Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Oleh :
Amalia Rachmadanty NIM. 1111022000036
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Mohamad Nurdiansah, Mas Dio Mohamad Nurdiansah, Mba Wienarti, dan
vi 1890-1930
Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa saja motif dan kebijakan yang dibuat pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930) salah satunya adalah politik asosiasi pendidikan yang diprakarsai Snouck Hurgronje. Dan bagaimana kondisi pendidikan masyarakat di Hindia Belanda, baik pendidikan model Barat dan pendidikan Islam pada masa kolonial Belanda. Karena pada masa, itu Pemerintah Belanda sangat mengawasi pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analitif, karena itu, metode yang penulis gunakan adalah kajian kualitatif, dan data penulis peroleh melalui penelusuran literatur.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan umat Islam di Hindia Belanda (1890-1930). diantaranya; pertama timbulnya keresahan akibat diskriminasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Belanda khususnya Islam, kedua modernisasi pendidikan menumbuhkan semangat kebangsaan baik dari basis pendidikan barat maupun basis pendidikan Islam sebagai respon dari kebijakan pendidikan Belanda.
Skripsi ini juga ingin meningkatkan kajian sejarah dari sudut pandang pendidikan dengan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis simpulkan bahwa asosiasi pendidikan yang awal mulanya diadakan untuk menarik beberapa orang saja tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Kebijakan Pemerintah Belanda terhadap pendidikan bak pedang bermata dua, malah memperkuat Elit Intelektual barisan nasionalis baik sekuler maupun Islam, yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan pemerintahan kolonial dan menjadi sarana penyadaran sosial bagi masyarakat pribumi.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu
bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda
alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha
akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya
banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa silih berganti.
Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari
semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait
administrasi yang penulis butuhkan.
5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum, selaku dosen pembimbing skripsi,
yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama
kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat
viii
6. H. Nurhasan, MA, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.
7. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A. selaku dosen penguji I sekaligus penasihat akademik yang baik dalam memberikan, masukan, arahan dan motivasi yang baik bagi penulis.
8. Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku doen penguji II yang telah membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini baik dari segi isi, maupun kalimatnya. Dari perbaikan ini, penulis belajar bagaimana menulis tulisan yang akademik, dan lebih enak dibaca.
9. Bapak dan Ibu Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya kepada penulis selama perkuliahan.
10.Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah
membantu baik dalam urusan akademik maupun acara kemahasiswaan.
11.Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Adab
dan Humaniora, Perpustakaan UI, Perpustakaan Nasinonal, ANRI yang
telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan
skrispi ini.
12.Orang tua tersayang, ayahanda Bambang Eddy Usmanto dan ibunda
Nurochwati yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat, dan kasih
sayangnya. Tiada henti menanyakan kapan ananda menyelesaikan studi.
Ananda meminta maaf dan mengucapkan terimakasih dari hati yang
paling terdalam. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan,
ix
13.Kakak tercinta mas Geno Mohamad Nurdiansah, mas Dio Mohamad
Nurdiansah dan ipar tersayang Mbak Wien Winarti, yang selalu
memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga Soemito, Mbak
Mamah, Oom Miran, Oom Aris yang tak henti dan mendorong penulis
untuk cepat menyelesaikan studi.
14.Sahabat-sahabat seperjuangan BPH HMJ SKI, Muhammad Naufan
Faikar, Lilis Shofiyanti, Wilda Eka Safitri, Mitra Zalman, dan Presidium
HMI KOFAH Muhammad Naufan Faikar, Lilis Shofiyanti, Yudha
Adipradana, Ahmad Alfaiz, Dini Hafidzah, Nurfika Arafah atas dedikasi
dan Pengalamannya.
15.Kepada Sulastri, Siti Rahmawati, Syifa Fauziah, Amanah, Yanti
Susilawati, Silpa Ul’haq, Masitah, Asep Halimi, Budi Permana, Mirza
Rezadi dan Dirga Fawakih penulis hanturkan terima kasih yang
mendalam telah memberikan warna selama masa perkuliahan. Selalu
memberikan semangat dan motivasi baik dari masa awal perkuliahan
sampai pada masa akhir perkuliahan. Semoga Allah senantiasa
memberikan nikmat dan karuniaNYA untuk kalian semua.
16.Sahabat-sahabat SKI seperjuangan angkatan 2011 terima kasih atas
kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga kita dipertemukan dalam
keadaan sukses.
17.Teruntuk kakak-kakak yang selalu membimbing penulis, Ka Ervan
Anwarsyah, Ka Mughni Labib, Ka fauzan Baihaqi, Ka Candra Fivetya,
x
Firman Faturohman yang tak henti memberikan motivasi dan arahan
selama masa perkuliahan dan berorganisasi. Adinda Syanti Soraya,
Andika Ripwan, Muhammad Mir Atul Hayat penulis haturkan pula
terima kasih sudah mau membantu penulis.
18.Keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora
(KOFAH), Kohati Komisariat HMI KOFAH, KOHATI HMI cabang
Ciputat, terimakasih atas pengertian-pengertiannya selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
19.Keluarga besar LKK Kohati Cabang Ciamis dan LK2 HMI Cabang
Bandung yang pernah menemani penulis berproses dalam himpunan
tercinta.
20.Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pelita di Desa Cibeber,
Klapanunnggal, Bogor tahun 2014 atas cerita dan pengalamanya..
Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 24 November 2016
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
DEDIKASI ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR ISTILAH ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah... 8
C. Kerangka Tujuan ... 9
D. Batasan Masalah ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 9
F. Metode Penelitian... 10
G. Tinjauan Pustaka ... 12
H. Kerangka Teori ... 16
I. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19 A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial ... 19
B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda... 25
C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat Pribumi ... 38
BAB III Kebijakan Politik Asosiasi Pendikan Bagi Umat Islam 1890-1930 . 48 A. Pendidikan Umat Islam Masa Kolonial ... 48
B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam ... 66
C. Dampak Politik Asosiasi Pendidikan Bagi Umat Islam ... 73
BAB IV Respon Umat Islam Terhadap Dampak Politik Asosiasi Pendidikan 1890-1930 ... 78
A. Keresahan dan Perlawanan Umat Islam Terhadap Politik Asosiasi Pendidikan ... 78
B. Pertumbuhan Semangat Kebangsaan Umat Islam Dalam Melawan Sistem Kolonial ... 96
BAB V PENUTUP... 105
A. Kesimpulan ... 105
B. Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 108
xii
Ambacthschool Sekolah Petukangan
Asosiasi Mempertemukan Kebudyanaan Dua Negeri yang Berbeda
Sebagai Teman
de Schoolen de Eeerste Klasse Sekolah Kelas Satu untuk anak terkemuka
de Schoolen de Tweede Klasse Sekolah Kelas Dua didirikan untuk rakyat pribumi
Etische Politiek Politik Balas Budi
Hoofdenschool Sekolah untuk Calon Pegawai
Klein Ambtearen Pegawai Rendah
Menak Kelas sosial dalam golongan bangsawan Sunda
Priayi Kelas sosial dalam golongan bangsawan Jawa
Pribumi Masyarakat asli Hindia Belanda (Indonesia)
Vervolgschool Sekolah Sambungan
Rechtschool Sekolah Hakim
Binnelands Bestuur Pegawai Pemerintahan Dalam Negri
xiii
AMS Algemeene Midlebare School
ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia
ELS Europeeche Large School
GHS Geneskundige Hoge School
HBS Hogere Burger School
HCS Hollandsch Chineesche School
HIK Hollandsch Indlandsch Kweekschool
HIS Hollandsch Indlandsch School
MLS Middlebare Landbrouw School
MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
NIAS Nederlansche Indische Artsen School
OSVIA Opleiding School oor Indlandsche Ambtenaren
PNRI Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
RHS Rechtskundige Hoge School
STOVIA School toot Opleiding voor Indlansdch Artsen
THS Technise Hoge School
1 A. Latar Belakang Masalah
Dua dasawarsa akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20
dikenal sebagai puncak abad imperialisme, di mana merupakan masa keemasan
bagi bangsa-bangsa Eropa yang memiliki nafsu membentuk kekaisaran seperti
Inggris, Peranci, dan lain-lain yang merajalela di Afrika dan Asia dan mengancam
negara yang sudah merdeka masuk ke dalam bagian provinsi Eropa. Lain hal
dengan Belanda yang sudah memulai politik ekspansinya jauh sebelum itu.1
Usaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya di negeri
jajahan, Islam dipelajari di negeri Belanda untuk mengenal lebih jauh segala
sesuatunya tentang Islam dan pribumi Indonesia atau masyarakat Hindia Belanda
demikian mereka disebut dahulu. Ketakutan Belanda lebih besar dibandingkan
harapannya mengenai masa depan Islam Hindia Belanda menjelang akhir abad
ke-19, karena tidak adanya kepastian kebijakan politik yang mengatur dan
memberikan batasan-batasan untuk umat Islam di Hindia Belanda. Dari sini
muncullah Islam Politiek yaitu kebijakann pemerintah Hindia Belanda dalam
menangani masalah Islam.2 Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang
1
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda; het Kantoor voor Inlandsche zaken (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 9.
2
orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje3, selanjutya disebut Snouck yang menjadi peletak dasarnya.
Snouck datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889, dan pada 1899 -1906 ia
ditunjuk sebagai penasehat pada Kantor Urusan Orang Pribumi dan
Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken)4, kantor ini merupakan alat untuk
melaksanakan ide Snouck dalam menangani umat Islam di Hindia Belanda.
Kantoor voor Inlandsche Zaken – yang berwenang memberikan nasehat kepada
pemerintahan dalam masalah pribumi, berdiri sejak tahun 1899, tahun di mana
kedatangan Etische Politiek5 sudah di ambang fajar.
3
E. Gobee, dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jilid I. Terj. Sukarsi. (Jakarta: INIS, 1990), h. v dan Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.119.
Snouck Hurgronje merupakan anak keempat pasangan pendeta JJ. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta D. Christian de Visser. Snouck Hurgronje memasuki sekolah lanjutan H.B.S. di Breda untuk mempelajari bahasa Latin dan Yunani (Greek). Kemudian ia masuk Universitas Leiden pada 1875, dalam usia 18 tahun. Mula-mula masuk Fakultas Teologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Pada 24 Nopember 1880 studinya di Leiden berakhir dan ia meraih gelar doctor sastra Arab, tamat dengan predikat cumlaude dengan disertasi Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Makkah).
Lihat juga Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang islam (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1978).h 61-76. Lihat juga Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). h. 165-172.
Snouck tiba di Hindia Belanda pada Mei 1889 setelah penelitiannya tentang Komunitas Jawi di Mekkah dan ia pun menetap di Buitenzorg (Bogor) kediaman K.F. Holle, ia pernah mengunjungi negri Arab pada 1884 dan sampai ke Mekkah. Beberapa tulisan mengenai Islam diantaranya nerhubungan dengan hajj di Mekah yang dicetak di Leiden beberapa karyanya antara lain : De Atjehers – Het Gajoland – Arabic en Oost Indie, Het Mekkaanse Feast yang berisi tentang ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin pada tiap bulan Zulhijah.
4
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h. 118-119.
5
Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan mempelajari tentang Islam, dan
juga mempelajari tantang Aceh, ia berhasil menyelesaikan perang Aceh, Snouck
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, ia
berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda,6seperti yang dijelaskan oleh Aqib Suminto pola ini yang menjadi landasan kerja bagi para
adviseur voor Inlandsche zaken berikutnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai
penasehat Gubernur Jenderal dalam menangani masalah pribumi.
Pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai
perlawanan umat Islam di Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para
haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat
pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang
Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.7 Sebab ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia
Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang
membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, untuk menekan pergerakan
pribumi.
Harry J. Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek
yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik8, Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,
6
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda. h. 2.
