• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegunaan data anomali suhu muka laut Pasifik (NINO 3.4) untuk prediksi produksi padi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kegunaan data anomali suhu muka laut Pasifik (NINO 3.4) untuk prediksi produksi padi di Indonesia"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Rahmi Ariani, Using Pasific Sea Surface Temperature Anomalies Data (Nino 3.4) to Predict Paddy Production in Indonesia. Supervised by RIZALDI BOER.

Indonesia as the third largest producer of rice still frequently experience the crop failure due to extreme climate events. The decline of rice production will lead to instability of food security since the rice price will rising and harm poor people who spend a larger portion of their income on rice than do wealthier member of society. This study aims to know the relationship between the rice production at each province in Indonesia with the sea surface temperature anomalies (SSTA) of Nino 3.4, which is one index of ENSO. The correlation between SSTA Nino 3.4 with paddy production ranged between 0.40 to 0.70, which means that the SSTA of Nino 3.4 data has a strong correlation with paddy production data so it can be used as a predictor. The correlation shows that if SSTA Nino 3.4 increasing (El-Nino event), the rice production on January-April declining, while the production on Mei-August and on September-December rising, it is due to the advancingof planting date. But the increase of rice production on Mei-August and on September-December are not as big as the decline on January-April. The provinces that their rice production are influenced by ENSO are the provinces which the rainfall type are monsoon. The best predictor for paddy production is SSTA September one year before. R2 of the prediction model for January-April production >40% which means that the model is good to explain the diversity of production data. While the model for Mei-August and on September-December production are not considered good to explain the diversity of the production data. It is expected that these forecast can be used by the governments and other parties who have interest in establishing a strategy in order to maintain the stability of food security in Indonesia.

(2)

RINGKASAN

Rahmi Ariani, Kegunaan Data Anomali Suhu Muka Laut Pasifik (Nino 3.4) untuk Prediksi

Produksi Padi di Indonesia. Dibimbing oleh RIZALDI BOER.

Indonesia sebagai negara terbesar ke-tiga penghasil beras masih sering mengalami kegagalan panen disebabkan kejadian iklim yang ekstrim seperti kejadian ENSO. Penurunan produksi yang diakibatkan kejadian ENSO ini akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ketahanan pangan karena akan menyebabkan harga beras meningkat dan menyengsarakan rakyat kecil yang menghabiskan lebih dari 50% pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara produksi padi pada setiap provinsi di Indonesia dengan data anomali suhu muka laut pasifik (ASML) Nino 3.4 yang merupakan salah satu indeks dari kejadian ENSO. Korelasi antara data ASML dengan data produksi berkisar antara 0.40-0.70, yang artinya bahwa data ASML Nino 3.4 mempunyai hubungan yang kuat dengan data produksi padi di Indonesia sehingga bisa digunakan sebagai prediktor. Kenaikan ASML Nino 3.4 (kejadian El-Nino) menyebabkan produksi pada kuartal pertama mengalami penurunan sedangkan produksi pada kuartal kedua dan ketiga mengalami kenaikan, hal ini disebabkan mundurnya awal musim tanam. Akan tetapi kenaikan dari produksi pada kuartal kedua dan ketiga ini tidak sebesar penurunan produksi pada kuartal pertama. Provinsi-provinsi yang dipengaruhi produksinya oleh ENSO adalah provinsi dengan tipe hujan monsun. Prediktor terbaik yang digunakan untuk prediksi adalah ASML bulan September pada tahun sebelumnya. Model prediksi yang dihasilkan mempunyai nilai R2> 40% untuk produksi pada kuartal pertama, yang artinya bahwa model prediksi ini sudah bisa dibilang cukup baik untuk menjelaskan keragaman produksi pada kuartal ini. Model prediksi untuk kuartal kedua dan ketiga nilai R2 nya tidak sebesar pada kuartal pertama, sehingga model prediksi pada kuartal ini kurang baik untuk menjelaskan keragaman data produksi. Diharapkan prediksi ini bisa digunakan pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk membuat strategi agar bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.

(3)

KEGUNAAN DATA ANOMALI SUHU MUKA LAUT PASIFIK (NINO 3.4)

UNTUK PREDIKSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA

RAHMI ARIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

KEGUNAAN DATA ANOMALI SUHU MUKA LAUT PASIFIK (NINO 3.4)

UNTUK PREDIKSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA

RAHMI ARIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

ABSTRACT

Rahmi Ariani, Using Pasific Sea Surface Temperature Anomalies Data (Nino 3.4) to Predict Paddy Production in Indonesia. Supervised by RIZALDI BOER.

Indonesia as the third largest producer of rice still frequently experience the crop failure due to extreme climate events. The decline of rice production will lead to instability of food security since the rice price will rising and harm poor people who spend a larger portion of their income on rice than do wealthier member of society. This study aims to know the relationship between the rice production at each province in Indonesia with the sea surface temperature anomalies (SSTA) of Nino 3.4, which is one index of ENSO. The correlation between SSTA Nino 3.4 with paddy production ranged between 0.40 to 0.70, which means that the SSTA of Nino 3.4 data has a strong correlation with paddy production data so it can be used as a predictor. The correlation shows that if SSTA Nino 3.4 increasing (El-Nino event), the rice production on January-April declining, while the production on Mei-August and on September-December rising, it is due to the advancingof planting date. But the increase of rice production on Mei-August and on September-December are not as big as the decline on January-April. The provinces that their rice production are influenced by ENSO are the provinces which the rainfall type are monsoon. The best predictor for paddy production is SSTA September one year before. R2 of the prediction model for January-April production >40% which means that the model is good to explain the diversity of production data. While the model for Mei-August and on September-December production are not considered good to explain the diversity of the production data. It is expected that these forecast can be used by the governments and other parties who have interest in establishing a strategy in order to maintain the stability of food security in Indonesia.

(6)

RINGKASAN

Rahmi Ariani, Kegunaan Data Anomali Suhu Muka Laut Pasifik (Nino 3.4) untuk Prediksi

Produksi Padi di Indonesia. Dibimbing oleh RIZALDI BOER.

Indonesia sebagai negara terbesar ke-tiga penghasil beras masih sering mengalami kegagalan panen disebabkan kejadian iklim yang ekstrim seperti kejadian ENSO. Penurunan produksi yang diakibatkan kejadian ENSO ini akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ketahanan pangan karena akan menyebabkan harga beras meningkat dan menyengsarakan rakyat kecil yang menghabiskan lebih dari 50% pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara produksi padi pada setiap provinsi di Indonesia dengan data anomali suhu muka laut pasifik (ASML) Nino 3.4 yang merupakan salah satu indeks dari kejadian ENSO. Korelasi antara data ASML dengan data produksi berkisar antara 0.40-0.70, yang artinya bahwa data ASML Nino 3.4 mempunyai hubungan yang kuat dengan data produksi padi di Indonesia sehingga bisa digunakan sebagai prediktor. Kenaikan ASML Nino 3.4 (kejadian El-Nino) menyebabkan produksi pada kuartal pertama mengalami penurunan sedangkan produksi pada kuartal kedua dan ketiga mengalami kenaikan, hal ini disebabkan mundurnya awal musim tanam. Akan tetapi kenaikan dari produksi pada kuartal kedua dan ketiga ini tidak sebesar penurunan produksi pada kuartal pertama. Provinsi-provinsi yang dipengaruhi produksinya oleh ENSO adalah provinsi dengan tipe hujan monsun. Prediktor terbaik yang digunakan untuk prediksi adalah ASML bulan September pada tahun sebelumnya. Model prediksi yang dihasilkan mempunyai nilai R2> 40% untuk produksi pada kuartal pertama, yang artinya bahwa model prediksi ini sudah bisa dibilang cukup baik untuk menjelaskan keragaman produksi pada kuartal ini. Model prediksi untuk kuartal kedua dan ketiga nilai R2 nya tidak sebesar pada kuartal pertama, sehingga model prediksi pada kuartal ini kurang baik untuk menjelaskan keragaman data produksi. Diharapkan prediksi ini bisa digunakan pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk membuat strategi agar bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.

