• Tidak ada hasil yang ditemukan

19 BAB II

KONDISI MASYARAKAT DAN PENDIDIKAN DI HINDIA BELANDA 1890-1930

A. Keadaan Masyarakat di Hindia Belanda Masa Kolonial

Nusantara negeri bak surga yang tumbuh subur dengan keaneka ragaman sumber daya alam dan budaya, negeri yang dilirik oleh para pedagang Eropa dengan hasil buminya yang mahal, rempah-rempah. Harta karun yang diperebutkan bangsa Eropa untuk menghasilkan pundi pundi uang, dari mulai Spanyol, Portugis, Belanda. Bukan hanya sekedar memperebututkan komoditi rempah tersebut, negara-negara Eropa ini membawa missi yang sangat penting, yaitu misi kristenisasi.

VOC ( Vereniging oost Indische Compagnie) sebuah persahaan dagang Belanda datang ke Hindia Belanda tahun 16021 dengan tujuan berdagang, hingga akhirnya dapat menancapkan kakinya ditanah Hindia, VOC pun mulai mengegrogoti dan ingin menguasai sumber daya alam yang ada karena awal kedatangannya kapal dagang VOC memang dengan motif hegemoni rempah dan perdagangan di tanah Hindia, namun berubah haluan pada penghujung abad ke-19. Setelah berhasil mempertahankan hegemoni politiknya selama satu abad lambat laun ekspansi ekonomi Belanda berubah haluan menjadi ekspansi kolonial. Seiring dengan kemerosotan VOC yang diakibatkan faktor internal yang terjadi

1

R.Z. Leirissa, ”Verenigde Oost Indische Comagnie (VOC)”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h 21.

VOC didirikan pada 20 Maret 1602 di Amsterdam, pembentukan VOC pada mulanya dimaksdukan untuk menghilangkan persaingan antara para pengusaha Belanda dan memperkuat diri untuk bersaing dengan perusahaan dagang Negara lain, seperti Inggris dan Portugis.

pada tahun 1795 dikarenakan izin oktroinya ditiadakan, hingga pada 1798 VOC dibubarkan karena banyak kasus yang didapat dalam pengelolaan pembukuan yang curang, pegawai yang korup dan hutang besar, sehingga VOC mendapat kerugian sebesar 134,7 juta gulden.2 Sedangkan faktor eksternal disebabkan persaingan dagang dengan negara kolonial Inggris dan kondisi eksternal negeri Belanda yang berada di bawah ekspansi kolonial Prancis telah mengantarkan perubahan yang cukup signifikan, sehingga pada akhirnya Napoleon berhasil menguasai Belanda sepenuhnya, kompeni yang dibungkus dalam VOC akhirnya menemukan ajalnya.3 Sehingga secara resmi pemerintah Indonesia di bawah naungan VOC pindah ke tangan pemerintah Belanda.

Selama masa pemerintahan Belanda, pemerintah membuat sistem pelapisan stratifikasi sosial masayarakat Hindia Belanda. Sistem pelapisan sosial ini secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan penjajah atau penguasa dan golongan terjajah atau rakyat. Penggolongan ini berdampak pada hak dan kewajiban masing masing golongan masyarakat kolonial yang bersifat diskriminatif. Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang Timur asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang

2

Marwati Djonoed Pusponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.1.

3

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 294.

pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota, melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.

Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat yang dibagi oleh Pemerintah Kolonial dibedakan menjadi 3 golongan4 yaitu:

a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas: 1. Orang-orang Belanda dan keturunannya.

2. Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lain-lain.

3. Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.

b. Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India, Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.

c. Golongan Pribumi yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut inlander.5

Kebanyakan masyarakat Eropa tinggal di perkotaan, pusat perkotaan bukan hanya menjadi tempat berdagang namun sekaligus menjadi tempat berkumpulnya orang-orang Eropa. Kalangan orang Eropa yang berpendidikan dan orang eropa golongan menengah membawa kebudayaan Barat, mereka membentuk suatu

4

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No 2/1989I, (Jakarta : INIS, 2004) h.25.

