• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

DIAN FITRIA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

DIAN FITRIA. Toxicity of Tephrosia vogelii and Alpinia galanga Extract againts Myzus persicae on Red Pepper Plant. Under the direction of DADANG and DEWI SARTIAMI.

Red pepper (Capsicum annum) is one of the important agricultural commodities in Indonesia, but the production is still fluctuated. One of factor that cause the decline in productivity of red pepper is a disturbance of pests and diseases. Aphids Myzus persicae

is one of the important pests on red pepper cultivation because it can cause loss of up to 80%. Botanical insecticide is one of alternative pest control agents which is biodegradable, safer than synthetic pesticides, and environmentally friendly. The objective of this study was to determine the effectiveness of two types of plant extracts as insecticides against M. persicae on red pepper (Capsicum annum) using the residual in plants methods and of systemic effects methods. Extracts used were Tephrosia vogelii

and Alpinia galanga, each extract was tested using the residual and systemic methods. Extracts of T. vogelii showed a higher toxicity using both the residual and systemic methods with each LC95 values at 72 hours after treatment were 16 and 12 times more

toxic than extracts of A. galanga. Systemic method was more efficient than the residual method. Testing of T. vogelii extract using systemic effect method LC95 8.5 times lower

than using residual method on plant, as well as the test of A. galanga extract that the systemic method show more toxic than residual method.

(3)

DIAN FITRIA. Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan DEWI SARTIAMI.

Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, namun tingkat produksi cabai masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah adanya gangguan hama dan penyakit tanaman. Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budidaya cabai karena dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Insektisida nabati adalah salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap M. persicae pada tanaman cabai yang diuji menggunakan metode residu dan sistemik. Tingkat toksisitas ekstrak T. vogelii pada metode residu menunjukkan nilai LC95 sebesar 5.375% yang berarti 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%. Pada metode sistemik ekstrak T. vogelii memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 7.896%. Pengujian metode sistemik lebih efektif dibandingkan dengan metode residu. Pengujian ekstrak T. vogelii menggunakan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 8.5 kali lebih toksik dibandingkan menggunakan metode

residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 5.375%, serta pengujian ekstrak

A. galanga dengan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 7.896% yang berarti 11 kali lebih toksik dibandingkan dengan metode residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%.

(4)

DIAN FITRIA

A34080050

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

NIM : A 34080050

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr. Ir. Dadang, M.Sc Dra. Dewi Sartiami, M.Si NIP 19640204 199002 1 002 NIP. 19641204 199003 1 001

Diketahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP 19650621 198910 2 001

(6)

Penulis dilahirkan di Desa Sembawa, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada tanggal 28 Desember 1989. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mulyono dan Ibu Iriyani.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sembawa 2 Kecamatan Jalaksana pada tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Jalaksana dan tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMAN 1 Kuningan dan tamat pada tahun 2008.

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga pada bulan Februari sampai Juli 2012.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Mulyono, S.Pd dan Ibu Iriyani, S.Pd serta kak Budi Irfan, SP yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, semangat dan kasih sayang, serta doanya untuk keberhasilan penulis seluruhnya sehingga penulis bisa meraih kesuksesan hingga saat ini.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc dan Dra. Dewi Sartiami, MSi selaku dosen pembimbing, yang telah banyak membantu, membimbing dan memberikan saran kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan semangat, bantuan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian dan skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penelitian yang berkaitan. Amin.

Bogor, 26 September 2012

(8)

Halaman

Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya ... 4

Biologi dan Ekologi Kutudaun (Myzus persicae) ... 4

Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman ... 5

Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii ... 5

Potensi Ekstrak Alpinia galanga ... 6

BAHAN DAN METODE ... 7

Tempat dan Waktu ... 7

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai ... 7

(9)

Halaman

1 Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode

residu pada tanaman ... 12

2 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada

pengujian residu ... 15

3 Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode

pengujian sistemik ... 16

4 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada

(10)

Halaman

1 Karakteristik morfologi M. persicae, a) preparat awetan M. persicae, b) antena c) tuberkel antena, d) kauda, dan e) sifunkuli ... 11

2 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii (A) dan ekstrak A. galanga (B) dengan

metode residu pada tanaman ... 14

3 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii (A) dan ekstrak A. galanga (B) dengan

(11)
(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman

hortikultura yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat

Indonesia. Dengan rasa yang pedas dan aroma yang khas, cabai sering digunakan

sebagai penyedap makanan dan penambah selera makan. Selain itu, cabai juga

mengandung capsaicin dan zat mukokinentik yang dapat digunakan untuk terapi

kesehatan. Dari berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat

membantu dalam penyembuhan penyakit rematik, kejang otot, dan asma

(Wiryanta 2002).

Permintaan komoditas cabai semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk, sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksi

untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Rata-rata produktivitas cabai tahun 2009

sebesar 5.89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5.61 ton/ha sehingga

mempengaruhi harga di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS

2010). Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi cabai adalah

adanya serangan hama dan penyakit.

Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu

hama penting pada tanaman cabai yang bersifat kosmopolitan dan polifagus

(Kalshoven 1981). Kutudaun ini dapat merusak tanaman cabai baik secara

langsung maupun tidak langsung sehingga kerusakan tanaman dapat semakin

parah. Kutudaun menghasilkan ekskresi embun madu yang dapat dimanfaatkan

oleh cendawan jelaga yang menyebabkan daun menjadi hitam dan mengganggu

proses fotosintesis pada daun (Prajnanta 2003). Kutudaun M. persicae juga

berperan sebagai vektor virus, lebih dari 150 strain virus dapat ditularkan oleh

M. persicae. Virus tersebut menyebabkan daun menjadi mosaik, klorosis,

menggulung, menyempit sampai mengecilkan ukuran daun (Pracaya 2008).

Kerugian akibat M. persicae sebagai vektor virus saja dapat mencapai 80%

(Venita et al. 2009).

Umumnya petani cabai melakukan pengendalian serangga hama

(13)

mengendalikan hama dalam waktu yang singkat. Insektisida sintetik merupakan

salah satu komponen yang penting dalam pengendalian, namun insektisida sintetik

juga dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan dan aman

terhadap kesehatan manusia maupun organisme non sasaran lainnya. Salah satu

alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik adalah dengan

menggunakan insektisida nabati.

Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui berpotensi sebagai insektisida

nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain steroid, asetogenin,

terpenoid, flavonoid, limonoid, alkaloid dan tannin. Insektisida nabati adalah

insektisida yang berbahan metabolit aktif senyawa tumbuhan. Bahan-bahan ini

diolah dalam berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak

atau resin yang merupakan hasil pengambilan ekstrak metabolit sekunder dari

bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar dan diambil abunya yang

digunakan sebagai insektisida. Pada tahun 1960-an telah ditemukan beberapa

insektisida dari bahan tumbuhan yang memiliki cara kerja spesifik, seperti

azadiraktin dan senyawa lain dari famili Meliaceae yang dapat menghambat

aktivitas makan dan perkembangan serangga. Pada umumnya insektisida nabati

bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan musuh alami atau

serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan insektisida nabati dapat

dikombinasikan dengan penggunaan musuh alami sebagai agens pengendalian

(Thamrin et al. 2005).