(7)

KEGUNAAN DATA ANOMALI SUHU MUKA LAUT PASIFIK (NINO 3.4)

UNTUK PREDIKSI PRODUKSI PADI DI INDONESIA

RAHMI ARIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Kegunaan Data Anomali Suhu Muka Laut Pasifik (Nino 3.4) untuk Prediksi Produksi Padi di Indonesia

Nama : Rahmi Ariani

NIM : G24060306

Disetujui

Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. NIP. 19600927 198903 1 002

Diketahui: Ketua Departemen

Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S. NIP. 19600305 198703 2 002

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Kegunaan data anomali suhu muka laut pasifik (Nino 3.4) untuk prediksi produksi padi di Indonesia”. Karya ilmiah ini ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyamaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.sc. selaku pembimbing skripsi.

2. Kedua orang tua tersayang Ayahanda Syafri Marah dan Ibunda Rifdawati atas kasih sayang yang sangat tulus dan usaha yang tidak pernah lelah demi keberhasilan penulis sampai pada jenjang pendidikan sekarang ini. Saudara-saudara kandung penulis yaitu: Satria Feri, Frengki Afelon, Defrizon, Ilham Alfitra, Hidayat Tullah yang telah memberikan dukungan yang begitu berarti bagi penulis.

3. Bapak Ir. Heny Suharsono M.S selaku dosen pembimbing akademik.

4. Seluruh staff Departemen Geofisika dan Meteorologi atas bantuan dalam hal administrasi. 5. Seluruh staff CCROM-SEAP atas segala bentuk bantuan yang diberikan dalam kelancaran

penelitian.

6. Teman-teman Geofisika dan Meteorologi’43 yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama menempuh pendidikan di IPB sehingga bisa mempermudah penulis dalam meyelesaikan karya ilmiah ini.

7. Teman-teman laboratorium klimatologi yaitu Daniel, Neni, Icha, Yuli, Rika, Isa, Willy, Tarra, Uji, Lutfi, Egi, Devi yang telah memberi masukan dan saran untuk penelitian.

8. Konco arek di SMA Negeri 1 Solok yang selalu memberikan motivasi kepada penulis sampai saat ini.

9. Diana Rumondang, Debi Nathalia, Sutrisni Susilowati, Debora Mayke Marchyan, Utet Hilda Liyani, Christina Rati Harefa, Dinda Tri Handayani, Desi Siallagan yang banyak berkontribusi dalam pengolahan data dan penulisan.

10. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya karya ilmiah ini.

Penulis menyadari karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Bogor, 26 Desember 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat pada tanggal 3 Januari 1989 dan merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Syafri Marah dan Rifdawati. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 24 Saniang Baka dan lulus tahun 2000. Pendidikan penulis dilanjutkan ke MTs Muhammadyah Saniang Baka (2000-2003). Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Solok dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis mengambil Mayor Geofisika dan Meteorologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

...

ix

DAFTAR TABEL

...

x

DAFTAR GAMBAR

...

xi

DAFTAR LAMPIRAN

...

xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipe Hujan di Indonesia ... 1

2.2 Fenomena El-Nino and Southern Oscillation (ENSO) ... 3

2.3 Dampak ENSO terhadap Pertanian di Indonesia ... 4

2.4 Pola Tanam Padi Petani di Indonesia ... 4

2.5 Kebijakan Ketahanan pangan di Indonesia ... 5

BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 6

3.3 Metode Penelitian ... 6

3.3.1 Penyusunan Format Data ... 6

3.3.2 Menghilangkan Tren Data Produksi (Menghitung Anomali) ... 7

3.3.3 Menghitung Korelasi antara Data Produksi dengan ASML Nino 3.4 ... 7

3.3.4 Membandingkan Besarnya Luas Tanam pada Tahun Normal dengan Tahun El- Nino ... 7

3.3.5 Menentukan Prediktor Terbaik ... 7

3.3.6 Membuat Model Prediksi ... 7

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Data ASML Pasifik terhadap Produksi Padi ... 8

4.2 Pergeseran Musim Tanam pada Saat Terjadinya El-Nino ... 9

4.3 Prediktor Terbaik untuk Produksi Padi di Indonesia ... 10

4.4 Prediksi Produksi Padi Menggunakan Data ASML ... 11

4.5 Strategi untuk Menghindari Penurunan Produksi dan Kenaikan Harga Beras ... 14

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 14

5.2. Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Korelasi antara ASML Juni-Desember tahun sebelumnya dengan data produksi padi

kuartal pertama (metode first differences) ... 9

2. Persamaan regresi untuk prediksi produksi kuartal pertama ... 12

3. Persamaan regresi untuk prediksi produksi kuartal kedua ... 13

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tipe Hujan Indonesia ... 2

2. Kawasan Nino 3.4 ... .3

3. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El-Nino ... .3

4. Anomali hujan rata-rata di Indonesia pada tahun El-Nino, Normal dan La-Nina ... .4

5. Pola Tanam Padi Petani di Indonesia ... 5

6. Persentase luas tanam permusim tanam di pulau Jawa pada tahun normal (2001) ... 10

7. Perbedaan luas tanam rataan sepuluh tahun dengan luas tanam tahun El-Nino ... 10

8. Rata-rata Korelasi Produksi dengan ASML Juni (t-1)-Desember (t-1) ... 11

9. Jumlah provinsi yang berkorelasi nyata dengan ASML Juni (t-1)-Desember (t-1) ... 11

10. Peta prediksi kehilangan produksi setiap kenaikan 1°C suhu muka laut pasifik Nino 3.4 bulan September ... 12

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas

padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode first differences) ... 17 2. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas

padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode Polynomial) ... 18 3. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas

padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode Moving Average) ... 19 4. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Mei-

Agustus di Indonesia (Metode first differences) ... 21 5. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Mei-

Agustus di Indonesia (Metode Polynomial)) ... 23 6. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Mei-

Agustus di Indonesia (Metode Moving Average) ... .25 7. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan

September-Desember di Indonesia (Metode first differences) ... .27 8. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan

September-Desember di Indonesia di Indonesia (Metode Polynomial) ... 29 9. Korelasi antara ASML dengan produksi, luas panen, produktivitas bulan

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan populasi ke-empat terbesar dan penghasil beras ke-tiga terbesar di dunia (World Bank, 2000). Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras pertahunnya, namun konsumsi masih sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya sampai dengan 7% dari besarnya konsumsi dalam setahun. Kekurangan tingkat produksi dibandingkan dengan konsumsi ini akan semakin besar jika terjadi kegagalan panen. Kegagalan panen tersebut sering diakibatkan oleh iklim yang ekstrim.

Pengaruh iklim terhadap pertanian di Indonesia sangat kuat karena iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena global seperti ENSO (El-Nino and Southern Oscillation), Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO). Fenomena ENSO merupakan fenomena yang mempunyai peran paling besar dari ketiga fenomena tersebut dalam keragaman iklim di Indonesia, khususnya curah hujan. Besarnya pengaruh ENSO ini ditunjukkan dari data kekeringan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, dimana dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003).

El-Nino biasanya menyebabkan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dibawah normal. Sebaliknya La-Nina seringkali menyebabkan lebih panjangnya musim hujan dan meningkatkan curah hujan jauh diatas normal pada musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan dan penurunan curah hujan inilah yang menjadikan El-Nino mempunyai dampak negatif terhadap pertanian di Indonesia. Jika awal musim hujan mengalami kemunduran maka awal musim tanam juga mengalami kemunduran. Selain itu kekeringan seringkali menyebabkan kegagal panen.

Salah satu indikasi yang menandakan terjadinya peristiwa ENSO adalah anomali suhu muka laut Pasifik Nino 3.4, oleh karena itu data ini bisa dijadikan sebagai prediktor untuk memperkirakan besarnya produksi padi di Indonesia. Dalam penelitian ini, prediktor tidak dihubungkan dahulu dengan curah hujan karena berdasarkan penelitian Naylor (2001), hubungan antara anomali suhu muka laut pasifik Nino 3.4 dengan produksi padi mempunyai korelasi yang kuat

dan lebih baik untuk dijadikan sebagai prediktor karena memberikan waktu prediksi yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan curah hujan. Prediksi ini diharapkan bisa dipakai oleh pemegang keputusan dalam kebijakan ketahanan pangan agar bisa mempersiapkan langkah-langkah yang bisa diambil dalam rangka menjaga kestabilan ketahanan pangan di Indonesia. Selain itu, baik pemerintah maupun petani diharapkan bisa menyusun strategi tanam agar tidak terjadi kegagalan panen dan hasil pertanian bisa dioptimalkan.