7
Suminto. h. 7
8
yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik.
Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep
Splitsingstheori.9 Dalam bidang agama murni, pemerintah memberikan kebebasan
kepada umat Islam untuk melaksanakan ajarannya, pemerintah juga harus
memperlihatkan sikap seolah memperhatikan umat Islam. Dalam bidang sosial
kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan
menggalakkan agar rakyat tetap berpegang teguh pada adat tersebut, sehingga
ajaran Islam sangat dibatasi agar tidak meluas. Untuk membendung hukum Islam,
Snouck mengemukakan Theori Reseptie.10 Terakhir dalam bidang politik, Snouck
menyarankan pemerintah Belanda untuk melakukan politik asosiasi, yang lebih
menekankan pada pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa
dan kaum pribumi.
Sebelum kedatangan Snouck Tahun 1819 Gubernur van de Capelen
mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan
kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam
menaati undang-undang dan hukum negara,11 hal tersebut agar dapat mewujudkan apa yang di cita-citakan pemerintah pada awal kedatangan Belanda
ke Hindia Belanda yang sedikitnya ada tiga (tri G), pertama mendapatkan
9
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. h. 12
10
Yayan Sopyan ,Islam Negara Transormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) , h. 6.
Teori ini menegaskan bahwa hukum islam berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Hukum yang berlaku di Indonesia tidak di dasarkan pada ajaran agaman tetapi lebih pada hukum adat setempat.
11
keuntungan ekonomi (Gold), kedua mendapatkan kekuasaaan politik (Glory),
ketiga menyebarkan missi ideologi dan keagaaman(Gospel).
Pemerintah Belanda sangatlah telat dalam memajukan negara jajahannya
dibandingkan dengan Inggris dan Prancis yang sudah mendirikan sekolah terlebih
dahulu di daerah jajahannya. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan
fondasi dasar dari berbagai sistem yang berlaku di Hindia Belanda untuk
membangun negara dan meningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Sebelum pemerintah Belanda mendirikan sekolah sudah berdiri lembaga
pendidikan Islam seperti surau, madrasah dan pesantren yang berkembang di
daerah-daerah untuk memberikan pendidikan agama, meskipun masih menganut
pendidikan tradisional namun lembaga ini memiliki peran penting dalam
memajukan masyarakat setempat jauh sebelum pendidikan Belanda masuk,
hingga lembaga-lembaga ini bertransformasi menjadi pendidikan modern sebagai
respon modernisasi pendidikan Islam yang tertinggal dibandingkan pendidikan
yang dilakukan pemerintah Belanda, sehingga menurut pemerintah Belanda surau,
madrasah, dan pondok pesantren ini merupakan ancaman bagi pemerintah
Belanda, hingga perlu dibuat kebijakan-kebijakan di dalam kurikulum pendidikan
yang diajarkan.
Awal abad ke 20-politik etis12 pun mulai dilancarkan, sekolah-sekolah mulai didirikan dan diperluas. Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda
12
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sejak tahun 1914
masyarakat mulai mengecam politik etis yang gagal, ditambah pada 1930 banyak
masyarakat pribumi yang belum melek huruf, angka kesadaran dan kemelekan
huruf sangatlah rendah, hal ini yang membuat masyarakat masih melekat segala
macam bentuk prasangka, stereotip, dan lain-lain sebagainya dalam diri umat
Islam. Melek huruf di sini diartikan sebagai melek huruf latin, menyebabkan tidak
dihitungnya mereka yang paham dalam membaca dan menulis Arab maupun yang
membaca dan menulis daerah, sehingga mereka yang hanya bisa membaca dan
menulis Arab dan daerah tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bekerja di
pemerintahan dan pabrik13. Rendahnya melek huruf ini mencerminkan hasil yang tidak berarti dari komitmen pemerintah Belanda terhadap kebijakan politik etis
tahun 190114 yang di dalamnya berkembang pula politik asosiasi pendidikan yang dilancarakn pemerintah Belanda, politik asosiasi melalui jalur pendidikan ini
merupakan ide dari Snouck Hurgronje dalam menangani masyarakat Muslim
pribumi di Hindia Belanda.
dilakukan Ratu Wilhelmina dari takhtanya pada 1901 dengan mengumumkan : “sebagai sebuah kekuatan kristen, Belanda wajib melakukan kebijakan pemerintah di hindia belanda dengan kesadaran bahwa belanda memiliki kewajiban moral kepada rakyat di wilayah-wilayah tersebut.” Kebijakan tersebut diungkapkan dengan kesediaan baru pemerintah untuk melibatkan dirinya sendiri dalam urusan ekonomi dan sosial di nusantara atas nama efisiensi rasional. Inilah waktu peningkatan pelayanan kesehatan, perluasan pendidikan, perluasan fasilitas komunikasi, irigasi dan infrastruktur lainnya, serta pelaksanaan tindakan transmigrasi yang membawa keuntungan untuk kepentingan perniagaan barat serta orang indonesia sendiri.
13
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1995), h. 186.
14
Politik asosiasi ini bertujuan untuk mengasimilasi15 elit modern ke dalam budaya sekuler Barat modern melalui pendidikan dan pemanfaatan adat dan
membuka posisi-posisi pemerintahan bagi masyarakat Hindia Belanda yang
memenuhi kualifikasi. Dengan adanya asosisasi ini masyarakat Hindia Belanda
bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaan sendiri.
Hasil dari politik asosiasi pendidikan ini adalah menjauhkan masyarakat dari
sistem Islam dan ajaran Islam, dan ditarik ke dalam orbit Westernized, dengan
tujuan akhir bukanlah Hindia Belanda yang diperintah dengan corak adat istiadat,
namun Hindia Belanda yang diperbaratkan16. Politik Asosiasi pendidikan ini lebih banyak melirik para bangsawan atau elit pribumi. Snouck merekomendasikan
bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda, kaum priyayi atau
elit pribumi harus diberi pendidikan Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya
dengan tujuan untuk menempatkan para elit ini di berbagai jabatan yang strategis
agar Hindia Belanda dapat dipimpin oleh pribumi yang ke-baratan, serta patuh
pada pemerintah Belanda.
