• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial modelling of rice production vulnerability using remote sensing and GIS technology (case studies in Indramayu Regency, West Java)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial modelling of rice production vulnerability using remote sensing and GIS technology (case studies in Indramayu Regency, West Java)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU,

JAWA BARAT)

DEDE DIRGAHAYU DOMIRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan Teknologi Inderaja dan SIG (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

DEDE DIRGAHAYU DOMIRI. 2012. Spatial Modelling of Rice Production Vulnerability Using Remote Sensing and GIS Technology (Case Studies in Indramayu Regency, West Java). Under the direction of I Nengah Surati Jaya (Chairman), Sri Hardiyanthi Purwadhi, M. Ardiansyah, Hermanu Triwidodo (Members).

In 2005 and 2009, BKP and WFP has provided food security conditions in Indonesia on Food Insecurity Map which were developed using food availability, food accessibility, food absorption and food vulnerability. There are 100 out of 265 districts in Indonesia or about 37.7%, which fall into the vulnerable to very vulnerable categories, where 11 districts were found in Java. The main objective of this research is to develope a spatial model of the rice production vulnerability based on Remote Sensing and GIS technologies for estimating the reduction of production condition. Several criteria used to obtain production vulnerability information are percentage level of green vegetation (PV), rainfall anomaly (ACH), land degradation due to erosion (Deg), and paddy harvest failure due to drought and flood in paddy field (BK). Dynamic spatial information on the greenness level of land cover can be obtained from multitemporal EVI (Enhanced vegetation Index) of MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) data. While spatial information of paddy harvest failure was estimated by using vegetation index, land surface temperature and moisture parameters with advance image processing of multitemporal EVI MODIS data. The GIS technology were used to perform spatial modelling based on weighted overlay index (multicriteria analysis). The method for computing weight of factors in the vulnerability model was AHP (Analytical Hierarchy Process), while the method for computing the weights of drought prediction model was trial-and-error. The weight on flood estimating model was computed using the CMA. The spatial model of production vulnerability (KPB) developed in this study is as follows :

= . + . + . + .

This research concludes that the spatial distribution of production vulnerability condition can be estimated using the spatial model having 84.6 % of accuracy. In this study, level of production vulnerability can be categorized into six classes, i.e.: (1) invulnerable ; (2) very low vulnerability ; (3) low vulnerability; (4) moderately vulnerable ; (5) highly vulnerable ; and (6) extremely vulnerable. The result of spatial modelling then was used to evaluate progress production vulnerability condition at several sub-districts in Indramayu Regency. According to the investigation results of WFP in 2005, this area fall into moderately vulnerable category. Only few sub-districts that fall into highly and extremely vulnerable during the period of May ~ August 2008, namely: Kandanghaur, Losarang, part of Lohbener, and Arahan.

(6)
(7)

Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Pemerintah Indonesia turut memberikan komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin yang rawan pangan dan gizi. Hal itu sejalan denganWorld Food Summit (WFS) tahun 1996 dan ditegaskan kembali pada WFS tahun 2001 di Roma bahwa dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan diharapkan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015.

Pada Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pasal 1 ayat 17, tentang Pangan, dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, Bab I, pasal 1, tentang Ketahanan Pangan serta UU No 41 tahun 2009, pasal 1 ayat 10, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman dikonsumsi, tersebar merata dan terjangkau. Sasaran dari ketahanan pangan adalah masyarakat yang secara berlanjut mampu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang dan baik.

Tiga aspek Ketahanan Pangan yang harus dipenuhi adalah : (1) Ketersediaan Pangan yang cukup untuk seluruh penduduk (volume, keragaman, mutu, aman dikonsumsi; (2) distribusi atau pasokan pangan yang merata ke seluruh wilayah, harga stabil dan terjangkau, sehingga rumah tangga mampu mengakses cukup pangan, serta (3) pola konsumsi yang sesuai kaidah gizi dan kesehatan (jumlah, mutu, gizi, dan aman) (BKP dan WFP, 2005). Individu masyarakat memperoleh gizi yang cukup untuk tumbuh, sehat dan produktif. Faktor lainnya yang mempengaruhi kondisi ketiga aspek ketahanan pangan adalah aspek kerentanan (vulnerability) yang menunjukkan kondisi faktor lingkungan yang berpotensi menyebabkan penurunan hingga kegagalan panen/produksi pangan.

Pada tahun 2005 dan 2009, BKP dan WFP telah menyajikan kondisi ketahanan pangan di Indonesia pada Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity) yang dibangun menggunakan faktor ketersediaan pangan, akses pangan, penyerapan pangan dan kerentanan pangan. Ada sebanyak 100 dari 265 kabupaten atau sekitar 37.7 % yang termasuk ke dalam kategori rawan hingga sangat rawan, dimana 11 kabupaten di antaranya adalah kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Jawa.

(8)

banjir dan kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen (puso) setiap tahun; (2) Daerah Indramayu adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, yang memerlukan pemantauan kondisi lahan pertaniannya secara kontinyu. Penelitian dilakukan dengan pendekatan spasial menggunakan teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem informasi Geografis (SIG) guna memperoleh informasi spasial persentase vegetasi, anomali curah hujan, persentase degradasi lahan/erosi, dan potensi rawan puso akibat banjir dan kekeringan di lahan sawah. Metode pembobotan setiap faktor untuk model kerentanan dilakukan dengan metode AHP, dimana respondennya adalah beberapa pakar yang relevan termasuk tenaga ahli di BKP. Sedangkan metode pembobotan untuk menduga kekeringan di lahan sawah dilakukan dengan metode “coba-galat” (trial-and-error) dengan asumsi tertentu, sedangkan pembobotan untuk mendeteksi banjir lahan sawah dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Pemetaan Komposit (Composite Mapping Analysis/CMA).

Dalam penelitian ini tingkat akurasi model dihitung dengan uji statistik Mean Absolut Persentase Error (MAPE), Simpangan rata-rata (SR), Root Mean Square Error (RMSE), dan Bias untuk mengukur keakuratan keluaran model (Hauke et al., 2001 ; Handoko, 2005; Spurr, 1952). Formula matematiknya adalah sebagai berikut :

MAPE = 1/n ( |Ye/Ya – 1| )

SR = 1/n ( |1 - Ya/Ye| )

Bias =1/n (Ye/Ya – 1)

RMSE = (1/n (Ye/Ya – 1)2)1/2

Tingkat Akurasi (TA) model dihitung dengan formula : TA (%) = 100% - MAPEavg

Dimana : Ye : Nilai dugaan hasil model ; Ya : nilai aktual / referensi. MAPEavg: MAPE rata-rata dalam %.

(9)

dapat ditulis sebagai berikut :

= . + . + . + .

Pengujian akurasi model dilakukan dengan membandingkan luas kegagalan panen (puso) hasil model dengan luas puso dari laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Kegagalan panen padi berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu banyak terjadi akibat kekeringan pada catur wulan II (Mei ~ Agustus) tahun 2008 yaitu seluas 27,224 Ha. Luas total puso di Indramayu berdasarkan keluaran model yang dihasilkan sebesar 27,913 Ha, sehingga terjadi perbedaan sekitar 707 Ha (Simpangan Agregat/SA = 2.5 %). Luas puso akibat banjir pada catur wulan I (Januari ~ April) tahun 2006 berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu adalah sebesar 18,140 Ha, sedangkan menurut model sebesar 15, 383 Ha, sehingga terjadi perbedaan sekitar 2,757 Ha (Simpangan Agregat/SA = -15.5%). Hasil analisis spasial terhadap puso pada tingkat kecamatan untuk kejadian kekeringan pada periode Mei ~ Agustus 2008 menunjukkan perbedaan luas yang bervariasi (lebih kecil atau lebih besar) dengan nilai MAPE = 14.8%, SR = 11.5%, RMSE = 24.5%, dan Bias = 9.5%, sedangkan pada kejadian banjir periode Januari ~ April 2006, memperlihatkan nilai MAPE = 15.9%, SR = 16.7%, RMSE = 26.4%, dan Bias = -11.7%. Tingkat akurasi model berdasarkan rata-rata nilai MAPE (15.4%) pada kasus kejadian kekeringan dan banjir adalah sebesar 100% – 15.4% = 84.6%untuk memetakan lahan sawah yang terancam gagal panen padi (puso).

