)

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,

kurang buah

3. Alkoholik

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antiplatelet,

amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

II.1.3. Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis

stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda,

(17)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Thrombosis serebri

c. Emboli serebri

2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

b. Perdarahan subarakhnoid

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

1. Transient Ischemic Attack (TIA)

2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler

IV. Berdasarkan tipe infark :

1. Total Anterior Circulation Infarction

2. Partial Anterior Circulation Infarction

3. Posterior Circulation Infarction

4. Lacunar Infarction

V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti

TOAST(15,19)

1. Aterosklerosis arteri besar

(18)

3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:

a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi

c. Evaluasi tidak lengkap

II.1.4. Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh

emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap

proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu

kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark

otak.(20) Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti

(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan

menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah

core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan

pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan

menyebabkan juga defisit neurologis.

Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra

iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya

aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah

yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan

(19)

jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur

mengalami kematian.(4)

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap,

yaitu: (15)

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dankegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbnyak setelah

infark otak, yaitu 20-30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di

Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997)

menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%,

serebellar 1%, batang otak 2% dan subarakhnoid 4%.(21)

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas

perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan

penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan

intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)

(20)

dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan

sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali vaskular

kongenital, koagulopati, obat anti koagulan. Diperkirakan hampir 50%

penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronis, 25% karena

anomali kongenital dan sisanya penyebab lain.(21)

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak

atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh

yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi.

Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri

(arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma.(21)

II.2 PNEUMONIA PADA STROKE

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering

pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam yang paling sering dalam

48 jam setelah serangan stroke. Pneumonia akan meningkatkan risiko

kematian 3 kali lipat pada penderita stroke.(8) Penelitian Vermeij, dkk, 2009

menunjukkan bahwa infeksi sebagai komplikasi stroke yang terbanyak adalah

pneumonia, dimana 7,5% (separuh dari total infeksi pada penderita stroke

(15%)) adalah penderita pneumonia. Dan ditemukan juga outcome yang jelek

saat keluar rumah sakit 9,5 kali, outcome jelek dalam 1 tahun 12 kali dan angka

mortalitas 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dari penderita stroke yang tidak

pneumonia.(9) Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat

aspirasi yaitu terhinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun

gingiva.(8) Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan

(21)

disebabkan agen infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit,

dimana keadaan tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk r umah

sakit.(22)

Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa

meliputi: (23)

- Enterobacteriaceae

- S. Aureus

- S. Pneumoniae

- H. influenzae.

Sedangkan bakteri penyebab tersering pada hospital-aquired/nasocomial

pneumonia di Amerika:

- P. aeruginosa (21%)

- Acinetobacter spp. (6%)

- Patogen enteric : Enterobacter spp. (9%)

- K. pneumoniae (8%)

- S. aureus mencapai 2% sampai 64%.(23)

Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi oleh hasil

kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur darah. Diagnosis dengan demikian

dapat dibuat menurut kriteria diagnosis CDC (Center for Disease Control),

yaitu: (22)

Pneumonia harus memenuhi satu dari kriteria berikut:

1. Ronki atau dullness pada perkusi toraks. Ditambah satu dari :

a. Onset baru sputum purulen atau perubahan

(22)

b. Isolasi kuman dari kultur darah.

c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat

transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.

2. Gambaran radiologik berupa infiltrat baru atau yang progresif,

konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan satu dari:

a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya.

b. Isolasi kuman dari kultur darah.

c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat transtrakeal,

biopsi atau hapusan bronkus.

d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret saluran

nafas.

e. Diagnostik titer antibodi tunggal (IgM) atau peningkatan 4 kali

titer IgG dari kuman.

Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for Disease

Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia), yaitu: (24,25)

Pneumonia ditegakkan atas dasar:

1. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif.

2. Ditambah dua di antara kriteria berikut:

a. Batuk – batuk bertambah.

b. Perubahan karakteristik dahak/ sekret purulen

c. Suhu tubuh ≥ 38 0C (diukur di aksila).

d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda – tanda konsolidasi,

(23)

e. Leukositosis (≥10.000) atau leukopenia (<4500)

Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke akut dapat

dilakukan sebagai berikut:(26)

- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat

hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka

tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko

pneumonia.

- Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan

pada pasien gangguan menelan.

- Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan:

 Elevasi kepala 30-450

 Menghindari sedasi berlebihan

 Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat

pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi.

 Memonitor volume residual lambung selama pemberian

makanan secara enteral

 Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama

 Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia.

 Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur

 Rehabilitasi fungsi menelan.

Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi: (26)

- Pemberian antibiotik sesuai indikasi (kalau perlu tes resistensi

kuman), antara lain:

(24)

eritromisin) atau doksisiklin.

 Disertai penyakit lain seperti diabetes melitus, alkoholisme,

keganasan, penyakit jantung serta penyakit imunosupresi:

fluorokuinolon (moksifloksasin, gemifloksasin atau levofloksasin)

atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif lainnya adalah

ceftriakson dan doksisiklin sebagai pengganti macrolide.

- Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan

menepuk-nepuk dada.

II.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA

PNEUMONIA PADA PENDERITA STROKE

Chumbler, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan 3 level

sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut.

