• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pengelola dalam Pelestarian Budaya di Daerah Tujuan Wisata Desa Lingga Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Pengelola dalam Pelestarian Budaya di Daerah Tujuan Wisata Desa Lingga Kabupaten Karo"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PENGELOLA DALAM PELESTARIAN BUDAYA DI

DAERAH TUJUAN WISATA DESA LINGGA KABUPATEN

KARO

KERTAS KARYA

OLEH

DIAN GUNAWAN

102204032

PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Kertas Karya

: PERANAN

PENGELOLA DALAM

PELESTARIAN BUDAYA DI DAERAH

TUJUAN WISATA DESA LINGGA

KABUPATEN KARO

Oleh

: DIAN GUNAWAN

NIM

: 102204032

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan,

NIP. 19511013 197603 1 001

Dr. Syahron Lubis, M.A

PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA

Ketua,

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

PERAN PENGELOLA DALAM PELESTARIAN BUDAYA DI

DAERAH TUJUAN WISATA DESA LINGGA KABUPATEN

KARO

OLEH

DIAN GUNAWAN

102204032

Dosen Pembimbing,

Dosen Pembaca,

Drs. Marzaimi Manday, MSPD

(4)

ABSTRAK

Kebudayaan asing yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata yang dibawa oleh para wisatawan terkadang tanpa disadari lama-kelamaan akan mulai diadopsi oleh masyarakat lokal terutama pada generasi muda karena dianggap lebih modern tanpa adanya sikap selektif terhadap setiap kebudayaan asing yang masuk dilingkungan masyarakat. Hal ini akan berpengaruh terhadap eksistensi dan kelestarian budaya yang ada pada masyarakat di daerah objek wisata.

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan terjadinya pergeseran nilai budaya yang ada pada masyarakat daerah tujuan wisata yang diakibatkan oleh pengaruh budaya asing yang datang, maka perlu adanya upaya yang serius dalam membendung pengaruh budaya asing sehingga keaslian dari dari nilai budaya masyarakat daerah tujuan wisata bisa tetap terjaga.

Salah satu pihak yang memiliki kewajiban dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan pada masyarakat daerah tujuan wisata adalah pihak pengelola wisata. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara selalu menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada setiap atraksi wisata yang ditawarkan pada wisatawan serta memberikan wawasan kepada masyarakat agar selektif dalam menerima setiap kebudayaan asing yang datang dari luar.

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama, dengan segala kerendahan hati penulis bersujud atas ke hadirat Allah SWT atas berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya ini, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, namun karena limpahan karunia-Nya sehingga menambah keyakinan dan kekuatan penulis dalam mengikuti perjalanan panjang dalam penyelesaian studi ini.

Adapun judul Kertas Karya ini adalah “Peran Pengelola Dalam Pelestarian Budaya di Daerah Tujuan Wisata Desa Lingga Kabupaten Karo” yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Ahlimadya Diploma-III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini ada banyak pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik berupa dorongan moril, materil, masukan dan saran, sehingga penulisan dapat diselesaikan dengan baik.

Atas segala bantuan yang diberikan, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Bapak Drs. Marzaini Manday, MSPD, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi kertas karya ini.

4. Bapak Drs. Ridwan Azhar, M. Hum., selaku dosen pembaca yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membaca serta mengoreksi kertas karya ini.

5. Bapak Solahuddin Nasution, SE, M.S.P., selaku Koordinator Praktek Bidang Keahlian Usaha Wisata yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis.

6. Seluruh dosen program studi Diploma III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan, dan para staff pegawai Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Teman- teman Mahasiswa Diploma III Pariwisata Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

8. Teman-teman Gemapala Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

9. Sahabat dan kerabat dekat : Indra (Pak In), Berlindo (Chi), Said, Radzi, Arif (The Gel), Fadli (Si Lek), Bayu (Beye), Imam, Dedek, Arde, Ratih.

10.Riza Asdinda Putri Siregar

(7)

memberikan kasih sayang serta bimbinganya, kepada penulis. Terimakasih atas segala dukungan yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan kertas karya ini, baik ditinjau dari segi pengalaman, penyusunan, materi maupun teknik penulisan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan kertas karya ini.

Demikianlah harapan penulis dan semoga kertas karya ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...v

BAB I : PENDAHULUAN...1

1.1Alasan Pemilihan Judul...1

1.2Batasan Masalah...3

1.3Tujuan Penulisan...3

1.4Metode Penelitian...4

1.5Sistematika Penulisan...4

BAB II : URAIAN TEORITIS 2.1 Kepariwisataan...6

2.1.1 Sejarah Pariwisata...6

2.1.2 Desfenisi Pariwisata...8

2.1.3 Defenisi Wisatawan...10

2.1.4 Sumber Daya Pariwisata...12

2.1.5 Objek dan Daya Tarik Pariwisata...17

2.1.6 Pengelolaan Objek Wisata...22

2.2 Kebudayaan...24

2.2.1 Defenisi Kebudayaan...24

2.2.2 Budaya Sebagai Objek Wisata...28

2.2.3 Wisata Budaya dan Perubahan Nilai...30

2.2.4 Upaya Pelestarian Budaya...31

BAB III : OBJEK WISATA DESA LINNGA 3.1 Sejarah Desa Lingga...33

3.2 Letak Geografis, Keadaan Lingkungan Alam dan Masyarakat...34

3.3 Peninggalan Sejarah dan Budaya Desa Lingga...35

3.4 Desa Lingga Sebagai Desa Wisata...40

BAB IV : PERAN PENGELOLA DALAM PELESTARIAN BUDAYA DI DAERAH TUJUAN WISATA DESA LINGGA KABUPATEN KARO 4.1 Perencanaan dan Pengelolaan Wisata Budaya...43

4.2 Pengelolaan Objek Wisata Budaya Desa Lingga...44

(9)

5.1 Kesimpulan...49 5.2 Saran...50 DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAK

Kebudayaan asing yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata yang dibawa oleh para wisatawan terkadang tanpa disadari lama-kelamaan akan mulai diadopsi oleh masyarakat lokal terutama pada generasi muda karena dianggap lebih modern tanpa adanya sikap selektif terhadap setiap kebudayaan asing yang masuk dilingkungan masyarakat. Hal ini akan berpengaruh terhadap eksistensi dan kelestarian budaya yang ada pada masyarakat di daerah objek wisata.

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan terjadinya pergeseran nilai budaya yang ada pada masyarakat daerah tujuan wisata yang diakibatkan oleh pengaruh budaya asing yang datang, maka perlu adanya upaya yang serius dalam membendung pengaruh budaya asing sehingga keaslian dari dari nilai budaya masyarakat daerah tujuan wisata bisa tetap terjaga.

Salah satu pihak yang memiliki kewajiban dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan pada masyarakat daerah tujuan wisata adalah pihak pengelola wisata. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara selalu menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada setiap atraksi wisata yang ditawarkan pada wisatawan serta memberikan wawasan kepada masyarakat agar selektif dalam menerima setiap kebudayaan asing yang datang dari luar.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Alasan Pemilihan Judul

Era globalisasi yang ditandai dengan pola pikir modern serta diiringi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat menjadikan masyarakat di berbagai belahan dunia terutama di negara maju dan berkembang secara perlahan tanpa disadari mulai meninggalkan kebiasaan atau tradisi-tradisi budaya yang mekipun masih memiliki peran penting dalam pembangunan karakter suatu bangsa namun dianggap kuno dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi akibat adanya mobilitas secara besar-besaran yang dilakukan masyarakat dunia sehingga berdampak terhadap terjadinya proses interaksi antar kebudayaan dengan kebudayaan lainya.

