MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
JUFRI HAMKA LAUHATTA
E14101034
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA
MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
JUFRI HAMKA LAUHATTA
Karya ilmiah
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
JUFRI HAMKA LAUHATTA. ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA
MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur,
dibawah bimbingan Dr. Ir. I
Nengah Surati Jaya, M.Agr.
Pembangunan lingkungan perkotaan yang sedang dan atau telah dilakukan
saat ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Hal ini ditandai dengan
semakin banyaknya masalah lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu
dan tingkat polusi udara yang berakibat kepada semakin berkurangnya produksi
oksigen (O
2) dan bertambahnya produksi karbondioksida (CO
2). Karbondioksida
(CO
2) merupakan salah satu unsur gas rumah kaca (GRK) terpenting penyebab
terjadinya pemanasan global (
global warming
). Dibandingkan dengan gas-gas
yang lain, CO
2memberikan kontribusi terbesar terhadap terjadinya efek rumah
kaca yaitu 50%, disusul CFC sebesar 17%, CH
4sebesar 13%, O
3sebesar 7%
dan N
2O sebesar 5%. Waktu tinggal CO
2merupakan yang paling lama di
atmosfer dibandingkan dengan gas-gas yang lain yaitu selama 50-200 tahun.
Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif pula pengaruhnya
terhadap kenaikan suhu (Prihanto
et al
, 1999). Sumbangan utama manusia
terhadap jumlah karbondioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan
bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Konsumen paling
besar yang menggunakan bahan bakar tersebut yaitu sektor transportasi
(kendaraan bermotor), industri dan aktivitas harian penduduk. Menyadari
keadaan tersebut penataan lingkungan perkotaan yang berorientasi wawasan
lingkungan menjadi sangat penting. kehadiran vegetasi sebagai salah satu
perwujudan dari hutan kota sangat diperlukan untuk mengimbangi tingkat polusi
yang semakin tinggi. Dalam RTRWP 2010, pemerintah propinsi DKI Jakarta
menargetkan memiliki RTH seluas 9.544 ha atau setara dengan 13,94% dari luas
total DKI Jakarta. Sampai dengan akhir tahun 2004, RTH yang sudah ada seluas
6.190 ha atau 9% dari luas DKI (Widyastuti, 2005). Satelit ini merupakan satelit
sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1
m
panchromatic
(PAN) dan 4 m
multispectral
(XS). Oleh karena itu, IKONOS
dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi tipe-tipe penutupan vegetasi serta
penyebarannya secara lebih rinci dan lebih akurat. Jika diintegrasikan dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan dipadukan dengan data penunjang lain
akan memberikan pengetahuan mengenai luas dan penyebaran hutan kota
(ruang terbuka hijau/RTH) serta lokasi-lokasi yang potensial untuk dikembangkan
sebagai hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas
Kehutanan IPB, dimulai dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Agustus
2006. Bahan yang digunakan berupa data dijital citra satelit IKONOS liputan
tahun 2003, sistem data spasial batas administrasi kelurahan, kecamatan dan
kotamadya Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, data jumlah penduduk,
kendaraan bermotor dan industri. Perangkat keras yang digunakan berupa
komputer pribadi dengan perangkat lunak
Arc. View versi 3.2.
dan
Minitab 13.20.
data (awan dan bayangan awan). Penentuan kebutuhan hutan kota
menggunakan pendekatan total karbondioksida yang dihasilkan penduduk,
kendaraan bermotor dan industri. Daya serap RTH terhadap karbondioksida
diestimasi dari beberapa penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi.
Sedangkan kesetimbangan RTH merupakan selisih antara total karbondioksida
yang dihasilkan dengan daya serap RTH. Analisis dilakukan untuk tahun 2003,
serta perkiraan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
Nama
: JUFRI HAMKA LAUHATTA
NIM
: E14101034
Departemen
: Manajemen Hutan
Program Studi
: Manajemen Hutan
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.
NIP. 131 578 785
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
NIP. 131 430 799
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Saparua, Maluku Tengah pada tanggal 19 Juli 1983
dari keluarga Bapak Halil Lauhatta dan Ibu Siti Halidjah Lauhatta. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dengan memasuki Sekolah
Dasar Negeri 1 Saparua pada tahun 1989 dan lulus pada tahun 1995. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1
Saparua dan lulus pada tahun 1998.
Selanjutnya pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan Sekolah
Menengah Umum Negeri 1 Saparua sampai pada tahun 1999 yang kemudian
pindah sekolah karena terjadi kerusuhan di Maluku ke Sekolah Menengah Umum
Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kehutanan, Departemen
Manajemen Hutan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menempuh studinya di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor, Penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan Hutan di Baturraden dan
Cilacap KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, serta
Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Ngawi Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2004. Selain itu, Penulis juga
pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan Maret sampai April
2006 di HPHTI PT. Wirakarya Sakti (Sinar Mas Group), Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menulis skripsi di bidang
kajian khusus inventarisasi sumberdaya hutan dengan judul :
“Estimasi
Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra IKONOS dan Sistem Informasi
Penelitian
“Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra
IKONOS dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur”
yang disajikan dalam skripsi ini memuat tentang estimasi luas
dan distribusi kebutuhan hutan kota serta kesetimbangan ruang terbuka hijau
(RTH) tahun 2003 dan prediksi beberapa tahun ke depan di Kota Jakarta Selatan
dan Jakarta Timur menggunakan pendekatan karbondioksida (CO
2).
Pencemaran udara di Kota Jakarta telah sangat memprihatinkan dan
dikhawatirkan akan mengganggu terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Perkembangan jumlah penduduk dan kepemilikan kendaraan
bermotor yang tinggi, serta pengembangan kawasan industri menjadi faktor
utama penyebab terjadinya pencemaran udara di Kota Jakarta. Oleh karena itu,
keberadaan hutan kota sebagai paru-paru kota menjadi kebutuhan mutlak.
Di sisi lain, sejarah perkembangan hutan kota di Kota Jakarta tercatat
sangat memprihatinkan dan hal ini merupakan buah dari berbagai kepentingan
yang terlibat di dalamnya. Hal ini merupakan tantangan besar bagi warga Kota
Jakarta dan perlu perhatian yang serius dari semua pihak yang terkait, termasuk
tuntutan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan
hutan kota.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
RTH dan informasi spasial kebutuhan hutan kota serta lokasi-lokasi yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan kota di wilayah Kota Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam
perencanaan pengembangan hutan kota di kedua kota tersebut dalam hal ini
Kota Jakarta pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.
Dramaga, Januari 2007
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kepada
Allah SWT
atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya serta rasul tercinta Muhammad SAW,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir ini dengan segala
kemudahan dan kelancaran.
Terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis haturkan kepada Bapak dan
Ibu, adik-adikku (Fanny Yunita dan Indra Khalid), Dwi Puspitasari serta keluarga
di Maluku atas do’a, dorongan semangat dan kasih sayangnya selama ini.
Pada kesempatan ini juga, Penulis haturkan ungkapan rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. sebagai dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan serta nasihat yang sangat membantu
Penulis selama melakukan penulisan tugas akhir ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc. perwakilan dari Departemen Hasil
Hutan dan Bapak Ir. H. Endes N. Dahlan, MS. perwakilan dari Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata selaku dosen penguji yang
telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama ujian
komprehensif.
3. Bapak Uus Saeful M. atas semua bantuan dan pengalamannya di
Laboratorium Remote Sensing dan GIS.
4. Saudara/i seperjuangan, senasib dan sependeritaan: Ahmad Jaelani, Edwine
S. Purnama, Ani Marianah, dan Hellya Haska. Terimakasih atas bantuan dan
dorongan semangat, maaf karena sering menyusahkan.
