• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.3. Metode Penelitian

3.3.8. Standarisasi Skor Peubah Kerentanan

Untuk menentukan skor setiap sub kriteria atau kelas pada masing- masing faktor yang menunjukkan pengaruh relatif terhadap Kerentanan Pangan dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode rating dengan skala stándar 1 -100.

Enam peringkat yang telah ditentukan oleh para pakar BKP dan WFP (2005) diasumsikan memiliki skor yang sama setelah dikelompokkan menjadi 10 peringkat. Pendetilan kriteria dari 6 peringkat menjadi 10 dilakukan pada batas atas, bawah dan diantara kriteria yang telah ditetapkan oleh BKP dengan tujuan perubahan skor antar kelas dapat terlihat secara gradual. Susunan peringkat dibalik, dimana pengaruh yang tinggi terhadap kerentanan (puso) diberi nilai skor yang lebih tinggi. Sebelumnya BKP dan WFP (2005) menempatkan peringkat pertama untuk kelas yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap kerentanan (puso), karena dikaitkan dengan prioritas kebijakan untuk dilakukan perbaikan. Sebagai contoh penentuan nilai skor pada faktor anomali curah hujan (ACH)

yang semula oleh BKP dan WFP (2005) ada 6 kelas dengan peringkat 1 – 6 diberi skor dengan skala 1 – 100 disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Peringkat dan Nilai Skor awal pada kelas Faktor ACH Peringkat |ACH| (%) Nilai Tengah |ACH| Skor

1 > 50 60 85 2 30-50 40 55 3 20-30 25 35 4 10-20 15 20 5 1- 10 5 7 6 < 1 1 1

Keterangan :|ACH| : nilai absolut ACH

Pada kondisi yang sebenarnya di lapang nilai ACH bisa mencapai 60-100 % (BKP, 2005), oleh karena itu nilai tengah ACH = 60 diberi skor 85 dengan asumsi |ACH| > 70 % memilki skor 100. Rata-rata ACH = 5 diberi skor = 100*(5/70) = 7, sedangkan rata-rata ACH = 25 diberi skor = 100*(25/70) = 36 (dibulatkan menjadi 35). Selanjutnya dengan metode coba galatpenentuan nilai skor untuk setiap kelas pada setiap peubah/faktor Kerentanan didetailkan menjadi 10 kelas disajikan pada Tabel 11 hingga Tabel 14. Semakin tinggi nilai skor menunjukkan pengaruhnya yang lebih besar untuk menimbulkan kondisi sangat rentan terhadap kegagalan panen (puso).

Tabel 11. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Vegetasi No Luas Vegetasi X1 (%) Skor 1 100 1 2 80 7 3 70 15 4 60 25 5 50 35 6 40 45 7 30 55 8 20 70 9 10 85 10 1 100

Tabel 12. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Curah Hujan No Anomali Curah Hujan

X2 (%) Skor 1 ± 1 1 2 ± 5 7 3 ± 15 20 4 ± 20 25 5 ± 25 35 6 ± 30 45 7 ± 40 55 8 ± 50 70 9 ± 60 85 10 ± 80 100

Tabel 13. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Degradasi Lahan No Luas Degradasi X3 (%) Skor 1 1 1 2 3 7 3 5 15 4 7 25 5 10 35 6 15 45 7 20 55 8 25 70 9 30 85 10 40 100

Tabel 14. Penentuan Nilai Skor pada kelas Faktor Banjir / Kekeringan

No Luas Banjir, Kekeringan X4 (%) Skor 1 1 1 2 3 7 3 5 15 4 7 25 5 10 35 6 13 45 7 15 55 8 20 70 9 25 85 10 35 100

Hasil plot antara kelas peubah dengan skor kerentanannya diperlihatkan pada Gambar 9 ~ Gambar 12. Persamaan Regresi yang dihasilkan berbentuk kuadratik untuk kempat faktor Kerentanan.

