• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (Nkt) Terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (Nkt) Terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

MANFAAT AREAL NILAI KONSERVASI TINGGI (NKT)

TERHADAP KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI

PERKEBUNAN SAWIT BESAR PROVINSI RIAU

SITI NURJANNAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SITI NURJANNAH. Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) Terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau. Dibimbing oleh ERVIZAL AM ZUHUD dan ARZYANA SUNKAR.

Alokasi sisa hutan diharapkan dapat meningkatkan variasi habitat di perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan keanekaragaman hayati. Salah satu sisa hutan di perkebunan kelapa sawit adalah areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT). RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System) mengusung NKT sebagai salah satu syarat sertifikasi perkebunan kelapa sawit agar dapat berkelanjutan dan mengurangi dampak negatif secara ekologi. Sampai saat ini, belum diketahui sejauh mana manfaat dan bentuk pengelolaan areal NKT dalam konservasi keanekaragaman hayati, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manfaat areal NKT untuk tumbuhan dan satwaliar dan bentuk pengelolaan areal NKT di perkebunan sawit.

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2016 di empat perusahaan sawit besar Provinsi Riau di Kabupaten Kampar dan Pelalawan. Metode pengumpulan data untuk inventarisasi keanekaragaman tumbuhan yaitu analisis vegetasi, sedangkan untuk data satwaliar menggunakan metode transek garis dan pemasangan kamera trap (mamalia dan burung) dan metode time search (kupu-kupu), serta wawancara kepada masyarakat dan pengelola. Analisis data menggunakan kerapatan relatif, Indeks Shanon-Wiener, Indeks Margaleff, Indeks Evenness, dan analisis deskriptif untuk data hasil wawancara.

Areal NKT pada lokasi penelitian ditetapkan pada tahun 2011 (lokasi 1) dan tahun 2013 (lokasi 2, 3, 4). Hasil identifikasi NKT pada keempat lokasi menunjukkan tipe yang berbeda-beda. Lokasi 1 dan 2 adalah NKT 1, sedangkan lokasi 3 dan 4 adalah NKT 4. Areal NKT yang memiliki nilai keanekaragaman tumbuhan paling tinggi yaitu lokasi 1 dan lokasi 2, keanekaragaman mamalia paling tinggi di lokasi 1, keanekaragaman burung tertinggi di lokasi 3, dan kupu-kupu pada lokasi 4. Keberadaan satwaliar di areal NKT sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman spesies tumbuhan sebagai tumbuhan pakan dan beraktivitas (mamalia dan burung) dan tumbuhan inang (kupu-kupu).

(5)

SUMMARY

SITI NURJANNAH. The Benefits High Conservation Value Area (HCV) for Biodiversity Conservation in Oil Palm Plantation Riau Province. Supervised by ERVIZAL AM. ZUHUD and ARZYANA SUNKAR.

The allocation of the remaining forest is expected to increase the variety of habitats in oil palm plantations to increase biodiversity. One of the remaining forest in oil palm plantations are areas of High Conservation Value (HCV). RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) and the ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System) carrying HCV in one of the conditions of certification of oil palm plantations in order to be sustainable and reduce negative ecological impacts. Until now not known the extent to which the benefits and forms of management of HCV areas in biodiversity conservation, so this study aimed to analyze the benefits of HCV for plant and wildlife and management form of HCV in oil palm plantations.

The study was conducted in March-April 2016 in the four major oil companies in Kampar and Pelalawan District, Methods of data collection: vegetation analysis method for plants diversity, line transect method and installation of camera traps for mammals and birds diversity, time search method for butterflies diversity, and interview the community and the owners. Data analysis: Shannon-Wiener index, Margaleff index, evenness index, and a descriptive analysis data from interviews.

HCV area of the study sites designated in 2011 (location 1) and in 2013 (location 2, 3, 4). The results in four locations showed HCV have different types. Location 1 and 2 are HCV1, while the location of 3 and 4 are HCV4. HCV areas that have the highest value of plant diversity that is the location 1 and location 2, the highest mammalian diversity in location 1, the highest bird diversity in three locations, and butterflies on location 4. The presence of wildlife in the HCV area strongly influenced by the diversity of plant species as food plants and move (mammals and birds) and host plants (butterfly).

Form of management of each area of HCV is different, thus causing the diversity of plants and wildlife in the area HCV varies. Management practices applied, namely enrichment plant species (locations 1, 3, and 4), a tree protection beehive (location 2), and the establishment of riparian zones (locations 3 and 4). Determination of HCV areas are in accordance with the guidelines of HCV-RN in 2013 but required enrichment plant species useful to keep the preservation of wildlife and the social conditions of the environment around oil palm plantations.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

MANFAAT AREAL NILAI KONSERVASI TINGGI (NKT) TERHADAP

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT BESAR PROVINSI RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia -Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 ini ialah Manfaat dan Bentuk Pengelolaan Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Perkebunan Kelapa Sawit Besar Provinsi Riau.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud MS dan Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar M.Sc selaku pembimbing dan telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Yanto Santosa DEA, Ir Erniwati M.Sc dan seluruh tim Riset Sawit Riau, Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Pradipta Banu S.Hut, Amanda Nastria Okta S.Pd, Hafizah Nahlunnisa M.Si, Galuh Masyithoh M.Si, seluruh satff dan karyawan PT Perkebunan Nusantara V Tamora, PT Surya Agrolika Reksa, PT Adimulia Agrolestari, dan PT Mitra Unggul Pusaka, ayah, ibu, dan keluarga, pejuang Msi Fasttrack 48, dan sahabat KVT 2014-2015 atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Alur Pikir Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia 3

Konsep Nilai Konservasi Tinggi 4

Proses Penetapan Areal NKT 6

Keanekaragaman Tumbuhan 7

Keanekaragaman Satwaliar 9

3 METODE 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 11

Alat, Bahan, dan Instrumen Penelitian 12

Metode Pengumpulan Data 13

Analisis Data 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Manfaat Areal NKT terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati 17

Keanekaragaman spesies tumbuhan 17

Keanekaragaman spesies mamalia 19

Keanekaragaman spesies burung 21

Keanekaragaman spesies kupu-kupu 22

Potensi manfaat spesies tumbuhan di areal NKT 23 Pemanfaatan ruang areal NKT untuk satwaliar 25

Bentuk Pengelolaan Areal NKT 29

Pengayaan spesies tumbuhan 30

Perlindungan pohon sialang 33

Sistem zonasi 34

Persepsi masyarakat terhadap areal perkebunan kelapa sawit 35

Rekomendasi pengelolaan areal NKT 36

5 SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 47

(12)

DAFTAR TABEL

1 Tipe, fungsi, dan kriteria areal NKT di lokasi penelitian 7

2 Jenis data yang dikumpulkan 13

3 Lokasi penelitian pada setiap perusahaan 14

4 Nilai keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan di lokasi penelitian

18 5 Kerapatan spesies tumbuhan tertinggi di lokasi penelitian 19 6 Keanekaragaman spesies mamalia di perkebunan sawit besar 20 7 Keanekaragaman spesies burung di perkebunan sawit 22 8 Keanekaragaman spesies kupu-kupu di perkebunan sawit 23 9 Potensi manfaat spesies tumbuhan di areal NKT 24 10 Bentuk pengelolaan areal NKT dan pengaruhnya terhadap

keanekaragaman hayati

30

11 Kesesuaian NKT dan rekomendasinya 35

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Pikir Penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian 12

3 Petak pengamatan analisis vegetasi 15

4 Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh mamalia sebagai pohon pakan : (a) Ficus variegata, (b) Pternandra caerulescens

21 5 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh mamalia : (a) bajing

(Callosciurus notatus) dan (b) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

22

6 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies burung : (a) Psittacula longicauda dan (b) Aegithina tiphia

23 7 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies kupu-kupu : (a)

Mycalesis horsfieldii, (b) Graphium sarpedon

24 8 Pemanfaatan areal NKT lokasi 1 : (a) Bajing (Callosciurus notatus),

(b) betet ekor panjang (Psittacula longicauda), (c) lutung kelabu (Presbytis cristata), (d) Junonia orithya

27

9 Pemanfaatan areal NKT lokasi 2: (a) Ypthima horsfieldii,(b) jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), elang ular bido (Spilornis cheela), tekukur biasa (Streptopelia chinensis)