Ini yang membuat penulis tertarik menulis kebijakan politik pemerintah
Hindia Belanda, khususnya politik asosiasi yang lebih menekankan pada
pendidikan pribumi khususnya umat Islam. Pendidikan hanya bisa dirasakan oleh
kaum elit pribumi yang di dalamnya terdapat banyak kecurangan-kecurangan
yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, khususnya asosiasi pendidikan yang
15
Istilah asosiasi sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan istilah asimilasi. Kalau asosisasi lebih bersifat mempertumakan antara dua negeri yang berbeda sebagai teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (ENI, jilid I. (‘s-Gravenhage, 1917), h. 67.
16
sangat kebarat-baratan untuk mengikis budaya masyarakat Hindia Belanda yang
dari awal dibuat kebijakannya adalah untuk menarik elite intelektual ke dalam
lingkaran kolonial dan menekan laju Islam, namun dalam praktiknya banyak
respon dari elit intelektual dan umat Islam yang tidak sesuai dengan kebijakan
awal politik asosiasi tersebut dan jauh dari perkiraan cita-cita Snouck Hurgronje
dalam melancarkan politik asosiasi ini. Untuk itu skripsi ini berjudul
“KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN 1890-1930”
B. Identifikasi Masalah
Kebijakan baru mengenai pendidikan terdapat beberapa permasalahan yang
penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi
masyarakat muslim masa pemerintah Hindia Belanda,
1. Siapa saja yang terlibat dalam politik Asosiasi pendidikan Kolonial
terhadap umat Islam di Hindia Belanda?
2. Apa motif diterapkannya politik asosisi pendidikan bagi umat Islam di
Hindia Belanda?
3. Bagaimana kebijakan pemertintah Hindia Belanda dalam menerapkan
politik Asosiasi pendidikan?
4. Apa dampaknya bagi umat Islam di Hindia Belanda?
C. Kerangka Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah ingin mengetahui motif
diberlakukannya politik asosisasi pendidikan terhadap umat Islam di Hindia
Belanda. Hingga dampak yang dirasakan sampai munculnya respon umat Islam di
Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi pendidikan.
D. Batasan Masalah
Agar tulisan dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas, maka perlu diadakan
pembatasan dan rumusan masalah agar tujuan yang ingin dicapai dapat terarah.
Adapun batasan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat di Hindia Belanda.
2. Kebijakan pemerintah Belanda dalam mengeluarkan kebijakan khusus
yaitu Asosiasi Pendidikan untuk menekan laju umat Islam dan
mempertahankan kekuasaan kolonial. Serta dampak yang ditimbulkan
dari kebijakan asosiasi pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda.
3. Respon umat Islam di Hindia Belanda terhadap penerapan asosiasi
pendidikan.
E. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang sudah
ada, terutama terkait dengan pendidikan. Artinya, skripsi ini bisa menjadi rujukan
bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang pendidikan, khususnya
Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda pada
umumnya, yang akan meneliti tentang sejarah pendidikan Islam, terutama
pendidikan Islam masa Kolonial, yang masih bisa dirasakan hingga saaat ini.
F. Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik, yakni
dengan memberi pemaparan umum tantang kebijakan pendidikan pemerintahan
Hindia Belanda serta analisis lebih fokus menyangkut Pendidikan terhadap
masyarakat Pribumi Islam. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam
penelitian sejarah pada umumnya dalah heuristic atau pengumpulan data, kritik
sumber baik intern maupun ekstern, iterpretasi atau penafsiran dan tahap terakhir
adalah historiografi atau penulisan.17
Pada tahap heuristik penulis mengumpulan data-data, dimana penulis
mengunjungi beberapa tempat untuk mencari sumber-sumber mengenai kebijakan
pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan masyarakat pribumi, penulis
temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta,
Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Perpustakaan UI, Arsip Nasional Republik Indonesia. Penulis mendapatkan
Staastblad van Nederlandsch-Indie tahun1893 no 125, 1905 no 550 dan 1925 no
219, serta Bijblad op het Staatsblad van Nedelandsch-Indie no 6639 dan 7123,
Regerings Almanak dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie di ANRI (Arsip
17
Nasional Republik Indonesia),18 Penulis menemukan buku karya Robert Van Niel
Munculnya Eite Modern di Indonesia di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI),19 penulis menelusuri Perpustakaan Utama UIN Jakarta menemukan Koleksi Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Islam di
Hindia Belanda Karangan Snouck Hurgronje, serta buku karangan Aqib Suminto
Politik Islam Hindia Belanda, sedangkan Kumpulan karangan Snouck Hurgronje
oleh E. Gobee dan C Adriaanse penulis temukan di Perpustakaan UI, dan
beberapa sumber lainnya yang pernulis dapatkan atas rekomendasi dosen,
rekomendasi teman dan intenet.
Tahap selanjutnya verifikasi atau kritik sumber, pada tahap ini penulis
melakukan kritik mengenai keabsahan sumber primer dan sekunder. Berdasarkan
atas kritik sumber terhadapap Staatsblad van Nederlanch-Indie tahun 1893 no 125
dan 1905 no 550, penulis menemukan lembaran kertas Staatsblad ini masih amat
rapih dan bagus sehingga masih dapat terbaca tulisan diatasnya, sedangkan untuk
staatsblad tahun 1905 no 219, sudah mulai rapuh dan beberapa tulisan tidak dapat
dibaca karena sebagian kertas sudah robek dan terpisah. Untuk Bijblad no 6639
dan 7123 lembaran kertasnya juga masih rapih sehingga tulisan diatasnya masih
dapat dibaca dengan jelas.
Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan
penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian
18
Jl. Ampera Raya No. 7, Jakarta 12560.
19
dilakukan tahap historiografi, yang merupakan cara penulisan, pemaparan atau
laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan20. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari teknik metode pembahasan.