1.2.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh fenomena ENSO terhadap produksi padi di Indonesia. 2. Menentukan prediktor terbaik untuk

prediksi produksi padi di Indonesia. 3. Membuat prediksi produksi padi di

Indonesia menggunakan data anomali suhu muka laut pasifik (Nino 3.4) agar bisa digunakan sebagai peringatan dini bagi ketahanan pangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.1.Tipe Hujan di Indonesia

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis yang terletak di daerah tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Selain itu karena keberadaan wilayah Indonesia ini, kondisi iklimnya akan dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino, La Nina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO), disamping pengaruh fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia (BMKG, 2008).

(16)

di Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia (BMKG, 2008).

Wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan pola hujannya, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal (Boerema, 1938 dalam Boer, 2001). Pola Moonson biasanya mempunyai pola hujan yang mempunyai satu puncak musim hujan yaitu bulan Desember (unimodal) dan mempunyai curah hujan yang relatif tinggi selama enam bulan sehingga disebut musim hujan (Oktober-Maret) dan curah hujan yang rendah pada enam bulan berikutnya (April-September) sehingga disebut musim kemarau (Boer, 2001).

Tipe Monsoon terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu Tipe A dan Tipe B. Perbedaan antara keduanya adalah antara musim hujan dan musim kemarau. Tipe A memiliki musim kemarau yang lebih panjang (wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara) dan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B secara keseuluruhan (Jawa, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan). Oleh karena itu, daerah tipe A lebih sering mengalami kekeringan dibanding daerah tipe B. Sebagian besar wilayah Indonesia bagian Selatan

didominasi oleh Tipe A dan B. Keragaman hujan musim kemarau secara umum lebih besar dibanding musim hujan (Oktober-Maret). Pengaruh angin musim Australia salama musim hujan sangat jelas pada wilayah ini (Boer, 2001).

Pola equatorial ditandai dengan pola hujan yang mempunyai dua puncak musim hujan (bimodal), biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober pada saat matahari berada dekat equator. Sedangkan pola lokal mempunyai pola hujan yang berlawanan dengan pola monsun namun sama-sama mempunyai satu puncak hujan (unimodal). Tipe ekuatorial juga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tipe D dan E. Tipe D Daerah yang memiliki tipe ini adalah daerah bagian timur ekuator Indonesia (seperti Maluku dan Sorong). Musim kemarau pada daerah tipe ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan di daerah tipe iklim ini lebih besar dari tipe A dan B. Hal ini disebabkan karena wilayah dengan tipe iklim ini mempunyai sifat geografis seperti pegunungan dan topografi yang memungkinkan intensifnya proses konveksi akan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan keragaman curah hujan

wilayahnya (Rafi’i, 1998).

(17)

4.2.Fenomena El-Nino and Southern Oscillation (ENSO)

ENSO merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanas/mendinginnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4) atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif/negatif (lebih panas/dingin dari rata-ratanya) (BMKG, 2008). Peristiwa ENSO terbagi dua, yaitu El-Nino yang dikenal sebagai warm ENSO dan La-Nina sebagai cold ENSO. Menurut Enfield (2003), El-Nino merupakan pemanasan yang tidak biasa di wilayah Samudera Pasifik ekuator yang terjadi secara tidak teratur dengan interval sekitar 3-6 tahun sebagai tanggapan terhadap pelemahan angin skala besar (angin pasat) yang biasanya bertiup dari selatan Benua Amerika ke Asia. Pada umumnya, angin yang bertiup itu menghasilkan permukaan air dingin di Pasifik timur, melalui penguapan dan upwelling air yang lebih dingin di bawah permukaan. Akibatnya, air menjadi relatif hangat di seluruh Pasifik, Papua New Guinea, Amerika Selatan. Sedangkan La-Nina merupakan kebalikan dari El-Nino ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif (lebih dingin dari rata-ratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4).

Ada dua Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya ENSO, yaitu meningkat/ menurunnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi dari normal atau terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan pasifik dari nilai rata-rata jangka panjang. Perubahan suhu muka laut ini disebut juga dengan anomali suhu muka laut. Kawasan yang menunjukkan anomali suhu muka laut pasifik adalah kawasan Nino 3, Nino 4 atau Nino 3.4. Nino 3.4 terletak antara 5°LU-5°LS, 170°BB-120°BB. Besarnya anomali suhu muka laut ini juga menujukkan besarnya kekuatan El-Nino dan La-Nina.

Gambar 2 Kawasan Nino 3.4 (NOAA, 2005).

Gejala El-Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga angin barat tertiup lebih kuat memperlemah angin pasat sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial menyebabkan terjadinya akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La-Nina berlangsung.

Gambar 3 Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El Nino (Nicholls, 1987 dalam Boer 2003).

Keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pengaruh ENSO di Indonesia sangat tergantung pada kondisi perairan wilayah Indonesia. Fenomena El-Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis baru akan terjadi bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El-Nino (BMKG, 2008). Menurut Tjasyono (1997), Besar dampak kejadian

(18)

ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang mempunyai tipe hujan monsun, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal.

Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan 43 kali. Dari 43 kejadian itu, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003). Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Pengamatan terhadap tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal (Boer, 2001).

Berbeda dengan kejadian El Nino, kejadian La-Nina seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia khususnya curah hujan musim kemarau. Namun pengaruhnya terhadap peningkatan curah hujan musim hujan tidak begitu tegas. Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100 tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El Nino lebih serius dibanding La Nina.

Gambar 4 Anomali hujan rata-rata di Indonesia pada tahun El-Nino, Normal dan La-Nina (IRI, 1995).

4.3.Dampak ENSO terhadap Pertanian

di Indonesia

Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tingginya curah hujan tetapi juga mempengaruhi awal masuknya musim hujan. Pada umumnya pada saat terjadi El-Nino, awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsoon mengalami keterlambatan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur sekitar satu bulan. Sebagai contoh, kejadian El-Nino pada tahun 1982/1983 menyebabkan terjadinya keterlambatan masuknya awal musim hujan atau memperpanjang lamanya musim kemarau antara satu sampai dua bulan (Boer, 2003). Keterlambatan datangnya musim hujan ini mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pertanian di Indonesia karena lahan sawah yang dimiliki petani sebagian besar adalah sawah irigasi atau tadah hujan yang sangat bergantung kepada curah hujan.

Tanaman padi lebih rentan terkena kekeringan atau terpengaruh oleh fenomena ENSO karena padi lebih banyak membutuhkan air daripada tanaman biji-bijian yang lain (Bouman et al, 2007). Oleh karena itu menurut Naylor et al (2001) terjadi hubungan yang negatif antara ASML dengan curah hujan dan dengan produksi padi di Jawa.

Rata-rata kehilangan produksi padi dalam sepuluh tahun terakhir akibat kejadian iklim ekstrim meningkat tiga kali lipat bila dibanding dengan periode sepuluh tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar 100 ribu ton menjadi sekitar 300 ribu ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sistim produksi padi nasional semakin sensitif atau rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Pengamatan tahun El-Nino 1994 dan 1997 menunjukkan bahwa kumulatif luas sawah yang mengalami kekeringan dari bulan Mei sampai Agustus melebihi 400 ribu ha sementara pada tahun-tahun normal dan La-Nina kurang dari 75 ribu ha. Kehilangan produksi padi akibat kejadian kekeringan khususnya pada tahun-tahun iklim ekstrim dapat mencapai 2 juta ton (Boer, 2003).

4.4.Pola Tanam Padi Petani di Indonesia

(19)

Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-padi atau padi-padi-bera. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu Nov/Des (MT1), padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret/April (MT2) dan padi ketiga pada bulan Juni/Juli (MT3). Padi yang biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau.