5. Sahabat-sahabatku di bangku kuliah : Pudy S., Cahyana, Priyo H., M. Sukri,
Hendra P., Didi Usmadi, DHMN Abdullah Aziz MK, Muji B., Gunanto E. S.,
Toni I. S., Dikkie A. S, Lukmanul H., Haris S., Bambang S., M. Dimas A.,
Kristianasari, Wira F., Nur Maliki A, Vien P., Kania A., Dita M., Dini R., Susan
I., Isma C. Hasibuan, Ayurani P., Putri Riandini, R. Sandra Agustin, Aulia Lani
P, Silpriana, Yunita A., Dyah N. Isnaini dan “
141,38 FM
“yang lainnya atas
persahabatan dan kerjasamanya.
Frankistoro, Fiki Abubakar, Wiradika, Berry O., Mukhlis N., Januarti S.,
Ferdian Tezar N., Beni Budiansyah, Andi Risasmoko, Anang Setiawan,
Nanda Dwanasuci, Dian Arafah, Edith Juanita Sabara, Sonny Surbekti, Eko
Priambodo, Sasikirono Siregar, F. A. Karim, Bachtiar Santri Aji, serta semua
teman-teman
FAHUTAN 38
atas semua canda-tawa, kekonyolan,
petualangan, persaudaraan serta persahabatannya semoga
“asik”
selalu.
7. Kawan-kawan
Pondok Malea Putra,
Adhy, Dafy, Imam, Iwan, Gin-gin,
Shandi, terimakasih atas dorongan semangat dan bantuannya.
8. Akang, mas, abang, dan uda
Enjoy 36
, Akbar, Bayu, Dedi, Dede, Dery,
Donny, Ersa, Fajar, Gato, Haryoso, Pambudi, Rinaldi, Rio, Roby, Rudi,
Saepul, Adi Suprabana. Terima kasih untuk bimbingan, wejangan,
pengalaman, nyanyian, serta suka dan duka yang dialami dalam suasana
kekeluargaan yang hangat.
9. Adik-adik
FAHUTAN 39
: Buyung Faiz, Dwi Jatmiko, Getry, Sri Harini,
Resman, Maulidian, Acep Komara, Marwan, Yuri, M. Miftahul Ulum, Ali Nico
Gerard, Rusan Prahadi, Rezeka Amalia, Memoy Munajah, terima kasih atas
semangat kekeluargaannya.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan,
bimbingan, dorongan dan perhatiannya (banyak hal yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata, tulisan dan perbuatan).
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari satu kata yang disebut
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan. Akhir kata Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.
Dramaga, Januari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
... i
DAFTAR ISI
... iv
DAFTAR TABEL
... vi
DAFTAR GAMBAR
... vii
DAFTAR LAMPIRAN
... viii
PENDAHULUAN
... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 5
Manfaat Penelitian ... 5
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
... 6
Sejarah Kota Jakarta ... 6
Pemerintahan Kota Jakarta ... 7
Letak dan Luas Areal ... 8
Kondisi Geologis dan Iklim ... 9
Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi ... 10
Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ... 12
METODE PENELITIAN
... 21
Waktu dan Tempat Penelitian ... 21
Data Citra dan Data Pendukung ... 21
Software
dan
Hardware
(Perangkat Lunak dan Keras) ... 22
Tahap-tahap Interpretasi Tutupan Lahan ... 24
Pengolahan Data Citra ... 24
Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 25
Pengecekan Lapangan (
Ground Check
) ... 26
Pendekatan Pembangunan Hutan Kota ... 30
Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang
Dihasilkan ... 31
Teknik dan Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31
Karbondioksida yang Dihasilkan di Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur ... 32
Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang
Dihasilkan ... 35
Pemodelan Spasial Hutan Kota ... 37
HASIL DAN PEMBAHASAN
... 40
Klasifikasi Tutupan Lahan Citra IKONOS ... 40
Klasifikasi Lahan ... 40
Pengujian Ketelitian Klasifiakasi (Evaluasi Akurasi)... 41
Karbondioksida yang Dihasilkan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur . 43
Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk Tahun 2003 ... 43
Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk Tahun 2006,
2010, 2015 dan 2020 ... 46
Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Kendaraan Bermotor
Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 51
Karbondioksida yang Dihasilkan Industri Tahun 2003 ... 52
Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Industri Tahun 2006,
2010, 2015 dan 2020 ... 55
Karbondioksida Total yang Dihasilkan Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur Tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 57
Kebutuhan Luas Hutan Kota ... 60
Kebutuhan Hutan Kota Tahun 2003 ... 60
Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota Tahun 2006, 2010, 2015 dan
2020.. ... 62
Keseimbangan RTH Berdasarkan Pendugaan Daya Serap
Karbondioksida ... 63
Keseimbangan RTH dengan Pendekatan Hasil Klasifikasi Tahun
2003 ... 63
Perkiraan Keseimbangan RTH dengan Pendekatan Hasil Klasifikasi
Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 64
Analisa Pengembangan Hutan Kota ... 67
KESIMPULAN DAN SARAN
... 71
Kesimpulan ... 71
Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah
angin kota Jakarta tahun 1994-2004 ... 9
2. Pertumbuhan penduduk kota Jakarta tahun 1999-2003 ... 11
3. Luas tanah dan penggunaannya Kota DKI Jakarta tahun 2004 ... 15
4. Penyebaran ruang terbuka hijau propinsi DKI Jakarta Tahun 2002 ... 16
5. Spesifikasi
citra
IKONOS
...
22
6. Deskripsi kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra IKONOS ... 24
7. Contoh bentuk matrik kesalahan (
Confussion Matrix
) ... 26
8. Klasifikasi kendaraan bermotor berdasarkan penggunaannya ... 33
9. Karbondioksida yang dihasilkan beberapa jenis kendaraan bermotor ... 34
10. Jumlah emisi gas CO
2yang dihasilkan oleh beberapa bahan bakar ... 35
11. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 46
12. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan
bermotor di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010,
2015 dan 2020 ... 51
13. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan industri di Kota
Jakarta Selatan Pusat dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan
2020 ... 56
14. Perkiraan total karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan
bermotor dan industri di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun
2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 58
15. Perkiraan luas kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 62
No.