28

10 Pemanfaatan areal NKT di lokasi 3 dan 4 oleh satwaliar: (a) Papilio memnon, (b) Mycalesis horsfieldii, (c) Leptosia nina, (d) Neptis hylas, (e) kareo padi (Amaurornis phoenicurus), (f) bubut alang-alang (Centropus bengalensis), (g) Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps)

29

11 Pengayaan spesies di NKT lokasi 1 31

12 Areal NKT di lokasi 3 dan 4 31

13 Jumlah spesies tumbuhan untuk pengayaan spesies 32

14 Pohon sialang di lokasi 2 33

15 Sistem zonasi di areal NKT lokasi 3 dan 4: (a) Sistem zonasi sepanjang 50 m pada sempadan sungai, (b) pengayaan spesies tumbuhan di sempadan sungai

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi umum lokasi penelitian 47

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang memiliki peran penting bagi perindustrian dan pembangunan ekonomi Indonesia (Casson 1999; Sheil et al. 2009; McCarthy dan Zen 2010; WG 2011; Gingold et al. 2012; Fitriani et al. 2015). Area konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia paling banyak ditemukan di Kalimantan dan Sumatera (Potter 2015). Hasil penelitian Tarigan et al. (2015) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit terus mengalami peningkatan dari 7.8 juta hektar pada tahun 2010 menjadi 10 juta hektar pada tahun 2015 (Potter 2015), dan diduga akan terus meningkat mendekati 20 juta hektar pada tahun 2020 (Rist et al. 2010; Potter 2015).

Perkebunan kelapa sawit yang monokultur dianggap telah mengubah tata guna lahan sehingga menurunkan keanekaragaman hayati (Pribadi 2005; Fitzherbert et al. 2008; Danielsen et al. 2009, Koh and Wilcove 2008; Sodhi et al. 2010; Ayat 2011; Azhar et al. 2012; Azhar et al. 2015). Aratrakorn et al. (2006) menemukan bahwa konversi hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit menurunkan kekayaan spesies minimal 60%. Hasil penelitian Maddox et al. (2007) juga mengindikasikan hal yang sama, bahwa keanekaragaman tumbuhan di areal perkebunan kelapa sawit lebih rendah dibandingkan hutan alam, yaitu sebanyak 75%, namun Foster et al. (2011) menemukan bahwa fungsi ekosistem di perkebunan kelapa sawit telah tergantikan dengan adanya spesies baru di perkebunan kelapa sawit, khususnya untuk serangga.

Alokasi sisa hutan di hutan produksi dan perkebunan dapat digunakan untuk pelestarian keanekaragaman hayati (Meijaard et al. 2006). Salah satu sisa hutan di perkebunan kelapa sawit adalah areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT), sehingga diharapkan di perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap meningkatnya keanekaragaman hayati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa variasi habitat berpengaruh terhadap keberadaan burung (Dewi et al. 2007), mamalia (Santosa et al. 2008), dan kupu-kupu (Febrita et al. 2014, Lien 2015, Rahayu dan Basukriadi 2012, Stefanescu 2009) karena perbedaan vegetasi yang ada pada setiap habitat berbeda. Oleh karenanya, sebagai upaya mengurangi berbagai dampak negatif secara ekologi di perkebunan kelapa sawit, maka RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) mengusung NKT di dalam salah satu syarat sertifikasi perkebunan kelapa sawit agar dapat berkelanjutan yang termuat dalam prinsip ke-5, yaitu tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dan prinsip ke 7, yaitu pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab (WG 2011).

(16)

2

kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. NKT dibagi berdasarkan fungsinya yaitu memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang penting (NKT1), memiliki bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami (NKT2), merupakan ekosistem langka atau terancam punah (NKT 3), menyediakan jasa lingkungan alami (NKT4), memiliki fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal (NKT5), dan untuk identitas budaya komunitas lokal (NKT6) (HCV RN 2013).

Suhartini (2009) menyatakan bahwa studi tentang keanekaragaman hayati sangat diperlukan guna mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan konservasi yang efisien. Hal ini bertujuan untuk melestarikan dan mempertahankan keanekaragaman hayati yang tersisa, oleh karena itu pentingnya dilakukan penelitian mengenai manfaat dan bentuk pengelolaan areal NKT dalam konservasi keanekaragaman hayati di area perkebunan sawit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalis manfaat areal nilai konservasi tinggi terhadap konservasi keanekaragaman hayati di perkebunan sawit besar Provinsi Riau, dengan rincian sebagai berikut :

1. Menganalisis manfaat areal NKT terhadap keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun satwaliar (mamalia, burung, kupu-kupu)

2. Merumuskan bentuk pengelolaan berkelanjutan areal NKT di perkebunan kelapa sawit besar

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi untuk pemerintah dan pengelola mengenai manfaat areal nilai konservasi tinggi terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Data dan informasi ini dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan dalam manajemen pengelolaan areal NKT yang efektif, sehingga perkebunan kelapa sawit dapat berjalan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan manfaat areal NKT, khususnya terhadap keanekaragaman hayati.

Alur Pikir Penelitian

(17)

konsep-3 konsep NKT berdasarkan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi tinggi di Indonesia versi 2 Tahun 2008 (HCV RN 2013).

Konsep yang diusung dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana perkebunan kelapa sawit menerapkan areal NKT yang sudah ada, baik dari segi ekologi maupun sosial. Alur pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Alur Pikir Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia

Kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1911, dibawa oleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empat pohon sawit pertama dibawa dari Congo, untuk kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannya dengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembangbiakan dari tanaman induk inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatra (Yakub dan Samon 2011).

Perkebunan kelapa sawit memiliki banyak manfaat khusunya perkembangan perekonomian di Indonesia (McCarthy dan Zen 2010, Li 2015). Hal ini sejalan dengan data Statistik Dirjen Perkebunan 2016 bahwa luas lahan perkebunan

Persepsi negatif: penurunanan keanekaragaman hayati

Areal NKT

Analisis :

 Keanekaragaman tumbuhan  Keberadaan satwaliar

 Manfaat dan fungsi Areal NKT 

Perkebunan Sawit SAWITKelapa Sawit

Variasi Habitat :

Meningkatkan keanekaragaman hayati

Hutan Sekunder (diluar HGU) Kebun Tanaman

Sawit

Bentuk pengelolaan areal NKT di perkebunan sawit

(18)

4

kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Selain itu, Indonesia menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan kontribusi sebanyak 48% dari total volume produksi minyak sawit di dunia (Liew 2015). Keberadaan perkebunan kelapa sawit juga dipandang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati karena perubahan fungsi lahan (Fitzherbert et al. 2008, Koh dan Wilcove 2008, Widodo dan Dasanto 2010, Vijay et al. 2016). Selain itu dampak negatif dari adanya perkebunan kelapa sawit adalah kesulitan mendapatkan air bersih, perubahan cuaca, kesulitan menanam tanaman lain, dan kondisi tanah semakin gersang (Widodo dan Dasanto 2010). Namun hal itu tidak sependapat dengan Dradjat (2012) yang mengungkapkan bahwa kelapa sawit bukan penyebab utama konversi lahan, tetapi ada faktor lain yang menyebabkan penyusutan habitat satwaliar yaitu perburuan dan pertambangan.

Minyak kelapa sawit mewakili 33.6 persen dari perdagangan minyak nabati di dunia, dan produksi kelapa sawit Indonesia menyumbang 44.7 persen dari perdagangan di pasar dunia tersebut. Hampir sebagian besar produk kelapa sawit memang ditujukan untuk ekspor, sebab sejak awal tanaman ini ditanam di Indonesia memang ditujukan untuk kebutuhan ekspor dengan rata-rata peningkatan volume ekspor meningkat 18 persen per tahun (Sinaga 2010).

Di sisi lain, dengan maraknya isu kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan, Pemerintah membuat sebuah instrumen penilaian yang berdasar pada prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berwawasan lingkungan yaitu ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). ISPO merupakan skema sertifikasi perkebunan kelapa sawit lestari dan berkelanjutan yang wajib diikuti dan diterapkan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2014. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, sampai dengan Januari 2014, baru ada 40 perusahaan (dari ribuan perusahaan) perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan sertifikat ISPO dengan luasan sekitar 372.061 hektare. Selain ISPO, dikenal juga Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak tahun 2004 yang sifatnya sukarela. Hingga pertengahan tahun 2014, diperkirakan luas areal perkebunan kelapa sawit yang bersertifikat RSPO adalah sekitar 1.98 juta hektar. Berdasarkan sertifikat ISPO dan RSPO diatas, dari sekitar 10 juta hektar luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini, hanya sekitar 2.4 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit yang telah menerapkan prinsip kelestarian dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Meskipun perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang telah bersertifikat ISPO attau RSPO juga ternyata tidak terjamin bebas dari deforestasi dan konflik sosial, lebih besarnya areal perkebunan sawit yang tidak bersertifikat ISPO atau RSPO, 7.6 juta hektar, dibanding areal-areal yang sudah bersertifikat tersebut, berarti sangat besarnya potensi deforestasi dan konflik sosial di seluruh areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Purba et al. 2014).

