• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda

BAB II Kondisi Masyarakat dan Pendidikan di Hindia Belanda 1890-1930 19

B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda

Kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.

13

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48

14

E. Gobee dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). h. 477-479.

Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau, Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Hindia Belanda.

Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang

15

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.

16

Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1986), h. 145.

menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17

Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda didalam kebijakan kolonial. 18

Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan. Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19

Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara berangsur-angsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri.

17

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35

18

M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.328.

19

Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada

20

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452.

21

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102

golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23

Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi dan rakyat umum atau pribumi24.

Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang, bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di

22

Niel. h. 60.

23

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102

24

pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi.

Untuk mengatur pendidikan bagi pribumi, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor 12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de

Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang

pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de

Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi.

Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah

25Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h.237. lihat juga Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208

26

Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893.

27Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 202.

28

Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h 280.

bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru yang mengajar seperti sekolah kelas satu.

Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool)

sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh

Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor

Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29.

Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah

yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid

Hoofdenschool hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang

diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya, sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena

29Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238-240

pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899

Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche

Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para

pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri

(Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada

sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para anak bangsawan dan raja-raja.

Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan

calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866

30

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.

31Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238

32

K.F Holle tiba di Hindia Belanda pada umur 14 tahun dan menetap di daerah Priangan dekat Buitenzorg (Bogor), memulai kariranya sebagai seorang juru tulis di sebuah kantor pemerintah pada 1846. Ia brhubungan dekat dengan beberapa menak salah satu hubungan karibnya ia jalin dengan Raden Haji Moehammad Moesa (1822-1886) yang merupakan kepala penghulu Garut, ia menikahi mojang priyangan seperti kebanyakan orang Belanda. pada 1871 ia menjabat sebagai penasihat kehormatan untuk Urusan-urusan masyarakat Pribumi dalam Pemerintah Kolonial. Hubungan Holle dan Moesa sebagai informan kuncinya membuat hubungannya semakin dekat, hingga Holle berusaha menarik para elite Priangan ke dalam lingkaran Kolonial dan merekomendaskan pada para penghulu agara menggunakan bahasa latin dalam setiap karyanya sebagai pengganti bahasa arab. Holle memuka sebuah jalan yangkemudian diikuti oleh sahabat dan

membuka HIK di Bandung biasa disebut dengan sekolah Raja. Murid pertama berjumlah 27 orang, antara lain adalah murid pindahan dari HIK Surakarta. Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar menggunakan bahasa Melayu, kemudian tahun 1865 diajarkan bahasa Belanda dan sejak 1871 bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar. Dengan adanya HIK di Bandung, pendidikan pribumi di Priangan dapat berkembang dengan pesat dikarenakan adanya tenaga guru pengajar baik di sekolah pemerintahan maupun di sekolah swasta seperti HIS.33

STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) lebih dikenal dengan sebutan sekolah dokter Jawa. STOVIA dibuka pada 1851 dengan jumlah murid 13 orang, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.34 Pendidikan dokter sudah dimulai sejak awal abad 19 pada 1811 ketika maraknya penyakikt cacar yang menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat pribumi, akhirnya beberapa orang dilantik oleh para penilik vaksin untuk menjadi juru cacar. Menjelang pertengahan abad 19 lembaga tersebut dilakukan secara reguler berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 Januari 1849 didirikanlah sekolah ahli kesehatan, untuk membantu rumah sakit militer di Batavia yang dikenal dengan nama STOVIA. Pendidikan juru cacar yang hanya satu tahun diperpanjang menjadi 2 tahun pendidikan dan bukan hanya cacar saja tetapi ditambahkan beberapa mata pelajaran tentang penggantinya Snouck Hurgronje dimana keduanya fokus pada pembentukan Muslim yang terkolonisasi. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia,(Jakarta: Mizan, 2012). H 161-165

33 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h. 238-239.

34

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.

kesehatan agar lulusannya paham tentang penyakit dan kesehatan lainnya sehingga dapat melakukan operasi ringan dan merawat pasien. Setelah 2 tahun masa pendidikan para siswa diuji oleh beberapa dokter dan apoteker militer, jika lulus mereka mendapat gelar dokter Jawa. Tahun 1864 masa belajar di STOVIA diperpanjang menjadi 5-6 tahun, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Diberikan pula pelajaran bahasa Belanda selama 2-3 tahun bagi murid-murid yang bukan berasal dari sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Tahun 1875 gelar dokter Jawa diubah menjadi Indlandsche geneeskunde atau ahli kesehatan pribumi. 35

Akhir abad 19 dan awal abad 20, penguasa perkebunan di Sumatra Utara membutuhkan tenaga medis yang terbilang murah karena tenaga medis dari Eropa sukar untuk dijangkau. Adanya STOVIA dengan mendidik pribumi mengenai ilmu kesehatan merupakan jalan keluar dari permasalah itu. Dibawah pimpinan K.F. Roll dan Departemen Pendidikan yang mendukung program pendidikan kedokteran, melakukan upaya peningkatan kinerja STOVIA dengan lama belajar menjadi 6 tahun, 3 tahun tingkat persiapan bagi sebagian besar mahasiswa. Kedudukan dokter sangat dijunjung tinggi di tengah masyarakt pribumi, maka dari itu dilakukan berbagai macam upaya untuk menarik minat para pelajar. Tahun 1891 telah diputuskan mengizinkan semua pemuda yang berminat pada pendidikan dokter dapat mendaftar dan mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut biaya dengan perjanjian yang ditandatangani orang tua bahwasanya anak mereka setelah lulus akan bekerja pada pemerintah selama beberapa tahun. Gaji

35

Sekolah dokter Jawa berubah pada 1902 menjadi STOVIA. Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204.

dokter sangat rendah dibandingkan dengan praktik swasta yang sangat tinggi. Tahun 1904 daya tarik ditambah dengan memberikan gaji f150 sebulan bagi mahasiswa yang berprestasi. Reorganisasi STOVIA dilakukan pada 1900-1902, untuk masuk STOVIA di tetepkan lulusan sekolah Belanda dan memiliki kemampuan pengantar bahasa Belanda sebagai syarat masuk, hal ini memberi peluang mendapatkan pendidikan lanjut untuk masuk ke sekolah dokter di negri Belanda. STOVIA ditingkatakan menjadi perguruan tinggi kedokteran

Geneskundige Hoge School (GHS) pada 192736.