Halaman
1. Perkembangan luas hutan kota DKI Jakarta tahun 1979 - 2003 ... 14
2. Citra IKONOS daerah penelitian (Jakarta Selatan dan Jakarta Timur) ... 23
3. Diagram alir proses pengolahan citra ... 27
4. Beberapa kelas penutupan lahan (1) pohon; (2) semak belukar; (3)
padang rumput; (4) sawah; (5) tanah kosong; (6) sungai; (a)
penampakan pada citra IKONOS; (b) penampakan di lapangan ... 28
5. Diagram alir pemodelan spasial hutan kota ... 38
6. Diagram alir metode penelitian ... 39
7. Peta penyebaran luas beberapa kelas penutupan lahan hasil
klasifikasi citra IKONOS di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur ... 42
8. Peta penyebaran penduduk kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
tahun 2003 ... 45
9. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan penduduk kota
Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 45
10. Grafik perkiraan jumlah penduduk kota Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 47
11. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk kota Selatan
dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 47
12. Peta penyebaran kendaraan bermotor kota Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur tahun 2003 ... 50
13. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor
kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 50
14. Grafik perkiraan jumlah kendaraan bermotor kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 52
15. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor
kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015
dan 2020 ... 52
16. Peta penyebaran industri kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun
2003 ... 54
17. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan industri kota Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 54
18. Grafik perkiraan jumlah industri kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 56
19. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan industri kota Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 56
20. Distribusi karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan
bermotor dan industri terhadap karbondioksida total yang dihasilkan
Kota Jakarta Selatan tahun 2003 ... 59
21. Distribusi karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan
bermotor dan industri terhadap karbondioksida total yang dihasilkan
Kota Jakarta Timur tahun 2003 ... 59
22. Peta penyebaran kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur tahun 2003 ... 61
23. Grafik perkiraan kebutuhan luas hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 63
24. Grafik perkiraan keseimbangan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Kebutuhan bahan bakar industri besar sedang DKI Jakarta tahun
1993~2002 ... 77
2. Luas beberapa penutupan lahan hasil klasifikasi citra IKONOS per
kelurahan di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur ... 78
3. Jumlah penduduk Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan
tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 81
4. Perkiraan jumlah penduduk Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per
kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 85
5. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan
2020 ... 89
6. Jumlah kendaraan penumpang Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Utara
per kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 93
7. Jumlah kendaraan beban Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per
kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 97
8. Jumlah kendaraan bis Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per
kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 101
9. Jumlah sepeda motor Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per
kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 105
10. Perkiraan jumlah total kendaraan bermotor Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 109
11. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor Kota
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006,
2010, 2015 dan 2020 ... 113
12. Jumlah industri Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan
tahun 2000, 2001, 2002 dan 2003 ... 117
13. Perkiraan jumlah industri Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per
kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 121
14. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan industri Kota Jakarta Selatan
dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan
2020 ... 125
15. Perkiraan kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 129
16. Daya serap tutupan vegetasi per kelurahan di Kota Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur ... 133
17. Perkiraan keseimbangan luas RTH per kelurahan di Kota Jakarta
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota merupakan suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang
mewadahi tumbuh dan berkembangnya kegiatan sosial, budaya dan ekonomi
perkotaan yang tidak berstatus sebagai kota administratif atau kotamadya
(Irwan,1997). Perkembangan kota ditandai dengan perkembangan populasi
manusia yang semakin pesat serta pembangunan berbagai sarana dan
prasarana fisik seperti pembangunan industri, transportasi, perumahan, pusat
perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain sebagai penunjang aktivitas penduduk
kota dan di sisi lain merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama
penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman.
Di satu sisi pembangunan lingkungan perkotaan yang telah dan sedang
dilakukan saat ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun cenderung
mundur secara ekologi. Padahal kestabilan kota secara ekologi sangat penting,
sama pentingnya dengan nilai kestabilannya secara ekonomi (Dahlan, 1992). Hal
ini ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan masalah lingkungan di
perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara yang berakibat
kepada semakin berkurangnya produksi oksigen (O
2) dan berlimpahnya produksi
karbondioksida (CO
2).
Karbondioksida (CO
2) merupakan salah satu unsur gas rumah kaca
(GRK) terpenting penyebab terjadinya pemanasan global (
global warming
)
disamping gas-gas lain seperti metana (CH
4), dinitrogen oksida (N
2O), nitrogen
oksida (NO
X), ozon (O
3),
c
hloroflourocarbon (CFC) dan lain-lain. Dibandingkan
dengan gas-gas yang lain, CO
2memberikan kontribusi terbesar terhadap
terjadinya efek rumah kaca yaitu 50%, disusul CFC sebesar 17%, CH
4sebesar
13%, O
3sebesar 7% dan N
2O sebesar 5%. Pengaruh masing-masing gas rumah
2
CO
2merupakan yang paling lama di atmosfer dibandingkan dengan gas-gas
yang lain yaitu selama 50-200 tahun (Prihanto
et al
, 1999).
Sumbangan utama manusia terhadap jumlah karbondioksida dalam
atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu
bara, dan gas bumi. Konsumen paling besar yang menggunakan bahan bakar
tersebut yaitu sektor transportasi (kendaraan bermotor), industri dan aktivitas
harian penduduk. Pembakaran bahan bakar fosil bukan hanya untuk kendaraan
bermotor. Termasuk di dalamnya, pembakaran untuk menghidupkan
generator-generator, yang listriknya kita pakai setiap hari untuk menghidupkan lampu,
televisi, radio, AC, kulkas dan lain-lain. Secara keseluruhan, penggunaan bahan
bakar fosil akan meningkatkan kadar GRK secara signifikan. Disamping itu,
konversi vegetasi dari ekosistem alami menjadi ekosistem binaan yang dikelola
secara intensif telah mengubah tataguna lahan dalam skala yang besar dan
secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan GRK di atmosfer.
Lebih lanjut Prihanto
et al
(1999) menyatakan bahwa emisi karbondioksida
Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2010
diperkirakan emisi karbondioksida akan meningkat lima kali dari kadar tahun
1986, yaitu mencapai 469 juta ton. Hal ini terjadi akibat peningkatan tingkat
konsumsi listrik rumah tangga dan industri serta penggunaan energi yang tidak
efisien. Tanda-tanda pemanasan global mungkin sudah mulai terlihat di
Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami tiga kali
musim kemarau yang sangat panjang, yaitu pada tahun 1982-83, 1987, dan 1991
dan tentunya mengakibatkan dampak sangat merugikan.
masuk ke Jakarta setiap harinya (
±
600.000 unit) dari kota-kota satelit di
sekitarnya seperti Tanggerang, Bogor, Bekasi dan Depok (Anonim, 2005).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2004) salah satu penyebab
tingginya tingkat pencemaran dari kendaraan bermotor di Indonesia adalah
kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kemacetan lalu lintas di jalan raya
disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diikuti oleh
peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Khusus di Jakarta, penambahan
panjang jalan (
tol, fly over, underpass
) tidak menyelesaikan masalah kemacetan.
Hal ini diperburuk dengan banyaknya kendaraan yang masuk ke Jakarta dan
kota sekitarnya.
Selain itu, masalah yang tidak kalah petingnya yaitu masalah penataan
ruang kota. Tata ruang Kota Jakarta lebih ditujukan untuk tujuan pembangunan
kawasan pemukiman, perkantoran, rekreasi dan juga industri yang berakibat
kepada semakin berkurangnya ruang terbuka hijau berpepohonan (bervegetasi
hijau).
Dengan menyadari keadaan tersebut penataan lingkungan perkotaan yang
berorientasi wawasan lingkungan menjadi sangat penting. Oleh karena itu
kehadiran vegetasi hijau sebagai salah satu perwujudan dari hutan kota sangat
diperlukan untuk mengimbangi atau menekan tingkat polusi yang semakin tinggi
seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, kegiatan
industri, serta aktivitas pembakaran tidak sempurna yang dikeluarkan oleh
kendaraan bermotor. Dalam RTRW 2010, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menargetkan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) seluas 9.544 ha (13,94%) yang
meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai
pengaman serta lahan pertanian. Sampai dengan akhir tahun 2004, RTH yang
sudah ada seluas 6.190 ha atau 9% dari luas DKI. Masih ada pekerjaan rumah
tangga untuk mencapai target seluas 13,94% (Widyastuti, 2005).
4
kuantitatif dengan bantuan komputer sehingga dapat dihasilkan informasi secara
cepat dan lebih akurat (Richards, 1986).
Tujuan Penelitian
1. Estimasi luas dan distribusi kebutuhan hutan kota menggunakan citra
IKONOS di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Tahun 2003 serta prediksi
tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.
2. Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai hutan
kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Manfaat Penelitian
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kota Jakarta
Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara sungai
Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar
ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai.
Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti
yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta
sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat
sedikit.
Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota
bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan
Hindu bernama Sunda, beribu kota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di
pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan
rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa.
Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari
sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama
Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang
sekarang diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda
datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang
berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun
membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan
pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter
dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan
kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia
berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan
lingkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan
pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini
dinamakan Weltevreden.
lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih
untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui
pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi
Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan
gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan
yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan
kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi
sebuah kota metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya
yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu
kota metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
Pemerintahan Kota Jakarta
8
Letak dan Luas Areal
Jakarta terletak pada lintang 106°22’42" Bujur Timur sampai 106°58’18"
Bujur Timur dan 5°10’12" Lintang Selatan sampai 6°23’54" Lintang Selatan. Luas
wilayah Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 1227 tahun 1989, adalah
berupa daratan seluas 661,59 km
2dan berupa lautan seluas 6.977,5 km
2.
Wilayah DKI Jakarta memiliki tidak kurang 110 buah pulau yang tersebar di
Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 sungai/kanal/saluran yang digunakan sebagai
sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan dan tentunya sangat
penting bagi kehidupan dan penghidupan kota. Wilayah Kota Jakarta dapat
dikategorikan sebagai daerah datar. Ketinggian tanah dari pantai Jakarta sampai
ke Banjir Kanal berkisar antara 0-10 m di atas permukaan laut, diukur dari titik 0
Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir Kanal sampai batas paling selatan dari
wilayah DKI berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Perbukitan rendah
yang ada pada daerah sebelah Selatan Banjir Kanal dibentuk mengikuti pola
daerah aliran sungai-sungai yang ada. Wilayah Utara sampai sekitar 10 km ke
arah Selatan maksimal tinggi 7 m di atas titik peil Priok. Pada lokasi tertentu
justru letaknya berada di bawah permukaan laut. Bagian Selatan Banjir Kanal
relatif lebih berbukit-bukit dibandingkan dengan wilayah Utara (Biro Pusat
Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2004).
Kondisi Geologis dan Iklim
Geologis
Seluruh dataran terdiri dari endapan
Pleistocene
terdapat ± 50 m di bawah
permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran
rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya
terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan
tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian
utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan
keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian kota tertentu terdapat juga lapisan
permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m.
Iklim
Suhu rata-rata per tahun sekitar 28
0C, curah hujan rata-rata sebesar 1.596
mm per tahun dengan curahan tertinggi di bulan Januari 381 mm, terendah pada
bulan Agustus 70 mm. Kelembaban nisbi rata-rata berkisar antara 76%-85% dan
gerah. Angin yang berhembus di Jakarta adalah angin laut, angin darat dan
angin musim (
monsoon
).
Monsoon
adalah angin yang terjadi karena adanya
perbedaan benua dan samudera. Adanya pemanasan yang cukup tinggi antara
daratan dan lautan menyebabkan pola tekanan dari kedua tempat tersebut
berbeda. Sehingga pada siang hari bertiup angin laut karena pada siang hari
daratan lebih panas daripada lautan. Sebaliknya pada malam hari daratan lebih
cepat dingin daripada lautan maka bertiuplah angin darat (Irwan, 1997). Data
jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah angin kota
Jakarta tahun 1994 sampai dengan 2004 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah
angin Kota Jakarta tahun 1994-2004
Tahun
Curah Hujan
(mm)
Tekanan
(mbs)
Kelembaban
(%)
Arah Angin
(point)
2004 1.755,00 1.011,30 78,40
-
2003 1.138,00 1.010,80 77,30
-
2002 2.288,90 1.010,50 76,40 107,50
2001 1.599,00 1.009,70 77,10 330,00
2000 1.896,80 1.010,50 78,10 212,10
1999 1.916,80 1.009,60 78,10 212,10
1998 1.913,80 1.010,17 77,00
-
1997 924,50 1.018,53 73,00
-
1996 2.448,00 1.009,62 77,00
-
1995 1.714,20 1.009,99 77,00
-
1994 1.575,00 1.010,40 74,00
-
10
Perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar
0,4-2,1
0C. Perbedaan suhu yang sangat nyata pada malam hari dan siang hari.
Perbedaan suhu minimum kota lebih tinggi dari 2,9
0C sedangkan suhu
maksimum sekitar 1,4
0C. Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (1993)
dalam
Widyawati
et al
(2005) menunjukkan bahwa suhu harian Jakarta di daerah
pinggiran seperti di Pasar Minggu dan tengah kota atau di sekitar Bandara
sangat berbeda. Pada daerah pinggiran kota, perbedaan suhu siang dan malam
hari hanya sekitar 4,95°C. Di tengah kota, perbedaan tersebut sangat besar
hingga mencapai 7,30°C. Perbedaan suhu juga disebabkan oleh tutupan lahan di
sekitarnya. Pada daerah dengan tutupan lahan rumput ataupun pepohonan,
suhu udara tidak menunjukkan perubahan yang tajam antara siang dan malam
hari. Sementara daerah dengan gedung-gedung tinggi ataupun tutupan aspal
yang terbuka menunjukkan perubahan suhu yang tajam.
Pusat Penelitian Geografi Terapan pada tahun 1997 yang melakukan
penelitian serupa, menunjukan bahwa dari interpretasi citra Landsat TM bulan
September 1997 diketahui bahwa suhu terendah Jakarta pada saat itu adalah
antara 20-22°C sedangkan suhu tertinggi > 38°C. Suhu terendah terdapat di
daerah-daerah tampungan air. Wilayah sekitar daerah tampungan air memiliki
suhu yang tidak berbeda jauh, yakni 24-26°C. Di sebagian pinggiran Jakarta
masih ada wilayah dengan suhu antara 24-28°C. Namun demikian, wilayah yang
terluas, lebih dari 70%, memiliki suhu 28-30°C. Pada wilayah terluas ini terdapat
beberapa lokasi yang menunjukkan suhu yang lebih tinggi, yakni 30-32°C.
Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi
Kependudukan
sekitar 60,01%. Sementara untuk jenjang maksimal tamat SD sekitar 21,36%,
sedangkan jenjang Akademik/PT sebanyak 8,43%. Data pertumbuhan penduduk
kota Jakarta tahun 1999-2003 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Pertumbuhan penduduk Kota Jakarta tahun 1999-2003
No Kotamadya Jumlah Penduduk r (%)
2003-1999 1999 2000 2001 2002 2003
1 Jakarta Selatan 1966113 1733397 1674780 1691320 1701555 -3,41 2 Jakarta Timur 2053141 2051222 2061911 2082920 2094586 0,50 3 Jakarta Pusat 1107606 1056088 929259 922242 897941 -5,01 4 Jakarta Barat 1541004 1558238 1565420 1567522 1567571 0,43 5 Jakarta Utara 1158656 1179756 1192009 1179026 1176355 0,39
Jumlah 7828519 7580701 7425380 7443030 7440011 -1,25
Sumber : Biro Pusat Statistika 2003
Ket : r adalah rata-rata pertumbuhan penduduk
Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, berkat
program KB yang dinilai berhasil, Jumlah penduduk yang sudah terlampau besar
serta pendatang baru yang cenderung terus bertambah, maka pengaruh
keberhasilan program KB tersebut tidak terlihat nyata hasilnya.
Menurut
Soemarwoto (2006), menyatakan bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8 juta
orang, tetapi pada hari kerja siang hari penduduknya melonjak menjadi 12 juta.
Empat juta orang setiap hari keluar-masuk Jakarta dari kota-kota satelitnya
(Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
Selama ini Pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun
tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang
hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat-obatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan
lainnya kepada penduduk DKI Jakarta. Sementara upaya transmigrasi penduduk
juga terus-menerus dilakukan. Tahun 2003 sebanyak 250 KK atau sekitar 1.021
jiwa diberangkatkan ke Sumatera. Tujuan transmigrasi tersebut adalah wilayah
Sumatera Selatan dan Jambi masing-masing sebanyak 60,14% dan 39,86%.
