PERAN ORGANISASI KONFERENSI ISLAM TERHADAP
UPAYA KEMERDEKAAN NEGARA PALESTINA TAHUN
(2008-2014)
(The Role of The Organization of Islamic Conference (OIC) In Palestinian Independence (2008-2014))
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Muhammad Ridho Fathoni
20130510090
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Prodi Ilmu Hubungan Internasional
DAFTAR ISI
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 7
C. TUJUAN PENELITIAN ... 7
D. KERANGKA TEORI ... 9
E. HIPOTESIS ... 12
F. METODE PENELITIAN ... 13
1. Obyek Penelitan ... 13
2. Metode Pengumpulan Data ... 15
3. Analisis Data ... 15
4. Jangkauan Penelitian ... 16
G. SISTEMATIKA PENULISAN ... 16
BAB II ... 18
DINAMIKA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM DALAM PERMASALAHAN KEMERDEKAAN PALESTINA ... 18
A. SEJARAH ORGANISASI KONFERENSI ISLAM ... 18
B. STRUKTUR KEANGGOTAAN ORGANISASI KONFERENSI ISLAM ... 22
C.1. Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota
Yerusalem dan Masjid al-Aqsa ... 24
C.2. Ketidakefektian Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa ... 28
C.3. Bergantungnya Organisasi Konferensi Islam pada Barat ... 30
D. SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN ORGANISASI KONFERENSI ISLAM ... 32
BAB III ... 34
DINAMIKA PROBLEM KEMERDEKAAN PALESTINA ... 34
A. SEJARAH PALESTINA ... 34
B. PALESTINA PADA MASA PENDUDUKAN ISRAEL ... 37
C. PROBLEM PALESTINA PASKA CAMP DAVID ... 46
1. Perjanjian Perdamaian di Tepi Barat dan Gaza ... 48
2. Perjanjian Damai Mesir dan Israel ... 48
3. Associated Principles ... 49
D. PALESTINA DALAM PERJANJIAN OSLO ... 50
D.1. Perjanjian Oslo I ... 51
D.2. Perjanjian Kairo ... 52
D.3. Perjanjian Oslo II ... 53
BAB IV ... 56
ANALISIS PERAN OKI TERHADAP UPAYA KEMERDEKAAN NEGARA PALESTINA ... 56
1. Multi-track Diplomasi ... 60
2. Summit Diplomasi ... 68
3. Minister Diplomasi ... 69
B. KONSEP DIPLOMASI NEGARA ANGGOTA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM DALAM MEMBANTU PALESTINA ... 73
BAB V ... 76
PENUTUP ... 76
KESIMPULAN ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 79
PERAN ORGANISASI KONFERENSI ISLAM TERHADAP UPAYA KEMERDEKAAN NEGARA PALESTINA TAHUN (2008-2014) (The Role of The Organization of Islamic Conference (OIC) In Palestinian
Independence (2008-2014))
SKRIPSI
Disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada program
Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIDHO FATHONI 20130510090
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
MOTTO
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dan kelancaran selama
penulisan skripsi ini.
2. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan besar umat Islam di dunia.
3. Kedua orang tua tercinta Bapak Isyah Anshori dan Ibunda Leni Tri
Kusumawati yang selalu mendoakan anakmu di pagi, siang, sore, dan
malam hari.
4. Kakek dan nenek saya Alm. H. Dullah Sidik dan Hj. Salamah, mbah Jawa
Timur mbah Juki dan Suparni, dan mbah Adi Maryono dan Suryatin.
5. Kedua Adik Tercinta Sayyid Hakim Fathoni yang akan menjadi pengusaha
kelak dan Fathlul Huda yang bercita-cita ingin menjadi penguasa negeri
yang adil dan bijaksana.
6. Ilham Yuli Isdianto, selaku kakak sepupu dan bapak dijogja yang selalu
mengajarkan kedisiplinan dengan contoh seadanya, tetapi mengajarkan arti
hidup sederhana itu indah, mencintai apa adanya itu sempurna.
7. Sedulur Yogyakarta, Isnaini Ashar, Dwi Pawit Anggi Yatma, Sistha Widita,
dan Nica Haryanti yang selalu mengucapkan selamat dan semangat dalam
setiap penghargaan dan ujian hidup.
8. Dwi Putri Octavia, seorang yang selalu mensupport, seorang yang selalu
9. Sosok teman yang awal tidak kenal menjadi akrab, Gilang Dwi Septian,
Amin Astria Dinata, dan Riezqo Pradana Haedi.
10.Teman yang membantu sekaligus pengoreksi, Rumisha Qoidatus Syahidan
dan Amalia Rizky.
11.Rekan-rekan kerja part-time, baik di Ciao Gelato maupun di Lincak kafe.
12.Rekan satu kampung dan pernah satu kontrakan, Aldho Arief Himawan,
Agil Sutaryono dan Wisnu Chandra.
13.Bapak Marsudi selaku pengurus desa Kasihan yang menjadi partner dalam
bisnis pertanahan.
14.Bapak Satpam Perumahan Sawit Asri, Sewon, Bantul, yang setia
Abstrak
The Organization of the Islamic Conference (OIC) is a non-military international
organization. The organization was formed because of the burning of Al Aqsa
Mosque located in Al-Quds City (Jerusalem), Palestine, Provoked a strong reaction
of the world. Especially from among Muslims. The city of Jerusalem is the Holy
City for Muslims, Christians and Jews. No exaggeration when the City of Jerusalem
gets the nickname of the City of God, because almost all the nations on earth is
oriented to it. Thus all feel the possession of the city of Jerusalem, both Muslims,
Christians and Jews, so that the movement of religious activities of the three major
world religions can co-exist even if war continues in the region. In this case the OIC
as an International Regime is engaged in various cooperation and diplomacy in
order for the conflict in Palestine to be resolved and the Palestinians gain the
recognition of the complete sovereignty over their independence.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non
militer yang didirikan di Rabat, Maroko pada tanggal 25 September 1969.1 Dipicu
oleh peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsha yang terletak di Kota Al Quds
(Yerussalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia.
Terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta
mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan kota Al Quds. Atas
prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan
Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, Somalia, Arab
Saudi, dan Maroko, Terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam
yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. untuk
membicarakan pembebasan kota Yerussalem dan Masjid Al Aqsha dari
cengkraman Israel. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan
Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Secara umum tujuan didirikannya Organisasi Konferensi Islam (OKI)
adalah untuk mengumpulkan bersama sumber daya dunia Islam dalam
mempromosikan kepentingan mereka dan mengkonsolidasikan segenap upaya
negara tersebut untuk berbicara dalam satu bahasa yang sama guna memajukan
perdamaian dan keamanan dunia muslim. Namun hingga saat ini belum menemui
titik terang untuk masalah kedaulatan Palestina.