Konsep Nilai Konservasi Tinggi

(19)

5 unit pengelolaan yang diharapkan berlangsungnya pembangunan dari suatu unit pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya yaitu terjaganya nilai-nilai penting dari suatu kawasan. Konsep HCV pada awalnya dirancang dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi (areal hak pengelolaan hutan/HPH). Konsep ini berkembang sehingga dapat digunakan di berbagai sektor yang lain. Keberadaan HCV pada sektor publik digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan provinsi, seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia (HCV-RIWG 2009).

Keberadaan Konsep NKT juga telah diadopsi ke dalam skema sertifikasi lainnya oleh berbagai organisasi dan institusi yang bertujuan untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan nilai-nilai lingkungan dan sosial yang signifikan atau penting sebagai bagian dari tata kelola yang bertanggung jawab. NKT mengharuskan tingkat perlindungan yang lebih tinggi untuk memastikan keberlangsungan dalam jangka panjang (HCV-RN 2013). Priambudi (2015) menegaskan bahwa setiap rencana atau realisasi pelaksanaan perubahan bentang alam diharuskan mempertimbangkan nilai konservasi tinggi dari ekosistem maupun karakteristik jenis tumbuhan alam dan satwa liar yang dikandungnya.

NKT merupakan nilai biologis, ekologis, sosial, atau kultural yang memiliki signifikasi luar biasa atau peranan yang sangat penting. Panduan Identifikasi NKT di Indonesia tahun 2008 menyebutkan bahwa kawasan bernilai tinggi adalah kawasan yang memiliki salah satu ciri-ciri sebagai berikut:

1. NKT1, adalah kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting. NKT1 terbagi menjadi :

NKT 1.1 Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung dan/atau konservasi NKT 1.2 Spesies hampir punah

NKT 1.3 Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi spesies yang terancam, penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu bertahan hidup (Viable Population).

NKT 1.4 Kawasan yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan spesies yang digunakan secara temporer

2. NKT 2, kawasan dengan memiliki bentang alam yang alami dan dinamika ekologi. NKT 2 terbagi menjadi :

NKT 2.1 Kawasan bentang alam luas yang memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi secara alami

NKT 2.2 Kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus (berkesinambungan)

NKT 2.3 Kawasan yang mengandung populasi dari perwakilan spesies alami 3. NKT 3, kawasan yang mengandung populasi dari perwakilan spesies alami

yang mampu bertahan hidup atau ekosistem bagi spesies yang jarang atau terancam punah

4. NKT 4, kawasan yang memiliki jasa lingkungan. NKT 4 terbagi menjadi : NKT 4.1 Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan

pengendalian banjir bagi masyarakat hilir

NKT 4.2 Kawasan yang penting bagi pengendalian erosi dan sedimentasi NKT 4.3 Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah

(20)

6

5. NKT 5, kawasan yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (misalnya, kebutuhan dasar masyarakat yang masih subsisten, kesehatan, dan sebagainya).

6. NKT 6, kawasan yang sangat penting bagi identitas budaya tradisional masyarakat lokal (kawasan-kawasan yang memiliki nilai penting secara budaya, ekologi, ekonomi atau agama yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal).

Mustaghfirin (2012) menyebutkan bahwa konsep NKT ditujukan untuk membantu para pengelola hutan dalam usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dalam kegiatan produksi kayu. Selain itu NKT harus diutamakan untuk kelestarian keanekaragaman hayati serta perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan jasa lingkungan (Murdiyarso et al. 2011). Setiap areal perkebunan kelapa sawit memiliki NKT yang beragam tergantung lokasi bioregion dan biogeografi (Mustaghfirin 2012).

Proses Penetapan Areal NKT

Semua perusahaan mulai berdiri pada tahun 1990-an. Status kepemilikan lokasi 1 adalah milik pemerintah, sedangkan tiga perusahaan lainnya adalah milik swasta (Lampiran 1). Semua lokasi sudah melakukan kegiatan sertifikasi areal NKT dan merupakan anggota dari RSPO. Sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO akan didapatkan jika pembangunan perkebunan baru menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola NKT yang ada. Tujuan pembentukan RSPO adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih “bertanggung jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun kedepan (Cholcester et al. 2006). Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah untuk menetapkan standar baku produksi dan pemanfaatan “minyak kelapa sawit berkelanjutan” (sustainable palm oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak kelapa sawit yang menolak produksi minyak kelapa sawit yang merusak lingkungan (Cholcester et al. 2006).

Peraturan tentang perkebunan kelapa sawit berkelanjutan juga termuat dalam Peraturan Menteri Pertanian RI nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO) yang mewajibkan semua perusahaan perkebunan sawit besar wajib melakukan kegiatan sertifikasi ISPO. Kewajiban perkebunan kelapa sawit besar wajib melakukan pelestarian keanekaragaman hayati (kriteria 3.4 ISPO) dan identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (kriteria 3.4 ISPO). Kawasan nilai konservasi tinggi yang dimaksud dalam ISPO adalah areal NKT.

(21)

7 Suatu areal diklasifikasikan sebagai NKT bila memenuhi salah satu dari fungsi NKT, yaitu NKT 1-3 untuk keanekaragaman hayati, NKT 4 untuk kawasan dengan nilai jasa lingkungan alami, serta NKT 5 dan NKT 6 untuk aspek sosial dan budaya (Jennings et al. 2003, HCV Toolkit 2008, Edwards et al. 2011). NKT kini digunakan secara luas dalam standar-standar sertifikasi (kehutanan, pertanian, dan sistem perairan) dan secara umum dalam pemakaian sumber daya dan perencanaan konservasi (HCV Toolkit Indonesia 2013; HCV RN 2013).

Keanekaragaman Tumbuhan

Keanekaragaman spesies

Yoza (2000) menyatakan bahwa sistem pembukaan lahan dalam perkebunan kelapa sawit dengan membakar hutan menyebabkan hilangnya keanekaragaman spesies tumbuhan. Deforestasi dan konversi lahan menyebabkan perubahan struktur dan komposisi vegetasi (Ismaini et al. 2015). Pulau Sumatera, selain merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal perkebunan sawit terbesar di Indonesia, juga merupakan habitat spesies lokal, sehingga perlu dilakukan kegiatan konservasi (Widyatmoko dan Yudohartono 2015).

Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (UU No 5 tahun 1990). Konservasi adalah bentuk kegiatan pemanfaatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Menurut Zuhud et al. 2013, konservasi adalah dengan pemanfaatan secara berkelanjutan selalu ada nilai yang didapatkan oleh masyarakat, sehingga ada kerelaan untuk berkorban dalam memelihara keberlanjutan dari sumberdaya alam yang dimanfaatkan.

Provinsi Riau memiliki spesies tumbuhan seperti meranti (Shorea spp), ramin (Gonystylus bancanus Kurz), kempas (Koompassia malaccensis Maig), bintangur (Calophyllum spp), pinang merah (Cyrtotachys lakka), dan nipah (Nypa fructican (WWF 2006, Antoko et al. 2006). Konservasi spesies tumbuhan merupakan sebagian dari usaha untuk melindungi spesies tumbuhan asli hutan alam terutama yang mulai langka (Kainde 2011). Keragaman spesies tumbuhan seringkali merupakan indikator yang baik bagi keragaman komunitas (Indrawan et al. 2007), dengan demikian keragaman pohon yang tinggi dapat menciptakan habitat yang sesuai dan relung-relung untuk berbagai organisme dan terciptanya jarring-jaring makanan, siklus hara dan siklus energi yang efisien untuk perkembangan dan kestabilan yang dinamis dari suatu ekosistem (Kainde 2011).

(22)

8

2006). Keanekaragaman spesies tidak hanya merupakan fungsi dari jumlah spesies, tetapi juga fungsi dari kemerataan distribusi kelimpahan dari spesies itu dalam komunitasnya (Widhiastuti et al. 2006).