Insektisida nabati yang berpotensi besar dalam pengendalian hama adalah

beberapa spesies dari anggota famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae,

Malvaceae, Zingiberaceae dan Solanaceae (Schmutterer 1997).

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui toksisitas dua jenis ekstrak tanaman

sebagai insektisida nabati terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai

(Capsicum annum) dengan menggunakan metode residu pada tanaman dan

(14)

Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang

pertanian, khususnya bidang perlindungan tanaman sesuai dengan Tridarma

Perguruan Tinggi serta memberikan gambaran alternatif pengendalian yang ramah

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya

Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. (Wiryanta 2002). Tanaman cabai berdaya adaptasi luas, sehingga dapat ditanam di lahan sawah, kering, pinggir laut dataran rendah ataupun pegunungan (dataran

tinggi). Pengusahaannya juga dapat dilakukan pada musim kemarau, musim hujan

maupun rendengan akan tetapi perlu memeperhatikan beberapa hal diantaranya

adalah jenis tanah, derajat kemasaman (pH), air dan iklim ( Piay et al. 2010).

Pemilihan varietas merupakan salah satu tahapan yang penting dalam

budidaya cabai, varietas cabai hibrida maupun non hibrida yang telah dilepas di Indonesia diantaranya cabai merah Keriting Varietas TM 999, cabai merah

Teropong “Inko hot”, cabai merah Biola, cabai merah Hot Beauty, cabai merah

Hot Chili, cabai merah Premium, cabai merah Keriting Varietas Lembang–1, cabai merah Keriting Varietas Tanjung–2 (Piay et al. 2010).

Biologi dan Ekologi Kutudaun Myzus persicae

Myzus persicae merupakan kutudaun yang bersifat polifag, imago berwarna

hijau pudar atau kekuning-kuningan. Lama perkembangan nimfa selama 6 hari

(Pracaya 2008). Kutudaun di daerah tropis sebagian besar berkembang biak secara

tidak kawin yaitu dengan melahirkan nimfa. Mulai dari nimfa instar pertama

hingga keempat, bentuknya hampir sama. Setelah memasuki bentuk nimfa tahap

empat, nimfa pradewasa akan berubah menjadi serangga dewasa yang bersayap

maupun tanpa sayap. Serangga dewasa ini akan menghasilkan keturunan dalam

waktu kurang lebih 2 – 3 hari kemudian (Kalshoven 1981).

(16)

bawah. Kondisi ini merupakan gejala spesifik dari gangguan kutudaun. Bagian daun bekas tempat isapan kutudaun berwarna kekuningan. Populasi kutudaun yang tinggi dapat menyebabkan klorosis dan gugur daun, serta mengakibatkan ukuran buah cabai menjadi lebih kecil. Kutudaun menghasilkan cairan embun madu yang dapat menjadi tempat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada permukaan daun dan buah. Kerusakan langsung menyebabkan kerugian sebesar 6-25%. Kerusakan tidak langsung menyebabkan kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kerusakan langsung yaitu sebesar 80%. Kerusakan tidak langsung disebabkan oleh M. persicae karena perannya sebagai vektor penyakit virus. Penyakit virus yang dapat ditularkan oleh kutudaun M. persicae pada tanaman cabai merah, antara lain penyakit virus menggulung daun kentang (PLRV) dan penyakit virus kentang Y (PVY). (Venita et al. 2009; Piay et al. 2010).

Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman

Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan. Pestisida

ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari

lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya

mudah hilang. Dengan demikan, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan

aman untuk dikonsumsi. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang

sebagian merupakan senyawa metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan

sebagai alat pertahanan diri dari serangan organisme pengganggu. Walaupun

hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi,

namun jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. Lebih dari

2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung

bahan pestisida (Kardinan 2002).

Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii

Tephrosia vogelii dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-2100 m

diatas permukaan laut dengan curah hujan 850-2700 mm. Daunnya berwarna

hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan

putih. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. T. vogelii

(17)

ikan, dan insektisida alami (Heyne 1987). Menurut Zakarni (2008) ekstrak daun

T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang mengakibatkan

serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga

meningkatkan resiko diserang oleh musuh alaminya. Dengan demikian dapat

menurunkan populasi hama jika ekstrak tersebut digunakan di lapangan selain itu

ekstrak T. vogelii relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid

Diadegma semiclausum (Hymenoptera: Ichneumonidae). Nugroho (2008)

melaporkan bahwa fraksi heksana T. vogelii selain memiliki aktivitas insektisida

yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) di

laboratorium, juga memiliki persistensi yang baik pada tanaman brokoli di rumah

kaca. Sediaan insektisida botani dari T. vogelii dan beberapa jenis tanaman lain

telah sering digunakan oleh petani di Jawa Barat, termasuk di pertanian organik,

untuk mengendalikan hama pemakan daun.

Potensi Ekstrak Alpinia galanga

Tanaman Alpinia galanga atau lengkuas merah termasuk kedalam famili

Zingiberaceae, tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1-1200 m diatas

permukaan laut dengan curah hujan tahunan 2500-4000 mm/tahun. Lengkuas

mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan pengawet pada

makanan dan sebagai antibiotik alami (Darwis et al. 1991). Selain itu, lengkuas

juga mengandung senyawa flavonoid seperti flavonol, komponen flavonol yang

banyak terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan

mirisetin (Rusmarilin 2003). Lengkuas merah biasa digunakan sebagai obat

tradisional untuk berbagai penyakit seperti bronkhitis, radang lambung, dan

masuk angin dan dapat digunakan sebagai antimikroba, antioksidan,

antikarsinogenik, antifertilitas dan antifeedant (Darwis et al. 1991). Rimpang

A. galanga dapat digunakan sebagai insektisida yang memiliki sifat toksik dan

(18)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi

Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi

Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari

bulan Februari – Juli 2012.

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai

Benih cabai diseleksi dengan cara merendam benih dalam air hangat ± 50ºC,

biji yang terapung dibuang sedangkan benih yang tenggelam disaring dan disemai

pada nampan penyemaian yang diisi dengan media tanam berupa tanah halus dan

pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih yang telah disemai 10‐14 hari

atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke tempat

pembibitan. Bibit dipindahkan ke pot berukuran 13 cm sebanyak 1 bibit per pot

untuk perlakuan uji residu sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang

berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang

dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma, dan pengendalian

hama dengan cara mekanis.