Faktor-faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada penelitiannya

meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia (nilai 4), nilai

NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NIHSS ≥ 2 nilai 3), penurunan kesadaran

(nilai 3) dan usia lebih dari 70 (niai 2) tahun. Kemudian membagi menjadi 3

level, yaitu: nilai 0 memiliki risiko rendah terjadinya pneumonia pada fase akut

(2,1%), nilai 1-3 memiliki risiko sedang (4,2%) dan nilai ≥ risiko tinggi

(22,9%).(11)

Skor pneumonia dalam penelitian Kwon, dkk, 2006 menunjukkan

faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia meliputi: skor

NIHSS, usia, jenis kelamin, pemakaian ventilasi mekanik dan disfagia.

Penelitian Sellars, dkk, 2007 menghasilkan bahwa faktor-faktor berikut: usia >

(25)

Rankin Scale ≥ 4, skor Abbreviated Mental Test < 8 dan ketidakmampuan

melakukan tes menelan air, jika ditemukan 2 atau lebih akan mendapatkan

pneumonia dengan sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 75,6%.(12)

Petroianni, dkk, 2006 menyatakan bahwa usia tua secara independen berkaitan

dengan pneumonia pada pasien stroke, dikarenakan usia tua berkaitan dengan

kondisi medis komorbid dan gangguan menelan dan refleks batuk.(27) Jenis

kelamin laki-laki merupakan prediktor terjadinya pneumonia pada penderita

stroke, hal ini sesuai dengan penelitian Reid, dkk, 2008 yang menunjukkan

bahwa pasien laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk stroke-associated

pneumonia.(28)

Penelitian Hoffman, dkk, 2012 & Perry L, dkk, 2001 menyatakan bahwa

nilai skor NIHSS yang tinggi berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran

dan penurunan refleks bulbar, yang membuat aspirasi lebih mungkin terjadi.(29)

Penelitian Martino, dkk, 2005 menyatakan bahwa disfagia juga merupakan

prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita

yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga risiko terjadinya

pneumonia semakin besar.(30) Hubungan fibrilasi atrial dengan pneumonia

ditunjukkan hanya pada studi Ovbiagele, dkk, 2006.(31) Dimana fibrilasi atrial

merupakan penyebab dari stroke kardioemboli, yang berkaitan dengan infark

kortikal dan keparahan stroke yang lebih besar.(6,32)

Hoffmann, dkk, 2012 mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya pneumonia pada penderita stroke, yang mana faktor-faktor tersebut

dimasukkan ke dalam suatu skor klinis A2DS2: age (usia), atrial fibrillation,

(26)

Faktor-faktor ini diteliti terbatas pada populasi penderita stroke iskemik akut,(6)

sementara aplikasi skor ini pada populasi stroke hemoragik akut belum ada

dilakukan penelitian.

II.4. SCREENING TEST UNTUK DISFAGIA

Disfagia sering terjadi pada penderita stroke, yang akan meningkatkan

risiko aspirasi dan pneumonia. Screening menelan merupakan langkah awal

untuk mengidentifikasi risiko disfagia dan aspirasi. Deteksi awal dari disfagia

memungkinkan tindakan yang segera dalam penatalaksanaan, sehingga

menurunkan morbiditas, masa rawatan dan biaya perawatan pasien.(33)

Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening risiko terjadinya

aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut: (13)

- Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus

bisa didudukkan tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika

tidak maka tes tidak dapat dilakukan dan penderita tidak

diperbolehkan makan/ minum dari mulut.

- Periksa apakah rongga mulut panderita bersih atau tidak. Jika kotor,

maka segera dibersihkan.

- Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali.

Letakkan jari di garis tengah di atas dan bawah laring lalu rasakan

saat penderita menelan. Kemudian perhatikan apakah ada tanda-

tanda: ketidakmampuan menelan, batuk, tersedak atau perubahan

kualitas suara (suruh penderita menyebut ”aah”). Jika ada tanda-tanda

tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan/ minum dari

(27)

- Selanjutnya penderita disuruh minum dengan jumlah air yang lebih

besar dari gelas dan diamati tanda-tanda seperti sebelumnya. Jika

ada tanda-tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan/

minum dari mulut.

- Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan/

(28)

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL

Hoffmann, dkk, 2012: Skor A2DS2 merupakan alat yang valid untuk memprediksi pneumonia post stroke dan mungkin sebagai petunjuk pengawasan pada penderita stroke dengan risiko tinggi menderita pneumonia atau penatalak-sanaan profilaksis pneumonia.

Vermeij, dkk, 2009: Infeksi saluran kemih dan terutama pneumonia merupakan komplikasi yang serius pada penderita stroke. Komplikasi ini dilaporkan terjadi 5-65% pada penderita stroke akut. meningkatkan risiko kematian 3 kali lipat pada penderita stroke. independen berkaitan dengan pneumonia pada pasien stroke, dikarenakan usia tua berkaitan dengan kondisi medis komorbid dan gangguan menelan dan refleks batuk

Hubungan fibrilasi atrial dengan pneumonia ditunjukkan hanya pada studi Ovbiagele, dkk, 2006. Dimana fibrilasi atrial merupakan penyebab dari stroke kardioemboli, yang berkaitan dengan infark kortikal dan keparahan stroke yang lebih besar.

Penelitian Martino, dkk, 2005: disfagia juga merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga risiko terjadinya pneumonia semakin besar.

Reid, dkk, 2008: pasien laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk stroke-associated pneumonia.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen/SMF Neurologi FK USU/ RSUP. H.

Adam Malik Medan dari tanggal 19 September 2012 – 17 November 2012.

III.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan

subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling konsekutif.