5

Robert Van Niel, Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).h. 15-43.

dunia Barat di tengah tengah masyarakat perkotaan di daerah Jawa. Sekitar tahun 1900, wanita-wanita Eropa berdatangan ke tanah Hindia, sejak itu jumlah masyarakat Eropa bertambah secara signifikan. Kurang lebih ada sekitar 70.000 orang Eropa di Jawa, bisa dikatakan hanya seperempat saja Eropa totok yang lahir di Eropa dan datang ke Jawa. Yang seperempat itu kebanyakan terdiri dari para pedagang dan pengusaha, sebagian besar wakil-wakil dari urusan keuangan dan kebanyakan pegawai sipil Eropa. Beberapa orang Eropa juga ada yang melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga ia banyak beranak pinak dan memiliki banyak keturunan. Kaum Indo, sebutan untuk anak keturunan campuran Indo-Europeanen banyak mengalami tekanan dan hidupnya terombang ambing. Orang-orang Eropa totok banyak yang merendahkan orang Indo, meskipun orang Indo dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama apabila ayahnya mengakuinya sebagai orang Eropa, sehingga mereka menjadi bagian masyarakat Hindia Belanda.6

Pada tahun 1900 golongan Timur asing yang terdiri dari orang Cina dan Arab tinggal di Hindia sebagai pedagang, Orang Cina merupakan kelompok terbesar di luar masyarakat Hindia Belanda di Jawa, jumlah mereka kira-kira 280.000. Menjelang tahun 1900 sebagian besar orang Cina sudah beranak pinak dan memiliki banyak keturunan di Jawa, namun mereka tetap memegang teguh kebudayaan asal Negeri mereka meskipun sudah lama tinggal di Hindia Belanda. Kebanyakan orang Cina datang untuk berdagang dan menempatakan diri dengan

6

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h.15-28.

sifat tegas, semangat dan penuh energi hingga mereka dapat secara luas menguasai kedudukan sebagai perantara dalam struktur ekonomi Hindia Belanda.7

Sedangkan orang Arab sebagaimana dipanggil di Jawa bukan hanya mereka yang berasal dari negeri Arab, sebutan itu digunkan untuk orang orang perantau dari Timur dekat maupun Timur Tengah termasuk juga India Muslim. Tahun 1900-an perkiraan masyaraat Arab di Hindia Belanda berkisar 18.000 orang, kebanyakan mereka adalah pedagang kecil, saudagar, dan rentenir uang hampir serupa dengan orang Cina.8

Sedangkan dikalangan masyarakat pribumi, terdapat pula stratifikasi social di kalangan pribumi seperti di daerah Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa dan Sunda membuat stratifikasi social berdasarkan tingkatan masyarakat umum dikenal adanya beberapa lapisan berdasarkan status sosialnya, yaitu lapisan bawah, menengah dan atas. Lapisan bawah ialah yang umum disebut rakyat jelata dan merupakan masa yang terbesar dan hidup melarat. Terdapat di desa-desa sebagai petani dan buruh perkebunan, di kota-kota sebagai buruh kecil, tukang-tukang dan sebagainya. Lapisan menengah meliputi para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya dan pegawai pemerintahan. Adapun lapisan atas terdiri dari keturunan bangsawan dan kerabat raja yang memerintah daerah tersebut dan umumnya mereka terbagi lagi dalam berbagai tingkatan dan gelar yang berbeda sesuai dengan tingkat hubungan mereka dengan raja. Bisa dikatakan sifatnya yang turun temurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke 19. Karena itu

7

Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia , Ny. Zahara Deliar Noer (terj)(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 30.

8

mereka biasa disebut elit atau Priayi9 di Jawa dan menak10 di Sunda, yang disebut elite adalah sesuatu kelompok yang berpengaruh dalam suatu lingkungan masyarakat. Biasanya mereka dijadikan Admininstratur, pegawai pemerintah oleh pemerintah Belanda. Secara teknis kaum ningrat merupakan kelompok terpisah, namun masyarakat pribumi dengan sendirinya memasukan kaum ningrat ke dalam golongan priayi.11 Sedangkan masyarakat muslim pada masa itu dipandang sama dengan pribumi atau rakyat biasa (indigenousness).12

Dari stratifikisai sosisal inilah dapat dilihat bagaimana pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk masyarakat di tanah jajahannya. Pemerintah Belanda menyadari bahwa untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda, mereka berusaha memahami dan mengerti tentang seluk beluk penduduk pribumi yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa agama penduduk yang dijajahnya itu mayoritas beragama Islam sehingga mereka sangat berhati-hati dalam mengabil kebijakan.