Identifikasi Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan adalah M. persicae. Serangga uji terlebih

dahulu diidentifikasi untuk memastikan spesies serangga. Serangga diidentifikasi

di Laboratorium Biosistematika Serangga dengan sediaan preparat. Sediaan

preparat dibuat dengan memasukkan serangga ke dalam tabung reaksi yang berisi

alkohol 95% dan dipanaskan pada kompor pemanas air selama 5 menit. Serangga

diletakkan pada cawan sirakus dan dilubangi bagian toraksnya untuk

mempermudah pengeluaran isi tubuh serangga. Serangga dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang berisi larutan KOH 10% kemudian dipanaskan hingga

transparan. Kemudian serangga diletakkan pada cawan sirakus dan isi tubuh

dikeluarkan, larutan KOH 10% dibuang diganti dengan larutan aquadest sebanyak

(19)

berturut-turut dari alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 95% selama 10 menit,

alkohol 100% selama 10 menit dan minyak cengkeh selama 10 menit. Serangga

diletakkan di atas kaca obyek dan di tetesi canada balsam 1 tetes, kemudian

ditutup dengan kaca penutup selanjutnya diidentifikasi dengan memperhatikan

bentuk morfologi menggunakan mikroskop serta buku acuan (Blackman dan

Eastop 2000).

Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji

Serangga uji M. persicae dari pertanaman brokoli yang tidak mendapat

aplikasi insektisida dipelihara secara massal di Laboratorium Fisiologi dan

Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Perbanyakan M. persicae dilakukan pada tanaman brokoli

berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris yang bagian

atasnya tertutup kain kasa dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Untuk

mendapatkan nimfa M. persicae yang seragam, satu induk imago M. persicae

dibiarkan untuk berkembangbiak sampai menghasilkan keturunan pertama dan

dipelihara sampai imago. Imago keturunan pertama dari induk M. persicae

dipelihara untuk melahirkan nimfa pada tanaman brokoli selama 1 hari, kemudian

imago tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke tanaman brokoli lainnya dan

tindakan ini dilakukan berkali-kali sampai didapatkan serangga uji yang cukup

untuk pengujian. Nimfa instar dua yang berumur 2 hari dipindahkan dari tanaman

brokoli ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian

nimfa instar empat tersebut digunakan untuk pengujian.

Sumber Ekstrak Tanaman

Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian

diperoleh dari daerah Bogor dan sekitarnya. Bahan-bahan tanaman tersebut antara

lain daun kacang babi (Tephrosia vogelii) dan rimpang lengkuas (Alpinia

galanga). Daun kacang babi diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti,

Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan rimpang lengkuas merah diperoleh dari

(20)

Ekstraksi Tanaman

Bahan-bahan tanaman yang digunakan untuk pengujian terlebih dahulu

dikering-anginkan dengan meletakkan bahan tanaman pada tempat yang tidak

terpapar cahaya matahari langsung. Setelah dikering-anginkan bahan tanaman

tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender kemudian disaring

hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan

pelarut metanol. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode

maserasi, yaitu merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut dengan

perbandingan 1:10 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam pada labu

Erlenmeyer kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong

Buchner dengan dua kali penyaringan. Filtrat kemudian diuapkan menggunakan

rotary evaporator pada tekanan 400-500 mmHg dengan suhu 500C sehingga

didapatkan ekstrak tanaman yang diharapkan (Dadang dan Nugroho 1999).

Ekstrak-ekstrak kasar tanaman hasil penguapan tersebut disimpan dalam lemari es

pada suhu ± 40C hingga saat digunakan.

Metode Pengujian

Uji Residu pada Tanaman

Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan metanol dan tween 80

(1:5) 1.2% dan aquades. Konsentrasi uji residu pada tanaman menggunakan 4

konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 1%; 2%; 3%; 5% dan kontrol dengan 3

kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di pot disemprot dengan

ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfestasi sebanyak 10

ekor serangga uji pertanaman kemudian tanaman cabai disungkup dengan plastik

silindris yang bagian atasnya tertutup kain kasa. Perhitungan mortalitas serangga

dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan. Data pengujian diolah

dengan analisis probit.

Uji Sistemik pada Tanaman

Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan metanol dan tween 80

(21)

konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 0.01%; 0.05%; 0.1% dan kontrol dengan

5 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Pengujian sistemik dilakukan dengan cara

merendam bagian akar tanaman cabai yang berumur 3 minggu dalam larutan

ekstrak tanaman pada gelas plastik, sterofoam berbentuk bulat dimasukan ke

dalam gelas plastik untuk menahan serangga uji agar tidak jatuh ke dalam larutan

ekstrak tanaman. Sebanyak 10 ekor serangga uji pertanaman diinfestasi lalu

ditutup dengan gelas plastik yang bagian atas gelas plastik ditutup menggunakan

kain kasa untuk menghindari serangga uji keluar dari gelas plastik tersebut.

Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah

perlakuan. Data pengujian diolah dengan analisis probit.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dari dua pengujian, yaitu uji residu dan uji sistemik

pada tanaman dengan dua jenis ekstrak tanaman. Kedua pengujian tersebut

disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan parameter yang diamati adalah

mortalitas.

Analisis Data

Data hasil persentase mortalitas M. persicae dianalisis dengan Statistical

Analisis System (SAS) dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda

duncan pada taraf nyata 5%. Data mortalitas M. persicae yang didapatkan juga

diolah dengan menggunakan program POLO PC untuk menentukan nilai LC50 dan

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Myzus persicae

Myzus persicae merupakan serangga dari ordo Hemiptera, superfamili

Aphidoidea, famili Aphididae, subfamili Aphidinae. Karakterisitik morfologi

kutudaun M. persicae dapat dilihat pada gambar 1. Hasil identifikasi

menunjukkan bahwa antena M. persicae memiliki panjang segmen terminal lebih

panjang dari segmen basal antena. Tuberkel pada antena M. persicae berbentuk

konvergen yaitu cekung ke bagian dalam. Kutudaun M. persicae memiliki ukuran

kauda lebih pendek dari sifunkuli dan sifunkuli berbentuk ramping di bagian

tengahnya, kemudian membengkak pada bagian akhirnya. Panjang tubuh

M. persicae berukuran 1.2-2.1 mm. Hasil identifikasi karakteristik morfologi

tersebut sesuai dengan karakteristik morfologi M. persicae dalam buku acuan

identifikasi kutudaun Blackman dan Eastop (2000) sehingga dapat dipastikan

bahwa serangga uji yang diidentifikasi merupakan spesies dari M. persicae.

(23)

Pengujian Metode Residu pada Tanaman

Persentase rata-rata mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada pengujian

dengan metode residu pada tanaman menggunakan ekstrak T. vogelii dan ekstrak

A. galanga disajikan pada tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara

umum mortalitas nimfa instar IV M. persicae semakin tinggi seiring dengan

meningkatnya konsentrasi baik pada perlakuan menggunakan ekstrak T. vogelii

maupun ekstrak A. galanga.

Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak ± SD a,b

Mortalitas dihitung pada 72 jam setelah perlakuan. b

Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%, SD adalah Standar Deviasi.

Pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak T. vogelii, persentase

mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A. galanga pada

setiap konsentrasinya. Secara statistik perlakuan ekstrak T. vogelii konsentrasi

5% menghasilkan mortalitas yang berbeda nyata dan menyebabkan mortalitas

paling tinggi diantara kontrol dan tiga konsentrasi lainya, yaitu sebesar 100%.

Sementara itu pada perlakuan ekstrak A. galanga konsentrasi 3% dan 5% nyata

lebih tinggi dibandingkan kontrol 0% tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan

2 %. Persentase mortalitas pada perlakuan ekstrak A. galanga sangat rendah pada

semua konsentrasi, yaitu dibawah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan

ekstrak A. galanga dengan metode pengujian residu pada tanaman tidak

(24)

dibandingkan dengan ekstrak T. vogelii yang dapat mencapai mortalitas 100%

pada konsentrasi 5 % (Tabel 1).

Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae akibat perlakuan

ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga dengan metode residu

menunjukkan bahwa mortalitas pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) pada setiap

konsentrasi masih dibawah 25%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif yang

terkandung pada ekstrak mulai menimbulkan efek toksisitas pada nimfa instar IV

M . persicae sejak 24 JSP. Pada perlakuan ekstrak T. vogelii tingkat mortalitas

nimfa instar IV M. persicae meningkat pada setiap pengamatan setelah perlakuan

mulai dari 24 JSP sampai 72 JSP. Konsentrasi 5% ekstrak T. vogelii pada 72 JSP

menyebabkan mortalitas hingga 100%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan aktif

yang terkandung pada ekstrak T. vogelii memiliki daya toksisitas yang tinggi

terhadap M. persicae. Perlakuan menggunakan ekstrak rimpang A. galanga pada

48 JSP meningkat lebih lambat dengan tingkat mortalitas nimfa pada konsentrasi

5% hanya menyebabkan mortalitas 30%. Konsentrasi 5% ekstrak A. galanga

pada 72 JSP menyebabkan mortalitas nimfa lebih dari 50%. Ekstrak rimpang

A. galanga tidak menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

ekstrak T. vogelii, hal ini diduga karena kandungan residu bahan aktifnya lebih

rendah dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii (Gambar 2).

Nilai LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii pada pengamatan 72 JSP lebih

rendah dibandingkan nilai LC50 dan LC95 pada pengamatan 48 JSP, dan lebih

rendah daripada LC50 dan LC95 pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan peningkatan

mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada 48 JSP dan 72 JSP yang sesuai

dengan pola perkembangan mortalitas, yaitu pada 48 JSP dan 72 JSP terjadi

(25)
(26)

Tabel 2 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV M. persicae pada metode residu

*

JSP = jam sejak perlakuan. **

a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = Galat Baku. Jenis ekstrak Waktu pengamatan

(JSP)* a±GB

**

b±GB** LC50 (%)** LC95 (%)**

T. vogelii 24 -1.878±0.367 1.685±0.709 13.002 122.989

48 -0.805±0.221 1.093±0.478 5.444 173.666

72 -0.118±0.209 2.413±0.563 1.119 5.375

A. galanga 24 -1.337±0.274 0.481±0.583 598.587 0.156

48 -0.733±0.219 0.158±0.483 40854 0.000

72 -0.602±0.212 1.154±0.465 3.326 88.328

(27)

Pengujian Metode Sistemik pada Tanaman

Persentase rata-rata mortalitas nimfa instar IV M. persicae akibat pengujian

dengan metode pengujian sistemik menggunakan ekstrak T. vogelii dan ekstrak

A. galanga disajikan pada tabel 3.

Tabel 3 Mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga menggunakan metode pengujian sistemik

Konsentrasi (%)

Persentase mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak ± SD a,b

Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%, SD adalah Standar Deviasi

Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik perlakuan ekstrak

T. vogelii pada setiap konsentrasinya berpengaruh nyata terhadap mortalitas

M. persicae. Semakin tinggi konsentrasi perlakuan mengakibatkan semakin tinggi

mortalitas nimfa instar IV M. persicae. Pada konsentrasi 1% menyebabkan

mortalitas nimfa instar IV M. persicae sebesar 78%. Hal ini menunjukkan bahwa

perlakuan ekstrak T. vogelii memiliki daya toksik yang tinggi terhadap nimfa

instar IV M. persicae. Pada perlakuan ekstrak A. galanga konsentrasi 0.05% tidak

berbeda nyata dengan perlakuan pada konsentrasi 0.01% dan 0.1% namun ketiga

konsentrasi perlakuan 0.01%, 0.05%, dan 0.1% berbeda nyata dengan kontrol dan

berpengaruh secara nyata terhadap mortalitas nimfa instar IV M. persicae. Secara

umum terlihat bahwa konsentrasi ekstrak yang paling berpengaruh terhadap

mortalitas nimfa instar IV M. persicae adalah konsentrasi ekstrak 0.1% yang

(28)

Gambar 3 Perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae yang diberi perlakuan ekstrak daun T. vogelii (A) dan ekstrak rimpang A. galanga (B) dengan metode sistemik.

Pada Gambar 3, perkembangan mortalitas nimfa instar IV M. persicae

akibat perlakuan dengan metode efek sistemik menggunakan ekstrak daun

T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga menunjukan pola yang serupa,

mortalitas nimfa instar IV M. persicae mulai tampak nyata pada 24 JSP dan makin

(29)

meningkat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas nimfa instar IV

M. persicae terjadi secara bertahap sesuai dengan lamanya waktu pengamatan.

Pengaruh konsentrasi ekstrak daun T. vogelii dan rimpang A. galanga terhadap

mortalitas nimfa instar IV M. persicae berbanding lurus yaitu semakin tinggi

konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan terhadap nimfa instar IV M. persicae

maka semakin tinggi persentase mortalitas nimfa. Perlakuan menggunakan

ekstrak daun T. vogelii dan rimpang A. galanga pada 24 JSP konsentrasi 1%

mengakibatkan mortalitas nimfa instar IV M. persicae masing-masing 40% dan

30%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif yang terkandung pada

kedua ekstrak tersebut sudah dapat memberikan reaksi pada nimfa instar IV

M. persicae sejak 24 JSP. Perkembangan mortalitas meningkat pada pengamatan

berikutnya pada 72 JSP konsentrasi 1% mengakibatkan mortalitas nimfa instar IV

M. persicae masing-masing 78% dan 66%.

Berdasarkan analisis probit perlakuan ekstrak T. vogelii nilai LC50 pada 72

JSP lebih rendah dibandingkan dengan 48 JSP, dan lebih rendah pula daripada

LC50 pada 24 JSP. Sementara itu perlakuan ekstrak A. galanga LC50 dan LC95

pada 72 JSP lebih rendah dibandingkan dengan 48 JSP, dan lebih rendah pula

daripada LC50 dan LC95 pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan peningkatan mortalitas

nimfa instar IV M. persicae pada 48 JSP dan 72 JSP yang sesuai dengan pola

perkembangan mortalitas, yaitu pada 48 JSP dan 72 JSP terjadi peningkatan

mortalitas. Berdasarkan kesetaraan toksisitas taraf LC50 pada 72 JSP ekstrak daun