Gambar 9. Penentuan Skor % Vegetasi Gambar 10. Penentuan Skor Anom Hujan

Gambar 11. Penentuan Skor Degradasi Gambar 12. Penentuan Skor Banjir &Kekeringan

Penentuan skor setiap kelas pada setiap faktor dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

(1) Faktor Vegetasi : PVSkor= 0.007X12- 1.7109X1+ 101.53 (21)

(2) Faktor Anomali Hujan :

Anomali - :ACHSkor= -0.0078X22- 2.0304X2-11.42 (22)

Anomali + :ACHSkor= -0.0078X22+ 2.0304X2-11.42 (23)

(3) Faktor Degradasi Lahan :DegSkor = -0.0242X32+ 3.5117X3- 1.475 (24)

(4) Faktor Kekeringan, :BKSkor = -0.0472X42+ 4.7183X4- 6.08 (25)

Banjir

Pemberian nilai skor pada setiap kelas peubah kerentanan harus dilakukan beberapa tahap jika menggunakan data berbasis vektor, yaitu dengan cara mengisi nilai skor pada tabel atribut masing-masing peubah menggunakan modul query. Jika menggunakan data berbasis grid atau raster harus dilakukan rekode terhadap input data asli dengan algoritmaIF – Then sebanyak 10 baris pada SW ErMapper atau pengisian tabel rekode pada SW Arcview. Perhitungan skor setiap layer peubah secara otomatis dapat dilakukan dengan model persamaan

y = -0.0242x2+ 3.5117x - 1.4752 R2= 0.9945 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 25 30 35 40 % Luas Degradasi Skor

tersebut diatas. Sebagai contoh untuk menghitung skor peubah PV (% vegetasi) pada SW ErMapper cukup menulis 1 baris algoritma saja, sebagai berikut :

If 0.007 i12– 1.71 i1 > -1.53 then 100 else 0.007 i12- 1.71 i11+ 101.53 3.3.9. Klasifikasi Tingkat Kerentanan

Kriteria tingkat Kerentanan Pangan menjadi 6 kelas dapat ditentukan berdasarkan interval nilai minimum dan maksimum skor Kerentanan serta sebaran jumlah piksel setiap skor yang dihasilkan model (histogram). Besarnya interval/kisaran kelas dapat ditentukan dengan formula :

Kisaran = (Max – Min)/k (26)

Dimana :

Min, Max : Minium dan maksimum nilai skor kerentanan yang dihasilkan

k : Jumlah kelas

Misalkan kisaran minimum dan maksimum skor Kerentanan yang diperoleh antara 1 sampai dengan 100, maka interval antar kelas untuk membuat Tingkat Kerentanan sebanyak 6 kelas adalah sebesar 17. Kategori/kelas tingkat Kerentanan ditentukan dengan kriteria seperti disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Kriteria Penentuan Kategori Tingkat Kerentanan Pangan No Kisaran Rentan skor (Y) Kelas Rentan_Kelas

1 <= 17 1 Tidak Rentan

2 18 – 34 2 Kerentanan Sangat Rendah

3 35 – 51 3 Kerentanan Rendah

4 52 – 68 4 Kerentanan agak Tinggi

5 69 – 85 5 Kerentanan Tinggi

6 > 85 6 Kerentanan sangat Tinggi

Dalam penelitian ini batas antar kelas ditentukan pula (disesuaikan) berdasarkan bentuk histogram sebaran data skor Kerentanan dan nilai statistik rata-rata dan standar deviasinya.