Adapun buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” menjadi buku acuan yang penulis gunakan
untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini.
G. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian skripsi ini, buku yang menjadi inspirasi untuk menulis
penelitian skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN POLITIK ASOSIASI PENDIDIKAN KOLONIAL TEHADAP UMAT ISLAM TAHUN
1890-1930” antara lain
Buku Politik Islam Hindia Belanda21 karya Aqib Suminto yang mana di
dalamnya dijelasakn kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangangi
Islam khususnya dengan beberapa kebijakan politik yang dibuat oleh Snouck
Hurgronje untuk menekan gerakan-gerakan muslim. Politik asosiasi salah satunya,
asosiasi berdasarkan pemanfaatan adat dan pendidikan yang mana pembahasan
dalam buku ini sangat membatu penulis dalam melakukan penelitian. Namun
Aqib Suminto dalam pengantarnya lebih menekankan tulisannya pada Het
Kantooor Voor Inlandsche Zaken, peran het Kantoor voor Inlandsche zaken atau
kantor urusan pribumi. Peranan Kantoor voor Inlandsche zaken- yang berwenang
20
. Dudung Abdurahman. Metodologi Penelitian Sejarah. h. 76.
21
memberikan nasehat kepada pemerintahan dalam masalah pribumi- berdiri sejak
tahun 1899 diawal munculnya politik etis yang tak luput dari peran seorang
Adviseur voor Inlandsche zaken.
Penulis juga mengambil sumber dari buku karangan Snouck Hurgronje yang
berjudul Islam di Hindia Belanda.22 Dalam buku ini snouck menggambarkan
kondisi agama Islam di Hindia Belanda, menjelaskan masuknya Islam ke
Indonesia dan perkembangannya sehingga banyak masyarakat pribumi yang
menganut agama Islam. Snouck juga menceritakan gambaran umat Islam dalam
melaksanakan ibadatnya, seperti berpuasa sebulan penuh dan merayakan Idul fitri,
zakat, pernikahan. Buku ini lebih banyak menggabarkan kehiduapan masyarakat
Islam Hindia Belanda dari segi sosial keagamaan.
Buku karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern di
Indonesia,23 yang menggambarkan stratifikasi masyarakat Hindia Timur dalam
kurun waktu 1900, akselerasi perubahan antara 1900-1914 dari mulai Politik Etis
dalam teori dan praktek sampai kebijaksanaan politik dan sikap pemerintah
terhadap masyarakat pribumi dan menggambarakn lahirnya elit Indonesia modern
yang menyuarakan perubahan-perubahan untuk kemaslahatan masyarakat di
Hindia Belanda. Robert van Niel menulisnya dengan sangat apik sehingga buku
ini sangat membantu penulis dalam melihat kondisi masyarakat Hindia Belanda
pada saat itu khususnya dalam stratifikasi social masyarakat Hindia Timur yang di
22
C Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda. (Jakarta; PT Bhratara Karya Aksara, 1983)
23
mulai dari orang Eropa, orang Cina dan Arab dan terakhir orang Indonesia.
Hingga perubahan-perubahan yang terjadi pada kurun 1900-1914 karena
kebjakan-kebijakan pemerintah Belanda sampai munculnya elite baru yang
memiliki intelektual tinggi yang ia sebut dengan elit modern sebagai respon dari
kebijakan pemerintah Belanda. Pada buku ini lebih digambarkan elit modern yang
terpengaruh pendidikan barat dari kalangan masyarakat elit bangsawan.
Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern 24
karya Karel A Steenbrink juga menjadi sumber dalam penulisan ini, buku tersebut
menggambarkan pendidikan Islam awal abad ke 20 dari awal pendidikan Islam
yang masih sangat tradisional hingga berkembang menjadi lembaga-lembaga
pendidikan modern. Steenbrink menulisakan dalam bukunya awal mula system
pendidikan yang ada di Indonesia, bagaimana pendidikan tradisional yang ada di
Indonesia bertransformasi menjadi lembagaa lembaga pendidikan yang modern,
Buku ini lebih menggambarkan perubahan atau transformasi pendidikan
tradisional yang di jelaskan sekilas pada bab-bab awal buku ini, hingga pada
penjelasan lembaga pendidikan yang lebih kontemporer.
Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V25 Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto masuk juga kedalam daftar bahan yang penulis pakai, di dalam buku
ini menjelaskan Jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda.
Menggambarkan politik kolonial dan transformasi politik itu sendiri mulai dari
24
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994)
25
datangnya VOC sampai dasawarsa terakhir Hindia Belanda. Menjelaskan struktur
sosial hingga pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia pada awal abad ke 20.
Beberapa bab dalam buku ini menjelaskan tentang kemerosotan politik yang
dilancarkann oleh pemerintah Belanda terhadap pribumi dan juga menjelaskan
munculnya mobilitas social di kalangan masyarakat pribumi, hal ini membantu
penulis dalam menuliskan respon yang dilakukan pribumi terhadap kebijakan
pemerintah Belanda.
Buku Indonesia dalam Arus Sejarah jilid V 26 masa pergerakan kebangsaaan
tak lupa penulis jadikan rujukan. Buku ini ditulis beberapa sejarawan dalam
bentuk bab per bab, salah satu yang penulis jadikan rujukan adalah bab 7 tulisan
Prof. Dr. Soegijanto Padmo (alm) yang menuliskan tentang perkembangan sosial
ekonomi pribumi sedikitnya membahas pendidikan pribumi. Bab 8 tentang
Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elite Modern yang ditulis oleh Prof.