Pada tahun 1991/92 umumnya petani sudah selesai melakukan penanaman pada waktu kekeringan mulai terjadi sehingga banyak yang tidak bisa diselamatkan lagi. Sebaliknya pada tahun 1997/98 karena pembentukan El-Nino sangat cepat dan terjadi di awal musim kemarau, maka hujan pada musim kemarau sudah tidak ada sehingga petani banyak yang tidak berani melakukan penanaman, khususnya pada MK2. Oleh karena itu, luas yang terkena kekeringan menjadi lebih sedikit.

Gambar 5 Pola Tanam Padi Petani di Indonesia (Boer, 2003).

Pada umumnya, pada penanaman musim kemarau petani biasanya akan melakukan penanaman padi apabila terjadi satu atau dua kali hujan tanpa terlalu memperhatikan apakah hujan akan turun atau tidak pada bulan-bulan berikutnya. Jadi pada El-Nino 1991/92 banyak pertani yang terkecoh karena pada awal musim kemarau gejala akan terjadi kemarau yang panjang (tidak ada hujan) belum terdeteksi, sebaliknya pada kejadian El-Nino 1997/98.

4.5.Kebijakan Ketahanan Pangan di

Indonesia

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak

penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya (World Bank, 2005).

Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan (World Bank, 2005) : 1. Ketersediaan Pangan. Indonesia secara

umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:

- Larangan impor beras

- Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan - Pengaturan BULOG mengenai

ketersediaan stok beras.

2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi:

- Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi hampir 9 juta rumah tangga.

- Upaya BULOG untuk

mempertahankan harga beras. - Hambatan perdagangan yang

mengakibatkan harga pangan domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia.

(20)

mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi meliputi:

- Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting

- Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis

- Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi. Petani adalah ujung tombak penjaga ketahanan pangan, jika produktivitas usaha tani meningkat, berarti suplai pangan nasional meningkat pula. Hal ini berarti meningkatkan tingkat ketersediaan pangan nasional. Ketika hasil usaha tani mereka mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti akses petani terhadap pangan meningkat. Sekitar 60% penduduk Indonesia ini adalah petani yang 89% di antaranya merupakan petani guram yang miskin. Naiknya pendapatan mereka berarti aspek keterjangkauan dalam ketahanan pangan nasional akan meningkat pula.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-November 2010 yang bertempat di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in South Asia and the Pacific (CCROM-SEAP).

3.2.Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data anomali suhu muka laut pasifik (NINO 3.4) bulanan dari tahun 1983-2009 (Sumber: http://www.cpc.noaa. gov/data/indices/nino34.mth.ascii.txt) 2. Data produksi dan luas panen dan

produktivitas padi empat bulanan seluruh propinsi di Indonesia dari tahun 1983-2009, yaitu bulan January-April (kuartal satu), Mei-Agustus (kuartal

dua), September-Desember (kuartal tiga) (Sumber: Badan Pusat Statistik

1. Software Microsoft word 2007. 2. Software Microsoft excel 2007. 3. Software minitab 14.

3.3.Metode Penelitian

3.3.1. Penyusunan Format Data

Data Produksi padi yang berupa produksi, luas panen, produktivitas dan luas tanam telah didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dirjen Ketahanan Pangan harus dilakukan penyusunan ulang karena data yang didapat sebagian masih berupa data kabupaten dan belum dipisahkan antara produksi, luas panen dan produktivitas sehingga perlu dilakukan penyusunan agar bisa digunakan untuk analisis.

3.3.2. Menghilangkan Tren Data

Produksi (Menghitung Anomali) Data produksi padi di Indonesia selalu mengalami tren naik setiap tahunnya. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh faktor-faktor selain faktor-faktor iklim. Oleh karena itu, agar hubungan antara faktor iklim dengan data produksi lebih terlihat, maka faktor-faktor selain iklim tersebut harus dihilangkan. Penghilangan faktor selain faktor iklim itu bisa dilakukan dengan metode analisis tren. Tiga metode yang digunakan sebagai analisis tren dalam penelitian ini yaitu:

1. First differences

Anomali produksi dihitung dengan menggunakan rumus:

(21)

x = No urut data (berdasarkan tahun).

3. Moving Average

Menghitung rataan bergerak lima tahunan dari data produksi dengan cara sebagai berikut: menggunakan tiga metode tersebut lalu distandarisasi dengan membagi data dengan standar deviasinya masing-masing.

3.3.3. Menghitung Korelasi antara

Data Produksi dengan ASML Nino 3.4

Penghitungan nilai korelasi bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan dan tara ASML Nino 3.4 dengan data produksi dan untuk mengetahui arah hubungan dan signifikansinya. Nilai korelasi bisa didapatkan dengan melakukan analisis korelasi. Data produksi dari kuartal satu dan tiga satu persatu akan dikorelasikan dengan data ASML pasifik bulanan. Produksi, luas panen, dan produktivitas kuartal pertama akan dihubungkan dengan ASML dari bulan Juni-Desember tahun sebelumnya. Data kuartal kedua dihubungkan dengan data ASML bulan Juni-Desember tahun sebelumnya dan Januari-April pada tahun yang sama, sedangkan untuk data kuartal ketiga akan dihubungkan dengan data ASML bulan Juni-Desember tahun sebelumnya dan bulan Januari-Agustus pada tahun yang sama. Semua data dihubungkan dengan data ASML tahun sebelumnya mulai dari bulan Juni karena menurut Roberts (2008) awal terbentuknya fenomena ENSO baru akan terlihat pada bulan Mei.

Setelah didapatkan korelasi dari masing-masing provinsi dengan ASML bulanan maka provinsi-provinsi yang mempunyai korelasi yang nyata dengan provinsi yang tidak mempunyai korelasi yang nyata dibedakan dengan melihat besarnya nilai koefisien korelasi yang didapat dari uji t-student, berikut adalah

Nilai signifikansi yang dipilih dari penelitian ini adalah 0,05 atau dengan nilai selang kepercayaan 95% (artinya kesempatan benar dari hasil adalah 95%), maka nilai korelasi yang nyata ditunjukkan dengan nilai P-value <0.05.

3.3.4. Membandingkan Besarnya Luas

Tanam pada Tahun Normal dengan Tahun El-Nino

Membuat perbandingan dari data rata-rata luas tanam tahun 2000-2009 dengan data luas tanam tahun

El-Nino

(2002-2003) untuk mengetahui besarnya selisih luas tanam pada tahun

El-Nino

pada masing-masing kuartal dengan tahun normal serta untuk mengetahui besarnya luas tanam pada setiap musim tanam.

3.3.5. Menentukan Prediktor Terbaik

Menentukan ASML Nino 3.4 bulanan yang paling berpengaruh terhadap produksi, luas panen dan produktivitas padi. Dilihat dari data rata-rata korelasi terbesar dari seluruh propinsi di Indonesia dan banyaknya propinsi di Indonesia yang terpengaruh oleh ASML bulanan. Selain itu, dua data tersebut juga bisa digunakan sebagai penentuan metode analisis tren yang terbaik.

3.3.6. Membuat Model Prediksi

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Pengaruh Data ASML Pasifik

terhadap Produksi Padi

Pengaruh fenomena ENSO terhadap produksi, luas panen, produktivitas padi di Indonesia bisa diketahui dari nilai ASML Pasifik Nino 3.4 (sebagai salah satu indeks ENSO). Pengaruh tersebut bisa diketahui dari hubungan curah hujan dengan ENSO lalu hubungan curah hujan dengan produksi tanaman padi. Pada saat terjadinya El-Nino, curah hujan yang mengalami penurunan dan menyebabkan mundurnya awal musim hujan. Akibat mundurnya masuknya awal musim hujan, musim tanam padi juga menjadi mundur dan menjadikannya rentan dengan kekeringan. Hal sebaliknya terjadi pada saat La-Nina, curah hujan pada musim kemarau bisa lebih tinggi dari tahun normal dan menyebabkan lebih cepatnya masuk musim hujan sehingga petani padi bisa melakukan tanam lebih cepat dan resiko untuk terkena kekeringan lebih sedikit. Pada saat terjadinya La-Nina, lahan yang biasanya bera pada musim tanam ketiga dapat ditanami lagi dengan padi atau palawija tergantung besarnya ketersediaan air. Departemen Pertanian pada tahun La-Nina 1998 telah melakukan kegiatan peningkatan indeks penanaman dari 200% menjadi 300% di sekitar 150 ribu hektar sawah dan dinilai cukup berhasil (Boer, 2003). Walalupun begitu, La-Nina juga terkadang menyebabkan terjadinya banjir yang menyebabkan terjadinya gagal panen.