3.3.10. Pengujian Model

Pengujian model dilakukan dengan membandingkan luas kegagalan panen (puso) hasil model dengan luas puso yang diamati di lapangan (laporan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu). Dalam penelitian ini tingkat akurasi

model dihitung dengan uji statistikMean Absolut Percentage Error (MAPE) untuk mengukur keakuratan keluaran model (Hauke et al., 2001 ; Handoko, 2005). Uji statistik yang lain menurut Spurr (1952), antara lain : Simpangan rata-rata (SR), Simpangan Agregat (SA), Bias, RMSE (Root Mean Square Error), dan uji X2 (Khi-kuadrat). Formula matematik setiap uji dinyatakan pada persamaan 27 ~ 32.

MAPE = 1/n ( |Ye/Ya – 1| ) (27) SR = 1/n ( |1 - Ya/Ye| ) (28) SA = Ye - Ya (29) Ye Bias =1/n (Ye/Ya – 1) (30) RMSE = (1/n (Ye/Ya – 1)2)1/2 (31) = ( ) / Dimana :

Ye : Nilai dugaan hasil model ; Ya : nilai aktual / referensi Hipotesis yang diuji pada test X2adalah sebagai berikut :

Ho: Ye = Ya dan H1 : Ye Ya

Kaidah keputusannya adalah sebagai berikut:

2

)

1

,

(

2

tabel

n

hitung

χ

α

χ

, maka terima H0

2

)

1

,

(

2

>

tabel

n

hitung

χ

α

χ

, maka terima H1

Model dinyatakan sangat baik, jika memiliki nilai MAPE dan SR 10%, SA antara -1% ~ 1%, RMSE kecil, Bias mendekati nol, dan hasil uji X2 menerima

hipotesis Ho(tidak signifikan). Akurasi model dapat ditentukan pula berdasarkan

plot antara keluaran model dengan keadaan aktualnya dalam bentuk persamaan Regresi (Handoko, 2005). Model dinyatakan memilliki akurasi tinggi jika slope garis (konstanta Regresi) mendekati satu. Tingkat Akurasi (TA) model dihitung dengan formula 33.

TA = 100 – MAPEavg (33)

TA : Tingkat Akurasi (%) MAPEavg:MAPE rata-rata, dalam %

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat Indonesia yang terletak pada jarak 207 Km kearah Timur dari Jakarta dan 180 Km kearah Timur Laut dari Bandung. Ibu kota kabupaten dan pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Indramayu namun titik teramai berada di Kecamatan Jatibarang.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kabupaten Indramayu ditetapkan sebagai salah satu pusat kegiatan nasional yang mengemban fungsi sebagai salah satu lumbung pangan, pusat pengolahan migas strategis dan simpul transportasi yang melayani aktifitas berbagai provinsi di jalur pantura yang berperan sangat dinamis di pulau Jawa maupun lingkup nasional. Simpul-simpul di wilayah kabupaten Indramayu diantaranya adalah Kecamatan Indramayu, Jatibarang, Haurgeulis dan Karangampel.

Dengan potensi kelautan, dipadukan dengan pertanian, perkebunan, kehutanan dan peternakan, ditambah lagi dengan predikat sebagai kota Mangga, maka wilayah Indramayu memiliki keunggulan komparatif yang sangat berpotensi untuk menjadimutiara di jalur pantura.

4.1. Iklimdan Curah Hujan

Kabupaten Indramayu sebagian besar memiliki tipe iklim D (Iklim sedang) berdasarkan Klasifikasi iklim Schmid-Fergusson. Iklim tropis tipe D tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut (Bappeda Indramayu, 2009) :

1. Suhu udara harian berkisar antara 22.9oC – 30oC, dengan suhu udara

rata-rata tertinggi mencapai 32oC dan terendah 22.9oC.

2. Kelembaban udara 70 – 80%.

3. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1,587 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan sebanyak 91 hari.

4. Curah hujan tertinggi kurang lebih 2,008 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 84 hari, sedangkan curah hujan terendah kurang lebih 1,063 mm dengan jumlah hari hujan 68 hari.

