• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik semen ikan ekonomis budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik semen ikan ekonomis budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK SEMEN IKAN EKONOMIS BUDIDAYA: MAS (

CYPRINUS

CARPIO

), DAN PATIN (

PANGASIUS HYPOPHTHALMUS

)

NUAH JAPET

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Karakteristik Semen Ikan Ekonomis Budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus)

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2011

Nuah Japet

(3)

RINGKASAN

Nuah Japet. C24053501. Karakteristik Semen Ikan Ekonomis Budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus). Dibimbing oleh Yunizar Ernawati dan Iis Arifiantini.

Ikan merupakan Filum terbesar dari semua vertebrata yang hidup, sekitar 30000 diantaranya merupakan jenis ikan dari total sekitar 50000 vertebrata (Mananos et al., 2008). Ikan mas dan patin merupakan jenis ikan bernilai ekonomis penting karena sudah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan kedua ikan tersebut mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya.

Penelitian mengenai spermatozoa ikan belum banyak dilakukan, sehingga informasi mengenai hal ini sangat minim, dan perlu dilakukan penelitian mengenai kajian reproduksi ikan-ikan tersebut, salah satunya adalah studi sebagai data dan karakteristik spermatozoa ikan-ikan tersebut secara morfologi dan morfometri agar informasi mengenai ikan-ikan tersebut semakin banyak dan kegiatan budidaya bisa lebih dikembangkan melalui studi aspek ini. Tujuan penelitian ini antara lain, mengkaji karakteristik spermatozoa ikan Mas dan ikan Patin, mengkaji morfologi dan morfometri spermatozoa ikan, mengkaji konsentrasi spermatozoa ikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 s/d September 2010 di Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Biologi Makro, MSP FPIK IPB, serta Laboratorium Reproduksi Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi (LIPI) Cibinong.

Hasil penelitian yang diperoleh antara lain karakteristik spermatozoa ikan mas dan patin secara umum berbeda. Volume spermatozoa ikan mas lebih banyak daripada ikan patin. Warna, konsistensi, gerakan massa dan pH memiliki nilai yang hampir sama. Morfologi dan Morfometri spermatozoa ikan mas dan patin memiliki bentuk dan ukuran yang mirip, namun ekor spermatozoa ikan mas lebih panjang. Konsentrasi pada spermatozoa ikan mas lebih besar daripada ikan patin.

Rataan diameter kepala ikan mas didapat sebesar 15,974 μ de ga si pa ga baku , μ da rataa pa ja g ekor sebesar , μm dengan simpangan baku , μ . seda gka pada ika pati , rataa dia eter kepala didapat sebesar , μ de ga si pa ga baku , μ da rataa pa ja g ekor sebesar , de ga si pa ga baku sebesar , μ . Dengan demikian dapat dilihat bahwa diameter kepala spermatozoa ikan mas dan ikan patin tidak jauh berbeda, namun panjang ekor spermatozoa ikan mas sedikit lebih panjang daripada panjang ekor ikan patin, hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa dengan ekor yang lebih panjang, pergerakan massa akan lebih sulit pada ikan mas, yang dapat menjadi salah satu faktor pembeda pada keberhasilan suatu proses pembuahan.

Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan perlakuan terhadap ikan yang akan diteliti agar didapat informasi yang lebih, terkait dengan hubungan antara aspek geografis, pakan, panjang dan berat ikan dengan karakteristik spermatozoa ikan.

(4)

KARAKTERISTIK SEMEN IKAN EKONOMIS BUDIDAYA: MAS (

CYPRINUS

CARPIO

), DAN PATIN (

PANGASIUS HYPOPHTHALMUS

)

NUAH JAPET C24053501

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Penelitian : Karakteristik Semen Ikan Ekonomis Budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Nama Mahasiswa : Nuah Japet Nomor Pokok : C24053501

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS Dr. R.Iis Arifiantini,MSi NIP 19490617 197911 2 001 NIP 19600804 198103 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyatakan kasih dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Karakteristik Semen Ikan Ekonomis Budidaya: Mas (Cyprinus carpio), dan Patin (Pangasius hypophthalmus) disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2009 s/d September 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan Mas, dan Patin adalah ikan ekonomis budidaya yang cukup digemari masyarakat, namun pada penelitian mengenai aspek morfologi dan morfometri spermatozoa belum pernah dilakukan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melihat rataan dan simpangan baku konsentrasi spermatozoa dan melihat hubungan antara morfologi dan morfometri spermatozoa dengan keberhasilan dalam proses reproduksi dan diharapkan penelitian ini memberikan manfaat yaitu memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kajian aspek tersebut.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.