Nama Palestina berasal dari terjemahan Bahasa Hebrew Pelesheth atau dalam Bahasa Yunani disebut Philistine Bangsa Romawi menyebutnya Palestina.2
Kata itu ditemukan dalam catatan Filsuf Yunani bernama Herodotus pada tahun
450SM. Philistine adalah area yang terbentang di sebelah selatan Canaan
berbatasan dengan Lautan Aegean dan Kepulauan Yunani. Wilayah di dekat Gaza
dulu bernama Philistia atau rumah para Philistine. Bangsa Philistine asli adalah para
pelaut Eropa yang berasal dari Yunani. Jimmy Carter memberikan sebuah
penjelasan singkat terhadap sejarah Palestina hingga munculnya Israel sebagai
berikut:
“Pada tahun 638 Kerajaan Arab menguasai Palestina selama 461 tahun. Pada tahun 1099 The Crusader menguasai Palestina tapi pada tahun 1244 Arab kembali mengambil alih Palestina selama 250 tahun, Selama total sekitar 800 tahun menguasai Palestina, Arab menjadi bangsa mayoritas di Palestina disamping Bangsa Yahudi. Pada tahun 1500 kerajaan Ottoman Turki menyerang kerajaan Arab dan menguasai Palestina selama lebih dari 400 tahun, untuk pertama kali dalam sejarah Bangsa Arab dan Yahudi bersama-sama menjadi korban penjajahan bangsa lain. Pada tahun 1917 Inggirs mengalahkan Turki dan menguasai Palestina hingga 1948. Pada tanggal 14 Mei 1948 pihak Israel menerima jatah yang diberikan oleh PBB yaitu Bangsa Yahudi memproklamirkan Negara Israel di Palestina. Walaupun pihak Arab Palestina gagal melakukan revolusi di Palestina, mereka tetap tidak ingin ada negara Israel di Palestina. Beberapa negara Arab bersekutu untuk menyerang Israel dan merebut Palestina. Akhirnya terjadi perang
antara Israel melawan koalisi Negara Arab (Mesir, Irak, Jordan, Sudan, Yaman, Arab Saudi, Lebanon, Liga Arab, pasukan Mujahidin). Perang itu berlangsung dari 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949 dan berakhir dengan kemenangan Israel tapi perang itu merenggut ribuan korban jiwa dikedua pihak, konon Israel kehilangan 1% dari populasinya saat itu. Tapi akibat perang itu, ribuan penduduk Yahudi yang diusir dari Negara-negara Arab akhirnya bermigrasi ke Israel. Kekalahan pihak Arab dari Israel mengakibatkan Israel berhasil memperbesar wilayahnya dari yang diberikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelumnya hingga saat ini.”3
Palestina adalah sebuah negara yang berbentuk Republik Parlementer dan
merupakan salah satu negara yang berusaha menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).4 Usahapun dilakukan oleh Palestina demi mendapatkan
keanggotaan PBB. Untuk memulai proses ini, Palestina yang dipimpin oleh
Mahmoud Abbas harus mengajukan Proposal Permohanan resmi kepada sekretaris
Jendral PPB, Ban Ki Moon. Proposal yang diberikan Abbas kepada Sekjen PBB
Ban Ki Moon berjudul, ”Proposal untuk pengakuan Palestina berdasarkan garis batas 4 Juni 1967 dengan Yerusalem sebagai Ibu Kota Palestina.” Dan dia sudah mengatakan akan melakukannya setelah menyampaikan pidato di depan Majelis
Umum PBB pada tanggal 23 September 2011. Sekjen PBB kemudian akan
meneruskan permohonan itu kepada Dewan Keamanan (DK) yang akan
membentuk sebuah komite. Namun ternyata komite yang dibentuk oleh Dewan
Keamanan (DK) tidak mendapat keputusan akhir, karena kurangnya suara dari
3Ibid.
anggota tetap Dewan Keamanan. Sampai saat ini sudah 126 negara anggota PBB
yang telah mengakui keberadaan negara Palestina.5
Keadilan terus disuarakan oleh Bangsa Palestina untuk menjadi anggota
PBB. Mereka ingin memiliki kedudukan yang sama dengan yang dimiliki oleh
Israel. Mempunyai hak yang sama dan mempunyai suara untuk menyuarakan
ketidakadilan yang terjadi di negara mereka. Menekankan dan menegaskan kembali
identitas nasional mereka yang diabaikan, untuk memulihkan sejarah yang ditindas,
untuk membangun warisan masyarakat, untuk membangun kembali kelembagaan
yang dihancurkan, untuk mendapatkan kembali tanah yang telah terampas serta
hak-hak kebangsaan yang diabaikan, sehingga mereka dapat memperoleh
kehidupan bernegara yang lebih layak.6
Perkembangan Palestina secara De facto yakni menjadi Entitas Pengamat (Negara Pengamat) tetap PBB. Yang berarti Palestina hanya diakui sebagai suatu
kumpulan orang yang menempati suatu wilayah, tetapi bukan negara. Namun
secara De Jure Palestina belum menjadi negara anggota PBB tetap karena belum ada pengakuan sebagai sebuah negara dari beberapa negara anggota PBB dengan
alasan belum memenuhi persyaratan untuk menjadi negara anggota PBB.
Perwakilan Palestina yang menjadi entitas pengamat tetap di PBB adalah Organisasi Pembebasan Palestina, (PLO). Otoritas Palestina ingin meningkatkan
status sehingga negara Palestina menjadi anggota penuh PBB, Palestina meminta
5Tanya jawab seputar Palestina. Laporan Khusus BCC Indonesia, dalam
http://www.bbc.co.uk/indonesia
pengakuan berdasarkan perbatasan 1967, mencakup tepi barat, Jerussalem Timur,
dan Jalur Gaza. Pernyataan ini menjadi peristiwa bersejarah yang dihormati oleh
banyak negara di dunia sekaligus menjadi hal yang paling tidak menyenangkan bagi
Amerika Serikat (AS) dan Israel. AS yang dahulu menjanjikan Palestina merdeka
pada 2011, justru menjadi penghalang terbesar bagi negeri yang mendambakan
kemerdekaan itu. AS menilai, Palestina sudah mengabaikan upaya solusi dua
negara dengan meminta pengakuan secara sepihak (Unilateral) ke PBB.
Mayoritas negara di dunia, bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon menyetujui
langkah pengakuan Palestina. Hanya segelintir negara yang menolaknya, terutama
Israel, (mungkin) AS dan sedikit sekutu mereka di Eropa Barat. Jika Palestina
memiliki status sebagai sebuah negara resmi dunia, maka Palestina juga berhak
untuk mengirim duta besarnya ke seluruh dunia dan menerima duta besar asing di
negaranya dengan status penuh. Kondisi ini jelas merupakan hal yang “sangat
mengerikan” bagi Israel. Tak heran jika Negara Yahudi ini pun melakukan kampanye globalnya sendiri untuk mencegah keanggotaan PBB Palestina ini
terwujud.7
Kota Yerussalem merupakan Kota Suci bagi umat Islam, Kristen, dan
Yahudi. Tidak berlebihan bila Kota Yerussalem mendapat julukan Kota Tuhan,8
sebab hampir seluruh bangsa di muka bumi ini berkiblat ke sana. Dengan demikian
semua merasa memiliki kota Yerussalem, baik umat Islam, Kristen, dan Yahudi,
sehingga gerak kegiatan keagamaan dari tiga agama besar dunia dapat saling hidup
berdampingan biarpun perang tetap berjalan di wilayah itu. Yerussalem merupakan
Kota Suci umat Islam, sebab di sana ada tempat di kawasan Old City yang bernama
Bukit Moriah atau Haram Es-Sharief.9 Selanjutnya di bukit Moriah ada dua masjid besar, yaitu Dome of the Rock atau Kubah Batu Karang dan Masjidil Aqsha.
Masjidil Aqsha juga merupakan tempat suci ketiga sesudah Makkah dan Madinah
di Saudi Arabia. Pada masa permulaan Islam, yang menjadi kiblat solat ialah
Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis, juga menjadi kiblat bagi orang Yahudi. Baitul
Maqdis adalah salah satu tempat yang bersejarah bagi kaum muslimin di penjuru
dunia. Arti penting Kota Yerussalem bagi umat Islam terutama terkait dengan
keberadaan tempat suci Agama Islam, yaitu Masjidil Aqsha. Di Masjidil Aqsha,
Nabi Muhammad menunaikan shalat ketika Beliau melakukan Isra’ miraj. Bangsa
Yahudi atau Israel ingin menguasai sepenuhnya sebagai pemilik tunggal Tanah
Suci Yerussalem, mereka mengganggap bahwa mereka adalah satu-satunya pemilik
tanah leluhur dan tempat kelahiran sejumlah Nabi. Orang-orang Yahudi yang
mayoritas dan penguasa Israel banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang
semena-mena terhadap penduduk Arab Palestina yang semula berdiam di
Yerussalem kemudian diusir oleh Israel tanpa ganti rugi serta diperlakukan
semena-mena, maka tidak heran jika sampai dewasa ini kota Yerussalem sering terjadi
pergolakan. Perlawanan rakyat Palestina yang dipelopori oleh Pejuang Palestina
dalam Gerakan Fedayen yang terkenal antara lain : al-Fatah, al-Saiqoh yang
kemudian membentuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pada tahun 1969,
PLO dengan pimpinannya Yasser Arafat mulai bangkit untuk merebut kembali
Yerussalem dari cengkraman Israel dengan jalan diplomasi dengan diabantu
negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan pemaparan yang melatar belakangi permasalahan
diatas, maka dapat ditarik suatu kerangka pikiran atau permasalahan sebagai
berikut:
Bagaimana peran Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap upaya
membantu kemerdekaan Negara Palestina pada tahun 2008 sampai 2014?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini sangat penting karena kita melihat bahwa betapa
menderitanya rakyat Palestina yang selalu mendapat serangan-serangan yang
mengerikan dari Israel. Harus ada solusi dan jalan keluar terbaik agar Palestina
dapat menikmati kemerdekaan dan kedaulatan secara penuh oleh dunia. Tujuan
utama dari penelitian ini adalah agar Organisasi Internasional seperti Organisasi
Konferensi Islam (OKI) lebih bisa mementingkan kepentingan yang seharusnya
diselesaikan. Bukan malah diabaikan bertahun-tahun dan hanya kesepakatan dan
tanda tangan diatas kertas saja. Disamping itu tujuan lain dari penelitian ini agar
Palestina dan bisa mengurangi korban di Palestina yang setiap harinya bertambah
karena kebuasan Israel.