Pengaruh budaya asing yang berbalut modernitas yang masuk ke Indonesia baik melalui media informasi dan komunikasi maupun yang didapat dari hasil interaksi lansung antar individu ataupun kelompok masyarakat Indonesia dengan masyarakan bangsa lain menjadikan masyarakat Indonesia terutama generasi muda semakin meninggalkan warisan budaya leluhur yang merupakan karakter dan identitas bangsa.

(12)

Kenyataan ini menyadarkan kita akan pentingnya sikap kritis pada setiap masyarakat terhadap pengaruh budaya asing terutama yang tidak sesuai dengan tatanan kehidupan bermasyarakat bangsa kita agar tidak menimbulkan hal yang buruk serta tetap bisa mempertahankan tradisi-tradisi budaya yang memiliki nilai luhur.

Perlu disadari juga, kekayaan budaya bangsa kita memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa dan masyarakat. Selain itu, keunikan tradisi dan budaya dari bermacam suku merupakan suatu potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan industry pariwisata di Indonesia yang mampu mendatangkan devisa bagi Negara dari hasil kunjungan wisatawan asing. Dengan pengembangan industry pariwisata yang berbasis budaya dan lingkungan Negara tidak hanya diuntungkan dari segi ekonomi namun juga dalam hal ini menjadikan masyarakat semakin mengenali dan mencintai budaya bangsa sendiri serta kelestarian budaya pun akan terus terjaga.

Berhubungan dengan itu, dalam hal ini penulis mengangkat “Peran Pengelola Dalam Pelestarian Budaya di Daerah Tujuan Wisata Desa Lingga Kabupaten Karo” sebagai judul kertas karya.

1.2Batasan Masalah

Dalam hal ini, agar penulisan yang dilakukan tetap fokus pada pokok permasalahan serta tetap sistematis, maka penulis memfokuskan pembahasan pada:

(13)

4. Peran pengelola dalam pelestarian budaya di daerah tujuan wisata de Lingga kabupaten Karo

1.3Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan kertas karya ini adalah:

1. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 2. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai hubungan budaya dan

industry pariwisata.

3. Untuk melengkapi kajian ilmiah terhadap peran industry pariwisata dalam pelestarian budaya lokal.

4. Untuk bahan bandingan bagi para peneliti kebudayaan khususnya yang menyangkut tentang budaya daerah di Sumatera Utara.

1.4Metode Penelitian

Untuk memudahakan penulisan, metode penelitian yang digunakan antara lain:

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data dan informasi dengan membaca buku-buku perkuliahan dan bahan yang ada berkaitan dengan kepariwisataan, serta yang berhungan dengan masalah yang dibahas.

2. Penelitian Lapangan

(14)

1.5Sistematika Penulisan

Seitematika penulisan dan penyusunan kertas karya ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang alasan pemilihan judul, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: UTAIAN TEORITIS

Bab ini menguraikan sejarah pariwisata, definisi pariwisata, wisatawan, sumber daya pariwisata, objek wisata dan daya tarik wisata, pengelolaan pariwisata. Serta mengenai kebudayaan dan pariwisata.

BAB III: PARIWISATA DESA LINGGA

Bab ini menguraikan tendang desa Lingga dan pariwisata desa Lingga. BAB IV: PERAN PENGELOLA DALAM PELESTARIAN

BUDAYA DI DAERAH TUJUAN WISATA DESA LINGGA KABUPATEN KARO

Bab ini menjelaskan peranan serta upaya pengelola objek wisata desa Lingga dalam pelestarian budaya di desa Lingga

BAB V: PENUTUP

(15)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kepariwisataan

2.1.1 Sejarah Pariwisata

Pariwisata sebagai suatu aktifitas perjalanan sesungguhnya sudah dilakukan sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, yang ditandai dengan adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah atau perjalanan agama lainya. Pada zaman prasejarah, manusia dalam melangsungkan kehidupanya sering melakukan perjalanan berpindah-pindah guna mendapatkan makanan, minuman, pakaian serta tempat dan iklim yang mendukung untuk kehidupanya sehingga perjalanan yang jauh merupakan cara dan gaya untuk bertahan hidup. Sejarah panjang dari gaya hidup nomaden ini mempengaruhi pikiran manusia sehingga secara tidak sadar membuat aktivitas perjalanan secara insting menjadi perilaku yang alamiah.

Namun demikian, tonggak-tonggak sejarah pariwisata sebagai fenomena modern ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1254 1324 M) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, dan kemudian disusul oleh perjalanan Pangran Henry (1394 – 1460 M), dan juga Christopher Colombus (1451 – 1506 M), serta Vasco Da Gama (pada akhir abad ke 15 M).

(16)

untuk bermukim di suatu Negara ataupun benua lain. Mereka mulai membangun tempat tinggal yang baru dan bermukim serta beradaptasi dengan tempat baru seolah-olah sebagaimana tempat aslinya. Beberapa orang yang telah mencapai tingkat kesejahteraan dan mempunyai waktu luang mulai melakukan pejalanan bukan untuk memcari tempat bermukim yang baru melainkan untuk mencari kesenangan dan mengisi waktu luang atau untuk alasan budaya dan agama. Fenomena inilah yang menjadi potret awal lahirnya pejalanan pariwisata.

Tahun 1840 an perjalanan pariwisata secara terorganisir mulai dilakukan. Adalah Thomas Cook, seorang berkebangsaan inggris mulai memberangkatkan sekelompok orang dalam suatu paket wisata modern. Pada abad ke 20, sekitar tahun 1960 – 1980, tampak adanya peningkatan pesat pada jumlah orang yang melakukan perjalanan wisata. Lebih dari 300 juta wisatawan internasional tercatat tiap tahunya di beberapa Negara tujuan wisata.

Di Indonesia sendiri, jejak pariwisata modern ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), pada tahun 1910 an yang merupakan suatu badan pariwisata Belanda di Batavia. Badan pariwisata ini juga bertindak tour

operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia sebagai

(17)

mengankut wisatawan melayani pelayaran yang menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali, dan Makasar (Pinata dan Diarta : 2009).

2.1.2 Defenisi Pariwisata

Untuk memudahkan kita dalam memahami definisi pariwisata sebagai suatu objek pembahasan ilmiah ada baiknya terlebih dahulu kita pahami mengenai istilah pariwisata itu sendiri. Bila ditinjau dari segi etimologi, istilah pariwisata berasal dari dua suku kata sansekerta yaitu Pari yang berarti berkali-kali atau berkeliling dan

Wisata yang berarti perjalanan. Jadi, secara etimologi pariwisata dapat dipahami

sebagai suatu aktifitas perjalanan berkeliling.

Lebih jelas lagi, guna menyatukan konsep mengenai defenisi pariwisata penulis akan memaparkan beberapa pendapat para ahli mengenai defenisi pariwisata, yaitu sebagai berikut.

1. Prof. Hunzieker dan Prof. K. Krapt (dalam Yoeti, 1996 : 115)

“Tourism is the totally of the relationship and phenomena arising from the travel

and stay of strangers (Ortsfremde), provide the stay does not imply

theestablishment of a permanent resident.”

2. Prof. Hands Buchli (dalam Yoeti, 1996 : 117)

(18)

3. Dr. Hubbert Gulden (dalam Yoeti, 1996 : 117)

“Pariwisata merupakan suatu seni dari lalu lintas dimana manusia berdiam di suatu tempat asing untuk maksud tertentu, tetapi dengan kediamannya itu tidak boleh tinggal atau menetap untuk melakukan pekerjaan selama-lamanya atau meskipun sementara waktu, yang sifatnya masih berhubungan dengan pekerjaan”.