Tanaman padi yang sangat bergantung terhadap curah hujan dan sangat rentan terhadap kekeringan (Bouman et al, 2007) menyebabkan adanya hubungan antara produksi, luas panen dan produktivitas tanaman padi di Indonesia dengan fenomena ENSO. Oleh karena itu pengaruh ENSO terhadap produksi, luas panen dan produktivitas bisa diketahui dari ASLM pasifik. Selain itu menurut Roberts (2008), hubungan langsung antara ASML ini dengan data produksi akan lebih bagus digunakan oleh pengambil keputusan dalam membuat prediksi dari pada data curah hujan karena data ASML yang bisa digunakan untuk prediksi adalah data bulan Juli-September, sedangkan data curah hujan baru baik digunakan untuk prediksi adalah data curah hujan bulan Oktober-Desember.

Penelitian ini tidak membedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan karena menurut Roberts (2008), padi sawah dan padi ladang sama-sama dipengaruhi oleh fenomena ENSO walaupun alasannya berbeda. Menurutnya sawah irigasi mengalami penurunan produksi disebabkan oleh ENSO adalah karena petani menghadapi menurunnya curah hujan dari normal pada akhir musim hujan sehingga petani akhirnya meninggalkan sawah mereka atau malah menggantinya dengan tanaman selanjutnya. Sedangkan pada sawah tadah hujan disebabkan karena kekeringan yang terjadi sehingga menurunkan produktivitas. Nilai korelasi antara ASML dengan data produksi bisa dilihat pada Tabel 1. Nilai korelasi yang ditampilkan hanya data korelasi produksi dengan menggunakan metode first differences, nilai korelasi dengan menggunakan metode lain bisa dilihat pada lampiran 2-3. Data luas panen besar korelasinya juga tidak jauh berbeda dengan produksi namun untuk data produktivitas memang besar korelasinya tidak sebesar produksi dan luas panen. Penyebabnya adalah karena pada saat terjadi El-Nino produksi dan luas panen sama-sama mengalami penurunan sehingga produktivitas tidak terlalu berbeda saat terjadinya kekeringan. Hal ini sesuai juga dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Naylor (2001) di daerah Jawa. Nilai korelasi dari luas panen dan produktivitas dengan menggunakan ketiga metode bisa dilihat pada lampiran 1-9.

(23)

Tabel 1 Korelasi antara ASML Juni-Desember tahun sebelumnya dengan data produksi padi kuartal pertama (metode first differences)

Tahun Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des merupakan nilai korelasi yang nyata. Korelasi yang nyata bisa diketahui dengan melihat nilai Pearson Correlaation-nya atau nilai P-value dan nilai koefisien korelasi dari data. Data diatas menggunakan selang kepercayaan 95% sehingga baru bisa dikatakan nyata apabila nilai P-value < 0,05, sedangkan nilai koefisien korelasinya harus >0,388 atau <-0,388. Besarnya nilai korelasi yang berkisar antara 0,40-0,70 dari Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai korelasi antara ASML dengan data produksi menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara data

Korelasi antara ASML dengan produksi pada kuartal pertama menunjukkan korelasi yang negatif, yang artinya produksi pada kuartal ini mengalami penurunan jika terjadi kenaikan suhu muka laut (ASML positif) atau terjadi El-Nino. Berbeda dengan produksi pada kuartal pertama yang mempunyai korelasi negatif yang sangat kuat dengan ASML, produksi pada kuartal kedua dan ketiga mempunyai korelasi positif yang kuat dengan ASML (data korelasi bisa dilihat pada lampiran 4-9). Bisa diartikan bahwa pada tahun El-Nino produksi pada kuartal ini mengalami kenaikan. Pada kuartal kedua alasannya adalah karena musim tanam kuartal pertama mundur sehingga panen yang seharusnya terjadi pada kuartal pertama mundur pada kuartal kedua sehingga produksi pada kuartal ini lebih

besar dari tahun-tahun normal. Produksi pada kuartal ketiga juga mengalami kenaikan disebabkan karena pada tahun normal, lahan para petani dibiarkan bera tetapi karena musim tanam kedua ikut mundur menyebabkan panen pada kuartal kedua mundur pada kuartal ketiga.

4.2.Pergeseran Musim Tanam pada saat

Terjadinya El-Nino

Korelasi negatif antara ASML dengan produksi padi pada kuartal pertama menunjukkan bahwa produksi mengalami penurunan pada tahun El-Nino, namun untuk kuartal kedua dan ketiga menunjukkan korelasi positif yang artinya produksi mengalami kenaikan pada saat terjadinya El-Nino. Hal ini disebabkan terjadinya kemunduran awal musim tanam pertama sehingga pada kuartal pertama baru sedikit panen yang bisa dilakukan sehingga produksi pada kuartal pertama menurun. Panen baru banyak terjadi pada kuartal kedua sehingga produksi pada kuartal ini lebih banyak pada tahun El-Nino daripada tahun-tahun normal. Begitu pula untuk kenaikan produksi pada kuartal kutiga, juga terjadi akibat mundurnya penanaman pada kuartal kedua sehingga panen lebih banyak dilakukan pada kuartal ketiga.

(24)

Gambar 6 Persentase luas tanam pada masing-masing luas tanam di pulau Jawa pada tahun normal (2001).

Persentase diatas menunjukkan penanaman padi di Pulau Jawa lebih banyak dilakukan petani pada saat musim tanam pertama, hampir setengah dari produksi dalam setahun ada pada musim tanam pertama, yaitu 45% dari total produksi dalam satu tahun. Musim tanam kedua dan ketiga jauh lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan jika terjadi mundurnya musim tanam maka produksi untuk musim tanam kedua akan lebih banyak dari biasanya, begitupula dengan mundurnya musim tanam kedua, jumlah produksi pada musim tanam ketiga pada saat El-Nino akan lebih banyak dari pada tahun normal.

Pergeseran musim tanam tersebut bisa dilihat secara jelas dengan melihat luas tanam perbulan pada saat terjadi El-Nino dengan luas tanam perbulan rataan. Berikut adalah grafik dari besarnya luas tanam perbulan dari bulan September tahun sebelumnya sampai dengan bulan Agustus tahun berikutnya.

Gambar 7 Perbedaan antara luas tanam rataan sepuluh tahun dengan luas tanam tahun El-Nino.

Data yang ditunjukkan pada Gambar 7 adalah data jumlah luas tanam pada provinsi-provinsi yang dipengaruhi oleh ASML yang terdapat pada tabel 1. Gambar 7 menunjukkan pada saat terjadinya El-Nino, luas tanam pada musim tanam pertama, yaitu dari bulan September sampai dengan bulan November mengalami penurunan yang cukup besar namun tetap mengalami puncaknya pada bulan Desember (disebabkan karena baru masuknya musim hujan), sedangkan pada bulan Januari dan Februari mengalami kenaikan, menunjukkan terjadinya pergeseran musim tanam yang menyebabkan panen akan mengalami kemunduran juga pada musim panen kuartal kedua. Begitu pula pada musim tanam kuartal ketiga yang mengalami kenaikan dari tahun normal karena musim tanam kuartal kedua mengalami kemunduran.

Penurunan luas tanam pada musim tanam pertama adalah sebesar 40.061,02 Ha, jika dikalikan dengan rata-rata produktivitas sebesar 5 Ton/Ha, maka kehilangan produksi akan mencapai 200.305,1 Ton. Sedangkan pada musim tanam kedua mengalami kenaikan sebesar 15.480,9 Ha, maka pertambahan produksi adalah sebesar 77.404,7 Ton. Pada kuartal ketiga juga terjadi kenaikan luas tanam yaitu sebesar 3.241,42 Ha, sehingga pertambahan produksi adalah sebesar 16.207,1 Ton. Jika dihitung total perbedaan produksi dari ketiga kuartal tersebut, maka akan didapatkan perbedaan luas tanam dan produksi rata-rata 10 tahunan dengan produksi tahun El-Nino (2002-2003). Luas tanam dan produksi pada tahun El-Nino jauh lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata 10 tahunan, secara berturut-turut berkurang yaitu sebesar 21.338,65 Ha dan 106.693,3 Ton.

