DIAN FITRIA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DIAN FITRIA. Toxicity of Tephrosia vogelii and Alpinia galanga Extract againts Myzus persicae on Red Pepper Plant. Under the direction of DADANG and DEWI SARTIAMI.
Red pepper (Capsicum annum) is one of the important agricultural commodities in Indonesia, but the production is still fluctuated. One of factor that cause the decline in productivity of red pepper is a disturbance of pests and diseases. Aphids Myzus persicae
is one of the important pests on red pepper cultivation because it can cause loss of up to 80%. Botanical insecticide is one of alternative pest control agents which is biodegradable, safer than synthetic pesticides, and environmentally friendly. The objective of this study was to determine the effectiveness of two types of plant extracts as insecticides against M. persicae on red pepper (Capsicum annum) using the residual in plants methods and of systemic effects methods. Extracts used were Tephrosia vogelii
and Alpinia galanga, each extract was tested using the residual and systemic methods. Extracts of T. vogelii showed a higher toxicity using both the residual and systemic methods with each LC95 values at 72 hours after treatment were 16 and 12 times more
toxic than extracts of A. galanga. Systemic method was more efficient than the residual method. Testing of T. vogelii extract using systemic effect method LC95 8.5 times lower
than using residual method on plant, as well as the test of A. galanga extract that the systemic method show more toxic than residual method.
DIAN FITRIA. Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan DEWI SARTIAMI.
Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, namun tingkat produksi cabai masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah adanya gangguan hama dan penyakit tanaman. Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budidaya cabai karena dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Insektisida nabati adalah salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap M. persicae pada tanaman cabai yang diuji menggunakan metode residu dan sistemik. Tingkat toksisitas ekstrak T. vogelii pada metode residu menunjukkan nilai LC95 sebesar 5.375% yang berarti 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%. Pada metode sistemik ekstrak T. vogelii memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 7.896%. Pengujian metode sistemik lebih efektif dibandingkan dengan metode residu. Pengujian ekstrak T. vogelii menggunakan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 8.5 kali lebih toksik dibandingkan menggunakan metode
residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 5.375%, serta pengujian ekstrak
A. galanga dengan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 7.896% yang berarti 11 kali lebih toksik dibandingkan dengan metode residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%.
DIAN FITRIA
A34080050
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
NIM : A 34080050
Disetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof.Dr. Ir. Dadang, M.Sc Dra. Dewi Sartiami, M.Si NIP 19640204 199002 1 002 NIP. 19641204 199003 1 001
Diketahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001
Penulis dilahirkan di Desa Sembawa, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada tanggal 28 Desember 1989. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mulyono dan Ibu Iriyani.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sembawa 2 Kecamatan Jalaksana pada tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Jalaksana dan tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMAN 1 Kuningan dan tamat pada tahun 2008.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga pada bulan Februari sampai Juli 2012.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Mulyono, S.Pd dan Ibu Iriyani, S.Pd serta kak Budi Irfan, SP yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semangat dan kasih sayang, serta doanya untuk keberhasilan penulis seluruhnya sehingga penulis bisa meraih kesuksesan hingga saat ini.
Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc dan Dra. Dewi Sartiami, MSi selaku dosen pembimbing, yang telah banyak membantu, membimbing dan memberikan saran kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan semangat, bantuan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga hasil penelitian dan skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penelitian yang berkaitan. Amin.
Bogor, 26 September 2012
Halaman
Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya ... 4
Biologi dan Ekologi Kutudaun (Myzus persicae) ... 4
Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman ... 5
Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii ... 5
Potensi Ekstrak Alpinia galanga ... 6
BAHAN DAN METODE ... 7
Tempat dan Waktu ... 7
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai ... 7
Halaman
1 Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode
residu pada tanaman ... 12
2 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada
pengujian residu ... 15
3 Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode
pengujian sistemik ... 16
4 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada
Halaman
1 Karakteristik morfologi M. persicae, a) preparat awetan M. persicae, b) antena c) tuberkel antena, d) kauda, dan e) sifunkuli ... 11
2 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii (A) dan ekstrak A. galanga (B) dengan
metode residu pada tanaman ... 14
3 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii (A) dan ekstrak A. galanga (B) dengan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman
hortikultura yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Indonesia. Dengan rasa yang pedas dan aroma yang khas, cabai sering digunakan
sebagai penyedap makanan dan penambah selera makan. Selain itu, cabai juga
mengandung capsaicin dan zat mukokinentik yang dapat digunakan untuk terapi
kesehatan. Dari berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat
membantu dalam penyembuhan penyakit rematik, kejang otot, dan asma
(Wiryanta 2002).
Permintaan komoditas cabai semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk, sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksi
untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Rata-rata produktivitas cabai tahun 2009
sebesar 5.89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5.61 ton/ha sehingga
mempengaruhi harga di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS
2010). Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi cabai adalah
adanya serangan hama dan penyakit.
Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu
hama penting pada tanaman cabai yang bersifat kosmopolitan dan polifagus
(Kalshoven 1981). Kutudaun ini dapat merusak tanaman cabai baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga kerusakan tanaman dapat semakin
parah. Kutudaun menghasilkan ekskresi embun madu yang dapat dimanfaatkan
oleh cendawan jelaga yang menyebabkan daun menjadi hitam dan mengganggu
proses fotosintesis pada daun (Prajnanta 2003). Kutudaun M. persicae juga
berperan sebagai vektor virus, lebih dari 150 strain virus dapat ditularkan oleh
M. persicae. Virus tersebut menyebabkan daun menjadi mosaik, klorosis,
menggulung, menyempit sampai mengecilkan ukuran daun (Pracaya 2008).
Kerugian akibat M. persicae sebagai vektor virus saja dapat mencapai 80%
(Venita et al. 2009).
Umumnya petani cabai melakukan pengendalian serangga hama
mengendalikan hama dalam waktu yang singkat. Insektisida sintetik merupakan
salah satu komponen yang penting dalam pengendalian, namun insektisida sintetik
juga dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan dan aman
terhadap kesehatan manusia maupun organisme non sasaran lainnya. Salah satu
alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik adalah dengan
menggunakan insektisida nabati.
Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui berpotensi sebagai insektisida
nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain steroid, asetogenin,
terpenoid, flavonoid, limonoid, alkaloid dan tannin. Insektisida nabati adalah
insektisida yang berbahan metabolit aktif senyawa tumbuhan. Bahan-bahan ini
diolah dalam berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak
atau resin yang merupakan hasil pengambilan ekstrak metabolit sekunder dari
bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar dan diambil abunya yang
digunakan sebagai insektisida. Pada tahun 1960-an telah ditemukan beberapa
insektisida dari bahan tumbuhan yang memiliki cara kerja spesifik, seperti
azadiraktin dan senyawa lain dari famili Meliaceae yang dapat menghambat
aktivitas makan dan perkembangan serangga. Pada umumnya insektisida nabati
bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan musuh alami atau
serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan insektisida nabati dapat
dikombinasikan dengan penggunaan musuh alami sebagai agens pengendalian
(Thamrin et al. 2005).
Insektisida nabati yang berpotensi besar dalam pengendalian hama adalah
beberapa spesies dari anggota famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae,
Malvaceae, Zingiberaceae dan Solanaceae (Schmutterer 1997).
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui toksisitas dua jenis ekstrak tanaman
sebagai insektisida nabati terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai
(Capsicum annum) dengan menggunakan metode residu pada tanaman dan
Manfaat
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang
pertanian, khususnya bidang perlindungan tanaman sesuai dengan Tridarma
Perguruan Tinggi serta memberikan gambaran alternatif pengendalian yang ramah
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya
Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. (Wiryanta 2002). Tanaman cabai berdaya adaptasi luas, sehingga dapat ditanam di lahan sawah, kering, pinggir laut dataran rendah ataupun pegunungan (dataran
tinggi). Pengusahaannya juga dapat dilakukan pada musim kemarau, musim hujan
maupun rendengan akan tetapi perlu memeperhatikan beberapa hal diantaranya
adalah jenis tanah, derajat kemasaman (pH), air dan iklim ( Piay et al. 2010).
Pemilihan varietas merupakan salah satu tahapan yang penting dalam
budidaya cabai, varietas cabai hibrida maupun non hibrida yang telah dilepas di Indonesia diantaranya cabai merah Keriting Varietas TM 999, cabai merah
Teropong “Inko hot”, cabai merah Biola, cabai merah Hot Beauty, cabai merah
Hot Chili, cabai merah Premium, cabai merah Keriting Varietas Lembang–1, cabai merah Keriting Varietas Tanjung–2 (Piay et al. 2010).
Biologi dan Ekologi Kutudaun Myzus persicae
Myzus persicae merupakan kutudaun yang bersifat polifag, imago berwarna
hijau pudar atau kekuning-kuningan. Lama perkembangan nimfa selama 6 hari
(Pracaya 2008). Kutudaun di daerah tropis sebagian besar berkembang biak secara
tidak kawin yaitu dengan melahirkan nimfa. Mulai dari nimfa instar pertama
hingga keempat, bentuknya hampir sama. Setelah memasuki bentuk nimfa tahap
empat, nimfa pradewasa akan berubah menjadi serangga dewasa yang bersayap
maupun tanpa sayap. Serangga dewasa ini akan menghasilkan keturunan dalam
waktu kurang lebih 2 – 3 hari kemudian (Kalshoven 1981).
bawah. Kondisi ini merupakan gejala spesifik dari gangguan kutudaun. Bagian daun bekas tempat isapan kutudaun berwarna kekuningan. Populasi kutudaun yang tinggi dapat menyebabkan klorosis dan gugur daun, serta mengakibatkan ukuran buah cabai menjadi lebih kecil. Kutudaun menghasilkan cairan embun madu yang dapat menjadi tempat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada permukaan daun dan buah. Kerusakan langsung menyebabkan kerugian sebesar 6-25%. Kerusakan tidak langsung menyebabkan kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kerusakan langsung yaitu sebesar 80%. Kerusakan tidak langsung disebabkan oleh M. persicae karena perannya sebagai vektor penyakit virus. Penyakit virus yang dapat ditularkan oleh kutudaun M. persicae pada tanaman cabai merah, antara lain penyakit virus menggulung daun kentang (PLRV) dan penyakit virus kentang Y (PVY). (Venita et al. 2009; Piay et al. 2010).
Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman
Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan. Pestisida
ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya
mudah hilang. Dengan demikan, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan
aman untuk dikonsumsi. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang
sebagian merupakan senyawa metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan diri dari serangan organisme pengganggu. Walaupun
hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi,
namun jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. Lebih dari
2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung
bahan pestisida (Kardinan 2002).
Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii
Tephrosia vogelii dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-2100 m
diatas permukaan laut dengan curah hujan 850-2700 mm. Daunnya berwarna
hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan
putih. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. T. vogelii
ikan, dan insektisida alami (Heyne 1987). Menurut Zakarni (2008) ekstrak daun
T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang mengakibatkan
serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga
meningkatkan resiko diserang oleh musuh alaminya. Dengan demikian dapat
menurunkan populasi hama jika ekstrak tersebut digunakan di lapangan selain itu
ekstrak T. vogelii relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid
Diadegma semiclausum (Hymenoptera: Ichneumonidae). Nugroho (2008)
melaporkan bahwa fraksi heksana T. vogelii selain memiliki aktivitas insektisida
yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) di
laboratorium, juga memiliki persistensi yang baik pada tanaman brokoli di rumah
kaca. Sediaan insektisida botani dari T. vogelii dan beberapa jenis tanaman lain
telah sering digunakan oleh petani di Jawa Barat, termasuk di pertanian organik,
untuk mengendalikan hama pemakan daun.
Potensi Ekstrak Alpinia galanga
Tanaman Alpinia galanga atau lengkuas merah termasuk kedalam famili
Zingiberaceae, tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1-1200 m diatas
permukaan laut dengan curah hujan tahunan 2500-4000 mm/tahun. Lengkuas
mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan pengawet pada
makanan dan sebagai antibiotik alami (Darwis et al. 1991). Selain itu, lengkuas
juga mengandung senyawa flavonoid seperti flavonol, komponen flavonol yang
banyak terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan
mirisetin (Rusmarilin 2003). Lengkuas merah biasa digunakan sebagai obat
tradisional untuk berbagai penyakit seperti bronkhitis, radang lambung, dan
masuk angin dan dapat digunakan sebagai antimikroba, antioksidan,
antikarsinogenik, antifertilitas dan antifeedant (Darwis et al. 1991). Rimpang
A. galanga dapat digunakan sebagai insektisida yang memiliki sifat toksik dan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari
bulan Februari – Juli 2012.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai
Benih cabai diseleksi dengan cara merendam benih dalam air hangat ± 50ºC,
biji yang terapung dibuang sedangkan benih yang tenggelam disaring dan disemai
pada nampan penyemaian yang diisi dengan media tanam berupa tanah halus dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih yang telah disemai 10‐14 hari
atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke tempat
pembibitan. Bibit dipindahkan ke pot berukuran 13 cm sebanyak 1 bibit per pot
untuk perlakuan uji residu sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang
berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang
dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma, dan pengendalian
hama dengan cara mekanis.