Perekonomian
12
pertumbuhan positif pada tahun 2000 dan 2001 yaitu mencapai masing-masing
3,98% dan 3,64%. Diharapkan untuk tahun 2002 sampai dengan 2007 tetap
akan tercapai pertumbuhan positif antara 4% hingga 6 % per tahun. Hal ini pun
masih akan tergantung pada seberapa jauh keseimbangan politik, penegakan
hukum dan ketertiban masyarakat dapat dicapai dan diperlukan untuk
mendukung aktivitas ekonomi secara kondusif lima tahun kedepan.
Selanjutnya peningkatan diharapkan dapat ditekan dibawah 2 digit per
tahun selama lima tahun kedepan. Seperti telah diketahui, pada tahun 1998 telah
terjadi hiper-inflasi yang mencapai 74,4%, walaupun kemudian dapat ditekan
menjadi sebesar 1,80% pada tahun 1999. Sedangkan untuk tahun 2000 dan
2001 peningkatan mencapai masing-masing 10,29% dan 11,52%, cukup tinggi
namun tidak dapat dihindari karena kebijakan nasional menaikkan harga BBM
dan tarif listrik untuk mengurangi subsidi, serta merosotnya nilai tukar rupiah.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, diharapkan angka
pengangguran tahun 2002-2007 terus akan menurun dan dapat ditekan tidak
lebih besar dari 10% mulai tahun 2003. Seperti diketahui pada tahun 1999 angka
pengangguran mencapai angka tertinggi sebesar 13,2% kemudian turun pada
tahun 2000 dan 2001 menjadi 12,08% dan 11,32%. Hal ini ditandai pula oleh
mulai bergeraknya kembali sektor dunia usaha terutama pada industri,
perdagangan dan jasa, sebagai pilar utama perekonomian Provinsi DKI Jakarta.
Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Sadpraja (1992); Program Jakarta Teduh, Hijau Royo-royo, dan Berkicau (2000);
dan Program Jakarta Hijau (2003).
Jika dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 ditargetkan luas RTH
sebesar 37,2% (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Jakarta 1985-2005 target luas RTH dipangkas menjadi 25,85% (cukup ideal).
Belum puas, luasan RTH dipotong lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Jakarta 2000-2010 dengan target hanya sebesar 13,94% (tidak ideal).
Sementara itu, luas RTH di lapangan hanya berkisar 9% (50,53 ha) dari total luas
Kota Jakarta yang 66.152 ha (Joga, 2004).
Menurut Basuni dan Dahlan (2003), luas hutan kota di Provinsi DKI Jakarta
sampai dengan tahun 2003 baru sekitar 370,26 ha dan diantaranya telah
ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur seluas 140,70 ha yang terdiri dari
10 unit dan tersebar di lima kota. Luas tiap unit berkisar antara 1,75 – 55,40 ha.
Hutan kota lainnya, yaitu sebanyak 13 unit yang luasnya secara keseluruhan
mencapai 229,52 ha sedang dalam proses penetapan. Luasan hutan kota
tersebut tersebar di lima wilayah kota dan meliputi berbagai jenis hutan,
pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengamanan, serta lahan
pertanian. Angka ini setara dengan 13,94% dari luas total DKI Jakarta. Namun
demikian, target luas maupun penyebaran hutan kota pada tahun 2010 tersebut
belum ditentukan secara eksplisit.
Persentase ini sangat kurang bila dibandingkan dengan kebutuhan. Tak
heran jika Jakarta kini terus menuai bencana banjir di musim hujan dan
kelangkaan air bersih di musim kemarau, serta kebakaran yang terus merajalela.
Jika dihitung berdasarkan penelitian Lembaga Bina Landsekap, Universitas
Trisakti (2003)
dalam
Widyastuti (2005) dengan RTH sebesar 13,94%, Jakarta
hanya memiliki kapasitas resapan air sekitar 54% dan kapasitas pengendali
udara sebesar 40%. Bunuh diri ekologis yang dikatakan JO Simmonds sejak
1960-an sebenarnya dialami Kota Jakarta.
14
32110,30 30990,32
27014,23
23551,35
7246,64 6190,00
0,00 5000,00 10000,00 15000,00 20000,00 25000,00 30000,00 35000,00
1972 1976 1979 1985 1999 2003
Tahun
Lua
s
(
ha
)
Luas hutan kota (ha)
(Sumber : Litbang Kompas, diolah dari Bappeda DKI Jakarta, 2005)
Gambar 1.
Perkembangan luas hutan kota DKI Jakarta Tahun 1979 – 2003
Peruntukan RTH sudah banyak mengalami perubahan, Pemprov DKI
menggusur Taman Pemakaman Umum Blok P sekitar 4 ha (1997) menjadi
Kantor Wali Kota Jakarta Selatan (2003), dan menggusur 1.003 makam di TPU
Menteng Pulo di Jakarta Selatan (2001). Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
berhasil menggusur sebagian hutan lindung Muara Angke menjadi perumahan
Pantai Indah Kapuk, hutan bakau merosot tajam dari 1.200 ha (1998) menjadi
327 ha (2003). Sebagian Waduk Pluit dibangun Mega Mal Pluit, hutan kota
Tomang diganti Mal Taman Anggrek, kawasan Gelora Bung Karno disesaki
Plaza Senayan dan Hotel Mulia (Joga, 2004).
Tabel 3. Luas tanah dan penggunaannya Kota DKI Jakarta Tahun 2004
Kotamadya Perumahan Industri
Perkantoran dan Penggudangan
Taman Lainnya Luas
Tanah
Jakarta Selatan 10.428,43 236,08 1.757,50 190,91 1.960,07 14.573 Jakarta Timur 13.542,84 1.130,13 1.798,45 217,77 2.083,80 18.773 Jakarta Pusat 2.968,84 92,93 1.068,65 170,04 489,54 4.790 Jakarta Barat 9.032,34 512,17 1.253,93 209,41 1.607,15 12.615 Jakarta Utara 7.495,36 2.171,39 1.474,61 126,56 2.952,07 14.220 Kep. Seribu 320,76 275,17 92,71 - 491,77 1.181
Jumlah 43.788,57 4.417,87 7.445,85 914,69 9.584,40 66.152
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2004
Pengembangan RTH merupakan keharusan yang tidak dapat ditoleransi.
Pembangunan fisik bangunan diwajibkan vertikal bukan horizontal lagi, yang
telah menggusur RTH, baik legal maupun ilegal. Refungsionalisasi dan relokasi
pemukiman liar yang berdiri di atas bantaran jalur hijau rel kereta api, kali,
tegangan tinggi, atau di bawah jalan layang. Salah satu kelemahan yang sedang
dan terus berjalan dalam pembangunan hutan kota di kota Jakarta pada saat ini
adalah adanya pemanfaatan terhadap daerah tidak terbangun, dan kelemahan
ini diperkuat dengan konsep pembangunannya yang berorientasi dan
berbasiskan fungsi ekonomi.
Sampai akhir tahun 2004, RTH yang telah ada seluas 6,19 ha atau 9% dari
luas DKI Jakarta. Masih ada pekerjaan rumah untuk mencapai 13,94%.
Kepadatan penduduk di daerah Selatan dan juga di daerah lain yang lebih
rendah dibandingkan dengan daerah padat penduduk, seperti Duri Utara, Duri
selatan, Kredang dan Kali Anyar di Jakarta Barat serta Galur di Jakarta Pusat
bisa menjadikan kondisi yang kondusif bagi Pemprov untuk mensosialisasikan
program RTH ataupun pengalihan kepemilikan lahan menjadi aset pemda
(Widyastuti, 2005).