Hubungan antara produktivitas (Prv) tanaman padi dengan kerentanan (KPB) ditunjukkan dengan nilai korelasi negatif yang nyata antara produktivitas dan kerentanan rata-rata perkecamatan. Penurunan produktivitas padi yang disebabkan oleh kenaikan kerentanan dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi sebagai berikut :

Prv = 182.9 - 2.1852 KPB

Area yang memiliki nilai kerentanan 50 menunjukkan kecenderungan penurunan produktivitas padi. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diduga bahwa kenaikan nilai kerentanan sebesar 10 dapat menyebabkan penurunan produktivitas padi sekitar 22 Kw/Ha.

(10)
(11)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Dilarang mengumumkan

(12)
(13)

(STUDI KASUS DI KABUPATEN INDRAMAYU,

JAWA BARAT)

DEDE DIRGAHAYU DOMIRI P 062070161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(14)

1. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo

2. Dr. Ir. Buce M. Saleh

Penguji pada Ujian Terbuka (Tanggal 6 Agustus 2012) :

1. Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St

Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian RI

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Fakultas Pertanian

(15)

(Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

N a m a : Dede Dirgahayu Domiri

NRP : P062070161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Prof. Dr. Sri Hardiyanthi Purwadhi

Ketua Anggota

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Pascasarjana IPB Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(16)
(17)

Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa atas Kehendak dan Pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan, tiada daya dan kekuatan kecuali atas Idzin dan Kehendak Allah SWT. Tema penelitian Ristek (Riset dan Teknologi) yang dipilih dalam penelitian ini adalah Bidang Ketahanan Pangan dengan judul : Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan Teknologi Inderaja dan SIG (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yaitu : Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Prof. Dr. Sri Hardiyanthi Purwadhi, Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc atas arahan, bimbingan dan saran-sarannya untuk menyempurnakan Disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo dan Dr. Buce M. Saleh sebagai penguji luar Komisi pada ujian tertutup tanggal 16 Juli 2012 serta Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, selaku Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, BKP, Kementrian Pertanian RI dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar Komisi pada ujian terbuka tanggal 6 Agustus 2012 atas arahan dan saran-sarannya untuk menyempurnakan Disertasi ini. Juga kepada Bpk. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc selaku Ketua Program Studi PSL IPB atas peringatannya kepada penulis untuk menyelesaikan Disertasi ini.

Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bpk. Drs. Taufik Maulana, M.BA selaku Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Agus Hidayat, MSc (Kapusfatja) atas arahan dan dorongan semangatnya kepada penulis untuk segera menyelesaikan Disertasi ini serta kepada rekan-rekan di LAPAN Pekayon atas kerjasamanya. Juga tidak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada istri dan anak-anak penulis yang telah membantu dan mendoakan penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.

Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Agustus 2012

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tangga 11 April 1965 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Drs. A. Domiri Siradjudin, MA (alm) dan Siti Respati. Penulis menikah dengan Ir. Nani Rachmayati binti Ruhanta dan telah diamanahkan menjadi bapak dari 10 orang anak ( 8 laki-laki, 2 perempuan). Pendidikan sarjana ditempuh di program Studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan IPA IPB, lulus pada tanggal 8 Maret 1989. Tahun 2000, penulis diterima di Program Ilmu Tanah dalam Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tanggal 8 Agustus 2003. Pada bulan Agustus 2007, penulis diterima di Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Pada tahun 1990, penulis diterima bekerja di Instansi LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), salah satu Lembaga Penelitian non Departemen. Penulis bekerja sebagai Peneliti Madya IVB di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB), Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja), LAPAN.

(20)
(21)

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Kerangka Pemikiran ... 5 6 1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Kajian Penelitian Terdahulu ... 12

1.7. Kebaharuan Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA... 15

2.1. Pemodelan Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG) …………... 15

2.2. Pemanfaatan Data Satelit Inderaja untuk Pemantauan Kondisi Lingkungan ………... 16

2.3. Kerentanan dan Bencana ………... 21

2.4. Ketahanan Pangan... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN... 27

3.1. Lokasi Penelitian ... 27

3.2. Alat dan Bahan ... 28

3.3. Metode Penelitian ... 28

3.3.1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian... 30

3.3.2. Metode Penilaian Kerentanan Produksi Beras... 31

3.3.3. Faktor Persentase Vegetasi... 32

3.3.4. Faktor Anomali Curah Hujan ... 34

3.3.5. Faktor Kekeringan dan Banjir………... 3.3.6. Faktor Degradasi Lahan... 35 41 3.3.7. Penentuan Bobot dan Skor setiap Faktor Kerentanan ……….... 42

(22)

3.3.10. Pengujian Model ... 49

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Iklim dan Curah Hujan ……… 51

4.2. Penutup/Penggunaan Lahan ... 53

4.3. Hidrologi ………... 54

4.4. Topografi dan Kemiringan Lahan (Kelerengan) ……….. 56

4.5. Jenis Tanah dan Kondisi Drainase Lahan ……… 57

4.6. Bentuk Lahan (Geomorfologi) ………

4.7. Kependudukan………..

59 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Persentase Vegetasi ... 63

5.2. Anomali/Deviasi Curah Hujan ...

5.3. Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Banjir ... 69 71

5.4. Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Kekeringan ...……...

5.5. Rentan Kegagalan Panen (Puso) akibat Degradasi Lahan (Erosi) ...……

5.6. Implementasi Pemodelan Spasial untuk Menentukan Tingkat

Kerentanan Produksi Beras (KP)...

5.7. Pengujian Model ...

76 79

80

85 5.8. Hubungan antara Kerentanan dengan Produksi Padi ... 89

5.9. Implementasi Model untuk Mengurangi Kerentanan Produksi ... 93

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 95

(23)

LAMPIRAN

...

103

DAFTAR TABEL

Halaman

1 . Uraian tahapan kegiatan penelitian……… 30

2. Kriteria Faktor dan peringkat pada Kelas Faktor untuk Kerentanan

Pangan / Kerawanan Pangan transien (Sementara)……….. 32

3. Kategori Kekeringan dan Kebasahan berdasarkan Nilai SPI……… 36

4. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Meteorologis (KM)………… 38

5. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Hidrologis (KH)………. 38

6. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Vegetasi (KV)……… 39 7. Klasifikasi tingkat kekeringan lahan sawah berdasarkan IRK…………. 39

8. Klasifikasi Laju Erosi……….. …… 42

9. Matrik Berpasangan Hasil Penilaian Pakar ………... 45

10. Peringkat dan Nilai Skor awal pada kelas Faktor ACH……….. 46

11. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Vegetasi……….. 46

12. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Curah Hujan……… 47

13. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Degradasi Lahan………... 47

14. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Banjir / Kekeringan………….. 47

15. Kriteria Penentuan Kategori Tingkat Kerentanan Pangan……….. 48

16. Informasi Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Indramayu……… 53

17. Hasil Analisis Statistik EVI Maksimum Tanaman Padi di Lahan Sawah Indramayu dan sekitarnya Tahun 2007-2009………. 65

18. Luas Sawah yang mengalami Gagal Panen (Puso) Padi akibat Kekeringan dan Banjir di Indramayu ... 72

(24)

Kerentanan Pangan Beras menggunakan Metode AHP………. 81

22. Klasifikasi Tingkat KPB ... 82

23. Hasil Uji Validasi Model Kerentanan Pangan dengan Data Puso

Lapangan bulan Mei-Agustus 2008……….. 86

24. Hasil Uji Validasi Model Kerentanan Pangan dengan Data Puso Lapangan bulan Januari-April 2006……… 87

25. Rata-rata Skor Kerentanan dan Produksi Padi setiap Kecamatan di

(25)

Halaman

1. Diagram Interaksi Empat Faktor Yang Mendukung

Ketahanan Pangan ……….……… 6

2. Kerangka Pemikiran Penelitian ………. 10

3. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air pada data MODIS …... 17