Bogor, April 2011

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih, anugerah, dan penyertaan-Nya serta kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S dan Dr. R. Iis Arifiantini, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi I dan II atas bimbingan dan arahan-arahan yang telah diberikan selama berlangsungnya penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik atas segala bimbingannya selama masa studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari progam studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.

4. Ayahanda M Ginting dan Ibunda K Br Sembiring, serta adik Fifandra dan Tri Lestari atas doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis.

5. Bapak Bondan (Teknisi laboratorium URR Fakultas Kedokteran Hewan IPB) atas arahan, kerjasama, dan bantuannya selama di laboratorium.

6. Bapak Izul (Teknisi laboratorium Reproduksi Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong) atas bantuan dalam pengambilan foto dan penggunaan alat untuk keperluan penelitian ini.

7. Bapak Sukenda dan Bapak Aam (Teknisi laboratorium kolam departemen Budidaya Perairan) atas bantuannya dalam ilmu stripping.

8. Keluarga Perwira 43 atas bantuan moril kepada penulis selama ini.

9. Teman-teman di UKM PMK IPB, Komisi Pembinaan Pemuridan dan Perkantas Bogor yang telah membantu dalam kehidupan rohani penulis.

10.Mbak Widar dan staf Tata Usaha MSP lainnya atas bantuan, perhatian dan pengarahan selama penulisan skripsi.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Februari 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak M Ginting dan Ibu K Br Sembiring. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu TK Kemala Bhayangkari 5 (1992), SD Ruwabadan Jakarta (1993), SLTP Ruwabadan Jakarta (1999), SMA Negeri 57 Jakarta (2002).

Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai asisten mata kuliah agama Kristen Protestan periode 2007-2009. Penulis juga dalam kegiatan kerohanian Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (UKM PMK IPB) dalam Komisi Pembinaan Pemuridan (KPP), aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan Paskah, Natal dan Retreat Angkatan. Penulis juga menjadi Anggota Eksekutif Badan Penelitian dan Pengembangan Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (Balitbang UKM PMK IPB) periode 2008-2010. Penulis juga menjadi staf Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper) divisi kerohanian periode 2007-2008. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitian dalam acara di lingkungan Departemen.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusu skripsi ya g berjudul “Karakteristik

(9)
(10)

5.2 Saran ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kualitas Semen Segar Ikan ... 20

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Urutan pembentukan spermatozoa dan pematangan pada ikan jantan... 8

2. Aspek Morfometri Spermatozoa (Salisbury and Van Demark, 1961) ... 13

3. Skema pembuatan preparat pewarnaan williams yang dimodifikasi... 17

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Contoh perhitungan konsentrasi Spermatozoa ... 30

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alam, termasuk sektor

perikanan. Ikan merupakan bahan pangan yang berprotein tinggi, mudah dicerna

oleh tubuh dan harganya terjangkau. Ikan mas dan patin termasuk jenis-jenis

ikan ekonomis yang dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi.

Ikan merupakan Filum terbesar dari semua vertebrata yang hidup, sekitar

30000 diantaranya merupakan jenis ikan dari total sekitar 50000 vertebrata

(Mananos et al., in Cabrita et al., 2008). Ikan hidup pada hampir setiap

lingkungan akuatik di bumi, pada kisaran temperatur, salinitas, oksigen dan juga

karakteristik kimia dan fisika perairan yang luas. Lingkungan tersebut

mengakibatkan tekanan pada ikan untuk beradaptasi dan menghasilkan

keanekaragaman cara dalam melakukan reproduksi.

