• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK

PIDANA PENCURIAN

(Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

OLEH

CARLOS SAMUEL KAIFU

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP memberikan ketentuan mengenai nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan tidak lebih dari Rp.2.500.000 maka ketua pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan cepat, dalam putusan pengadilan nomor 798/PID.B/2012/PN.TK telah terjadi tindak pidana pencurian dengan nilai kerugian yang dialami korban tidak melebih Rp.2.500.000. adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK dan apakah yang menjadi faktor penghambat penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dengan cara wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

(2)

nomor 798/PID.B/2012/PN.TK untuk dapat lebih memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara sebagaimana ditentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, sehingga terbitnya peraturan tersebut dapat benar-benar diimplementasikan sebagai bentuk restorative justice dengan tujuan menata kembali mengenai pemidanaan agar dirasa lebih adil bagi terdakwa, korban, keluarga terdakwa, keluarga korban maupun masyarakat. Untuk meminimalkan adanya faktor-faktor penghambat dalam penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, maka disarankan kepada institusi pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan untuk membuat suatu nota kesepahaman (MOU) yang didalamnya memuat kerangka acuan terkait dengan penyelesaian perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, serta dalam penanganan perkara tersebut mengedepankan penyelesaian perkara diluar persidangan dan mengedepankan restorative justice bagi pelaku tindak pidana ringan, sehingga dengan diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung tersebut benar-benar dapat dilaksanakan oleh seluruh instrumen penegak hukum.

(3)

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN

(Study Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012PN.TK)

Oleh

Carlos Samuel Kaifu

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 6 Mei 1990, penulis merupakan anak Pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Boike Sitorus, S.Pd dan Ibu Rosminar Manurung, S.Pd.

(7)

PERSEMBAHAN

Aku mempersembahkan karya ini kepada:

Bapakku tersayang Boike Sitorus, S.Pd.

Mamaku tercinta Rosminar Manurung, S.Pd.

Yang telah memberikan dukungan dan doa serta

harapan demi keberhasilanku kelak.

Kepada Adik laki-laki ku dan adik perempuan ku

yang ku kasihi Darwin Yan Gunawan dan Elisabeth

Maya Rosa

serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan

berharap demi keberhasilanku dalam meraih

cita-cita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum

Angkatan 2008

(8)

MOTO

Un Vero Cavaliere Non Lascia Mai Una

Signora

(Alessandro Del Piero)

Temukan Apa Yang Anda Takut, Hadapi

Itu, Dan Kemudian Anda Tidak Akan Takut

Lagi

.”

(Marilyn Manson)

Kata “Tuhan” diciptakan untuk menakuti

Manusia, agar percaya ada yang lebih agung,

lebih superior, lebih berkuasa diatas manusia

itu sendiri. Tidak ada Tuhan! Tuhan ialah

Dirimu Sendiri.

(9)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul“Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun2012 Terhadap Tindak Pidana Pencurian (Study Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012PN.TK)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari hambatan yang datang baik dari dalam ataupun luar diri penulis. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan dan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.

(10)

penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas Utama yang telah memberikan kritikan dan masukan yang luar biasa untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahasa Kedua atas ketersediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu HJ. Aprilianti, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Akademik yang dengan ikhlas telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang bermanfaat.

9. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang bapakuBoike Sitorus, S.Pd dan Mamaku Rosminar Manurung, S.Pd, untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupan ku.

10. Adik-adikku ku Darwin Yan Gunawan dan Elisabeth Maya Rosa yang selalu menjadi tawa dan obat rinduku dikala rindu dengan keluarga.

(11)

Manatar Capri Sitanggang,S.H., Daniel siagian,S.H., Boris Bess Gurning,S.H., Richie Mulia Radja,S.H., Raja Mangaliat Manik,S.H., Ferry Aditia Hutajulu,S.H.,terimakasih telah mengajarkan arti sebuah persahabatan selama ini kepadaku, kiranya kita bisa menjadi saudara selamanya.

13. Teman – teman Mahasiswa Fakultas Hukum, yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat Viva Justicia Hukum Jaya.

