• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat

BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19

C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat

Harry J. .Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam religius dan Islam politik,44 Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian,

42

Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.30. lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247, dan M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452. Perguruan tinggi yang didirika masa pemerntah Kolonial menjelma sebagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, THS kini ITB, MLS kini IPB, GHS kini FK UI, RHS kini dipecah menjadi fakultas fakultas hukum, ekonomi dan ilmu sosial dan politik di lingkungan UI, NIAS kini FK Unair.

43

Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V,. h.242. lihat juga Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 48. Buta huruf yamg dimaksud adalah buta huruf latin, masyarakat yang dapat membaca huruf arab tidak masuk dalam hitungan dapat membaca.

44

Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang,. Terj.Daneil Dhakidae dari The Cressent and the Rissing Sun (Jakata: PT Pustaka Jaya, 1980),, h.44.

yaitu ; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep

Splitsingstheori45.

Prinsip yang dikemukan Snouck dalam bidang kemasyarakatan dan politik adalah menggalakan pribumi agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini tidak dapat terlepas dari eksistensi kekuasaan Belanda di tanah jajahannya ditambah untuk merebut kemenangan dalam persaingan dengan Islam. Belanda memanfaatkan asosiasi dan pemanfaatan adat untuk tetap bertahan di tanah jajahannya. Dan melalui pendidikan sebagai jalan utamanya.

Dengan mengabulkan keinginan penduduk Hindia Belanda memperoleh pendidikan, menurut Snouck akan menjamin kekalnya loyalitas mereka terhadap pemerintah kolonial, dan akan berdampak menghilangkan cita-cita Pan Islam46 dari segala kekuatannya. Secara tidak langsung juga akan bermanfaat bagi

45

Aqib Suminto. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,198), cet I,. h. 12

46

Pengertian Pan-Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani Muda, Turki berusaha menggunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah Kesultanan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan-Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan-Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa Ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan-Islam dalam pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat berkat adanya Pan-Islam akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat lain. Pada 1884 Jamaluddin al Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqa di Paris. Melalui majalah ini mereka berusaha menyadarkan dunia Islam agar menemukan kembali kepribadiannya. Diimbaunya dunia Islam agar berpegang teguh kepada agamanya, sebab disitulah terletak kekuatan Islam. Meskipun demikian tidak digalakkannya ta’assub berlebihan sehingga merusak hak orang lain, atau berusaha memusnahkan agama lain. Setiap kepala pemerintahan muslim diserukannya harus berpegang teguh pada hukum syariah. Dicanangkannya persatuan sesama umat dan bangsa Islam. Seorang muslim sehatusnya merasa sedih dan prihatin tatkala mendengar berita kejatuhan suatu negara Islam ke tangan negara bukan Islam. Aqib, h 80

penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan missi.47

Sudah dijelaskan pula diatas perlakuan Belanda yang berbeda terhadap negara jajahannya yang tidak sama dengan Negara penjajah lainnya yang sudah terlebih dahulu mendirikan sekolah daripada Belanda, seperti penjajah Spanyol dan Inggris yang mensejahterakan negara dibawah kekuasanya dengan mendirikan lembaga pendidikan lebih awal daripada Belanda yang sangat lambat. Abad ke-16 Spanyol sudah mendirikan Universitas di Filipina begitu pula dengan Inggris mendirikan Universitas di India pada abad ke-17, Belanda baru mendirikan sekolah di penghujung akhir abad ke-19.

Snouck melihat guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, kiai dan ulama merupakan unsur sosial yang paling penting dalam tatanan masyarakat Hindia Belanda. karena maraknya perlawanan yang dipimpin oleh para Kiai dan ulama terhadap pemerintah, maka golongan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, terlebih lagi orang-orang yang pulang dari ibadah Haji dan lama bermukim disana untuk menimba ilmu agama, karena alasan inilah pemerintah membuat kebijakan tentang pembatasan pergi Haji dan mengawasi masyarakat Hindia Belanda yang pergi Haji selama beribadah sampai kembali ke tanah air.48 Karena banyak dari mereka yang pulang ke tanah air mendirikan halaqah halaqah

47

Suminto. h.40

48

Aqib Suminto,h. 92-96 tentang haji dan Pan Islam. lihat Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,(Bandung: Mizan,1996), cet I, h.44.dan juga Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit, Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, Terj. dari The Crescent and The Rising Sun, Indonesian islam under the Japanese occupation 1942-1945 oleh Daneil Dhakidae (Jakata: Mizan, 1980), cet I. h.42. dan jga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutaarga,. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987),. h. 242.

kecil sampai pesantren guna memberikan pendidikan agama pada masyarakat muslim pribumi. Melihat hal ini Snouck tak tinggal diam. Ia membuat kebijakan khususnya untuk masyarakat pribumi yang beragama Islam agar terlepas dari ajaran agama. Seperti prinsipnya dalam bidang kemasyarakatan, ia menggalakan pribumi untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan barat (asosiasi kebudayaan). Dengan cara mendirikan sekolah berpendidikan barat untuk menyaingi eksistensi pendidikan agama yang diajarkan di surau, masjid, madrsah dan pesantren yang dibawa oleh para haji dan ulama tersebut.