Identifikasi Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan adalah M. persicae. Serangga uji terlebih
dahulu diidentifikasi untuk memastikan spesies serangga. Serangga diidentifikasi
di Laboratorium Biosistematika Serangga dengan sediaan preparat. Sediaan
preparat dibuat dengan memasukkan serangga ke dalam tabung reaksi yang berisi
alkohol 95% dan dipanaskan pada kompor pemanas air selama 5 menit. Serangga
diletakkan pada cawan sirakus dan dilubangi bagian toraksnya untuk
mempermudah pengeluaran isi tubuh serangga. Serangga dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi larutan KOH 10% kemudian dipanaskan hingga
transparan. Kemudian serangga diletakkan pada cawan sirakus dan isi tubuh
dikeluarkan, larutan KOH 10% dibuang diganti dengan larutan aquadest sebanyak
berturut-turut dari alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 95% selama 10 menit,
alkohol 100% selama 10 menit dan minyak cengkeh selama 10 menit. Serangga
diletakkan di atas kaca obyek dan di tetesi canada balsam 1 tetes, kemudian
ditutup dengan kaca penutup selanjutnya diidentifikasi dengan memperhatikan
bentuk morfologi menggunakan mikroskop serta buku acuan (Blackman dan
Eastop 2000).
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji
Serangga uji M. persicae dari pertanaman brokoli yang tidak mendapat
aplikasi insektisida dipelihara secara massal di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Perbanyakan M. persicae dilakukan pada tanaman brokoli
berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris yang bagian
atasnya tertutup kain kasa dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Untuk
mendapatkan nimfa M. persicae yang seragam, satu induk imago M. persicae
dibiarkan untuk berkembangbiak sampai menghasilkan keturunan pertama dan
dipelihara sampai imago. Imago keturunan pertama dari induk M. persicae
dipelihara untuk melahirkan nimfa pada tanaman brokoli selama 1 hari, kemudian
imago tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke tanaman brokoli lainnya dan
tindakan ini dilakukan berkali-kali sampai didapatkan serangga uji yang cukup
untuk pengujian. Nimfa instar dua yang berumur 2 hari dipindahkan dari tanaman
brokoli ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian
nimfa instar empat tersebut digunakan untuk pengujian.
Sumber Ekstrak Tanaman
Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian
diperoleh dari daerah Bogor dan sekitarnya. Bahan-bahan tanaman tersebut antara
lain daun kacang babi (Tephrosia vogelii) dan rimpang lengkuas (Alpinia
galanga). Daun kacang babi diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan rimpang lengkuas merah diperoleh dari
Ekstraksi Tanaman
Bahan-bahan tanaman yang digunakan untuk pengujian terlebih dahulu
dikering-anginkan dengan meletakkan bahan tanaman pada tempat yang tidak
terpapar cahaya matahari langsung. Setelah dikering-anginkan bahan tanaman
tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender kemudian disaring
hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan
pelarut metanol. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode
maserasi, yaitu merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam pada labu
Erlenmeyer kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong
Buchner dengan dua kali penyaringan. Filtrat kemudian diuapkan menggunakan
rotary evaporator pada tekanan 400-500 mmHg dengan suhu 500C sehingga
didapatkan ekstrak tanaman yang diharapkan (Dadang dan Nugroho 1999).
Ekstrak-ekstrak kasar tanaman hasil penguapan tersebut disimpan dalam lemari es
pada suhu ± 40C hingga saat digunakan.
Metode Pengujian
Uji Residu pada Tanaman
Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan metanol dan tween 80
(1:5) 1.2% dan aquades. Konsentrasi uji residu pada tanaman menggunakan 4
konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 1%; 2%; 3%; 5% dan kontrol dengan 3
kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di pot disemprot dengan
ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfestasi sebanyak 10
ekor serangga uji pertanaman kemudian tanaman cabai disungkup dengan plastik
silindris yang bagian atasnya tertutup kain kasa. Perhitungan mortalitas serangga
dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan. Data pengujian diolah
dengan analisis probit.
Uji Sistemik pada Tanaman
Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan metanol dan tween 80
konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 0.01%; 0.05%; 0.1% dan kontrol dengan
5 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Pengujian sistemik dilakukan dengan cara
merendam bagian akar tanaman cabai yang berumur 3 minggu dalam larutan
ekstrak tanaman pada gelas plastik, sterofoam berbentuk bulat dimasukan ke
dalam gelas plastik untuk menahan serangga uji agar tidak jatuh ke dalam larutan
ekstrak tanaman. Sebanyak 10 ekor serangga uji pertanaman diinfestasi lalu
ditutup dengan gelas plastik yang bagian atas gelas plastik ditutup menggunakan
kain kasa untuk menghindari serangga uji keluar dari gelas plastik tersebut.
Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah
perlakuan. Data pengujian diolah dengan analisis probit.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini terdiri dari dua pengujian, yaitu uji residu dan uji sistemik
pada tanaman dengan dua jenis ekstrak tanaman. Kedua pengujian tersebut
disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan parameter yang diamati adalah
mortalitas.
Analisis Data
Data hasil persentase mortalitas M. persicae dianalisis dengan Statistical
Analisis System (SAS) dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda
duncan pada taraf nyata 5%. Data mortalitas M. persicae yang didapatkan juga
diolah dengan menggunakan program POLO PC untuk menentukan nilai LC50 dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Myzus persicae
Myzus persicae merupakan serangga dari ordo Hemiptera, superfamili
Aphidoidea, famili Aphididae, subfamili Aphidinae. Karakterisitik morfologi
kutudaun M. persicae dapat dilihat pada gambar 1. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa antena M. persicae memiliki panjang segmen terminal lebih
panjang dari segmen basal antena. Tuberkel pada antena M. persicae berbentuk
konvergen yaitu cekung ke bagian dalam. Kutudaun M. persicae memiliki ukuran
kauda lebih pendek dari sifunkuli dan sifunkuli berbentuk ramping di bagian
tengahnya, kemudian membengkak pada bagian akhirnya. Panjang tubuh
M. persicae berukuran 1.2-2.1 mm. Hasil identifikasi karakteristik morfologi
tersebut sesuai dengan karakteristik morfologi M. persicae dalam buku acuan
identifikasi kutudaun Blackman dan Eastop (2000) sehingga dapat dipastikan
bahwa serangga uji yang diidentifikasi merupakan spesies dari M. persicae.