III.2.1 Populasi Sasaran

Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis dan CT-Scan kepala.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap neurologi

FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan

III.2.3. Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus: (34)

Zα√ P0 (1 – P0) + Zβ√ Pa (1 – Pa) 2

n = P0 – Pa

Zα = Deviat baku α (α = 0,05) => Zα = 1,96

(30)

P0 = Proporsi pneumonia dengan skor klinis

A2DS2 ==> 39,4% (Hoffmann, dkk, 2012)

P0 – Pa ==> Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna (25%)

Pa = Proporsi yang ditentukan peneliti

(P0 – 25% = 0,394 – 0,25 = 0,144)

Maka n = 32,17

~

minimal 32 orang.

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap RSUP H.

Adam Malik Medan dan telah dilakukan pemeriksaan klinis dan

CT-Scan kepala.

2. Memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian ini

III.2.5. Kriteria Eksklusi

1. Penderita stroke akut yang pada saat masuk telah menderita

pneumonia atau infeksi paru lainnya.

2. Penderita stroke akut yang telah mendapatkan antibiotik pada saat

masuk rumah sakit.

III.3. Batasan Operasional

1. Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.(3,14)

2. Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan

(31)

3. Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru yang disebabkan

oleh agen infekius (22) yang ditegakkan dengan kriteria The Center for

Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).(24,25)

4. Skor klinis A2DS2 adalah skor klinis yang dinilai pada saat penderita

stroke masuk ke rumah sakit (dalam fase akut), yang terdiri dari 10

poin untuk memprediksi pneumonia pada penderita stroke (Age (usia)

≥ 75 tahun = 1, Atrial Fibrillation = 1, Disfagia = 2, Sex (jenis kelamin)

laki-laki = 1 dan Stroke severity dinilai dengan NIHSS 0-4=0, 5-15=3,

≥ 16=5)).(6)

5. Atrial fibrilasi ditandai dengan ketidakteraturan kontraksi dari atrial,

dimana elektrokardiogram menunjukkan tidak adanya gelombang P

dengan fluktuasi yang cepat dan interval R-R yang tidak teratur.(35)

6. Disfagia adalah suatu gangguan menelan yang berkaitan dengan

kesulitan dalam memindahkan makanan/cairan dari mulut ke

lambung.(36) Disfagia dapat dideteksi dengan menggunakan screening

test untuk disfagia.(13)

7. Stroke severity dinilai dengan National Institute of Health Stroke Scale

(NIHSS). NIHSS merupakan pengkuran kuantitatif defisit neurologis

berkaitan dengan stroke yang dapat memprediksi outcome stroke

jangka panjang, terdiri dari 12 pertanyaan: tingkat kesadaran, respon

terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy,

pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia,

(32)

menunjukkan stroke ringan (mild), 5 – 15 stroke sedang (moderately

severe) dan ≥ 16 menunjukkan stroke berat (severe/ very severe).(6)

III.4 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode pengambilan data secara

potong lintang.

III.5. Pelaksanaan Penelitian

III.5.1. Instrumen Penelitian :

1. Head Computed Tomography Scan (CT Scan): CT Scan yang

digunakan adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450.

2. Foto Toraks: menggunakan X-Ray merk Hitachi tipe P-O-105H-B dan

tipe PM 155VCII(U51).

3. Kultur darah: menggunakan reagen Bactec kemudian akan

diinkubasikan menggunakan Bactec 9050. Setelah bakteri tumbuh

dikultur di Mc Conkey atau Blood agar. Jenis bakteri dilihat

menggunakan mikroskop olympus optical model CH20BIMF200 dan

model 8MOI88.

4. Elektrokardiograf (EKG): yang digunakan tipe MAC 500 dengan

nomor seri 510003266.

III.5.2. Pengambilan Sampel

Semua penderita stroke akut yang masuk ke ruang rawat inap

neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan telah ditegakkan dengan anamnese,

pemeriksaan fisik (toraks), pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan CT Scan

kepala yang diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi dan

(33)

Kemudian diamati jika muncul tanda-tanda pneumonia maka ditegakkan

dengan kriteria The Center for Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah

diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).

III.5.3. Kerangka Operasional

Penderita Stroke

Anamnese

Pemeriksaan fisik (toraks) Pemeriksaan neurologis

Head CT Scan

Surat persetujuan ikut penelitian

Skor klinis A2DS2

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

(34)

III.5.4. Variabel yang Diamati

Variabel Bebas : Skor A2DS2

Variabel Terikat : Pneumonia

III.5.5. Analisa Statistik :

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan

program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service).

Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

a. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik

demografi yang disajikan dalam bentuk tabulasi.

b. Untuk melihat hubungan dan kekuatan hubungan antara skor klinis

A2DS2 dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

digunakan uji Lamda.

c. Untuk mengetahui hubungan masing-masing komponen skor klinis

A2DS2 (age/usia, atrial fibrilasi, disfagia, sex/jenis kelamin dan stroke

severity (NIHSS)) dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut digunakan uji Fisher.

III.5.6. Jadwal Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan mulai tanggal 19 September 2012 – 17

November 2012.

Kegiatan Waktu

Persiapan 09 Agustus – 18 September 2012

Pengumpulan data 19 September – 17 November 2012

Analisis data 18 November – 24 November 2012

(35)

Penyajian laporan 01 Desember 201

III.5.7. Biaya Penelitian

Biaya pencetakan lembar pengumpulan data = Rp 200.000

Penulisan laporan penelitian = Rp 500.000

Jumlah = Rp 700.000

III.5.8. Personalia Penelitian

Peneliti Utama : dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu.)