4. Ketetapan MPRS No 1 II Tahun 1960

Kepariwisataan dala dunia modern pada hakikatnya adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam memberi hiburan rohani dan jasmani setelah beberapa waktu bekerja serta mempunyai modal untuk melihat-lihat daerah lain (pariwisata dalam negri) atau negara-negara lain (pariwisata luar negri).

Defenisi pariwisata memang tidak dapat persis sama diantara para ahli, hal ini sering terjadi dalam dunia akademis, sebagaimana juga bisa ditemui pada berbagai disiplin ilmu lain. Namun berdasarkan defenisi-defenisi yang telah dipaparkan diatas ada beberapa unsur pokok yang menjadi patokan utama yaitu :

a. Adanya unsur travel (perjalanan) merupakan pergerakan dari suatu tempat ke tempat lain

b. Adanya unsur “tinggal sementara” di tempat tujuan

(19)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan berkeliling yang dilakukan oleh perorangan atau individu maupun kelompok dari tempat asal ke satu atau beberapa tempat yang berbeda dari rutinitas sehari-hari dan menetap sementara dengan maksud untuk bersenang-senang dan bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan juga termasuk didalamnya keseluruhan dari elemen-elemen yang terkait dalam penyelenggaraan perjalanan wisata.

2.1.3 Defenisi Wisatawan

Kata wisatawan atau dalam bahasa ingris disebut dengan istilah tourist merujuk pada subjek. Subjek yang dimaksud disini adalah orang yang tengah melakukan perjalanan wisata. Secara umum wisatawan menjadi bagian dari traveller atau visitor. Untuk dapat dapat disebut sebagai wisatawan, seseorang haruslah seorang traveller atau visitor.

Secara etimologi, istilah wisatawan berasal dari kata wisata yang berarti perjalanan dan mendapat imbuhan wan yang dalam bahasa Indonesia merupakan suatu imbuhan untuk menyebutkan orang atau pelaku. Sama halnya dengan istilah

Tourist dalam bahasa inggris, yang berasal dari kata tour dan mendapat akhiran ist

untuk menyebutkan orang atau pelaku.

Jadi secara luas dapat dipahami bahwa wisatawan (tourist) adalah seorang atau kelompok yang melakukan perjalan dan aktivitas wisata. Sesorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata diesebut dengan wisatawan

(20)

yang dikunjungi. Apabila mereka tinggal didaerah atau Negara yang dikunjungi dengan waktu kurang dari 24 jam maka mereka disebut pelancong (excursionist).

IUOTO (The International Union of Official Organization) menggunakan batasan mengenai wisatawan secara umum yaitu :

Pengunjung (visitor) yaitu, setiap orang yang datang ke suatu Negara atau tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk melakukan pekerjaan yang menerima upah. Ada dua kategori mengenai sebuta pengujung, yakni: 1. Wisatawan (Tourist)

Adalah pengunjung yang tinggal sementara sekurang-kurangnya 24 jam di suatu daerah yang dikunjungi. Wisatawan dengan maksud perjalanan wisata dapat digolongkan menjadi:

a. Pesiar (Leasure), untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga.

b. Hubungan dagang, seperti mengunjungi sanak saudara, handai taulan, konferensi, misi, dan sebagainya.

2. Pelancong (excursionist)

Pengunjung sementara yang tinggal di daerah yang di kunjungi dalam waktu kurang dari 24 jam.

(21)

1. Tujuan perjalanan (purpose of trip)

Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan selain untuk tujuan bisnis

(leisure traveling), walau ada kalanya perjalanan bisnis diikuti kegiatan wisata

(non bisnis).

2. Jarak perjalanan dari tempat asal (distance traveled).

Untuk tujuan statistik untuk memperhitungkan jarak perjalanan wisata, beberapa Negara memakai jarak total ulang alik (rond trip) antara tempat tinggal dan tujuan wisata. Umumnya jarak yang dipakai berfariasi antara 0-160 km (0-100 mil) tergantung ketentuan masing-masing Negara. Oleh karenanya, perjalanan yang dilakukan seseorang, walaupun bukan untuk bisnis, tetapi bila kurang dari ketentuan yang ditetapkan maka orang tersebut tidak akan disebut sebagai wisatawan.

3. Lamanya perjalanan (duration of trip)

Umumnya definisi mengenai wisatawan mencakup perjalanan paling tidak satu malam (over night) di tempat yang menjadi tunjuan perjalanan. Namun ada kalanya persyaratan ini dikesampingkan pada kasus perjalanan wisata yang memang di desain kurang dari 24 jam tetapi nyata-nyata berdampak pada kegiatan bisnis pariwisata, seperti restoran, atraksi wisata, hotel dan sebagainya, didaerah tujuan wisata.

2.1.4 Sumber Daya Pariwisata

(22)

kualitas suatu produk yang akan dihasilkan. Menurut Depbudpar (2007), argumentasi tentang sumber daya pariwisata dapat diperluas, termasuk berbagai faktor yang tidak tercakup dalam konseptualisasi secara tradisional yang selalu dihubungkan dengan sumber daya alam. Salah satu karakteristik dari sumber daya pariwisata adalah dapat dirusak dan dihancurkan oleh pemakaian yang tidak terkendali dan kesalahan pengaturan.

Dalam dunia pariwisata sumber daya yang terkait diantaranya : 1. Sumber Daya Alam

Usur-unsur alam sebenarnya bersifat netral sampai manusia mentransformasikanya menjadi sumber daya. Hal ini juga dipengaruhi oleh bagaimana sumber daya alam itu digunakan.

Menurut Damanik dan Weber (dalam Pinata dan Diarta, 2009 : 70), sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata alam adalah :

a. Keajaiban dan keindahan alam (topografi) b. Keragaman flora

c. Keragaman fauna d. Kehidupan satwa liar e. Vegetasi alam

f. Ekosistem yang belum terjamah manusia

g. Rekreasi perairan (danau, sungai, air terjun, pantai) h. Lintas alam (trekking, rafting, dan lain-lain)

(23)

j. Suhu dan kelembaban udara yang nyaman k. Curah hujan yang normal.

Sedangkan Menurut Fennel (dalam Pinata dan Diarta, 2009 : 71), sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sumber daya pariwisaya diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Lokasi geografis

Menyangkut karakteristik ruang yang menentukan kondisi yang terkait dengan beberapa variabrel lain, misalnya untuk wilayah eropa yang dingin dan bersalju seperti Swiss mungkin cocok untuk dikembangakan atraksi wisata ski es.

b. Iklim dan cuaca

Ditentukan oleh latitude dan elevation diukur dari permukaan air laut, daratan, pegunungan, dan sebagainya. Bersama faktor geologis, iklim merupakan penentu utama dari lingkungan fisik yang mempengaruhi vegetasi, kehidupan binatang, angin, dan sebagainya.

c. Topografi dan landforms.

(24)

d. Surface materials.

Menyangkut sifat dan ragam material yang menyusun permukaan bumi, misalnya formasi buatan alam, pasir, mineral, minyak, dan sebagainya, yang sangat unik dan menarik sehingga bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata alam.

e. Air

Air memegang peran yang sangat penting dalam menentukan tipe dan level dari rekreasi outdoor, misalnya dalam mengembangkan jenis wisata pantai/bahari, danau, sungai, dan sebagainya (sailing, cruisesw, fishing,

snorkeling, dan sebagainya)

f. Vegetasi

Vegetasi merujuk pada keseluruhan kehidupan tumbuhan yang menutupi suatu area tertentu. Kegiatan wisata sangat tergantung pada kehidupan dan formasi tumbuhan seperti misalnya ekowisata pada kawasan konservasi alam/hudan lindung.

g. Fauna

Beragam binatang berperan cukup signifikan terhadap aktifitas wisata baik dipandang dari sisi konsumsi (misalnya wisata berburu dan mancing) maupun non konsumsi (misalnya birdwatching).