4. Lokasi Penelitian di Kabupaten Indramayu, Jawa Bara………. 27

5. Tahapan Penelitian Kerentanan Produksi Beras ………. 29

6. Perhitungan nilai PV piksel yang memiliki nilai EVI > 0.4 pada posisi

baris ke-3 dan kolom ke-3……….. 34

7. Diagram Alir Penentuan Kekeringan Lahan Sawah ……….. 40

8. Hirarki Pengambilan Keputusan Penilaian Kerentanan Pangan………. 44

9. Penentuan Skor %Vegetasi ………. 48

10. Penentuan Skor Anom Hujan ……… 48

11. Penentuan Skor Degradasi ……… 48

12. Penentuan Skor Banjir dan Kekeringan ………. 48

13. Klasifikasi Pewilayahan Iklim Hujan Kab. Indramayu, berdasarkan

metode Schmidt-Fergusson ………..……….. 52

14. Informasi Spasial Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu ………… 54

15. Buffer sungai dengan interval jarak 500 m di Kabupaten Indramayu …. 55

16. Informasi Spasial Elevasi di kabupaten Indramayu ………... 56

17. Informasi Spasial Kemiringan Lahan (Lereng) ………... 57

18. Informasi Spasial Jenis Tanah ……….. 58

19. Informasi Spasial Drainase Tanah ………... 59

20. Informasi Spasial Bentuk Lahan (Sistem Lahan) ………... 60

21. Citra Komposit Wana EVI Multitemporal 2006 – 2009 .……….. 64

(26)

24. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei ~ Agustus

2008 Berbasis Batas Desa ……….. 68

25. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Januari ~ April

2006 Berbasis Batas Desa……….. 69

26. Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Mei ~ Agustus 2008… 70

27. Informasi Spasial Anomali Curah Hujan pada Januari- April 2006…….. 71

28. Informasi Spasial Genangan Banjir tahun 2006 di Indramayu………… 73

29. Rawan Banjir Lahan Sawah Bulan Januari Tahun 2006……….. 76

30. Hubungan antara terkena kekeringan dengan kejadian puso padi ……. 77

31. Informasi Spasial Kekeringan Lahan Sawah berbasis piksel

di Kab.Indramayu pada Mei-Agustus Tahun 2008 ……… 78

32. Skor Rentan Puso berbasis batas desa akibat Kekeringan di Kab.

Indramayu pada Mei-Agustus Tahun 2008……….. 79

33. Informasi Spasial Laju Erosi pada Januari-April 2006……… 80

34. Histogram Skor Kerentanan pada periode Mei-Agustus 2008…………. 82

35. Informasi Spasial Kerentanan Produksi pada Januari-April 2006…….. 83

36. Informasi Spasial Kerentanan Produksi pada Mei-Agustus 2008……… 84

37. Perbandingan Luas Puso Keluaran Model dengan Observasi

Lapangan Periode Mei-Agustus 2008……… 88

38. Perbandingan Luas Puso Keluaran Model dengan Observasi

Lapangan Periode Januari-April 2006……… 89

39. Hubungan antara Skor Kerentanan Rata-Rata Kecamatan dengan Produktivitas Tanaman Padi pada Januari-April 2006 dan Mei-Agustus

(27)

1. Kuisioner Pemilihan Faktor dan Bobot Kriteria Rentan Pangan ... 105

2. Hasil Analisis Spasial Faktor Drainase Tanah dengan Peta Genangan

Banjir Tahun 2006……… 107

3. Hasil Analisis Spasial Faktor Indeks Vegetasi (EVI MODIS) dengan

Peta Genangan Banjir Tahun 2006……….. 108

4 . Hasil Analisis Spasial Faktor Hujan Bulanan dengan Peta Genangan

Banjir Tahun 2006……… 109

5. Hasil Analisis Spasial Faktor Elevasi/Ketinggian dengan Peta

Genangan Banjir Tahun 2006……… 110

6 . Hasil Analisis Spasial Faktor Sistem Lahan dengan Peta Genangan

Banjir Tahun 2006……… 110

7 . Hasil Analisis Spasial Faktor Kelerengan Lahan dengan Peta

Genangan Banjir Tahun 2006……… 111

8 . Hasil Analisis Spasial Faktor SPI Hujan dengan Peta Genangan Banjir

Tahun 2006………... 111

9. Hasil Ekstraksi EVI dan Suhu Permukaan (Ts) MODIS di Stasiun

BMKG Balitan Sukamandi, Subang………. 112

10. Hasil Keluaran Mosel Kerentangan Produksi Beras Berbasis Batas

Desa Untuk Periode Januari – April 2006……… 113

11. Hasil Keluaran Mosel Kerentangan Produksi Beras Berbasis Batas

(28)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Pemerintah Indonesia turut memberikan komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan rawan pangan dan gizi. Hal itu sejalan dengan Deklarasi World Food Summit (WFS) tahun 1996 dan ditegaskan kembali pada WFS 5 tahun kemudian di Roma yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015 (BKP dan WFP, 2005). Terkait dengan upaya tersebut lembaga pangan dan pertanian dunia(Food and Agriculture Organization,FAO)secara berkala melakukan studi untuk mengkaji perkembangan wilayah rawan pangan dan jumlah penduduk rawan pangan di berbagai negara (FAO, 1999).

Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1, ayat 17, dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan Bab I, pasal 1, ayat 1 serta UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, pasal 1, ayat 10 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sasaran ketahanan pangan adalah masyarakat yang secara berkelanjutan mampu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang dan baik.

(29)

Programme (WFP) pada tahun 2005. Ada 100 Kabupaten dari 265 Kabupaten ( 37.7 %) yang status Ketahanan pangannya berada pada kategori Rawan hingga Sangat Rawan, termasuk 11 kabupaten di Pulau Jawa.

Faktor lainnya yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di atas adalah aspek kerentanan (Vulnerability) yang menunjukkan potensi kondisi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan rawan bencana, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen/produksi pangan (DKP dan WFP, 2003). Permasalahan akan timbul jika salah satu atau lebih dari aspek ketahanan pangan tersebut tidak terpenuhi dan tercapai dengan optimal. Rawan pangan yang terjadi terus menerus akan menyebabkan bencana kemanusiaan yang terjadi akibat daya dukung lahan dan lingkungan untuk menunjang produksi pangan tidak optimal serta faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat tidak bisa mengakses untuk memperoleh kebutuhan pangan yang cukup. Faktor-faktor lahan dan kondisi lingkungan yang menurun dapat menyebabkan kerentanan yang meningkat terhadap bencana ekologis, yang menyebabkan kegagalan panen dan produksi pangan, sehingga menimbulkan kondisi rawan pangan.

Permasalahan yang harus diatasi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan laju pertumbuhan produksi pangan relatif lebih lambat. Oleh karena pangan beras masih merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, maka penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek kerentanan pangan (beras) dalam arti rentan terhadap pengurangan produksi beras akibat kegagalan panen (puso). Informasi spasial kondisi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kerentanan produksi beras dapat dideteksi oleh teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

(30)

yang terpadu adalah perangkat teknologi informasi yang dapat menunjang penyediaan informasi tersebut.

Kebijakan penyelenggaraan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terkait ketahanan pangan di Indonesia dirumuskan antara lain dalam Agenda Riset Nasional (2006 - 2009). Dalam kaitan ini Kementerian Riset dan Teknologi telah mengawali pembentukan Kelompok Kerja SIG Ketahanan Pangan yang bertugas untuk melaksanakan Sinergi Penyediaan Data dan Informasi Sumberdaya alam untuk mendukung ketahanan pangan, dengan memadukan berbagai data dan informasi dari instansi pemerintah yang terkait dengan penyediaan data spasial. Lembaga yang terkait di antaranya adalah BAKOSURTANAL, LAPAN, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, BMKG, Dep. Kelautan dan Perikanan. Kementerian Negara Ristek yang bertindak sebagai koordinator Pokja mengembangkan Sistem Informasi Spasial dengan fokus pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta-peta potensi pangan di daerah. Perkembangan teknologi satelit sampai saat ini telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas (peringatan dini bencana), yaitu dengan diluncurkannya satelit Terra dan Aqua yang memiliki sensor MODIS. Dengan tersedianya data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dari satelit Terra dan Aqua yang memiliki resolusi spasial (250 m, 500 m, dan 1000 m) serta 36 kanal, lebih banyak dibandingkan data NOAA/AVHRR (1000 m, 5 kanal), diharapkan mampu memberikan informasi perubahan kondisi pertanian, terutama lahan sawah dan tanaman padi dapat dideteksi lebih akurat.