Pembimbing : 1. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S

2. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K)

(36)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap

Neurologi FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan pada periode September

hingga November 2012, terdapat 32 pasien stroke akut yang telah memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

Dari 32 orang penderita stroke akut yang ikut dalam penelitian, 18 orang

(56,2%) menderita stroke iskemik akut dan 14 orang (43,8%) stroke hemoragik.

Dari keseluruhan sampel 13 orang adalah pria (40,6%) dan sisanya 19 orang

(59,4%) adalah wanita. Rerata usia keseluruhan peserta 62,38 ± 12,02 dengan

rentang usia 42 tahun hingga 88 tahun. Kelompok usia yang terbanyak adalah

< 75 tahun yaitu sebanyak 25 orang (78,1%), sedangkan jumlah kelompok usia

≥ 75 tahun sebanyak 7 orang (21,9%).

Kemudian dari 32 orang subjek penelitian, suku yang terbanyak adalah

suku Batak yaitu 15 orang (46,9%), sedangkan yang paling sedikit adalah suku

Minang yang terdiri dari 1 orang (3,1%). Pekerjaan terbanyak ialah ibu rumah

tangga yaitu 15 orang (46,9%) dan wiraswasta yang paling sedikit dari

(37)
(38)

Sementara itu faktor risiko stroke yang paling banyak jumlah subjeknya

adalah hipertensi yaitu sebanyak 28 orang (87,5%) dan yang paling sedikit

adalah kelainan jantung (atrial fibrillation) yang berjumlah 1 orang (3,1%).

Dari segi skor A2DS2, rerata skor 6 ± 2,5. Dengan komponen yang terbanyak

menyumbang untuk skor A2DS2 ialah keparahan stroke yang berat (NIHSS > 16),

yaitu 20 orang (62,5%). Sementara itu komponen yang paling sedikit

menyumbang untuk skor tersebut ialah fibrilasi atrial dengan jumlah 1 orang

(3,1%). Keseluruhan gambaran karakteristik sampel yang diperoleh dapat dilihat

pada tabel 1.

IV.1.2 Hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian pneumonia pada

penderita stroke iskemik

Untuk mendapatkan hubungan antara skor A2DS2 dengan kejadian/

insidens pneumonia pada penderita stroke akut digunakan uji Lamda, dan

didapatkan hasil ada hubungan skor klinis A2DS2 terhadap kejadian pneumonia

pada penderita stroke akut. Hubungan yang didapat ialah searah (positif) dan

signifikan, serta mempunyai kekuatan korelasi yang lemah (p = 0,04 ; r = 0,200).

Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2: Hubungan skor A2DS2 dengan insidens pneumonia pada penderita stroke

(39)

IV.1.3. Nilai sensitifitas dan spesifisitas dari skor klinis A2DS2

Untuk mendapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitas dari skor A2DS2

dalam memprediksi terjadinya pneumonia pada penderita stroke akut dapat

dihitung dengan rumus: sensitifitas = a/(a+c) dan spesifisitas = d/(b+d) atau

dengan program SPSS menggunakan prosedur Receiver Operating

Characteristic. Adapun untuk menentukan titik potong kurvanya dilakukan

dengan bantuan program Microsoft Office Excel. Hasilnya didapati titik potong

di antara skor A2DS2 5 dan 6. Sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 70% didapati untuk skor ≥ 5, serta sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 100% untuk skor ≥ 6.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 dan grafik 1 berikut:

Tabel 3. Nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing dari skor A2DS2

Skor A2DS2

Sensitifitas (%)

Spesifisitas (%)

1 100 0

2 100 20,0

3 100 30,0

4 90,9 40,0

5 90,9 70,0

6 90,9 100

7 45,5 100

8 9,1 100

(40)

Grafik 1. Titik potong kurva skor A2DS2

IV.1.4. Hubungan tiap komponen skor A2DS2 terhadap kejadian

pneumonia pada penderita stroke akut.

Skor klinis A2DS2 terdiri dari komponen age (usia), atrial fibrillation

(fibrilasi atrial), disfagia, seks dan stroke severity (keparahan stroke).

Hubungan usia dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

diperoleh dengan uji Fisher dan didapati tidak ada hubungan antara usia

dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut (p = 0,387). Hasil

dapat dilihat pada tabel 4. Adapun hubungan fibrilasi atrial dengan kejadian

pneumonia tidak dapat diuji karena jumlah sampel yang menderita fibrilasi atrial

hanya 1 orang.

Tabel 4. Hubungan usia dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut

Pneumonia

Total: p *

Ya Tidak

Age (usia) : ≥75: <75:

6 1 7

0,387

16 9 25

Total : 22 10 32

(41)

Hubungan antara disfagia dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut diperoleh dengan uji Fisher dan didapat hubungan yang bermakna

antara keduanya (p = 0,001). Dapat dilihat pada tabel 5:

Tabel 5. Hubungan disfagia dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut

Kemudian hubungan antara seks dengan kejadian pneumonia pada penelitian

ini diperoleh dengan uji Lamda, dan didapati tidak ada hubungan antara

keduanya (p = 0,244). Dapat dilihat pada tabel 6:

Tabel 6. Hubungan seks dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

Keparahan stroke yang dinilai dengan NIHSS memiliki hubungan yang

(42)

Tabel 7. Hubungan keparahan stroke (NIHSS) dengan kejadian pneumonia

pada stroke akut

IV.2 PEMBAHASAN

IV.2.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Dari hasil penelitian ini didapati 32 orang penderita stroke akut yang ikut

dalam penelitian, 18 orang (56,2%) menderita stroke iskemik akut dan 14 orang

(43,8%) stroke hemoragik. Hal ini berbeda dengan penelitian Hoffmann, dkk,

2012 dimana jumlah sampel yang jauh lebih besar dan hanya pada stroke

iskemik saja dilakukan.(6)

