PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Kebun Sawit Swadaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
GALUH MASYITHOH. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Kebun Sawit Swadaya. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ARZYANA SUNKAR.
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas kebun sawit swadaya lebih cepat dibanding perkebunan sawit besar menyebabkan ekspansi kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan tutupan lahan. Penelitian terdahulu menunjukan bahwa mamalia dan burung rentan mengalami penurunan keanekaragaman akibat kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hanya sedikit jenis mamalia dan burung dari hutan primer dan sekunder yang dapat hidup di kebun sawit. Namun demikian konversi tutupan lahan seperti tanah terbuka menjadi kebun kelapa sawit dapat memberikan ekosistem yang baik bagi jenis tertentu. Sehingga perlu dilakukan penilaian sejauh mana kehilangan potensi tersebut (biodiversity loss). Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan adanya penambahan potensi (biodiversity gain). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya; menganalisis kesamaan jenis mamalia dan burung antara perkebunan sawit besar dengan kebun sawit swadaya; mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap keberadaan perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya; serta menganalisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Penelitian dilakukan di PTPN V Tandun – Tamora (PTN), PT Ivomas Tunggal (PT IMT), dan 4 keun sawit swadaya (LSS). Pengamatan diulang sebanyak tiga kali pada pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore hari (15:30-17:30 WIB) dengan menggunakan metode transek garis dan dikombinasikan dengan titik pengamatan untuk pengamatan burung. Selain itu untuk mamalia dibantu dengan kamera trap. Wawancara dilakukan dengan teknik accidental sampling
(convenience sampling). Jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
9 jenis mamalia dan 40 jenis burung. Hasil penelitian di PTN menunjukan bahwa nilai kekayaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih rendah dibanding kebun sawit swadaya. Hasil yang berbeda terlihat di PT IMT, kekayaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya. Masyarakat menilai pengaruh positif perkebunan sawit besar bagi satwaliar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya, namun demikian baik perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya memiliki pengaruh positif bagi keberadaan satwaliar. Terdapat biodiversity loss pada kedua perkebunan sawit besar dikarenakan siamang (Symphalangus syndactylus) tidak dapat ditemukan di
perkebunan sawit. Berdasarkan pendugaan biodiversity gain, pada kedua perkebunan sawit besar terdapat biodiversity gain yaitu adanya jenis-jenis burung insektivora dan predator yang ditemukan di perkebunan sawit besar.
SUMMARY
GALUH MASYITHOH. Comparison of Mammals and Birds Diversity between Large-scale Oil Palm Plantation and Independent Smallholder Oil Palm Plantation. Supervised by YANTO SANTOSA and ARZYANA SUNKAR.
Conversions of forest to oil palm plantations were often blamed for the decline of biodiversity. Increased of independent smallholder oil palm plantations area were faster than the large-scale oil palm plantations have caused expansion of independent oil palm plantations to play important roles in land cover changes. Previous research have suggested that mammals and birds vulnerable dropped diversity due to a palm oil plantation. This brings worries about mammals and birds diversity.
Other research shows that only some of the mammals and birds from primary and secondary forest can live in oil palm plantations. However land cover conversions from open ground into oil palm plantation can provide good ecosystem for certain species. Therefore, it is necessary to assessed the biodiversity loss. Then, palm oil development need to be assessed to know the positive impact over the biodiversity existence (biodiversity gain). The purposes of this research are to identify mammals and birds diversity in large-scale and independent smallholder oil palm plantations; to analyze the similarity of mammals and birds species between large-scale oil palm plantation and independent smallholder oil palm plantation; to identify the public perception of the existence of large-scale and independent smallholder oil palm plantations; and to analyze biodiversity loss and biodiversity gain.
This research was conducted in PTPN V Tandun-Tamora (PTN), PT Ivomas Tunggal (PT IMT), and 4 independent smallholder oil palm plantations (KSS). Observation was conducted in the morning and afternoon using line transect method, camera trap, and combined point count observation for birds. Interviews used accidental sampling technique. Total species found in this study were 9 mammal species and 40 bird species. Based on Margalef species richness index, the independent smallholder had higher number of mammals and birds than on PTN. On the contrary, PT IMT had higher number of species than independent smallholder oil palm plantations. The community considers a positive influence for wildlife in large-scale oil palm plantation is higher than independent smallholder oil palm plantations, however both of large-scale and independent smallholder oil palm plantations have positive influence for wildlife. There were biodiversity loss because Siamang (Symphalangus syndactylus) could not be
found at both large-scale oil palm plantations. Based on biodiversity gain assessment, there were biodiversity gain such insectivore and predator birds found in the oil palm large.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Kebun Sawit Swadaya
Nama NM
Galuh Masyithoh E351150226
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
ProfDr Ir Yanto DEA Ketua
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr Ir Burhanuddin MS
Tanggal Ujian: 21 Desember 2016
Diketahui oleh
Dr Ir MSc
Anggota
Dr Ir Dahrul
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa sawit, dengan judul Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Perkebunan Sawit Swadaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2016. Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA dan Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing, meluangkan waktu, mengarahkan, serta memberikan saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis saya yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang telah memberikan bantuan dana sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
4. Pengelola perkebunan sawit besar PTPN V Tandun Tamora dan PT Ivomas Tunggal serta para pemilik kebun sawit swadaya yang menjadi lokasi penelitian.
5. Tim peneliti Grant Research Sawit yang telah membantu dalam pengambilan data.
6. Orang tua tercinta Bapak Drs H Nana Suhana dan Ibu Hj Rr Susilaningsih yang selalu mendoakan dan melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis dan kakak-kakak yang selalu mendukung penulis.
7. Priscillia Christiani, Rizka Hari YP, Ken Dara Cita, Ilham Ananda, Panji Prakoso, Kanthi Hardina, Christine DP, Ria Rachmawati, Fakhri Sukma A, Tenrita Rizkiati, Siti Nurjannah, Hafizah Nahlunisa, Nurkhotimah, dan KSHE 48 yang selalu mendukung penulis.
8. Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) tahun 2014 dan 2015 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini. Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2017
DAFTAR ISI
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit 5
Dampak Negatif Perkebunan Kelapa sawit 7
Manfaat Perkebunan Kelapa Sawit 7
Ukuran Keanekaragaman Jenis 8
Klasifikasi Mamalia 10
Klasifikasi Burung 11
Persepsi 11
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain 12
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian 12
Alat dan Instrumen Penelitian 12
Jenis Data 12
Metode Pengumpulan Data 13
Analisis Data 15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 16
Keanekaragaman Jenis Mamalia 19
Keanekaragaman Jenis Burung 21
Kesamaan Jenis Mamalia 23
Kesamaan Jenis Burung 24
DAFTAR TABEL
1 Stok karbon pada hutan gambut, primer, gambut sekunder, dan kelapa
sawit 8
2 Kategori respon skala Likert 16
3 Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval tanggapan 16
4 Kondisi umum lokasi penelitian 15
5 Tingkat kesamaan jenis mamalia 24
6 Tingkat kesamaan jenis burung 24
7 Persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit besar dan kebun
sawit swadaya 25
8 Jenis primata yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 27
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 4
2 Peta lokasi penelitian 13
3 Desain transek pengamatan mamalia dan burung 13
4 Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit 14
5 Kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) 19
6 Perbandigan jumlah jenis mamalia pada kedua lokasi PSB 20 7 Perbandingan nilai kekayaan jenis mamalia pada kedua lokasi PSB 20
8 Mamalia yang ditemukan di areal NKT 21
9 Perbandingan jumlah dan nilai kekayaan jenis burung 22 10 Perbandingan jenis burung berdasarkan guild 23 11 Perbandingan antara jenis yag dapat ditemukan di hutan sekunder
dengan jenis yang tidak dapat ditemukan di hutan sekunder 27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis mamalia yang ditemukan 35
2 Jenis burung yang ditemukan 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Donald 2004). Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibagi menjadi dua tipe kepemilikan yaitu: perusahaan besar (pemerintah atau swasta) dan kebun rakyat, yang juga terbagi menjadi dua yaitu kebun sawit kemitraan (scheme smallholders) dan kebun sawit swadaya
(independent smallholders) (Baswir et al. 2009). Provinsi Riau pada tahun 2015,
merupakan provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas dengan perkiraan luas sebesar 2.4 juta ha dan total produksi sebanyak 7.4 juta ton (Ditjenbun 2014). Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) menunjukkan luas total kebun sawit swadaya (KSS) di Sumatera sejak tahun 2013 hingga 2015 diperkirakan telah mengalami peningkatan sebanyak 8.8% dari luas total 3.4 juta ha menjadi 3.7 juta ha, sedangkan perkebunan sawit besar (PSB) diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 6.2% dari luas total 3.2 juta ha menjadi 3.4 juta ha. Peningkatan luas KSS yang lebih cepat dibanding PSB disinyalir memberi dampak negatif bagi keanekaragaman hayati (Sodhi et al. 2004) dan menyebabkan
ekspansi kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan tutupan lahan (Lee et al. 2013).