Ikan mas merupakan jenis ikan bernilai ekonomis penting, karena sudah

memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan telah

menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pada daerah tertentu, seperti

Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah (Suseno,

2002). Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena

memiliki harga jual yang tinggi. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian

makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin

bisa mencapai panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga Pangasidae, patin tidak

e butuhka peraira ya g e galir u tuk “ e bo gsorka “ tubuh ya. Pada

perairan yang tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendahpun sudah

memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini. Hal inilah yang menyebabkan

ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk

membudidayakannya.

Penyediaan benih yang bermutu baik dalam jumlah cukup dan kontinyu

merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan budi daya ikan konsumsi

(15)

2

spermatozoa ikan. Penelitian mengenai spermatozoa ikan belum banyak

dilakukan, sehingga informasi mengenai hal ini sangat minim, dan perlu

dilakukan penelitian mengenai kajian reproduksi ikan-ikan tersebut, salah

satunya adalah studi karakteristik spermatozoa ikan-ikan tersebut secara

morfologi dan morfometri agar informasi mengenai ikan-ikan tersebut semakin

banyak dan kegiatan budidaya bisa lebih dikembangkan melalui studi aspek ini.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk berlangsungnya proses reproduksi, selain sel telur ikan, dibutuhkan

spermatozoa yang normal dan fertil, maka studi mengenai morfologi dan

morfometri spermatozoa ikan perlu dilakukan terkait dengan usaha untuk

mempertahankan spesies tersebut di alam ataupun dengan sistem budidaya.

Salah satu permasalahan fertilisasi pada budidaya ikan air tawar antara lain

rendahnya tingkat fertilisasi dari spermatozoa di dalam air. Hal ini

mengakibatkan banyaknya sel telur yang tidak terbuahi secara sempurna

(Ginzburg, 1972). Dalam satu siklus reproduksi, ikan dapat menghasilkan sel telur

sampai jutaan per ekor, tetapi yang terbuahi hanya mencapai 5% dari total.

Kemudian permasalahan lain adalah kurangnya ketersediaan cairan spermatozoa

pada waktu pembuahan buatan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh viabilitas

dan motilitas dari spermatozoa, sehingga kemampuan spermatozoa untuk

menembus lubang mikropil pada sel telur rendah. Kemampuan spermatozoa

hidup pada kebanyakan jenis ikan air tawar secara normal setelah keluar dari

testis hanya berkisar antara 2-3 menit (Ginzburg, 1972). Pada ikan patin,

kematangan gonad ikan jantan dan betina tidak bersamaan, sehingga sering

terjadi kurang tersedianya sperma dan telur dalam saat yang sama. Volume

sperma pada ikan patin relatif sedikit. Jika induk jantan matang gonad terlebih

dahulu, maka selama menunggu kematangan gonad induk betina, sperma yang

relatif lebih sedikit dapat dikeluarkan terlebih dahulu untuk diawetkan ataupun

(16)

3

Berbagai metode telah dirancang untuk mengetahui dan mengukur

karakteristik semen pada berbagai makhluk hidup yang akan berhubungan

dengan fertilitas atau tingkat kesuburan dari suatu makhluk hidup dalam

reproduksi, antara lain :

1. Kemampuan ikan untuk menghasilkan spermatozoa. Kemampuan

tersebut biasanya ditentukan oleh volume semen atau ejakulasi

(kemampuan mengeluarkan sel spermatozoa) dan konsentrasi ataupun

kepadatan dari spermatozoa.

2. Kelangsungan hidup pada spermatozoa. Hal tersebut ditentukan dari

pengujian motilitas, rasio hidup/mati, semen dalam keadaan beku, serta

akrosom yang lengkap.

3. Persentase morfologi spermatozoa yang normal (Barth and Oko,

1989).

Parameter-parameter tersebut berhubungan satu dengan yang lain dan

dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menaksir hubungan

parameter-parameter diatas untuk menghindarkan kemungkinan kegagalan dalam

pengujian.

Studi mengenai morfologi dan morfometri sering diabaikan padahal

jumlah morfologi spermatozoa yang abnormal akan berhubungan langsung

dengan tingkat kesuburan. Oleh karena itu, studi mengenai morfologi dan

morfometri spermatozoa dapat mengindikasikan ke dalam tingkatan motilitas

dan produksi spermatozoa yang normal.