Nilai indeks kesamarataan merupakan ukuran keseimbangan antara suatu komunitas satu dengan lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah spesies yang terdapat dalam satu komunitas (Ludwig dan Reynolds 1988). Dominasi spesies yang rendah dan tidak adanya permudaan alam dapat mengancam kelangsungan hidup vegetasi yang ada (Sutrisno dan Wahyudi 2015). Menurut Heriyanto dan Garsetiasih (2007), spesies dominan adalah speises yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dari pada spesies lain dalam tempat yang sama. Keberadaan masing-masing spesies memiliki peranan tersendiri dalam sebuah suksesi sebagai tutupan vegetasi.

Penelitian tidak hanya dilakukan pada kawasan berhutan, namun juga di sempadan sungai. Menurut Nursal et al. (2013), keberadaan vegetasi di pinggir sungai (riparian) menjadi sangat penting untuk memasok nutrisi dan energi ke dalam ekosistem perairan. Komposisi spesies dan struktur vegetasi riparian sangat bergantung pada faktor lingkungan seperti derajat kemasaman, suhu mikro, kandungan hara, intensitas cahaya dan penggenangan oleh limpasan (Sutrisno dan Wahyudi 2015).

Keanekaragaman Manfaat

Spesies tumbuhan memiliki potensi untuk dimanfaatkan. Setiap bagian dari spesies tumbuhan memiliki manfaat yang berbeda-beda, baik manfaat sosial, ekologi, ataupun ekonomi. Saat ini, spesies tumbuhan secara langsung dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yaitu sebagai tumbuhan pangan, papan, obat-obatan, kegiatan upacara tradisional, kayu bakar, dan lain lain. Iswandono (2007) mengatakan bahwa nilai kebutuhan masyarakat meliputi sumberdaya di dalam hutan yang diperlukan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Sumberdaya yang diperlukan ini menyangkut kebutuhan mendasar yaitu sandang, papan dan pangan.

Tumbuhan berperan penting dalam kehidupan manusia. Tumbuhan merupakan sumber bahan pangan, papan, sandang, obat, kerajinan, kegiatan sosial dan sebagainya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2007), bahwa masyarakat lokal di Sungai Kapa, Jambi memanfaatkan sekitar 100 jenis tumbuhan untuk pangan (buah-buahan dan sayuran) dan pakan, obat, kerajinan, pemberantasan hama padi, dan upacara tradisional. Selain itu etnis Sakai di Desa Petani, Duri, Riau memanfaatkan berbagai organ tumbuhan yang meliputi akar, batang, daun, buah, biji, bahkan bunga. Etnis Sakai cenderung menggunakan organ tumbuhan bagian daun. Dari beberapa jenis organ yang digunakan organ daun merupakan bagian tumbuhan yang lebih mudah didapatkan serta mudah untuk diolah dari pada organ seperti akar, batang, bunga, buah dan biji. Selain itu organ daun juga dipercaya dapat menetralkan suhu tubuh manusia (Wulandari et al. 2014)

(23)

9 Nasional Ciremai cukup besar. Masyarakat umumnya sudah memanfaatkan berbagai jenis tanaman lokal yang terdapat di sekitar tempat tinggal baik untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) maupun untuk diperjualbelikan.

Tumbuhan berguna merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tumbuhan berguna dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatannya antara lain tumbuhan sebagai bahan pangan, sandang, bangunan, obat-obatan, kosmetika, alat rumah tangga dan pertanian, tali-temali, anyam-anyaman, pelengkap upacara adat dan kegiatan sosial, minuman, dan kesenian (Kartikawati 2004).

Keanekaragaman Satwaliar

Burung

Daftar burung Sumatera berjumlah 582 spesies, sekitar 465 diantaranya bersifat menetap dan 14 bersifat endemis, menjadikan daerah Sumatera sebagai daerah biogeografis terkaya kedua di Indonesia dalam hal burung, setelah Papua. BirdLife International menyatakan bahwa terdapat 34 Kawasan Penting Burung (Important Bird Areas/IBA) di pulau Sumatera, 54% diantaranya berada di luar daerah yang diproyeksikan, dan 18% berada di hutan dataran rendah yang keadaannya terancam kritis (CEPF 2001).

Populasi burung bervariasi menurut wilayah dan tipe habitat (Alikodra 1990). Beberapa spesies burung menggunakan berbagai tipe habitat tersebut untuk mencari makan, reproduksi, dan menjaga kelangsungan hidupnya (Kuswanda 2010). Dalam habitatnya, burung memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan sebagai sumber pakan, tempat sarang serta tempat berlindung secara fisiologis (Partasasmita 1998). Welty dan Baptista (1988) mengungkapkan bahwa penyebaran dan populasi burung di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor fisik/lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya.

(24)

10

Mamalia

Mamalia merupakan salah satu taksa yang memegang peran penting dalam mempertahankan dan memelihara kelangsungan proses-proses ekologis yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Chiroptera dan Primata merupakan mamalia yang berperan penting sebagai agen penyerbuk, pemencar biji, dan pengendali populasi serangga hama tanaman pertanian (Kartono 2015). Di sisi lain, mamalia merupakan taksa satwa yang mempunyai resiko tinggi mengalami kepunahan. Resiko kepunahan pada satwa berukuran besar dengan bobot tubuh lebih dari 3 kg cenderung lebih tinggi karena laju reproduksi yang rendah dan akibat fragmentasi habitat (Cardillo et al. 2005), kebutuhan habitat yang spesifik serta keterbatasan kemampuan untuk melintasi matriks (McAlpine et al. 2006).

Keanekaragaman spesies mamalia pada areal yang belum dibuka lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman mamalia pada areal yang sudah dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit (Arief et al. 2015.) Sulistiyawati (2006) menegaskan bahwa hutan campuran memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan buatan. Wyne-Edwards (1972) menyatakan bahwa satwa akan memilih habitat yang memiliki kelimpahan sumberdaya bagi kelangsungan hidupnya, sebaliknya jarang atau tidak ditemukan pada lingkungan yang kurang menguntungkan baginya.

Mamalia seperti beruang (Helarctos malayanus malayanus), owa ungko sumatra (Hylobates abilis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) membutuhkan ekosistem hutan alam dengan keanekaragaman tegakan pohon yang tinggi sebagai sumber pakannya, kesinambungan kanopi untuk pergerakan dan ekosistem riparian/tepi sungai yang merupakan koridornya dengan kawasan konservasi di sekitarnya (Arief et al. 2015). Penyebab rendahnya keanekaragaman hayati di areal perkebunan sawit diduga karena tanaman monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al. 2009). Selain itu, jumlah spesies mamalia yang mampu beradaptasi terhadap perubahan areal hutan ke dalam bentuk areal kebun sawit tergolong sedikit (Kartono 2015).

Kupu-kupu

(25)

11 pakan yang tersedia cukup akan diikuti juga dengan keanekaragaman kupu-kupu yang tinggi (Schultz 1998; Thomas 2000; Thomas et al. 2004).

Saat ini, kupu-kupu menghadapi ancaman kepunahan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan di habitatnya (Rahayu dan Basukriadi 2012). Blair (1999) serta Koh dan Sodhi (2004) menyebutkan bahwa daerah yang dilindungi dan berdekatan dengan hutan alami memiliki jumlah keanekaragaman dan kemerataan spesies di dalam komunitas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daerah yang tidak dilindungi dan terpisah dari hutan. Sundufu dan Dumbuya (2008) menegaskan bahwa jumlah kupu-kupu terbanyak ditemukan di hutan lindung, hutan, hutan yang sudah diolah, dan padang rumput. Penelitian yang telah dilakukan Vu (2004) menyimpulkan bahwa kelimpahan kupu-kupu semakin berkurang seiring dengan kerusakan habitat di Taman Nasional Tam Dao Vietnam. Hal serupa juga disimpulkan oleh Stefanescu et al. (2009) yang menyatakan bahwa kelimpahan kupu-kupu mengikuti perubahan habitat tempat kupu-kupu tersebut berada.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di empat perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki areal NKT di Provinsi Riau pada bulan Maret-April 2016. Lokasi pengambilan data secara administratif termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kampar dan Pelalawan dengan persebaran tiga perusahaan di Kabupaten Kampar dan satu perusahaan lainnya di Kabupaten Pelalawan (Gambar 2).