14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yan telah banyak membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

Apabila terdapat kekurangan dalam penulisan maupun pada penyusunan skripsi ini, maka penulis menerima saran, masukan, dan kritik dari pembaca sebagai perbaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung, 25 Juni 2015

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Halaman

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ... 18

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 25

C. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Dalam Pemeriksaan Peradilan Pidana ... 26

D. Putusan Hakim ... 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 35

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

(13)

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP ……….. 40 C. Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Tindak Pidana Pencurian dalam Perkara Nomor

798/PID.B/2012/PN.TK ………...…... 45 D. Faktor Penghambat Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Tindak Pidana Pencurian dalam Perkara Nomor

798/PID.B/2012/PN.TK …... 55 V. PENUTUP

A. Simpulan ………. 63

B. Saran ……… 64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak positif dan dampak negatif, dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan makmur kondisi ekonomi, sosial maupun politik, sedangkan dampak negatif yang timbul antara lain adanya kesenjangan dalam masyarakat, terutama kesenjangan sosial yang dalam hal ini dapat menimbulkan rasa iri atau dengki yang mengakibatkan adanya keinginan untuk memperkecil kesenjangan apabila dalam usahanya ia tidak mampu untuk bersaing dalam menghadapi kesenjangan tersebut maka orang akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat menguntungkan orang tersebut meskipun disadari bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

(15)

tindak pidana pencurian terutama lingkungan di kota-kota besar yang mengalami pergeseran budaya dari tradisional menuju kehidupan modernisasi, disamping itu tingkat sosial yang berbeda dalam masyarakat juga dapat menyebabkan timbulnya tindak pidana pencurian.

Tindak pidana pencurian merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia dan menjadi masalah yang tidak ada habisnya dalam kehidupan masyarakat, Pasal 362 KUHP memberikan rumusan mengenai pencurian, yaitu barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk dimilik secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling bayak sembilan ratus rupiah.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku ke dua, sedangkan pelanggaran diatur dalam buku ke tiga. Pada dasarnya kedua macam perbuatan pidana tersebut masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak sama dan memiliki ancaman hukuman yang berbeda-beda, akan tetapi setiap ancaman hukuman tidak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau pun pelanggaran. 1

Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka dalam upaya pemberian sanksi terhadap orang tersebut dilakukan melalui proses pemeriksaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diantaranya yaitu

1

(16)

pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat, pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan pelanggaran lalu lintas.

Pemeriksaan cepat dapat dilakukan terhadap perkara tindak pidana ringan dengan ketentuan bahwa tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 Ayat (1) Kitab Undang Hukum Acara Pidana, disamping itu Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan batasan terhadap tindak pidana pencurian terhadap barang yang dicuri harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam karena pencurian ringan.

Seiring dengan perkembangan zaman, manusia memerlukan peraturan yang sesuai dengan perkembangan zaman tersebut, salah tugas pemerintah dalam suatu negara adalah merumuskan peraturan-peraturan yang tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara kita berdasarkan hukum, namun hukum itu akan menjadi cacat bila penerapannya hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas seperti kasus pencurian sandal jepit, biji kakau atau jenis pencurian dengan nilai barang yang tidak terlalu besar, dalam menangani kasus demikian ini hakim dituntut untuk lebih jeli dalam menerapkan hukum dan tidak melihat seperti kaca mata kuda tetapi harus melihat secara luas.

(17)

Mahkamah Agung telah mengeluarkan peraturan Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 ditentukan bahwa kata-kata dua ratus lima puluh rupiah yang termuat dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selain pengaturan terhadap nilai barang, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 juga mengatur beberapa ketentuan yang merupakan penyesuaian ketentuan dalam KUHP mengenai nilai denda, pasal yang dimaksud adalah Pasal 303 Ayat (1) dan (2) KUHP serta Pasal 303 bis Ayat (1) dan (2) KUHP dengan nilai denda yang dilipatgandakan menjadi seribu kali, disamping itu juga mengatur mengenai penahanan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana ringan, dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 menentukan apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

(18)

yang terjadi di Bandar Lampung sebagaimana termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dengan nomor perkara 798/PID.B/2012/PN.TK.

Kronologis kejadian tindak pidana tersebut bermula ketika terdakwa Susanto dan Mad Adi pada tanggal 2 Juli 2012 dari Teluk Betung bermaksud untuk pergi ke daerah Ratu Langi dengan mengendarai sepeda motor yang dikemudikan oleh Susanto sedangkan Mad Adi membonceng, pada saat para terdakwa sampai di pertigaan lampu merah RSU Abdul Muluk melihat korban yang berada ditepi jalan sedang memegang handphone, maka para terdakwa langsung menghampiri korban dan mengambil handphone tersebut serta langsung melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi atas tindakan yang dilakukan para terdakwa maka korban berteriak meminta pertolongan kepada orang yang ada di sekitar lokasi tersebut dan selanjutnya para terdakwa di kejar oleh Taufik Hidayat hingga tertangkap dan dibawa ke Polresta Bandar Lampung, atas dasar perbuatan para terdakwa, korban telah mengalami kerugian sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah).