Pengujian Metode Residu pada Tanaman
Persentase rata-rata mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada pengujian
dengan metode residu pada tanaman menggunakan ekstrak T. vogelii dan ekstrak
A. galanga disajikan pada tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
umum mortalitas nimfa instar IV M. persicae semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya konsentrasi baik pada perlakuan menggunakan ekstrak T. vogelii
maupun ekstrak A. galanga.
Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak ± SD a,b
Mortalitas dihitung pada 72 jam setelah perlakuan. b
Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%, SD adalah Standar Deviasi.
Pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak T. vogelii, persentase
mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A. galanga pada
setiap konsentrasinya. Secara statistik perlakuan ekstrak T. vogelii konsentrasi
5% menghasilkan mortalitas yang berbeda nyata dan menyebabkan mortalitas
paling tinggi diantara kontrol dan tiga konsentrasi lainya, yaitu sebesar 100%.
Sementara itu pada perlakuan ekstrak A. galanga konsentrasi 3% dan 5% nyata
lebih tinggi dibandingkan kontrol 0% tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan
2 %. Persentase mortalitas pada perlakuan ekstrak A. galanga sangat rendah pada
semua konsentrasi, yaitu dibawah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
ekstrak A. galanga dengan metode pengujian residu pada tanaman tidak
dibandingkan dengan ekstrak T. vogelii yang dapat mencapai mortalitas 100%
pada konsentrasi 5 % (Tabel 1).
Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae akibat perlakuan
ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga dengan metode residu
menunjukkan bahwa mortalitas pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) pada setiap
konsentrasi masih dibawah 25%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif yang
terkandung pada ekstrak mulai menimbulkan efek toksisitas pada nimfa instar IV
M . persicae sejak 24 JSP. Pada perlakuan ekstrak T. vogelii tingkat mortalitas
nimfa instar IV M. persicae meningkat pada setiap pengamatan setelah perlakuan
mulai dari 24 JSP sampai 72 JSP. Konsentrasi 5% ekstrak T. vogelii pada 72 JSP
menyebabkan mortalitas hingga 100%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif
yang terkandung pada ekstrak T. vogelii memiliki daya toksisitas yang tinggi
terhadap M. persicae. Perlakuan menggunakan ekstrak rimpang A. galanga pada
48 JSP meningkat lebih lambat dengan tingkat mortalitas nimfa pada konsentrasi
5% hanya menyebabkan mortalitas 30%. Konsentrasi 5% ekstrak A. galanga
pada 72 JSP menyebabkan mortalitas nimfa lebih dari 50%. Ekstrak rimpang
A. galanga tidak menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ekstrak T. vogelii, hal ini diduga karena kandungan residu bahan aktifnya lebih
rendah dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii (Gambar 2).
Nilai LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii pada pengamatan 72 JSP lebih
rendah dibandingkan nilai LC50 dan LC95 pada pengamatan 48 JSP, dan lebih
rendah daripada LC50 dan LC95 pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan peningkatan
mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada 48 JSP dan 72 JSP yang sesuai
dengan pola perkembangan mortalitas, yaitu pada 48 JSP dan 72 JSP terjadi
Tabel 2 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada metode residu
*
JSP = jam sejak perlakuan. **
a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = Galat Baku. Jenis ekstrak Waktu pengamatan
(JSP)* a±GB
**
b±GB** LC50 (%)** LC95 (%)**
T. vogelii 24 -1.878±0.367 1.685±0.709 13.002 122.989
48 -0.805±0.221 1.093±0.478 5.444 173.666
72 -0.118±0.209 2.413±0.563 1.119 5.375
A. galanga 24 -1.337±0.274 0.481±0.583 598.587 0.156
48 -0.733±0.219 0.158±0.483 40854 0.000
72 -0.602±0.212 1.154±0.465 3.326 88.328
Pengujian Metode Sistemik pada Tanaman
Persentase rata-rata mortalitas nimfa instar IV M. persicae akibat pengujian
dengan metode pengujian sistemik menggunakan ekstrak T. vogelii dan ekstrak
A. galanga disajikan pada tabel 3.
Tabel 3 Mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode pengujian sistemik
Konsentrasi (%)
Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak ± SD a,b
Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%, SD adalah Standar Deviasi
Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik perlakuan ekstrak
T. vogelii pada setiap konsentrasinya berpengaruh nyata terhadap mortalitas
M. persicae. Semakin tinggi konsentrasi perlakuan mengakibatkan semakin tinggi
mortalitas nimfa instar IV M. persicae. Pada konsentrasi 1% menyebabkan
mortalitas nimfa instar IV M. persicae sebesar 78%. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan ekstrak T. vogelii memiliki daya toksik yang tinggi terhadap nimfa
instar IV M. persicae. Pada perlakuan ekstrak A. galanga konsentrasi 0.05% tidak
berbeda nyata dengan perlakuan pada konsentrasi 0.01% dan 0.1% namun ketiga
konsentrasi perlakuan 0.01%, 0.05%, dan 0.1% berbeda nyata dengan kontrol dan
berpengaruh secara nyata terhadap mortalitas nimfa instar IV M. persicae. Secara
umum terlihat bahwa konsentrasi ekstrak yang paling berpengaruh terhadap
mortalitas nimfa instar IV M. persicae adalah konsentrasi ekstrak 0.1% yang
Gambar 3 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak daun T. vogelii (A) dan ekstrak rimpang A. galanga (B) dengan metode sistemik.