T. vogelii tidak berbeda jauh dengan ekstrak rimpang A. galanga yaitu 1 kali lebih

toksik ekstrak daun T. vogelii dibandingkan ekstrak rimpang A. galanga. Untuk

LC95 pada 72 JSP, ekstrak daun T. vogelii 12 kali lebih toksik dibandingkan

(30)

Tabel 4 Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak T. vogelii dan ekstrak A. galanga terhadap nimfa instar IV

M. persicae pada pengujian sistemik

Jenis ekstrak Waktu pengamatan

(JSP)* a±GB

**

b±GB** LC50 (%)** LC95 (%)**

T. vogelii 24 2.311±0.797 2.530±0.685 0.122 0.545

48 1.634±0.393 1.295±0.273 0.055 1.018

72 1.883±0.390 1.226±0.260 0.029 0.638

A. galanga 24 -0.119±0.424 0.615±0.299 1.045 491.000

48 0.589±0.371 0.555±0.251 0.087 79.170

72 1.021±0.380 0.694±0.255 0.033 7.896

*

JSP = jam sejak perlakuan. **

a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = Galat Baku.

(31)

Pembahasan Umum

Metode uji residu dilakukan dengan cara menyemprot ekstrak tanaman

pada daun cabai. Mortalitas pada uji residu akibat perlakuan ekstrak rimpang

A. galanga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ekstrak daun T. vogelii.

Hal ini karena menurut Budiarti (2007) ekstrak rimpang A. galanga memiliki

kandungan minyak atsiri yang mudah menguap, sehingga pada daun cabai yang

telah disemprot ekstrak rimpang A. galanga terjadi penurunan residu bahan aktif

karena ekstrak yang disemprotkan cepat menguap yang menyebabkan tingkat

mortalitas nimfa instar IV M. persicae rendah. Selain itu perbedaan persentase

mortalitas nimfa M. persicae tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan sifat

genetika dan bagian tumbuhan yang diekstraksi. Menurut Kaufman et al. (2006)

perbedaan sifat toksisitas bahan tumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh

keanekaragaman sifat genetika dan umur tumbuhan, kondisi tanah dan vegetasi di

sekitar lokasi tumbuhan sumber, serta kondisi musim saat pengambilan bahan

tumbuhan sumber insektisida nabati tersebut.

Metode uji sistemik dilakukan dengan merendam akar cabai dalam ekstrak

tanaman. Pada uji efek sistemik mortalitas nimfa sebagian besar terjadi pada 24

JSP dan 48 JSP, sedangkan pada 72 JSP tingkat mortalitas nimfa hanya

mengalami sedikit peningkatan. Pola perkembangan mortalitas nimfa M. persicae

pada penelitian ini serupa dengan pola perkembangan mortalitas larva

C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii seperti yang dilaporkan

oleh Nailufar (2008), Abizar dan Prijono (2010) dan Zakarni (2008). Pada uji

sistemik mortalitas nimfa instar IV M. persicae pada perlakuan ekstrak daun

T. vogelii dan ekstrak rimpang A. galanga tidak jauh berbeda. Hal ini karena

kedua ekstrak tanaman tersebut memiliki bahan aktif yang dapat menyebabkan

mortalitas pada nimfa instar IV M. persicae. Daun T. vogelii mengandung

senyawa rotenoid seperti rotenon, tefrosin, dan deguelin yang dapat menghambat

pertumbuhan serangga (Lambert et al. 1993; Suryaningsih 2007) dan menurut

Zakarni (2008) T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang kuat

terhadap larva C. pavonana.

Pengujian ekstrak daun T. vogelii pada metode sistemik memiliki LC50 dan

(32)

pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman begitu pula pada

pengujian menggunakan ekstrak rimpang A. galanga pada metode efek sistemik

memiliki LC50 dan LC95 masing-masing 100 dan 11 kali lebih rendah

dibandingkan dengan pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman.

Hal ini karena pada pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman

memiliki tingkat residu bahan aktif yang lebih rendah dibandingkan dengan

pengujian menggunakan metode efek sistemik. Menurut Dadang dan Prijono

(2008) sifat sistemik akan meningkatkan daya tahan senyawa insektisida nabati

pada tanaman karena senyawa tersebut terlindung dalam tanaman. Sementara itu

pada metode residu dapat terjadi penurunan residu bahan aktif yang disebabkan

oleh faktor lingkungan. Menurut Arneti (2012) pestisida dari bahan alami mudah

terurai oleh faktor lingkungan, penguraian ini dapat berlangsung secara kimiawi

seperti fotolisis dan hidrolisis atau secara biologis oleh tanaman atau

mikroorganisme. Selain itu perbedaan toksisitas di antara ekstrak daun T. vogelii

dan ekstrak rimpang A. galanga yang diuji dapat disebabkan oleh kandungan

bahan aktifnya. Menurut Lambert et al. (1993) dan Djojosumarto (2008) daun

T. vogelii mengandung senyawa rotenon, tefrosin, dan deguelin yang memiliki

aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga baik sebagai

racun perut maupun racun kontak. Rimpang A. galanga mengandung minyak

atsiri yang memiliki sifat penghambat makan, toksik maupun repellent (Atjung

(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ekstrak T. vogelii lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak A. galanga

pada pengujian menggunakan metode residu. Nilai LC95 pada 72 JSP ekstrak daun

T. vogelii 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak rimpang A. galanga.

Pengujian dengan metode sistemik menunjukkan ekstrak T. vogelii lebih efektif

dibandingkan dengan ekstrak A. galanga dengan nilai LC95 pada 72 JSP, ekstrak

daun T. vogelii 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak rimpang A.

galanga.

Pengujian menggunakan metode sistemik lebih efisien dibandingkan dengan

pengujian menggunakan metode residu. Ekstrak daun T. vogelii pada metode

sistemik memiliki LC95 8.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan pengujian

menggunakan metode residu, begitu pula pada pengujian menggunakan ekstrak

rimpang A. galanga, pada metode sistemik memiliki LC95 11 kali lebih rendah

dibandingkan dengan pengujian menggunakan metode uji residu pada tanaman.

Saran

Untuk meningkatkan kegunaan bahan insektisida nabati tersebut, perlu

dikembangkan formulasi yang lebih sesuai dan perlu dilakukan pengujian

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Arneti. 2012. Bioaktivitas ekstrak buah Piper aduncum L. (Piperaceae) terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera : Crambidae) dan formulasinya sebagai insektisida botani [disertasi]. Padang: Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.