Dari keseluruhan sampel 13 orang adalah pria (40,6%) dan sisanya 19

orang (59,4%) adalah wanita. Rerata usia keseluruhan peserta 62,38 ± 12,02

dengan rentang usia 42 tahun hingga 88 tahun. Kelompok usia yang terbanyak

(43)

Sementara itu dari penelitian ini, faktor risiko stroke yang paling banyak

jumlah subjeknya adalah hipertensi yaitu sebanyak 28 orang (87,5%) dan yang

paling sedikit adalah kelainan jantung (atrial fibrillation) yang berjumlah 1 orang

(3,1%). Hasil ini mendukung penelitian Hoffmann, dkk, 2012 yang juga

mendapati faktor risiko terbanyak ialah hipertensi sebesar 85,9% dan yang

paling sedikit ialah fibrilasi atrial sebesar 28,3%.(6)

IV.2.2. Hubungan tiap komponen skor A2DS2 terhadap kejadian

pneumonia pada penderita stroke akut.

Penelitian dengan menggunakan skor klinis A2DS2 dalam memprediksi

terjadinya pneumonia pada penderita stroke baru dilakukan oleh Hoffmann,

dkk, 2012. Penelitian mereka mendapati nilai cut off point antara 4 dan 5,

dimana nilai skor ≥ 4 memiliki sensitifitas 91% dan spesifisitas 57%. Sedangkan

nilai skor ≥ 5 mempunyai sensitifitas 83% dan spesifisitas 72%.(6) Pada

penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara skor klinis A2DS2

terhadap kejadian pneumonia, hubungan didapati searah dengan kekuatan

hubungan yang lemah (p = 0,04 ; r = 0,200). Hasil penelitian ini mendapatkan

nilai cut off point antara 5 dan 6. Dimana sensitifitas 90,9% dan spesifisitas

70% didapati untuk skor ≥ 5, serta sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 100%

untuk skor ≥ 6.

Terdapat dua cara untuk menentukan titik potong (cut off point).

Pertama, titik potong ditentukan secara klinis. Kedua, titik potong ditentukan

secara statistik. Penentuan titik potong secara klinis merupakan penentuan titik

(44)

kepentingan klinis. Apabila akan digunakan untuk tujuan screening, tentunya

dipilih titik potong yang mempunyai nilai sensitifitas yang tinggi. Akan tetapi,

apabila akan digunakan sebagai tahap akhir diagnosis, ditetapkan titik potong

dengan nilai spesifisitas yang tinggi.(39) Pada penelitian ini diharapkan skor

A2DS2 dapat digunakan sebagai penilaian awal pada saat pasien stroke masuk,

untuk memprediksi terjadinya pneumonia di fase akut (screening). Dengan

demikian dipakailah titik potong dengan nilai sensitifitas yang tinggi yaitu

90,9%, yang berada antara skor 4, 5 atau 6. Nilai 4 sebaiknya dipilih

dikarenakan dengan skor 4 (batas skor terkecil) sudah didapati kemungkinan

terjadinya pneumonia sebesar 90,9%. Diharapkan dengan screening yang lebih

awal, sesegera mungkin dapat dilakukan pencegahan pneumonia yang

adekuat.

Komponen yang membentuk skor klinis A2DS2 terdiri dari age (usia),

atrial fibrillation (fibrilasi atrial), disfagia, seks dan stroke severity (keparahan

stroke). Hubungan usia dan seks dengan kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut tidak signifikan. Sementara hubungan fibrilasi atrial dengan

kejadian pneumonia tidak dapat dinilai karena jumlah sampel yang hanya 1

orang. Adapun hubungan disfagia dan keparahan stroke (NIHSS) mempunyai

hubungan yang signifikan.

Usia tua mempunyai hubungan dengan pneumonia post-stroke

dikarenakan pada dasarnya usia lanjut/ tua berkaitan dengan keadaan-keadan

medis komorbid dan gangguan menelan dan refleks batuk.(27) Pada penelitian

Hoffmann, dkk, 2012 didapati hubungan antara usia dengan kejadian

(45)

hubungan tersebut tidak signifikan. Hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel

pada penelitian Hoffmann, dkk tersebut didapati pebandingan persentasi usia ≥

75 dengan < 75 tahun (43,2% : 56,7% = 0,76) dengan rerata usia 71,2 ± 13,1

lebih besar dibandingkan pada penelitian ini (21,9% : 78,1% = 0,28) dengan

rerata usia yang lebih muda 62,38 ± 12,02.

Pada penelitian ini disfagia memiliki hubungan yang signifikan (p =

0,001) dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut. Hal ini

mendukung penelitian Hoffman, dkk, 2012, yang juga mendapati hubungan

yang signifikan antara keduanya. Dan penelitian Martino, dkk, 2005 juga

mendapati peningkatan risiko pneumonia 3 kali pada penderita stroke dengan

disfagia. Penderita disfagia rentan untuk aspirasi sehingga merupakan faktor

risiko yang kuat terjadinya pneumonia.(30)

Jenis kelamin pria merupakan prediktor pneumonia post-stroke,

penelitian Reid, dkk, 2008 menunjukkan pasien pria berisiko lebih tinggi

mendapat pneumonia post-stroke.(28) Hal ini mungkin berkaitan dengan

prevalensi merokok dan penyakit paru yang sebelumnya diderita lebih tinggi

pada pria. Namun penelitian lain tidak mendapatkan hasil yang demikian.(6)

Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin dan kejadian pneumonia. Pengaruh perbedaan seks pada infeksi

post-stroke memerlukan penelitian lebih lanjut.(6)

Keparahan stroke (NIHSS) pada penelitian ini memiliki hubungan yang

signifikan (p = 0,0001) terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke

(46)

skor NIHSS berkaitan dengan penurunan kesadaran dan penurunan refleks

(47)

BAB V

KESIMPULAN

Didapati hubungan positif yang signifikan, dengan kekuatan hubungan

yang lemah antara skor A2DS2 terhadap kejadian pneumonia pada penderita

stroke akut, dan skor ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dalam

memprediksi pneumonia post-stroke.