Penelitian Srinivas dan Koh (2016) serta Muin (2013) menunjukkan bahwa mamalia dan burung rentan mengalami penurunan keanekaragaman sebagai dampak dari alih fungsi lahan ke kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung. Chiroptera dan Primata merupakan mamalia yang berperan penting sebagai agen penyerbuk, pemencar biji, dan pengendali populasi serangga hama tanaman sawit (Cardillo et al 2005 dalam Kartono 2015). Adanya kecenderungan spesialisasi
terhadap habitat, menjadi penyebab menurunnya kekayaan dan kelimpahan jenis mamalia di perkebunan kelapa sawit (Kartono 2015). Kartono (2015) menemukan bahwa, pada kawasan karst yang dipertahankan sebagai areal HCV (High Conservation Value) di dalam perkebunan kelapa sawit, indeks keanekaragaman
mamalianya lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Selain mamalia, burung juga memiliki peran penting sebagai indikator keanekaragaman spesies (BirdLife International 2010) dan indikator untuk memperkirakan respon dari taksa lain terhadap konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Edwards et al. 2014). Penelitian yang dilakukan Yoza (2000) dan Fitzherbert et al. (2008)
2
Koh 2016) akan tetapi data mengenai keanekaragaman mamalia dan burung di KSS masih sedikit yang diketahui (Azhar et al. 2015), terutama di Indonesia.
Sehingga perlu dilakukan penilaian terhadap hilangnya potensi tersebut (biodiversity loss). Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa
sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan adanya penambahan potensi (biodiversity gain) (Muin 2013). Dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu meminimalisir terjadinya biodiversity loss, untuk itu diperlukan pengelolaan kebun sawit yang
mendukung kelestarian keanekaragaman hayati. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi setiap stakeholder terhadap prinsip dan prioritas pengelolaannya (Aikanathan et al. 2015). Pengetahuan mengenai persepsi masyarakat sekitar terhadap
perkebunan sawit penting unuk diketahui. Persepsi individu terhadap lingkungannya memegang peranan penting karena akan berpengaruh dalam menentukan tindakan individu tersebut (Asngari 1984 dalam Erwina 2005).
Perumusan Masalah
Perkebunan kelapa sawit kerap dituding sebagai penyebab menurunnya keanekaragaman hayati (Donald 2004; Fitzherbert 2008) yang diduga karena sistem penanaman yang monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al.
2009). Keberadaan areal HCV (High Conservation Value) dapat membantu dalam
meningkatkan keanekaragaman jenis pada habitat tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh MacArthur & MacArthur (1961), bahwa peningkatan jumlah habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keragaman spesies, seperti dibuktikan dalam penelitian Kartono (2015).
Pengetahuan mengenai dampak perkebunan kelapa sawit bagi keberadaan satwaliar memerlukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis serta pendekatan terhadap masyarakat untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai hal tersebut. Selain itu, penilaian mengenai biodiversity loss dan biodiversity gain
penting untuk dilakukan agar dapat mengetahui kondisi keanekaragaman hayati burung yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut. Hal ini memunculkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja jenis mamalia dan burung yang terdapat di perkebunan kelapa sawit?
2. Apakah terdapat perbedaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dengan kebun sawit swadaya?
3. Bagaimana tingkat kesamaan jenis mamalia dan burung antara perkebunan sawit besar dengan kebun sawit swadaya?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya bagi satwaliar?
5. Apakah terjadi biodiversity loss atau biodiversity gain pada kawasan
3 Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah untuk:
1. Mengidentifikasi jenis mamalia dan burung berdasarkan tipe tutupan lahan di perkebunan kelapa sawit swasta dan rakyat.
2. Membandingkan kesamaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
3. Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya bagi keberadaan satwaliar.
4. Menganalisis kemungkinan adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Manfaat
Penelitian ini bermanfaat sebagai:
1. Salah satu sumber informasi perkembangan keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
2. Salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi.
Kerangka Pemikiran
Perkebunan kelapa sawit dituding menyebabkan adanya penurunan biodiversitas. Dalam penelitian ini, yang akan menjadi lokasi penelitian adalah perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya. Hal ini karena adanya perbedaan pengelolaan perkebunan yang diduga dapat mempengaruhi keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa sawit. Pengamatan untuk memperoleh data mengenai jenis mamalia dan burung dilakukan di 5 tipe tutupan lahan yaitu areal kebun sawit termuda, areal kebun sawit tertua, kawasan konservasi yang terdapat di areal kebun sawit, dan dua kebun sawit swadaya yang terdekat dengan perkebunan sawit besar. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis untuk mengetahui tingkat keragaman dan kesamaan komunitas. Data keanekaragaman mamalia dan burung berdasarkan tutupan lahan digunakan untuk menduga adanya biodiversity loss dan biodiversity gain di
4
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Perkebunan Sawit Besar (PSB)
Hasil:
Keanekaragaman jenis mamalia dan burung di PSB dan KSS Kesamaan jenis mamalia dan burung antara PSB dengan KSS Persepsi masyarakat terhadap PSB dan KSS
Analisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain
Kebun sawit swadaya
(KSS) Tudingan penyebab menurunnya biodiversitas Adanya areal NKT di
PSB
Perbedaan keanekaragaman jenis mamalia dan burung di PSB dan KSS
Luas KSS lebih sempit dibanding PSB Persepsi masyarakat
Analisis Data Jenis mamalia dan burung
5
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama disekitar Angola sampai Senegal (GAPKI 2014). Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit modern pertama mulai berkembang di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh pada tahun 1911 (Fauzi et al 2012.).
Sejarah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbagi dalam 5 periode, yaitu (Pahan 2006):
1. Periode penjajahan Belanda (1600-1942)
Pada awalnya sistem perkebunan di Indonesia menganut sistem tradisional. Saat VOC datang pada tahun 1600, sistem ini berubah menjadi perusahaan perkebunan melalui perubahan teknologi dan organisasi proses produksi. Pada masa tersebut, sistem usaha kebun rakyat dieksploitasi sebagai komoditi perdagangan Belanda. Fauzi et al (2012)
mengungkapkan bahwa Indonesia kala itu mampu menggeser dominasi ekspor afrika, namun demikian hal ini hanya meningkatkan perekonomian Belanda, tanpa meningkatkan perekonomian nasional Indonesia. Perubahan kebijakan politik kolonial yang semula menganut kebijaksanaan politik konservatif beralih menjadi kebijaksanaan politik liberal pada tahun 1870-an yang ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang Agraria. Undang-undang-undang Agraria 1870 menjadi pintu masuknya modal besar swasta di bidang perkebunan. Sistem ini menyebabkan munculnya investasi besar-besaran swasta asing (khususnya Belanda) dan sejumlah perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.