2. Sumber Daya Budaya

(25)

sehari-hari yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta mencakup pengertian yang lebih luas dari lifestyle dan folk heritage. Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang menggunakan sumber daya budaya sebagai modal utama dalam atraksi wisata sering dikenal sebagai pariwisata budaya.

Sumbr daya budaya yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bangunan bersejarah, situs, monument, museum, galeri seni, situs budaya kuno dan sebagainya.

b. Seni patung kontemporer, arsitektur, tekstil, pusat kerajinan tangan dan seni, pusat desain, studio artis, industry film, penerbit, dan sebagainya.

c. Seni pertunjukan, drama, sendratari, lagu daerah, teater jalanan, eksibisi foto, festival, dan even khusus lainya.

d. Peninggalan keagamaan, pura, candi, masjid, situs, dan jejak peninggalan agama lainya.

e. Kegiatan dan tata cara hidup masyarakat lokal, sestem pendidikan, sanggar, teknologi tradisional, cara kerja dan tradisi yang berlaku pada masyarakat setempat.

f. Perjalanan (trekking) ke tempat bersejarah menggunakan alat transportasi tradisional unik (berkuda, delman, dan sebagainya).

(26)

3. Sumber Daya Manusia

Faktor sumber daya manusia sangat menentukan eksistensi pariwisata. Hampir setiap tahap dan elemen pariwisata memerlukan sumber daya manusia untuk menggerakanya. Sebagai salah satu industry jasa, sikap dan kemampuan

staff akan sangat berdampak terhadap pelayanan yang diberikan kepada

wisatawan yang secara lansung akan berdampak pada kenyamanan, kepuasan, dan kesan atas kegiatan wisata yang dilakukan.

Secara garis besar, karir yang dapat ditekuni dan memerlukan sumber daya manusia dalam dunia kepariwisataan adalah :

a. Bidan transportasi, darat, laut, dan udara

b. Bidang akomodasi, dari segala macam bentuk akomodasi c. Biro perjalanan wisata

d. Instansi pengelola wisata, baik swasta maupun pemerintah e. Dan lain sebagainya.

2.1.5 Objek dan Daya Tarik Wisata

(27)

Hal ini memposisikan objek dan daya tarik wisata salah satu pilar utama dalam pengembangan indusri pariwisata.

Pengertia objek wisata menurut para ahli.

1. SK. MENPARPOSTEL NO.KM 98 / PW. 102 / MPPT-87

Menjelaskan bahwa objek wisata adalah tempat atau keadaaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 yaitu yang menjadi sasaran perjalanan wisata yang meliputi :

a. Ciptaan Tuhan YME, yang mewujudkan keadaan alam serta flora dan fauna seperti : pemandangan alam, panorama indah, hutan rimbah dengan tumbuhan hutan tropis, serta binatang-binatang langka.

b. Karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro (pertanian), wisata tirta (air), wisata petualangan, taman rekreasi dan tempat hiburan.

c. Sasaran wisata minat khusus seperti : berburu, mendaki gunung, gua, industri kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat ziarah dan lain-lain.

Suatu tempat/daerah agar dapat dikatakan sebagai objek wisata harus memenuhi hal pokok berikut:

(28)

2. Adanya something to buy. Maksudnya adalah sesuatu yang menarik dan khas untuk dibeli.

3. Adanya something to do. Maksudnya adalah sesuatu aktivitas yang dapat dilakukan di tempat itu.

Setiap daerah tujuan wisata memiliki objek dan daya tarik berbeda-beda yang ditawarkan kepada wisatawan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Secara garis besar objek wisata terbagi dalam dua jenis diantaranya yaitu:

1. Daya tarik wisata alam (natural tourist attractions), segala bentuk daya tarik yang dimiliki oleh alam, misalnya: laut, pantai, gunung, danau, lembah, bukit, air terjun, ngarai, sungai, hutan

2. Daya tarik wisata buatan manusia (man-made tourist attractions), meliputi: Daya tarik wisata budaya (cultural tourist attractions), misalnya: tarian, wayang, upacara adat, lagu, upacara ritual dan daya tarik wisata yang merupakan hasil karya cipta, misalnya: bangunan seni, seni pahat, ukir, lukis.

Objek dan daya tarik wisata (Tourism resources) oleh Prof. Marioti disebut dengan istilah “attractive spontanee”, yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata, diantaranya ialah:

1. Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta, yang dalam istilah pariwisatadisebut dengan istilah Natural Amenities.

(29)

a. Iklim, misalny cuaca cerah (clean air), banyak cahaya matahari (sunny day), sejuk (mild), kering (dry), panas (hot), hujan (wet), dan sebagainya.

b. Bentuk tanah dan pemandangan (Land configuration and landscape), tanah yang datar (plains), lembah pegunungan (scenic mountain), danau (lakes), sungai (river), pantai (beaches), air terjun (water-fall), gunung berapi

(volcanos), dan pemandangan yang menarik (panoramic views).

c. Hutan belukar (The Sylvan Elements), misalnya hutan yang luas (large forest), banyak poho-pohon (trees).

d. Fauna dan flora, seperti tanaman-tanaman yang aneh (uncommon vegetation), burung-burung (birds), ikan (fish), binatang buas (wild life), cagar alam

(national park), daerah perburuan (hunting and photographic safari), dan

sebagainya.

e. Pusat-pusat kesehatan (Health Center) dan yang termasuk kelompok ini, misalnya sumber air mineral (natural spring of mineral water), mandi lumpur

(mud baths), sumber air panas (hot spring), dimana kesemuanya itu

diharapkan dapat menyembuhkan macam-macam penyakit.

2. Hasil ciptaan manusia (man-made supply). Kelompok ini dapat dibagi dalam empat bagian yang penting, yaitu:

a. Benda-benda yang bersejarah, kebudayaan dan keagamaan (Historical, cultural and religious), misalnya:

(30)

• Museum, art galerry, perpustakaan, kesenian rakyat, handicraft.

• Acara tradisional, pameran, festival, upacara naik haji, upacara

perkawinan, upacara khitanan, dal lain-lain.

• Rumah-rumah ibadah, seperti masjid, gereja, kuil atau candi maupun

pura.

3. Tatacara hidup masyarakat (The Way Life). Tata cara hidup tradisional dari suatu masyrakat merupakan salah satu sumber yang amat penting untuk ditawarkan pada wisatawan. Bagai mana cara kehidupan dan adat istiadatnya, semua merupakan semua merupakan daya tarik bagi wisatawan. Hal semacam ini sudah terbukti, betapa pengarhnya dan dapat dijadikan suatu events yang dapa dijual oleh tour operator. Contoh yang terkenal diantaranya adalah:

a. Upacara pembakaran mayat (ngaben) di Bali b. Upacara pembakaran mayat di Toraja

c. Upacara Batagak panghulu di Minangkabau d. Upacara khitanan di daeraqh parahyangan e. Upacara sekaten di Yogyakarta

f. Tea ceremony di Jepang

g. Upacara Waysyak di candi Mendut dan Borobudur, dan lain-lain.

(31)

Dalam bukunya "Tourism: The International Business" (1990): "Attractions

draw people to a destination". Robert Christie Mill. Mengatakan bahwa. Daya tarik

wisata memiliki kekuatan tersendiri sebagai komponen produk pariwisata karena dapat memunculkan motivasi bagi wisatawan dan menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata, hal demikian terlebih terjadi di destinasi pariwisata yang memilki sangat beragam dan bervariasi daya tarik wisata.

2.1.6 Pengelolaan Objek Wisata

Suatu objek wisata, agar memiliki nilai jual dan dapat menarik wisatawan untuk berkunjung dan menikmati atraksi wisata yang ditawarkan haruslah dapat dikemas semenarik mungkin. Tanggung jawab pengemasan potensi wisata yang ada hingga menjadi sebuah paket wisata yang siap jual tidak terlepas dari campur tangan manusia dalam mengolah dan mengelola potensi yang ada.