(19)

sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum dan menghukum para terdakwa dengan pidana penjara selama 11 bulan.

Berdasarkan uraian kronologis tersebut diatas diketahui bahwa telah terjadi pencurian yang dilakukan oleh para terdakwa dengan nilai barang sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah), dalam proses penerapan hukum terhadap para terdakwa Majelis Hakim memandang bahwa para terdakwa layak untuk dijatuhkan pidana penjara selama 11 bulan karena telah melanggar ketentuan Pasal 365 Ayat (2) KUHP, namun disisi lain hakim kurang memperhatikan adanya ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP khususnya yang termuat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 peraturan tersebut yang mewajibkan setiap hakim untuk memperhatikan nilai barang yang menjadi objek perkara.

Penerapan pidana yang dimaksud dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK perlu untuk diadakan suatu tinjauan yuridis guna mengetahui bagaimana mekanisme dalam pemidanaan terhadap terdakwa dengan mengkaji undang-undang yang dilanggar oleh terdakwa yakni Pasal 365 Ayat (2) KUHP yang disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkan dalam tulisan yang berbentuk skripsi

dengan judul “Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun

(20)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka peneliti mengangkat permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK ?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai penerapan peraturan mahkamah agung nomor 2 tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK

b. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai faktor penghambat penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian dalam perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

(22)

Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian (studi kasus perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan bagi penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait dalam menangani permasalahan tindak pidana pencurian, selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori dan tambahan kepustakaan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat.

Sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan normatif, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang beraku, sehingga

2

(23)

komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum.

b. Pendekatan administrasi, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai suatu management yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun hubungan yang bersifat vertikal sesuai struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.

c. Pendekatan sosial, memandang memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, hal ini memberi pengertian bahwa seluruh masyarakat ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau tidak terlaksananya tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut.3

Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, berdasarkan ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa

“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi

kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.

Penjelasan terhadap ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung adalah “apabila dalam jalannya peradilan terdapat

kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi, dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan

3

(24)

oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-undang, penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan, dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau pun pembagian beban pembuktian”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menerbitkan sebuah peraturan yang berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) merupakan pengaturan bersifat bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat administrasi dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) merupakan pengaturan bersifat hukum beracara.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

(25)

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan tergugat;

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukum yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan hakim;

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputusnya;

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya, karena dengan pengalaman tersebut, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangn hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara

f. Teori Kebijaksanaan

(26)

sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya, mempersiap mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut. 4

Teori tujuan pemidanaan pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering digunakan dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu :

1. Tujuan pemidanaan menurut teori Absolut/pembalasan, antara lain : a. Tujuan pemidanaan hanyalah sebagai pembalasan;

b. pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat; c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pemidanaan; d. pidana harus sesuai dengan kesalahan si pelanggar;

e. pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku.

2. Tujuan pemidanaan menurut teori relative/tujuan, antara lain : a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan;

b. pencegahan bukan sebagai tujuan akhir tapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pemidanaan harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai alat pencegahan kejahatan;

e. pemidanaan melihat kedepan, atau bersifat prospektif.

3. Tujuan pemidanaan menurut teori integratif/gabungan, teori ini menganggap pemidanaan sebagai unsur penjeraan dibenarkan tetapi tidak mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat si pelaku dapat berbuat baik dikemudian hari.5

Tujuan pidana/pemidanaan apabila bertolak dari tujuan nasional harus dikaitkan dengan 4 (empat) aspek atau ruang lingkup dari perlindungan masyarakat, yaitu :

4

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, 2010, hlm 105-112.

5

(27)

1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka tujuan pemidanaan (penegakan hukum pidana) adalah mencegah dan menanggulangi kejahatan.

2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena itu, pidana/hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha merubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dar penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya, oleh karena itu wajar pula apabila tujuan pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi).

4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 6

Bertitik tolak dari keempat aspek tujuan perlindungan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek pokok, yaitu ;

1) Aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana. Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan : a. Pencegahan Kejahatan;

b. pengayoman (pengamanan) masyarakat; c. pemulihan keseimbangan masyarakat; d. penyelesaian konflik (conflict oplosing); e. mendatangkan rasa damai (vrede making).