Setiap hal yang berhubungan dengan aktivitas penelitian ilmiah pastilah
mempunyai tujuan sebagai acuan atau jalan, yakni untuk apa sebuah penelitian itu
dibuat sehingga fokus daripada penelitian tidaklah kabur atau abstrak. Adapun
penelitian karya tulis ilmiah ini bertujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Subyektif
a) Mencari bahan-bahan dalam penyusunan karya tulis ilmiah sebagai
pemenuhan kewajiban tugas akhir dan syarat memperoleh gelar
sarjana Strata Satu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
b) Sebagai pendalaman materi tentang organisasi internasional untuk
upaya dalam membantu mendapatkan Kemerdekaan utuh Negara
Palestina dan keingintahuan lebih lanjut kerja sama antara negara
anggota OKI dengan negara lainnya dengan tujuan yang ditentukan
2. Tujuan Obyektif
a. Mencari tahu sejauh mana peran Organisasi Konferensi Islam (OKI)
terhadap upaya kemerdekaan Negara Palestina
b. Menganalisis sejauh mana keberhasilan Organisasi Konferensi
Islam (OKI) dalam mewujudkan Kedaulatan utuh bagi Negara
Palestina
Tujuan- tujuan tersebut berkaitan erat dengan latar belakang masalah yang
diangkat oleh penulis. Tanpa menambahkan lebih jauh paparan penulis yang
notabene mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik karena mengambil sudut
pandang sejarah karena hal ini dirasa perlu. Untuk memahami yang terjadi saat ini
perlulah memahami sejarah masa lampau sebagai pengalaman dan refleksi yang
terjadi sekarang.
D. Kerangka Teori
Teori dalam ilmu-ilmu sosial senantiasa bermanfaat untuk
menyederhanakan realitas sosial yang rumit agar mudah dipahami dan
diaplikasikan untuk menjelaskan kenyataan itu sendiri. Berbagai pendekatan
teoritik antara penulis yang satu berbeda dengan penulis yang lain. Dalam
menyikapi keragaman epistemologis tersebut penulis memilih untuk
menginventarisasi semuanya untuk memetakan evolusi teoritis tersebut. Selain itu
untuk setiap teori akan disertai dengan studi kasus yang konkrit sehingga
memudahkan pembaca untuk melihat sejauh mana teori tersebut relevan dengan
tema yang diambil penulis. Dengan demikian, sesuai topik yang diambil, penulis
menggunakan teori rezim International.
Oran R. Young berpendapat bahwa rezim internasional adalah seperangkat
aturan, prosedur pembuatan keputusan, dan atau program yang membutuhkan
mengelola interaksi-interaksi mereka.10 Teori rezim internasional memiliki tiga
tingkatan, yang pertama adalah realism, dimana teori ini berfokus pada kekuatan
hubungan. Teori yang kedua adalah neoliberalism, yaitu teori ini dijelaskan
berdasarkan analisis konstelasi kepentingan. Dan yang terakhir adalah kognitivism,
dimana teori ini menekankan dinamika pengetahuan, komunikasi dan identitas.
Table 1. Tingkatan pemikiran dalam kasus rezim internasional.
Realism Neoliberalism Cognitivism (especially
“strong cognitivism”)
Central variable Power Interest Knowledge
“intitutionalism” Weak Medium Strong
Meta-theoritical
orientation
Rasionalistic Rationalistic Sociological
Behavioral
Dari Tabel diatas kita bisa melihat bahwa perspektif neoliberalis hadir untuk
mengkritik bagaimana kaum realis menempatkan power sebagai sesuatu yang paling utama dalam rezim internasional. Kaum neoliberalis yang terpengaruhi oleh
metodologi behavioralisme dan sudah melunak dari induknya yakni perspektif
liberalisme memang menyetujui adanya sistem anarki namun bukan berarti dalam
sebuah rezim power dijadikan sebagai kunci yang paling utama untuk keberhasilan
suatu rezim. Bercermin pada fungsi rezim yakni sebagai alat penyelesaian suatu
masalah yang mencakup issue area tertentu, maka dalam sebuah rezim terdapat model interaksi yang lebih mengacu pada kerjasama antar negara. Kerjasama antar
negara inilah yang menjadikan rezim sebagai alat pencapaian interest anggota – anggotanya, tidak hanya mementingkan pencapaian satu negara saja, namun
pencapaian dari semua negara agar sama-sama saling mendapatkan keuntungan.
Jadi menurut kaum neoliberalis karena interest merupakan pencapaian utama dalam rezim internasional, maka interest ditempatkan pada posisi utama dalam rezim internasional. Neoliberalisme juga memiliki asumasi, dalam rezim internasional
pengarakterisasian dirasa penting. Perspektif ini dalam kaitannya dengan problem
yang penulis ambil yaitu adanya interest Negara-negara anggota Organisasi Konerensi Islam (OKI) untuk mengumpulkan bersama sumber daya dunia Islam
dalam mempromosikan kepentingan mereka dan mengkonsolidasikan segenap
upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu bahasa yang sama guna
memajukan perdamaian dan keamanan dunia muslim, termasuk didalamnya
membantu Palestina memerdekakan diri, sesuai dengan tujuan dibentuknya. Untuk
institusionalism nya sendiri medium karena perspektif neoliberalism menganggap bahwa dalam kerjasama antar negara harus memiliki keuntungan satu sama lain.
Jadi dalam kerjasama yang diciptakan oleh negara-negara anggota OKI dalam
membantu Palestina ini diupayakan OKI sendiri bisa mendapatkan pandangan dari
dunia internasional bahwasanya dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di
rasionalistik yaitu saling mendapatkan keuntungan antar negara, dan behavioral model ini adalah penerapan perspektif ini sendiri dengan jalan melobi negara-negara yang bisa membantu Palestina.11 Dari sini juga kita bisa melihat terciptanya
jaringan-jaringan baru dalam interaksi antar negra yang memungkinkan negara bisa
melakukan kerjasama lain selain membantu Palestina ini sendiri.
Dari pemaparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa rezim
internasional merupakan suatu wadah dalam penyelesaian permasalahan suatu issue area tertentu. Maka dari itu perspektif sangat perlu digunakan untuk menilai suatu permasalahan dalam sudut pandang yang berbeda. Perspektif memang terkadang
menyajikan asumsi yang berbeda namun jika kita mengkaji suatu masalah maka
pengkotak – kotakan perspektif dilarang dilakukan karena pada dasarnya setiap
perspektif memiliki ciri khasnya sendiri.
E. Hipotesis
Dari kerangka pemikiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Organisasi
Konferensi Islam (OKI) melakukan perannya dengan cara :
1. Langkah diplomasi Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang
mempunyai bargaining position melalui beberapa pertemuan seperti KTT Luar Biasa untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan dan
kemerdekaan Palestina. Peran Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat penting dan strategis untuk membangun solidaritas dan soliditas
Negara-negara Islam yaitu Negara Anggota OKI sendiri. Langkah ini merupakan bagian dari Multi-Track diplomasi. Selain itu juga OKI melukan summit diplomasi yaitu pertemuan antara presiden negara anggota OKI dan minister diplomasi yaitu pertemuan para Menteri Luaar Negeri Negara Anggota OKI.
2. OKI juga melakukan pendekatan terhadap Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim guna mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penindak lanjutan terhadap permasalahan kedaulatan Palestina. OKI melakukan berbagai Konferensi untuk permasalahan Palestina. Dalam setiap Konferensi yang berlangsung diharapkan menemukan titik terang bagi Palestina. Sehingga Palestina bisa diakui kemerdekaanya dalam Dunia Internasional.
F. Metode Penelitian
1. Obyek Penelitan
Peran Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap upaya kemerdekaan
Negara Palestina. Berdasarkan data yang penulis peroleh berbagai macam hal yang
menjadikan problem sebenarnya yaitu, bagaimanakah peran OKI ini. Terlihat dari
sejarah panjang OKI yang beridiri sejak 47 tahun lalu menunjukkan organisasi itu
tak lebih dari ‘talking doll’ alias boneka bicara yang tak mampu bergerak. Sejak didirikan pada 12 Rajab 1389 H/25 September 1969 OKI telah terbukti gagal
mewujudkan tujuan pendiriannya. OKI didirikan dengan latar belakang reaksi para
sejak saat itu pula umat Islam bisa menyaksikan betapa minimnya keterlibatan OKI
membela kepentingan Muslim Palestina.