(26)

12

Alat, Bahan, dan Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan yaitu meteran gulung, meteran jahit, kompas, GPS, alat tulis, kamera, gunting stek , jaring kupu-kupu, kantong plastik, binokuler, dan fieldguide (tumbuhan, burung, mamalia, dan kupu-kupu). Bahan yang digunakan adalah kertas papilot, kertas koran, dan alkohol, sedangkan instrumen penelitian yaitu tally sheet dan skala likert.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan meliputi kondisi umum areal NKT pada masing-masing perkebunan, keanekaragaman tumbuhan, struktur vegetasi, keberadan satwaliar (burung, mamalia, dan kupu-kupu), pengelolaan areal NKT, dan persepsi masyarakat terhadap adanya perkebunan kelapa sawit. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

(27)

13 Metode Pengumpulan Data

Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi berdasarkan fungsi NKT pada setiap perusahaan dengan memfokuskan perusahaan yang memiliki areal NKT berbentuk hutan dan sempadan sungai dengan pembanding adalah hutan sekunder yang berada di sekitar perkebunan. Selain itu juga dilakukan pada tegakan sawit yang dengan umur tanaman termuda dan tertua pada masing-masing perusahaan. Alasan pemilihan kebun sawit yaitu sebagai pembanding pengaruh vegetasi terhadap keberadaan satwaliar. Selengkapnya pada Tabel 2.

Tabel 2 Lokasi penelitian pada setiap perusahaan

Lokasi Titik Lokasi Keterangan

SM (Tahun) ST(Tahun) NKT HS

1 2 25 Hutan Ada Kampar

2 2 22 Hutan Ada Pelalawan

3 21 25 SS Ada Kampar

3 13 14 SS Ada Kampar

Keterangan : SM = kebun sawit umur termuda; ST= kebun sawit umur tertua; NKT = kawasan nilai konservasi tinggi; HS= hutan sekunder, SS = Sempadan Sungai, 1 = Perkebunan Nusantara, 2 = Mitra Unggul Pusaka, 3 = Surya Agrolika Reksa, 4 =Adimulia Agrolestari

Manfaat Areal NKT

1. Keanekaragaman tumbuhan

Metode yang digunakan untuk menentukan nilai keanekaragaman tumbuhan dengan melakukan kegiatan analisis vegetasi. Analisis vegetasi ditunjukkan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur suatu hutan (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974). Data tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kesimbangan komunitas hutan, menjelaskan interaksi di dalam dan antar spesies, dan memprediksi kecenderungan komposisi tegakan dimasa mendatang (Whittaker 1974). Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komponen jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 2002).

(28)

14

Kegiatan yang dilakukan setelah melakukan analisis vegetasi adalah identifikasi tumbuhan dengan melakukan pembuatan herbarium dan identifikasi oleh LIPI dan studi literatur. Pembuatan herbarium dilakukan pada spesies tumbuhan yang belum teridentifikasi di lokasi penelitian. Pengumpulan spesimen dilakukan dengan mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci identifikasi, seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Sementara untuk tumbuhan bawah seluruh bagian diambil sebagai spesimen. Menurut Onrizal (2009) tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah:

a. Mengambil contoh spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga diambil. Pengambilan contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan analisis vegetasi.

b. Contoh spesimen herbarium dipotong dan disesuaikan dengan ukuran kertas koran dan diberi label yang berisi nama lokal dan lokasi perjumpaan.

c. Spesimen herbarium disusun disusun didalam plastik dan di siram menggunakan alokol 70% sampai basah. Setelah itu tutup dengan rapat plastik dengan isolasi.

d. Setelah dilakukan perlakuan di lapangan, langkah selanjutnya adalah pengeringan. Seluruh spesimen dari lapangan dikeluarkan dari plastik, dan setiap spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran. Sekitar 10-15 spesimen yang sudah dimasukkan ke dalam koran diapit dalam sasak ukuran 50 x 35 cm, untuk buah-buahan besar dipisah, dimasukkan kantong, dan diberi label. Pengovenan dilakukan dengan suhu ± 65oC, ± selama 4 hari.

e. Spesimen herbarium yang sudah kering selanjutnya diserahkan ke LIPI untuk kegiatan identifikasi.

2. Keanekaragaman Satwaliar

Inventarisasi keanekaragaman jenis mamalia dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect). Inventarisasi mamalia dilakukan pada 4 tipe tutupan lahan yaitu SM (sawit muda), ST (sawit tua), NKT, dan HS. Panjang jalur yaitu 1 km dengan lebar 100 m. Pengamatan dilakukan

(29)

15 pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore (15:30-17:30 WIB) sebanyak 3 kali pengulangan. Data yang dicatat meliputi: jam perjumpaan dan jumlah individu setiap jenis. Pengamatan dilakukan dengan bantuan binokuler pada satwa yang berjarak jauh untuk membantu dalam identifikasinya. Data dicatat dalam tallysheet secara lengkap dan struktur. Objek yang ditemukan di dokumentasikan menggunakan kamera digital. Dokumentasi digunakan sebagai acuan untuk identifikasi jenis mamalia dan burung yang belum dapat teridentifikasi secara langsung.

Pengambilan data jenis satwa kupu-kupu dilakukan dengan menggunakan metode time search yaitu modifikasi dari metode transek garis dimana plot pengamatan tidak dibatasi oleh jarak/luasan tertentu, melainkan waktu (menit). Pengamatan pada setiap jalur di setiap tipe tutupan lahan (SM, ST, NKT, HS) dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, yaitu pada pagi hari ketika udara sudah mulai hangat (pukul 08.0-11.00 WIB). Objek kupu-kupu ditangkap menggunakan jaring dan dimasukkan ke dalam kertas papilot. Data yang didapatkan tercatat dalam tally sheet. Untuk mengawetkan objek tersebut maka dimasukkan dalam kotak plastik yang dilengkapi dengan kampar di dalamnya agar terhindar dari serangan semut. Objek diidentifikasi menggunakan fielguide kupu-kupu.

3. Persepsi Masyarakat

Data persepsi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit diperoleh dengan wawancara menggunakan skala likert. Teknik pemilihan responden yaitu accidental sampling (convenience sampling). Teknik ini mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan ditemui dan memenuhi kriteria sebagai sumber data. Kriteria responden yaitu mengetahui perkembangan kondisi perkebunan kelapa sawit.

4. Bentuk Pengelolaan Areal NKT

Metode yang digunakan untuk merumuskan bentuk pengelolaan areal NKT yaitu survey ke lokasi NKT, analisis dokumen NKT, dan wawancara mendalam kepada pengelola.

Analisis Data

Keanekaragaman tumbuhan

Pengukuran dan indeks keanekaragaman hayati didasarkan atas jumlah spesies atau kelimpahan relatif (Burley & Gauld 1995) dalam plot-plot contoh (Pielou 1995). Jumlah spesies ini yang ditransformasikan ke dalam indek-indeks keanekaragaman, yaitu kelimpahan spesies, kekayaan spesies, dan kemerataan spesies. Semakin tinggi nilai indeks mencerminkan semakin tinggi keanekaragaman spesies (Boontawee et al. 1995). Selain itu juga dilihat spesies dominan yang terdapat dalam areal penelitian dengan melihat nilai kerapatannya. Kelimpahan Spesies

(30)

16

Keterangan :

’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener = Jumlah individu spesies

N = Jumlah individu seluruh spesies S = Jumlah spesies

Kekayaan Spesies

Kekayaan spesies tumbuhan diukur dengan menggunakan Indeks Margaleff. Menurut Kusuma (2007), Indeks Margaleff merupakan ukuran keanekaragaman yang lebih responsive dan sensitive terhadap perubahan jumlah spesies. Indeks Margaleff menggunakan persamaan sebagai berikut:

Dmg Keterangan:

Dmg = Indeks Kekayaan Margaleff S = Jumlah Spesies

N = Jumlah individu Kemerataan Spesies

Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:

ln S

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah spesies

E = Indeks kemerataan spesies (Evenness) Kerapatan spesies

erapatan umlah individu setiap spesiesluas seluruh petak (ind ha

Keanekaragaman Satwaliar

(31)

17 Keanekaragaman potensi manfaat spesies tumbuhan

Identifikasi potensi manfaat spesies tumbuhan yaitu menggunakan kriteria spesies tumbuhan sebagai pangan, papan, obat, pakan ternak, kayu bakar, zat warna, tanaman hias, pestisida nabati, lainnya (getah/damar, aromatik).

Bentuk pengelolaan areal NKT

Analisis secara deskriptif dengan membandingkan bentuk pengelolaan areal NKT di setiap lokasi penelitian.