Secara etimologi pengelolaan berasal dari kata kelola yang mendapatkan tambahan konfiks pe-an. Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan pengelolaan secara umum sebagai penyelenggaraan. Dengan arti luasnya adalah suatu penyelenggaraan rencana pengembangan yang dilakukan instansi pemerintah maupun swasta terhadap sesuatu hal atau suatu keadaan.

(32)

perubahan penyajian dalam pelaksanaan promosi, sehingga objek dan daya tarik wisata tersebut dapat dihidupkan lagi dengan produk yang baru.

Pembangunan suatu objek harus dirancang dengan bersumber pada potensi yang dimiliki objek tersebut. Dengan mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan. Dalam mengelola suatu DTW, harus memiliki strategi khusus yang bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan berkualitas, seimbang dan bertahap.

Di berbagai objek pariwisata ada berbagai unsur yang saling bergantungan, yang mana unsur – unsur ini perlu dikembangkan agar dapat menarik minat wisatawan. Pada dasarnya seorang wisatawan berkunjung ke suatu daerah adalah untuk memperoleh kepuasan. Adapun unsur – unsur yang perlu dikembangkan antara lain atraksi yakni hal-hal yang menarik perhatian wisatawan; fasilitas yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan wisatawan selama berada di objek wisata;infrastruktur seperti jalan raya dan fasilitas kesehatan; transportasi yaitu jasa – jasa pengangkutan menuju objek wisata; hospitality atau keramahtamahan dan kesediaan untuk menerima pengunjung di objek tersebut.

(33)

Pengelolaan infrastruktur merupakan satu hal yang paling penting untuk meningkatkan industri pariwisata di suatu daerah.

2.2 Kebudayaan

2.2.1 Defenisi Kebudayaan

Budaya merupakan suatu hasil karya cipta dan olah pikir manusia yang diwujudkan dalam bentuk gagasan, aktivitas dan artefak (kebendaan) kebudayaan pada setiap kelompok masyarakat tertentu memiliki suatu ciri dan keunikan tertentu yang membedakanya denga kebudayaan dari kelompok masyarakat yang lain. Secara etimologi budaya yang dalam bahasa inggris disebut culture berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang.

Istilah kebudayaan yang kita kenal di Indonesia berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, dan diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia

Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan beberapa pendapat para ahli mengenai kebudayaan diantaranya:

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya

terka

(34)

2. R. Linton

Kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentukanya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.

3. W.H. Kelly dan C. Klockhohn

Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.

4. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.

5. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.

6. Ki Hajar Dewantara

(35)

didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: a. Sistem religi

b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial c. Sistem pengetahuan

d. Bahasa e. Kesenian

f. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi g. Sistem peralatan hidup atau teknologi

Menurut J.J. Hoenigman (dalam Wiranata, 2011 : 103) bila dikelompokan secarawujudnya kebudayaan dibedakan menjadi tiga,yaitu:

1. Gagasan (Wujud ideal)

(36)

2. Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

3. Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

(37)

berinteraksi dan membaur tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kebudayaan yang masing-masing mereka miliki.

Seiring perkembangan zaman dan semakin pesatnya perkembangan teknologi secara perlahan tantpa disadari bentuk-bentuk kebudayaan lama mulai ditinggali bahkan oleh masyarakatnya sendiri sehingga tradisi yang dulunya dianggap suatu keharusan bahkan pada saat sekarang ini menjadi suatu yang aneh dan dianggap bagi masyarakat generasi modern sakarang ini.

Namun disisi lain, hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat modern untuk dipelajari dan diteliti atau sekedar menikmati keunikan bentuk kebudayaan tradisional yang masih bertahan ditengah arus modernisasi. Sehingga dengan demikian hal ini menjadikan kebudayaan sebagai salah satu dari bentuk aktifitas wisata dengan menyuguhkan segala bentuk keunikan dari kebudayaan sebagai atraksi wisata.

2.2.2 Budaya Sebagai Objek Wisata

Dari uraian mengenai suber daya pariwisata yang telah kita bahas sebelumnya, keunikan kebudayaan merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan sebagai salah satu atraksi objek wisata. Kegiatan wisata ini kita kenal dengan wisata budaya.

(38)

Ada banyak objek budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata diantaranya adalah :

1. Upacara Adat

Mencakup segala bentuk kegiatan upacara adat yang terdapat pada masyarakat lokal de daerah wisata budaya.

2. Kesenian Aradisional

Mencakup segala bentuk kesenian asli dari budaya masyrakat setempat, dapat berupa seni tari, musik, kerajinan tangan.

3. Benda-Benda peninggalan sejarah

Dapat berupa patung arca, rumah adat, peralatan sehari-hari, pakaian, peralatan kesenian dan lain sebagainya.

4. Sitim Religi

Mencakup sistim kepercayaan norma-norma yang berlaku di dalam suatu kebudayaan tertentu.

Selain untuk sekedar menikmati atraksi dan keunikan dari kegiatan wisatanya, Pengembangan suatu objek wisata budaya merupakan salah satu bentuk pendidikan budaya yang bertujuan untu melestarikan budaya dengan cara mengenalkan kepada masyarakat mengenai suatu kebudayaan sehingga dapat dipahami dan dicintai masyarakat. Sehingga kelansungan dari keberadaan suatu budaya akan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

(39)

kesejahteraan masyarakat setempat dan pemerintah. Seperti terbukanya lapangan pekrjaan bagi masyarakat setempat.

Namun demikian, aktifitas wisata yang menggunakan budaya sebagai atraksi wisatanya terkadang juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan budaya itu sendiri. Terutama di daerah tujuan wisata budaya. Ini disebabkan oleh adanya interaksi yang dilakukan secara langsung oleh wisatawan dan masyarakat di daerah objek wisata budaya. Selain itu juga disebabkan oleh tuntutan pasar pariwisata itu sendiri yang pada akhirnya memaksa ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi agar dapat menarik wisatan untuk datang berkunjung.

2.2.3 Wisata Budaya dan Perubahan Nilai

(40)

kebudayaan yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari. Dan begitu juga sebaliknya yang terjadi pada masyarakat daerah tujuan wisata.

Namun dalam hal ini, terkadang interaksi yang terjadi antara wisatawan dengan masyarakat setempat tidak hanya melahirkan suatu nilai positif yang baru terhadap suatu kebudayaan. Ketiak mampuan wisatawan maupun masyarakat setempat yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman dalam menilai dan meniru suatu kebudayaan akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan kebudayaan terutama di daerah tujuan wisata. Karna ketidak mampuan itu secara tidak lansung nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan suatu kebudayaan secara tidak sengaja tanpa disadari mulai dibiasankan dalam kehidupan sehari-hari baik bagi wisatawan maupun masyarakat di daerah tujuan wisata. Sehingga pada akhirnya nilai dasar dari kebudayaan yang dimiliki terutama pada masyarakat setempat lambat laun akan memudar dan bahkan dapat mengalami kepunahan.

2.2.4 Upaya Pelestarian Budaya

(41)

Adapun peraturan dan undang-undang tersebut diantaranya yaitu:

f. Peratuaran Pemerintah No 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaa UU No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya

g. Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri Dan Mentri Kebudayaan Dan Pariwisata No 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Budaya h. Undan-undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya

(42)

BAB III

OBJEK WISATA DESA LINGGA 3.1 Sejarah Desa Lingga

Desa lingga merupakan salah satu desa tertua yang terdapat di dataran tinggi kabupaten Karo. Sejarah megenai desa Lingga tidak terlepas dari adanya kerajaan Lingga yang asalnya dari keturunan Pak-Pak (Dairi) yang pertama ditempati di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin. Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-pak Dairi yaitu Desa Lingga Raja. Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah singgah atau sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa yang sekarang, di desa ini sangat sulit mendapatkan air minum.