2. Periode pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang, ekonomi perkebunan mengalami penurunan karena kebijaksanaan pemerintah Jepang dalam meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang dengan melakukan pergantian tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan. Pada masa itu sebanyak 16% dari lahan sawit diubah menjadi lahan tanaman pangan. 3. Masa pemulihan perkebunan (1945-1955)
Selama periode 1945-1949 politik di Indonesia masih belum stabil. Hal ini menyebabkan pembangunan dan perkembangan ekonomi menjadi terkendala dan merosot. Kemudian dilakukan Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag yang menghasilkan ketentuan bahwa perkebunan yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dan swasta asing akan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Program pemulihan perkebunan oleh pemerintah Indonesia ini dimulai pada tahun 1951 yang menjadi titik awal beroperasinya kembali perusahaan perkebunan di pulau Jawa dan luar Jawa.
6
Perusahaan perkebunan (termasuk kelapa sawit) milik kolonial Belanda dinasionalisasi menjadi Perkebunan Negara atau sekarang dikenal dengan Perusahaan Perkebunan Negara (PTN) dipicu oleh tuntutan pemerintah Indonesia atas kedaulatan Irian Barat. Kondisi ini mendorong Perdana Menteri/ Menteri Pertahanan Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan peraturan yang menempatkan selurug perkebunan Belanda berada dalam yuridiksi Republik Indonesia dan Menteri Pertanian memegang wewenang untuk mengeluarkan peraturan yang diperlukan. Pada tahun 1960 dikeluarkan Undang-Undang No.5 mengenai pokok-pokok agraria dan Undang-Undang penanaman modal dalam negri (PMDN) serta Penanaman Modal Asing (PMA) (UU No.1 tahun 1967 dan UU No.6 tahun 1968). Hal tersebut memicu perkembangan luas areal kelapa sawit, namun hingga tahun 1976 perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya terdiri atas perkebunan negara dan perkebunan swasta. Perkebunan kelapa sawit rakyat muncul pada tahun 1980 setelah dikeluarkannya kebijakan Perkebunan Inti rakyat (PIR) dimana perkebunan swasta dan perebunan negara berperan sebagai inti sedangkan masyarakat sekitar sebagai anggota koperasi. Pemerintah juga memberi dukungan melalui penyediaan perkreditan murah yaitu Kredit Perkebunan Besar Swasta Negara (PBSN) mulai dari PBSN I (1977-1981), PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990) dan kemudian berubah menjadi kredit koperasi primer anggota (KKPA) untuk koperasi di tahun 1996. Pola PIR yang dikembangkan antara lain adalah PIR Lokal (1980), PIR Trans.migrasi (1986), dan PIR-berbantuan Asian Development. (Tarigan dan Sipayung,
2011).
5. Periode pembangunan perkebunan 2000-2004 dan awal pelaksanaan UU Perkebunan no. 18 tahun 2004
7 Dampak Negatif Perkebunan Kelapa Sawit
Winter (2002) menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan pengolahan pasca panen kelapa sawit menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan yaitu:
1. Polusi udara
Pembakaran hasil tebangan tanaman pada pembukaan hutan untuk penanaman baru, pembakaran hasil pangkasan tanaman pada penyiangan tanaman dewasa, dan kegiatan ekstraksi dan purifikasi minyak di pabrik penggilingan menjadi penyebab timbulnya polusi udara.
2. Perubahan land scape
Kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman dan pembuatan jalan kebun menyebabkan perubahan land scape yang berakibat pada musnahnya habitat
burung, terjadinya fragmentasi habitat dan timbulnya habitat burung yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan menyebabkan keanekaragaman burung menjadi menurun bahkan menghilang (Yoza 2000).
3. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat dari penggantian spesies alami yang keragamannya tinggi dengan spesies vegetasi kelapa sawit yang monokultur (keragaman genetik).
4. Polusi tanah dan air dengan penggunaan pestisida dan pupuk.
Efisiensi penyerapan pupuk N oleh tanaman kelapa sawit hanya 45% dari jumlah pupuk yang diberikan, begitu juga dengan efisiensi penyerapan pupuk P dan pupuk K hanya mencapai 35% dan 50% dari jumlah pupuk yang diberikan. Pupuk yang tidak terserap tersebut akan tercuci ke sungai dan laut sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan sepeti matinya biota yang ada di sungai dan laut (Hidayani 2015). Selain itu penyemprotan pestisida yang digunakan untuk melindungi kelapa sawit dari hama dan gulma mengakibatkan menurunnya kemampuan tanah untuk memproses nutrisi mencari bahan yang berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009)
5. Polusi tanah akibat pembuangan TBS kosong langsung ke lahan.
6. Perlakuan limbah cair yang kurang baik berakibat pencemaran air sungai.
Manfaat Perkebunan Kelapa sawit
Meskipun kerap dituding memberikan dampak negatif, di sisi lain perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai salah satu penyerap karbon
Selama ini berkembang anggapan bahwa dengan membuka lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan dan stok karbon (carbon stock) pada lapisan atas gambut akan
8
tahun mampu melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan mendekati stok karbon pada hutan gambut primer. Hal ini dijabarkan dalam tabel 1.
Tabel 1 Stok karbon pada hutan gambut, primer, hutan gambut sekunder, dan kelapa sawit
Land Use Gambut Stok Karbon (ton/ha)
Hutan gambut primer 81.8
Saat ini masyarakat menghadapi krisis pangan, energy, dan lingkungan yang jika tidak segera ditanggulangi dapat memicu krisis ekonomi, social, dan keamanan global. Dalam menanggulanginya, muncul argumen bahwa adanya perkebunan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi dalam menganggulangi krisis tersebut. Argument pertama yaitu produksi minyak sawit adalah berupa bahan pangan dan bahan energi terbarukan sehingga jika produksinya ditingkatkan akan dapat menekan krisis pangan dan energi. Argumen kedua, proses produksi perkebunan kelapa sawit menyerap gas karbon dari atmosfir bumi, dengan demikian adanya perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas karbon yang ada di udara saat ini. Argument ketiga, keberadaan minyak kelapa sawit sebagai alternative biofuel untuk substitusi penggunaan bahan bakar fosil maka dapat menekan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas karbon dari bahan bakar fosil dapat dikurangi.
3. Sumber devisa negara dan penyerapan tenaga kerja
Industri minyak sawit menyerap tenaga kerja sebanyak ± 6 juta orang, selain itu industri minyak sawit menjadi sumber devisa negara terbesar untuk industri non minyak dan gas bumi yaitu menghasilkan devisa sebesar ± US$ 21.75 miliar atau 14% dari nilai total ekspor Indonesia pada tahun 2014 (GAPKI dalam BPDPKS 2016).
Ukuran Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah
seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini, beserta interaksinya (BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu area dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan
9 satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. Berbeda halnya dengan Peday dalam Santosa et al. (2016) yang menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman jenis (Species Diversity Index) adalah ciri tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologinya yang merupakan penggabungan kekayaan dan kesamaan jenis (species richness and evenness). Indeks kesamaan jenis dapat
digunakan untuk melihat kesamaan antar komunitas burung di setiap tipe vegetasi (Kaban 2013).