Dalam melancarkan politik asosiasi pendidikan, Belanda mendirikan sekolah untuk masyarakat pribumi. Namun banyak terjadi diskriminasi yang sangat terelihat dalam mendirikan sekolah. Dari mulai kurikulum yang diajarkan dan pengelompokan sekolah berdasarkan warna kulit dan ras. Awalnya hanya anak-anak keturunan bangsawan yang dapat menikmati sekolah karena memang itu misi awal Snouck, memilih anak-anak bangsawan untuk melancarkan misi nya memishakan mereka dari kebudayaan asli, adat dan agama hingga mereka dapat berpegang pada kebudayaan barat.49

Snouck dan J.H. Abendanon melakukan upaya khusus untuk memberi jalan bagi anak-anak dari keluarga terkemuka agar bisa memasuki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi di negeri Belanda. Sehingga, pada tahun 1900 telah ada sekitar lima orang mahasiswa Hindia di negeri Belanda. Pada tahun-tahun

49

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, h.41. dan juga Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,. (Bandung: Mizan, 1996). h.30.

berikutnya, jumlah itu meningkat semakin cepat mencapai sekitar 25 pada tahun 1908.50

Sekolah-sekolah yang dikembangkan pemerintah bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melaikan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang berakar pada negri asal penjajah, baik organisasi maupun kurikulumnya. Sekolah kolonial diorganisir secara hirarkis menurut umur dan tingkatan sekolah berdasarkan batas perkembangan sesuai dengan kepentingan pemerintah. Masyarakat tidak bisa dengan sendiriya masuk dan memilih sekolahnya sendiri, sebagai akibat bahwa sistem pendidikan yang berkembang bukanlah merupakan tuntuan lokal tetapi mencerminkan kepentingan kolonial, dimana pendidikan moral dan agama serta bahasa negara jajahan merupakan bagian yang kurang penting disamping keterampilan birokrasi untuk memperkokoh kekuasaan Belanda. Seperti pelajaran sejarah dan geografi yang tidak masuk dalam kurikulum dan pengetahuan bahasa lokal, dikarenakan semua itu akan melibatkan pelajaran tentang kebudayaan dan identitas lokal.

Seberapa banyak sekolah yang didirikan Belanda berkaitan erat dengan apa yang diharapkan dari lembaga pendidikan yang didirikan itu, pemerintah Belanda ingin mengeksploitasi pendidikan demi kepentingan kolonial. Resep yang paling ampuh adalah dengan mengontrol kurikulum yang diajarkan. Kontrol kurikulum ditentukan atas dasar kepentingan kolonial dengan memberikan beberapa subjek mata pelajaran yang dibutuhkan bagi kebutuhan administrasi. Pemerintah sangat berhati-hati dalam memilih subjek mata pelajaran. Adapun

50

pelajaran yang diberikan meliputi pengetahuan dasar mengenai kemampuan membaca, menulis bahasa Melayu (latin), berhitung, membuat surat, pembukuan, pengetahuan pertanian, dan kesehatan. Hingga akhir abad 19 ditambah dengan bahasa Belanda, menggambar, menyanyi, geografi serta pelajaran teknik pertanian dan kesehatan.51 Meskipun mata pelajaran yang diajarkan mencontoh pendidikan Barat, namun dalam prakteknya materi yang diajarkan sangat terbatas dan jauh berbeda, baik dari substansi dan relevansinya dengan hakikat pendidikan dan lingkungan kebudayaan murid. Pemerintah sering memberikan pelajaran bahasa Belanda, pelajaran bahasa dengan sendirinya akan melibatkan pelajaran kebudayaan, nilai-nilai dan pandangan hidup yang luas.

Berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif sejalan dengan prinsip kolonial sebagai berikut:

1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu 2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja,

terutama demi kepentingan kaum penjajah.

3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.

4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda. 5. Dasar pendidikannya adalah pendidikan barat yang berorientasi pada

pengetahuan dan kebudayaan barat.52

51

Nina Lubis, h. 254.

52

S. Nasution berpendapat dalam Abuddin Nata, bahwasanya politik kolonial erat hubungannya dengan kepentingan kolonialisme, yang didominasi oleh para penguasa dan tidak di dorong oleh nilai etis. Ciri politik dan praktik pendidikan kolonial, khususnya pemerintah Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda adalah sebagai berikut :

a. Diskriminasi yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda.

b. Diskriminasi dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dengan pendidikan pribumi.

c. Kontrol sosial yang kuat.

d. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah dalam menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

e. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negri Belanda.

f. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.53

Kebijakan pemerintah dalam masalah pendidikan untuk memajukan masyarakat pribumi hanayalah bualan belaka, bukti nyata tentang kebijakan pemerintah adalah adanya diskriminasi pendidikan terhadap masyarakat pribumi dengan mengusahakn pendidikan serendah rendahnya dan memperlambat lahirnya

53

sekolah yang setaraf dan memiliki keunggulan yang baik seperti sekolah sekolah anak-anak Eropa.