Perkampungan Suah yang berada di lembah uruk Gungmbelin dulu sekarang dijadikan ladang atau tempat bercocok tanaman. Sejak Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang dari Raja Sibayak Lingga berubah menjadi sistem pemerintahan yang seperti sekarang ini di mana pemilihan Kepala Desa tidak lagi berdasarkan keturunan Raja melainkan dengan cara pemilihan, sesuai dengan suara yang terbanyak. Raja Lingga (Sibayak), yang diangkat dulu adalah marga Sinulingga, dan penduduk desa Lingga sekarang masih kebanyakan marga Sinulingga.

(43)

Rumah Jahe, Kesain Rumah Bangun, Kesain Rumah Berteng, Kesain Rumah Julu, Kesain Rumah Mbelin, Kesain Rumah Buah, Kesain Rumah Gara, Kesain Rumah Kencanen, Kesain Rumah Tualah, kesemuanya merupakan kesain milik marga Sinulingga. Sedangkan untuk masyarakat yang bukan dari marga Sinulingga hanya terdiri dari tiga bagian saja yaitu: Kesain Rumah Manik, Kesain Rumah Tarigan, Kesain Rumah Munte.

3.2 Letak Geografis, Keadaan Lingkungan Alam dan Masyarakat

Secara geografis, Desa Lingga terletak di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo Sumatera Utara, terletak di ketinggian sekitar 1.250 meter dari permukaan laut dan berjarak sekitar 15 km dari kota Brastagi dan sekitar 5 km dari kota Kabanjahe yang merupakan ibukota kabupatern Karo. Luas keseluruhan desa Lingga adalah 16,24 km² yang terdiri dari areal pemukiman, ladang, hutan, jalan, dan lain-lain. Wilayah desa Lingga berbatasan dengan beberapa desa diantaranya:

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Surbakti b. Sebelah selatan berbatasan desan desa Kacaribu c. Sebelah timur berbataran dengan desa Kaban

d. Sebaelah barat berbatasan dengan desa Nang Belawan

(44)

Secara umum desa Lingga mempunyai permukaan yang datar, dimana temperatur udara didesa tersebut 18° C sampai dengan 23° C. Namun demikian desa Lingga juga memiliki daerah perbukitan, daerah dataran rendah yang dijadikan sebagai temapat pemukiman dan bercocok tanam. Keadaan tahan di desa ini bisa dikatakan sangat subur sehingga cocok dijadikan sebagai lahan pertanian , hal ini terlihat dengan adanya tanaman yang terdapat disana seperti jeruk, cabe, jagung, kentang, kol, dan lain-lain. Luas tanah kering yang ditamanami tanaman seperti jeruk, cabe, jagung, kentang, kol, dan lain-lain sekitar 1.608 Ha.

Oleh karena itu bila dilihat dari segi pekerjaan/mata pencariaan penduduknya, berdasarkan data kecamatan Simpang Empat dalam hitungan anggka tahun 2012, sebagian besar masyarakat desa Lingga berprofesi sebagai petani (1.729) Industri rumah tangga (31) PNS/ABRI (138) profesi lainya (161).

3.3 Peninggalan Sejarah dan Budaya Desa Lingga

Pada era tahun 1970, di desa Lingga masih terdapat sekurang-kurangnya 29 bangunan tradisional, bangunan tersebut diantaranya berupa:

i. Bangunan rumah adat Karo Lingga

(45)

ternak. Pada rumah ini terdapat dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satunya lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat yang disusun. Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, mengayam tikar atau pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah. Rumah adat Karo Lingga dinamakan siwaluh jabu (waluh artinya delapan, jabu berarti keluarga/ bagian utama rumah/ ruang utama). Bangunan berbentuk rumah panggung itu, pada waktu dulu kala menjadi rumah tinggal masyarakat Karo. Tiang-tiang penyangga rumah panggung, dinding rumah, dan beberapa bagian atas, semuanya terbuat dari kayu. Bagian semacam teras rumah -juga berbentuk panggung-, tangga naik ke dalam rumah, dan penyangga atap, terbuat dari bambu. Sedangkan atap rumah sendiri, semuanya menggunakan ijuk. Di bagian paling atas atap rumah adat, kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dengan dua tanduk kerbau. Tanduk itu dipercaya penduduk sebagai penolak bala. Satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu kepala keluarga, dalam satu ruangan besar.

c. Bangunan Sopo Ganjang

(46)

mirip dengan bangunan rumah adat Lingga namun bangunan ini tidak memiliki dapur dan juga tidak memiliki dingding pembatas. Sopo Ganjang didirikan pada tahu 1870.

d. Jambur

Jambur merupakan bangunan yang mirip dengan rumah adat, tetapi jambur bukan merupakan bangunan berpanggung dan tidak berdinding. Jambur difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan pesta bagi masyarakat juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengadili orang-orang yang melanggar perintah raja dan adat yang berlaku. Jambur juga merupakan tempat tidur bagi pemuda-pemuda selain sapo ganjang.

e. Griten

Geriten merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kerangka atau tulang-tulang sanak keluarga pemilik griten yang telah meninggal di bagian atasnya sedangkan bagian bawah merupakan tempat duduk atau tempat berkumpul bagi sebagian warga, terutama kaum muda. Geriten mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding sedang lantai di atasnya berdidnding. Di lantai yang bawah ini terdapat sebuah pintu. Dan dari pintu inilah dimasukkan kerangka orang yang telah meninggal. Griten juga menjadi tempat bertemunya muda mudi untuk dapat saling lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya. f. Lesung

(47)

memanjang dari sisi utara sampai kesisi selatan bangunan, dimana pada kedua sisi kayu tersebut telah dibuatkan lubang lesung dengan jarak yang disesuaikan. g. Katur-kantur

Kantur-kantur merupakan sebuah bangunan kecil yang terdapat disebelah timur rumah Raja. Bengunan ini difungsikan oleh raja untuk melakukan pertemuan dengan tokoh-tokah masyarakat desa dalam membahas permasalah-permasalahan serta hal-hal lain yang menyakut tatanan kerajaan masyarakat Lingga.

Namun sayangnya hingga saat sekarang ini desa Lingga hanya memiliki bebertapa peninggalan sejarah dan budaya saja yang masih terjaga dan merupakan satu aset yang sangat berharga yang harus tetap dilestarikan. Adapun peninggalan sejarah dan budaya desa Lingga yang masih tersisa hingga saat ini yaitu berupa dua bangunan rumah adat yang masih difungsikan oleh masyarakat desa Lingga sebagai tempat tinggal. Diantaranya yaitu Rumah Gerga yang memiliki ukuran kapasitas 12 jabu/keluarga dan didirikan pada tahu 1860 an dan satunya lagi Rumah Belang Ayo yang berkapasitas 8 jabu/keluarga dan didirikan pada tahun 1862.

(48)

mereka sendiri yang sebagian bahkan ada di luar daerah desa lingga. Karena itu pula, dengan semakin berkembangnya zaman dan semakin banyak nya pengaruh budaya yang datang sehingga seiring berjalanya waktu karifan budaya dan tradisi adat khususnya pada masyarakat desa lingga pun secara perlahan mulai di tinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

Selain kedua bangunan rumah adat tersebut, juga masih terdapat satu bangunan sopo ganjang yang kini telah dialih fungsikan oleh masyarakat sebagai taman bacaan bagi anak-anak desa Lingga. Hal ini dilakukan guna mempertahankan dan merawat bangunan agar tetap terjaga. Karena, menurut penuturan Bapak Servis Ginting selaku kepala desa Lingga pada saat wawancara dengan penulis, salah faktor utama yang menjadi penyemab punahnya beberapa bangunan rumah adat di Desa Lingga dikarnakan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan merawat bangunan-bangunan tersebut sehingga bangunan-bangunan tersebut dibiarkan rusak sendirinya yang diakibatkan oleh pelapukan pada kayu-kayu yang menjadi bahan utama bangunan.