Adapun komponen yang memberikan kontribusi yang besar pada skor

ini dalam memprediksi pneumonia ialah disfagia dan nilai skor NIHSS yang

tinggi. Penelitian prospektif yang lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih

(48)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution D. Strategi Pencegahan Stroke Primer. Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap Neurologi FK USU. Medan: Universitas

Sumatera Utara, 2007.

2. Soertidewi L, Misbach J. Epidemiologi Stroke. Dalam: Misbach J, Soertidewi

L, Jannis J. (Ed.). Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen.

Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2011.

3. Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri PERDOSSI. Konsensus

Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta: PERDOSSI, 1999.

4. Misbach J. Pandangan Umum Mengenai Stroke. Dalam : Rasyid A dan

Soertidewi L (Ed.). Unit stroke, manajemen stroke secara komprehensif.

Jakarta: Balai Penerbit Universitas Indonesia, 2007.

5. Heuschmann PU, Wiedmann S, Wellwood I, Rudd A, Di Carlo A, Bejot Y, et

al. Three-month stroke outcome: the European Registers of Stroke (EROS)

investigators. Neurology. 2010;43:458–463.

6. Hoffmann S, Malzahn U, Harms H, Koennecke HC, Berger K, Kalic M, et al.

Development of a Clinical Score (A2DS2) to Predict Pneumonia in Acute

Ischemic Stroke. Stroke. 2012;43:00-00.

7. Balami JS, Chen RL, Grunwald IQ, Buchan AM. Neurological complications

of acute ischaemic stroke. Lancet Neurol. 2011;10:357–371.

8. Kumar S, Selim MH, Caplan LR. Medical complications after stroke.Lancet

(49)

9. Vermeij FH, Reimer WJMS, Man PD, Oostenbrugge RJV, Franke CL, Jong

GD, et al. Stroke-Associated Infection Is an Independent Risk Factor for

Poor Outcome after Acute Ischemic Stroke: Data from the Netherlands

Stroke Survey. Cerebrovasc Dis 2009;27:465–471.

10. Koennecke HC, Belz W, Berfelde D, Endres M, Fitzek S, Hamilton F, et al.

Factors influencing in-hospital mortality and morbidity in patients treated on

a stroke unit. Neurology. 2011;77:965–972.

11. Chumbler NR, Williams LS, Wells CK, Lo AC, Nadeau S, Peixoto AJ, et al.

Derivation and validation of a clinical system for predicting pneumonia in

acute stroke. Neuroepidemiology. 2010;34:193–199.

12. Sellars C, Bowie L, Bagg J, Sweeney MP, Miller H, Tilston J, et al. Risk

factors for chest infection in acute stroke: a prospective cohort study Stroke.

2007;38:2284–2291.

13. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with

stroke: identification and management of dysphagia. A national clinical

guideline. 2010.

14. Gofir A. Definisi Stroke, Anatomi Vaskularisasi Otak dan Patofisiologi

Stroke. Dalam: Indera, Noer A, Utomo AB. (Ed.). Manajemen stroke,

evidence based medicine. Jakarta: 2009.

15. Sjahrir H. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung, 2003.

16. Caplan LR. Caplan’s Stroke: A Clinical Approach, Fourth Edition.

(50)

17. Howard G, Howard FG. Stroke Epidemiology. In : Goldstein LB (Ed.). A

primer on stroke prevention and treatment, an overview based on AHA/ ASA

guidelines. p: 3-10. USA: Wiley-Blackwell, 2009.

18. Misbach J, Jannis J. Diagnosis Stroke. Dalam: Misbach J, Soertidewi L,

Jannis J. (Ed.). Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta:

Badan Penerbit FK UI, 2011.

19. Adams HPJ, Bendixen BH, Kappelle LJ, Biller J, Love BB, Gordon DL,

Marsh EE. 1993. Classification of subtype of acute ischemic stroke:

definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172 in

Acute Stroke Treatment. Stroke.;24:35–41.

20. Becker JU, Wira CR, Arnold JL. Stroke, Ischemic. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/793904. Cited at:11/17/2010

21. Misbach J, Soertidewi L. Anatomi Pembuluh Darah Otak dan Patofisiologi

Stroke. Dalam: Misbach J, Soertidewi L, Jannis J. (Ed.). Stroke, aspek

diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2011.

22. Rotstein C, Evans G, Born A, Grossman R, Light RB, Magder S, et al.

Clinical practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and

ventilator-associated pneumonia in adults. AMMI Canada Guidelines. Can J Infect Dis

Med Microbiol 2008;19(1):19-53.

23. Marrie TJ, Campbell GD, Walker DH, Low DE. Pneumonia. In: Kasper DL,

Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.).

Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005.

24. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pneumonia Nasokomial,

(51)

25. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pneumonia Komuniti,

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, 2003.

26. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

Guideline Stroke, Tahun 2011. Jakarta: PERDOSSI, 2011.

27. Petroianni A, Ceccarelli D, Conti V, Terzano C. Aspiration pneumonia.

Pathophysiological aspects, prevention and management. A

review.Panminerva Med. 2006;48:231–239.

28. Reid JM, Dai D, Gubitz GJ, Kapral MK, Christian C, Phillips SJ. Gender

differences in stroke examined in a 10-year cohort of patients admitted to a

Canadian teaching hospital. Stroke. 2008;39:1090–1095.

29. Perry L, Love CP. Screening for dysphagia and aspiration in acute stroke: a

systematic review. Dysphagia. 2001;16:7–18.

30. Martino R, Foley N, Bhogal S, Diamant N, Speechley M, Teasell R.

Dysphagia after stroke: incidence, diagnosis, and pulmonary

complications.Stroke. 2005;36:2756–2763.

31. Ovbiagele B, Hills NK, Saver JL, Johnston SC. Frequency and determinants

of pneumonia and urinary tract infection during stroke hospitalization. J

Stroke Cerebrovasc Dis. 2006;15:209–213.

32. Schwammenthal Y, Bornstein N, Schwammenthal E, Schwartz R,Goldbourt

U, Tsabari R, et al. Relation of effective anticoagulation in patients with atrial

fibrillation to stroke severity and survival (from the National Acute Stroke

(52)

33. Daniels SK, Anderson JA and Willson PC. Valid Items for Screening

Dysphagia Risk in Patients With Stroke : A Systematic Review. Stroke.

2012;43:892-897.

34. Basuki N. A. Perhitungan Besar Sampel. Diunduh dari:

http://www.scribd.com/doc/49889615/PENGHITUNGAN-BESAR-SAMPEL.

Dikutip pada: 10/09/2012.

35. Blayer FL.Atrial Fibrillation. In: Schmitz PG, Martin KJ, Miller DD. (Ed.).

Internal medicine, just the facts. USA: Mc-Graw Hill, 2008.

36. Heart and Stroke Foundation of Ontario. Management of Dysphagia in

Acute Stroke, An Educational Manual for the Dysphagia Screening

Professional. Toronto: Heart and Stroke Foundation of Ontario, 2006.

37. Meyer BC, Hemmen TM, Jackson CM and Lyden PD. Modified National

Institute of Health Stroke Scale for Use in Stroke Clinical Trials : Prospective

Reliability and Validity. Stroke. 2002.33:1261-1266.

38. Soertidewi L. Pemantauan Dengan Skala Stroke. Dalam: Misbach J,

Soertidewi L, Jannis J. (Ed.). Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi,

manajemen. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2011.

39. Dahlan MS. Seri Evidence Based Medicine 5. Penelitian Diagnostik.

Dasar-dasar Teoritis dan Aplikasi dengan Program SPSS dan Stata. Jakarta:

(53)

LAMPIRAN 1

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( Informed Consent )

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Pekerjaan :

Alamat :

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan PERSETUJUAN

untuk ikut dalam penelitian: ”Hubungan Skor Klinis A2

DS2 (Age, Atrial Fibrillation, Dysphagia, Sex and Stroke Severity) Terhadap Kejadian Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut.” dan dilakukan pemeriksaan foto toraks serta kultur darah terhadap diri/suami/istri/ ayah/ ibu / ___________________ saya :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Pekerjaan :

(54)

LAMPIRAN 2

Status Perkawinan: Kawin / Tidak kawin

Nomor MR :………..

Heart Rate : ………x/menit (reguler/ireguler)

Nadi : ………x/menit (reguler/ireguler)

5. Waktu antara saat serangan stroke sampai di RS :………jam…………hari

6. Riwayat infeksi paru/infeksi lainnya :………

7. Pemeriksaan Klinis Traktus Respiratorius :………

(55)

B. Setelah Masuk Rumah Sakit

1. Kesadaran : □ CM □ Apatis □ Somnolens □ Sopor □ Koma

SKG : ………

Tekanan Darah : ………mmHg

Heart Rate : ………x/menit (reguler/ireguler)

Nadi : ………x/menit (reguler/ireguler)

Pernafasan : ………x/menit

Temperatur : ………ºC

2. Waktu mulai terjadi infeksi paru (pneumonia) hari ke : ……… 3. Infeksi lain (infeksi saluran kemih, dll) : ...

4. Pemeriksaan Klinis Traktus Respiratorius :……….

(56)

LAMPIRAN 3

NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE (NIHSS)

Hari : ke-0 ke-14

1. a. Derajat Kesadaran Skor : ....… ….... 0 = sadar penuh

1 = somnolen (tidak sadar, tetapi bangun dengan stimulasi minimal) 2 = stupor (memerlukan stimulasi berulang untuk bangun)

3 = koma

1. b. Menjawab Pertanyaan (pasien menyebut bulan sekarang .…... ...…. dan umurnya)

0 = kedua jawaban benar

1 = satu jawaban benar / tidak bisa bicara karena ETT atau disartria 2 = kedua jawaban salah / afasia / stupor

1. c. Perintah : minta pasien untuk membuka dan menutup mata

dan mengepal/membuka kepalan tangannya pada sisi sehat ... ……

1 = gerakan abnormal hanya pada satu mata

2 = deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata

3. Lapangan pandang pada tes konfrontasi ……. ....…

0 = tidak ada gangguan (lapangan pandang baik) 1 = kwadranopia

2 = hemianopia total

3 = hemianopia bilateral (buta kortikal)