5. Angin barat dan angin timur bertiup secara bergantian setiap 5-6 bulan sekali.

Analisis curah hujan rata-rata menggunakan data 6 tahun terakhir (tahun 2005-2010) menunjukkan hasil yang agak berbeda (Gambar 13). Kabupaten Indramayu sebagian besar memiliki tipe iklim D (Iklim sedang), tipe E (agak kering), dan sebagian kecil tipe C (agak basah) berdasarkan Klasifikasi iklim Schmid-Fergusson. Tipe iklim D menyebar di bagian wilayah sebelah barat dan timur, sedangkan tipe E sebagian besar berada di bagian tengah Kabupaten Indramayu. Berdasarkan tipe iklim tersebut, wilayah endemik kekeringan akan terjadi di area yang memiliki tipe iklim E. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kekeringan setiap tahun di lahan sawah Kabupaten Indramayu pada kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu menyebabkan dampak yang lebih parah terhadap tanaman padi dibandingkan kejadian banjir. Laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu tahun 2009 menyebutkan Kekeringan terluas terjadi pada tahun 2008 yang menyebabkan gagal panen padi (puso) sekitar 28 ribu Ha.

Gambar 13. Klasifikasi Pewilayahan Iklim Hujan Kab. Indramayu, berdasarkan metode Schmidt-Fergusson

4.2. Penutup/Penggunaan Lahan

Wilayah Kabupaten Indramayu seluas 209,846 Ha memiliki panjang garis pantai 114.1 Km yang membentang sepanjang pantai utara antara Cirebon sampai dengan Subang. Informasi spasial penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu berdasarkan laporan Bidang Pemetaan dan SIG, Bapedda Kabupaten Indramayu diperoleh luas penggunaan lahan tahun 2009 pada Tabel 16.

Penggunaan lahan sawah irigasi adalah yang paling besar luasnya dengan persentase 57 %. Selanjutnya penggunaan lahan perkebunan dan permukiman menempati urutan ke-dua dan ke-tiga, yaitu sebesar 15.3 % dan 8.6 %.

Tabel 16. Informasi Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Indramayu

Sebaran spasial penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 14.

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas ( % )

1 Danau 749 0.4% 2 Rawa 294 0.1% 3 Empang 12,600 6.0% 4 Penggaraman 325 0.2% 5 Permukiman 17,980 8.6% 6 Kilang Minyak 325 0.2% 7 Gudang Dolog 685 0.3% 8 Ladang / Tegalan 7,372 3.5% 9 Semak 965 0.5% 10 Sawah Irigasi 121,357 57.8%

11 Sawah tadah hujan 12,420 5.9%

12 Perkebunan 32,131 15.3%

13 Hutan bakau 2,643 1.3%

Total Luas 209,846 100%

Sumber : Bappeda Indramayu (

Gambar 14. Informasi Spasial Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu

4.3. Hidrologi

Sumber air yang terdapat di Kabupaten Indramayu meliputi air permukaan dan air tanah. Air permukaan berupa Sungai dan air genangan yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS), sedangkan air tanah terdiri air tanah bebas dan air tanah tertekan yang dieksploitasi melalui sumur-sumur pompa. Kabupaten Indramayu merupakan daerah hilir dari aliran sungai-sungai yang sangat potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan masyarakat, baik untuk kepentingan usaha pertanian, usaha industri maupun bahan baku air bersih. Daerah Aliran Sungai tersebut yaitu Cipunegara, Cipancuh, Sewo, Mang Setan, Bugel, Legok, Eretan, Cilet, Tuan, Cilalanang, Cipanas, Cipondoh, Cibelerang, Pangkalan, Semak, Maja, Rambatan, Cimanuk, Prawiro Kepolo, Prawiro Darung, Gebang Sawit, Glayem, Kamal, Sigedang, Bobos, Oyoran, Pamengkang, Cimanis, dan Kumpulkuista (Bappeda Indramayu di :

Peta sebaran spasial buffer sungai (digabung dengan saluran irigasi) dengan jarak interval 500 m dari jalur sungai atau saluran irigasi disajikan pada Gambar 15. Untuk tujuan visualisasi kelas buffer digabung setiap 1.5-2 Km.