4.3.Prediktor Terbaik untuk Produksi

Padi di Indonesia

Pemilihan prediktor terbaik untuk produksi, luas panen dan produktivitas padi di Indonesia bisa ditentukan dengan melihat besarnya rata-rata korelasi dari masing-masing ASML perbulan dan dengan menghitung rata-rata korelasi dari semua metode serta menghitung jumlah provinsi yang terpengaruh oleh ASML pada bulan itu. Selain itu pemilihan prediktor terbaik ini juga harus memperhatikan faktor lain seperti tepat atau tidaknya prediktor itu digunakan pada waktu dibutuhkan untuk keperluan prediksi.

(25)

Gambar 8 Rata-rata Korelasi Produksi dengan ASML Juni (t-1)- Desember (t-1).

Berdasarkan Gambar 8 diatas ASML bulan Agustus (t-1) Desember (t-1) (Agustus- Desember tahun sebelumnya) mempunyai rata-rata korelasi yang besar pada setiap metode yang digunakan. Jadi ASML bulan Agustus (t-1)- Desember (t-1) sudah bisa dijadikan prediktor untuk menentukan besarnya produksi padi. Namun berdasarkan jumlah provinsi yang produksi padinya mempunyai korelasi yang nyata dengan ASML seperti yang terlihat pada Gambar 9, baru menunjukkan hasil yang baik mulai dari bulan September (t-1) sampai dengan bulan Desember (t-1). Namun dari ketiga metode jumlah provinsi yang paling banyak mempunyai korelasi yang nyata dengan ASML adalah ASML bulan September (t-1). Oleh karena itu,

Gambar 9 Jumlah provinsi yang berkorelasi nyata dengan ASML Juni (t-1)- Desember (t-1).

ASML yang lebih baik digunakan sebagai prediktor adalah ASML bulan September (t-1) atau ASML Septermber tahun sebelumnya. Selain itu dengan lebih awalnya waktu prediksi, berbagai pihak yang berkepentingan bisa lebih awal menggunakan prediksi sehingga bisa menjadi peringatan dini dan bisa mempersiapkan antisipasi jika akan terjadi peristiwa ENSO dan terjadi penurunan produksi padi pada tahun berikutnya.

Kedua grafik diatas bisa juga digunakan untuk menentukan metode yang paling baik digunakan untuk analisis tren. Gambar 8 menunjukkan bahwa rataan korelasi dari tiap-tiap bulan ASML lebih besar dengan menggunakan metode moving average dari pada metode first diffrences dan polynomial. Perbedaannya sangat terlihat pada bulan Juni-bulan Agustus tahun sebelumnya. Dari Gambar 9 juga terlihat jelas bahwa dibandingkan dengan metode first differences dan polynomial, metode moving average dari bulan Juni (t-1) menunjukkan pengaruh ENSO terhadap produksi pada provinsi-provinsi di Indonesia sudah jelas terlihat. Seterusnya sampai dengan bulan Desember (t-1) jumlah provinsi yang mempunyai korelasi yang nyata dengan ASML berjumlah lebih banyak daripada menggunakan dua metode lainnya. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa metode analisis tren lebih baik dengan menggunakan metode moving average. Oleh karena itu data anomali yang digunakan untuk pembuatan model prediksi adalah data anomali yang didapat dari metode moving average.

4.4. Prediksi Produksi Padi

Menggunakan Data ASML

(26)

Gambar 10 Peta prediksi kehilangan produksi setiap kenaikan 1°C suhu muka laut pasifik Nino 3.4 bulan September.

Prediksi diatas didapatkan dari persamaan regresi melalui hubungan antara produksi padi bulan Januari-April dengan ASML Nino 3.4 bulan September. Model Prediksi dibuat menggunakan analisis regresi linier karena terdapat hubungan yang

linier antara data ASML dengan data produksi. Hubungan linier tersebut bisa dilihat dari Gambar 11 sedangkan persamaan dari prediksi bisa dilihat pada Tabel 2.

Gambar 11 Grafik Hubungan linier antara ASML September dengan anomali produksi kuartal pertama (Provinsi Bengkulu).

Tabel 2. Persamaan regresi untuk prediksi produksi kuartal pertama

Provinsi Persamaan Regresi R2

Bengkulu ∆Y= 6791 - 26740 ∆X 0.460747

Jawa Barat ∆Y= 146203 - 592780∆X 0.455613 Jawa Tengah ∆Y= 141228 - 423139 ∆X 0.42426 D.I. Yogyakarta ∆Y= 12336 - 29018∆X 0.40959

y = 6790 -26740x. R² = 0.460

-100000 -80000 -60000 -40000 -20000 0 20000 40000 60000 80000

-1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Ano

m

a

li

P

ro

du

k

si

(T

o

n)

(27)

Provinsi Persamaan Regresi R2

Jawa Timur ∆Y= 173008 - 386877 ∆X 0.339622

Bali ∆Y= 7922 - 26006 ∆X 0.430137

Kalimantan Timur ∆Y= 14484 - 46638∆X 0.379469 Sulawesi Utara ∆Y= 11679 - 26556 ∆X 0.419833 Sulawesi Selatan ∆Y= 84654 - 221341 ∆X 0.460508

Tabel 3.

Persamaan regresi untuk prediksi produksi kuartal kedua

Provinsi Persamaan Regresi R2

Jambi ∆Y= 2578 + 17598 ∆X 0.176395

Bengkulu ∆Y= -1890 + 28588 ∆X 0.501879 Lampung ∆Y= 14271 + 33124∆X 0.151098 Jawa Tengah ∆Y= 13283 + 179627 ∆X 0.339945 Jawa Timur ∆Y= 1602 + 160095 ∆X 0.205372

Bali ∆Y= -1751 + 13204 ∆X 0.22537

Nusatenggara Barat ∆Y= -3740 + 42641 ∆X 0.158643 kalimantan tengah ∆Y= 6697 -28008∆X 0.441764

Sulawesi Utara ∆Y= 10940 -23222∆X 0.339338 Sulawesi Selatan ∆Y= 3758 + 116324∆X 0.212942

Tabel 4. Persamaan regresi untuk prediksi produksi kuartal ketiga

Provinsi Persamaan Regresi R2

Sumatera Selatan ∆Y= 11730 + 54100∆X 0.253861 Sumatera Barat ∆Y= 6358 + 37416∆X 0.256814 Lampung ∆Y= 5919 + 48822 ∆X 0.272723 Jawa Barat ∆Y= -1364 + 225636∆X 0.197158 Jawa Tengah ∆Y= -13677 + 187083 ∆X 0.345215 Jawa Timur ∆Y= -6169 + 134085 ∆X 0.34457 Nusatenggara Barat ∆Y= -757 + 14517∆X 0.211848 kalimantan tengah ∆Y= 3462 + 11718 ∆X 0.168218 Kalimantan Timur ∆Y= 2127 + 9933 ∆X 0.20295 Sulawesi Utara ∆Y= 1749 + 16703 ∆X 0.212627

Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan diatas menunjukkan besarnya persentase dari ASML September bisa menjelaskan produksi padi pada masing-masing kuartal di Indonesia. Nilai koefisien korelasi pada Tabel 2 menunjukkan keragaman produksi padi bulan Januari-April pada provinsi Bengkulu bisa dijelaskan dari ASML September sebesar 46%. Begitu pula untuk produksi dari provinsi-provinsi yang lain. Prediksi yang dihasilkan untuk produksi padi pada kuartal pertama mempunyai nilai R2 yang cukup besar, untuk hampir seluruh provinsi di

Indonesia yang mempunyai korelasi dengan ASML, yaitu >40%, sedangkan untuk produksi padi pada kuartal kedua dan ketiga seperti bisa dilihat pada tabel 3 dan 4 nilai R2 dari sebagian besar provinsi-provinsi di Indonesia tidak sebesar R2 pada kuartal pertama (sebagian besar <40%). Hal ini menunjukkan model prediksi yang dihasilkan kurang baik untuk menjelaskan keragaman produksi pada kuartal kedua dan ketiga.