(49)

Dalam hal kesenian, masyarakat Lingga juga masih mewarisi beberapa tarian daerah seperti Tarian Guro-Guro Aron, yang biasanya ditarikan khusus pada waktu pesta muda-mudi yang diadakan setelah panen. Kemudian, ada Tarian Simelungun Raja yang merupakan tarian adat yang ditarikan khusus pada upacara-upacara adat seperti perkawinan, kematian dan memasuki rumah baru.

Selain itu, juga ada tarian adat Gundala-Gundala yang berhubungan dengan kepercayaan. Tarian ini biasanya dilakukan pada saat musim kemarau dan bertujuan untuk meminta huja yang sering disebut sebagai upacara "Ndilo Wari Udan". Dalam upacara tersebut, Tarian Gundala-Gundala ditampilkan dengan empat penari berjubah dan memakai topeng kepala burung.

Selain tarian, nyanyian juga mempunyai arti penting dalam pelaksanaan upacara adat pada masyarakat desa Lingga. Seperti Lagu Talas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang pemuka agama sewaktu memimpin upacara Erpangir Kulau, atau saat sang guru meramu obat-obatan tradisonal untuk mengobati orang sakit.

3.4 Desa Lingga Sebagai Desa Wisata

(50)

dan dibantu oleh pemerintah kabupaten Karo, desa Lingga mulai ditetapkan sebagai desa wisata.

Selain itu, di desa Lingga juga terdapat sebuah museum Lingga Karo Yang menyimpan koleksi barang peninggalan kerajaan Lingga mulai dari barang-barang perlengkapan adat, peralatan sehari-hari sampai barang-barang-barang-barang pribadi milik raja Lingga seperti tongkat dan barang lainya. Museum Karo Lingga ini dibentuk pada tahun 1998 oleh inisiatif salah seorang masyarakat desa Lingga yang juga seorang pemerhati budaya khususnya kebudayaan Karo.

Ditambah lagi dengan letak lokasi desa Lingga yang tidak jauh dari salah satu daerah tujuan wisata brastagi. Melalui berbagai promosi yang dilakukan, pemerintah serta masyarakat Lingga mulai berupaya untuk mengajak wisatawan untuk datang berkunjung dan menikmati atraksi wisata di desa Lingga.

Ada beberapa atraksi wisata yang dapat dinikmati wisatawan saat berkunjung ke Desa Lingga, seperti keunikan dan nilai sejarah bagunan rumah adat desa lingga, museum sejarah Lingga, tarian daerah masyarakat Lingga dan atraksi lainya.

Sejak ditetapkanya sebagai desa wisata, hingga sekarang ini desa Lingga telah banyak dikunjungi oleh wisatawan baik dari luar negri maupun wisatawan dalam negri. Khusus pada wisatawan luar negri, biasanya anggka kunjungan akan meningkat pada bulan junu hingga september.

(51)

dan perangkat desa serta dengan berkoordinasi dengan pihak pemerintah kabupaten Karo, berinisiatif untuk memindahkan bagunan yang letaknya terlalu berdekatan dengan bangunan rumah adat yang dikhawatirkan akan dapat mengganggu oprasional aktivitas wisata desa Lingga ke sebuah desa yang sekarang dikenal dengan istilah Lingga Baru.

(52)

BAB IV

PERAN PENGELOLA DALAM PELESTARIAN BUDAYA DI DAERAH TUJUAN WISATA DESA LINGGA KABUPATEN KARO

4.1 Perencanaan dan Pengelolaan Wisata Budaya

Upaya perencanaan dan pengembangan kawasan wisata budaya merupakan salah satu bentuk konkret dari upaya pelestarian budaya dan juga merupakan suatu nilai positif bagi pengembangan kepariwisataan terutama yang memiliki nilai-nilai pelestarian aset budaya, agar aset budaya tersebut dapat berfungsi lebih optimal untuk peningkatan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya karya-karya budaya bangsa dalam bentuk manajemen pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan yang baik.

Selain itu, upaya perencanaan dan pengembangan ini juga harus diikuti dengan pengelolaan secara berkelanjutan agar eksistensi dan kelestarian dari produk kebudayaan yang menjadi objek atraksi wisata bisa tetap terjaga dan tentunya diharapkan tidak hanya utuh sebagai objek atraksi wisata yang menjadi daya tarik untuk wisatawan berkunjung namun juga dapat memainkan peran nya dalam menjaga nilai dan tatanan kehidupan terutama bagi masyarakat yang menganut budaya tersebut.

(53)

4.2 Pengelolaan Objek Wisata Budaya Desa Lingga

Keberadaan dan eksistensi desa Lingga sebagai desa wisata selain dapat memberikan kontribusi yang bersifat ekonomis bagi masyarakatnya tentu saja juga diharapkan dapat memperkenalkan kepada masyarakat luar terutama mengenai tatanan adat dan budaya masyarakat suku Karo sehingga nantinya juga berkontribusi terhadap kelansungan dan kelestarian budaya masyarakat suku Karo terutama dari masyarakat desa Lingga.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu adanya kerja sama antara masyarakat dan pemerintah serta pihak pengelola objek wisata Desa Lingga dalam menjaga keaslian dari setiap nilai yang terkandung di setiap aspek kebudayaan di desa Lingga.

Namun demikian, meskipun terkadang di berbagai kesempatan kita dapat melihat adanya promosi yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Karo mengenai objek wisata Desa Lingga, namun pada kenyataannya ketika penulis melakukan observasi dilapangan, setelah mewawancarai beberapa narasumber, mengenai pengelolaan, penulis menemukan tidak adanya pengelola yang di bentuk secara formal baik dari pihak pemerintah maupun pihak swasta. Jadi, pada saat sekarang ini pengelolaan objek wisata Desa Lingga dilakukan oleh masyarakat Desa Lingga terutama keluaga yang menempati rumah adat Raja Lingga yang masih merupakan keturunan dari Raja Lingga.

(54)

dan pelayanan serta jasa pemandu wisata dan juga sekaligus merupakan tempat pengutipan restribusi dari para wisatawan yang datang. Umumnya sebagian besar restribusi yang didapatkan berasal dari wisatawan luar negri. Dari hasil biaya restribusi yang didapat dari wisatawan ini, sekitar 1 juta rupuah nya akan disetorkan kepada pihak pemerintah. Dan sisanya digunakan sebagai biaya oprasional dan perawatan objek wisata desa Lingga.

Meskipun ada anggarang yang di setorkan masyarakat pada pihak pemerintah dari hasil restribusi objek wisata desa Lingga, namun pihak pemerintah juga masih belum berupaya melakukan penanganan yang serius terhadap pengelolaan objek wisata desa Lingga.

