• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.3. Metode Penelitian

3.3.5. Faktor Kekeringan dan Banjir

Bencana kekeringan dan banjir yang parah/berat dapat menyebabkan areal pertanian/sawah yang mengalami gagal panen (puso). Informasinya secara tabular hingga tingkat kecamatan dapat diperoleh dari Dinas Pertanian Tingkat Kabupaten. Tabel 2 menunjukkan bahwa indikator bencana kekeringan maupun banjir yang dapat menyebabkan puso dengan kriteria persentase luas > 15 % sudah dikategorikan pada kelas 1 (sangat rawan), karena berkaitan langsung dengan kegagalan panen padi yang dapat menyebabkan pengurangan luas panen dan produksi padi.

Deteksi kekeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Inderaja dan SIG yang menggabungkan 3 jenis kekeringan, yaitu : Kekeringan Meteorologis, Agronomis, dan Hidrologis. Diagram alir penentuan Kekeringan Lahan Sawah disajikan pada Gambar 8. Kekeringan Meteorologis (KM) yang dapat digunakan adalah berdasarkan indeks SPI (Standardized Precipitation Index) yang diadopsi dari hasil penelitian McKee et al. (1993) dan Indeks Kekeringan Meteorologis (IKM) yang diturunkan dari rasio curah hujan dengan evapotranspirasi potensial (ETP) dengan formula : IKM = CH/ETP. Menurut FAO (1978) diacu dalam Hardjowigeno (2001), kondisi kekeringan terjadi jika nilai CH/ETP < 0.5.

Formula SPI adalah sebagai berikut :

SPI = (Xi -Xm) / Std (4)

dimana :

Xi : jumlah curah hujan pada periode waktu/bulanan ke-i

Xm : rata-rata curah hujan pada periode waktu tertentu/bulanan

ke-i selama beberapa tahun

Std : standar deviasi curah hujan pada periode waktu tertentu/

bulanan ke-i selama beberapa tahun

Hasil pengolahan data SPI menggunakan formula tersebut adalah berupa indeks yang mempunyai kisaran (-) sampai (+) yang menunjukkan tingkat kekeringan dan kebasahan meteorologis di suatu kawasan tertentu pada waktu tertentu. Klasifikasi tingkat kekeringan berdasarkan nilai SPI oleh McKee et al.

Tabel 3. Kategori Kekeringan dan Kebasahan berdasarkan Nilai SPI

No. Kelas Kekeringan/ Kebasahan SPI

1 Sangat Kering <= -2.0

2 Kering -2.0 < SPI <= -1.5

3 Agak Kering -1.5 < SPI <= -1.0

4 Normal -1.0 < SPI <= 1.0

5 Agak Basah 1.0 < SPI <= 1.5

6 Basah 1.5 < SPI <= 2.0

7 Sangat basah > 2.0

Metode Kekeringan Agronomis (KA) yang digunakan adalah berdasarkan Indeks Panas Vegetasi (IPV) yang merupakan rasio antara Indeks Vegetasi dengan suhu permukaan (Ts) dalam satuan derajat celcius. IPV dapat diperoleh dengan menggunakan data MODIS dengan formula sederhana pada persamaan 5 (Dirgahayu, 2006 ; Mieyer, 2009) :

IPV = IV/Ts (5)

Dimana : IV = 128 + 125 EVI ;

Data suhu permukaan (Ts) diperoleh dari data digital (DN) MODIS level 2 (MOD11) dengan konversi suhu menjadi derajat celcius pada persamaan 6.

Ts = 0.02 DN - 273 (6)

Metode Kekeringan Hidrologis (KH) yang digunakan adalah berdasarkan Kelengasan Lahan (Kadar Air Tanah) pada lahan sawah dengan menggunakan kombinasi reflektansi data MODIS (Dirgahayu dan Sofan, 2007). Sebaran spasial Kelengasan Lahan (KL) sawah dibuat dengan menggunakan persamaan 7 :

KL =- 16.8 - 0.934 R2 + 15.9 IPV (7)

Dimana : R2 : Reflektansi kanal 2 (NIR) MODIS dalam %

IPV : Indeks Panas Vegetasi berdasarkan persamaan no 5. Lahan sawah berpotensi mengalami kekeringan jika kadar air tanahnya < 20 % (Wahyuntoet al.,2003).