Kedatangan bangsa Barat disatu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak secara menyeluruh dirasakan oleh

9

Istilah ini pertama kali dipakai oleh Clifford Geertz dalam kajiannya The Religion of Java diterjemahkan ke dalam Agama Jawa, yang membedakan masyarakat Muslim Jawa atas tiga kategori Priayi (pejabat pemerintah), Santri ( muslim yang menjalankan agama, pedagang), dan abangan ( masayarakat yang tinggal di pedesaan). Dalam Robert Van Niel, h. 31 dijelaskan pula maksud Priayi. Priayi adalah kelompok yang disebut elit, bagi masyarakat Indonesia berarti siapa saja yang berdiri diatas rakyat Jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat Indonesia.

10

Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998). h. 2. Beliau mengutip C. Van Vollenhoven yang menjelaskan sebutan menak yang digunakan dalam tradisi Jawa di daerah Sunda dipergunakan untuk menyebut semua orang yang sangat di hormati baik para bangsawan maupun pejabat tinggi.

11

Robert Van Niel, h. 31-32

12

Alwi Sihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhamadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 69.

masyarakat pribumi. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan hasil jajahannya, begitu pula dengan pendidikan.13 Pemerintah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih efektif, namun hanya sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu disegala bidang. Pendidikan yang didapat para calon pegawai Hindia tidak serta merta diberi pendidikan yang sangat luas, mereka dididik agar dapat mandiri dan memiliki daya tangkap sebagaimana yang diperlukan.14

B. Pendidikan Masyarakat di Hindia Belanda

Kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar- besarnya, dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya, sementara di lain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu, Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan kaum penjajah yang lain, seperti Inggris dan Jepang. Belanda benar-benar sangat lambat dari negara-negara Kolonial lainnya. Inggris meskipun mereka sebagai kolonialis, mereka tidak mengesampingkan kemajuan pribumi terutama di bidang pendidikannya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa negara bekas jajahan Inggris seperti Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya. Sekarang semua negara tersebut masuk ke dalam kategori negara maju.

13

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintasan Sejarah, Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:Diterbitkan Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan dan PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet ke 2, h. 47-48

14

E. Gobee dan C Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV (Jakarta : Indonesian Netherlands Coorperation in Isalamic Stuidie (INIS), 1991). h. 477-479.

Tahun 1819 Gubernur van de Capelen mengeluarkan surat edaran yang menyatakan secepat mungkin untuk meratakan kemampuan membaca dan menulis masyarakat pribumi agar lebih mudah dalam menaati undang-undang dan hukum negara.15 Maksud dari surat instruksi tersebut adalah perlunya didirikan Sekolah Dasar (SD) pada zaman itu. Sebab pendidikan Islam yang ada di Surau, Masjid, langgar dan Pondok Pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Hindia Belanda.

Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah Westernisasi dan Kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.16 Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya untuk mendapatkan ternaga terdidik dengan upah yang minim, karena apabila mendatangkan langsung tenaga terdidik atau pegawai administrasi pemerintah dan pekerja bawahan dari Belanda pastilah dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sangat lah dibutuhkan seorang pribumi yang terdidik, alasan ini digunakan oleh Van den Bosch yang merasa sangat membutuhkan tenaga pribumi untuk memajukan perkembangan ekonomi di Hindia Belanda. Dibukalah pendidikan untuk golongan pribumi dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata yang

15

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.1.