Pada Gambar 3, perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae
akibat perlakuan dengan metode efek sistemik menggunakan ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga menunjukan pola yang serupa,
mortalitas nimfa instar IV M. persicae mulai tampak nyata pada 24 JSP dan makin
meningkat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas nimfa instar IV
M. persicae terjadi secara bertahap sesuai dengan lamanya waktu pengamatan.
Pengaruh konsentrasi ekstrak daun T. vogelii dan rimpang A. galanga terhadap
mortalitas nimfa instar IV M. persicae berbanding lurus yaitu semakin tinggi
konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan terhadap nimfa instar IV M. persicae
maka semakin tinggi persentase mortalitas nimfa. Perlakuan menggunakan
ekstrak daun T. vogelii dan rimpang A. galanga pada 24 JSP konsentrasi 1%
mengakibatkan mortalitas nimfa instar IV M. persicae masing-masing 40% dan
30%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif yang terkandung pada
kedua ekstrak tersebut sudah dapat memberikan reaksi pada nimfa instar IV
M. persicae sejak 24 JSP. Perkembangan mortalitas meningkat pada pengamatan
berikutnya pada 72 JSP konsentrasi 1% mengakibatkan mortalitas nimfa instar IV
M. persicae masing-masing 78% dan 66%.
Berdasarkan analisis probit perlakuan ekstrak T. vogelii nilai LC50 pada 72
JSP lebih rendah dibandingkan dengan 48 JSP, dan lebih rendah pula daripada
LC50 pada 24 JSP. Sementara itu perlakuan ekstrak A. galanga LC50 dan LC95
pada 72 JSP lebih rendah dibandingkan dengan 48 JSP, dan lebih rendah pula
daripada LC50 dan LC95 pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan peningkatan mortalitas
nimfa instar IV M. persicae pada 48 JSP dan 72 JSP yang sesuai dengan pola
perkembangan mortalitas, yaitu pada 48 JSP dan 72 JSP terjadi peningkatan
mortalitas. Berdasarkan kesetaraan toksisitas taraf LC50 pada 72 JSP ekstrak daun
T. vogelii tidak berbeda jauh dengan ekstrak rimpang A. galanga yaitu 1 kali lebih
toksik ekstrak daun T. vogelii dibandingkan ekstrak rimpang A. galanga. Untuk
LC95 pada 72 JSP, ekstrak daun T. vogelii 12 kali lebih toksik dibandingkan
Tabel 4 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV
M. persicae pada pengujian sistemik
Jenis ekstrak Waktu pengamatan
(JSP)* a±GB
**
b±GB** LC50 (%)** LC95 (%)**
T. vogelii 24 2.311±0.797 2.530±0.685 0.122 0.545
48 1.634±0.393 1.295±0.273 0.055 1.018
72 1.883±0.390 1.226±0.260 0.029 0.638
A. galanga 24 -0.119±0.424 0.615±0.299 1.045 491.000
48 0.589±0.371 0.555±0.251 0.087 79.170
72 1.021±0.380 0.694±0.255 0.033 7.896
*
JSP = jam sejak perlakuan. **
a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = Galat Baku.
Pembahasan Umum
Metode uji residu dilakukan dengan cara menyemprot ekstrak tanaman
pada daun cabai. Mortalitas pada uji residu akibat perlakuan ekstrak rimpang
A. galanga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ekstrak daun T. vogelii.
Hal ini karena menurut Budiarti (2007) ekstrak rimpang A. galanga memiliki
kandungan minyak atsiri yang mudah menguap, sehingga pada daun cabai yang
telah disemprot ekstrak rimpang A. galanga terjadi penurunan residu bahan aktif
karena ekstrak yang disemprotkan cepat menguap yang menyebabkan tingkat
mortalitas nimfa instar IV M. persicae rendah. Selain itu perbedaan persentase
mortalitas nimfa M. persicae tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan sifat
genetika dan bagian tumbuhan yang diekstraksi. Menurut Kaufman et al. (2006)
perbedaan sifat toksisitas bahan tumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh
keanekaragaman sifat genetika dan umur tumbuhan, kondisi tanah dan vegetasi di
sekitar lokasi tumbuhan sumber, serta kondisi musim saat pengambilan bahan
tumbuhan sumber insektisida nabati tersebut.
Metode uji sistemik dilakukan dengan merendam akar cabai dalam ekstrak
tanaman. Pada uji efek sistemik mortalitas nimfa sebagian besar terjadi pada 24
JSP dan 48 JSP, sedangkan pada 72 JSP tingkat mortalitas nimfa hanya
mengalami sedikit peningkatan. Pola perkembangan mortalitas nimfa M. persicae
pada penelitian ini serupa dengan pola perkembangan mortalitas larva
C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii seperti yang dilaporkan
oleh Nailufar (2008), Abizar dan Prijono (2010) dan Zakarni (2008). Pada uji
sistemik mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga tidak jauh berbeda. Hal ini karena
kedua ekstrak tanaman tersebut memiliki bahan aktif yang dapat menyebabkan
mortalitas pada nimfa instar IV M. persicae. Daun T. vogelii mengandung
senyawa rotenoid seperti rotenon, tefrosin, dan deguelin yang dapat menghambat
pertumbuhan serangga (Lambert et al. 1993; Suryaningsih 2007) dan menurut
Zakarni (2008) T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang kuat
terhadap larva C. pavonana.
Pengujian ekstrak daun T. vogelii pada metode sistemik memiliki LC50 dan
pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman begitu pula pada
pengujian menggunakan ekstrak rimpang A. galanga pada metode efek sistemik
memiliki LC50 dan LC95 masing-masing 100 dan 11 kali lebih rendah
dibandingkan dengan pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman.
Hal ini karena pada pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman
memiliki tingkat residu bahan aktif yang lebih rendah dibandingkan dengan
pengujian menggunakan metode efek sistemik. Menurut Dadang dan Prijono
(2008) sifat sistemik akan meningkatkan daya tahan senyawa insektisida nabati
pada tanaman karena senyawa tersebut terlindung dalam tanaman. Sementara itu
pada metode residu dapat terjadi penurunan residu bahan aktif yang disebabkan
oleh faktor lingkungan. Menurut Arneti (2012) pestisida dari bahan alami mudah
terurai oleh faktor lingkungan, penguraian ini dapat berlangsung secara kimiawi
seperti fotolisis dan hidrolisis atau secara biologis oleh tanaman atau
mikroorganisme. Selain itu perbedaan toksisitas di antara ekstrak daun T. vogelii
dan ekstrak rimpang A. galanga yang diuji dapat disebabkan oleh kandungan
bahan aktifnya. Menurut Lambert et al. (1993) dan Djojosumarto (2008) daun
T. vogelii mengandung senyawa rotenon, tefrosin, dan deguelin yang memiliki
aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga baik sebagai
racun perut maupun racun kontak. Rimpang A. galanga mengandung minyak
atsiri yang memiliki sifat penghambat makan, toksik maupun repellent (Atjung
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ekstrak T. vogelii lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak A. galanga
pada pengujian menggunakan metode residu. Nilai LC95 pada 72 JSP ekstrak daun
T. vogelii 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak rimpang A. galanga.
Pengujian dengan metode sistemik menunjukkan ekstrak T. vogelii lebih efektif
dibandingkan dengan ekstrak A. galanga dengan nilai LC95 pada 72 JSP, ekstrak
daun T. vogelii 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak rimpang A.
galanga.