(31)

NDWI (Normalized Difference Water Index) MODIS untuk mendeteksi pola tanam padi dan non padi di lahan sawah Jawa Barat. Awal tanam padi yang didominasi obyek air pada lahan sawah dapat dideteksi oleh kisaran nilai EVI yang rendah dan NDWI yang tinggi.

Keberhasilan panen dan tingkat produktivitas tanaman padi tergantung pada kondisi pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif dan perkembangannya pada fase generatif. Pertumbuhan tanaman padi tersebut dapat dipantau dengan menggunakan data satelit Inderaja yang mempunyai sensor yang sensitif terhadap perubahan fase pertumbuhan (vegetatif) dan perkembangan (generatif) tanaman padi sawah serta mengalami kondisi lahan berair, bervegetasi dan bera. Kegiatan pemantauan kondisi pertumbuhan tanaman padi dan lahan sawah di pulau Jawa secara kontinyu (bulanan) telah dilakukan oleh LAPAN sejak tahun 2005 (Pusfatja, 2011). Potensi produktivitas tanaman padi dapat diestimasi berdasarkan Indeks Luas Daun (ILD) yang berkorelasi tinggi dengan Indeks Vegetasi pada fase vegetatif maksimum (Dirgahayu, 2011). Hasil penelitian Avicienna (2011) menunjukkan korelasi yang nyata antara EVI maksimum dengan produktivitas tanaman padi di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Informasi luas panen dan produktivitas padi selanjutnya dijadikan sebagai bahan masukan untuk prediksi produksi padi, sehingga dapat disusun strategi pengadaan bahan pangan pada tingkat lokal kabupaten hingga propinsi.

(32)

1.2. Perumusan Masalah

Di Indonesia, permasalahan kerawanan pangan yang berakibat pada keadaan yang bersifat transien/ sementara maupun kronis di Indonesia memerlukan perhatian serius dan tindakan penanganan lebih lanjut. Kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis maupun sementara dapat terjadi di daerah yang memiliki ketersediaan lahan sawah yang luas, seperti yang terjadi di beberapa Kabupaten di Jawa Timur dan Lebak di Banten (BKP dan WFP, 2005). Prioritas perbaikan kondisi lingkungan perlu didukung oleh informasi spasial agar tepat sasaran. Salah satu sumber informasi spasial yang memiliki cakupan yang luas serta kemampuan untuk mendeteksi dan memantau kondisi lingkungan adalah data satelit Inderaja.

Penanganan masalah rawan pangan harus dilakukan secara optimal, terpadu, efektif dan efisien melalui pelaksanaan kebijakan yang terarah dan mencakup kegiatan pemantauan, analisis, prediksi serta evaluasi faktor-faktor penyebabnya. Selanjutnya perlu disusun perumusan strategi dan program kegiatan pencegahan dan penanggulangan masalah.

Penelitian mengenai kualitas lingkungan umumnya masih mengandalkan data statistik (tabular) dan kurang melibatkan aspek spasial. Aspek spasial belum mendapat perhatian yang utama sebagai salah satu komponen penting dalam merancang, menetapkan dan menerapkan pedoman kualitas lingkungan fisik. Hubungan antara karakteristik lingkungan (iklim, tanah, dan air) dengan kualitas lingkungan sumberdaya lahan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Sitorus, 1985). Oleh karena itu analisis spasial untuk mengkaji saling pengaruh antara karakterisitik spasial lahan dengan kualitas lingkungan yang terkait dengan kerentanan pangan merupakan penelitian yang penting dan merupakan terobosan baru untuk melengkapi metodologi penelitian lebih komprehensip (terpadu).

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka ada beberapa pertanyaan pokok dalam penelitian yang perlu diketahui, yaitu :

1. Faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi Kerentanan Produksi beras (Food Vulnerability) di lokasi penelitian?

2. Bagaimana kondisi dan penyebaran spasial indikator tersebut di lokasi penelitian ?

(33)

4. Bagaimana hubungan antara Kerentanan Produksi Beras (KPB) dengan ketahanan pangan dari aspek ketersediaan pangan (produksi padi) ?

1.3. Kerangka Pemikiran

[image:33.595.53.487.82.788.2]

Dewan Ketahanan Pangan (DKP) RI dan Program Pangan Dunia PBB (2003) menyatakan bahwa Konsep Ketahanan pangan memiliki dua unsur keamanan pangan, yaitu ketersediaan baik dalam hal kualitas maupun kuantitas suplai makanan, dan kemudahan untuk mendapatkan makanan baik secara membeli, menukar maupun meminta. Selanjutnya terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu masalah waktu, terkait dengan situasi dan periode-periode rawan kekurangan pangan, serta yang terkait dengan kepekaan (kerentanan) terhadap rawan pangan, tingkat kekurangan gizi dan kecukupannya. Ketahanan pangan merupakan manifestasi dari sub-sistem Ketersediaan Pangan (Food Availability), sub-sistem keterjangkauan pangan dan penghasilan (Food Access), sub-sistem pemanfaatan/ penyerapan pangan (Food Utilization), serta sub-sistem Kerentanan Pangan (Food Vulnerability). Interaksi dari keempat sub-sistem tersebut pada akhirnya menentukan suatu wilayah mengalami rawan pangan atau tidak (Gambar 1).

(34)

Kerawanan pangan merupakan masalah multi-dimensional. Secara umum kerawanan pangan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif, baik secara sementara maupun berkelanjutan. Kondisi ini dapat sedang terjadi atau berupa kecenderungan saja. Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara. Kerawanan pangan kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan untuk mengakses pangan yang cukup dari produksi swasembada, pembelian di pasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyerap pangan ke dalam tubuh, cara makan yang tidak benar, infrastruktur kesehatan dan sanitasi yang tidak memadai. Kerawanan pangan sementara, di lain pihak, merupakan dampak dari menurunnya ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan bencana alam dan faktor lingkungan lainnya (DKP dan WFP, 2003).

Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat propinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Pada semua tingkatan, kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat mempengaruhi derajat kerawanan pangan (DKP dan WFP, 2003). Kerawanan pangan ini oleh BKP dan WFP (2005) digunakan sebagai parameter untuk menilai kondisi Ketahanan Pangan Nasional. Sebaran spasialnya pada tingkat propinsi dapat dipetakan dalam bentuk peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) berbasis Kabupaten.

(35)

penurunan produksi beras akibat kegagalan panen. Kondisi aktual bencana atau kerusakan lingkungan (ekologis) dan kegagalan panen (puso) akibat terjadinya anomali iklim (suhu dan curah hujan), banjir, kekeringan, dan hama penyakit, serta degradasi lahan (longsor, erosi, banjir) akan mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat untuk mengakses kebutuhan pangan, sehingga penduduk yang dikategorikan miskin semakin bertambah. Kondisi sosial budaya juga dapat terganggu akibat kerusakan ekologis tersebut, sehingga kondisi Kerentanan Pangan cenderung akan meningkat (DKP dan WFP, 2003). Kondisi Kerentanan Pangan yang dapat menyebabkan kegagalan panen dan menurunkan produksi padi suatu daerah perlu dideteksi, dipantau dan diprediksi secara spasial, sehingga dapat diketahui dimana posisi dan lokasi terjadinya penyebab penurunan Kerentanan Pangan yang dapat menurunkan status Ketahanan pangan. Peranan faktor kelembagaan yang mengimplementasikan kebijakan pemerintah dalam pembentukan struktur kelembagaan dan teknologi dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan sangat berpengaruh terhadap status Ketahanan pangan suatu daerah apakah dalam kondisi berkelanjutan atau tidak.