Informasi spasial evapotranspirasi potensial (ETP) diduga dengan menggunakan data EVI dan suhu permukaan (Ts) melalui persamaan regresi. Data ETP diperoleh dari stasiun Klimatologi yang terdekat dengan lokasi penelitian yang memiliki alat pengukur evapotranspirasi, yaitu di Balai Penelitian

Tanaman Padi Sukamandi, Subang. Hasil ekstraksi data EVI dan Ts dan ETP periode 8 harian di stasiun tersebut dapat dilihat pada Tabel Lampiran 10. ETP diduga melalui pendekatan defisit tekanan uap (De). Hasil analisis regresi antara ETP dengan De dinyatakan dalam persamaan 8 :

ETP = 10.398 De(0.639) (8)

n = 81 ; R2= 0.82 ; Se = 1.1;

thitDe = 19.36** (sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99%)

Dimana :

De = es(1 – RH) (9)

es : tekanan uap jenuh, dapat dihitung dengan formula (Handoko, 1994) : es = 6.108 exp((17.27 Tu)/(Tu + 237.3)) (10) RH : kelembaban udara = ea/es

ea : tekanan uap aktual

Tu : Suhu udara ; Ts = Suhu Permukaan ; dT = Ts - Tu

Tu = Ts - dT (11)

Delta suhu (dT) diduga menggunakan EVI dan Ts dengan persamaan regresi. dT = - 22.79 + 1.6032 Evi + 0.8296 Ts (12) n = 72 ; R2= 0.91 ; Se = 0.64

thitEVI = 2.36* (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)

thitTs = 24.03** (sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99%)

RH = 1/(1.21 + 0.0202 dT + 0.00191 dT2) (13) n = 61 ; R2= 0.79 ; Se = 0.039

thitdT = 3.15* (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)

Deteksi kekeringan lahan sawah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode coba-galat dari hasil penelitian RUKK LAPAN (Pusbangja, 2005), karena belum tersedianya peta sebaran kekeringan aktual (digital) pada saat terjadi kekeringan di Indramayu yang dapat digunakan untuk perhitungan bobot setiap faktor menggunakan metode CMA.

Sebaran spasial kekeringan lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari Kekeringan KM, KV, dan KH berupa zona rawan kekeringan. Untuk menghasilkan zona rawan kekeringan, ketiga informasi spasial KM, KV, dan KL tersebut digabung melalui aplikasi

Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode overlay terbobot (Multi Kriteria.)

Adapun langkah-langkah untuk membuat informasi spasial kekeringan lahan sawah adalah sebagai berikut :

Pertama, dilakukan penentuan nilai skor dengan skala 0 – 100 terhadap ketiga jenis kekeringan. Perhitungan nilai Skor adalah untuk standarisasi peubah- peubah yang berbeda satuan dan karakteristiknya menjadi setara, sehingga dapat digunakan bersama untuk membuat informasi tematik.

Skor = Skormin+ Val – Min (Skormax– Skormin) (14) Max – Min

Dimana :

Val : nilai awal peubah asal sebelum dibuat skor;

Min, Max : nilai minimum dan maksimum yang ada pada peubah asal Skormin : minimum nilai skor (misal diberi nilai 5)

Skormax : maksimum nilai skor (misalnya diberi nilai 100)

Nilai skor dari KM, KV, dan KH berturut-turut dapat dilihat dalam Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6.

Tabel 4. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Meteorologis (KM)

IKM Nilai Tengah Kelas Skor_KM

0 – 0.125 0 1 100 0.125 – 0.375 0.25 2 85 0.375 – 0.625 0.5 3 65 0.625 – 0.875 0.75 4 45 0.875 – 1.0 1 5 25 > 1.0 6 5

Tabel 5. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Hidrologis (KH)

Kadar Air Tanah (%) Kelas Skor_KH

0 – 5 1 100 5 – 15 2 85 15 – 25 3 70 25 – 35 4 55 35 – 50 5 30 50 – 70 6 15 > 70 7 5

Tabel 6. Kisaran, kelas, dan skor untuk Kekeringan Vegetasi (KV) KV Kelas Skor_KV 0 – 3 1 100 3 - 4 2 75 4 - 5 3 60 5 - 6 4 45 6 - 7 5 30 7 - 8 6 15 > 8 7 5

