• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 dan PP no 68 tahun 2002 tentang Pangan disebutkan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau". Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dimana pangan tersedia dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, yang bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dimana pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, dimana pangan mudah diperoleh oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Maxwell dan Frankenberger (1992) mengajukan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan aspek dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang digambarkan melaiui dua keadaan kerawanan pangan,

yaitu (1) kerawanan pangan kronis dan (2) kerawanan pangan sementara/transien atau kerentanan pangan (Food Vulnerability). Kerawanan pangan dapat terjadi jika rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan kronis biasanya sering terjadi pada kawasan terpencil atau terisolasi, sehingga menyebabkan sedikitnya aktivitas sosial dan ekonomi. Kejadian bencana kelaparan berlangsung secara berulang, terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (a) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (b) kerawanan pangan yang bersifat siklus, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor-faktor eksternal yang ada.

Konsep ketahanan pangan (food security) selanjutnya terkait dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Pengertian ke tiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasional) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan. Sedangkan kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan.

Indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan (food access) dan pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem. Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksesibilitas pangan tergantung

pada pendapatan, produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor pangan yang memadai. Pada tingkat provinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Di tingkat rumah tangga, kerawanan pangan umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh penghasilan yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Di tingkat individu, beberapa aspek seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan, perbedaan gender dan lainnya dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pada semua tingkatan, kerentanan terhadap bencana alam dan sejenisnya, degradasi lingkungan dan lain-lain dapat mempengaruhi kerawanan pangan (Saad, 1999). Irawan (2005) melakukan penelitian "Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis". Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu mengabaikan pengaruh faktor lingkungan serta tidak spasial. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-0.77 % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun muiai tahun 2010.

Pada tahun 2005 Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan World Food Programme (WFP) mempublikasikan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) di Indonesia berbasis batas Kabupaten yang mencakup 265 kabupaten di 30 propinsi di seluruh Indonesia. Peta Kerawanan Pangan tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan status Ketahanan Pangan suatu daerah Indikator yang digunakan dalam sub-sistem ketersediaan pangan, adalah: (1) konsumsi normatif per kapita terhadap rasio ketersediaan bersih ’padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar’; indikator sub-sistem akses pangan, adalah: (2) prosentasi penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, (3) prosentasi desa yang tidak

memiliki akses penghubung yang memadai, (4) prosentase penduduk tanpa akses listrik; indikator sub-sistem kesehatan dan gizi, adalah: (5) angka harapan hidup saat lahir, (6) berat badan balita di bawah standar, (7) perempuan buta huruf, (8) angka kematian bayi, (9) penduduk tanpa akses ke air bersih, (10) prosentasi penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari puskesmas; indikator Kerentanan Pangan, adalah: (11) prosentasi daerah berhutan, (12) prosentasi daerah puso, (13) daerah rawan longsor dan banjir, dan (14) penyimpangan/anomali curah hujan. Hasil analisis Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) tahun 2005 menunjukkan seratus kabupaten di Indonesia memiliki kondisi Ketahanan Pangan agak rendah, sehingga perlu mendapat prioritas untuk menanggulanginya.

Kerentanan Pangan di suatu daerah menurut Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan WFP (World Food Programme) tahun 2003 ditentukan oleh 4 indikator, yaitu :

(1) Persentase luas area/lahan bervegetasi, terutama Hutan;

(2) Anomali curah hujan (terhadap hujan rataan selama 20-30 tahun); (3) Persentase Luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal

panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit ;

(4) Persentase Luas areal yang mengalami resiko degradasi lahan akibat erosi, banjir atau longsor.

Kelas Kerentanan Pangan (Food Vulnerability) untuk setiap indikator selanjutnya dikelompokkan menjadi 6 kelas/kategori, yaitu : (1) Sangat Tahan Pangan; (2) Tahan Pangan; (3) Cukup Tahan Pangan; (4) Agak Rawan Pangan; (5) Rawan Pangan; dan (6) Sangat Rawan Pangan;

Penelitian di bidang Ketahanan Pangan menggunakan data Inderaja dan SIG telah dilakukan Nurwajedi (2011) tentang Indeks Keberlanjutan sawah di Pulau Jawa. Nilai Indeks diperoleh dengan cara mengoverlay peta sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan, agroklimat, potensi air tanah dan kondisi irigasi.

Dokumen terkait