Antara pemerintah dan masyarakat setempat memiliki pendapat yang berbeda pandangan terhadap lahirnya sekolah- sekolah, namun dalam pandangan masyarakat kolonial juga terdapat perbedaan persepsi, Orang Eropa yang tidak percaya dengan kemampuan masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi yang juga tidak percaya dengan kemampuan mereka sendiri.54 Sementara ada juga kelompok sosial yang melihat kahadiran pendidikan Belanda sebagai peluang yang menguntungkan, keanekaragaman pandangan tersebut memberikan gambaran bahwa dalam situasi kolonial, orang tak lagi bebas menentukan pilihan atau arah bagi pendidikan anak-anak mereka, yang ada hanya dua pilihan menerima atau menolak kebijakan yang sudah ditawarkan oleh pemerintah Belanda.

Sesusai dengan yang digambarkan oleh Aqib Suminto politik Asosiasi ini memiliki tujuan mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara jajahan melalui kebudayaan, khususnya di bidang pendidikan yang menjadi fokus utama dalam penerapannya.55 Politik Asosiasi juga mencita-citakan suatu masyarakat Hindia Belanda dimana dua golongan yaitu Eropa dan Pribumi dapat hidup berdampingan dalam satu masyarakat, golongan pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Barat diharapakn dapat bekerjasama dengan golongan Belanda.56 Dalam prakteknya, penerapan politik asosiasi ini bukanlah untuk

54

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,. h. 42

55

Aqib Suminto, h. 39.

56

mengembangkan pendidikan seluruh masyarakat pribumi, secara keseluruhan hanya beberapa individu yang diusahakan untuk dilepas dari masyarakat pribuminya.

Snouck memilih anak dari kalangan anak-anak raja atau para bangsawan pribumi. Karena menurut Snouck, Belanda berfungsi sebagai wali dan fungsi wali inilah yang mewajibkan Belanda untuk mendidik Indonesia.57 Murid Snouck yang sangat terkenal dan cemerlang adalah Pangeran Aria Hosein Djajadiningrat58, berhasil ditempatkan di sekolah Belanda (ELS dan HBS) dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden disana ia mendapatkan gelar Cumlaude ia merupakan anak keturunan bupati Banten. Snouck juga memberi kesempatan pada Wiranatakusumah, tahun 1906 ia dipindahkan sekolahnya dari kelasnya di OSVIA dan mensponsorinya di Sekolah menengah Belanda di Batavia yang memiliki pendidikan lebih baik. Wiranatakusumah tidak pernah menamatkan sekolahnya namun ia masih dapat mendapatkan kedudukan tinggi dan menjadi salah satu tokoh terkemuka di Jawa Barat.59

Snouck juga memiliki delapan anak asuh yang berada di bawah pengawasannya, antara lain Tuanku Ibrahim, Teungku Pakeh, Teuku Usoih

57

Aqib Suminto ,.h.41

58

G.J. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia 1900-1950, Terj. dari Studien over de Geshiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950 oleh Tujimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UI-Press, 1985), cet II. H .9. lihat juga Aqib Suminto,Politik Islam Hindia Belanda, h. 41.dan juga G.J. Pijper, “Politik Islam pemerintah Belanda dalam H. Baudet dan I.J Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan oleh Amir Sutarga,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h.245. juga Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 263.

59

(Keumangan), Teuku Tajeb (Peureula), Teuku Mahmud (Pidie) di Aceh, Raja Mahmud Indragiri di Bandung, Raden Muhammad di Bogor dan Syarif Kasim (Siak) di Jakarta, setelah kepergian Snouck pada 1906 ia menyerahkan pengawasan teradap delapan anak asuhnya pada Dr. G.A.J Hazeu.60 Minat dan perhatian Snouck membuat anak asuhnya amat terpengaruh dengan kebudayan Barat.61 Gagasan untuk mendidik anak anak pribumi ini kemudian di putuskan oleh pemerintah, sehingga secara resmi mereka dibiayai oleh pemerintah Belanda sampai tahun 1931.62

Sekolah sebagai lembaga pendidikan, umumnya mencerminkan kekuatan dan kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi umumnya bukan dimaksudkan untuk mencerdaskan masyarakat Hindia Belanda, melainkan sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta dalam mempertahankan kelangsungan kolonial. Walaupun sistem pendidikan yang dikembangkan sedikit banyak telah memberikan peluang untuk anak-anak pribumi, sebagai hasil interaksi antara penguasa kolonial dan penduduk setempat, sekolah sekolah yang didirikan fungsinya untuk memenuhi kepentingan kolonial, antara lain untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubunganya dengan pemerintah.

60 Aqib, h.42 61 Van Niel. h. 79 62

48

Dokumen terkait