Dr. Nina Herlina Lubis, di dalamnya mengulas perkembangan baru pada abad 19,
sekolah sekolah kejurusan yang didirikan Belanda, sekolah Belanda untuk
pribumi, membahas politik etis yang dilancarkan pemerintah pada awal abad 20,
perguruan tinggi dalam dan luar negri, sekolah-sekolah swasta yang tidak
bersubdisi, latar belakang sosial murid sekolah pemerintah, tak lupa pendidikan
wanita sampai mobilitas dosial dan munculnya elit modern. Tulisan Dr. Muhamad
Hisyam pada bab 11 yaitu Reformasi Islam dan kebangkitan kebangsaan dari
mulai akar dan persebaran pemikiran reformis, reformasi Islam rintisan abad ke
19, lembaga pendidikan dan organisasi modern, hingga reformasi dalam dan
26
kesadaran kebangsaan. Buku yang ditulis oleh beberapa penulis ini memberikan
warna dalam penulisan ini, karena beragam penjelasaan diterangkan dalam buku
ini yang lebih banyak fokusnya pada akhir adab ke 19 samai awal abad ke 20
khususnya tentang pendidikan serta mobilitas masyarakat Hindia Belanda.
H. Kerangka Teori dan Pendekatan Konseptual
Prof. W.F. Wertheim mengatakan bahwa : Apapun politik terhadap Islam
yang dilancarkan oleh kekuasaan non Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa
yang ingin dikejar oleh kekuasaan tersebut.27 Yang dimaksud adalah kekuasaan Pemerintah Koloial dalam mengambil kebijakan terhadap umat Islam di Hindia
Belanda dalam kenyataan yang dihasilkan oleh politiknya bertentangan dengan
apa yang diharapkan. Seperti kebijakan politik asosiasi yang di prakasai oleh
Snouck Hurgronje.
Pada dasarnya sistem asosiasi pemerintah Kolonial dalam mempertahankan
tanah jajahannya yang memggambarkan bahwa suatu struktur atas (bovenbow)
pemerintah kolonial menjurus pada konservatisme yang hendak mempertahankan
sistem kolonial dengan menjadikan kesatuan etis, kultural dan politik masyarakat
elit tradisional sebagai bawahan (onderbow).28 Munculnya elit intelektual dikalangan elit tradisional yang menentang Belanda, merupakan bukti bahwa apa
yang di cita-citakan Snouck tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Karena
sistem asosiasi sebagai alat tidak dapat dipakai untuk mencapai tujuan yang telah
27
Harrry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Terj. Daniel Dhakidae.(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) h. 345
28
digariskan seperti kesejajaran kepentingan antara kaum pribumi dan golongan
Belanda.
Asosiasi berdasarkan Encyclopedie van Nedelandsch-Indie sering
dipergunakan dalam pengertaian yang sama dengan asimilasi. Ada tiga istilah
yang saling bekaitan satu sama lain, yaitu unifikasi, asimilasi dan asosiasi.29 Asosiasi disini lebih bersifat mempertemukan dua negri yang berbeda sebagai
teman, sedangkan asimilasi cenderung untuk menyatukan keduanya. Baik asosiasi
atau asimilasi memiliki pengertian yang sama dengan unifikasi, yaitu kesatuan
hukum bagi seluruh penduduknya apapun asal usulnya, dapat diartikan pula
sebagai usaha untuk menyamakan semua peraturan Kolonial di daerah jajahan
dengan peraturan yang berlaku di negri penjajah. Terutama menyangkut istilah
asimilasi, yang mengandung arti bahwa keperluan Hindia akan dipenuhi dengan
syarat-syarat Barat.30
Sedangkan umat Islam yang dimaksud dalam penulisan ini bukanlah umat
Islam secara keseluruhan melainkan umat Islam dari kalangan priayi, menak atau
bangsawan yang memeluk agama Islam yang merupakan tujuan utama dari politik
asosiasi pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
I. Sistematika Penulisan
[image:29.595.100.515.220.584.2]Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus memberikan
gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung dalam skripsi
29
Encyclopedie van Nedelandsch-Indie, I (s’-Gravehagen, 1917), h. 67.
30
ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab beserta bibliografi
dengan urutan sebagai berikut.
BAB I ; berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, kerangka tujuan,
batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori dan sistematika penulisan.
BAB II ; membahas kondisi masyarakat dan pendidikan masyarakat Hindia
Belanda, juga membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan Pemerintah Hindia
Belanda bagi masyarakat pribumi.
BAB III ; membahas kebijakan politik asosiasi pendidikan bagi umat Islam masa
Pemerintah Kolonial Belanda dan dampak yang ditimbulkan.
BAB IV; membahas respon umat Islam terhadap dampak politik asosasi
pendidikan.
BAB V ; Penutup yang berupa kesimpulan dan saran untuk kebaikan dalam
19 BAB II
KONDISI MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA 1890-1930
A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial
Nusantara negeri bak surga yang tumbuh subur dengan keaneka ragaman
sumber daya alam dan budaya, negeri yang dilirik oleh para pedagang Eropa
dengan hasil buminya yang mahal, rempah-rempah. Harta karun yang
diperebutkan bangsa Eropa untuk menghasilkan pundi pundi uang, dari mulai
Spanyol, Portugis, Belanda. Bukan hanya sekedar memperebututkan komoditi
rempah tersebut, negara-negara Eropa ini membawa missi yang sangat penting,
yaitu misi kristenisasi.
VOC ( Vereniging oost Indische Compagnie) sebuah persahaan dagang
Belanda datang ke Hindia Belanda tahun 16021 dengan tujuan berdagang, hingga akhirnya dapat menancapkan kakinya ditanah Hindia, VOC pun mulai
mengegrogoti dan ingin menguasai sumber daya alam yang ada karena awal
kedatangannya kapal dagang VOC memang dengan motif hegemoni rempah dan
perdagangan di tanah Hindia, namun berubah haluan pada penghujung abad
ke-19. Setelah berhasil mempertahankan hegemoni politiknya selama satu abad
lambat laun ekspansi ekonomi Belanda berubah haluan menjadi ekspansi kolonial.