Atjung. 1990. Tanaman Obat dan Minuman Segar. Jakarta: Yasaguna.

Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). JHPT Trop 10:1-12.

Blackman RI, Eastop VF.2000. Aphids on the World’s Crops: an Identification Guide. 2nd eds. Chichester: Wiley.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Luas panen, produksi dan produktivitas cabai, 2009-2010 [internet]. [diunduh pada 5 Mei 2011]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55& notab.

Budiarti R. 2007. Pemanfaatan lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) sebagai bahan antijamur dalam sampo [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dadang, Prijono D. 2008. Pestisida Nabati. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Dadang, Nugroho BW. 1999. Ekstraksi, isolasi, dan identifikasi. Di dalam: Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

Darwis SN, Indo M, Hasiyah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.

Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen Van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati. Jakarta: Penebar Swadaya.

(35)

Lambert N, Trouslot MF, Campa CN, Chrestin H. 1993. Production of rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia vogelii. Phytochemistry 34:1515−1520.

Nailufar N. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nugroho DA. 2008. Aktivitas residu ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) dan daun Tephrosia vogelii Hook. f. (Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prajnanta F. 2003. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rusmarilin H. 2003. Aktivitas anti-kanker ekstrak rimpang lengkuas lokal (Alpinia galanga (L). Sw) pada alur sel kanker manusia serta mencit yang ditransplantasi dengan sel tumor primer [disertasi]. Program Pasca Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Suryaningsih E. 2007. Efikasi pestisida biorasional untuk mengendalikan Thrips palmi Karny pada tanaman kentang. Journal Hortikultura 18:319−325.

Schumetterer H. 1997. Side-effect of neem (Azadirachta indica) products on insect pathogens and natural enemies of spider mites and insects. J Appl Entomol 121: 121-128.

Thamrin A, Asikin S, Mukhlis, Budiman A. 2005. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati [internet]. [diunduh 25 April 2011]. Tersedia pada:http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/images/jarakpagar/pengendalian. pdf

Venita Y, Fauzana H, Mukti. 2009. Pemberian beberapa konsentrasi dan interval penyemprotan ekstrak daun sirsak terhadap hama Myzus persicae Sulzer pada tanaman cabai. J SAGU 8:23-26.

Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Jakarta: Agromedia Pustaka.

(36)

DIAN FITRIA. Toxicity of Tephrosia vogelii and Alpinia galanga Extract againts Myzus persicae on Red Pepper Plant. Under the direction of DADANG and DEWI SARTIAMI.

Red pepper (Capsicum annum) is one of the important agricultural commodities in Indonesia, but the production is still fluctuated. One of factor that cause the decline in productivity of red pepper is a disturbance of pests and diseases. Aphids Myzus persicae

is one of the important pests on red pepper cultivation because it can cause loss of up to 80%. Botanical insecticide is one of alternative pest control agents which is biodegradable, safer than synthetic pesticides, and environmentally friendly. The objective of this study was to determine the effectiveness of two types of plant extracts as insecticides against M. persicae on red pepper (Capsicum annum) using the residual in plants methods and of systemic effects methods. Extracts used were Tephrosia vogelii

and Alpinia galanga, each extract was tested using the residual and systemic methods. Extracts of T. vogelii showed a higher toxicity using both the residual and systemic methods with each LC95 values at 72 hours after treatment were 16 and 12 times more

toxic than extracts of A. galanga. Systemic method was more efficient than the residual method. Testing of T. vogelii extract using systemic effect method LC95 8.5 times lower

than using residual method on plant, as well as the test of A. galanga extract that the systemic method show more toxic than residual method.

(37)

DIAN FITRIA. Toksisitas Ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap Myzus persicae pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan DEWI SARTIAMI.

Cabai merah (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, namun tingkat produksi cabai masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah adanya gangguan hama dan penyakit tanaman. Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu hama penting pada budidaya cabai karena dapat menyebabkan kerusakan hingga 80%. Insektisida nabati adalah salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap M. persicae pada tanaman cabai yang diuji menggunakan metode residu dan sistemik. Tingkat toksisitas ekstrak T. vogelii pada metode residu menunjukkan nilai LC95 sebesar 5.375% yang berarti 16 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%. Pada metode sistemik ekstrak T. vogelii memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 12 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak A. galanga yang memiliki nilai LC95 sebesar 7.896%. Pengujian metode sistemik lebih efektif dibandingkan dengan metode residu. Pengujian ekstrak T. vogelii menggunakan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 0.638% yang berarti 8.5 kali lebih toksik dibandingkan menggunakan metode

residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 5.375%, serta pengujian ekstrak

A. galanga dengan metode sistemik memiliki nilai LC95 sebesar 7.896% yang berarti 11 kali lebih toksik dibandingkan dengan metode residu yang memiliki nilai LC95 sebesar 88.328%.

(38)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman

hortikultura yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat

Indonesia. Dengan rasa yang pedas dan aroma yang khas, cabai sering digunakan

sebagai penyedap makanan dan penambah selera makan. Selain itu, cabai juga

mengandung capsaicin dan zat mukokinentik yang dapat digunakan untuk terapi

kesehatan. Dari berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat

membantu dalam penyembuhan penyakit rematik, kejang otot, dan asma

(Wiryanta 2002).

Permintaan komoditas cabai semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk, sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksi

untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Rata-rata produktivitas cabai tahun 2009

sebesar 5.89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5.61 ton/ha sehingga

mempengaruhi harga di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS

2010). Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi cabai adalah

adanya serangan hama dan penyakit.

Kutudaun Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) merupakan salah satu

hama penting pada tanaman cabai yang bersifat kosmopolitan dan polifagus

(Kalshoven 1981). Kutudaun ini dapat merusak tanaman cabai baik secara

langsung maupun tidak langsung sehingga kerusakan tanaman dapat semakin

parah. Kutudaun menghasilkan ekskresi embun madu yang dapat dimanfaatkan

oleh cendawan jelaga yang menyebabkan daun menjadi hitam dan mengganggu

proses fotosintesis pada daun (Prajnanta 2003). Kutudaun M. persicae juga

berperan sebagai vektor virus, lebih dari 150 strain virus dapat ditularkan oleh

M. persicae. Virus tersebut menyebabkan daun menjadi mosaik, klorosis,

menggulung, menyempit sampai mengecilkan ukuran daun (Pracaya 2008).

Kerugian akibat M. persicae sebagai vektor virus saja dapat mencapai 80%

(Venita et al. 2009).

Umumnya petani cabai melakukan pengendalian serangga hama

(39)

mengendalikan hama dalam waktu yang singkat. Insektisida sintetik merupakan

salah satu komponen yang penting dalam pengendalian, namun insektisida sintetik

juga dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan dan aman

terhadap kesehatan manusia maupun organisme non sasaran lainnya. Salah satu

alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik adalah dengan

menggunakan insektisida nabati.

Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui berpotensi sebagai insektisida

nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain steroid, asetogenin,

terpenoid, flavonoid, limonoid, alkaloid dan tannin. Insektisida nabati adalah

insektisida yang berbahan metabolit aktif senyawa tumbuhan. Bahan-bahan ini

diolah dalam berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak

atau resin yang merupakan hasil pengambilan ekstrak metabolit sekunder dari

bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar dan diambil abunya yang

digunakan sebagai insektisida. Pada tahun 1960-an telah ditemukan beberapa

insektisida dari bahan tumbuhan yang memiliki cara kerja spesifik, seperti

azadiraktin dan senyawa lain dari famili Meliaceae yang dapat menghambat

aktivitas makan dan perkembangan serangga. Pada umumnya insektisida nabati

bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan musuh alami atau

serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan insektisida nabati dapat

dikombinasikan dengan penggunaan musuh alami sebagai agens pengendalian

(Thamrin et al. 2005).

Insektisida nabati yang berpotensi besar dalam pengendalian hama adalah

beberapa spesies dari anggota famili Meliaceae, Rutaceae, Annonaceae, Labiatae,

Malvaceae, Zingiberaceae dan Solanaceae (Schmutterer 1997).

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui toksisitas dua jenis ekstrak tanaman

sebagai insektisida nabati terhadap Myzus persicae pada tanaman cabai

(Capsicum annum) dengan menggunakan metode residu pada tanaman dan

(40)

Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang

pertanian, khususnya bidang perlindungan tanaman sesuai dengan Tridarma

Perguruan Tinggi serta memberikan gambaran alternatif pengendalian yang ramah

(41)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai dan Nilai Ekonominya

Tanaman cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. (Wiryanta 2002). Tanaman cabai berdaya adaptasi luas, sehingga dapat ditanam di lahan sawah, kering, pinggir laut dataran rendah ataupun pegunungan (dataran

tinggi). Pengusahaannya juga dapat dilakukan pada musim kemarau, musim hujan

maupun rendengan akan tetapi perlu memeperhatikan beberapa hal diantaranya

adalah jenis tanah, derajat kemasaman (pH), air dan iklim ( Piay et al. 2010).

Pemilihan varietas merupakan salah satu tahapan yang penting dalam

budidaya cabai, varietas cabai hibrida maupun non hibrida yang telah dilepas di Indonesia diantaranya cabai merah Keriting Varietas TM 999, cabai merah

Teropong “Inko hot”, cabai merah Biola, cabai merah Hot Beauty, cabai merah

Hot Chili, cabai merah Premium, cabai merah Keriting Varietas Lembang–1, cabai merah Keriting Varietas Tanjung–2 (Piay et al. 2010).

Biologi dan Ekologi Kutudaun Myzus persicae

Myzus persicae merupakan kutudaun yang bersifat polifag, imago berwarna

hijau pudar atau kekuning-kuningan. Lama perkembangan nimfa selama 6 hari

(Pracaya 2008). Kutudaun di daerah tropis sebagian besar berkembang biak secara

tidak kawin yaitu dengan melahirkan nimfa. Mulai dari nimfa instar pertama

hingga keempat, bentuknya hampir sama. Setelah memasuki bentuk nimfa tahap

empat, nimfa pradewasa akan berubah menjadi serangga dewasa yang bersayap

maupun tanpa sayap. Serangga dewasa ini akan menghasilkan keturunan dalam

waktu kurang lebih 2 – 3 hari kemudian (Kalshoven 1981).

(42)

bawah. Kondisi ini merupakan gejala spesifik dari gangguan kutudaun. Bagian daun bekas tempat isapan kutudaun berwarna kekuningan. Populasi kutudaun yang tinggi dapat menyebabkan klorosis dan gugur daun, serta mengakibatkan ukuran buah cabai menjadi lebih kecil. Kutudaun menghasilkan cairan embun madu yang dapat menjadi tempat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada permukaan daun dan buah. Kerusakan langsung menyebabkan kerugian sebesar 6-25%. Kerusakan tidak langsung menyebabkan kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kerusakan langsung yaitu sebesar 80%. Kerusakan tidak langsung disebabkan oleh M. persicae karena perannya sebagai vektor penyakit virus. Penyakit virus yang dapat ditularkan oleh kutudaun M. persicae pada tanaman cabai merah, antara lain penyakit virus menggulung daun kentang (PLRV) dan penyakit virus kentang Y (PVY). (Venita et al. 2009; Piay et al. 2010).

Pestisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman

Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuhan. Pestisida

ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari

lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya

mudah hilang. Dengan demikan, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan

aman untuk dikonsumsi. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang

sebagian merupakan senyawa metabolit sekunder yang digunakan oleh tumbuhan

sebagai alat pertahanan diri dari serangan organisme pengganggu. Walaupun

hanya sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi,

namun jumlah bahan kimia pada tumbuhan dapat melampaui 400.000. Lebih dari

2.400 jenis tumbuhan yang termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung

bahan pestisida (Kardinan 2002).

Potensi Ekstrak Tephrosia vogelii

Tephrosia vogelii dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-2100 m

diatas permukaan laut dengan curah hujan 850-2700 mm. Daunnya berwarna

hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan

putih. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. T. vogelii

(43)

ikan, dan insektisida alami (Heyne 1987). Menurut Zakarni (2008) ekstrak daun

T. vogelii memiliki efek racun perut dan antifeedant yang mengakibatkan

serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga

meningkatkan resiko diserang oleh musuh alaminya. Dengan demikian dapat

menurunkan populasi hama jika ekstrak tersebut digunakan di lapangan selain itu

ekstrak T. vogelii relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid

Diadegma semiclausum (Hymenoptera: Ichneumonidae). Nugroho (2008)

melaporkan bahwa fraksi heksana T. vogelii selain memiliki aktivitas insektisida

yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) di

laboratorium, juga memiliki persistensi yang baik pada tanaman brokoli di rumah

kaca. Sediaan insektisida botani dari T. vogelii dan beberapa jenis tanaman lain

telah sering digunakan oleh petani di Jawa Barat, termasuk di pertanian organik,

untuk mengendalikan hama pemakan daun.

Potensi Ekstrak Alpinia galanga

Tanaman Alpinia galanga atau lengkuas merah termasuk kedalam famili

Zingiberaceae, tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1-1200 m diatas

permukaan laut dengan curah hujan tahunan 2500-4000 mm/tahun. Lengkuas

mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan pengawet pada

makanan dan sebagai antibiotik alami (Darwis et al. 1991). Selain itu, lengkuas

juga mengandung senyawa flavonoid seperti flavonol, komponen flavonol yang

banyak terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan

mirisetin (Rusmarilin 2003). Lengkuas merah biasa digunakan sebagai obat

tradisional untuk berbagai penyakit seperti bronkhitis, radang lambung, dan

masuk angin dan dapat digunakan sebagai antimikroba, antioksidan,

antikarsinogenik, antifertilitas dan antifeedant (Darwis et al. 1991). Rimpang

A. galanga dapat digunakan sebagai insektisida yang memiliki sifat toksik dan

(44)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi

Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi

Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari

bulan Februari – Juli 2012.