Produksi padi setiap tahunnya mengalami fluktuasi akibat adanya perubahan iklim. Beberapa bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim adalah dengan adanya bencana kekeringan dan banjir di lahan sawah terutama di Pulau Jawa yang merupakan pemasok terbesar produksi padi nasional (DKP dan WFP, 2003). Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi disamping faktor internal (genetik). Salah satu unsur cuaca atau iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi adalah curah hujan sebagai pemasok air bagi tanaman padi yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Informasi curah hujan sangat diperlukan untuk mengoptimalisasikan penggunaan air pada setiap fase pertumbuhan tanaman padi untuk dapat mencapai tingkat produksi yang optimal melalui manajemen jadwal tanam yang tepat .

(36)
(37)
[image:37.595.59.549.79.733.2]

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Model Spasial Kerentanan Produksi Beras

KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN

IMPLEMENTASI INDERAJA dan SIG : PEMODELAN SPASIAL MULTI KRITERIA

DATA PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA)

KELEMBAGAAN Kebijakan, UU, PP

TEKNOLOGI Varietas, I.Penanaman

Produktivitas, Pasca Panen KEAMANAN PRODUKSI

Ketersediaan Pangan KERENTANAN PRODUKSI

BERAS

SOSIAL

(Penyerapan Pangan) Harapan hidup, SDM, SDA,

Kesehatan EKONOMI

(Akses Pangan) Infrastruktur (jalan), Listrik/

Energi, Kemiskinan BENCANA EKOLOGIS /GAGAL PANEN - Anomali Iklim/Hujan, Konversi Lahan,

Degradasi Lahan, - Kekeringan, Banjir, Hama Penyakit

SEBARAN INFORMASI SPASIAL LINGKUNGAN - Curah Hujan, Suhu, Liputan Lahan, Indeks Vegetasi, Fase

(38)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk membangun model spasial Kerentanan produksi beras menggunakan teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain :

1) Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan Kerentanan produksi beras, yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan produksi beras atau kegagalan panen padi (puso) menggunakan teknologi Inderaja dan SIG.

2) Mengidentifikasi sebaran spasial persentase vegetasi, anomali curah hujan, banjir dan kekeringan lahan sawah, serta degradasi lahan yang dapat menyebabkan puso di lokasi penelitian.

3) Membangun zona kerentanan produksi hingga tingkat Kecamatan berdasarkan model spasial yang diperoleh.

4) Mengidentifikasi hubungan antara kerentanan produksi dengan produksi padi.

1.5. Manfaat Penelitian

1) Bahan masukan kepada instansi terkait, terutama Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian Kabupaten untuk mengantisipasi kondisi Rawan Pangan di suatu daerah.

2) Diseminasi informasi spasial kondisi lahan pertanian, terutama lahan padi sawah yang terkait dengan kondisi kerentanan.

(39)

1.6. Kajian Penelitian terdahulu

Irawan (2005) melakukan penelitian "Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis". Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu mengabaikan pengaruh faktor lingkungan serta tidak spasial. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-0.77 % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun muiai tahun 2010.

Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dan WFP (World Food Programme) pada tahun 2005 dan 2009 telah memetakan daerah-daerah kabupaten yang berpotensi rawan pangan (Food Insecurity Atlas) berdasarkan data sekunder dalam format tabular (non spasial). Hasil analisis menunjukkan seratus kabupaten di Indonesia memiliki kondisi Ketahanan pangan agak rendah, sehingga perlu mendapat prioritas untuk menanggulanginya.

Tahir (2010) telah mengembangkan formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan pulau-pulau kecil terhadap resiko kenaikan muka air laut yang dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Beberapa paramerter biofisik pesisir pantai dan laut serta kepadatan penduduk digunakan dalam analisis menggunakan SIG. Penelitian pemodelan spasial terkait dengan resiko kebakaran hutan di Kalimantan Barat telah dilakukan oleh Kayoman (2010). Pembobotan terhadap faktor-faktor penentu kebakaran hutan dan lahan dengan indikator titik panas (hot spot) dilakukan dengan metode CMA (Composite Mapping Analysis).

Penelitian-penelitian yang menggunakan pemodelan spasial dengan penerapan data satelit inderaja dan SIG, terutama yang menyangkut aspek lingkungan terkait dengan kerentanan produksi belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Nurmalina (2007) tentang Neraca Ketersediaan Beras dan Pramudia (2008) tentang pengaruh hujan terhadap kerentanan produksi padi masih menggunakan data tabular berbasis kabupaten.

(40)

untuk mendeteksi bahaya dan kerentanan yang dapat menyebabkan kegagalan panen (puso) akibat perubahan persentase vegetasi, anomali curah hujan, dan rawan banjir dan kekeringan.

1.7. Kebaharuan Penelitian (Novelty)

Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, maka penelitian ini memiliki kebaharuan (Novelty) dalam hal :

(1) Aspek spasial berdasarkan ekstraksi informasi Kerentanan dari data satelit inderaja. Sebelumnya hanya berdasarkan data tabular dan informasi yang telah terjadi (BKP dan WFP, 2005 ; Irawan, 2005; Nurmalina, 2007; dan Pramudia, 2008).

(2) Pengembangan metode penentuan bobot faktor dan perhitungan skor sub faktor menggunakan kombinasi metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan CMA (Composite Mapping Analysis). Sebelumnya BKP dan WFP (2005) belum membuat peta kerentanan produksi beras yang menggabungkan beberapa faktor Kerentanan Produksi terhadap Kerawanan Pangan transien (sementara).

(41)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemodelan Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Secara umum, model diartikan sebagai suatu penyederhanaan dari kondisi sesungguhnya di dunia nyata. Peubah-peubah yang digunakan dalam model sebagian dari peubah-peubah yang jumlah dan jenisnya jarang diketahui secara lengkap. Tujuan dari pembuatan model adalah agar membantu pengambil keputusan ataupun analis untuk memahami, menggambarkan dan memprediksi bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui penyederhanaan fenomena maupun kenampakan karakteristik alam (feature). Dalam ilmu geomatika atau, model-model spasial mencakup sekumpulan proses yang dijalankan pada data spasial untuk menghasilkan informasi yang umumnya berbentuk informasi spasial berupa peta tematik. Hasil dari pemodelan ini dapat digunakan sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan studi ilmiah atau untuk memberikan informasi umum. Pemodelan merupakan bagian dari analisis spasial untuk memperoleh feature yang diinginkan. Pemodelan spasial dalam SIG dapat mencakup pemodelan simulasi maupun pemodelan prediktif (Jaya, 2007).

Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa kemampuan analisis terhadap data spasial yang ditunjukkan melalui pemodelan merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. Alasan logis dimanfaatkannya model, yaitu : (a) dapat diuji dan dimanipulasi dengan cepat, mudah dan murah; (b) dapat menggambarkan analisis yang menggunakan beberapa skenario / alternatif. Seni dan ilmu dari pemanfaatan SIG adalah dapat mengkombinasikan berbagai fungsi analisis yang ada untuk menghasilkan informasi tematik yang baru.

(42)

analisis risiko banjir menggunakan data Penginderaan Jauh ( Inderaja ) dan SIG. Metode yang digunakan untuk analisa resiko banjir adalah teknik SIG dengan menggunakan input tataguna lahan, umur bangunan, jenis material bangunan dan daerah rentan banjir. Hasil dari penilaian tersebut diklasifikasikan ke dalam empat klas daerah bahaya banjir yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Penilaian bahaya dan pemetaan risiko banjir digunakan untuk perencanaan wilayah lebih lanjut.

Sagala (2006) melakukan penelitian pemodelan spasial kerentanan banjir dan mekanisme penanggulangan yang dilakukan masyarakat di daerah pemukiman yang mudah terkena banjir di Kota Naga, Filipina. Metode yang digunakan analisa spasial dan analisa statistik (Descriptive Statistic, Cross Tabulation Analysis, Regression Analysis). Hasil penelitian ini digunakan untuk membuat kebijakan dalam mengurangi resiko banjir, misalnya dengan mengembangkan standar bangunan yang baik dan perencanaan penggunaan lahan.