Kekayaan jenis merupakan hal utama dalam mempelajari biodiversitas (Magurran 1988). Konsep kekayaan jenis pertama kali dicetuskan oleh Mcinthos pada tahun 1967. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu komunitas. Persoalan mendasar yang merupakan kendala penting dalam penerapan konsep “kekayaan jenis” adalah bahwasanya seringkali tidak mungkin untuk menghitung semua jenis yang hidup dan tinggal dalam suatu komunitas alamiah. Oleh karena itu perlu dilakukan pendugaan.
Menurut Yapp (1979) dalam Ludwig & Reynolds (1988) kekayaan jenis
(S) adalah jumlah total jenis dalam suatu komunitas. Nilai S tergantung pada ukuran sampel dan waktu pengambilan data, sehingga S dihitung sebagai indeks perbandingan. Indeks kekayaan jenis pada dasarnya merupakan indikator keragaman jenis yang didasarkan pada pengukuran terhadap banyaknya jenis yang dijumpai dalam suatu habitat yang homogen. Terdapat beberapa indeks kekayaan jenis yang tidak tergantung pada ukuran sampel, namun dihitung berdasarkan jumlah individu yang teramati (n) yang jumlahnya meningkat seiring dengan pertambahan ukuran sampel. Indeks untuk menghitung kekayaan jenis antara lain: 1. Indeks Margalef (1958)
Boontawe et al (1995) mengatakan bahwa nilai indeks margalef akan
semakin besar seiring dengan semakin luasnya plot contoh yang digunakan, dan semakin tinggi juga keanekaragamannya yang ditunjukkan pula oleh semakin besar nilai kekayaan jenisnya. Whilm (1967) mengatakan bahwa indeks ini baik digunakan jika suatu komunitas memiliki keanekaragaman spesifik pada luasan tertentu yang cukup besar. Boyle et al. (1990)
menunjukkan bahwa indeks Margalef memiliki sensitivitas tinggi terhadap struktur suatu komunitas, khususnya pada jumlah spesies yang rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Kusuma (2007) yang membuktikan bahwa indeks margalef merupakanindeks yang paling responsif terhadap perubahan jumlah spesies dan jumlah individu.
2. Indeks Menhinick
Indeks Menhinick merupakan indeks yang lebih bebas terhadap ukuran contoh. Menurut Whilm (1967) indeks ini memiliki tingkat kesalahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks Margalef. Namun Indeks Menhinick tidak terpengaruh oleh penambahan ukuran contoh sehingga nilainya cenderung stabil.
3. Metode Rarefaction
10
4. Penduga Jackknife
Metode yang menggunakan penduga non parametrik untuk menghitung kekayaan spesies ketika penarikan contoh komunitas dilakukan dengan metode kuadrat adalah penduga Jackknife. Dalam metode ini dihitung berdasarkan frekuensi spesies jarang/unik yang berada suatu komunitas. Spesies jarang/unik didefinisikan sebagai spesies yang ditemukan pada satu dan hanya satu plot contoh. Nilai dugaan ini bersifat absolut yaitu jumlah spesies (tidak berupa indeks). Menurut Kreb (1989) metode ini cenderung
overestimate sehingga tidak dapat digunakan pada komunitas dengan jumlah
spesies jarang/unik yang tinggi atau komunitas yang jumlah sampelnya terlalu kecil.
Klasifikasi Mamalia
Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di badan dan adanya kelenjar susu pada betina. Mamalia terdiri dari monotremata (hewan berkloaka atau mamalia petelur), marsupialia (hewan berkantung atau hewan dengan kantung tempat anaknya tinggal beberapa waktu sesudah lahir) dan mamalia placental disebut juga placentalia (hewan yang memberi makan pada janin melalui placenta sejati) (Ensiklopedi Indonesia 1992).
Mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan. Secara umum mamalia memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ensiklopedi Indonesia 1992):
1. Tubuh biasanya ditutupi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.
2. Berjalan tegak, memiliki empat anggota kaki (kecuali anjing laut dan singa laut tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima jari yang bermacam-macam bentuknya disesuaikan dengan fungsinya. Tungkai tubuh ada di bawah badan.
3. Heterodontia (beranekaragaman jenis gigi dengan bermacam fungsi) 4. Pernafasan dengan paru-paru, hasil ekresi berupa cairan urine.
5. Homoiothermia (hewan berdarah panas). Suhu tubuh tidak dipengaruhi suhu lingkungan.
6. Hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis, fertilisasi terjadi di dalam tubuh hewan betina.
Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah equator. Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan tinggi (Alikodra 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kartono (2015) di perkebunan kelapa sawit PT Sukses Tani Nusasubur Kalimantan Timur, jenis-jenis mamalia yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit antara lain kucing kuwuk (P. bengalensis), kucing tandang (P. planiceps), lutung merah (P. rubicunda), kijang muncak (M. muntjak), tikus belukar (R. tiomanicus), owa
kalawat (H. muelleri), babi berjenggot (S. barbatus), musang luwak (P. hermaphroditus), dan tupai tercat (T. picta). Chiroptera dan Primata merupakan
11 pengendali populasi serangga hama tanaman pertanian (Cardillo et al 2005 dalam
Kartono 2015).
Klasifikasi Burung
Burung merupakan salah satu dari lima kelas hewan bertulang belakang, termasuk kelas Aves dalam filum Chordata, kerajaan Animalia yang memiliki 27 bangsa dan 158 suku. Burung berdarah panas dan berkembangbiak melalui telur. Tubuhnya tertutup bulu dan memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang. Burung memiliki pertukaran zat yang cepat kerena terbang memerlukan banyak energi. Suhu tubuhnya tinggi dan tetap sehingga kebutuhan makanannya banyak (Redaksi Ensiklopedi Indonesia 1992). Welty (1982) mendiskripsikan burung sebagai hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur. Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan. Secara umum, burung memanfaatkan habitat sebagai tempat mencari makan, beraktivitas, berkembangbiak dan berlindung (Welty 1982). Berdasarkan hasil penelitian Yoza (2000) di PT Ramajaya Pramukti Kabupaten Kampar Provinsi Riau, jenis-jenis burung yang terdapat di perkebunan kelapa sawit merupakan pemakan serangga, pemakan buah-buahan, pemakan biji, pengisap madu, pemakan daging, dan pemakan macam-macam jenis makanan.
Persepsi
Persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk melalui serangkaian proses (kognisi) yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud (Harihanto 2001). Seluruh indra manusia memegang peranan penting dalam meneruskan informasi dan otak akan mengolahnya melalui tahap pemaparan, perhatian, dan pemaknaan. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi dalam Khayati 2016)
yang diperoleh melalui pengalaman langsung dari objek dan informasi dari berbagai sumber lainnya (Sumarwan 2004). Artinya persepsi dapat diartikan sebagai suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Setiawati 2010). Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) dalam Suharni
12
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
Kehilangan potensi keanekaragaman hayati (biodiversity loss)
didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya jumlah jenis tumbuhan atau satwaliar tertentu yang dulunya mudah dijumpai atau dapat diidentifikasi karena adanya perubahan tutupan lahan akibat kegiatan manusia. Perubahan tutupan lahan (hutan dan semak belukar) akibat aktivitas manusia dan pembangunan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, akan berdampak pula pada perubahan kondisi dan potensi keanekaragaman hayatinya (Muin 2013). Perubahan itu dapat berupa berkurang atau hilangnya potensi keanekaragaman hayati (biodiversity loss), namun perubahan tutupan lahan yang semula merupakan lahan dengan
potensi keanekaragaman hayati rendah dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit, memungkinkan adanya penambahan potensi keanekaragaman hayati.