Dengan tidak adanya pihak pengelola yang dibentuk secara formal dari pihak pemerintah untuk pengelolaan objek wisata desa Lingga, maka pengelolaan dan perawatan objek wisata desa Lingga dilakukan secara sederhana oleh masyarakat. Selama ini, dalam hal perawatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap bangunan rumah adat, masyarakat mendapat bantuan dari pihak lain dari organisasi pemerhati budaya dan sejarah seperti Badan Warisan Sumatera (BWS) dan organisasi lain yang terkait. Hal ini sebenarnya juga tidak terlepas dari peran pemerintah daerah kabupaten Karo sebagai mediator. (Panen Manik/pemandu wisata desa Lingga)

4.3 Peran Pengelola Wisata Dalam Pelestarian Budaya Desa Lingga

(55)

pada dasarnya masih tingginya sifat materialisme di masyarakat yang mulai meninggalkan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta menurunnya akhlak moralitas pada sebagian masyarakat. Di samping itu permasalahan yang mendesak dalam pembangunan kebudayaan adalah adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat pengelolaan aset-aset budaya baik yang bersifat intangible ataupun tangible, terutama yang berada di daerah. Pengelolaan dan masih lemah terhadap aset dan pemahaman keragamaan budaya terlihat belum adanya kriteria yang jelas dalam pengamanan aset kebudayaan terutama aset kebudayaan yang berskala daerah,nasional dan internasional. Ketidakjelasan tersebut tercermin dari ketidakpedulian terhadap keberadaan aset budaya tersebut.

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwasanya kegiatan wisata yang berorientasi pada kebudayaan sebagai objek wisatanya selain memberikan dampak positif seperti kesejahteraan masyarakat setempat juga dapat menimbulkan dampak negatif terutama bagi lingkungan budaya itu sendiri. Selain itu keberadaan objek wisata budaya seharusnya tidak hanya sekedar menjadi atraksi yang ditawarkan kepada setiap wisatawan yang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata. Melainkan diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian budaya khususnya di daerah tujuan wisata agar keberlansungan objek dan nilai-nilai budaya yang dimiliki tetap terjaga hingga generasi seterusnya.

(56)

wisatawan tapi tentunya juga mampu untuk tetap menjaga keaslian budaya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Namun demikian, dengan tidak adanya pihak pengelola objek wisata yang dibentuk secara formal di Desa Lingga, maka secara lansung, upaya pelestarian nilai-nilai budaya yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pengelola objek wisata pada kebudayaan masyarakat suku Karo di desa Lingga menjadi tanggung jawab masyarakat Desa Lingga.

Dalam hal pelestarian nilai-nilai budaya yang ada di desa Lingga, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh masyarakat Lingga, terutama pada masyarakat yang berhubungan lansung atau pihak yang pada saat ini melakukan pengelolaan terhadap objek wisata desa Lingga. Ini dikarenakan kurang nya pemahaman masyarakat akan pentingnya kelestarian budaya yang mereka miliki dan ditambah lagi dengan kurangnya sosialisasi kepada mereka bagaimana tatacara pengelolaan yang baik dalam pelestarian budaya di desa Lingga baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak pemerhati budaya.

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis serta dari hasil wawancara penulis dengan narasumber dilapangan, penulis menemukan bahwasanya upaya pelestarian budaya yang dilakukan hanyalah dalam bentuk informasi secara lisan serta memperkenalkan beberapa benda-benda kebudayaan peninggalan leluhur masyarakat Lingga terhadap wisatawan yang melakukan kunjungan ke desa Lingga.

(57)

pada kebudayaan masyarakat suku Karo Lingga diwariskan secara turun-temurun dengan cara memberikan pemahaman oleh orang tua maupun para tokoh adat dan masyarakat terhadap generasi muda dan anak-anak mengenai nilai-nilai dan taradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat desa Lingga. Selain itu, para generasi muda dan anak-anak di lingkungan masyarakat lingga juga dilibatkan secara lansung dalam berbagai kegiatan kebudayaan agar mereka dapat mencintai dan mengenali dengan baik kebudayaan yang mereka miliki sehingga nantinya akan keinginan untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan mereka.

(58)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka selanjutnya sebagai penutup penulis menyampaikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bagian-bagian terdahulu. Untuk lebih jelasnya,berikut beberapa poin penting yang menjadi kesimpulan dari karya ilmiah ini, diantaranta yaitu:

1. Menjaga kelestarian nilai-nilai budaya sangatlah penting dalam pembangunan karakter pada masyarakat di suatu daerah di mana budaya itu berkembang.

2. Banyak upaya yang dapat dilakukan dalam proses pelestarian budaya, diantaranya adalah melalui kagiatan wisata yang berbasis budaya.

3. Keberadaan desa Lingga sebagai desa wisata berbasis budaya, memiliki peran dalam pelestarian budaya Karo khususnya di desa Lingga Kecamatan Simpang empat.

4. Peran pelestarian nilai-nilai kebudayaan desa Lingga juga sangat bergantung pada keberadaan dan kemampuan pihak pengelola wisata dalam menanamkan nilai budaya pada setiap atraksi dan aktifitas wisatawan.

(59)

Lingga yang juga merupakan daya tarik utama wisata desa Lingga. Begitu pula denga upaya pelestarian terhadap nilai dan warisan budaya objek wisata desa Lingga.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dirangkum dan dari beberapa permasalahan yang ditemukan, maka, penulis menyarankan agar :

1. Harus ada koordinasi yang lebih jelas antara pihak pemerintah dan masyarakat desa Lingga mengenai pengelolaan objek wisata desa Lingga.

2. Melalui koordinasi antara pihak pemerintah dan masyarakat agar se segera mungkin dapat membentuk struktur yang jelas mengenai pengelolaan objek wisata desa Lingga.

3. Pemerintah daerah harus memberikan bantuan dan subsidi serta bekerja sama dengan masyarakat desa Lingga dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata desa Lingga.

4. Melaluli kegiatan wisata, masyarakat harus mampu mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai kearifan budaya masyarakat suku Karo Lingga.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Herimanto dan Winarto 2012. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara.

Marpaung, Happy 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Alfabeta. Pinata, I Gde dan Putu G. Gayatri 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi. Pinata, I Gde dan Ketut Surya Diarta 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta :

Andi.

Suwantoro, Gamal 1997. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta : Andi.

Wiranata, I Gde A. B. 2011. Antropologo Budaya. Bandung : PT Citra Aditya Bangkit.

(61)

LAMPIRAN

Narasumber

Nama : Servis Ginting Alamat : Desa Lingga Umur : 41 Tahun Agama : Nasrani

Pekerjaan : Kepala Desa Lingga

Nama : Panen Manik Alamat : Desa Lingga Umur : 44 Tahun Agama : Nasrani

Pekerjaan : Pemandu Wisata Desa Lingga

Nama : Januarita Br Sitepuh Alamt : Desa Lingga

Umur : 41 Tahun Agama : Nasrani

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang dilakukan ini diperoleh kesimpulan bahwa kesiapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk melaksanakan strategi dan program pengembangannya masih kurang, baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan strategi di Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen dalam pengembangan Desa Wisata Betisrejo

Penulis membatasi ruang lingkup dalam pembahasan agar tidak menyimpang dari permasalahan yang ada yaitu tentang Upaya Pengembangan Objek Wisata Dalam Menarik Minat

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kasi Pembinaan dan Pengembangan Sarana Objek dan Daya Tarik Wisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Barat,

Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif bersifat deskriptif, mendeskripsikan peran pemerintah daerah kabupaten Sumbawa dalam pelestarian dan pengembangan cagar

Kepada masyarakat sekitar objek wisata Taman Mejuah-juah, Bukit Gundaling, dan Desa Budaya Lingga serta beberapa pengunjung wisata yang telah membantu ketika penulis

Bentuk Pengembangan Objek Wisata Kawung Tilu Pengembangan di bidang pariwisata merupakan suatu bentuk cara yang dilakukan dalam upaya memelihara sumber potensi wisata yang dimiliki,

Selain melalui RIPPARDA tahun 2017-2025, regulasi pemerintah Indragiri Hulu dalam upaya pengembangan pengelolaan destinasi wisata di Kabupaten Indragiri Hulu juga tercantum dalam