16
Tabel 4.
Penyebaran ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002
No.
Lokasi Area
Potensi (Ha)
Status Pemilikan
A Jakarta
Utara
1. Kebun Bibit Kamal Muara
10,51
Dep. Kehutanan
2. Hutan Wisata Kamal Muara
99,82
Dep. Kehutanan
3. Hutan Lindung Angke Timur
44,76
Dep. Kehutanan
4. Cagar Alam Muara Angke
25,02
Dep. Kehutanan
5. HK Waduk Sunter
8,50
BPL Sunter
6. HK Waduk Pluit
13,44
BPL Pluit
7. HK Kemayoran
4,60
DP3 Kemayoran
8. KB
Sukapura
65,16
Distanhut
9. KB Kamal
3,69
Distanhut
B
Jakarta Selatan
1. HK Kampus UI
54,40
Univ. Indonesia
2. HK KB Ragunan
10,00
KBR Ragunan
3. HK Situ Babakan
5,00
DPU DKI Jakarta
4. HK Situ Mangga Bolong
5,00
DPU DKI Jakarta
5. HK Pondok Indah
1,00
Perum Pondok Indah
6. HK Makam Blok P
1,00
Pemda DKI Jakarta
7. KB Ragunan
14,76
Distanhut
8. KB
Cianjur
10,05
Distanhut
9. KB Lebak Bulus
1,43
Distanhut
10. Petukangan Utara
4,15
Distanhut
C Jakarta
Barat
1. HK
Srengseng
15,00
Distanhut
2. KB
Meruya
Utara
0,28
Distanhut
3. KB
Kembangan
2,24
Distanhut
4. KB
Cengkareng
10,13
Distanhut
D Jakarta
Timur
1. HK Mabes ABRI Cilangkap
15,00
Mabes ABRI
2. HK Halim PK
3,50
TNI AU
3. HK PT. JIEF
19,50
PT. JIEF
4. HK Arb. Cibubur
25,00
BKSDA DKI
5. HK
Komplek
Koppasus
10,00
Kopasus
6. HK Gd. Pemuda Cibubur
10,00
Menpora
7. KB
Ujung
Menteng
3,06
Distanhut
8. KB
Cilangkap
19,05
Distanhut
9. KB
Agro
Wisata
Cibubur
11,61
Distanhut
10. KB Cibubur
11,90
Distanhut
11. KB Kelapa Dua Wetan
0,48
Distanhut
12. KB Condet
0,16
Distanhut
E Jakarta
Pusat
1. HK Manggala Wanabhakti
4.00
Dept. Kehutanan
1. Hutan Kota Kemayoran
Kawasan hutan ini merupakan kawasan bekas bandara Kemayoran,
dimana penetapan lokasinya didasarkan atas surat Mensesneg No.
R/34/M/Sekneg/16/1987, yang merupakan bagian ruang terbuka hijau lingkungan
komplek Pekan Raya Jakarta (PRJ). Secara geografis terletak pada 601
0'07" LS
dan 106
038'32" BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan wilayah
Kotamadya Jakarta Pusat, Kecamatan Kemayoran. Konfigurasi lapang kawasan
ini merupakan hamparan dataran, dengan ketinggian 4 meter dari permukaan
laut. Kawasan hutan kota ini dibangun menyusur jalan raya dengan ketebalan
rata-rata 30-40 meter. Kawasan ini berfungsi sebagai pengendali polutan,intrusi
air laut dan sarana rekreasi dengan luasan
±
4,6 ha.
2. Hutan Lindung Angke Kapuk
Fungsi Hutan Lindung Angke Kapuk antara lain : a). sebagai pengatur tata
air, b). pencegah bencana banjir, c). pencegah erosi, d). pemelihara kesuburan
tanah, e). sebagai kawasan pelindung sistem penjaga kehidupan. Secara umum
jenis tumbuhan/vegetasi yang tumbuh di Hutan Lindung Angke Kapuk sangat
homogen, hampir seluruh kawasan ditumbuhi oleh Api-api (
Avicennia sp
) dan
Bakau -bakauan (
Rhizophora sp
). Ketebalan hutan lindung berkisar 40 - 60 meter
dan areal ini menjadi
barier
(pengaman) kawasan yang baik.
18
3. Hutan Kota Manggala Wana Bhakti
Hutan komplek perkantoran Departemen Kehutana pada hakekatnya telah
ditetapkan sebagai wahana penyangga lingkungan fisik perkotaan, dan sebagai
koleksi pelestarian plasma nutfah dari berbagai macam jenis pepohanan yang
mencerminkan kekayaan jenis hutan tropis Indonesia. Terletak di halaman
gedung Departemen Kehutanan, sedangkan secara geografis terletak pada
601
03'16" LS dan 106
046"11" BT. Secara administratif masuk pada wilayah
Jakarta Selatan, Kecamatan Keboyaran Baru, Kelurahan Senayan.
Konfigurasi lapang kawasan ini merupakan hamparan pelataran gedung
perkantoran Departemen Kehutanan yang dibentuk berdasarkan kaidah
landscap
sekitar bentuk dan bangunan. Alokasi penataannya dipaduserasikan dengan
area perparkiran tempat istirahat bagi pengemudi dan dilengkapi sarana umum.
Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik kritis
perkotaan khususnya pencemaran udara dan kawasan lindung pelestarian
koleksi keanekaragaman jenis dan plasma nutfah juga dimanfaatkan sebagai
tempat peristirahatan pengemudi.
4. Hutan Kota Srengseng
Hutan kota Srengseng yang ditetapkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI
Jakarta No. 202 tahun 1995 membentang dengan luas mencapai 15 ha.
Kawasan ini berfungsi sebagai pelestarian sumber plasma nutfah, kawasan
resapan air, menekan kadar polusi udara, penelitian ilmu dan teknologi. Hutan
kota Srengseng memiliki bentang atau konfigurasi lahan yang beragam; lahan
datar, bergelombang hingga danau dan pulau yg berada di tengah-tengah
kawasan. Keanekaragaman flora dan faunanya merupakan keunikan tersendiri
karena bentuk atau morfologi dan karakteristik masing-masing spesies beragam.
(
Casuarina equisetifolia
), (
Casuarina sumatrana
), Nam-nam (
Cinometra
cauliflora
), Flamboyan (
Delonix regia
), Sempur (
Delinia sp
), Sengon
(
Paraserianthes falcataria
), Ketapang (
Terminalia catapa
), Pong-pongan
(
Oroxylus indicum
), Akasia Mangium (
Acacia mangium
), Salam (
Eugenia sp
),
Dadap Merah (
Eritrea crystagali
), Trembesi/Ki Hujan (
Samanea saman
), Bunga
Kupu-kupu (
Bauhemia purpurea
), Sawo Kecik (
Manilkara kauki
), Akasia Daun
Kecil (
Acacia auriculiformis
), Jati (
Tektona grandis
), Mahoni (
Swietenia
macrophylla
), Bintaro, Damar (
Agathis damara
), Lamtoro Nipah (
Nypa frutikan
)
serta berbagai macam tumbuhan semak dan tanaman hias. Sedangkan fauna
(hewan) yang dapat dijumpai pada kawasan ini berupa satwa liar antara lain
adalah Burung Raja Udang, Emprit. Beberapa jenis reptil yaitu Kadal (
Mabula
sp
), Biawak (
Varanus salvator
), Famili Rodentia dan berbagai macam serangga
(kupu-kupu belalang, gasir dan orong-orong).
5. Hutan Kota Komplek Lanud Halim
Hutan kota Lanud Halim Perdana Kusumah, merupakan bagian dari ruang
terbuka hijau Komplek Angkatan Udara RI, yang ditetapkan berdasarkan SK.