Gambar 15. Buffer sungai/kanal dengan interval jarak 0 – 1.5 Km dari Sungai/ Saluran Irigasi di Kabupaten Indramayu

Peta Buffer sungai dan saluran irigasi tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu faktor untuk membuat peta bahaya banjir maupun kekeringan. Semakin dekat jarak dengan sungai maupun saluran irigasi, maka lebih berpeluang besar mengalami banjir akibat dari luapan air sungai. Sebaliknya semakin jauh dari sungai atau saluran air irigasi, maka berpotensi besar mengalami kekeringan.

4.4. Topografi dan Kemiringan Lahan (Kelerengan)

Elevasi / ketinggian wilayah pada umumnya berkisar antara 0 – 37.5 meter di atas permukaan laut (dpl). Wilayah dataran rendahnya berkisar antara 0 – 6 meter dpl berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan, dan lain sebagainya. Wilayah dataran rendah menempati bagian terluas dari total wilayah yang terletak di sebelah Utara dan Timur. Sebagian besar permukaan tanahnya berupa dataran dengan kemiringan antara 0% – 3% seluas 201,285 Ha atau 96,03% dari total luas wilayah. Peta sebaran spasial elevasi / ketinggian, aspek dan kemiringan lahan diturunkan dari data DEM SRTM 30 m. Informasi spasial elevasi dengan interval 12.5 m diperlihatkan pada Gambar 16.

Gambar 17. Informasi Spasial Kemiringan Lahan (Lereng)

4.5. Jenis Tanah dan Kondisi Drainase Lahan

Berdasarkan Peta Jenis Tanah skala tinjau (1: 250,000) menunjukkan komposisi jenis tanah di kabupaten Indramayu terdiri dari tanah alluvial hidromorf, asosiasi podsolik, dan hidromorf kelabu, regosol kelabu, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu, grumosol kelabu, alluvial kelabu tua, asosiasi gleihumus rendah dan alluvial kelabu, asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan, komplek grumosol dan mediteran serta asosiasi alluvial kelabu dan coklat. Tingkat keasaman tanah bervariasi dari mulai asam, netral, sampai basa. Tanah alluvial pada umumnya baik digunakan untuk budidaya tanaman padi, sehingga penggunaan lahan sawah banyak ditemui di atas lahan yang memiliki jenis tanah alluvial. Informasi kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas),

tekstur tanah, dan beberapa sifat fisik dan kimia tanah dapat diperoleh dari peta jenis tanah. Informasi spasial jenis tanah (disajikan pada Gambar 18).

Gambar 18. Informasi Spasial Jenis Tanah

Kabupaten Indramayu memiliki empat kelas drainase. Secara umum, bagian utara kabupaten ini memiliki kelas drainase buruk dan agak buruk, sehingga berpotensi air tergenang dan banjir. Wilayah bagian selatan dan tengah memiliki drainase baik, Informasi spasial drainase tanah disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Informasi Spasial Drainase Tanah

4.6.Bentuk Lahan (Geomorfologi)

Berdasarkan Peta Sistem Lahan (Land System) dan laporan dari Bappeda Kabupaten Indramayu menunjukkan kondisi bentuk lahan wilayah Kabupaten Indramayu terbagi menjadi daerah perbukitan rendah bergelombang dan dataran rendah. Perbukitan rendah bergelombang menempati daerah sempit di bagian Barat Daya membentuk perbukitan yang memanjang dengan arah Barat Laut sampai Tenggara, sedangkan dataran rendah menempati bagian tengah sampai ke Utara. Kombinasi kondisi bentuk lahan dan karakteristik lahan lainnya ditunjukkan dalam satuan peta Sistem Lahan. Sebaran spasial Sistem Lahan kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Informasi Spasial Bentuk Lahan (Sistem Lahan)