(28)

dari tahun 1983-2009. Kehilangan produksi paling besar dialami oleh Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu yang mengalami kehilangan produksi berturut-turut 14,61%, 11,9%, 11,32%. Namun walaupun begitu, dalam segi jumlah kehilangan produksi lebih banyak dialami oleh provinsi Jawa barat. Walaupun persentase dari jawa barat lebih kecil yaitu sebesar 9,67%, namun karena produksi di Jawa Barat yang lebih besar dari provinsi-provinsi lain menyebabkan kehilangan produksi dari provinsi Jawa barat jauh lebih besar, yaitu sekitar 446.577 Ton. Total kehilangan produksi dari semua provinsi diatas yaitu 1.180.790 Ton.

4.5. Strategi untuk Menghindari

Penurunan Produksi dan Kenaikan Harga Beras

Penurunan produksi pada kuartal pertama atau terjadinya kemunduran waktu panen yang seharusnya terjadi pada bulan Januari-April ke bulan Mei-Agustus akan mengganggu dua dari tiga kebijakan ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan. Setelah ketersediaan pangan berkurang akibat mundurnya awal tanam, kegagalan panen dan kekeringan harga beras akan mengalami kenaikan karena kurangnya stok atau terjadinya paceklik sehingga menyebabkan pangan akan susah diakses oleh masyarakat miskin yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli kebutuhan pokok seperti beras. Harga beras di Indonesia akan mengalami kenaikan pada bulan Januari dan Februari dan akan terus meningkat sampai terjadinya panen musim tanam pertama, dan baru akan murah kembali seiring dengan berlangsungnya panen.

Di Indonesia kebijakan dalam menjaga kestabilan ketahanan pangan memang masih sangat kurang. Melalui BULOG (Badan Urusan Logistik), sebenarnya pemerintah bisa menjaga kestabilan ketahanan pangan dengan menjaga stok beras sebagai persiapan jika terjadi El-Nino sehingga tidak terjadi kenaikan harga beras. Apalagi dengan prediksi yang sudah sangat awal yaitu pada bulan September tahun sebelumnya, seharusnya Dirjen Ketahanan Pangan bisa memfasilitasi program-program bantuan pangan dan melalui kementrian pertanian membuat strategi agar pada tahun-tahun El-Nino bisa menekan besarnya impor beras

dengan mengurangi penurunan produksi pada kuartal pertama.

(29)

Prediktor terbaik dari ASML yang bisa digunakan untuk memprediksi produksi padi di Indonesia adalah ASML bulan September tahun sebelumya. Dan metode analisis tren yang lebih baik digunakan adalah metode moving average sehingga data anomaly produksi yang digunakan untuk pembuatan model prediksi adalah data anomali yang didapatkan dengan metode moving average. Prediksi yang dihasilkan untuk produksi padi pada kuartal pertama mempunyai nilai R2 yang cukup besar, untuk sebagian besar provinsi di Indonesia yaitu >40%, sedangkan untuk produksi padi pada kuartal kedua dan ketiga nilai R2 sebagian besar dari provinsi-provinsi di Indonesia tidak sebesar R2 pada kuartal pertama. Nilai R2 ini menunjukkan bahwa keragaman produksi padi di Indonesia bisa dijelaskan dengan menggunakan data ASML Nino 3.4> 40%. Prediksi produksi padi di Indonesia diharapkan bisa menjadi salah satu solusi dalam menjaga kestabilan katahanan pangan di Indonesia.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang intensitas dan lamanya kejadian El-Nino dan apakah juga langsung diikuti dengan terjadinya La-Nina sehingga bisa menghasilkan prediksi lebih baik untuk musim tanam kuartal ke-dua dan ke-tiga.

2. Penelitian selanjutnya diharapkan bisa mengumpulkan data dengan seri lebih panjang sehingga bisa dilakukan validasi.

DAFTAR PUSTAKA

BMKG. 2008. Narasi Perkiraan Musim Hujan 2009/2010 di Indonesia. http://www.bmg.go.id. [25 November 2009].

Boer R. 2001. Analisis Risiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Paper disajikan dalam Pelatihan Dosen PT Se Sumatera-Kalimantan dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan, Bogor.

Boer R. 2003. Penyimpangan Iklim di Indonesia. Disajikan dalam Seminar Nasional Ilmu Tanah dengan tema "Menggagas Strategi Alternatif dalam Menyiasati Penyimpangan Iklim serta Implikasinya pada Tataguna Lahan dan

Ketahanan Pangan Nasional", Gedung University Center Universitas Gajah Mada.

Boer R. dan Subbiah A.P. 2003. Agricultural drought in Indonesia. In Agriculture and Drought. UK: Oxford University Press.

Bowman B, Coauthors. 2007. Rice: Feeding the Billions. Water for Food, Water for Life: Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture, D.

Molden, Ed., Earthscan and

International Water Management Institute, 515-549.

Enfield D B. 2003. Frequently Asked Questions About El Niño-Southern Oscillation (ENSO). http://www.aoml. noaa.gov/general/enso_faq. [24 November 2010].

IBM. 2009. Calculating statistics and defining statistical transformers in the

Data Warehouse Center.

http://www.ibm.com./support/docview. [26 November 2010].

IRI. 1995. Historical observations and Trends. USA: International Research Institute for Climate Prediction.

Naylor R L, Falcon W P, Rochberg D, Wada N. 2001. Using El-Nino/Southern Oscillation climate data to predict rice production in Indonesia. Climatic Change, 50: 255-265.

NOAA. 2005. El-Nino Regions. http://www.cpc.noaa.gov/products/analys is_monitoring/ensostuff/nino_regions. [26 November 2010]

Rafi’i S. 1998. Meteorologi dan klimatologi. Bandung: Angkasa.

Roberts M G, Dawe D, Falcon W P, Naylor R L. 2008. El Nino-Southern Oscillation Impacts on Rice Production in Luson, the Philippines. Journal of Applied Meteorology and Climatology, American Meteorology Society, 48: 1718-1724

(30)

Peneliti Dinamika Atmosfer, 13-14 Maret 1997.

Wahab I, Antoyo dan Boer R. 2009. Farming System and Climate Related Problems at Pacitan District, East-Java.

(31)

Lampiran 1. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode first differences)

a. Korelasi produksi

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Bengkulu -0.51 -0.62 -0.66 -0.68 -0.69 -0.68 -0.65 Jawa Barat 0.00 -0.50 -0.60 -0.67 -0.68 -0.67 -0.61 Jawa Tengah 0.00 -0.46 -0.56 -0.65 -0.67 -0.67 -0.61 D.I. Yogyakarta 0.00 -0.43 -0.55 -0.64 -0.65 -0.67 -0.63 Jawa Timur 0.00 0.00 -0.49 -0.58 -0.60 -0.60 -0.54 Bali 0.00 -0.44 -0.55 -0.66 -0.67 -0.67 -0.62 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 0.00 -0.44 -0.45 -0.48 -0.49 Kalimantan Timur 0.00 -0.47 -0.57 -0.62 -0.59 -0.57 -0.56 Sulawesi Utara -0.46 -0.54 -0.61 -0.65 -0.59 -0.56 -0.55 Sulawesi Selatan 0.00 -0.50 -0.59 -0.68 -0.68 -0.69 -0.68 Sulawesi Tenggara 0.00 0.00 0.00 -0.42 0.00 -0.43 -0.45

b. Korelasi luas panen

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Bengkulu -0.51 -0.61 -0.66 -0.68 -0.67 -0.66 -0.65 Jawa Barat 0.00 -0.46 -0.57 -0.65 -0.66 -0.64 -0.58 Jawa Tengah 0.00 -0.44 -0.55 -0.64 -0.66 -0.67 -0.60 D.I. Yogyakarta 0.00 0.00 -0.48 -0.56 -0.57 -0.56 -0.51 Jawa Timur 0.00 0.00 -0.48 -0.56 -0.59 -0.59 -0.53 Bali 0.00 -0.43 -0.55 -0.65 -0.67 -0.67 -0.62 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 0.00 -0.42 -0.44 -0.48 -0.48 Kalimantan Timur 0.00 -0.49 -0.57 -0.61 -0.58 -0.56 -0.53 Sulawesi Utara -0.43 -0.52 -0.60 -0.62 -0.55 -0.51 -0.49 Sulawesi Selatan 0.00 -0.48 -0.56 -0.66 -0.66 -0.66 -0.64

c. Korelasi produktivitas

(32)