Berdasarkan penelitian Muin (2013) di tiga perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, pembangunan perkebunan kelapa sawit menyebabkan
biodiversity loss yaitu hilangnya orangutan, owa, dan trenggiling dari lokasi
tersebut karena hutan yang merupakan habitatnya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Selain itu trenggiling banyak diburu untuk diperjualbelikan di pasar lokal atau diselundupkan. Selain itu, biodiversity gain juga terjadi di lokasi
tersebut berupa adanya satwa predator yang seperti ular sawah (Phyton reticulatus), beluk ketupa (Ketupa ketupu), dan kukuk beluk (Strix leptogrammica). Satwa predator ini membantu dalam memangsa tikus yang
merupakan hama di perkebunan sawit. Penelitian yang dilakukan Kartono (2015) di PT STN menunjukkan adanya biodiversity loss karena jenis beruang madu
(Helarctos malayanus) dan landak raya (Hystrix brachyura) hanya dapat
ditemukan di hutan sekunder. Kedua jenis ini diduga merupakan spesies spesialis. Yaap et al. (2010) menyatakan bahwa spesies generalis memiliki respon positif
dan dapat berkembang di habitat hutan sekunder atau hutan tanaman, sedangkan spesies spesialis akan mengalami penurunan atau bahkan punah secara lokal.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di PSB PTN V Tandun – Tamora (PTN), KSS1, dan KSS2 yang terletak di Kabupaten Kampar serta PSB PT Ivo Mas Tunggal (PT IMT), KSS3, dan KSS4 di Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada bulan Maret-April 2016 (Gambar 2).
Alat dan Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan adalah field guide mamalia dan burung, GPS, kamera, tallysheet pengamatan, binokuler, alat tulis, dan kamera trap. Instrumen
13
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengamatan langsung
Data keanekaragaman jenis mamalia dan burung pada berbagai jenis tutupan lahan di PSB dan KSS diamati pada 1 jalur pengamatan untuk masing-masing tutupan lahan/kelas umur. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keanekeragaman jenis mamalia dan burung pada satu jenis tutupan lahan/kelas umur yang sama bersifat homogen. Selain itu umumnya untuk areal Nilai Konservati Tinggi (NKT) dan KSS luasnya relatif terbatas (1-4 ha). Inventarisasi keanekaragaman jenis mamalia dan burung dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi transek garis (line transect) dan titik pengamatan (point observation). Jalur transek berjumlah 10 jalur dengan panjang 1 km dan lebar 200
m per jalur (Gambar 3).
Keterangan: S = posisi satwa; o = posisi pengamat
Gambar 3 Desain transek pengamatan mamalia dan burung 100 m
100 m
S
S o
14
Pengamatan dilakukan pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore (15:30-17:30 WIB) yang diulang sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan pada 5 tipe tutupan lahan yaitu:
1. Areal sawit termuda (SM); 2. Areal sawit tertua (ST);
3. Areal nilai konservasi tinggi (NKT) yang terdapat di perkebunan sawit besar; dan
4. Dua KSS yang terdekat dengan perkebunan sawit besar.
Pengamatan dengan kamera trap
Pengamatan dengan menggunakan kamera trap dilakukan untuk mengambil data tambahan mamalia. Hal ini dilakukan karena terdapat mamalia yang sensitif terhadap keberadaan manusia, sehingga untuk menangkap keberadaannya, diperlukan bantuan kamera trap. Total kamera trap yang dipasang yaitu sebanyak 10 unit. Kamera trap ini dipasang di areal sawit tertua sebanyak 5 unit dan areal NKT sebanyak 5 unit.
Gambar 4 Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit
Wawancara dan Skala Likert
Wawancara dilakukan dengan bantuan kuesioner untuk mendapatkan informasi tambahan dari masyarakat terkait jenis keanekaragamana hayati yang ditemukan di perkebunan sawit. Pengumpulan informasi mengenai persepsi masyarakat sekitar kebun sawit dilakukan dengan menggunakan skala likert. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling (convenience sampling), karena populasi yang diteliti tidak diketahui jumlahnya. Teknik ini
15 Analisis Data
Indeks kekayaan jenis
Kekayaan jenis merupakan salah satu kata kunci yang perlu diperhatikan pada keaneka-ragaman hayati (Magurran 1988). kekayaan jenis dihitung dengan menggunakan indeks Margalef sebagai berikut:
Dmg = S – 1 ln (N) Keterangan
Dmg = Indeks Margalef S = Jumlah Jenis
N = Jumlah Individu Seluruh Spesies Indeks kesamaan komunitas
Untuk melihat tingkat kesamaan komunitas antara tipe tutupan lahan di setiap perkebunan kelapa sawit maka digunakan indeks kesamaan. Perhitungan tingkat kesamaan jenis yang digunakan adalah indeks kesamaan jenis Sorensen (Magurran 1988):
IS = 2*C/(A+B) Keterangan :
IS : Indeks Similaritas A : Jumlah spesies di lokasi A B : Jumlah spesies di lokasi B
C : Jumlah spesies yang berada pada kedua lokasi A dan B Kriteria
IS < 50% Indeks Similaritas rendah IS > 50% Indeks Similaritas tinggi Persepsi masyarakat
16
Tabel 2 Kategori respon skala Likert
Skala 1 2 3 4 5
Sering Selalu Kadang –
kadang Jarang Tidak pernah Sangat setuju Setuju Netral Tidak setuju Sangat tidak
setuju Paling
penting Penting Netral Tidak penting Sangat tidak penting
Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh responden untuk setiap aspek yang diajukan pada pernyataan. Skor dari tiap aspek dikategorikan berdasarkan interval nilai tanggapan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval nilai tanggapan No Interval nilai tanggapan Tingkat persepsi
1 3.8 – 5.1 Baik
2 2.4 – 3.7 Netral
3 2.3 – 1.00 Buruk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dipaparkan dalam 8 sub bab, yaitu: kondisi umum lokasi penelitian; keanekaragaman jenis mamalia; keanekaragaman jenis burung; kesamaan jenis mamalia; kesamaan jenis burung; persepsi masyarakat terhadap dampak kebun sawit bagi satwaliar; serta pendugaan biodiversity loss dan biodiversity gain.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
17 Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian
18
Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian (lanjutan)
Merujuk pada penelitian Santosa et al. (2016) yang dilakukan di Provinsi
Riau Tahun 2016, diperoleh informasi bahwa pada PSB PTN tutupan lahan sebelum menjadi perkebunan sawit merupakan perkebunan karet PTN II Tanjung Morawa Sumatera Utara dan hutan sekunder. Tutupan lahan yang mendominasi adalah perkebunan karet. Begitupun halnya dengan PT IMT. Sebelum menjadi perkebunan sawit, tutupan lahan di PT IMT merupakan perkebunan karet, tanah terbuka, dan hutan sekunder. Tutupan lahan yang mendominasi adalah perkebunan karet. KSS3 1994 Homogen Ditumbuhi
ilalang dengan tinggi sekitar 15-30 cm.