Kombinasi beberapa faktor untuk menentukan kondisi kekeringan dilakukan oleh Narendra (2008). Penelitian mengambil lokasi di Sub DAS Gesing, DAS Bogowonto, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Data utama yang digunakan adalah data curah hujan dari BMKG, jenis tanah, dan kontur dari Peta Rupa Bumi. Metode yang digunakan adalah SPI (Standardized Precipitation Index), model kekeringan kelengasan tanah (dengan PC Raster) dan analisis korelasi. Hasil penelitian mnunjukkan bahwa karakteristik curah hujan tahunan dapat menggambarkan kejadian kekeringan pada tahun tersebut. Model kelengasan tanah yang dibangun dapat menjelaskan karakteristik kekeringan berdasarkan defisit lengas tanah dengan skala waktu yang fleksibel. Nilai SPI dapat digunakan untuk mengetahui adanya kekeringan, diidentifikasi dari adanya nilai SPI negatif (skala waktu 1 bulan).

2.2. Pemanfaatan Data Satelit Inderaja untuk Pemantauan Kondisi Lingkungan

(43)

pada tahun 2002. MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. Lebar cakupan yang pada permukaan bumi setiap putarannya sepanjang 2,330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0.405 µm – 14.385 µm (1 µm = 1/1,000,000 meter). Keragaman karakteristik spektral yang dimiliki data MODIS memungkinkan untuk ekstraksi informasi kondisi lahan, lingkungan, dan cuaca (NASA, 2010). Kurva respon spektral beberapa obyek di permukaan bumi berdasarkan reflektansi kanal MODIS ditunjukkan pada Gambar 3 (Roswintiartiet al.,2007).

Gambar 3. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air pada data MODIS

Dua indeks vegetasi yang paling banyak diaplikasikan dari data MODIS untuk memantau kondisi tanaman/vegetasi adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index). NDVI dapat dihitung melalui rasio kanal spektral merah (Red) dan infra merah dekat (Near Infra Red/NIR). Indeks kehijauan tanaman (Greeness Index) merupakan ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengamati kondisi vegetasi tanaman dan aktivitas fotosintesis. Pada umumnya nilai ini dapat diperoleh dari analisis kombinasi dua atau lebih kanal spektral (Hueteet al.,2002).

(44)

(Normalized Difference Vegetation Index) dan SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index) oleh Hueteet al.(1997), LSWI (Land Surface Water Index) oleh Ichokuet al. (2003). EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI, ARVI, dan SARVI. EVI diketahui lebih sensitif terhadap perubahan biomasa selama fase vegetatif yang lama, serta tahan terhadap efek atmosfer dan kanopi. Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah, kanal infra merah dekat (NIR) dan kanal biru data MODIS. Kanal spektral biru sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Heute et al., 1999)

Bencana kekeringan di Indonesia merupakan persoalan yang selalu terjadi dari tahun ke tahun akibat fenomena alam, seperti El-Nino, tekanan sosial-ekonomi serta perubahan penggunaan lahan. Kekeringan dapat menyebabkan berkurangnya persediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman selama musim kemarau. Bila keadaan ini terjadi, maka dapat mengakibatkan meluasnya lahan kritis yang akan berdampak terjadinya degradasi kualitas lingkungan. Kekeringan lahan juga dapat mengakibatkan penurunan atau gagalnya produksi tanaman pangan, kekurangan cadangan air minum, serta terjadinya kebakaran hutan/lahan.

(45)

curah hujan dan suplai air permukaan dan bawah permukaan ke dalam waduk, reservoir, akifer, dan aliran sungai karena komponen sistem hidrologis tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang lain seperti irigasi, rekreasi, pariwisata, kontrol makanan, transportasi, produksi pembangkit listrik tenaga air, suplai air minum domestik, dan perlindungan dan manajemen ekosistem dan lingkungan. Tingkat infiltrasi bervariasi tergantung dari kondisi lengas tanah sebelumnya, lereng, tipe tanah dan intensitas hujan. Karakteristik tanah juga berpengaruh terhadap kekeringan agronomis dan hidrologis. Beberapa jenis tanah mempunyai kapasitas dalam menampung air yang tinggi dibandingkan dengan yang lain. Tanah dengan karakteristik yang sulit menampung air dalam jumlah tinggi akan lebih rawan terhadap kekeringan.

Wilhite dan Glantz (1985) menjelaskan proses terjadinya kekeringan. Pada mulanya, kekeringan disebabkan oleh berkurangnya curah hujan (kekeringan meteorologis). Setelah itu kekeringan berlanjut dan berpengaruh pada penurunan kelengasan tanah (kekeringan agronomis). Pada daerah pertanian akan berdampak pada penurunan produktivitas tanaman dan pada daerah hutan akan meningkatkan dan memicu terjadinya kebakaran hutan. Lebih lanjut, kekeringan dapat berkembang dan menyebabkan terjadinya kekeringan air tanah (kekeringan hidrologis). Pada tahapan ini, tidak tersedia cukup air, air tanah untuk mensuplai air minum, irigasi, industri, dan pembangkit listrik. Pada kenyataannya kekeringan yang terjadi di lapangan berlangsung secara pararel, dimana ketiga jenis kekeringan telah terjadi pada suatu hamparan.

Kogan (2000) telah melakukan penelitian untuk deteksi kekeringan dan dampak-dampaknya menggunakan data NOAA. Metode yang digunakan adalah VCI (Vegetation Condition Index), TCI (Temperature Condition Index) dan Vegetation Health (VHI). Dari penelitian ini diketahui bahwa kekeringan dapat dideteksi 4-6 minggu sebelumnya dan dapat didelineasi lebih akurat. Dampak kekeringan terhadap produksi gandum dapat diketahui sebelumnya, dimana ini merupakan kebutuhan vital bagi perdagangan dan ketahanan pangan dunia. Daerah penelitian adalah global (seluruh dunia) dengan 25 negara contoh untuk validasi.

(46)

Resolution Radiometer / National Oceanic and Atmospheric Agency). Metode yang digunakan adalah NDVI dan VCI (Vegetation Condition Index). Dari penelitian ini diketahui bahwa ketersediaan data MODIS dan AVHRR yang secara kontinyu dapat diperoleh akan mampu memberikan laporan tentang perkembangan kondisi kekeringan menggunakan metode NDVI dan VCI.

Guo et al. (2004) melakukan penelitian untuk menginvestigasi efisiensi kombinasi penggunaan data penginderaan jauh dan data klimatologi untuk analisis kekeringan. Penelitian dilakukan diCanadian Prairie Ecozonedi Provinsi Alberta, Saskatchewan, dan Manitoba, Kanada. Data yang digunakan adalah MODIS dan data Klimatologi dari stasiun lapangan. Metode yang digunakan adalah NDVI, EVI dan juga menggunakan panjang gelombang sinar merah (Red) dan infra merah tengah (Mid Infra Red / MIR). Dari penelitian ini diketahui bahwa indeks vegetasi dari data MODIS secara efekttif dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kekeringan, terutama EVI.

Guoet al.(2007) melakukan penelitian untuk mengetahui kekeringan pada daerah padang rumput menggunakan data MODIS. Penelitian dilakukan di dataran luas di bagian tengah negara Amerika Serikat (The Central Great Plains of the United States). Data yang digunakan adalah MODIS time series 2001-2005. Metode yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan NDWI (Normalized Difference Water Index). Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara NDVI dan NDWI dengan kondisi kekeringan. Analisis juga menyingkap bahwa kombinasi informasi dari data kanal visible, near infrared dan short wave infrared mampu memperbaiki sensivitas terhadap kekeringan. Oleh sebab itu, dari penelitian ini mengajukan variabel NDDI (Normalized Difference Drought Index) yang memiliki respon lebih kuat pada kondisi kekeringan musim kemarau dibandingkan metode NDVI dan NDWI yang lebih sederhana.

(47)

NDVI menunjukkan variabilitas yang tinggi dan juga sulit dalam interpretasi. Bulan-bulan kritis dalam seri data NDWI dan EVI bertepatan dengan bulan-bulan dimana kekurangan air lebih tinggi yang dihitung berdasarkan data TRMM. EVI juga menunjukkan kemampuan untuk mendeteksi perubahan struktur kanopi. Metode ini sangat baik untuk digunakan dalam analisis spasial luasan dampak-dampak kekeringan pada vegetasi.