Seiring dengan kemerosotan VOC yang diakibatkan faktor internal yang terjadi
1
R.Z. Leirissa, ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 21.
pada tahun 1795 dikarenakan izin oktroinya ditiadakan, hingga pada 1798 VOC
dibubarkan karena banyak kasus yang didapat dalam pengelolaan pembukuan
yang curang, pegawai yang korup dan hutang besar, sehingga VOC mendapat
kerugian sebesar 134,7 juta gulden.2 Sedangkan faktor eksternal disebabkan persaingan dagang dengan negara kolonial Inggris dan kondisi eksternal negeri
Belanda yang berada di bawah ekspansi kolonial Prancis telah mengantarkan
perubahan yang cukup signifikan, sehingga pada akhirnya Napoleon berhasil
menguasai Belanda sepenuhnya, kompeni yang dibungkus dalam VOC akhirnya
menemukan ajalnya.3 Sehingga secara resmi pemerintah Indonesia di bawah naungan VOC pindah ke tangan pemerintah Belanda.
Selama masa pemerintahan Belanda, pemerintah membuat sistem pelapisan
stratifikasi sosial masayarakat Hindia Belanda. Sistem pelapisan sosial ini secara
umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan penjajah atau penguasa dan
golongan terjajah atau rakyat. Penggolongan ini berdampak pada hak dan
kewajiban masing masing golongan masyarakat kolonial yang bersifat
diskriminatif. Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak
mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta
pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung
dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat
para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang Timur
asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang
2
Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1.
3
pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota,
melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.
Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya
sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia
Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat yang
dibagi oleh Pemerintah Kolonial dibedakan menjadi 3 golongan4 yaitu:
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas:
1. Orang-orang Belanda dan keturunannya.
2. Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan
lain-lain.
3. Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi
golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.
b. Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India,
Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.
c. Golongan Pribumi yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut
inlander.5
Kebanyakan masyarakat Eropa tinggal di perkotaan, pusat perkotaan bukan
hanya menjadi tempat berdagang namun sekaligus menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang Eropa. Kalangan orang Eropa yang berpendidikan dan orang eropa
golongan menengah membawa kebudayaan Barat, mereka membentuk suatu
4
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) h.25.
5
dunia Barat di tengah tengah masyarakat perkotaan di daerah Jawa. Sekitar tahun
1900, wanita-wanita Eropa berdatangan ke tanah Hindia, sejak itu jumlah
masyarakat Eropa bertambah secara signifikan. Kurang lebih ada sekitar 70.000
orang Eropa di Jawa, bisa dikatakan hanya seperempat saja Eropa totok yang lahir
di Eropa dan datang ke Jawa. Yang seperempat itu kebanyakan terdiri dari para
pedagang dan pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari urusan keuangan dan
kebanyakan pegawai sipil Eropa. Beberapa orang Eropa juga ada yang
melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga ia banyak
beranak pinak dan memiliki banyak keturunan. Kaum Indo, sebutan untuk anak
keturunan campuran Indo-Europeanen banyak mengalami tekanan dan hidupnya
terombang ambing. Orang-orang Eropa totok banyak yang merendahkan orang
Indo, meskipun orang Indo dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila
ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa, sehingga mereka menjadi bagian
masyarakat Hindia Belanda.6
Pada tahun 1900 golongan Timur asing yang terdiri dari orang Cina dan Arab
tinggal di Hindia sebagai pedagang, Orang Cina merupakan kelompok terbesar di
luar masyarakat Hindia Belanda di Jawa, jumlah mereka kira-kira 280.000.
Menjelang tahun 1900 sebagian besar orang Cina sudah beranak pinak dan
memiliki banyak keturunan di Jawa, namun mereka tetap memegang teguh
kebudayaan asal Negeri mereka meskipun sudah lama tinggal di Hindia Belanda.
Kebanyakan orang Cina datang untuk berdagang dan menempatakan diri dengan
6
sifat tegas, semangat dan penuh energi hingga mereka dapat secara luas
menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi Hindia Belanda.7
Sedangkan orang Arab sebagaimana dipanggil di Jawa bukan hanya mereka
yang berasal dari negeri Arab, sebutan itu digunkan untuk orang orang perantau
dari Timur dekat maupun Timur Tengah termasuk juga India Muslim. Tahun
1900-an perkiraan masyaraat Arab di Hindia Belanda berkisar 18.000 orang,
kebanyakan mereka adalah pedagang kecil, saudagar, dan rentenir uang hampir
serupa dengan orang Cina.8
Sedangkan dikalangan masyarakat pribumi, terdapat pula stratifikasi social di
kalangan pribumi seperti di daerah Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa dan Sunda
membuat stratifikasi social berdasarkan tingkatan masyarakat umum dikenal
adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah,
menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan
merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai
petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan
sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah,
petani-petani kaya dan pegawai pemerintahan. Adapun lapisan atas terdiri dari
keturunan bangsawan dan kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan
umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dan gelar yang berbeda
sesuai dengan tingkat hubungan mereka dengan raja. Bisa dikatakan sifatnya yang
turun temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu
7
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 30.
8
mereka biasa disebut elit atau Priayi9 di Jawa dan menak10 di Sunda, yang disebut
elite adalah sesuatu kelompok yang berpengaruh dalam suatu lingkungan
masyarakat. Biasanya mereka dijadikan Admininstratur, pegawai pemerintah oleh
pemerintah Belanda. Secara teknis kaum ningrat merupakan kelompok terpisah,
namun masyarakat pribumi dengan sendirinya memasukan kaum ningrat ke dalam
golongan priayi.11 Sedangkan masyarakat muslim pada masa itu dipandang sama dengan pribumi atau rakyat biasa (indigenousness).12
Dari stratifikisai sosisal inilah dapat dilihat bagaimana pemerintah Belanda
mengambil kebijakan untuk masyarakat di tanah jajahannya. Pemerintah Belanda
menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda,
mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi
yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa agama penduduk yang dijajahnya itu
mayoritas beragama Islam sehingga mereka sangat berhati-hati dalam mengabil
kebijakan.