Pengujian menggunakan metode sistemik lebih efisien dibandingkan dengan
pengujian menggunakan metode residu. Ekstrak daun T. vogelii pada metode
sistemik memiliki LC95 8.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan pengujian
menggunakan metode residu, begitu pula pada pengujian menggunakan ekstrak
rimpang A. galanga, pada metode sistemik memiliki LC95 11 kali lebih rendah
dibandingkan dengan pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman.
Saran
Untuk meningkatkan kegunaan bahan insektisida nabati tersebut, perlu
dikembangkan formulasi yang lebih sesuai dan perlu dilakukan pengujian
DAFTAR PUSTAKA
Arneti. 2012. Bioaktivitas ekstrak buah Piper aduncum L. (Piperaceae) terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera : Crambidae) dan formulasinya sebagai insektisida botani [disertasi]. Padang: Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.
Atjung. 1990. Tanaman Obat dan Minuman Segar. Jakarta: Yasaguna.
Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). JHPT Trop 10:1-12.
Blackman RI, Eastop VF.2000. Aphids on the World’s Crops: an Identification Guide. 2nd eds. Chichester: Wiley.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Luas panen, produksi dan produktivitas cabai, 2009-2010 [internet]. [diunduh pada 5 Mei 2011]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55& notab.
Budiarti R. 2007. Pemanfaatan lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) sebagai bahan antijamur dalam sampo [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dadang, Prijono D. 2008. Pestisida Nabati. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dadang, Nugroho BW. 1999. Ekstraksi, isolasi, dan identifikasi. Di dalam: Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut Pertanian Bogor.
Darwis SN, Indo M, Hasiyah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen Van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati. Jakarta: Penebar Swadaya.
Lambert N, Trouslot MF, Campa CN, Chrestin H. 1993. Production of rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia vogelii. Phytochemistry 34:1515−1520.
Nailufar N. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nugroho DA. 2008. Aktivitas residu ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) dan daun Tephrosia vogelii Hook. f. (Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Prajnanta F. 2003. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rusmarilin H. 2003. Aktivitas anti-kanker ekstrak rimpang lengkuas lokal (Alpinia galanga (L). Sw) pada alur sel kanker manusia serta mencit yang ditransplantasi dengan sel tumor primer [disertasi]. Program Pasca Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suryaningsih E. 2007. Efikasi pestisida biorasional untuk mengendalikan Thrips palmi Karny pada tanaman kentang. Journal Hortikultura 18:319−325.
Schumetterer H. 1997. Side-effect of neem (Azadirachta indica) products on insect pathogens and natural enemies of spider mites and insects. J Appl Entomol 121: 121-128.
Thamrin A, Asikin S, Mukhlis, Budiman A. 2005. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati [internet]. [diunduh 25 April 2011]. Tersedia pada:http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/images/jarakpagar/pengendalian. pdf
Venita Y, Fauzana H, Mukti. 2009. Pemberian beberapa konsentrasi dan interval penyemprotan ekstrak daun sirsak terhadap hama Myzus persicae Sulzer pada tanaman cabai. J SAGU 8:23-26.
Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Jakarta: Agromedia Pustaka.
DIAN FITRIA. Toxicity of Tephrosia vogelii and Alpinia galanga Extract againts Myzus persicae on Red Pepper Plant. Under the direction of DADANG and DEWI SARTIAMI.
Red pepper (Capsicum annum) is one of the important agricultural commodities in Indonesia, but the production is still fluctuated. One of factor that cause the decline in productivity of red pepper is a disturbance of pests and diseases. Aphids Myzus persicae
is one of the important pests on red pepper cultivation because it can cause loss of up to 80%. Botanical insecticide is one of alternative pest control agents which is biodegradable, safer than synthetic pesticides, and environmentally friendly. The objective of this study was to determine the effectiveness of two types of plant extracts as insecticides against M. persicae on red pepper (Capsicum annum) using the residual in plants methods and of systemic effects methods. Extracts used were Tephrosia vogelii
and Alpinia galanga, each extract was tested using the residual and systemic methods. Extracts of T. vogelii showed a higher toxicity using both the residual and systemic methods with each LC95 values at 72 hours after treatment were 16 and 12 times more
toxic than extracts of A. galanga. Systemic method was more efficient than the residual method. Testing of T. vogelii extract using systemic effect method LC95 8.5 times lower
than using residual method on plant, as well as the test of A. galanga extract that the systemic method show more toxic than residual method.
DIAN FITRIA. Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan DEWI SARTIAMI.
Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, namun tingkat produksi cabai masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah adanya gangguan hama dan penyakit tanaman. Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budidaya cabai karena dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Insektisida nabati adalah salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap M. persicae pada tanaman cabai yang diuji menggunakan metode residu dan sistemik. Tingkat toksisitas ekstrak T. vogelii pada metode residu menunjukkan nilai LC95 sebesar 5.375% yang berarti 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%. Pada metode sistemik ekstrak T. vogelii memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 7.896%. Pengujian metode sistemik lebih efektif dibandingkan dengan metode residu. Pengujian ekstrak T. vogelii menggunakan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 8.5 kali lebih toksik dibandingkan menggunakan metode
residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 5.375%, serta pengujian ekstrak
A. galanga dengan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 7.896% yang berarti 11 kali lebih toksik dibandingkan dengan metode residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman
hortikultura yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Indonesia. Dengan rasa yang pedas dan aroma yang khas, cabai sering digunakan
sebagai penyedap makanan dan penambah selera makan. Selain itu, cabai juga
mengandung capsaicin dan zat mukokinentik yang dapat digunakan untuk terapi
kesehatan. Dari berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat
membantu dalam penyembuhan penyakit rematik, kejang otot, dan asma
(Wiryanta 2002).