2) Aspek perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana (aspek individualisasi pidana).

6

(28)

Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan :

a. Rehabilitasi,reduksi,resosialisasi (memasyarakatkan) terpidana, antara lain :

1. Agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain/masyarakat;

2. Agar berbudi perkerti (berakhlak Pancasila). b. Membebaskan rasa besalah.

c. Melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang tidak masnusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia).7

Teori yang digunakan untuk menjawab permasalah mengenai faktor yang mempengaruhi atau faktor penghambat dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukum itu sendiri;

b. Faktor penegak hukum itu, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasari pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.8

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan. 9

7

Ibid, hlm 49 8

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995,

(29)

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap Tindak Pidana Pencurian. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah:

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya.10

b. Tindak Pidana Ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.11

c. Pencurin adalah mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara melawan hukum.12

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

9

Soerjono Soekanto, Op.Cit,hlm 132. 10

Sulchan Yasin Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta,Balai Pustaka,1997,hlm 34. 11

Pasal 205 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 12

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data, pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas yaitu Analisis Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Terhadap Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

V. PENUTUP

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seorang terdakwa dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang terjadi atau tidak, apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab maka orang tersebut dapat dipidana.

Menurut Roeslan Saleh, dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan pidana yang terlarang dan tercela tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.13

Pasal-pasal yang termuat dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan

13

(32)

tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak, apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana tentu orang tersebut dapat dipidana, demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi orang tersebut tidak dapat dikenakan pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, Moeljatno mengemukaka tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diacam pidana.

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam dengan pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkannya.14

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh

14

(33)

undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. 15

Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan intilah strafbaar feit, sebagai berikut :

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.16

Simons mengartikan perbuatan pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.17

Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan.18

15

Teguh Prasetyo, Op.Cit hlm 48. 16

Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 54

17

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik)Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hlm. 4.

18

(34)

Pompe menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.19

1. Tindak Pidana Pencurian

Pencurian adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia yang

diatur dalam bab XXII buku II KUHP, Pasal 362 KUHP menyebutkan “Barang

siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda

paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP terdiri dari unsur subjektif yaitu, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum dan unsur objektif yakni, barang siapa mengambil sesuatu benda dan sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.20

19

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika , Jakarta, 1995,hlm. 225. 20

Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Edisi Kedua,

(35)

Menurut KUHP pencurian itu dapat dikategorikan kedalam lima macam, yaitu sebagai berikut :

a. Tindak Pidana Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHPidana);

b. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Pasal 363 KUHPidana); c. Tindak Pidana Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHPidana);

d. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHPidana); e. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga (Pasal 367 KUHPidana).

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat dalam rumusan Pasal 362 KUHP.

Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :

a. Cara mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi, yang dimaksud dengan mengambil secara sembunyi-sembunyi adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang bepergian.

b. Barang yang dicuri adalah berupa harta, dalam hal ini barang yang di syaratkan adalah berupa harta yang bergerak, berharga menurut pemiliknya, disimpan ditempat yang layak.

(36)

d. Adanya unsur kesengajaan melakukan perbuatan pidana. e. Adanya niat untuk memiliki barang secara melawan hukum. 21

2. Tindak Pidana Ringan

KUHP mengenal dua bentuk peristiwa pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, terhadap kejahatan terbagi menjadi dua bentuk yaitu kejahatan biasa dan kejahatan ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah tindak pidana ringan. Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit untuk ditemukan dalam KUHP, namun difinisi tersebut dapat dipahami dalam rumusan Pasal 205 Ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “ yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentuakan dalam paragraf 2 bagian

ini”. Dalam KUHP terdapat sembilan Pasal yang mengatur mengenai tindak

pidana ringan diantaranya yaitu Pasal 302 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 Ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 KUHP mengenai pencurian ringan, Pasal 373 KUHP mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 KUHP mengenai penipuan ringan, Pasal 384 KUHP mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 Ayat (1) KUHP mengenai perusakan barang, Pasal 482 KUHP mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan.

21

(37)

Pasal 205 Ayat (2) KUHAP menentukan bahwa “dalam pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) penyidik atas kuasa penuntut umum dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke pengadilan”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dalam pemeriksaan cepat prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan sendiri oleh penyidik tanpa melibatkan penuntut umum.