Pengayaan spesies tumbuhan

Kegiatan pengelolaan yang sudah ada dapat ditunjang dengan melakukan pengayaan jenis tumbuhan. Spesies tumbuhan yang digunakan adalah spesies tumbuhan yang ditemukan pada saat pengambilan data vegetasi dan disesuaikan dengan keberadaan satwaliar yang ada dan hasil wawancara persepsi masyarakat di sekitar perkebunan terhadap dampak secara ekologi adanya perkebunan kelapa sawit. Kriteria yang digunakan yaitu : (1) Fast growing species, (2) Tajuk cukup rindang dan kompak, (3) Berupa tanaman lokal dan tanaman budidaya, (4) Merupakan tumbuhan pakan atau tempat berlindung satwaliar (mamalia, burung, dan kupu-kupu), dan (5) Perakaran kuat.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Manfaat Areal NKT terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati

Areal NKT yang ditemukan mempunyai keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwaliar yang berbeda-beda. Beranekaragamnya spesies tumbuhan memungkinkan spesies yang ditemukan juga beranekaragam dengan bentuk pemanfaatan yang berbeda-beda. Keanekaragaman ditunjukkan dengan nilai indeks keanekaragaman, kemerataan spesies, dan kerapatan spesies.

Keanekaragaman spesies tumbuhan

Nilai indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan lingkungan berdasarkan kondisi biologinya (Putri dan Allo 2009). Tabel 3 menunjukkan nilai keanekaragaman tumbuhan di lokasi penelitian.

Tabel 3 Nilai keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan di lokasi penelitian Lokasi Tipe

habitat

Nilai Keanekaragaman

’ Dmg E S

1 NKT 2,508 16,836 0,19 129

HS 1,472 5,668 0,94 41

2 NKT 3,65 12,13 0,90 58

HS 3,01 7,66 0,39 42

3 NKT 2,45 4,20 0,71 32

HS 2,24 12,02 0,50 85

4 NKT 1,86 3,72 0,56 28

(32)

18

Nilai kekayaan (Dmg) dan kelimpahan ( ’ di areal NKT lokasi 1 dan 2 lebih tinggi dibandingkan dengan areal hutan sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa areal NKT di lokasi 1 dan 2 memiliki keseimbangan komunitas lebih baik dibandingkan dengan areal hutan sekunder, namun pada areal NKT lokasi 3 dan 4 belum menunjukkan keseimbangan yang baik karena nilai Dmg pada kedua areal tersebut lebih rendah dibandingkan dengan areal hutan sekunder. Suatu komunitas bisa dikatakan stabil apabila setiap spesies memiliki peran di dalam suatu komunitas tersebut. Dengan tingginya nilai keanekaragaman yang tinggi, maka menunjukkan keseimbangan komunitas yang tinggi dan stabil. Antoko et al. (2006) dan Fachrul (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai keanekaragaman spesies di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga akan semakin tinggi dan stabil.

Hasil identifikasi indeks kemerataan spesies menunjukkan semua areal tidak merata karena tidak ada nilai E=1. Menurut Wijana (2014) jika nilai kekayaan spesies (Dmg) suatu ekosistem lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kemeratannya (E), maka keanekaragaman spesies pada ekosistem tersebut dipengaruhi oleh nilai kekayaan spesies, bukan dari nilai kemerataan. Dendang dan Handayani (2015) menegaskan bahwa rendahnya nilai indeks kemerataan (E) menunjukkan semakin tinggi komposisi spesies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kemerataan di areal NKT lokasi 1 paling rendah, mengindikasikan bahwa nilai keanekaragamannya paling tinggi.

Struktur tumbuhan pada suatu komunitas juga dilihat berdasarkan nilai kerapatan. Tingginya nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan dominasi spesies tersebut (Tabel 4).

Tabel 4 Kerapatan spesies tumbuhan tertinggi di lokasi penelitian Tingkat

pertumbuhan Habitat Lokasi Nama spesies

Kerapatan

1 Ottochloa nodosa 24150 2 Jasminum insigne 1700 3 Axonopus compressus 36500 4 Ottochloa nodosa 62000 HS

1 Asystasia gangetica 39150 2 Dicranopteris linearis 5400 3 Pennisetum purpureum 32350 4 Paspalum conjugatum 36500

Pancang

NKT

1 Ixonanthes icosandra 25 2 Xanthophyllum amoenuem 63 3 Macaranga gigantea 25 4 Terminalia catappa 6 HS

1 Hevea brasiliensis 159 2 Teijsmanniodendron sp 63

3 Helicia sp 69

4 Helicia sp, Vatica nitens 69

Tiang NKT 1 Semua species 1

2 Pouteria malaccensis 8

(33)

19 Tabel 4 Kerapatan spesies tumbuhan tertinggi di lokasi penelitian (lanjutan) Tingkat

pertumbuhan Habitat Lokasi Nama spesies

Kerapatan 3 Elaeocarpus acmocarpus 4

4 Syzygium sp 31

Pohon

NKT

1 Pternandra caerulescens 3 2 Pouteria malaccensis 6

3 - 0

Kerapatan menyatakan jumlah individu suatu spesies di dalam suatu unit areal/ruang. Iswandono (2007) menyatakan bahwa tingkat kerapatan suatu spesies dalam komunitas menentukan struktur komunitas yang bersangkutan. Nilai kerapatan suatu spesies tumbuhan tidak menentukan keanekaragaman satwaliar yang ditemukan. Hal ini karena keberadaan satwaliar ditentukan oleh jumlah spesies tumbuhan yang dimanfaatkan satwaliar sebagai pohon pakan atau tempat tinggalnya di dalam suatu ekosistem.

Keanekaragaman spesies mamalia

Keanekaragaman spesies mamalia dilihat berdasarkan setiap tutupan lahan yang ada, yaitu ada kebun sawit muda, kebun sawit tua, areal hutan sekunder di sekitar perkebunan, dan areal NKT. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa spesies mamalia paling banyak ditemukan pada areal hutan sekunder dan NKT lokasi 1 (Tabel 5).

Tabel 5 Keanekaragaman spesies mamalia di perkebunan sawit besar

Lokasi Tipe Habitat

Sawit Tua Sawit Muda NKT Hutan Sekunder

1 2 0 6 7

2 4 0 2 2

3 2 4 2 4

4 2 1 2 3

(34)

20

Subagyo (2002) dan Zairina et al. (2015), spesies tumbuhan tersebut merupakan pakan alami primata seperti monyet ekor panjang dan lutung.

(a) (b)

Gambar 4 Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh mamalia sebagai pohon pakan : (a) Ficus variegata, (b) Pternandra caerulescens

Tingginya keanekaragaman spesies mamalia di areal NKT dan hutan sekunder berkaitan dengan keanekaragaman vegetasi yang ada. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis MacArthur dan MacArthur (1961) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keragaman spesies. Salah satu alasan heterogenitas habitat dapat meningkatkan keragaman spesies adalah bahwa semakin beragam habitat, maka habitat tersebut semakin mampu mendukung populasi spesies yang berbeda (Cramer dan Willig 2005). Penyebab rendahnya keanekaragaman hayati di areal perkebunan sawit diduga karena sifat pola tanamnya yang monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al. 2009), sehingga keanekaragaman spesies mamalia di kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan areal berhutan seperti NKT dan hutan sekunder.

(35)

21

(a) (b)

Gambar 5 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh mamalia : (a) bajing (Callosciurus notatus) dan (b) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

Keanekaragaman spesies burung

Spesies burung yang ditemukan pada setiap tutupan lahan di setiap lokasi berbeda beda (Tabel 6). Keanekaragaman spesies burung tertinggi ditemukan di areal NKT dan hutan sekunder.

Tabel 6 Keanekaragaman spesies burung di perkebunan sawit

Lokasi Tipe Habitat

Sawit Tua Sawit Muda NKT Hutan Sekunder

1 13 14 16 16

2 15 13 15 23

3 10 16 16 8

4 13 14 17 27

Spesies burung yang ditemukan pada areal NKT lebih rendah dibandingkan dengan areal hutan sekunder, namun lebih tinggi dibandingkan dengan areal kebun sawit. Hal ini menunjukkan bahwa areal NKT cukup efektif menjadi habitat bagi spesies burung, sehingga menunjukkan bahwa keberadaan areal NKT sangat dibutuhkan oleh beberapa spesies burung karena terdapat vegetasi yang beragam untuk dimanfaatkan. Beberapa spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh burung yaitu sesendok (Endospermum diadenum) dan akasia (Acacia mangium) (Gambar 6).