Benar, Negara-negara Teluk anggota OKI kerap mengirimkan donasi dan
bantuan medis kepada penduduk Palestina. Namun, mereka tak melakukan apa-apa
terhadap Israel yang menjajah Palestina sekaligus mengusir dan membunuhi warga
Muslim Palestina. OKI lebih banyak mendorong apa yang dikatakan sebagai
‘dialog perdamaian’ Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel
adalah penjajahan Zionis Israel atas Tanah Palestina, bukan masalah perdamaian.
Keseriusan OKI untuk menyelesaian konflik Palestina-Israel, juga
keberpihakan mereka kepada rakyat Palestina dan pembebasan al-Aqsha, makin
dipertanyakan. Beberapa anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel.
Yordania, Turki, dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin
kerjasama dengan Israel. Presiden Mesir, Abdul Fatah as-Sisi, September 2015
malah menyerukan Negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan
dalih untuk memerangi ancaman terorisme. Sebagian negara yang lain berhubungan
dengan Israel secara sembunyi atau melalui pihak ketiga. Banyak anggota OKI
lainnya—meski secara resmi tidak berhubungan dengan Israel—menjadi sekutu
dekat Amerika Serikat yang merupakan induk semang dan pelindung Israel, atau
menjadi sekutu dekat Eropa khususnya Inggris yang menjadi bidan dan sekaligus
pengasuh Israel.
OKI pun tidak melakukan aksi nyata untuk menghalangi terus menyusutnya
menggiring Israel ke meja perundingan, atau mengirim bantuan medis, obat-obatan,
makanan dan uang ‘takziyah’ kepada warga Palestina. Mereka sudah merasa cukup
melakukan itu. Dengan demikian, siapa pun niscaya bisa membaca ketidakseriusan
OKI dan anggotanya dalam menyelesaikan berbagai krisis Dunia Islam, terutama
kasus Palestina yang menjadi alasan pendiriannya. Hal itu telah terbukti selama 47
tahun sejarahnya.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi pustaka,
yakni mengumpulkan data-data dari sumber-sumber baik tertulis maupun tidak
tertulis yang kemudian mengkaji dan menyeleksi data-data tersebut sesuai dengan
konteks dan ruang lingkup penelitian. Data-data yang telah didapat dan diseleksi
kemudian di interpretasikan baik dalam bentuk komparasi maupun argumentasi.
Alat ukur juga akan penulis buat guna menggeneralisir data-data sehingga mudah
untuk dipahami.
3. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif,
yakni menggambarkan data sesuai dengan sumbernya. Data-data tersebut kemudian
4. Jangkauan Penelitian
Untuk membatasi analisis, jangkauan penelitian ditentukan oleh waktu.
Yaitu pada tahun 2008 sampai 2014 dan berfokus pada proses pencapaian
Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap kedaulatan utuh Negara Palestina.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, yang memuat uraian tentang latar belakang, ruang lingkup,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, hipotesa, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan yang akan digunakan dalam meniliti peran Organisasi
Konferensi Islam terhadap upaya kemerdekaan Negara Palestina sejak tahun 2008
sampai 2014.
BAB II Dinamika Organisasi Konferensi Islam (OKI), membahas sejarah
kelanjutan OKI, Kepentingan OKI dalam membantu Palestina dan
permasalahan-permasalahan OKI dalam membantu kemerdekaan Palestina, serta sistem
pengambilan keputusan OKI.
BAB III Dinamika Problem Kemerdekaan Palestina, membahas sejarah Palestina,
problem kemerdekaan Palestina serta membahas perjanjian-perjanjian yang
BAB IV Analisis Peran OKI terhadap upaya Kemerdekaan Negara Palestina dan
dukungan OKI terhapad Palestina untuk menjadi member state di PBB, yang akan
menjelaskan apakah sudah mencapai titik terang peran OKI dalam membantu
Negara Palestina.
BAB II
DINAMIKA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM DALAM PERMASALAHAN KEMERDEKAAN PALESTINA
Dalam bab ini adalah bab yang akan menjelaskan tentang gambaran umum
subjek. Penulis akan membahas tentangdinamika OKI dalam permasalahan
kemerdekaan Palestina, sebelum memulai pembahasan dinamika penulis akan
menjelaskan sejarah Organisasi Konferensi Islam. Kemudian penjeleasan tentang
system pengambilan keputusan OKI.
A. Sejarah Organisasi Konferensi Islam
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan organisasi internasional
yang menghimpun 57 Negara-negara Islam dan yang berpenduduk Islam di seluruh
belahan dunia. Sejarah berdirinya OKI tidak bisa dilepaskan dari isu konflik
Israel-Palestina, khususnya menyangkut permasalahan Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa.
Ketika kaum radikal Yahudi membakar Masjid al-Aqsa pada 21 Agustus 1969,
serta-merta kesadaran umat Islam bangkit. Lantas mereka mengadakan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) pertama di Rabat Maroko. Saat itulah, pada tanggal 25
September 1969, secara resmi berdiri Organisasi Konferensi Islam yang kemudian
hari berubah nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam.1 Sepanjang sejarahnya,
isu Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa senantiasa menjadi agenda utama
sidang OKI dalam berbagai tingkatan, baik pada tingkat KTT maupun sidang
tingkat menteri. Isu sensitif mengenai Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa
selalu tertuang dalam bentuk dokumen, rekomendasi dan bahkan tersurat dalam
piagam pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tatkala Yasser Arafat
menolak memberi konsesi atas Kota Suci Yerusalem pada KTT Camp David II
tahun 2000, dia berdalih bahwa Kota Suci Yerusalem bukan semata urusan dirinya,
tetapi menyangkut umat Islam secara keseluruhan.2
Pada piagam OKI ditegaskan bahwa markas besar sementara OKI
berkedudukan di Jeddah Arab Saudi hingga pembebasan Kota Suci Yerusalem yang
akan menjadi markas besar tetap OKI kelak. Sementara dalam berbagai KTT dan
sejak awal berdirinya OKI, selalu ditegaskan bahwa Kota Suci Yerusalem adalah
tanah pendudukan yang harus dikembalikan pada status semula sebelum Perang
Arab-Israel Juni 1967. KTT OKI pertama di Rabat Maroko, pada bulan September
1969, menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Negara-negara Islam menolak
penyelesaian isu Palestina yang tidak menjamin kembalinya Kota Suci Yerusalem
pada status semula sebelum bulan Juni 1967. KTT OKI kedua di Lahore, Pakistan,
Februari 1974, menegaskan bahwa Yerusalem adalah simbol pertemuan Islam
secara damai dengan agama samawi lainnya. Umat Islam telah mengurusi Kota Suci
Yerusalem lebih dari 1.300 tahun, maka Israel harus mundur dari Kota Suci
Yerusalem sebagai syarat terciptanya perdamaian yang abadi di Timur Tengah.
2Abd Rahman, Musthafa. “Masjid al-Aqsa di Jerusalem dan Provokasi Ekstremis Yahudi,” http://www.kompas.co.id/kompascetak/0504/12/ln/1676474.htm. 12 April 2005. Dikutip Herman
Jambak. “[R@ntau-Net] Masjid al-Aqsa di Jerusalem dan Provokasi Ekstremis Yahudi”,
Ketika Israel mendeklarasikan Kota Suci Yerusalem sebagai Ibukota abadi,
para menteri luar negeri OKI dalam pertemuannya di Fez Maroko, 20 September
1980, menyatakan komitmen negara-negara Islam dengan menggunakan potensi
politik, ekonomi, minyak, dan militer menghadapi keputusan sepihak Israel itu serta
berjanji memboikot secara ekonomi dan politik semua negara yang mendukung
keputusan Israel tersebut.3
Akhirnya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) keempat tahun 1984
yang bertempat di Casablanca Maroko, para kepala negara anggota OKI
mengeluarkan Resolusi tentang Kota Suci Yerussalem dan Masjid al-Aqsa.
Resolusi tersebut paling tidak memuat tiga kesepakatan penting. Pertama, mengutuk agresi serta perusakan situs-situs keagamaan di dalam kompleks Al
Aqsha. Kedua, menuntut pengembalian kedaulatan Palestina atas Al Aqsha. Ketiga, memerintahkan seluruh anggota OKI untuk berkomitmen dalam perlawanan
terhadap klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai Ibukota abadinya dengan
segala tindakan yang diperlukan dalam bentuk boikot secara politik, ekonomi, dan
budaya.
Namun 30 tahun lebih semenjak dikeluarkannya Resolusi tersebut, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa agresi, provokasi dan perusakan terhadap situs-situs
keagamaan di dalam kompleks al-Aqsa masih saja terus dilakukan pemerintah
zionis Israel. Kedaulatan Palestina atas al-Aqsa belum pernah dapat diwujudkan.