Terhadap penanganan perkara tindak pidana ringan dalam kententutan KUHP dan KUHAP, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur lebih lanjut mengenai proses pemeriksaan perkara tindak pidana ringan dengan memberi batasan-batasan tertentu mengenai tindak pidana ringan yang termuat dalam beberapa pasal, diantaranya adalah :

Pasal 1 :

“Kata-kata"dua ratus lima puluh rupiah "dalam pasal 354, 373, 379, 384, 407 dan

pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu

rupiah)”.

Pasal 2 :

(38)

2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.

3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

B. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang dibagi menjadi 2 macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.

Lamintang menjelaskan mengenai unsur-unsur subjektif dan objektif dalam suatu tindak pidana, yaitu :

Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat 1 KUHP.

3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP.

(39)

Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu sebagai kenyataan.22

C.Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dalam Pemeriksaan Peradilan Pidana

Pada dasarnya Mahkamah Agung bukan merupakan badan atau cabang kekuasaan negara yang diberi kekuasaan dan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, karena kekuasaan dan kewenangannya sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) menurut Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice).23

Kedudukan PERMA sebagai produk hukum Mahkamah Agung pada dasarnya mengikat internal lembaga pengadilan dibawahnya, sedangkan dalam sebuah sistem peradilan pidana pihak yang terlibat sebagai subsistem dibawahnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengdilan, dan lembaga pemasyarakatan, dengan demikian maka keberadaan suatu PERMA hanya berlaku dan bersifat mengikat bagi lembaga pengadilan. Secara langsung tidak ada wewenang Mahkamah Agung terhadap penyidik dan penuntut umum sehingga Peraturan Mahkamah Agung yang diterbitkannya tidak mempunyai sifat mengikat terhadap penyidik dan penuntut umum, akan tetapi dengan himbauan dari Mahkamah Agung kepada seluruh pengadilan agar mensosialisasikan penyesuaian sesuai isi Peraturan

22

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997,hlm 194.

23

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara

(40)

Mahkamah Agung tersebut kepada kejaksaan, maka akan mempunyai pengaruh terhadap proses penuntutan bahkan penyidikan. Adanya keterkaitan yang erat antar fungsi dan wewenang aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, pengadilan) sebagaimana dimaksud dalam sistem peradilan pidana terpadu, maka dapat dijadikan dasar diberlakukannya ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 oleh penyidik dan penuntut umum.

Menurut Bagir Manan, bahwa dalam sistem peradilan terpadu adalah keterpaduan antara penegak hukum. Keterpaduan dimaksudkan agar proses peradilan dapat dijalankan secara efektif, efisien, saling menunjang dalam menemukan hukum yang tepat untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun menurut pandangan kesadaran, atau kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat pada umumnya.24

Menurut Muladi, model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia

adalah model yang mengacu pada “daad-dader srafrecht” yang disebut dengan

Model Keseimbangan Kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu, kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.25

Tidak adanya sifat mengikat dari PERMA terhadap penyidik dan penuntut umum, maka ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2

24

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 93. 25

(41)

Tahun 2012 mulai diberlakukan setelah perkara-perkara pidana masuk pada pengadilan dengan mengacu pada kententuan Pasal 2 tersebut yaitu :

1. Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penggelapan, penipuan, penadahan dari penuntut umum ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara dan memperhatikan Pasal 1 diatas;

2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ketua pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP;

3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

D. Putusan Hakim

Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut, proses penjatuhan putusan yang dilakukan oleh seorang hakim merupakan suatu proses yang komplek dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.

(42)

Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang dinamakan dengan putusan hakim, yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbukan untuk umum yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.

Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :

a. Tahap menganalisis perbuatan pidana ; b. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana ; c. Tahap penentuan pemidanaan.26

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Pasal 197 Ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang adanya formalitas yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat putusan pemidanaan, yang jika tidak terpenuhi maka keputusan tersebut dapat mengakibatkan batal demi hukum, ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :

26

(43)

a. Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disususn secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktiana yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan ;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

(44)

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera.

Sesudah putusan pemidanan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) huruf b jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

(45)
(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.27

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu mengenai analisis penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap tindak pidana pencurian (studi kasus perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK)

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti, digunakan metode wawancara dengan hakim, dan jaksa yang menangani perkara tindak pidana nomor 798/PID.B/2012/PN.TK, disamping itu juga pendapat dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, semuanya

27

(47)

berfungsi sebagai pembantu dalam menganalisis skripsi ini. Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang bersifat analisis.