Komandan Lanud No. Shep/14/X/1988, tanggal 21 Oktober 1988. Kawasan ini
pada hakekatnya telah ditetapkan sebagai wahana penyangga lingkungan
kedirgantaraan dan sebagai wahana koleksi pelestarian plasma nutfah dari
berbagai macam jenis pepohonan yang sekaligus bergabung dengan lapangan
Golf Halim.
20
6. Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia
Hutan kota kampus Universitas Indonesia ditetapkan berdasarkan SK.
Rektor UI No. 84/SK/12/1988, tanggal 31 Oktober 1988, dengan nama Mahkota
Hijau, yang difungsikan sebagai wilayah resapan air, wahana koleksi pelestarian
plasma nutfah, wahana penelitian dan sarana rekreasi alam. Hutan kota kampus
UI seluas 90 ha yang secara geografis terletak pada 601
04'15" LS dan 106
048’
12" BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan 55,4 ha kawasan ini
termasuk wilayah kota Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan
Srengseng Sawah.
Konfigurasi lapangan merupakan hamparan landai dengan kisaran 3-8%
(76,4 ha) dan bergelombang ringan dengan kemiringan lereng 8-25% (13,6 ha)
pada ketinggian tempat 74 meter dari permukaaan laut. Dalam alokasinya
pembangunan hutan kota di kawasan ini terdiri dari dua kelompok yaitu (a)
pembangunan ekosistem perairan seluas 9 ha dan (b) pembangunan hutan kota
seluas 45,5 ha.
7. Hutan Kota ABRI Cilangkap
Hutan kota Mabes ABRI Cilangkap, penunjukan lokasinya berdasarkan
atas persetujuan Asisten Logistik Mabes ABRI surat No. B/2.2/4-07/03/154/S log,
tanggal 19 Oktober 1988, yang merupakan bagian ruang terbuka hijau
lingkungan komplek yang telah diupayakan sebelumnya. Luas kawasan kota ini
semula direkomendasikan 60 ha dan kini 15 ha . Secara geografis terletak pada
601
03'00" LS dan 106
037’51" BT. Terletak di wilayah kota Jakarta Timur,
Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Cilangkap dan terletak 3-4 km di sebelah
tenggara komplek Taman Mini Indonesia Indah.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2005 sampai dengan
bulan Agustus 2006. Pengambilan data lapangan dilakukan pada awal bulan
Agustus 2006 di sekitar wilayah Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Sedangkan pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Remote Sensing dan
GIS, Fakultas Kehutanan IPB.
Data Citra dan Data Pendukung
Bahan yang digunakan adalah data dijital citra satelit Ikonos multispektral
liputan tahun 2003 yang sudah terkoreksi. Spesifikasi citra Ikonos disajikan pada
Tabel 5. Data pendukung lainnya berupa sistem data spasial batas administrasi
kelurahan, batas kecamatan dan batas kotamadya Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur, data jumlah penduduk, jumlah industri dan jumlah kendaraan bermotor
(satuan per kelurahan).
Ikonos merupakan nama satelit sekaligus sensor yang digunakan untuk
merekam gambar/obyek permukaan bumi. Satelit ini merupakan satelit sipil
pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1 m
panchromatic
(PAN) dan 4 m
multispectral
(XS), serta mengorbit pada
ketinggian 681 km. Selain itu, kemampuannya melakukan perekaman secara “
off
nadir
” sampai dengan 60
0di segala azimuth menyebabkan kemampuan ulang
(
revisit
) antara 2 sampai dengan 3 hari dan juga mampu menyediakan citra
stereo dari posisi “
in-track
”.
22
Dephan (2005) menyatakan bahwa resolusi radiometrik data Ikonos
dikumpulkan tiap 11 bit pixel (2048 tone abu-abu). Ini berarti bahwa masih
diperlukan ahli perangkat lunak inderaja untuk memperoleh informasi gambar
dengan detil. Ikonos dengan kemampuannya sebagai
high accuracy
remote
sensing satellite
akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi
penyediaan data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya
kecepatan & keakuratan datanya.
Tabel 5. Spesifikasi citra Ikonos
Waktu peluncuran
24 September 1999 (11:21:08 a.m. PDT)
Lokasi peluncuran
Vandenberg Air Force Base, California
Resolusi
Resolusi setiap pita spektral:
•
Pankromatik : 1 meter (nominal , 26 derajat
off nadir
)
•
Multispektral : 4 meter (nominal , 26 derajat
off nadir
)
Respon spektral citra
•
Pankromatik : 0,45 – 0,90 mikron
•
Multispektral
:
Pita 1 : Biru 0,45 – 0,52 mikron
Pita 2 : Hijau 0,52 – 0,60 mikron
Pita 3 : Merah 0,63 – 0,69 mikron
Pita 4 : Inframerah dekat 0,79 – 0,90 mikron (sama
dengan landsat pita 1 – 4)
Lebar swath dan ukuran
scene
•
Lebar Swath ; 13 km pada nadir
•
Areas of interest
: Citra tunggal 13 km
×
13 km
Ketinggian (
Altitude
)
423 mil / 681 km
Inklinasi (
Iclination
) 98,1
0Kecepatan
4 mil per detik / 7 km per detik
Descending nodal crossing
time
10 : 30 a.m.
Revisit frequency
2,9 hari pada resolusi 1 meter, 1,5 hari pada resolusi 1,5
meter. Nilai-nilai tersebut untuk target pada lintang 40
derajat. Waktu
revisit
lebih sering untuk lintang lebih
tinggi dan jarang untuk lintang dekat khatulistiwa.
Waktu orbit
98 menit
Tipe orbit
Sun-Synchronous
Sumber : Pike dan Brown (1999)
Software
dan
Hardware
(Perangkat Lunak dan Keras)
Tahap-tahap Interpretasi Tutupan Lahan
Pengolahan Data Citra
1. Digitasi
Pada dasarnya digitasi adalah kegiatan pemasukan data dalam
arc View
[image:38.612.110.506.329.707.2]yang dilakukan dengan mendeliniasi secara langsung pada layer (
on screen
digitizing
) untuk
feature
yang yang berbentuk line/arc/polygon, sehingga
dihasilkan beberapa
coverage
untuk setiap informasi tematik yang berbeda
(pohon, semak belukar, padang rumput, sawah, tanah kosong, badan air,
bangunan, jalan, sungai, dan lain-lain) yang akan digunakan sebagai pangkalan
data (
data base
) yang merupakan sekumpulan logis dari informasi yang saling
terkait yang dikelola dan disimpan sebagai satu kesatuan. Deskripsi beberapa
kelas penutupan lahan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Deskripsi kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra Ikonos
No Kelas
Penutupan
Deskripsi
1.
Pohon
tumbuhan berkayu dengan diameter
≥
20 cm
2.
Semak belukar
lahan yang ditumbuhi oleh semak belukar
3.
Padang rumput
lahan yang ditumbuhi oleh rumput-rumputan
4.
Sawah
lahan pertanian padi
5.
Tanah Kosong
lahan yang ditumbuhi oleh tanaman atau sedikit
ditumbuhi dan tidak digunakan untuk
penggunaan lainnya
6.
Badan air
lahan (permukaan) yang selalu dialiri/digenangi
air termasuk sungai
7.
Non vegetasi
bangunan (kawasan industri, pemukiman), jalan,
areal terbangun lainnya
8.