4. Paresis wajah : minta pasien menunjukkan gigi atau mengangkat

alis dan menutup mata ….… .……

0 = normal (gerakan simetris)

1 = paresis ringan (sudut nasolabial rata, asimetri saat senyum) 2 = paresis parsial (total paralise dari wajah bagian bawah) 3 = paresis total (komplit paralise dari satu atau kedua sisi /

tidak ada gerakan wajah pada bagian atas dan bawah)

(57)

Hari : ke-0 ke-14

5. Fungsi Motorik Lengan Kanan Skor : ……. ……

0 = tidak ada simpangan (OS disuruh angkat dua lengannya selama 10 detik)

1 = lengan menyimpang ke bawah selama 10 detik

2 = lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = tidak dapat melawan gravitasi

4 = tidak ada gerakan

X = tidak dapat diperiksa (amputasi / sendi menyatu)

6. Fungsi motorik lengan kiri (idem nomor 5) …… ……

7. Fungsi Motorik Tungkai Kanan .…. .……

0 = tidak ada simpangan (OS disuruh angkat dua kakinya bergantian selama 10 detik)

1 = kaki menyimpang ke bawah selama 10 detik

2 = kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh

3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan

X = tidak dapat diperiksa (amputasi / sendi menyatu)

8. Fungsi Motorik Tungkai Kiri (idem nomor 7) ……. .……

9. Ataksia Anggota Badan ……. .……

0 = tidak ada ataksia

1 = ataxia pada satu ekstremitas

2 = ataxia pada dua atau lebih ekstremitas 3 = tidak dapat diperiksa

10. Sensorik (gunakan jarum untuk memeriksa lengan,

tungkai, badan, dan wajah, bandingkan sisi demi sisi) ……. ..…… 0 = normal

1 = defisit parsial yaitu merasa tapi berkurang

2 = defisit berat yaitu tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral

11. Bahasa terbaik (minta pasien menjelaskan gambar atau nama) ……. ……

(58)

3 = tidak dapat diperiksa (intubasi atau hambatan fisik lain)

Hari : ke-0 ke-14

13. Neglect / tidak ada atensi Skor :……. ……

0 = tidak ada 1 = parsial 2 = total

Total ……. .……

Stroke severity: 0 – 4 = stroke ringan (mild)

5 – 15 = sedang (moderately severe) ≥ 16 = berat (severe/ very severe)

Dikutip dari:

1. Soertidewi L. Pemantauan Dengan Skala Stroke. Dalam: Misbach J, Soertidewi L, Jannis J. (Ed.). Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2011. 2. Hoffmann S, Malzahn U, Harms H, Koennecke HC, Berger K, Kalic M, et al. Development of a

(59)

SCREENING TEST DISFAGIA

Penderita dapat didudukkan dan sadar ≥ 15 menit ?

Penderita tidak boleh diberi makanan/minuman per oral Pasang NGT dan beri diet via NGT → (TES (+))

Segera bersihkan rongga mulut penderita.

Dudukkan penderita dan beri sesendok air sebanyak 3 kali. diberikan, apakah ada tanda-tanda berikut:

Penderita tidak boleh diberi makanan/minuman per oral Pasang NGT dan beri diet via NGT → (TES (+))

Penderita tidak boleh diberi makanan/minuman per oral Pasang NGT dan beri diet via NGT → (TES (+))

Dikutip dari: Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with stroke: identification and management of dysphagia. A national clinical guideline. 2010.

(60)

SKOR KLINIS

A

2

DS

2

Variabel Klinis Poin Penilaian Nilai Didapat

Age (Usia) < 75 tahun ≥ 75 tahun = 0 = +1

Atrial fibrillation (-) = 0

(+) = +1

Disfagia (-) = 0

(+) = +2

Sex (Jenis Kelamin) Perempuan = 0

Laki-laki = +1

Stroke severity (NIHSS)

0 – 4 = 0 5 – 15 = +3 ≥ 16 = +5

Nilai Total :

NIHSS: National Institutes of Health Stroke Scale

(61)

Gambar

Tabel 1. Gambaran karakteristik demografik subjek penelitian.
Tabel 2: Hubungan skor A2DS2 dengan insidens pneumonia pada penderita stroke
Tabel 3. Nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing dari skor A2DS2
Grafik 1. Titik potong kurva skor A2DS2
+3

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku

Penulis memilih judul Aplikasi Magang Siswa Di SMK Yuppentek 1 Tangerang Menggunakan Microsoft Visual Foxpro 9.0 sebagai bahan Penulisan Ilmiah karena sampai saat ini di SMK Yuppentek

karakter pada komputer yang diwakili oleh kode yang tersusun dari bilangan binary (1 sampai 0) .data ini disimpan sebagai rangkaian bit atau byte .kepanjangan dari bit adalah..

Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk membuat Website Informasi Spare Part motor jenis Racing dan Aksesoris motor dengan menggunakan Macromedia Dreamweaver MX Dari uraian

Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK

Dalam penulisan ilmiah ini penulis menggunakan program aplikasi Macromedia Flash 8.0 yang sudah dikenal sebagai program aplikasi pembuat animasi dan juga dengan menggunakan

Manfaat website ini baik siswa, orang tua, siswa lulusan SLTP yang ingin mendaftar di SMA ARRAHMAN maupun pihak luar yang sekedar mencari inofrmasi dapat mengakses website ini selama

Kepada peserta Pelelangan yang keberatan, diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan khususnya mengenai ketentuan dan prosedur yang telah ditentukan dalam dokumen