16

Zuhairini, dkk, Sejarah Pedidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1986), h. 145.

menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan).17

Kebijakan politik ini berkonsentrasi pada modernisasi masyarakat Hindia Belanda dan membebaskan dari kekuasaan Kolonial. Adalah C.Th. Van Deventer yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld (Suatu hutang kehormatan), di dalam jurnal Belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang sudah di peras dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda didalam kebijakan kolonial. 18

Ide ide politik etis antara lain adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan. Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masayarakat pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.19

Pendidikan dan emansipasi masyarakat Hindia Belanda secara berangsur-angsur itulah inti dari Politik Etis. Pendidikan masyarakat Hindia Belanda harus di arahkan dari ketidak matangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri.

17

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35

18

M.C Ricklefs, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h.328.

19

Bersainglah dua aliran dalam lingkaran Kolonial. Aliran pertama menyukai pendidikan dalam bahasa Belanda untuk elite pribumi, menurut mereka cara ini akan memperkuat komitmen para elite pada kebudayaan Barat dan dapat menghasilkan pemimpin pribumi yang dapat bekerjasama dengan para tuan Belanda pada era Etis baru. Usaha Westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, kalangan pribumi dengan orang Belanda, yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul asimlasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Profeor C. Snouck Hurgronje merupakan tokoh dominan aliran ini.20 dan direktur pendidikan politik Etis yang pertama yaitu J.H. Abendanon (1900-1905). Dalam pandangan keduanya, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elit pribumi yang setia dan kooperatif, yang para anggotanya memiliki kesanggupan untuk menangani pekerjaan pemerintahan sipil Belanda. Lebih dari itu, pilihan ini juga bisa memangkas biaya-biaya administratif, menghambat ‘fanatisme’ Islam, dan pada akhirnya menciptakan contoh yang bisa memberi inspirasi bagi kalangan-kalangan terbawah dari masyarakat Hindia21 Seperti yang digambarkan oleh Robert Van Niel, Niel menyebutkan bahwa Snouck Hurgronje banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada

20

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 451-452.

21

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102

golongan elit pribumi.22 Sedangkan aliran pemikiran lainnya lebih menyukai pendidikan dasar yang menggunakan bahasa pribumi bagi masyarakat pribumi dan lebih menekankan pada kesejahteraan langsung. Disisi ini ada Gubernur Jendral J.B van Heutsz dan A.W.F. Idenburg yang mendukung pendidikan yang lebih dasar dan praktis yang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang lebih luas sehingga bisa memberikan sumbangan bagi keberhasilan Politik Etis.23

Dalam penerapannya pemerintah membuat sruktur pendidikan dan sistem yang masih mengikuti konsep stratifikasi Kolonial berdasarkan penduduk tanah jajahan, dimana stratifikasi ini mengenal jenjang tinggi-rendah pembagian warga masyarakat, dari yang paling atas terdiri dari penduduk Eropa, disusul Timur Asing (teruama Arab dan China), arsitokrat pribumi lebih dikenal dengan priayi dan rakyat umum atau pribumi24.

Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidkan untuk pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masayarakat pribumi. Anak rakyat umum pribumi dari kalangan bawah lebih memilih untuk menempa ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren sedang kan untuk para anak pejabat dan bangsawan lebih memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda seperti yang dilakukan oleh beberapa bupati seperti bupati Serang, bupati Sumedang, bupati Galuh, dimana mereka melangsungkan proses belajar mengajar di

22

Niel. h. 60.

23

Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, Geneologi Intelegensia muslim Indonesia abad ke 20,(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 102

24

pendopo.25pelajaran yang diajarkan antara lain menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab), berhitung. Guru yang mengajar mendapat honor tinggi dari bupati, hal ini merupakan suatu perubahan dalam kemajuan pendidikan pribumi.

Untuk mengatur pendidikan bagi pribumi, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1893 Nomor 12526 yang menetapkan pembagian sekolah pribumi menjadi sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kels dua27. Atas kebijakan ini lah kondisi pendidikan masyarakat pribumi masa kolonial semakin memprihatikan karena adanya diskriminasi sosial yang terlihat pada pendidikan masyarakat pribumi, terlihat pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah untuk rakyat biasa dan kaum bangsawan, pemerintah Belanda mendirikan sekolah kelas satu (de

Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak tokoh terkemuka dan orang-orang

pribumi yang terhormat, sedangkan sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de

Tweede Klasse) 28 didirikan untuk rakyat pribumi.

Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur tanah ditempuh dalam masa belajar 5 tahun dengan guru sekolah lulusan Kweekschool. Bahasa pengantar yang digunakan adalah

25Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h.237. lihat juga Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.208

26

Lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie no 129 tahun 1893.

27Sugijanto Padmo (alm), “Perkembangan Sosial Ekonomi Pribumi”., h. 202.

28

Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), h 280.

bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas dua yang diperuntukan bagi anak rakyat biasa, sekolah ini hanya untuk memenuhi syarat kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan lama belajar 3 tahun. Mata pelajaran yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak ada kualifikasi khusus guru yang mengajar seperti sekolah kelas satu.

Beberapa sekolah yang didirikan Belanda untuk kepentingan kepegawaian pemerintah antara lain Hoofdenschool, Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool)

sekolah Kristen di Batutulis, Batavia, Sekolah Pendidikan calon Guru ( Hollandsh

Indlandsche Kweekschool / HIK), STOVIA ( Scool tot Opleiding voor

Indlandsche Arsten) atau lebih dikenal dengan sekolah dokter Jawa29.

Hoofdenschool adalah sekolah untuk calon pegawai pemerintah, sekolah

yang didirkan untuk kaum bangsawan dan anak-anak raja, bupati dan tokoh terkemuka. Didirikan pada 1878 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini disebut juga dengan Sakola Menak (bangsawan). Awal mula murid

Hoofdenschool hanya 44 orang bangsawan terkemuka, mata pelajaran yang

diajarkan antara lain membaca, berhitung. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda dimana pada awal tahun ajaran pertama murid hanya sebagai “murid pendengar”. Tahun 1882 Hoofdenschool merubah arah tujuan pendidikannya, sekolah ini menjadi sekolah menengah yang mencetak lulusan murid terdidik sebagai calon pegawai pemerintah sesuai keinginan pemerintah, karena

29Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238-240

pemerintah merasa masih membutuhkan tenaga pegawai pribumi yang terdidik dan berkualitas. Jumlah murid semakin bertambah pada tahun 1890 dan akhirnya berdasarkan keputusan Gubernur Jendral nomor 11 tanggal 19 agustus 1899

Hoofdenschool berubah menjadi OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche

Ambtenaren) Sekolah Pendidikan Untuk Pejabat Pribumi.30 Sekolah untuk para

pejabat pribumi yang menghasilkan pegawai pemerintahan dalam negri

(Binnelands Bestuur). Tidak ada diskriminasi lagi dalam penerimaaan murid pada

sekolah menengah ini, sekolah ini dibuka untuk umum bukan hanya untuk para anak bangsawan dan raja-raja.

Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) adalah sekolah pendidikan

calon guru.31 Maksud didirikanya sekolah ini adalah sebagai persiapan pembangunan sekolah untuk pribumi. Tahun 1834 sekolah ini pertama kali dibuka atas usaaha yang dilakukan swasta di Ambon, sedang di pualu Jawa, HIK pertama kali dibuka pada 1852 oleh pemerintah di Surakarta. Setelah pembukaannya di Surakarta pada 1866, HIK Surakarta memiliki peningkatan jumlah murid hingga tidak dapat di tampung lagi. Atas dasar itu K.F. Holle32 pada pertengahan 1866

30

M.C Ricklefs, Sejarah Asia Tenggara dai Masa Prasejarah sampai Kontemporer, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013). h. 452.

31Nina Herlina Lubis, “Pendidikan, Mobilitas Sosial dan Munculnya elit Modern”, dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian (alm) (eds), Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid V., (Jakarta: PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve), h.238

32

K.F Holle tiba di Hindia Belanda pada umur 14 tahun dan menetap di daerah Priangan dekat Buitenzorg (Bogor), memulai kariranya sebagai seorang juru tulis di sebuah kantor pemerintah pada 1846. Ia brhubungan dekat dengan beberapa menak salah satu hubungan karibnya ia jalin dengan Raden Haji Moehammad Moesa (1822-1886) yang merupakan kepala penghulu Garut, ia menikahi mojang priyangan seperti kebanyakan orang Belanda. pada 1871 ia menjabat

Dokumen terkait