4. 7. Kependudukan

Berdasarkan hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2009, jumlah penduduk Kabupaten Indramayu tercatat sebanyak 1.744.897 jiwa, dengan kepadatan penduduknya sebesar 849 jiwa/Km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Karangampel sebesar 1.916 jiwa/ Km2, sedangkan yang terendah yaitu Kecamatan Cantigi sebesar 242 jiwa/Km2. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kabupaten Indramayu dari tahun 2005 – 2009 mengalami flutkuasi. LPP terbesar terjadi pada tahun 2007-2008, yakni sebesar 0,87, sedangkan LPP terkecil terjadi antara tahun 2006 -2007, yaitu 0,51. LPP 2008-2009 sebesar 0,7%. LPP yang menurun menunjukkan keberhasilan terhadap program pengendalian jumlah penduduk yang selain itu

juga disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu banyaknya arus migrasi keluar daerah Kabupaten Indramayu seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jumlah Penduduk yang tergolong miskin di Indramayu masih realtif tinggi, namun telah mengalami penurunan sebesar 14,94% selama 4 tahun terakhir. Pada tahun 2005 angka kemiskinan sebesar 50,15% menjadi 35,21% pada tahun 2009. Penurunan persentase penduduk miskin ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Jumlah pengangguran pada tahun 2005 sebesar 8,21% dan pada tahun 2009 mencapai 10,25%. Hal ini berarti telah mengalami peningkatan sebesar 2,04%. Jumlah pengangguran merupakan proporsi jumlah penduduk yang mencari kerja secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja. Saat ini pemerintah terus melakukan pembangunan di bidang ketenagakerjaan, sehingga pada akhirnya dapat memberikan pilihan pekerjaan dan jenis usaha yang layak dan beretika bagi masyarakat.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ekstraksi informasi spasial faktor lingkungan guna menentukan tingkat Kerentanan Produksi Beras di Kabupaten Indramayu pada catur wulan pertama (Januari ~ April) tahun 2006 dan pada catur wulan kedua (Mei ~ Agustus) tahun 2008 yang meliputi faktor PV, ACH, Degradasi lahan, dan potensi puso diuraikan pada pembahasan di bawah ini. Periode Januari ~ April wewakili kondisi banjir, sedangkan Periode Mei ~ Agustus mewakili kondisi kejadian kekeringan terluas di kabupaten Indramayu.

5.1. Persentase Vegetasi

BKP dan WFP (2005) dalam laporan Peta Rawan Pangan di Indonesia tahun 2005 menentukan kriteria persentase vegetasi hutan yang tersisa akibat

deforestasi hutan sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi Kerentanan

Pangan atau Kerawanan pangan yang bersifat transien/sementara. Alasannya karena fungsi dari tajuk lahan bervegetasi terutama hutan dapat menangkap air, mencegah kerusakan lahan akibatRun Off/limpasan permukaan dan banjir serta mempengaruhi ketersediaan air permukaan dalam mekanisme evapotranspirasi. Kriteria penutupan vegetasi hutan yang lebih kecil dari 30% sudah termasuk kriteria rawan pangan adalah hal yang logis. Hasil penelitian Mulyana (2012) menyebutkan bahwa pengurangan vegetasi hutan sebanyak 1 Ha dapat menyebabkan kenaikan limpasan permukaan sebesar 8.1 mm/Ha/tahun, penurunan 13 % kelengasan atau kadar air tanah, serta menurunkan sekitar 33 % evapotranspirasi.