Boikot Negara-negara OKI terhadap Israel secara politik, ekonomi dan budaya
hanya tertuang diatas kertas. Mesir tetap membuka hubungan diplomatik dengan
Israel. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa banyak di antara Negara Anggota
OKI yang tetap berhubungan secara ekonomi dengan rezim zionis Israel meski
berlangsung sembunyi-sembunyi.
Aksi agresif dan provokatif terkini rezim zionis Israel terjadi pada tanggal
13 September 2015 yang lalu. Polisi zionis Israel memasuki kompleks al-Aqsa dan
melarang kaum muslimin berdoa di dalam kompleks masjid. Bentrokan pun terjadi
antara para pemuda muslim dan polisi karena mereka menghalangi masuknya polisi
tersebut. Lantas, kaum muslimin hanya diizinkan berdo’a di depan pintu gerbang
yang mengarah ke kompleks Masjid al-Aqsha. Menteri Keamanan Publik Israel,
Gilad Erdan, mengatakan bahwa para polisi tersebut ditugaskan melindungi
orang-orang Yahudi yang hendak memasuki kompleks al-Aqsa untuk keperluan acara
Rosh Hashanah yang berlangsung pada Ahad petang hingga Selasa petang.4
Tindakan pemerintah zionis Israel tersebut paling tidak telah
mempertontonkan supremasi mereka atas pengelolaan kompleks al-Aqsa yang
selama ini menjadi objek persengketaan masyarakat Internasional. Tujuh tahun
sebelumnya, tepatnya pada tanggal 6 Februari 2007, Pemerintah zionis Israel
bahkan secara terang-terangan merusak situs bersejarah di kompleks al-Aqsha.
Buldoser-buldoser zionis Israel telah menghancurkan jembatan kayu yang menuju
ke arah Pintu Maghariba Masjid al-Aqsa dan merusak dua ruangan di bawah tanah.
4BBC. “Jerusalem's al-Aqsa Mosque Sees Israeli-Palestinian Clashes,”
Selain itu, zionis Israel juga melakukan ekskavasi (penggalian terowongan) yang
berada tepat di bawah Masjid al-Aqsa.5
Dengan demikian, sudah sangat terlihat bahwa Resolusi OKI yang telah
ditandatangani semenjak tahun 1984 sama sekali tidak membuat zionis Israel
menghentikan tindakan provokatif dan agresi mereka terhadap kompleks al-Aqsha.
Walaupun secara terang-terangan rezim zionis Israel terus menerus melakukan
tindakan agresinya terhadap situs-situs keagamaan di al-Aqsha, para anggota OKI
yang telah menandatangani kesepakatan dalam Resolusi tentang Kota Suci
Yerusalem dan Masjid al-Aqsa juga tidak melakukan tindakan sebagaimana yang
telah disepakati.
B. Struktur Keanggotaan Organisasi Konferensi Islam
Berdasarkan Pasal VIII Piagam OKI, maka negara-negara yang secara
otomatis menjadi anggota adalah yang memenuhi tiga persyaratan berikut:
1. Semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Islam pertama di Rabat.
2. Semua negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar
Negeri Negara-negara Islam di Jeddah, Arab Saudi (23-25 Maret 1970) dan
di Karachi Pakistan (26-28 Desember 1970).
3. Semua negara yang ikut menandatangani dan mengesahkan Piagam OKI.
5Magdalena. 2007. “Jumat Besok, Umat Islam Seluruh Dunia DimintaBersatu Selamatkan Masjid Al-Aqsa,” Eramuslim: Media IslamRujukan,
Sementara Negara-negara Islam yang tidak memenuhi sebagian atau semua
persyaratan diatas, tetap dapat menjadi anggota OKI dengan mengajukan
permohonan untuk bergabung dan permohonan itu harus disetujui minimal dua
pertiga Negara anggota OKI lainnya pada saat berlangsungnya Konferensi Tingkat
Menteri Luar Negeri pertama setelah permohonan diajukan. Selain syarat untuk
menjadi anggota, OKI juga memiliki prinsip-prinsip keanggotaan sebgai berikut :
1. Adanya persamaan kedudukan, hak dan kewajiban diantara negara-negara
anggota.
2. Menghormati hak menentukan sendiri dan tidak campur tangan dalam
masalah-masalah domestik yang terjadi di negara-negara anggota.
3. Menghormati kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah setiap negara
anggota.
4. Menyelesaikan setiap konflik yang muncul dengan menggunakan cara-cara
damai seperti negosiasi, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi.
5. Tidak mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas
wilayah, persatuaan nasionl atau kemerdekaan politik negara anggotaa.6
Dimana negara-negara yang tergabung dalam OKI sampai saat ini
berjumlah 57 negara yaitu : Afganistan, Aljazair, Chad, Mesir, Guinea, Indonesia,
Iran, Yordania, Kwait, Lebanon, Libya, Malaysia, Mali, Mauritania, Maroko,
Niger, Pakistan, Palestina, Arab Saudi, Yaman, Senegal, Sudan, Somalia, Tunisia,
Turki, Bahrain, Oman, Qatar, Suriah, Uni Emirat Arab, Sierra Leone, Bangladesh,
Gabon, Gambia, Guenia-Bissau, Uganda, Burkina Faso, Kamerun, Komoro, Irak,
Maladewa, Djibouti, Benin, Brunei, Nigeria, Albania, Azerbaijan, Kirgizstan,
Tajikistan, Turkmenistan, Mozambik, Kazakhstan, Uzbekistan, Suriname, Togo,
Guyana, dan Pantai Gading.
C. Dinamika Permasalahan Organisasi Konferensi Islam dalam Membantu Kemerdekaan Palestina
C.1. Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa
Terdapat 6 (enam) skala ordinal tingkat kolaborasi suatu rezim. Pertama,
skala 0, yakni para anggota rezim bergabung dalam suatu kesepakatan namun tidak
bergabung dalam pelaksanaan kesepakatan itu (joint deliberation but no joint action). Kedua, skala 1, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi tindakan berdasar kesepahaman yang tak tertulis (coordination of action on the basis of tacit understanding). Ketiga, skala 2, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi tindakan berdasar aturan atau standar yang disusun tersurat namun pelaksanaannya
diserahkan kepada masing-masing negara anggota rezim dan tidak ada penilaian
melakukan koordinasi tindakan dengan implementasi diserahkan kepada
masing-masing negara anggota rezim namun juga memiliki penilaian ukuran efektivitas
berjalannya rezim secara terpusat (coordinated planning combined with national implementation only, includescentralized appraisal of effectiveness). Keenam skala 5, yakni para anggota rezim melakukan koordinasi rencana tindakan dan
implementasinya secara terintegrasi, diikuti dengan adanya penilaian ukuran
efektivitas berjalannya rezim secara terpusat (coordination through fully integrated planning and implementation, with centralized appraisal of effectiveness).7
Sebelum menentukan tingkat kolaborasi Resolusi ini sesuai skala ordinal di
atas, terlebih dahulu dilakukan analisis melalui kekuatan aturan, ketaatan anggota
rezim terhadap aturan dan efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain,
harus diperiksa terlebih dahulu output, outcome dan impact dari Resolusi Kota Suci Yerusalem untuk menentukan efektifitas rezim tersebut.8 Output adalah keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak
tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain.9 Dalam studi kasus yang dibahas penulis di sini,
keluaran yang muncul telah jelas, yakni adanya kesepakatan para kepala negara
anggota OKI yang tertuang dalam Resolusi Kota Yerusalem dan masalah al Aqsha.
Outcome biasanya berhubungan dengan perubahan perilaku para anggota rezim.
7Ed.Edward L. Miles. et. al. “One Question, Two Answers”. EnvironmentalRegime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Underdal. Arild. Cambridge: MIT Press. 2001. Hal . 7 8Ibid
Dalam hal ini, institusi akan dikatakan efektif kalau menghasilkan perubahan
tingkah laku.10
Outcome dari Resolusi OKI dikatakan sangat tidak efektif karena tidak mampu mengubah tingkah laku anggota rezim. Perlindungan terhadap al-Aqsa
yang dilakukan dengan melakukan boikot politik, ekonomi dan budaya terhadap
rezim zionis Israel ternyata nyaris tidakdilakukan oleh seluruh anggota OKI yang
menandatangani resolusi tersebut. Hanya beberapa anggota rezim yang bersikap
patuh (comply) terhadap resolusi, sementara sebagian besar bersikap tidak patuh (defect).