Parida dan Oinam (2008) melakukan penelitian untuk memantau kondisi kekeringan vegetasi/pertanian menggunakan parameter TDVI (Temperature Vegetation Dryness Index). Penelitian dilakukan di Gujarat dan Assam (Negara bagian India) dan Visayas (wilayah barat Filipina). Analisis dilakukan dengan menggunakan metode TDVI dari data MODIS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data MODIS dapat mendeteksi dan memonitor kondisi kekeringan berdasarkan kriteria nilai TVDI > 0.8. Klasifikasi kekeringan pertanian ditentukan berdasarkan metode TVDI oleh Sanhold et al. (2002). Metode TDVI sangat berguna untuk identifikasi kekeringan menggunakan satelit secara langsung dalam periode harian.

2.3. Kerentanan dan Bencana

Definisi ancaman, bencana, kerentanan, dan resiko menurut Sekretariat Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (International Strategy for Disaster Reduction) PBB diacu dalam Bakornas PBP (2005), yaitu :

o Ancaman: kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kamatian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan

o Bencana: suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomik atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri.

o Kerentanan: kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik/lingkungan, sosial, ekonomi yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana.

(48)

o Resiko: suatu peluang dari timbulnya akibat buruk, atau kemungkinan kerugian dalam hal kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan harta benda, gangguan kegiatan matapencaharian dan ekonomi atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman, bencana dan kondisi kerentanan.

Bakornas PBP (2005) menyebutkan pula bahwa resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazards) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal. Tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan (kapasitas) dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Secara umum, resiko dapat dirumuskan sebagai berikut :

Resiko = Bahaya x Kerentanan Kemampuan

2.4. Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 dan PP no 68 tahun 2002 tentang Pangan disebutkan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau". Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dimana pangan tersedia dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, yang bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dimana pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, dimana pangan mudah diperoleh oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

(49)

yaitu (1) kerawanan pangan kronis dan (2) kerawanan pangan sementara/transien atau kerentanan pangan (Food Vulnerability). Kerawanan pangan dapat terjadi jika rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan kronis biasanya sering terjadi pada kawasan terpencil atau terisolasi, sehingga menyebabkan sedikitnya aktivitas sosial dan ekonomi. Kejadian bencana kelaparan berlangsung secara berulang, terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklus, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor-faktor eksternal yang ada.

Konsep ketahanan pangan (food security) selanjutnya terkait dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Pengertian ke tiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.

(50)

pada pendapatan, produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat provinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Di tingkat rumah tangga, kerawanan pangan umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh penghasilan yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Di tingkat individu, beberapa aspek seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan, perbedaan gender dan lainnya dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pada semua tingkatan, kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat mempengaruhi kerawanan pangan (Saad, 1999). Irawan (2005) melakukan penelitian "Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis". Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu mengabaikan pengaruh faktor lingkungan serta tidak spasial. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-0.77 % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun muiai tahun 2010.

(51)

memiliki akses penghubung yang memadai, (4) prosentase penduduk tanpa akses listrik; indikator sub-sistem kesehatan dan gizi, adalah: (5) angka harapan hidup saat lahir, (6) berat badan balita di bawah standar, (7) perempuan buta huruf, (8) angka kematian bayi, (9) penduduk tanpa akses ke air bersih, (10) prosentasi penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas; indikator Kerentanan Pangan, adalah: (11) prosentasi daerah berhutan, (12) prosentasi daerah puso, (13) daerah rawan longsor dan banjir, dan (14) penyimpangan/anomali curah hujan. Hasil analisis Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) tahun 2005 menunjukkan seratus kabupaten di Indonesia memiliki kondisi Ketahanan Pangan agak rendah, sehingga perlu mendapat prioritas untuk menanggulanginya.

Kerentanan Pangan di suatu daerah menurut Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan WFP (World Food Programme) tahun 2003 ditentukan oleh 4 indikator, yaitu :

(1) Persentase luas area/lahan bervegetasi, terutama Hutan;

(2) Anomali curah hujan (terhadap hujan rataan selama 20-30 tahun); (3) Persentase Luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal

panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit ;

(4) Persentase Luas areal yang mengalami resiko degradasi lahan akibat erosi, banjir atau longsor.

Kelas Kerentanan Pangan (Food Vulnerability) untuk setiap indikator selanjutnya dikelompokkan menjadi 6 kelas/kategori, yaitu : (1) Sangat Tahan Pangan; (2) Tahan Pangan; (3) Cukup Tahan Pangan; (4) Agak Rawan Pangan; (5) Rawan Pangan; dan (6) Sangat Rawan Pangan;

(52)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak membujur pada posisi 107o52- 108o36Bujur Timur dan 6o15- 6o40Lintang

Selatan (Gambar 5). Batas-batas wilayah Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Kabupaten

Sumedang dan Kabupaten Cirebon.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Subang

[image:52.595.90.514.368.739.2]

. Alasan dipilihnya lokasi Indramayu, karena daerah tersebut sering mengalami banjir, kekeringan, dan serangan hama penyakit yang menyebabkan kegagalan panen (puso). Kabupaten Indramayu adalah salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat, yang perlu mendapatkan kegiatan pemantauan kondisi lahan pertanian secara kontinyu.

(53)

3.2. Alat dan Bahan

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa data satelit inderaja seperti MODIS, TRMM, DEM SRTM 30 m. Data-data tersebut dapat diperoleh dari LAPAN. Data MODIS, DEM SRTM dan TRMM dapat diunduh bebas dari situs internet. Data digital lahan baku sawah diperoleh dari hasil kerjasama LAPAN dengan Pusdatin, Kementrian Pertanian, yaitu berupa klasifikasi lahan sawah tahun 2006 (menggunakan data Landsat dan SPOT) dan tahun 2009 (menggunakan data Ikonos). Data sekunder berupa data curah hujan bulanan dari Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan BMKG. Peta Jenis Tanah skala tinjau (1 : 250,000) Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) dan peta Land System diperoleh dari Bakosurtanal. Data statistik tanaman padi (luas panen, produktivitas, dan produksi), data bencana kekeringan, banjir, dan puso diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Data yang terkait dengan jumlah penduduk, sosial, ekonomi, dan infrastruktur hingga tingkat desa dapat diperoleh dari data dan informasi Podes (Potensi Desa) oleh BPS tahun 2008.

Data MODIS yang digunakan adalah data Refektan (MOD 09) 8 harian yang telah terkoreksi atmosferik dan radiometrik (level 2) untuk membuat EVI, serta data MOD11 untuk membuat suhu permukaan (Ts) tahun 2000 ~ 2009. Data EVI dan Ts tahun 2000 ~ 2004 digunakan untuk membuat model estimasi Evapotranspirasi potensial (ETP). Data EVI multitemporal tahun 2004 ~ 2006 digunakan untuk verifikasi model estimasi kelengasan lahan sawah. Data tahun 2006 ~ 2009 digunakan untuk mengetahui karakteristik tanaman, terutama padi di lahan sawah dan analisis data untuk membuat dan menerapkan model spasial banjir, kekeringan, dan kerentanan pangan.

Perangkat lunak pengolah citra dan spasial yang digunakan adalah ErMapper ver 7.0 dan ArcView 3.3, serta Visual C++ untuk pembuatan program khusus mengolah data MODIS. Alat GPS digunakan untuk mengukur posisi koordinat lokasi saat survey lapangan dan kamera digital untuk memotret kondisi lahan dan tanaman saat dilaksanakan survey lapangan.