Pemerintah juga mendirikan Sekolah untuk pribumi, bukan dari golongan bangsawan, dikalangan Belanda beranggapan perlu pengembangan pendidikan yang bercorak barat bagi masayarakat pribumi dengan tujuan untuk keperluan perluasan birokrasi dan jaringan admininstrasi pemerintah kolonial, sesuai dengan pendapat van der Prijs untuk membentengi “Volkano Islam”.37

Pada perkembangan awal abad ke 20 Gubernur Van Heutz di bawah kepemimpinannya sistem pendidikan diperluas sampai ke desa-desa untuk orang-orang biasa dan penduduk desa, disebut dengan volksschool atau desaschool dengan lama belajar tiga tahun, itupun di bangun dengan sangat sederhana dan tidak dibiayai oleh pemerintah, dari ide kecil ini penduduk pribumi dapat menerima pelajaran membaca, menulis, berhitung dan menggambar.38 Dapat dilihat bahwasanya

36Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 204. Lihat juga Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 247.

37

Nina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V. h. 241-243.

38I.J Brugmans “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J Brugman (ed), Politik Etis dan Revolusi kemerdekaanI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 181.

pemerintah sangatlah pilih kasih dalam menangani pendidikan pribumi. Jika sudah pandai siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya yaitu sekolah sambungan atau vervolgschool dengan masa belajar 2 tahun. Sistem ini menggantikan kedudukan sekolah kelas dua sebagai lembaga pendidikan yanng penting untuk masyarakat pribumi. Sedangkan, Sekolah-sekolah Pribumi Kelas

Dua (Tweede Klasse School) bermetamorfosis menjadi apa yang disebut

Standaardscholen (sekolah-sekolah standar) pada tahun 1908. Sekolah-sekolah ini

diperuntukkan bagi kalangan keluarga pedagang atau para petani di desa.39

Abad 20 Sekolah kelas satu berkembang menjadi HIS (Hollandsch

Indlandsch School). Sekolah ini dibuka bukan karena pemerintah melainkan

desakan masyarakat yang merasa bahwa sekolah kelas satu tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Budi Utomo mendesak pemerintah untuk mendirikan sekolah bercorak baru. Karena diskriminasi ras juga sangat dirsasakan pada klasifikasi sekolah. Pemerintah membuka sekolah sekolah pada tingkatan dasar berdasarkan ras keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak Eropa, Hollandsh Chinese School dikhususkan untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur40. Masyarakat juga meminta agar kesempatan untuk masuk ke sekolah Belanda diperluas agar mereka dapat mengikuti ujian pegawai rendah (klein ambtenaar). Pemerintah pun mengubah peraturan masuk sekolah Belanda pada 1911. HIS dibuka sebagai

39

Yudi Latif, h. 103.

40

penjelmaan sekolah kelas satu pada 1914 dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan lama belajar 7 tahun.41

Siswa yang berbakat dapat melanjutkan sekolah ke MULO (Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu sekolah lanjutan pertama. Setelah lulus dapat

melanjutkan ke sekolah menengah selanjutnya yaitu AMS (Algemeene

Middlebare School). Tahun 1920 jika siswa dapat lulus dengan peringkat yang

baik mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Selain MULO dan AMS ada juga HBS (Hogere Burgerschool).

Pada perguruan tinggi pemerintah mendirikan MLS (Middlebare

Landbrouw School). THS (Technise Hoge School) untuk memunjang kebutuhan

insiyur dan orangorang yang ahli dalam bidang tekhnologi khususnya tekhnologi pengairan guna menunang industri gula di Jawa yang dirasakan kebutuhannya setelah tahun 1920, sekolah ini merupakan pendidikan tinggi di Hindia Belanda yang memenuhi syarat sebagai perguruan tinggi, perguruan tinggi ini menerima lulusan AMS dan HBS dengan lama belajar 5 tahun. Ada juga RHS

(Rechtskundige Hoge School) perguruan tinggi yang fokus pada bidang hukum,

ekonomi dan ilmu ilmu social didirikan pada 1924 dengan lama belajar 5 tahun, sebelumnya sudah ada sekolah Rechtschool (sekolah hakim) didirikan di Batavia pada 1909, terdiri menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan dan bagian pendidikan kejuruan dengan lama belajar masing masaing 3 tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.Tahun 1913 di Surabaya

41 Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, h. 241.

dibuka pula sekolah semacam STOVIA dengan nama Nederlansche Indische

Artsen School (NIAS)42

Sekolah yang didirkan pemerintah semakin banyak menarik perhatian masayarakat pribumi. Sekolah dianggap sebagai alat untuk dapat memasuki lingkungan hidup baru atau hidup kerpiyaian, hidup sebagai menak bagi masyarakat golongan bawah, dan legitimasi bagi masyarakat atas. Namun meskipun sudah banyak yang mencicipi bangku sekolah pada 1930 menurut sensus mengatakan masyarakat pribumi masih banyak yang buta huruf , hanya 6,44% masyarakat pribumi yang dapat membaca.43

C. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Terhadap Masyarakat

Dokumen terkait