Impact yaitu berhubungan dengan terciptanya situasi tertentu yang didesain atau diinginkan oleh rezim.11 Resolusi OKI tentang Kota Yerusalem dan Masjid
al-Aqsa mendambakan kembalinya kedaulatan Palestina atas kepemilikan al-al-Aqsa,
namun hingga detik ini klaim kedaulatan Israel atas al-Aqsa masih terus berlanjut.
Bahkan pemerintah Israel dengan berani melakukan intervensi atas pengelolaan
Masjid al-Aqsa seperti dalam pelarangan pelaksanaan sholat jum’at di Masjid al
-Aqsa bagi para pemuda dan remaja. Resolusi ini mengamanahkan pemboikotan
terhadap Israel, namun sebagian besar anggota OKI tidak melakukan pemboikotan
tersebut.
Resolusi OKI ini juga mengutuk perusakan Israel terhadap situs-situs
keagamaan (the Holy al-Aqsa Mosque, the Holy Ibrahim Mosque, the Holy Sepulchre and other holy places and archaeological sites in the City of Quds
10Ibid
Sharif), namun sama sekali tidak merubah keadaan. Bahkan Israel dengan pongah membuldozer dan melakukan pembongkaran terhadap sepuluh bangunan
bersejarah yang merupakan warisan budaya Islam sejak tahun 1967 di lembah al Magharabah, al-Quds Lama.12 Berdasarkan pengukuran terhadap output, outcome dan impact di atas, penulis menyimpulkan bahwa tingkat kolaborasi rezim OKI dalam Resolusi OKI tentang Kota Suci Yerusalem dan Masjid al-Aqsa bernilai 0
(nol) dalam skala ordinal. Ini berarti rezim tersebut mempunyai efektivitas yang
rendah dan kolektif optimum yang rendah pula. Artinya, anggota rezim OKI dalam
Resolusi yang dibuat memang menandatangani kesepakatan. Mereka setuju dengan
isi perjanjian, namun sayang mereka tidak melakukan suatu tindakan (aksi) untuk
melaksanakan kesepakatan yang ada (joint deliberation but no joint action). Hal tersebut tercermin dalam pernyataan Asisten Sekretaris Jenderal OKI
Atta Maname Bakhit yang tidak tegas dalam menentukan kebijakan terhadap
ekskavasi Israel di bawah kompleks Masjid al-Aqsa. Bakhit justru menyerahkan
kewenangan kepada para anggota OKI sendiri untukmengambil keputusan yang
dinilai pantas dan bijak jika Israel tidak mengindahkan seruan OKI.13 Hal ini
menunjukkan tidak adanya koordinasi rencana tindakan dan pelaksanaan dalam
Resolusi Kota Yerusalem (no integrated planning and implementation) tidak terpenuhi sebagai syarat tingginya tingkat kolaborasi suatu rezim.
12Magdalena. 2007. “Jumat Besok, Umat Islam Seluruh Dunia DimintaBersatu Selamatkan Masjid Al-Aqsa,” Eramuslim: Media IslamRujukan,
http://www.eramuslim.com/berita/dunia- islam/jumatbesok-umat-islam-seluruh-dunia-diminta-bersatu-selamatkanmasjid-Al-Aqsa.htm#.VgXRlFb0qNc.
C.2. Ketidakefektian Rezim Organisasi Konferensi Islam dalam Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa
Efektif tidaknya suatu rezim ditentukan oleh seberapa gawat persoalan yang
dihadapi. Semakin rumit dan gawat suatu persoalan yang dihadapi oleh rezim, maka
keefektifan rezim akan semakin kecil pula. Dengan kata lain, jika masalah yang
dihadapi suatu rezim semakin bersifat malignancy (gawat), maka kemungkinan terciptanya kerjasama yang efektif akan semakin kecil.14
Ketidakefektifan rezim OKI dalam Resolusi Kota Yerusalem dapat
dijelaskan dari problem malignancy (kegawatan permasalahan) yang dihadapi rezim ini. Pertama, Resolusi ini mengamanahkan anggota OKI untuk lebih serius dalam usaha merebut kedaulatan al-Aqsa dari tangan zionis Israel. Permasalahan
tersebut sangat kompleks dan rumit mengingat secara struktur politik internasional,
kekuasaan Israel atas tanah suci Yerusalem didukung sepenuhnya oleh
Negara-negara Barat (terutama AS dan Inggris) yang sudah pasti tidak mudah disingkirkan
begitu saja. Selain itu, OKI juga harus berhadapan dengan masyarakat internasional
yang menghendaki pengelolaan wilayah al-Aqsa diserahkan kepada masyarakat
internasional, bukan pada otoritas Palestina atau Arab saja. Bahkan, permasalahan
klaim kedaulatan ini juga semakin bertambah rumit dengan persengketaan ilmiah
dalam ranah intelektual antara pada ahli arkeologi Arab dan Israel yang saling
mengklaim keabsahan kepemilikan tanah suci berdasar bukti sejarah dan ilmiah
yang ada. Padahal, jika problemmalignancy yang dihadapi sebuah rezim semakin
14Karim, Mulyawan. 17 Oktober 2003. “KTT Ke-10 OKI di Putrajaya,Malaysia: Tantangan Memulihkan Citra Umat”.
bersifat politis dan berdimensi intelektual, maka rezim akan semakin tidak efektif.15
Kedua, permasalahan yang dibahas dalam Resolusi Kota Yerusalem bersifat
incongruity, artinya tidak semua anggota OKI merasakan permasalahan tersebut benar-benar sebagai permasalahan mereka. OKI adalah sebuah organisasi yang
besar dimana negara-negara anggotanya secara geografis terpencar di seluruh
bagian dunia. Gejolak dan ketegangan yang terjadi di Masjid al-Aqsa tidak dapat
dirasakan secara langsung oleh Negara-negara muslim yang jauh dari Masjid
Aqsa seperti Indonesia dan Pakistan. Negara-negara yang berlokasi jauh dari
al-Aqsa tidak akan merasakan imbas apapun atas permasalahan al-al-Aqsa dalam teritori
mereka. Ketiga, setiap resolusi yang dihasilkan oleh OKI, termasuk Resolusi tentang Kota Yerusalem dan Masjid al-Aqsa, dalam pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan dari kondisi internal anggota-anggota OKI yang memiliki orientasi
politik yang sangat beragam dan saling berkompetisi. Dalam OKI tergabung
Negara-negara Islam Revolusioner seperti Negara Iran hingga Negara
Ultrakonservatif seperti Negara Arab Saudi. Kompetisi antar negara anggota yang menyulut perpecahan dan sengketa juga kerap terjadi,misalnya seperti antara Irak
dan Iran serta antara Irak dan Kuwait.16 Perbedaan-perbedaan orientasi politik dan
adanya kompetisi internal inilah yang menjadi sumber penyebab lahirnya
resolusi-resolusi yang lemah atau resolusi-resolusi-resolusi-resolusi yang dikeluarkan sebatas hanya untuk
dilanggar.
15Ed.Edward L. Miles. et. al. “One Question, Two Answers”. EnvironmentalRegime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Underdal. Arild. Cambridge: MIT Press. 2001. Hal. 13-28 16Karim, Mulyawan. 17 Oktober 2003. “KTT Ke-10 OKI di Putrajaya,Malaysia: Tantangan Memulihkan Citra Umat”.
C.3. Bergantungnya Organisasi Konferensi Islam pada Barat
Selain sudah terbukti gagal menyelesaikan problem di Dunia Islam,
termasuk isu Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha, OKI juga hanya membebek pada
solusi dan keinginan Barat. Pasalnya, anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari
dominasi politik dan militer Negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris.
OKI termasuk dalam Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) ke-5 tetap
tidak mandiri serta terus tunduk pada keinginan dan kepentingan Barat, khususnya
AS. Kehadiran kuartet negosiasi Palestina-Israel (Amerika, Rusia, PBB, dan Uni
Eropa) dan wakil lima Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB di KTT LB
ke-5 OKI di Jakarta adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin Dunia Islam tidak
mandiri dalam memutuskan nasib umat. Ketidakmandirian OKI juga tampak jelas
dalam solusi yang diserukan dan didukung para anggota OKI dalam KTT LB ke-5
OKI untuk mengatasi krisis Palestina dan al-Aqsha, yaitu solusi dua negara. Ini
adalah solusi yang dirancang oleh Amerika Serikat dan Barat.17
KTT LB ke-5 OKI di Jakarta hanya mengulangi KTT-KTT sebelumnya
yang bersifat seremonial untuk menyenangkan umat Islam seolah-olah para
pemimpin mereka sungguh-sungguh peduli pada persoalan Palestina dan berbagai
persoalan lain. Kenyataannya, OKI hanyalah ‘talking doll’ yang tidak bisa lepas
dari skenario negara-negara Barat.