Lampiran 2. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode Polynomial)

a. Korelasi produksi

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des

Bengkulu -0.56 -0.50 -0.49 -0.51 -0.50 -0.53 -0.53 Jawa Barat -0.40 -0.46 -0.57 -0.64 -0.62 -0.63 -0.61 Jawa Tengah -0.44 -0.50 -0.61 -0.70 -0.70 -0.74 -0.73 D.I. Yogyakarta -0.40 -0.45 -0.53 -0.59 -0.62 -0.67 -0.67 Jawa Timur 0.00 -0.41 -0.55 -0.63 -0.63 -0.66 -0.67 Bali 0.00 0.00 -0.43 -0.52 -0.52 -0.54 -0.51 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 -0.41 -0.47 -0.49 -0.55 -0.59 Kalimantan Timur 0.00 0.00 -0.39 -0.43 -0.38 -0.40 0.00 Sulawesi Utara 0.00 -0.41 -0.45 -0.46 -0.40 -0.40 -0.39 Sulawesi Tengah 0.00 -0.38 -0.40 -0.40 0.00 0.00 0.00 Sulawesi Selatan -0.53 -0.56 -0.59 -0.63 -0.62 -0.65 -0.69 Sulawesi Tenggara -0.38 0.00 0.00 -0.42 -0.42 -0.48 -0.54

b. Korelasi luas panen

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Sumatera Utara 0.00 0.00 0.00 0.42 0.42 0.46 0.43 Bengkulu -0.55 -0.45 -0.45 -0.47 -0.46 -0.48 -0.50 Jawa Barat -0.50 -0.52 -0.62 -0.72 -0.72 -0.71 -0.70 Jawa Tengah -0.51 -0.52 -0.62 -0.73 -0.74 -0.76 -0.77 D.I. Yogyakarta -0.39 -0.46 -0.54 -0.60 -0.65 -0.69 -0.70 Jawa Timur -0.39 -0.40 -0.51 -0.62 -0.65 -0.66 -0.68 Bali 0.00 0.00 0.00 -0.49 -0.50 -0.49 -0.49 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 -0.44 -0.52 -0.56 -0.61 -0.67 Kalimantan Timur 0.00 0.00 -0.40 -0.44 -0.39 -0.40 0.00 Sulawesi Utara 0.00 0.00 0.00 -0.40 0.00 0.00 0.00 Sulawesi Tengah -0.41 -0.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Sulawesi Selatan -0.57 -0.61 -0.64 -0.70 -0.70 -0.71 -0.75 Sulawesi Tenggara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.42

c. Korelasi produktivitas

(33)

Lampiran 3. Korelasi antara ASML tahun sebelumnya dengan produksi, luas panen, produktivitas padi bulan Januari-April di Indonesia (Metode Moving Average)

a. Korelasi produksi

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Sumatera Barat 0.00 0.00 -0.44 -0.44 0.00 -0.45 -0.42 Jambi 0.00 0.00 0.00 -0.42 -0.47 -0.48 -0.47

Bengkulu -0.53 -0.51 -0.53 -0.56 -0.54 -0.58 -0.56 DKI Jakarta 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.42 0.00 0.00 Jawa Barat -0.47 -0.51 -0.59 -0.65 -0.65 -0.67 -0.63 Jawa Tengah -0.48 -0.52 -0.59 -0.66 -0.67 -0.72 -0.69 D.I. Yogyakarta -0.44 -0.46 -0.51 -0.55 -0.58 -0.65 -0.63 Jawa Timur 0.00 0.00 -0.50 -0.56 -0.58 -0.62 -0.60 Bali 0.00 0.00 -0.46 -0.54 -0.55 -0.56 -0.54 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 0.00 -0.44 -0.48 -0.55 -0.57 Kalimantan Timur 0.00 -0.44 -0.51 -0.56 -0.52 -0.55 -0.54 Sulawesi Utara -0.53 -0.54 -0.58 -0.62 -0.55 -0.55 -0.52 Sulawesi Tengah -0.49 -0.43 -0.43 -0.45 -0.43 0.00 0.00 Sulawesi Selatan -0.53 -0.56 -0.59 -0.64 -0.66 -0.69 -0.68 Sulawesi Tenggara 0.00 0.00 0.00 -0.41 -0.42 -0.49 -0.51

b. Korelasi luas panen

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des Sumatera Utara 0.00 0.42 0.45 0.52 0.54 0.56 0.56 Bengkulu -0.47 -0.46 -0.48 -0.50 -0.47 -0.52 -0.51 Jambi 0.00 0.00 0.00 -0.46 -0.51 -0.54 -0.52 DKI Jakarta 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.44 -0.44 0.00 Jawa Barat -0.51 -0.55 -0.63 -0.69 -0.69 -0.71 -0.67 Jawa Tengah -0.51 -0.55 -0.62 -0.69 -0.70 -0.75 -0.73 D.I. Yogyakarta 0.00 -0.44 -0.49 -0.52 -0.58 -0.63 -0.62 Jawa Timur 0.00 -0.44 -0.52 -0.58 -0.61 -0.66 -0.64 Bali 0.00 0.00 -0.47 -0.54 -0.54 -0.56 -0.54 Nusatenggara Barat 0.00 0.00 0.00 -0.46 -0.51 -0.58 -0.60 Nusatenggara Timur 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.43 Kalimantan Timur 0.00 -0.44 -0.50 -0.55 -0.50 -0.51 -0.51 Sulawesi Utara -0.46 -0.46 -0.51 -0.54 -0.48 -0.48 -0.46 Sulawesi Tengah -0.49 -0.45 -0.43 -0.46 -0.45 -0.43 0.00 Sulawesi Selatan -0.56 -0.63 -0.67 -0.72 -0.74 -0.75 -0.74

c. Korelasi produktivitas

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des

(34)

Provinsi Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des

D.I. Yogyakarta -0.43 0.00 0.00 -0.44 -0.42 -0.48 -0.46 Sulawesi Tenggara -0.64 -0.74 -0.78 -0.74 -0.72 -0.67 -0.62

Gambar

Gambar 1  Tipe Hujan Indonesia (Boer dan Subbiah, 2003) .
Gambar 3  Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El Nino (Nicholls, 1987 dalam Boer 2003)
Gambar 5  Pola Tanam Padi Petani di Indonesia (Boer, 2003).
Tabel 1  Korelasi antara ASML Juni-Desember tahun sebelumnya dengan data produksi padi kuartal pertama (metode first differences)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Logo berfungsi sebagai identitas suatu perusahaan, desain logo haruslah mudah dipahami, diingat, dan memiliki arti yang sesuai dengan konsep usaha, sedangkan

Peserta yang tidak menyerahkan karcis, tiket, boarding pass, airport tax serta tanda bukti pengeluaran lainnya dengan sangat menyesal panitia tidak dapat mengganti

Permasalahan yang terjadi pada masyarakat yaitu kurangnya informasi berita dan kesulitan dalam perhitungan zakat harta dan profesi apakah sudah mencapai nishab atau

Hasil penelitian dengan responden mahasiswa STIKes Sumbar berusia remaja akhir juga menunjukkan hasil yang hampir sama dengan peneliti yaitu didapatkan sebagian

PENURUNAN KONSENTRASI COD DAN TSS PADA LIMBAH CAIR TAHU DENGAN TEKNOLOGI KOLAM (POND) - BIOFILM MENGGUNAKAN MEDIA BIOFILTER JARING IKAN DAN BIOBALL.. Nevya

Dalam penelitian terdahulu MEH-K juga telah dikembangkan untuk menganalisis benda elastis tiga dimensi (dinamakan K-Solid ). Dalam penelitian ini dikukan penyelidikan

bahwa penyesuaian dan penataan dimaksud karena adanya perubahan nomenklatur perangkat daerah pengelola pajak daerah, dan perubahan terhadap tata cara pemungutan