Permintaan komoditas cabai semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk, sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksi
untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Rata-rata produktivitas cabai tahun 2009
sebesar 5.89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5.61 ton/ha sehingga
mempengaruhi harga di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS
2010). Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi cabai adalah
adanya serangan hama dan penyakit.
Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu
hama penting pada tanaman cabai yang bersifat kosmopolitan dan polifagus
(Kalshoven 1981). Kutudaun ini dapat merusak tanaman cabai baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga kerusakan tanaman dapat semakin
parah. Kutudaun menghasilkan ekskresi embun madu yang dapat dimanfaatkan
oleh cendawan jelaga yang menyebabkan daun menjadi hitam dan mengganggu
proses fotosintesis pada daun (Prajnanta 2003). Kutudaun M. persicae juga
berperan sebagai vektor virus, lebih dari 150 strain virus dapat ditularkan oleh
M. persicae. Virus tersebut menyebabkan daun menjadi mosaik, klorosis,
menggulung, menyempit sampai mengecilkan ukuran daun (Pracaya 2008).
Kerugian akibat M. persicae sebagai vektor virus saja dapat mencapai 80%
(Venita et al. 2009).
Umumnya petani cabai melakukan pengendalian serangga hama
mengendalikan hama dalam waktu yang singkat. Insektisida sintetik merupakan
salah satu komponen yang penting dalam pengendalian, namun insektisida sintetik
juga dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan dan aman
terhadap kesehatan manusia maupun organisme non sasaran lainnya. Salah satu
alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik adalah dengan
menggunakan insektisida nabati.
Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui berpotensi sebagai insektisida
nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain steroid, asetogenin,
terpenoid, flavonoid, limonoid, alkaloid dan tannin. Insektisida nabati adalah
insektisida yang berbahan metabolit aktif senyawa tumbuhan. Bahan-bahan ini
diolah dalam berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak
atau resin yang merupakan hasil pengambilan ekstrak metabolit sekunder dari
bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar dan diambil abunya yang
digunakan sebagai insektisida. Pada tahun 1960-an telah ditemukan beberapa
insektisida dari bahan tumbuhan yang memiliki cara kerja spesifik, seperti
azadiraktin dan senyawa lain dari famili Meliaceae yang dapat menghambat
aktivitas makan dan perkembangan serangga. Pada umumnya insektisida nabati
bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan musuh alami atau
serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan insektisida nabati dapat
dikombinasikan dengan penggunaan musuh alami sebagai agens pengendalian
(Thamrin et al. 2005).
Insektisida nabati yang berpotensi besar dalam pengendalian hama adalah
beberapa spesies dari anggota famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae,
Malvaceae, Zingiberaceae dan Solanaceae (Schmutterer 1997).
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui toksisitas dua jenis ekstrak tanaman
sebagai insektisida nabati terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai
(Capsicum annum) dengan menggunakan metode residu pada tanaman dan
Manfaat
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang
pertanian, khususnya bidang perlindungan tanaman sesuai dengan Tridarma
Perguruan Tinggi serta memberikan gambaran alternatif pengendalian yang ramah
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya
Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. (Wiryanta 2002). Tanaman cabai berdaya adaptasi luas, sehingga dapat ditanam di lahan sawah, kering, pinggir laut dataran rendah ataupun pegunungan (dataran
tinggi). Pengusahaannya juga dapat dilakukan pada musim kemarau, musim hujan
maupun rendengan akan tetapi perlu memeperhatikan beberapa hal diantaranya
adalah jenis tanah, derajat kemasaman (pH), air dan iklim ( Piay et al. 2010).
Pemilihan varietas merupakan salah satu tahapan yang penting dalam
budidaya cabai, varietas cabai hibrida maupun non hibrida yang telah dilepas di Indonesia diantaranya cabai merah Keriting Varietas TM 999, cabai merah
Teropong “Inko hot”, cabai merah Biola, cabai merah Hot Beauty, cabai merah
Hot Chili, cabai merah Premium, cabai merah Keriting Varietas Lembang–1, cabai merah Keriting Varietas Tanjung–2 (Piay et al. 2010).
Biologi dan Ekologi Kutudaun Myzus persicae
Myzus persicae merupakan kutudaun yang bersifat polifag, imago berwarna
hijau pudar atau kekuning-kuningan. Lama perkembangan nimfa selama 6 hari
(Pracaya 2008). Kutudaun di daerah tropis sebagian besar berkembang biak secara
tidak kawin yaitu dengan melahirkan nimfa. Mulai dari nimfa instar pertama
hingga keempat, bentuknya hampir sama. Setelah memasuki bentuk nimfa tahap
empat, nimfa pradewasa akan berubah menjadi serangga dewasa yang bersayap
maupun tanpa sayap. Serangga dewasa ini akan menghasilkan keturunan dalam
waktu kurang lebih 2 – 3 hari kemudian (Kalshoven 1981).
bawah. Kondisi ini merupakan gejala spesifik dari gangguan kutudaun. Bagian daun bekas tempat isapan kutudaun berwarna kekuningan. Populasi kutudaun yang tinggi dapat menyebabkan klorosis dan gugur daun, serta mengakibatkan ukuran buah cabai menjadi lebih kecil. Kutudaun menghasilkan cairan embun madu yang dapat menjadi tempat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada permukaan daun dan buah. Kerusakan langsung menyebabkan kerugian sebesar 6-25%. Kerusakan tidak langsung menyebabkan kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kerusakan langsung yaitu sebesar 80%. Kerusakan tidak langsung disebabkan oleh M. persicae karena perannya sebagai vektor penyakit virus. Penyakit virus yang dapat ditularkan oleh kutudaun M. persicae pada tanaman cabai merah, antara lain penyakit virus menggulung daun kentang (PLRV) dan penyakit virus kentang Y (PVY). (Venita et al. 2009; Piay et al. 2010).
Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman
Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan. Pestisida
ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya
mudah hilang. Dengan demikan, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan
aman untuk dikonsumsi. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang
sebagian merupakan senyawa metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan diri dari serangan organisme pengganggu. Walaupun
hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi,
namun jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. Lebih dari
2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung
bahan pestisida (Kardinan 2002).
Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii
Tephrosia vogelii dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-2100 m
diatas permukaan laut dengan curah hujan 850-2700 mm. Daunnya berwarna
hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan
putih. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. T. vogelii
ikan, dan insektisida alami (Heyne 1987). Menurut Zakarni (2008) ekstrak daun
T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang mengakibatkan
serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga
meningkatkan resiko diserang oleh musuh alaminya. Dengan demikian dapat
menurunkan populasi hama jika ekstrak tersebut digunakan di lapangan selain itu
ekstrak T. vogelii relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid
Diadegma semiclausum (Hymenoptera: Ichneumonidae). Nugroho (2008)
melaporkan bahwa fraksi heksana T. vogelii selain memiliki aktivitas insektisida
yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) di
laboratorium, juga memiliki persistensi yang baik pada tanaman brokoli di rumah
kaca. Sediaan insektisida botani dari T. vogelii dan beberapa jenis tanaman lain
telah sering digunakan oleh petani di Jawa Barat, termasuk di pertanian organik,
untuk mengendalikan hama pemakan daun.
Potensi Ekstrak Alpinia galanga
Tanaman Alpinia galanga atau lengkuas merah termasuk kedalam famili
Zingiberaceae, tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1-1200 m diatas
permukaan laut dengan curah hujan tahunan 2500-4000 mm/tahun. Lengkuas
mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan pengawet pada
makanan dan sebagai antibiotik alami (Darwis et al. 1991). Selain itu, lengkuas
juga mengandung senyawa flavonoid seperti flavonol, komponen flavonol yang
banyak terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan
mirisetin (Rusmarilin 2003). Lengkuas merah biasa digunakan sebagai obat
tradisional untuk berbagai penyakit seperti bronkhitis, radang lambung, dan
masuk angin dan dapat digunakan sebagai antimikroba, antioksidan,
antikarsinogenik, antifertilitas dan antifeedant (Darwis et al. 1991). Rimpang
A. galanga dapat digunakan sebagai insektisida yang memiliki sifat toksik dan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari
bulan Februari – Juli 2012.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai
Benih cabai diseleksi dengan cara merendam benih dalam air hangat ± 50ºC,
biji yang terapung dibuang sedangkan benih yang tenggelam disaring dan disemai
pada nampan penyemaian yang diisi dengan media tanam berupa tanah halus dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih yang telah disemai 10‐14 hari
atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke tempat
pembibitan. Bibit dipindahkan ke pot berukuran 13 cm sebanyak 1 bibit per pot
untuk perlakuan uji residu sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang
berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang
dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma, dan pengendalian
hama dengan cara mekanis.
Identifikasi Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan adalah M. persicae. Serangga uji terlebih
dahulu diidentifikasi untuk memastikan spesies serangga. Serangga diidentifikasi
di Laboratorium Biosistematika Serangga dengan sediaan preparat. Sediaan
preparat dibuat dengan memasukkan serangga ke dalam tabung reaksi yang berisi
alkohol 95% dan dipanaskan pada kompor pemanas air selama 5 menit. Serangga
diletakkan pada cawan sirakus dan dilubangi bagian toraksnya untuk
mempermudah pengeluaran isi tubuh serangga. Serangga dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi larutan KOH 10% kemudian dipanaskan hingga
transparan. Kemudian serangga diletakkan pada cawan sirakus dan isi tubuh
dikeluarkan, larutan KOH 10% dibuang diganti dengan larutan aquadest sebanyak
berturut-turut dari alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 95% selama 10 menit,
alkohol 100% selama 10 menit dan minyak cengkeh selama 10 menit. Serangga
diletakkan di atas kaca obyek dan di tetesi canada balsam 1 tetes, kemudian
ditutup dengan kaca penutup selanjutnya diidentifikasi dengan memperhatikan
bentuk morfologi menggunakan mikroskop serta buku acuan (Blackman dan
Eastop 2000).
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji
Serangga uji M. persicae dari pertanaman brokoli yang tidak mendapat
aplikasi insektisida dipelihara secara massal di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Perbanyakan M. persicae dilakukan pada tanaman brokoli
berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris yang bagian
atasnya tertutup kain kasa dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Untuk
mendapatkan nimfa M. persicae yang seragam, satu induk imago M. persicae
dibiarkan untuk berkembangbiak sampai menghasilkan keturunan pertama dan
dipelihara sampai imago. Imago keturunan pertama dari induk M. persicae
dipelihara untuk melahirkan nimfa pada tanaman brokoli selama 1 hari, kemudian
imago tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke tanaman brokoli lainnya dan
tindakan ini dilakukan berkali-kali sampai didapatkan serangga uji yang cukup
untuk pengujian. Nimfa instar dua yang berumur 2 hari dipindahkan dari tanaman
brokoli ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian
nimfa instar empat tersebut digunakan untuk pengujian.
Sumber Ekstrak Tanaman
Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian
diperoleh dari daerah Bogor dan sekitarnya. Bahan-bahan tanaman tersebut antara
lain daun kacang babi (Tephrosia vogelii) dan rimpang lengkuas (Alpinia
galanga). Daun kacang babi diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan rimpang lengkuas merah diperoleh dari
Ekstraksi Tanaman
Bahan-bahan tanaman yang digunakan untuk pengujian terlebih dahulu
dikering-anginkan dengan meletakkan bahan tanaman pada tempat yang tidak
terpapar cahaya matahari langsung. Setelah dikering-anginkan bahan tanaman
tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender kemudian disaring
hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan
pelarut metanol. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode
maserasi, yaitu merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam pada labu
Erlenmeyer kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong
Buchner dengan dua kali penyaringan. Filtrat kemudian diuapkan menggunakan
rotary evaporator pada tekanan 400-500 mmHg dengan suhu 500C sehingga
didapatkan ekstrak tanaman yang diharapkan (Dadang dan Nugroho 1999).
Ekstrak-ekstrak kasar tanaman hasil penguapan tersebut disimpan dalam lemari es
pada suhu ± 40C hingga saat digunakan.
Metode Pengujian
Uji Residu pada Tanaman
Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan metanol dan tween 80
(1:5) 1.2% dan aquades. Konsentrasi uji residu pada tanaman menggunakan 4
konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 1%; 2%; 3%; 5% dan kontrol dengan 3
kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di pot disemprot dengan
ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfestasi sebanyak 10
ekor serangga uji pertanaman kemudian tanaman cabai disungkup dengan plastik
silindris yang bagian atasnya tertutup kain kasa. Perhitungan mortalitas serangga
dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan. Data pengujian diolah
dengan analisis probit.
Uji Sistemik pada Tanaman
Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan metanol dan tween 80