OKI lebih banyak mendorong terciptanya apa yang dikatakan sebagai
‘dialog perdamaian’ antara Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina
-Israel adalah penjajahan atas tanah Palestina yang dilakukan oleh Negara Zionis
Israel, bukan masalah perdamaian. Keberadaan Israel di atas tanah Palestina adalah
ilegal dan haram baik dalam logika politik apalagi pandangan hukum Islam. Dalam
berbagai perundingan itu negara-negara Arab sebagai anggota OKI pun lebih
memilih mengakui PLO yang sekuler dan disukai Barat ketimbang kelompok
perjuangan HAMAS yang lebih berbasis Islam. Di antara alasannya karena OKI
menilai HAMAS sulit ‘dikendalikan’ secara politik dan lebih memilih jalan jihad
atau militer dalam menghadapi Israel. Sedangkan PLO adalah ‘good boy’ bagi OKI dan lebih kooperatif dengan Israel. Beberapa kali HAMAS dan OKI berseberangan
sikap politik.18 Pada tahun 2015 misalnya HAMAS dan sejumlah mufti Palestina
dan ulama Timur Tengah lain mengecam keputusan Sekjen OKI Iyad bin Amin
Madani yang akan mengunjungi kompleks Masjid al-Aqsa pada tanggal 5 Januari.
Kunjungan tersebut dipandang HAMAS sebagai bentuk lain dari pengakuan
terhadap eksistensi Israel di Palestina, khususnya di kawasan Masjid al-Aqsha.
Keseriusan OKI untuk menyelesaian konflik Palestina-Israel, dan
keberpihakan mereka pada rakyat Palestina dan pembebasan al-Aqsha – yang
menjadi alasan pendirian lembaga itu – makin dipertanyakan, karena beberapa
negara anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki
dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan
Israel. Presiden Mesir Abdul Fatah as-Sisi pada September tahun lalu menyerukan
negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk
memerangi ancaman terorisme. Sementara itu meski Arab Saudi hingga hari ini
belum secara resmi melakukan kontak dengan Israel, akan tetapi mereka adalah
sekutu terdekat Amerika Serikat di Timur Tengah yang merupakan induk semang
dan pelindung Israel. Dalam operasi militer terhadap Syiah Houthi di Yaman,
mereka disupport oleh Amerika Serikat. Begitu pula dalam rencana penyelesaian
konflik Suriah dan upaya gencatan senjata di sana, Arab Saudi berada satu kubu
dengan Amerika Serikat, dengan menyingkirkan faksi mujahidin Sunni yang
memperjuangkan Islam seperti Jabhan Nusrah dan mengesampingkan terus
menguatnya aspirasi umat Islam di Suria bagi penerapan syariah dan tegaknya
Khilafah Rasyidah.
D. Sistem Pengambilan Keputusan Organisasi Konferensi Islam
Didalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) terdapat tiga badan utama
pengambilan keputusan: pertama, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), kedua
Konferensi Para Menteri Luar Negeri, ketiga yaitu Sekretariat Jendral. Namun,
pada KTT di Taif, Arab Saudi (Januari 1981) diputuskan untuk mendirikan
Mahakamah Hukum Islam Internasional sebagai organ keempat OKI. Mahkamah
ini dirancang sebagai organ hukum utama dalam organisasi dan untuk
menyelesaikan sengketa diantara anggota.19
Fungsi pengambilan tertinggi ada pada KTT, di bawahnya adalah
Konferensi Para Menlu, tingkat ketiga adalah Sekretariat Jendral yang
berkedudukan di Jeddah. Jabatan Sekjen dipilih oleh Konferensi Tingkat Menlu
untuk jabatan empat tahun dan maksimal dua periode kepemimpinan.
KTT yang merupakan lembaga tertinggi dalam struktural organisasi
bertugas menentukan strategi khusus yang terkait masalah politik maupun
keberlangsungan organisasi. KTT dilakukan setiap tiga tahun sekali. Konferensi
Menlu yang bertugas merumuskan kebijakan tahunan OKI yang berkaitan dengan
perkembangan terkini setiap anggota, sekaligus melakukan evaluasi umum
terhadap pelaksanaan program pada tahun sebelumnya. Sekretariat Jendral
merupakan lembaga yang menduduki tingkat ketiga tertinggi dalam struktural
organisasi berperan sebagai lembaga pelaksana, selain itu lembaga ini juga
membantu realisasi program kerja khusus maupun afiliasi. Lembaga terakhir yaitu
Mahkamah Hukum Islam Internasional yang beranggotakan tujuh perwakilan dari
negara anggota yang dipilih pada Konferensi Menlu OKI bertugas meluruskan
kekeliruan presepsi anggota OKI secara umum maupun khusus, serta mengeluarkan
fatwa terkait permasalahan hukum setelah persetujuan dari KTT dan Konferensi
BAB III
DINAMIKA PROBLEM KEMERDEKAAN PALESTINA
Bab III dalam skripsi ini adalah bab mengenai data-data yang ditemukan
oleh penulis. Data-data tersebut akan membahas tentang sejarah Palestina dan
problem kemerdekaan yang dihadapi oleh negara Palestina. Kemudian bagaimana
palestina menyelesaikan problem-problemnya tersebut. Melalui
perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Palestina dengan pihak-pihak terkait yang bertujuan
agar Palestina mendapatkan kemerdekaan yang hakiki.
A. Sejarah Palestina
Nama Palestina berasal dari terjemahan Bahasa Hebrew Pelesheth atau dalam Bahasa Yunani disebut Philistine Bangsa Romawi menyebutnya Palestina.1
Kata itu ditemukan dalam catatan Filsuf Yunani bernama Herodotus pada tahun
450SM. Philistine adalah area yang terbentang di sebelah selatan Canaan
berbatasan dengan Lautan Aegean dan Kepulauan Yunani. Wilayah di dekat Gaza
dulu bernama Philistia atau rumah para Philistine. Bangsa Philistine asli adalah para
pelaut Eropa yang berasal dari Yunani.
Palestina termasuk wilayah Asia Barat dan meliputi daerah Arab. Hal ini
dapat dilihat dari daerah-daerah yang membatasinya. Di sebelah barat dibatasi Laut
Tengah, bagian timur berbatasan dengan Yordania dan Syria, sebelah utara
berbatasan dengan Libanon, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Mesir.2
Dengan batas-batas itulah wilayah Palestina berada pada daerah Arab.
Orang-orang Arab Islam secara geografis memandang Palestina sebagai bagian
daerah Syria Selatan. Bila dilihat dari lingkungannya, Palestina dikelilingi oleh
pengaruh Arab, antara lain pengaruh budaya, politik, dan bahasa. Luas Palestina
sekitar 10500 mil persegi yang mencakup wilayah daratan dan perairan. Bagian
yang berupa daratan dibedakan atas empat daerah :
1. Daerah pantai merupakan daerah yang paling subur
2. Daerah pegunungan sebagian berupa bukit-bukit yang berkarang
3. Lembah Sungai Yordan, letaknya berada dibawah permukaan laut
4. Padang pasir di bagian selatan dan daerah tersebut merupakan setengah dari
wilayah Palestina3
Dilihat dari pembagian daerah itu dapat dikatakan bahwa daerah Palestina
bukanlah daerah pertanian yang baik, sebab separuh lebih dari daerah Palestina
bukan merupakan daerah pertanian.
Kota Yerusalem merupakan bagian wilayah yang disebut “Tepi Barat
Sungai Yordan” dan masuk bagian dari bumi Palestina. Memang Kota Yerusalem
berada di sebelah barat Sungai Yordan dan sekaligus berada di sebelah Barat Laut
Mati. Sebelah selatannya terletak Kota Bethlehem, 7 km dari Yerusalem, sedangkan
2 Sami Al Badawi, Bitter Harvest Palestina Between 1914-1967 (New York : The New World Press, 1967). Hal. 9.
di sebelah utaranya terdapat Kota Tua Yericho. Di sebelah baratnya terdapat dua
kota yaitu : Ashdod dan Askhelon.4
Yerusalem terbagi atas tiga kota yaitu Kota Tua, Yerusalem Timur, dan
Kota Baru yang terus berkembang di antara kota lainnya. Kota Tua atau The Old
City dikelilingi oleh tembok tinggi yang dibangun pada masa Nabi Sulaeman a.s. Tembok ini dimaksudkan untuk melindungi diri dari serangan musuh. Di Kota Tua
terdapat delapan pintu atau gerbang. Namun hanya dua yang dibuka yaitu Jafa Gate
dan Damacus Gate atau yang disebut juga Shekem. Di dalam Kota Tua ini banyak
terdapat tempat-tempat bersejarah dan tempat suci umat Islam, sebab di sana ada
tempat di kawasan Old City yang bernama Bukit Moriah. Yerusalem sekarang
merupakan pusat pemerintahan kaum Zionis Israel. Mereka membuat kota baru,
menyaingi kota lama peninggalan Sultan Turki.5
Yerusalem berarti negeri nan damai, tentram dan sejahtera. Dalam Bahasa
Arab dikenal dengan “Baitul Maqdis”. Kota itu merupakan tempat bertemunya tiga
agama yaitu: Islam, Kristen dan Yahudi. Kaum Kan’an menamakan Yerusalem
dengan Ursalam.6 Nama Yerusalem berasal dari dua buah suku kata, yaitu Jebus
dan Salem. Jebus adalah nama sebuah suku penduduk negeri itu, dan Salem adalah
sebutan untuk Tuhan Yang Maha Tinggi.7 Letak Yerusalem berada diatas bukit
Ophel, sebelah timurnya masuk wilayah Lembah Kidron dan Temple Mount di
sebelah selatannya.