Parit Parit dan jalan
19 Keanekaragaman Jenis Mamalia
Total jumlah jenis mamalia yang ditemukan selama penelitian sebanyak 83 individu dari 9 jenis, yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung
kelabu (Presbytis cristata), bajing kelapa (Callosciurus notatus), babi hutan (Sus scrofa), tupai indah (Tupaia splendidula), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), tikus belukar (Rattus tiomanicus), codot (Cynopterus sp.) dan
kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) (Gambar 5). Jenis yang dapat
ditemukan pada hampir semua tipe tutupan lahan adalah bajing kelapa. Terdapat jenis mamalia yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 yaitu lutung kelabu dan kucing kuwuk. Kamera trap yang dipasang di areal NKT PTN berhasil merekam keberadaan babi hutan, tupai indah, dan tikus belukar, serta kamera trap yang dipasang di areal ST berhasil merekam keberadaan monyet ekor panjang. Adapun kamera trap yang dipasang di areal NKT dan ST PT IMT berhasil merekam keberadaan kucing kuwuk.
a) b)
Gambar 5 Kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis): a) hasil dokumentasi
kamera trap; b) hasil pengamatan
Sumber: Santosa et al. (2016)
Pada kedua PSB, areal NKT memiliki jumlah jenis yang tinggi (Gambar 6), karena tutupan lahannya yang berupa hutan. Setiap strata hutan memilki kemampuan dalam mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar (Alikodra 2002). Semakin beragam strata tajuknya maka semakin banyak jenis mamalia yang dapat hidup di dalamnya dengan menempati relung ekologi masing-masing. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Araujo et al. dalam Gunawan (2007) yang
menunjukkan bahwa ketergantungan mamalia besar terhadap tumbuhan cukup tinggi.
Areal NKT pada kedua PSB dapat berfungsi sebagai tempat singgah sementara (stepping-stone) atau bahkan habitat bagi beberapa jenis mamalia
dilindungi dan terancam punah (Fitzherbert et al. 2008, Kartono 2015). Selain itu
terdapat aliran sungai pada areal NKT di kedua PSB. Daerah riparian penting bagi keberadaan satwa liar karena menyediakan air sebagai komponen habitat dan berfungsi sebagai penghubung berbagai kondisi habitat yang menghasilkan daerah pertemuan antar habitat yang disukai satwa liar (Fitzherbert et al. 2008; Alikodra
20
Gambar 6 Perbandingan jumlah jenis mamalia pada kedua lokasi PSB Pada kedua PSB, areal SM memiliki nilai kekayaan jenis yang paling rendah (Dmg = 0) (Gambar 7). Hal ini disebabkan tutupan tajuk pada areal SM yang terbuka menyebabkan banyak cahaya masuk sehingga tidak disukai mamalia. Selain itu kurangnya ketersediaan pakan karena struktur vegetasi yang homogen menyebabkan rendahnya indeks kekayaan jenis mamalia di areal SM tersebut. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa areal yang relatif sempit dan homogen memiliki kekayaan jenis yang relatif rendah dibandingkan dengan areal yang luas dan heterogen. Secara keseluruhan, nilai kekayaan jenis mamalia di PSB PTN lebih rendah dibanding KSS. Berbeda dengan di PT IMT, nilai kekayaan jenis mamalia di PSB lebih tinggi dibanding KSS. Lokasi KSS di sekitar PTN, berdekatan dengan hutan sekunder dan kebun karet, menciptakan habitat tambahan yang dapat menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup besar (Fitzherbert et al. 2008). Selain itu, keberadaan hutan sekunder dan kebun
karet menyediakan variasi habitat bagi mamalia. MacArthur dan MacArthur (1961) menyatakan bahwa peningkatan jumlah habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keragaman spesies.
21
Satwa yang hanya dapat ditemukan di areal berhutan yaitu babi hutan dan lutung kelabu (Gambar 8). Pada penelitian ini, babi hutan ditemukan di areal NKT PTN, karena terdapat kubangan yang mendukung aktivitas berkubangnya. Kegiatan berkubang ini bertujuan untuk mengatur suhu tubuh, menghilangkan luka dan parasit pada kulit tubuhnya, dan tingkah laku seksual. Selain itu, pada cuaca panas sumber air dibutuhkan untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap dingin (Siswanto 2007).
a) b)
Gambar 8 Mamalia yang ditemukan di areal NKT: a) babi hutan (Sus scrofa); b)
lutung kelabu (Presbytis cristata)
Sumber: Santosa et al. 2016 dan dokumentasi pribadi
Lutung kelabu dalam penelitian ini hanya dapat ditemukan di areal NKT, karena pada areal NKT memiliki berbagai macam tumbuhan pakan primata. Selain itu keberadaan primata dibatasi oleh aktivitas manusia. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Basalamah et al. (2010) yang menunjukkan bahwa
keberadaan primata di jalur ekowisata dengan kondisi habitat yang masih ideal, lebih rendah dibandingkan jalur yang bukan merupakan jalur ekowisata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan satwa primata sangat dipengaruhi aktivitas manusia. Satwa primata lebih memilih kawasan yang jarang dilalui manusia untuk mencari pakan. Monyet ekor panjang dapat ditemukan di areal ST PTN meskipun lokasinya berdekatan dengan sekolah dan tempat aktivitas manusia, karena monyet ekor panjang memiliki kemampuan untuk tetap bertahan hidup pada habitat yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000; Napier dalam
Sampurna 2014).
Keanekaragaman Jenis Burung
Jumlah jenis burung yang ditemukan di PTN dan IMT sebanyak 429 individu dari 40 jenis. Terdapat jenis burung yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 yaitu elang tikus (Elanus Caeruleus), elang-ular bido (Spilornis Cheela),
cekakak belukar (Halcyon Smyrnensis), cekakak sungai (Halcyon chloris), dan
kipasan belang (Rhipidura javanica). Berdasarkan indeks kekayaan jenis Margalef,
22
(karena keterbatasan modal), sehingga menyebabkan tumbuhan bawah banyak tumbuh di KSS2. Belum optimalnya pengendalian gulma menyebabkan kebun banyak ditumbuhi gulma dan anakan sawit liar. Utari (2000) mengatakan bahwa keberadaan tumbuhan bawah di kebun kelapa sawit sangat penting karena dapat menjadi tempat berlindung atau tempat bersarang bagi burung dan tempat tinggal serangga. Serangga merupakan salah satu jenis pakan bagi beberapa jenis burung insektivora seperti perenjak rawa (Prinia flaviventris) dan bubut besar (Centropus sinensis).
Gambar 9 Perbandingan jumlah dan nilai kekayaan jenis burung
Areal NKT di PT IMT memiliki nilai indeks kekayaan jenis tertinggi (4.85) karena terdapat banyak jenis pohon di areal NKT yang berbentuk hutan sehingga menyediakan strata tajuk yang beraneka ragam. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Yoza (2000) bahwa jika dibandingkan dengan kebun, hutan memiliki stratifikasi yang lebih kompleks, sehingga memberikan variasi strata bagi habitat burung, dan pernyataan Suripto (2006) bahwa komposisi vegetasi yang relatif heterogen menciptakan relung ekologi yang lebih bervariasi. Semakin banyak jenis pohon akan menciptakan banyak relung ekologi yang memungkinkan berbagai jenis burung untuk dapat hidup secara bersama. Selain itu Edwards et al. (2013) menyatakan bahwa hutan terdegradasi yang tersisa dapat
berfungsi sebagai tempat perlindungan (refugia) bagi keanekaragaman hayati,
dalam hal ini areal NKT di kedua PSB berperan sebagai tempat perlindungan dan tempat mencari pakan bagi berbagai jenis burung.
23
Gambar 10 Perbandingan jenis burung berdasarkan guild
Keterangan: Car = carnivora, Ins = insektivora, Frg = frugivora, Grn = Granivora Pada kedua perusahaan jenis burung yang paling banyak ditemukan adalah jenis insektivora. Serangga merupakan jenis pakan yang melimpah di alam sehingga mudah didapatkan oleh semua jenis burung (Darmawan 2006), selain itu perkebunan kelapa sawit meningkatkan jumlah jenis serangga (Armando 2016) sehingga jenis burung insektivora banyak ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Srinivas dan Koh (2016) yang menunjukkan bahwa keberadaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan penurunan jenis burung insektivora dan frugivora. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan perkebunan kelapa sawit tidak selalu menyebabkan penurunan jenis burung.