Kedatangan bangsa Barat disatu pihak membawa dampak pada kemajuan
teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak secara menyeluruh dirasakan oleh
9
Istilah ini pertama kali dipakai oleh Clifford Geertz dalam kajiannya The Religion of Java diterjemahkan ke dalam Agama Jawa, yang membedakan masyarakat Muslim Jawa atas tiga kategori Priayi (pejabat pemerintah), Santri ( muslim yang menjalankan agama, pedagang), dan abangan ( masayarakat yang tinggal di pedesaan). Dalam Robert Van Niel, h. 31 dijelaskan pula maksud Priayi. Priayi adalah kelompok yang disebut elit, bagi masyarakat Indonesia berarti siapa saja yang berdiri diatas rakyat Jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat Indonesia.
10
Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998). h. 2. Beliau mengutip C. Van Vollenhoven yang menjelaskan sebutan menak yang digunakan dalam tradisi Jawa di daerah Sunda dipergunakan untuk menyebut semua orang yang sangat di hormati baik para bangsawan maupun pejabat tinggi.
11
Robert Van Niel, h. 31-32
12
masyarakat pribumi. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan hasil
jajahannya, begitu pula dengan pendidikan.13 Pemerintah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih efektif, namun hanya sekedar untuk
menghasilkan tenaga yang dapat membantu disegala bidang. Pendidikan yang
didapat para calon pegawai Hindia tidak serta merta diberi pendidikan yang sangat
luas, mereka dididik agar dapat mandiri dan memiliki daya tangkap sebagaimana
yang diperlukan.14
B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda
Kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk
keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan
sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan
terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali
dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar
sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka
sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di
bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan
Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua
negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.
13
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48
14
Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang
menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan
menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan
hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau,
Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah
Hindia Belanda.
Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi
dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah
yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga
terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga
terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda
pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan
seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang
merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan
ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu
zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang
15
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.
16
menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling
(perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu
bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17
Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia
Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer
yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang
kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri
Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang
sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan
jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda
didalam kebijakan kolonial. 18
Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan.
Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat
pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan
pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak
diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19
Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara
berangsur-angsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di
arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri.
17
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35
18
M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.328.
19
Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai
pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini
akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat
menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan
Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal
sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan
pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa
timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan
politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje
merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya,
memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang
para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan
sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya
administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan
contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari
masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada
pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada
20
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452.
21
golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi
dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur
Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang
lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih
luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23
Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem
yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah
jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga
masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur
Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi
dan rakyat umum atau pribumi24.
Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk
pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak
rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu
agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan
bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti
yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang,
bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di
22
Niel. h. 60.
23
Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102
24
pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari
bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi.
Untuk mengatur pendidikan bagi pribumi, pemerintah kolonial
mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor
12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya
diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat
pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa
dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de
Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang
pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de
Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi.
Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai
pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah
membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam,
menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan
guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah
25Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”
., h.237. lihat juga Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208
26
Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893.
27Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”
., h. 202.
28
bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang
diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat
kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran
yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa
daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru
yang mengajar seperti sekolah kelas satu.
Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian
pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool)
sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh
Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor
Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29.
Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah
yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh
terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo.
Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid
Hoofdenschool hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang
diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa
Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid
pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya,
sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik
sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena
29Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik
dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya
berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899
Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche
Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para
pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri
(Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada
sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para
anak bangsawan dan raja-raja.
Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan
calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka
atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama
kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di
Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga
tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866
30
M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.
31Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam
Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238
32
membuka HIK di Bandung biasa disebut dengan sekolah Raja. Murid pertama
berjumlah 27 orang, antara lain adalah murid pindahan dari HIK Surakarta.
Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar menggunakan bahasa
Melayu, kemudian tahun 1865 diajarkan bahasa Belanda dan sejak 1871 bahasa
Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Dengan adanya HIK di Bandung,
pendidikan pribumi di Priangan dapat berkembang dengan pesat dikarenakan
adanya tenaga guru pengajar baik di sekolah pemerintahan maupun di sekolah
swasta seperti HIS.33
STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) lebih dikenal
dengan sebutan sekolah dokter Jawa. STOVIA dibuka pada 1851 dengan jumlah
murid 13 orang, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar.34 Pendidikan dokter sudah dimulai sejak awal abad 19 pada 1811 ketika maraknya penyakikt cacar yang menjadi ancaman bagi kehidupan
masyarakat pribumi, akhirnya beberapa orang dilantik oleh para penilik vaksin
untuk menjadi juru cacar. Menjelang pertengahan abad 19 lembaga tersebut
dilakukan secara reguler berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda
tanggal 2 Januari 1849 didirikanlah sekolah ahli kesehatan, untuk membantu
rumah sakit militer di Batavia yang dikenal dengan nama STOVIA. Pendidikan
juru cacar yang hanya satu tahun diperpanjang menjadi 2 tahun pendidikan dan
bukan hanya cacar saja tetapi ditambahkan beberapa mata pelajaran tentang penggantinya Snouck Hurgronje dimana keduanya fokus pada pembentukan Muslim yang terkolonisasi. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). H 161-165
33 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan
, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h. 238-239.
34
kesehatan agar lulusannya paham tentang penyakit dan kesehatan lainnya
sehingga dapat melakukan operasi ringan dan merawat pasien. Setelah 2 tahun
masa pendidikan para siswa diuji oleh beberapa dokter dan apoteker militer, jika
lulus mereka mendapat gelar dokter Jawa. Tahun 1864 masa belajar di STOVIA
diperpanjang menjadi 5-6 tahun, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam proses belajar mengajar. Diberikan pula pelajaran bahasa
Belanda selama 2-3 tahun bagi murid-murid yang bukan berasal dari sekolah yang
menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Tahun 1875 gelar dokter Jawa
diubah menjadi Indlandsche geneeskunde atau ahli kesehatan pribumi. 35
Akhir abad 19 dan awal abad 20, penguasa perkebunan di Sumatra Utara
membutuhkan tenaga medis yang terbilang murah karena tenaga medis dari Eropa
sukar