4 G. Lukman Hakim, Zionisme Israel atas Hak Palestina. (Jakarta : Arhika Media Cipta, 1993). Hal. 19-20.
5Riwayat Pengusiran Palestina, “MajalahTempo No. 29. 18 September, Jakarta 1996).
6Ibnu Safi, “Jerusalem Kota Suci yang Bergelimang Darah”, MajalahAmanah, No. 24. Hal. 32, 13 Mei, Jakarta 1994.
Bumi Palestina merupakan tempat suci bagi umat Islam, Karena di sana ada
dua Masjid yang bersejarah, yaitu Masjidil Aqsha dan Dome Of The Rock di
Yerusalem, yang merupakan masjid mulia yang ketiga bagi umat Islam setelah
Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Nabawi di Madinah.8 Yerusalem yang
lama disebut dengan Old City, berada 750 meter di atas permukaan laut. Kota Tua
itu dilingkari tembok setinggi 12 meter, hampir berbentuk segi empat, yang
popular dengan sebutan “Wall o Jerusalem” atau Kubah Batu Karang dan Masjidil
Aqsha.9
B. Palestina Pada Masa Pendudukan Israel
Tahun 1917 terlibat gelombang kaum Yahudi memasuki Palestina, terutama
di kota-kota suci mereka seperti Yerusalem dan Jericho. Proses imigrasi ini
mulanya berjalan damai. Kaum Yahudi berbaur dan hidup berdampingan dengan
damai. Ketika Yerusalem dibawah kepemimpinan Raja Cyrus dari Persia tahun 538
SM, orang-orang Yahudi yang berada di pengasingan diperbolehkan kembali ke
Yerusalem. Ada sebagian yang kembali pulang, namun sebagian besar masih
senang tinggal di negara-negara asing, apalagi setelah mengetahui kondisi kota
Yerusalem yang rusak berat akibat peperangan. Di negara asing mereka hidup
diantara umat manusia yang lain, namun karakter serta prinsip ke-Yahudian yang
selalu dipertahankan menyebabkan mereka justru terpencil, sehingga dimana-mana
8 G.Lukman Hakim, Zionisme Israel atas Hak Palestina (Jakarta: Arhika Media Cipta, 1993). Hal. 93
orang Yahudi selalu dimusuhi.10 Akhirnya orang Yahudi ingin hidup tentram dan
berkumpul dalam sebuah negara dengan segala praktek kenegaraan. Untuk
merealisasikan keinginan tersebut daerah yang dianggap paling baik adalah
Palestina, dengan alasan bahwa Palestina adalah salah satu tempat sucinya.
Realisasinya orang-orang Yahudi di Eropa membentuk gerakan Zionisme
(kembali ke Zion alias kembali ke Yerusalem) di kalangan keturunan Yahudi.
Tokoh Zionisme warga Negara Austria keturunan Yahudi yang bernama Theodore Herzl, menghendaki agar Zionisme tidak hanya sekedar gerakan keagamaan, tetapi menekankan perlunya bentuk kedaulatan politik bagi bangsa Yahudi di Palestina
sebagai wujud dari Zionisme modern. Pemikiran Herzl ini segera popular dikalangan Yahudi Eropa. Salah satu yang mendukung pemikiran tersebut adalah
Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris. Pada bulan November 1917, Menteri
Luar Negeri Inggris tersebut mencanangkan deklarasi yang menetapkan dukungan
Inggris bagi pembentukan Negara Yahudi di Palestina. Akhirnya deklarasi Balfour
ini tidak dapat dielakkan lagi merupakan dasar konflik antara Palestina dan Israel
di abad dua puluh ini. Meski dicantumkan juga dalam deklarasi tersebut bahwa
hak-hak kaum non-Yahudi dilindungi, tetapi bagi bangsa Arab di Palestina deklarasi ini
mengusik kedamaiannya.11
10 G. Lukman Hakim, Zionisme Israel atas Hak Palestina (Jakarta: Arhika Media Cipta, 1993). Hal. 11.
Dengan dikeluarkannya deklarasi Balfour tersebut yang isinya:12
“”Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Yang Terhormat Lord Rothschild,
Saya dengan senang hati menyampaikan kepada Anda, atas namaPemerintah Yang Mulia, deklarasi simpati terhadap aspirasi ZionisYahudi yang telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet. "Pemerintah Yang Mulia mendukung dengan senang hati Palestina sebagai sebuah kampung halaman bagi orang-orang Yahudi. Dan Pemerintah Yang Mulia akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini. Sudah dipahami dengan jelas tidak akan dilakukan hal yang mungkin merugikan hak masyarakat sipil dan agama atau nonYahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain."
Saya berterima kasih jika anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.
Hormat saya,
Arthur James Balfour.””
Inggris juga menyanggupi untuk menyediakan segala fasilitas guna
terbentuknya satu tempat tinggal yang bersifat nasional bagi umat Yahudi di
Palestina. Baru tahun 1920 dapat ditandatangani perjanjian antara Inggris dan
Bangsa Yahudi. Dengan adanya pengakuan internasional terhadap Deklarasi
Balfour itu, maka Liga Bangsa-Bangsa menyerahkan Palestina sebagai mandate
Inggris. Mulai saat itu ribuan orang Yahudi memasuki Palestina, dengan membawa
harapan untuk memakmurkannnya. Antara tahun 1919-1936, populasi Yahudi di
Palestina melonjak dari 58 ribu orang menjadi 348 ribu orang, sedangkan pupolasi
orang Palestina hanya naik setengahnya yaitu dari 642 ribu orang menjadi 978 ribu
orang.13
12http://www.academia.edu/7266042/Deklarasi_Balfour_Latar_Belakang_dan_Kedudukannya_dal
am_Konflik_Arab-Israel_Riyanti-Program_Studi_Arab_FIB_UI_ARAB-ISRAEL.
Karena dana nasional Yahudi yang dibentuk untuk membeli tanah bagi
pemukiman Yahudi tidak berhasil memenuhi target pembelian tanah yang luas,
maka banyak imigran Yahudi yang menduduki begitu saja tanah-tanah yang
dianggap kosong. Hal tersebut menimbulkan pertentangan yang berkepanjangan
antara Kaum Yahudi dengan orang-orang yang sudah lama menetap di Palestina.
Akhirnya dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikeluarkan tanggal
29 November 1947, dinyatakan dalam mandat Inggris Bahwa di Palestina dibagi
menjadi dua daerah, yaitu satu daerah untuk bangsa Yahudi dan daerah yang
satunya untuk orang-orang Arab.
Pembagian Palestina menjadi dua daerah tersebut, oleh Negara-negara Arab
ditentang keras sehingga menjadi perang antara Bangsa Arab dengan Bangsa
Yahudi. Pada awal pertempuran, kemenangan berada dipihak Arab, tetapi karena
pengaruh-pengaruh penjajahan Barat serta campur tangannya, telah memaksa Arab
agar menghentikan perang dalam jangka waktu yang telah ditentukan.14 Namun
pada saat terjadi gencatan senjata, banyak senjata dari Barat yang diselundupkan
untuk orang-orang Yahudi. Disamping itu juga banyak sukarelawan-sukarelawan
Barat yang datang membantu Yahudi, sehingga ketika perang yang kedua terjadi
orang-orang Yahudi dapat mengalahkan Arab. Setelah Yahudi keluar sebagai
pemenang, pada tanggal 14 Mei 1948 memproklamirkan berdrinya negara Israel.
Amerika segera memberikan dukungan dan mengakui berdirinya Negara tersebut.
Hal ini diikuti pula oleh Rusia dan negara-negara Barat lainnya. Sejak itu mulailah