Kesamaan Jenis Mamalia
24
Tabel 5 Tingkat kesamaan jenis mamalia
PSB 2Tipe Tutupan Lahan
a-b a-c a-d a-e b-c b-d b-e c-d c-e d-e PTN 0 0 0 0 0.50 0.57 0.50 0.55 0.50 0.29 PT IMT 0.67 0.40 0 0 0.67 0.50 0.67 0.33 0.40 0.67 Keterangan: a = SM; b = ST; c = NKT; d = KSS1, KSS3; e = KSS2, KSS4
Secara keseluruhan tingkat kesamaan jenis antara PSB dengan KSS relatif sama, kesimpulan serupa juga ditemukan Harahap (2008) di lokasi penelitiannya. Hal ini dikarenakan areal sawit PSB dengan KSS memiliki kemiripan struktur vegetasi sehingga menyebabkan jenis mamalia yang ada di lokasi tersebut relatif sama yaitu kebun sawit.
Kesamaan Jenis Burung
Tingkat kesamaan jenis burung di PTN dan PT IMT ditampilkan dalam Tabel 6. Indeks kesamaan jenis dapat digunakan untuk melihat kesamaan antar komunitas burung di setiap tipe vegetasi (Kaban 2013). Faktor yang memungkinkan adanya kesamaan jenis di PTN dan PT IMT adalah komposisi vegetasi yang sama.
Tabel 6 Tingkat kesamaan jenis burung
PSB Tipe Tutupan Lahan
a-b a-c a-d a-e b-c b-d b-e c-d c-e d-e PTN 0.67 0.55 0.44 0.5 0.60 0.42 0.48 0.38 0.39 0.4 PT IMT 0.64 0.5 0.57 0.52 0.56 0.75 0.78 0.56 0.52 0.7 Keterangan: a = SM; b = ST; c = NKT; d = KSS1, KSS3; e = KSS2, KSS4
Berdasarkan indeks kesamaan jenis Sorensen, jenis burung yang ada di areal ST dengan areal SM PTN memiliki indeks kesamaan jenis tertinggi yaitu sebesar 0.67 dan pada PT IMT tingkat kesamaan jenis burung tertinggi yaitu antara areal ST dengan KSS4. Hal ini dikarenakan di areal ST di kedua PSB dan KSS 4 terdapat banyak tumbuhan bawah dan semak-semak serta di areal SM terdapat banyak mukuna sehingga memiliki kemiripan kondisi habitat. Mukuna (Mucuna bracteata) adalah kacangan penutup tanah yang digunakan untuk melindungi
permukaan tanah dari erosi, menambah bahan organik tanah, mengurangi pencucian unsur hara, menambah dan mempertahankan kesuburan tanah baik kimiawi, fisik maupun biologis, serta dapat menghambat pertumbuhan gulma (Niang et al. 2002). Mukuna menyediakan relung yang cenderung dapat
meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami karena tingginya keanekaragaman serangga penghuni tajuk dan tanah (Russel 1989 dalam
25 Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Kebun Sawit Bagi Satwaliar
Perkebunan kelapa sawit kerap dianggap sebagai penyebab menurunnya keanekaragaman hayati, sehingga diperlukan suatu bentuk pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempertimbangkan kelestarian/ konservasi lingkungan (Muin 2013). Hasil penelitian Aikanathan et al. (2015) menunjukkan bahwa pengelolaan
kebun sawit yang mendukung kelestarian keanekaragaman hayati dipengaruhi oleh persepsi setiap stakeholder terhadap prinsip dan prioritas pengelolaannya.
Oleh karenanya pengetahuan mengenai persepsi masyarakat sekitar terhadap perkebunan sawit penting unuk diketahui.
Persepsi individu terhadap lingkungannya memegang peranan penting karena akan berpengaruh dalam menentukan tindakan individu tersebut (Asngari 1984 dalam Erwina 2005). Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami
atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi dalam Khayati 2016)
yang diperoleh melalui pengalaman langsung dari objek dan informasi dari berbagai sumber lainnya (Sumarwan 2004). Artinya persepsi dipengaruhi oleh faktor yang bersumber dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari lingkungan luar individu (eksternal) (Setiawati 2010). Tampang (1999) dalam
Baskoro (2008) juga mengungkapkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh peubah-peubah yang berkombinasi satu dengan yang lainnya yaitu: (1) pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami, (2) indoktinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami, dan (3) sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Seseorang dapat memiliki persepsi positif atau negatif terhadap suatu hal, yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata. Persepsi dari masyarakat terhadap keberadaan PSB dan KSS bagi satwaliar akan mempengaruhi penilaian dan sikap masyarakat terhadap fungsi kebun sawit sebagai habitat satwaliar. Hal ini diharapkan dapat membantu konservasi satwaliar di kebun sawit. Pengambilan data mengenai persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan PSB dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar PSB. Persepsi masyarakat ditampilkan dalam Tabel 7. Tabel 7 Persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit besar dan kebun sawit
swadaya
26
KSS memegang peranan penting dalam perubahan tutupan lahan (Lee et al. 2013).
Hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, namun demikian terdapat pengaruh positif dari KSS sebagai habitat bagi satwa liar. Jenis satwa yang pernah ditemukan masyarakat antara lain beruk, babi hutan, tikus, tupai, monyet ekor panjang, cekakak, burung puyuh, perkutut, kacer, gelatik, gereja, ruak-ruak, kepodang, ayam hutan, bubut, punai, dan kelelawar. Sehingga dapat dilihat bahwa keberadaan KSS tidak memberi gangguan signifikan terhadap lingkungan, namun demikian untuk pembangunan kebun kelapa sawit pada PSB masih diperlukan pembukaan hutan yang dapat berdampak pada hilangnya habitat alami satwa.
Secara keseluruhan, persepsi masyarakat mengenai dampak PSB PT IMT dan KSS (KSS3 dan KSS4) hampir serupa dengan PTN. Masyarakat menilai positif keberadaan PT IMT dan KSS yang dianggap dapat menjadi tempat tinggal bagi satwa liar dan keberadaan satwa tidak mengganggu produksi kebun. Keberadaan KSS masih bisa jadi habitat satwaliar. Jenis satwa yang pernah ditemukan masyarakat antara lain tupai, tikus, burung hantu, burung perkutut, bubut, monyet ekor panjang, babi hutan, musang, dan burung kutilang. Menurut masyarakat keberadaan satwaliar tidak mengganggu hasil produksi sawit. Pada PSB PT IMT dan KSS, pembangunan kebun kelapa sawit masih diperlukan pembukaan hutan.
Secara keseluruhan baik pada PSB maupun KSS di PTN dan PT IMT, masyarakat menilai keberadaan kebun sawit tetap memberi pengaruh positif bagi satwaliar dan satwaliar tersebut tidak mengganggu produksi kebun. Hal ini berbeda dengan penelitian Santosa dan Pairah (2011) yang menyatakan bahwa dampak dari konversi kawasan hutan terhadap sawit adalah hilangnya/terganggunya habitat satwa liar yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar.