Untuk membuat Indeks Rawan Kekeringan (IRK) dihitung dengan persamaan 15 :

IRK = 0.25 KMskor+ 0.45 KVskor+ 0.30 KHskor (15)

Pembobotan menggunakan metode coba galat dengan asumsi bahwa kekeringan agronomis atau vegetasi lebih besar pengaruhnya terhadap kondisi kekeringan, karena langsung dialami oleh tanaman padi. Urutan selanjutnya adalah bobot lengas tanah (kadar air tanah) karena terkait dengan ketersediaan air yang masih dapat diserap langsung oleh akar tanaman.

Selanjutnya, berdasarkan nilai IRK klasifikasi tingkat rawan kekeringan dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu kelas non-kering, tingkat kering ringan, tingkat kering sedang, tingkat kering berat dan sangat berat (Tabel 7).

Tabel 7. Klasifikasi tingkat kekeringan lahan sawah berdasarkan IRK

IRK Kelas Klasifikasi

1 – 42 NK Non-Kering

42 – 57 TKR Tingkat Kering Ringan

57 – 70 TKS Tingkat Kering Sedang

70 – 77 TKB Tingkat Kering Berat

77 – 100 TKSB Sangat Berat

Gambar 7. Diagram Alir Penentuan Kekeringan Lahan Sawah

Sebaran spasial curah hujan baik dengan menggunakan masukan data yang bersumber dari stasiun klimatologi BMKG yang ada maupun dari data satelit seperti TRMM diperoleh setelah melakukan downscaling (interpolasi spasial) menggunakan metode spline (minimum curvature). Khusus untuk data satelit perlu dilakukan kalibrasi dengan data curah hujan yang valid di lapangan (stasiun klimatologi BMKG) agar informasinya mendekati dengan kondisi yang

MODIS Reflektan,EVI,Ts Masking Awan, Interpolasi Ts EVI, Ts, Reflektan Terkoreksi MODEL SPASIAL KEKERINGAN LAHAN SAWAH Kekeringan Agronomis Algoritma: IPV= IV/Ts Kekeringan Meteorologis Algoritma: SPI, KM = CH/ETP Analisis Tingkat Kekeringan Kalibrasi,Interpolasi SPOT, LANDSAT Klasifikasi Land Cover Data Kekeringan (Dinas Pertanian) Survey Lapangan. VALIDASI MODEL Curah Hujan ETP Kelengasan (KL) Kekeringan Hidrologis Analisis Spasial Overlay Indeks Terbobot Lahan Baku Sawah Hujan BMKG TRMM

sebenarnya di lapangan. Kalibrasi untuk data TRMM 8 harian menjadi curah hujan (CH) dengan formula sebagai berikut (Zubaidah dan Dirgahayu, 2011).

CH = 0.584 TRMM + 2.56 (16)

Sebaran spasial banjir lahan sawah yang diaplikasikan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor biofisik penyebab banjir, antara lain faktor vegetasi, curah hujan bulanan, drainase tanah, elevasi, lereng, sistem lahan, dan jarak dari sungai dan saluran irigasi. Bobot setiap faktor dan skor pada kelas setiap faktor dihitung dengan menggunakan metode CMA. Penggunaan metode CMA untuk menghitung bobot bersifat empiris dan obyektif dibandingkan dengan metodetrial-and-error (coba-galat). Pengaruh relatif suatu faktor / peubah tehadap kerentanan dihitung berdasarkan kisaran nilai kelas setiap peubah pada setiap kondisi kekeringan atau banjir aktual di lapangan yang menyebabkan kegagalan panen padi (puso).

Metode CMA menggunakan tabulasi hasil analisis spasial antara informasi aktual genangan banjir dengan faktor-faktor biofisik lahan. Informasi spasial genangan banjir tahun 2006 diperoleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Indramayu. Metode ini lebih dinamis, karena menggunakan peubah seperti indeks vegetasi dan curah hujan yang kondisinya bisa berfluktuasi setiap bulan dibandingakan dengan metode potensi bahaya banjir yang dibuat oleh Kimpraswil (2001) maupun Abidin et al. (2006) yang hanya menggunakan peubah tetap penggunaan lahan dan curah hujan tahunan.

Dokumen terkait