Dalam penelitian ini penutupan lahan bervegetasi didominasi oleh lahan pertanian, terutama lahan sawah. Oleh sebab itu kriteria persentase vegetasi yang diwakili oleh kondisi kehijaun tanaman dapat diturunkan oleh parameter Indeks Vegetasi (IV) dari data inderaja (penginderaan jauh). Kriteria nilai batas dari IV yang mempengaruhi kondisi kerentanan ditentukan berdasarkan nilai maksimum IV yang dapat dicapai oleh tanaman padi selama masa pertumbuhannya di lahan sawah (rata-rata 4 bulan). Indeks vegetasi maksimum tersebut berkorelasi dengan indeks luas daun (ILD) yang dapat dicapai sebagai hasil kegiatan fotosintesa tanaman selama masa fase pertumbuhan vegetatif. ILD maksimum tersebut berkorelasi juga terhadap hasil / produktivitas tanaman (Handoko, 2005). Tanaman padi pada umumnya mencapai fase pertumbuhan

vegetatif maksimum ketika mulai tumbuh malai, yaitu sekitar 55 – 65 hst (hari setelah tanam).

Citra komposit warna yang terdiri dari EVI rata-rata (layer red), EVI maksimum (layer green), dan EVI minimum (layer blue) selama tahun 2006-2009 diperlihatkan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan obyek lahan sawah didominasi oleh warna hijau, karena perbedaan yang kontras antara EVI saat mencapai maksimum dengan EVI saat minimum (awal tanam). Obyek badan air (tambak dan empang) di sebelah utara tampak berwarna biru tua. Obyek penggunaan lahan lainnya tampak didominasi oleh warna abu-abu bercampur dengan sedikit warna lain, karena perbedaan antara nilai EVI minimum, maksimum, dan rata-rata selama beberapa tahun tidak terlalu besar.

Gambar 21. Citra Komposit Wana EVI multitemporal 2006-2009 (Layerred: mean EVI;green: max EVI;blue: Min EVI)

Berdasarkan hasil analisis spasial dan temporal data EVI Modis pada lahan sawah dari tahun 2007 sampai dengan 2009 menunjukkan tanaman padi minimal mencapai nilai EVI maksimum 0.45 (lihat Tabel 17). Selanjutnya nilai EVI 0.45 ini digunakan sebagai nilai ambang batas (treshold) untuk menghitung persentase vegetasi berbasis piksel di lahan pertanian dalam menentukan kondisi Kerentanan dari faktor vegetasi. Untuk menghitung persentase vegetasi tersebut dibutuhkan data EVI multitemporal selama masa pertumbuhan tanaman padi, yaitu rata-rata selama 4 bulan. Jadi dibutuhkan sekitar 16 buah data EVI MODIS yang akan dihitung nilai maksimumnya setiap piksel. Selain nilai EVI maksimum yang dapat dicapai seperti yang tercantum pada Tabel 17, karakteristik lain dari tanaman padi berdasarkan nilai EVI adalah adanya selisih yang kontras antara EVI maksimum dengan EVI saat tanam yang didominasi oleh obyek air yang memiliki nilai EVI rendah serta rata-rata nilai EVI dari mulai tanam padi hingga panen.

Tabel 17. Hasil Analisis Statistik EVI Maksimum Tanaman Padi di Lahan Sawah Indramayu dan sekitarnya Tahun 2007-2009

Parameter Min Max Mean Std

IV Max 0.458 0.940 0.649 0.120

IV Max-Tan 0.350 0.743 0.402 0.151

IV MeanVG 0.272 0.610 0.411 0.075

Keterangan :

IV Max : EVI Maksimum, pada saat 60 hst (hari setelah tanam) IV Max-Tan : selisih EVI maksimum dengan EVI saat tanam