B. Sumber dan Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.28

Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada responden, yaitu Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

28

(48)

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah, putusan pengadilan negeri tanjung karang perkara nomor 798/PID.B/2012/PN.TK, dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu meliputi kamus ensiklopedia, literatur-literatur.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian.29 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

29

(49)

Untuk menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti, digunakan metode purposive sampling yaitu dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi.

Responden dalam penulisan ini sebanyak 3 (empat) orang yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

(50)

Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapan. Metode wawancara yang digunakan adalah standartisasi interview dimana hal-hal yang akan dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakan masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

(51)
(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dalam Perkara Nomor 798/PID.B/2012/PN.TK tidak berlaku dikarenakan faktor tindak pidana yang dilakukan dan ketentuan undang-undang yang dilanggar oleh terdakwa, penerapan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung tersebut belum bisa dilaksanakan karena pasal-pasal yang diajukan oleh jaksa penuntut umum belum dikatagorikan sebagai tindak pidana ringan.

(53)

B. Saran

1. Berkaitan dengan penjatuhan pidana ringan, maka seharusnya persidangan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan perkara dapat dilaksanakan oleh penyidik sendiri tanpa melibatkan penuntut umum, disamping itu ketua pengadilan juga tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan terhadap terdakwa.

2. Disarankan kepada institusi pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan untuk membuat suatu nota kesepahaman (MOU) yang didalamnya memuat kerangka acuan terkait dengan penyelesaian perkara yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan, serta dalam penanganan perkara tersebut mengedepankan penyelesaian perkara diluar persidangan dan mengedepankan restorative justice bagi pelaku tindak pidana ringan, sehingga dengan diterbitkannya

(54)

A. BUKU-BUKU

Arief, Barda Nawawi Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996.

Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975.

Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

Hamzah, Andi Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Husein, Harun M. Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta. Bandung. 1986.

Lamintang, P.A.F. dan Samosir, C. Djisman Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981.

---, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet.3, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar. Grafika, Jakarta. 1992.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Muhammad, Ali. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Pustaka Amani. Jakarta. 1980

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama Jakarta 2004.

---, Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa, Bandung, 1988

(55)

Saleh, Roeslan Perbuatan Pidana dan Pertanggun jawaban Dalam Hukum Pidana, PT Aksara Baru, Jakarta, 1981

Salman, Otje dan Susanto, Anton F. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. PT Refika Aditama, Bandung, 2004

Satria, M. Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV,:Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta, 1996.

Soekamto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004

---, Penelitian Hukum Normatif, PT. Rajawali Press, Jakarta, 1984.

---, Metode Penelitian Sosial, UI Press, Jakarta, 1991

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan ke empat, Penerbit: Alumni, Bandung, 1986.

Syafruddin, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Alumni. Bandung, 2002. 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia (KUHP)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(56)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

C. SUMBER LAINNYA

Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Semarang, 25 Juni 1994, Penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.

Hakim,Lukman. Kamus Bahasa Inggris. Penerbit: Tangga Pustaka, Jakarta. 1987

Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1987 Sidharta, B. Arief Filsafat Hukum Pancasila (Bahan Kuliah Umum),

Disampaikan pada Ceramah Umum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, November, 2008

Simorangkir, JCT et.al, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2003

Referensi

Dokumen terkait

10 Penyalahgunaan dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Sesuai Dengan Ketenttuan Yang Berlaku, maka pada hasil penelitia, wawancara, dan pembahasan, maka dapat

(c) Hubungan Laporan Penelitian Kemasyarakatan terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak akan memberikan petunjuk bagi Hakim tentang tindakan atau hukuman apa yang

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, serta selama pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan

Salah satu dari lokasi tersebut telah berdiri diatasnya sebuah usaha SPBU Nomor Seri 54.684-34 yang memiliki 4 (empat) dispenser dengan pendapatan bruto migas rata-rata setiap

Gulma spesies tertentu secara ekologis dapat tumbuh dengan baik pada daerah budidaya dengan jenis tanaman tertentu dan mendominasi daerah pertanaman

Berita buruknya adalah pemanasan global membuat suhu es di kutub utara dan kutub selatan menjadi semakin panas, sehingga metana beku yang tersimpan dalam lapisan es di

Seperti yang terjadi pada PSB Universitas Negeri Jakarta (UNJ), saat mulai didirikan pada tahun 1986 hingga tahun 1999, PSB UNJ dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan volume darah pada saat menstruasi dengan kejadian anemia pada mahasiswa Akademi Kebidanan Internasional Pekanbaru Tahun