No data
Awan dan bayangan awan
2. Editing
3. Labelling/Attributing
Labelling merupakan proses pemberian identitas label setiap
polygon
,
line
atau
point
yang terbentuk dalam
coverage
, sedangkan atributing adalah proses
memberi atribut atau informasi pada suatu
coverage
. Biasanya, informasi yang
diberikan dapat dilihat dalam bentuk atribut tabel. Tabel dapat berfungsi untuk
mengolah data atribut dari suatu
coverage
untuk keperluan analisis, baik analisis
digital maupun tabular diperlukan adanya informasi pada basis data. Data spasial
hasil digitasi perlu ditambahkan data atribut deskriptif.
Attributing
diperlukan bila
coverage
yang ada sudah dibangun topologi.
4. Map Join
Apabila peta yang akan digabung telah mempunyai koordinat dunia nyata
dengan proyeksi yang sama maka dapat dilakukan penggabungan beberapa
coverage
(
polygon
/
feature
lainnya) dari satu atau lebih
coverage
. Sebelum
dilakukan map join, terlebih dahulu harus dilakukan transformasi pada setiap
coverage
yang akan digabung. Kegiatan-kegiatan
map join
dilakukan
berdasarkan nilai-nilai sebuah
file
yang dapat ditemukan baik pada tabel yang
ditambahkan maupun pada tabel
atribute theme
nya.
5. Layout Peta
Layout
adalah sebuah proses menata dan merancang letak-letak properti
peta seperti judul peta, legenda peta, orientasi, label, dan lain-lain.
Layout
peta
dimaksudkan untuk memperjelas dan memberikan keterangan yang benar bagi
pengguna peta yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam
suatu terapan tertentu sehingga dapat diperoleh informasi yang akurat. Secara
rinci bagan proses pengolahan citra disajikan pada Gambar 3.
Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi
26
digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari
metode yang berbeda atau dari kombinasi band yang berbeda (Jaya, 2002).
Tabel 7. Contoh bentuk matrik kesalahan (
Confussion Matrix
)
Data Acuan
Training Area
Diklasifikasi ke Kelas
(Data Klasifikasi di Peta)
Total
Baris
X
k+Producer’s
acc.
X
kk/X
k+A B
….
D
A
X
iiB
…
D
X
kkTotal Kolom
X
+kN
User’s Acc.
X
kk/X
+kSumber : Jaya (2002)
Ukuran-ukuran akurasi yang digunakan yaitu:
2
( )
/
100%
r
r
r
kk
kk
k
k
k
k
k
k
Kappa k
N
X
X
X
−
N
X
X
+
⎡
⎛
⎞ ⎛
⎞
⎤
⎢
⎜
⎟ ⎜
⎟
⎥
=
⎢
⎜
−
⎟ ⎜
−
−
⎟
⎥
×
⎜
⎟ ⎜
⎟
⎢
⎝
⎠ ⎝
⎠
⎥
⎣
∑ ∑
∑
⎦
(
)
.
kk
/
100%
Overall Acc
=
∑
X
N
×
(
)
'
.
kk
/
k
100%
User s Acc
=
X
X
+
×
(
)
Pr
od s Acc
'
.
=
X
kk
/
X
k
+
×
100%
Keterangan:
N
: jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
R
: jumlah baris/lajur pada matrik kesalahan (jumlah kelas)
X
I+: jumlah semua kolom pada baris ke-I (
∑
X
ij)
X
+j: jumlah semua kolom pada lajur ke-I (
∑
X
ij)
Pengecekan Lapangan (
Ground Check
)
Gambar 3.
Diagram alir proses pengolahan citra
Digitasi
Editing
Labelling/Attributing
Map Join
Layout Peta
Peta Biosfisik
Mulai
28
Gambar 4.
Beberapa kelas penutupan lahan (1) pohon; (2) semak belukar; (3)
padang rumput; (4) sawah; (a) penampakan pada citra Ikonos; (b)
penampakan di lapangan
1a
2a
1b
4a
3a
2b
3b
Gambar 4.
(lanjutan)
Beberapa kelas penutupan lahan (5) tanah kosong; (6)
sungai; (7) bangunan/pemukiman (a) penampakan pada citra
Ikonos; (b) penampakan di lapangan
6a
5b
6b
7a
7b
30
Pendekatan Pembangunan Hutan Kota
Hutan kota adalah sebuah areal yang ditumbuhi berbagai tegakan vegetasi
yang merupakan suatu unit ekosistem yang berfungsi dan berstruktur sebagai
hutan dalam wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan
sebesar-besarnya kepada penduduk kota bagi kegunaan proteksi, esetika, rekreasi serta
kegunaan khusus lainnya (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup, 1988). Menurut Dahlan (2004) hutan kota dianggap memiliki kelebihan
dalam menyerap gas CO
2dibandingkan dengan tanaman, karena hutan
menempati hamparan yang lebih luas daripada taman, selain itu biomassa hutan
jauh lebih banyak daripada taman, karena terdiri dari beberapa strata ketinggian
dari yang paling rendah sampai yang tinggi pohonnya dapat mencapai 40-60 m
juga pepohonan hutan memiliki diameter tajuk dan kerapatan daun yang jauh
lebih besar daripada taman.
Menurut Dahlan (2004) ada dua pendekatan yang dipakai dalam
membangun hutan kota, yaitu:
Pendekatan Parsial
Pendekatan parsial yakni menyisakan sebagian dari kota untuk kawasan
hutan kota. Oleh sebab itu hutan kota sering diartikan sebagai hutan yang ada di
dalam kota. Ada beberapa metoda yang dapat dilakukan untuk menetapkan
luasannya, yakni berdasarkan perhitungan persentase, luasan per kapita dan
berdasarkan issu penting yang muncul di kota tersebut.
1. Berdasarkan persentase luas
Menurut Inmendari No. 5 tahun 1988, luasan RTH kota menggunakan
perbandingan 40 : 60, yang berarti 60% dari luas wilayah merupakan kawasan
terbangun dan lebihnya sebesar 40% harus digunakan sebagai kawasan hijau.
Sementara berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota menyatakan
luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luasan kota .
2. Berdasarkan luasan per kapita
3. Berdasarkan issu penting
Kota dengan penduduk yang padat dan jumlah kendaraan bermotor dan
industri yang tinggi, maka luasan hutan kota yang harus dibangun berdasarkan
kemampuan hutan kota dalam menjerap dan menyerap polutan.
Pendekatan Global
Pendekatan global menganggap bahwa semua wilayah administratif kota
dan kabupaten ditetapkan sebagai areal wilayah hutan kota. Adapun berbagai
penggunaan lahan seperti untuk pemukiman, industri, perdagangan, pendidikan,
pemerintahan, olah raga dan kesenian serta keperluan lainnya dianggap sebagai
enklave
(bagian) yang harus dihijaukan agar fungsi hutan kota dapat terwujud
secara nyata. Suatu hal yang penting bahwa kota harus dihijaukan dengan
tanaman secara maksimal, agar lingkungan menjadi bersih terbebas dari
pencemaran udara, sejuk, indah, alami dan nyaman. Walaupun mungkin pada
lokasi terbuka yang luasnya kurang dari 10 m
2saja, jika dimungkinkan untuk
dapat ditanami, maka akan ditanami dengan tanaman, sehingga akan diperoleh
lingkungan yang lebih indah dari segi tata letak, komposisi, aksentuasi,
keseimbangan, keserasian dan kealamian, tanpa melupakan persyaratan
silvikulturnya (Dahlan, 1992).
Pendekatan pembangunan hutan kota yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan parsial berdasarkan jumlah karbondioksida yang dihasilkan
penduduk, kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Pengembangan hutan kota
harus bisa mengimbangi tingkat karbondioksida yang dihasilkan, sehingga akan
diperoleh kesetimbangan lingkungan secara ekologi.
Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang Dihasilkan
1. Teknik dan Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data sekunder berupa data jumlah penduduk, data ju