IV MeanVG : rataan nilai EVI dari mulai tanam hingga panen

Profil pertumbuhan tanaman padi berdasarkan nilai EVI (Gambar 22) dapat digunakan untuk mendeteksi pola tanam padi di suatu lokasi, yaitu berdasarkan bentuk kurva yang memiliki beberapa tahap pertumbuhan yang ditunjukkan oleh perubahan nilai EVI dari mulai awal tanam, fase vegetatif, puncak (EVI maksimum), fase generatif hingga berakhir saat panen (bera). Contoh EVI multitemporal 8 harian dalam Gambar 22 menunjukkan pola tanam padi 1 x /tahun dengan awal tanam pada awal Januari 2007, November 2007, dan Oktober 2008 (ditandai dengan huruf a,b, dan c pada Gambar 22). Pada lokasi tersebut nilai EVI maksimum paling tinggi tercapai pada saat data ke 97 ( 2 Februari 2009) yaitu dengan nilai EVI 0.66 dan awal tanam sekitar 2 Desember

2008, sedangkan EVI maksimum terendah tercapai pada saat data ke 52 ( 10 Februari 2008) yaitu dengan nilai EVI 0.46 dan awal tanam sekitar 3 Desember 2007. Gambar 22 tersebut menunjukkan pula bahwa tanaman di lahan sawah yang mencapai EVI maksimum < 0.45 bukan menunjukkan tanaman padi, karena jarak waktu antara tanam hingga mencapai puncak kurang dari 60 hari serta jarak waktu awal tanam hingga akhir panen kurang atau lebih dari 120 hari, selain juga bentuk kurvanya yang berbeda.

Gambar 22. Profil Pertumbuhan Tanaman Padi berdasarkan EVI Multitemporal

Sebaran spasial Persentase Vegetasi (PV) berbasis batas desa yang mewakili kondisi kekeringan pada periode Mei – Agustus 2006 dapat dilihat pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23 tersebut menunjukkan bahwa area yang memiliki persentase vegetasi tinggi ( > 60 %) berada di sebelah selatan, yaitu di Kecamatan Gantar, Terisi, Cikedung dan Sukagemiwang, sedangkan di bagian utara sebagian besar area memiliki peresentase vegetasi rendah (< 20 %), meliputi Kecamatan Sukra, Patrol Kandanghaur, Losarang, Pasekan, dan Indramayu.

Gambar 23. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei-Agustus 2006 Berbasis Batas Desa.

Gambar 24. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Mei-Agustus 2008 Berbasis Batas Desa

Jika dibandingkan dengan kondisi pada periode yang sama pada tahun 2008 (Gambar 24) terjadi perluasan area yang mengalami Persentase Vegetasi yang rendah (< 20 %), yaitu di bagian utara, meliputi Kecamatan Indramayu, Arahan, Balongan, Sindang, Cantigi, Pasekan, Losarang dan Krangkeng. Kecamatan Pasekan mengalami kondisi yang sama yaitu PV yang rendah yang disebabkan oleh obyek bukan vegetasi mendominasi lokasi tersebut, yaitu tambak. Kondisi yang sama di Kecamatan Pasekan ditunjukkan pula pada periode Januari – April 2006. Sebagai perbandingan kondisi PV pada periode Januari – April 2006 (Gambar 25) sebagian besar mencapai > 80 %. Sebagian area di Kecamatan Losarang dan Kandanghaur mengalami kondisi yang rendah, yaitu 10 – 30 %.

Gambar 25. Informasi Spasial Persentase Vegetasi pada Periode Januari-April 2006 Berbasis Batas Desa

5.2. Anomali/Deviasi Curah Hujan

BMKG dalam laporan bulanannya menyebutkan bahwa anomali atau deviasi hujan pada suatu periode bulanan terhadap nilai rataan hujan bulanan selama 20 – 30 tahun (rataan klimatologi) menggambarkan kondisi kenormalan sifat hujan pada bulan yang bersangkutan. Suatu bulan berada dalam kondisi hujan normal jika rasio antara hujan bulanan yang bersangkutan dengan rataan hujan klimatologinya berkisar antara 85 – 115 %. Jika dinyatakan dalam anomali atau deviasi hujan, maka suatu bulan dinyatakan dalam kondisi normal jika curah

Dokumen terkait