(36)

22

(a) (b)

Gambar 6 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies burung : (a) Psittacula longicauda dan (b) Aegithina tiphia

Dempster (1975) menyatakan bahwa keanekaragaman satwa dipengaruhi oleh komposisi spesies tumbuhan yang ada, yang menyediakan bahan makanan bagi satwa. Hilangnya pohon hutan dan tumbuhan semak, hilang pula tempat bersarang, berlindung dan mencari makan berbagai jenis burung. Hal ini mengakibatkan perubahan komunitas dan penurunan jenis burung di dalamnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kepunahan lokal berbagai jenis burung (Ayat 2011). Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi sangat berpengaruh terhadap keberadaan spesies burung di perkebunan kelapa sawit.

Keanekaragaman spesies kupu-kupu

Keberadaan kupu-kupu (Lepidoptera) pada suatu kawasan dapat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai boindikator kelestarian lingkungan, karena satwa ini tidak dapat hidup pada lingkungan tercemar (Holloway et al. 1987). Selain itu lepidoptera juga berperan dalam membantu proses penyerbukan berbagai jenis tanaman berbunga (Borror et al. 1996). Spesies kupu-kupu paling banyak ditemukan di areal hutan sekunder (Tabel 7).

Tabel 7 Keanekaragaman spesies kupu-kupu di perkebunan sawit

Lokasi Tipe habitat

Sawit Tua Sawit Muda NKT Hutan sekunder

1 8 19 13 14

2 7 9 10 21

3 17 11 18 11

4 27 16 14 21

(37)

23 Tingginya keanekaragaman kupu-kupu berkaitan dengan vegetasi jenis pakan. Menurut Vane et al. (1984) vegetasi yang merupakan pakan ulat dari famili Nymphalidae antara lain berasal dari famili Arecaceae dan Moraceae. Beberapa spesies tumbuhan di yang dimanfaatkan oleh kupu-kupu yaitu Asystasia gangetica dan Mikania sp (Gambar 7). Menurut Suryanto (2014) spesies Leea indica merupakan salah satu spesies tumbuhan pakan bagi kupu-kupu dewasa. Kupu-kupu merupakan satwa yang sangat tergantung pada keberadaan tanaman pakan, sehingga jumlah dan jenis pakan akan berpengaruh pada kemampuan reproduksi kupu-kupu (Dennis et al. 2004). Corbert dan Pendleburry (1956) menyatakan bahwa famili Nymphalidae umumnya mempunyai penyebaran yang luas, menyukai tempat tempat terang, daerah kebun dan hutan, dan beberapa menyukai tempat berbau busuk.

(a) (b)

Gambar 7 Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies kupu-kupu : (a) Mycalesis horsfieldii, (b) Graphium sarpedon

Potensi Manfaat Spesies Tumbuhan di Areal NKT

Ditemukan sebanyak 172 spesies yang memiliki potensi kegunaan cukup tinggi di areal NKT (Lampiran 7). Potensi manfaat spesies tumbuhan yang mendominasi yaitu sebagai obat, bahan bangunan dan pangan (Tabel 8).

Tabel 8 Potensi manfaat spesies tumbuhan di areal NKT

No Kegunaan Lokasi Jumlah

spesies

1 2 3 4

1 Pangan 21 10 13 13 47

2 Papan 39 24 3 4 58

3 Obat 67 23 13 13 98

4 Pakan ternak 9 5 10 11 14

5 Kayu bakar 7 3 2 2 13

6 Zat warna 4 1 1 0 5

7 Tanaman hias 11 4 4 5 12

8 Pestisida nabati 4 4 3 3 8

(38)

24

1. Tumbuhan pangan

Pemanfaatan tumbuhan pangan di areal NKT belum dilakukan oleh masyarakat, namun ada areal NKT yang digunakan oleh pegawai yang tinggal di dalam areal perusahaan untuk menanam beberapa spesies tumbuhan yang digunakan untuk sayur, seperti singkong, kangkung, bayam, dan sawi. Mereka memanfaatkan areal NKT tersebut karena belum dilakukan kegiatan pengelolaan oleh perusahaan, sehingga masyarakat masih bisa melakukan penanaman. Terdapat 47 spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan pangan di seluruh areal NKT, namun spesies tersebut belum dimanfaatkan oleh masyarakat.

Beberapa spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai tumbuhan pangan yaitu Garcinia parvifolia yang umumnya disebut sebagai buah kandis yang dimanfaatkan buahnya (Syamsudin et al. 2007). Selain itu juga terdapat spesies lokal Papua yang berpotensi sebagai tumbuhan penghasil buah, yaitu matoa (Pometia pinnata) (Sembori dan Tanjung 2009).

2. Tumbuhan papan, bahan bangunan, dan furniture

Beberapa spesies tumbuhan yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan bangunan yaitu akasia (Acacia mangium) dan terap (Artocarpus elasticus). Spsesies A. mangium merupakan spesies tumbuhan invasif yang cepat tumbuh namun memiliki kegunaan untuk bahan bangunan, sedangkan A. elasticus adalah spesies dari famili Moraceae yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal di kawasan konservasi PT. Wira Karya Sakti, Sungai Tapa, Jambi sebagai dinding rumah (Rahayu et al. 2007).

3. Tumbuhan Obat

Beberapa contoh spesies tummbuhan obat yang memiliki kegunaan tinggi untuk obat yaitu Fibraurea tinctoria yang berfungsi sebagai antidiabetes (Rahayu et al. 2006), Litsea elliptica yang digunakan sebagai obat anoreksia dan Garcinia parvifolia yang memiliki manfaat sebagai antimalaria (Syamsudin et al. 2007). Ketiga spesies tersebut ditemukan di areal NKT lokasi 1. Selain spesies tersebut juga terdapat spesies tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai obat, Chromolaena odorata yang berpotensi sebagai obat dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Merapi (Suharti 2015).

4. Pakan Ternak

Spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan pakan ternak paling banyak dari spesies tumbuhan bawah seperti Clidemia hirta, Ageratum conyzoides, dan Mikania sp. Ernawati dan Ngawit (2015) mengatakan bahwa spesies tersebut merupakan hijauan pakan untuk ternak.

5. Kayu bakar

(39)

25 Nephelium sp (Rahayu et al. 2007). Semua spesies tersebut juga ditemukan di areal NKT.

6. Zat warna

Beberapa spesies yang berpotensi menghasilkan zat warna yaitu salam (Syzygium polyanthum), (Terminalia catappa), sedangkan spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai tumbuhan aromatik yaitu mahang (Macaranga conifera), gaharu (Aquilaria malaccensis).

7. Tanaman hias

Beberapa spesies tumbuhan yang memiliki potensi untuk dijadikan tanaman hias yaitu kantong semar (Nepenthes ampullaria, Nepenthes gracilis), sri rejeki (Aglaonema commutatum), dan kelakai (Stenochlaena palustris). Tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai tanaman hias karena memiliki bentuk daun dan bunga yang menarik.

8. Pestisida nabati

Pada umumnya, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik. Beberapa spesies yang memiliki potensi sebagai pestisida nabati yaitu bandotan (Ageratum conyzoides), akasia (Acacia mangium), balik angin (Mallotus paniculatus), rumput tulang (Eleusine indica), dan paku resam (Dicranopteris linearis). Menurut Asmaliyah et al. (2010), spesies tumbuhan tersebut sangat efektif digunakan sebagai pestisida nabati karena dapat mengusir hama seperti hama kepik pada pertanian, hama gudang, hama wereng.

9. Lainnya (getah/damar, aromatik)

Spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai penghasil damar dan tumbuhan aromatik yaitu mahang (Macaranga sp) dan gaharu (Aquilaria malaccensis), karet (Hevea brasiliensis), matoa (Pometia pinnata), dan merwawan (Hopea dryobalanoides). Saudagar et al. (2015) menyebutkan bahwa spesies tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Anak Dalam (SAD).