3.3. Metode Penelitian

(54)
[image:54.595.91.499.70.740.2]

Gambar 5. Tahapan Penelitian Kerentanan Produksi Beras INVENTARISASI DATA

PRIMER DAN SEKUNDER INVENTARISASI DATA PRIMER & SEKUNDER

PENGOLAHAN DATA PRIMER & SEKUNDER

EKSTRAKSI INFORMASI Spasial & Vektor

%Veg, Anom Hujan Erosi, Banjir, Kering ANALISIS SPASIAL Pembobotan, Skoring

MODEL SPASIAL KERENTANAN VALIDASI MODEL

IMPLEMENTASI MODEL

PETA KERENTANAN

-Rata-rata kerentanan per Kecamatan - Analisis hubungan dg Produksi padi

Rekomendasi Prioritas Perbaikan di Kecamatan yang Rentan Basis Data Spasial :

Lereng, Aspek, EVI, Suhu, Hujan,Lengas

Basis Data Vektor : Erodibilitas, drainase, L.Sistem, Batas Adm

(55)

3.3.1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

[image:55.595.62.486.96.799.2]

Uraian tahapan kegiatan penelitian, tujuan, proses dan hasil kegiatan disajikan dalam Tabel 1

Tabel 1. Uraian tahapan kegiatan penelitian

No Tahapan Kegiatan Tujuan Proses Hasil

1 Inventarisasi data dan informasi primer dan sekunder Mengetahui ketersediaan dan kelengkapan data -Permintaan dan Pemesanan data -Unduh dari situs internet

Ketersediaan Basis data spasial, vektor dan tabular 2 Pengolahan data

primer dan Sekunder

Memperoleh data standar yang sudah terkoreksi -Koreksi atmosfir, geometrik data spasial -Koreksi & proyeksi peta data vektor -Mengecek Konsistensi data sekunder

-Data spasial & vektor terkoreksi -Data tabular kekeringan, puso di lapang

3 Ekstraksi Informasi data spasial dan vektor

Memperoleh data spasial dan vektor karakteristik lahan dan fisik lingkungan

Pengolahan citra Pengolahan data vektor -EVI; suhu, hujan bulanan, ETP, lengas, SPI, Lereng, drainase, sungai /irigasi

4 Analisis spasial, Pembobotan & Skoring untuk banjir dan kekeringan lahan sawah Pembobotan & skoring untuk kerentanan produksi -Memperoleh nilai bobot faktor pemicu banjir dan skor setiap kelas -Informasi spasial banjir, kekeringan, %vegetasi, anomali hujan (ACH) -Memperoleh nilai bobot faktor Kerentanan dan skor setiap kelas

-Tabulasi Silang faktor fisik

pemicu banjir dgn genangan banjir menggunakan metode CMA -Penentuan nilai bobot & skor faktor kekeringan menggunakan metode coba galat

- Metode AHP dan coba galat

-Model Spasial rawan banjir lahan sawah -Sebaran spasial banjir dan kekeringan lahan sawah -Sebaran spasial %Veg,ACH, -Model Spasial Kerentanan

5 Validasi model

Kerentanan -Memperolehakurasi model spasial

-Metode deviasi

rata-rata -Akurasi modelspasial kerentanan 6 Implementasi model -Memperoleh

sebaran spasial kerentanan Kab. Indramayu

-Pemodelan

spasial -sebaran spasialkerentanan berbasis desa

7 Analisis spasial, -Memperoleh nilai rataan kerentanan setiap kecamatan

-Hitung rata-rata (sumarize zone)

(56)

3.3.2. Metode Penilaian Kerentanan Produksi Beras

Kerentanan terhadap kerawanan pangan transien/sementara di suatu daerah menurut BKP dan WFP (2005) ditentukan oleh 4 faktor / indikator, yaitu :

(1) Persentase Luas area/lahan bervegetasi, terutama Hutan;

(2) Anomali Curah hujan (terhadap nilai hujan rataan selama 20-30 tahun);

(3) Persentase Luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit ;

(4) Persentase Luas areal yang mengalami resiko Degradasi lahan akibat erosi, banjir atau longsor.

Faktor-faktor lain yang bisa ditambahkan menurut Hanh (2003) pada skala lokal bisa mencakup faktor-faktor demografi (kepadatan dan tekanan penduduk), sosial (tingkat kemiskinan, desentralisasi), ekonomi (akses, diversifikasi), dan faktor lingkungan lainnya (deforestasi, degradasi, konversi lahan).

BKP dan WFP (2009) menggunakan istilah kerentanan, baik untuk Kerawanan Pangan transien maupun Kerawanan Pangan tetap/kronis. Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat

ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor

resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.

(57)

Tabel 2. Kriteria dan Peringkat pada Kelas Faktor untuk Kerentanan terhadap Rawan Pangan Transien

Faktor / Indikator Kriteria Kelas / Peringkat

1. % Area bervegetasi, terutama hutan

1. < 10% 2.10 – <20 % 3. 20 – <30 % 4. 30 – <40 % 5. 40 – <50 % 6. >= 50%

1. Sangat rawan pangan 2. Rawan

3. Agak rawan

4. Cukup tahan pangan 5. Tahan

6. Sangat tahan

2. Deviasi/ Anomali Curah Hujan

1. > 50% 2. 30 – <50 % 3. 20 – <30 % 4. 10 – <20 % 5. 1 – <10 % 6. < 1 %

1. Sangat rawan pangan 2. Rawan

3. Agak rawan

4. Cukup tahan pangan 5. Tahan

6. Sangat tahan

3. % Lahan terdegradasi akibat erosi, longsor

1. >= 30 % 2. 25 – <30 % 3. 20 – <25 % 4. 10 – <20 % 5. 5 - <10 % 6. < 5 %

1. Sangat rawan pangan 2. Rawan

3. Agak rawan

4. Cukup tahan pangan 5. Tahan

6. Sangat tahan

4. % Padi yang puso akibat

kekeringan, banjir di lahan sawah

1. >= 15% 2. 10 – <15 % 3. 5 – <10 % 4. 3 – <5 % 5. 1 – <3 % 6. < 1 %

1. Sangat rawan pangan 2. Rawan

3. Agak rawan

4. Cukup tahan pangan 5. Tahan

6. Sangat tahan Sumber : BKP dan WFP (2005)

Pengembangan metode dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan informasi spasial setiap faktor Kerentanan berbasis piksel (grid). Modifikasi dilakukan terhadap kriteria yang digunakan dan pemberian nilai skor setiap kelas dalam bentuk persamaan Regresi.

3.3.3. Faktor Persentase Vegetasi

(58)

Informasi spasial vegetasi dapat diperoleh dari hasil pengolahan citra data satelit MODIS ( Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer ) melalui parameter Indeks Vegetasi (EVI = Enhanced Vegetation Index). Kriterianya adalah sebagai berikut :

PV = (100 IVh ) / A

(1)

Dimana :

PV: Persentase vegetasi (%)

IVh: jumlah luas piksel-piksel yang memiliki nilai EVI EVIt, dimana EVIt

merupakan nilai batas (treshold) terendah dari EVI maksimum

tanaman di lahan sawah dapat diperoleh berdasarkan statistik análisis spasial EVI multemporal selama musim tanam padi di lahan sawah (Uchida, 2010).

A : luas area berbasis desa atau total jumlah piksel dalam suatu box Filter berukuran 3x3.

Formula untuk mengihtung indeks vegetasi EVI adalah sebagai berikut (Heuteet al.,1999) :

EVI = 2.5 (R2 – R1)/(1 + R2 + 6R1 – 7.5R3 ) (2) Dimana :

R1,R2,dan R3 : Reflektansi kanal infra merah dekat, merah, dan biru data MODIS terkoreksi radiometrik dan geometrik (level 2).

EVI merupakan salah satu parameter Indeks Vegetasi yang dikembangkan untuk mengatasi kekurangan yang dialami NDVI (Normalize Difference Vegetation Index), yaitu dengan menambahkan reflektansi kanal biru (R3) yang dapat mengeliminasi pengaruh awan tipis dan kandungan aerosol di atmosfer. EVI merupakan produk level 2 yang telah melalui proses koreksi radiometrik, atmosferik dan geometrik terhadap data level 1B (digital number) untuk menghasilkan reflektansi terkoreksi (Heute et al., 1999; Heute et al.,2002; Xiao et al.,2003)

(59)

0.235 0.237 0.235 0.239 0.236 0.123 0.315 0

Gambar

Gambar 1. Diagram Interaksi Empat Faktor yang mendukung KetahananPangan (DKP dan WFP, 2003)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Model Spasial Kerentanan ProduksiBeras
Gambar 4. Lokasi Penelitian di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
Gambar 5. Tahapan Penelitian Kerentanan Produksi Beras
+7

Referensi

Dokumen terkait