Pendugaan Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
Perubahan tutupan lahan (hutan dan semak belukar) akibat aktivitas manusia dan pembangunan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, akan berdampak pula pada perubahan kondisi dan potensi keanekaragaman hayatinya (Muin 2013). Selain perubahan ini dapat berupa biodiversity loss, perubahan ini
juga dapat berupa penambahan jenis yang dalam hal ini disebut sebagai
biodiversity gain. Pengamatan yang dilakukan di PSB dan hutan sekunder
ditampilkan pada Gambar 11. Berdasarkan hasil pengamatan, 67% (4 dari 6 ) jenis mamalia dan 50% (13 dari 26) jenis burung yang ditemukan di PTN dapat ditemukan di hutan sekunder (HS). Sedangkan di PT IMT sebanyak 60% (3 dari 5) jenis mamalia dan 41% (11 dari 27) jenis burung yang ditemukan di PT IMT dapat ditemukan di HS. Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Fitzherbert et al. (2008) dan Kartono (2015) bahwa hanya sedikit jenis satwa yang
27
Gambar 11 Perbandingan antara jenis yang dapat ditemukan di hutan sekunder dengan jenis yang tidak dapat ditemukan di hutan sekunder
Biodiversity loss didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya jumlah
jenis tumbuhan atau satwaliar tertentu yang dulunya mudah dijumpai atau dapat diidentifikasi karena adanya perubahan tutupan lahan akibat kegiatan manusia (Muin 2013), dalam hal ini pengembangan kebun kelapa sawit. Dalam penelitian ini pendugaan biodiversity loss dibatasi pada jenis primata arboreal yang
dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 yaitu siamang dan lutung kelabu (Tabel 8), karena kedua primata tersebut merupakan satwa arboreal sehingga keberadaannya dipengaruhi oleh keberadaan pohon. Spesies arboreal memiliki risiko yang lebih tinggi jika hutan lebih terbuka dan terfragmentasi (Laurance dan Laurance dalam Meijaard et al. 2006).
Tabel 8 Jenis primata yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999
No Nama Lokal PTN Lokasi IMT HS
1 Lutung kelabu 4 0 0
2 Siamang 0 0 2
Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 8, baik pada PTN maupun PT IMT terdapat biodiversity loss dikarenakan jenis Siamang tidak dapat
ditemukan di kedua PSB tersebut. Begitu pula dengan hasil penelitian Muin (2013) yang menunjukkan bahwa terdapat biodiversity loss yaitu primata arboreal,
orangutan dan owa-owa di PT A, PT B, dan PT C Kalimantan Tengah. Hasil penelitian Kartono (2015) juga menunjukkan adanya biodiversity loss di
perkebunan sawit PT STN. Jenis beruang madu (Helarctos malayanus) dan
landak raya (Hystrix brachyura) yang merupakan jenis dilindungi hanya
28
serupa dapat ditemukan pada penelitian ini. Pada areal NKT PTN ditemukan jenis dilindungi yaitu lutung kelabu. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan areal NKT di PTN dapat membantu dalam upaya konservasi jenis satwa yang dilindungi.
Pada PTN dan PT IMT terdapat biodiversity gain dengan adanya
jenis-jenis burung insektivora yang mendominasi di perkebunan sawit. Hal ini menguntungkan karena burung insektivora dapat menjadi pengontrol serangga hama pertanian (Altieri 1999; Najera dan Simonetti 2010), seperti tanaman sawit. Selain itu pada perkebunan kelapa sawit terdapat tikus yang menjadi hama perkebunan tanaman kelapa sawit, berdasarkan penelitian yang dilakukan Priyambodo (2003) jenis tikus yang ditemukan menyerang pada perkebunan kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus, Rattus argentiventer, Rattus rattus, dan Rattus exulans. Pengendalian hama tikus yang dilakukan pengelola biasanya
dilakukan dengan menggunakan racun tikus. Pada kedua perusahaan ditemukan burung yang merupakan predator alami tikus yaitu serak jawa, elang tikus dan elang-ular bido. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi pengelola. Potensi burung insektivor dan predator ini dapat dikatakan sebagai biodiversity gain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 6 jenis mamalia dan 25 jenis burung di perkebunan sawit besar serta 6 jenis mamalia dan 16 jenis burung di kebun sawit swadaya untuk PTN. Sedangkan untuk PT IMT ditemukan 4 jenis mamalia dan 27 jenis burung di perkebunan sawit besar serta 2 jenis mamalia dan 15 jenis burung di kebun sawit swadaya. 2. Hasil penelitian di PTN menunjukkan bahwa nilai kekayaan jenis
mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih rendah dibanding kebun sawit swadaya dikarenakan lokasi kebun sawit swadaya berdekatan dengan hutan sekunder. Hasil yang berbeda terlihat di PT IMT, kekayaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya.
3. Masyarakat menilai pengaruh positif perkebunan sawit besar bagi satwaliar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya, namun demikian baik perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya memiliki pengaruh positif bagi keberadaan satwaliar.
4. Terdapat biodiversity loss pada kedua perkebunan sawit besar dikarenakan
siamang tidak dapat ditemukan di perkebunan sawit, namun demikian pada perkebunan sawit besar ditemukan lutung kelabu yang tidak ditemukan di hutan sekunder. Berdasarkan pedugaan biodiversity gain,
pada kedua perkebunan sawit besar terdapat biodiversity gain yaitu adanya
29
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Aikanathan S, Basiron Y, Sundram K, Chenayah S, Sasekumar A. 2015. Sustainable management of oil palm plantation industry and the perception implications. J Oil Palm, Environment, & Health. 6:10-24.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor (ID): Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rangka Mempertahankan Keragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Altieri MA. 1999. The ecological role of biodiversity in agricultural landscapes: above-ground insects. Agric. Ecosys. Environ. 74: 99-32.
Aratrakorn S, Thunhikorn S, Donald PF, 2006. Changes in bird communities following conversion of lowland forest to oil palm and rubber plantations in southern Thailand. Bird Conserv Int. 16:71–82.
Arief H, Mijiarto J, Tahman A. 2015. Keanekaragaman dan status perlindungan satwaliar di PT. Riau Sawitindo Abadi. Media Konservasi Vol 20.
1:159-165.
Armando R. 2016. Pengaruh kondisi habitat kelapa sawit (Elaeis guineensis
JACQ.) terhadap artropoda dan hama tikus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Azhar B, Saadun N, Puan CL, Kamarudin N, Aziz N, Nurhidayu S, Fischer J. 2015 Promoting landscape heterogeneity to improve the biodiversity benefits of certified palm oil production: Evidence from Peninsular Malaysia. Global Ecology and Conservation. 3:553-561.
[BAPPENAS]. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta (ID): BAPPENAS.
Basalamah F, Zulfa A, Suprobowati D, Asriana D, Susilowati, Anggraeni A, Nurul R. 2010. Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat. J Primatologi Indonesia. 2: 55-59.
Baskoro T. 2008. Persepsi dan sikap masyarakat kota jakarta terhadap fungsi hutan di daerah hulu dalam pengendalian banjir [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Baswir R, Achmad N, Santosa A, Indroyono P, Hudiyanto, Wibowo IA, Winarni RR, Susanti E, Hasibuan F, Hanu MA. 2009. Pekebun Mandiri dalam Industri Perkebunan Sawit di Indonesia. Yogyakarta (ID): Serikat Petani
Kelapa Sawit dan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah mada.
BirdLife International. 2010. Birds are very useful indicators for other kinds of biodiversity.
http://www.biodiversityinfo.org/casestudy.php?r=introduction&id=61. Boontawee B, Phengkhlai C, Kao-sa-ard A.1995. Monitoring and measuring
forest biodiversity in Thailand. In Boyle TJB, Boontawee B. Measuring and monitoring biodiversity in tropical and temperate forests. (CIFOR:
Bogor).