Pemanfaatan Ruang Areal NKT untuk Satwaliar Lokasi 1

(40)

26

Gambar 8 Pemanfaatan areal NKT lokasi 1 : (a) Bajing (Callosciurus notatus), (b) betet ekor panjang (Psittacula longicauda), (c) lutung kelabu (Presbytis

cristata), (d) Junonia orithya

Spesies mamalia kecil seperti bajing memanfaatkan seluruh strata vegetasi karena pohon pakan dari spesies ini tersebar dari strata bawah sampai atas. Bajing memanfaatkan buah-buahan dan biji-bijian seperti karet (Hevea brasiliensis) dan beberapa spesies Ficus sp. Bajing kelompok frugivora+insectivora (pemakan buah-buahan dan serangga, terutama semut) (Payne et al. 2000). Selain bajing, beberapa spesies burung juga memanfaatkan vegetasi sebagai sumber pakan, seperti betet ekor panjang yang memanfaatkan spesies pulai (Alstonia scholaris) sebagai tempat bertengger. Burung betet ekor panjang termasuk ke dalam spesies burung pemakan buah, biji-bijian, dan serangga (frugivora). Beberapa spesies tumbuhan pakan untuk burung frugivora antara lain luwingan (Ficus variegata), leak (Leea indica), dan nangka-nangkaan (Artocarpus sp). Widodo (2006) menyatakan bahwa spesies-spesies tersebut merupakan pakan alami burung paruh bengkok.

(41)

27 Lokasi 2

Satwaliar yang ditemukan di areal NKT lokasi 2 memanfaatkan areal NKT sesuai dengan kebutuhan aktivitasnya (Gambar 9). Aktivitas burung yang terlihat di areal NKT lokasi 2 yaitu mencari pakan, bertengger, dan terbang, sedangkan aktivitas mamalia yang tertangkap kamera trap yaitu sedang berjalan mencari pakan. Spesies kupu-kupu paling banyak di temukan di bagian luar areal NKT yang memanfaatkan beberapa spesies tumbuhan bawah.

Gambar 9 Pemanfaatan areal NKT lokasi 2: (a) Ypthima horsfieldii,(b) jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), elang ular bido (Spilornis cheela), tekukur biasa

(Streptopelia chinensis)

(42)

28

Lokasi 3 dan 4

Areal NKT lokasi 3 dan 4 paling banyak dimanfaatkan oleh spesies burung dan kupu-kupu (Gambar 10). Spesies burung memanfaatkan spesies tumbuhan untuk bertengger atau mencari pakan, seperti serangga dan buah, sedangkan spesies kupu-kupu banyak ditemukan pada saat terbang dan hinggap.

Gambar 10 Pemanfaatan areal NKT di lokasi 3 dan 4 oleh satwaliar: (a) Papilio memnon, (b) Mycalesis horsfieldii, (c) Leptosia nina, (d) Neptis hylas, (e) kareo padi (Amaurornis phoenicurus), (f) bubut alang-alang (Centropus bengalensis),

(g) Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps)

Spesies burung yang ditemukan pada areal NKT lokasi 3 dan 4 merupakan spesies burung pemakan biji-bijian dan serangga. Terdapat 15 spesies burung frugivora yang memanfaatkan strata vegetasi B dan C. Penggunaan strata vegetasi oleh burung memiliki hubungan dengan ketersediaan pakan dan ruang pada strata tersebut. Pada strata vegetasi III dan IV, pakan burung (buah, bunga, serangga) terdapat dalam jumlah melimpah, sehingga banyak jenis burung yang memanfaatkan strata tersebut. Selain itu, strata vegetasi C dan D merupakan strata vegetasi yang memiliki ruang lebih banyak yang dapat digunakan oleh burung, seperti adanya batang dan cabang yang tertutup tajuk (Dewi et al. 2007).

(43)

29 tumbuhan bawah dan tumbuhan berbunga sebagai pakan dan tumbuhan inang kupu-kupu.

Bentuk Pengelolaan Areal NKT

Berdasarkan hasil penelitian, lokasi 1 dan 2 memiliki tipe NKT 1 (NKT 1.2, NKT1.3), sedangkan pada lokasi 3 dan 4 memiliki tipe NKT 4 (NKT 4.1) (Tabel 9).

Tabel 9 Tipe, fungsi, dan kriteria areal NKT di lokasi penelitian Tipe* Fungsi areal

NKT

Kriteria* Lokasi Tahun

penetapan

*Sumber: Laporan hasil identifikasi areal NKT pada setiap perusahaan

Areal NKT 1.2 dan NKT 1.3 ditetapkan apabila ditemukan spesies tumbuhan atau satwaliar yang termasuk ke dalam Red List IUCN, Appendix CITES, dan PP No.7 Tahun 1999 (Toolkit HCV Indonesia 2008). Tumbuhan atau satwaliar yang masuk ke dalam kategori terancam punah (Critically Endangered/CR) masuk ke dalam kriteria NKT 1.2, sedangkan kategori Endangered (En.) dan Vulnerable (Vu) masuk ke dalam kriteria NKT 1.3. Spesies yang ditemukan di NKT lokasi 1 antara lain Shorea leprosula (En.), Shorea palembanica (CR), dan Shorea seminis (CR) (Laporan Pemantauan Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi PTPN V 2014), sedangkan di lokasi 2 terdapat beberapa spesies tumbuhan dan satwaliar yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999, Appendix II CITES, dan Red List IUCN, yaitu Shorea leprosula (En.), Ciconia episcopus (Vu), dan Macaca nemestrina (Vu.) (Tim NKT Fakultas Kehutanan 2012).

(44)

30

Pengelolaan yang dilakukan pada areal NKT pada setiap lokasi berbeda-beda (Tabel 10). Bentuk pengelolaan setiap areal NKT yang berberbeda-beda inilah yang menyebabkan keanekaragaman tumbuhan dan satwaliar di areal NKT bervariasi. Tabel 10 Bentuk pengelolaan areal NKT dan pengaruhnya terhadap

keanekaragaman hayati Lokasi Bentuk

Jumlah spesies Bentuk pengelolaan*

Tum-buhan Burung Mamalia

Kupu-*sumber : laporan NKT setiap lokasi

Pengayaan spesies tumbuhan

Pengayaan spesies tumbuhan pada areal NKT lokasi penelitian bertujuan untuk menambah spesies tumbuhan pakan satwa, spesies tumbuhan berbuah yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, dan spesies tumbuhan untuk menghutankan kembali areal NKT yang sudah ditanami kelapa sawit. Spesies tumbuhan yang paling banyak ditanam untuk kegiatan pengayaan di areal NKT lokasi 1 yaitu mahoni (Swietenia macrophylla), trembesi (Albizia saman), dan ketapang (Terminalia catappa) (Gambar 11). Selain itu juga dilakukan monitoring areal NKT agar tidak ada kegiatan perburuan dan illegal logging.

(45)

31

Gambar 11 Pengayaan spesies di NKT lokasi 1

Kegiatan pengayaan vegetasi digunakan untuk memulihkan kondisi vegetasi agar kembali alami meskipun sudah terlanjur ditanami oleh kelapa sawit (Gambar 12). Mitsch dan Gosselink (1993) menambahkan bahwa ekosistem riparian yang berada di tepian sungai ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang telah beradaptasi untuk hidup di tempat yang seringkali tergenang air sungai terutama saat hujan turun. Vegetasi riparian menurut pakar, dapat menjaga kualitas air sungai melalui pengaturan suhu air (Mitsch dan Gosselink 1993; Bailey 1995), pengendalian erosi dan sedimentasi (Jones et al. 1999), sebagai sumber serasah (energi) (Johnson et al. 1995) dan penjerap pencemar dari daratan yang terbawa ke sungai melalui air limpasan (Tourbier 1994). Vegetasi riparian juga merupakan habitat hidupan liar teresterial (Mitsch dan Gosselink 1993), tempat bagi hewan-hewan untuk mencari perlindungan, kawin dan memijah (Mitsch dan Gosselink 1993; Sparks 1995; Jones et al. 1999). Jika vegetasi riparin telah hilang, maka fungsi riparian itupun hilang (Siahaan dan Ai 2014).

Gambar

Gambar 1 Alur Pikir Penelitian
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
Tabel 3 Nilai keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan di lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan mamalia besar selama penelitian di lapangan, tingkat kekayaan jenis tertinggi terdapat pada Jalur VI jumlah yang ditemukan sebanyak 5 jenis dengan

Shafie dan Khairuddin (2011) dalam penelitiannya keanekaragaman burung dan jenis makanannnya di hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit dan ladang padi di kawasan riparian

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa keanekaragaman spesies insekta pada Tanaman Rambutan di Perkebunan Masyarakat Gampong Meunasah Bak ‘U Kecamatan Leupung

Penelitian dilakukan di PTPN V Tamora, Riau pada 6 tutupan lahan (kebun sawit tertua berumur 25 tahun, kebun sawit termuda berumur 2 tahun, dan areal NKT (Nilai Konservasi Tinggi)