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Cabai

Benih cabai diseleksi dengan cara merendam benih dalam air hangat ± 50ºC,

biji yang terapung dibuang sedangkan benih yang tenggelam disaring dan disemai

pada nampan penyemaian yang diisi dengan media tanam berupa tanah halus dan

pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih yang telah disemai 10‐14 hari

atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke tempat

pembibitan. Bibit dipindahkan ke pot berukuran 13 cm sebanyak 1 bibit per pot

untuk perlakuan uji residu sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang

berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang

dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma, dan pengendalian

hama dengan cara mekanis.

Identifikasi Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan adalah M. persicae. Serangga uji terlebih

dahulu diidentifikasi untuk memastikan spesies serangga. Serangga diidentifikasi

di Laboratorium Biosistematika Serangga dengan sediaan preparat. Sediaan

preparat dibuat dengan memasukkan serangga ke dalam tabung reaksi yang berisi

alkohol 95% dan dipanaskan pada kompor pemanas air selama 5 menit. Serangga

diletakkan pada cawan sirakus dan dilubangi bagian toraksnya untuk

mempermudah pengeluaran isi tubuh serangga. Serangga dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang berisi larutan KOH 10% kemudian dipanaskan hingga

transparan. Kemudian serangga diletakkan pada cawan sirakus dan isi tubuh

dikeluarkan, larutan KOH 10% dibuang diganti dengan larutan aquadest sebanyak

(45)

berturut-turut dari alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 95% selama 10 menit,

alkohol 100% selama 10 menit dan minyak cengkeh selama 10 menit. Serangga

diletakkan di atas kaca obyek dan di tetesi canada balsam 1 tetes, kemudian

ditutup dengan kaca penutup selanjutnya diidentifikasi dengan memperhatikan

bentuk morfologi menggunakan mikroskop serta buku acuan (Blackman dan

Eastop 2000).

Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji

Serangga uji M. persicae dari pertanaman brokoli yang tidak mendapat

aplikasi insektisida dipelihara secara massal di Laboratorium Fisiologi dan

Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Perbanyakan M. persicae dilakukan pada tanaman brokoli

berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris yang bagian

atasnya tertutup kain kasa dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Untuk

mendapatkan nimfa M. persicae yang seragam, satu induk imago M. persicae

dibiarkan untuk berkembangbiak sampai menghasilkan keturunan pertama dan

dipelihara sampai imago. Imago keturunan pertama dari induk M. persicae

dipelihara untuk melahirkan nimfa pada tanaman brokoli selama 1 hari, kemudian

imago tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke tanaman brokoli lainnya dan

tindakan ini dilakukan berkali-kali sampai didapatkan serangga uji yang cukup

untuk pengujian. Nimfa instar dua yang berumur 2 hari dipindahkan dari tanaman

brokoli ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian

nimfa instar empat tersebut digunakan untuk pengujian.

Sumber Ekstrak Tanaman

Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian

diperoleh dari daerah Bogor dan sekitarnya. Bahan-bahan tanaman tersebut antara

lain daun kacang babi (Tephrosia vogelii) dan rimpang lengkuas (Alpinia

galanga). Daun kacang babi diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti,

Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan rimpang lengkuas merah diperoleh dari

(46)

Ekstraksi Tanaman

Bahan-bahan tanaman yang digunakan untuk pengujian terlebih dahulu

dikering-anginkan dengan meletakkan bahan tanaman pada tempat yang tidak

terpapar cahaya matahari langsung. Setelah dikering-anginkan bahan tanaman

tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender kemudian disaring

hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi dilakukan dengan

pelarut metanol. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode

maserasi, yaitu merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut dengan

perbandingan 1:10 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam pada labu

Erlenmeyer kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong

Buchner dengan dua kali penyaringan. Filtrat kemudian diuapkan menggunakan

rotary evaporator pada tekanan 400-500 mmHg dengan suhu 500C sehingga

didapatkan ekstrak tanaman yang diharapkan (Dadang dan Nugroho 1999).

Ekstrak-ekstrak kasar tanaman hasil penguapan tersebut disimpan dalam lemari es

pada suhu ± 40C hingga saat digunakan.

Metode Pengujian

Uji Residu pada Tanaman

Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan metanol dan tween 80

(1:5) 1.2% dan aquades. Konsentrasi uji residu pada tanaman menggunakan 4

konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 1%; 2%; 3%; 5% dan kontrol dengan 3

kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di pot disemprot dengan

ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfestasi sebanyak 10

ekor serangga uji pertanaman kemudian tanaman cabai disungkup dengan plastik

silindris yang bagian atasnya tertutup kain kasa. Perhitungan mortalitas serangga

dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan. Data pengujian diolah

dengan analisis probit.

Uji Sistemik pada Tanaman

Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan metanol dan tween 80

Gambar

Gambar 1  Karakteristik morfologi M. persicae, a) preparat awetan M. persicae,
Gambar 1  Perkembangan  mortalitas  nimfa  instar IV M. persicae  yang  diberi
Tabel 2  Parameter  hubungan  konsentrasi-mortalitas ekstrak   T.  vogelii  dan  ekstrak  A
Gambar 3 Perkembangan mortalitas  nimfa instar IV M. persicae yang diberi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Toksisitas campuran ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap larva Crocidolomia

Simpulan Ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga) berefek antidiare dengan mengurangi frekuensi defekasi, berefek mengurangi berat feses, dan memadatkan

rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Efek Ekstrak Etanol 70% Lengkuas ( Alpinia galanga ) Terhadap Penurunan

Kombinasi ekstrak rimpang lengkuas ((Alpinia galanga L.) dan allopurinol pada mencit putih jantan galur swiss dapat memiliki efek sinergis dalam menurunkan

pengaruh yang ditunjukkan ekstrak rimpang lengkuas ( Alpinia galanga Linn) dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen penyakit blast ( Pyricularia oryzae Cav.) dengan

Melalui kegiatan penelitian yang bertahap telah diperoleh produk pestisida yang diesktrak dari sisa-sisa tanaman tembakau rakyat di lapang yaitu ekstrak 1, ekstrak

Hasil uji efektivitas krim ekstrak etanol rimpang lengkuas putih [ Alpinia galanga (L.) Willd] dalam mengurangi gejala dan mengobati luka pada kelinci yang terinfeksi kapang

Hasil pengamatan parameter intensitas serangan hama kutu daun persik ( Myzus persicae Sulz) kemudian dianalisis, yang menujukkan bahwa galur cabai keriting MG1012 dan