1.3.Tujuan

Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Mengkaji karakteristik semen ikan Mas dan ikan Patin.

2. Mengkaji morfologi dan morfometri spermatozoa ikan,

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan

2.1.1. Ikan Mas

Ikan mas adalah salah satu jenis ikan bernilai ekonomis penting. Ikan ini

telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Ikan

Mas berasal dari daratan Cina. Ikan mas pada umumnya (Common carp)

(Cyprinus carpio L. 1758) sudah mulai dibudidayakan dari beberapa ratus tahun

yang lalu. Untuk waktu yang cukup lama reproduksi tidak dapat terkontrol dan

berkembang biak secara spontan di kolam ataupun sungai (Billard, 1995). Karena

sifat ikan mas yang tahan terhadap lingkungan baru maka dengan cepat ikan mas

tersebar ke seluruh penjuru dunia. Penyediaan benih yang bermutu baik dalam

jumlah cukup dan kontinu merupakan faktor penting dalam upaya

pengembangan budi daya ikan konsumsi. Oleh karenanya, informasi teknologi

pengelolaan usaha pembenihan ikan mas yang mencakup ras-ras ikan mas yang

potensial, pemilihan lokasi yang tepat, pengelolaan induk yang baik, pemijahan,

penetasan telur, pendederan, pascapanen, dan analisis kelayakan ekonominya

sangatlah diperlukan (Suseno, 2002).

Secara umum, ikan mas mempunyai sifat-sifat sebagai hewan air

omnivora yang lebih condong ke sifat hewan karnivora. Dalam ilmu taksonomi

hewan, klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut.

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

SuperKelas : Pisces

Kelas : Osteichthyes

Subkelas : Actinopterygii

Ordo : Cypriniformes

(18)

5

Famili : Cyprinidae

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio L.

Tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed).

Mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil).

Bagian anterior mulut terdapat 2 pasang sungut. Secara umum, hampir seluruh

tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Sirip pada ikan mas yaitu sirip punggung

(dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal), dan sirip

ekor (caudal).

Siklus reproduksi ikan mas dimulai dari dalam gonad, yakni ovarium pada

betina dan testis pada jantan. Dari ovarium akan dihasilkan telur, dan dari testis

dihasilkan spermatozoa. Pemijahan ikan mas dapat terjadi sepanjang tahun dan

tidak tergantung pada musim. Secara alami pemijahan terjadi pada tengah

malam sampai akhir fajar (Suseno, 2002).

2.1.2. Ikan Patin

Ikan Patin (jambal) memiliki badan memanjang berwarna putih seperti

perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa

mencapai 120 cm. Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala

agak di sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut

mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.

Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil

yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak

sirip punggung teerdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat

sirip lemak yang berukuran kecil sekali. Adapun sirip ekornya membentuk cagak

dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak memiliki sisik. Sirip dubur (anal)

panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya (ventral)

memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada (pektoral) memiliki 12-13 jari-jari lunak

dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai

(19)

6

Sistematika ikan patin adalah sebagai berikut.

Filum : Chordata

Spesies : Pangasius hypophthalmus.

Ikan patin terkenal dengan sifat kanibalnya. Masa benih ataupun juvenil

merupakan masa yang rentan akan kanibal. Terjadinya kanibal mengakibatkan

sedikitnya individu yang berhasil mencapai umur memijah generasi berikutnya

(Baras et al., 2010). Ikan patin sulit memijah di kolam atau di wadah

pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman. Oleh karena itu

pemijahan ikan patin umumnya dilakukan secara buatan karena selama ini belum

ada yang berhasil memanipulasi lingkungan agar ikan patin dapat memijah

secara alami (Susanto, 2008).

2.2. Reproduksi ikan

2.2.1. Organ Reproduksi

Hafez (1987) mengatakan, bahwa organ reproduksi jantan terdiri dari

sepasang testis, vasikular semina dan saluran-saluran sperma. Ginzburg (1972)

menjelaskan, bahwa testis ikan teleostei, Liza aurata terdiri dari tubulus-tubulus

seminiferi yang dibatasi oleh lamina basal. Di dalam tubulus-tubulus tersebut

terdapat sel-sel germinal dan sel-sel sertoli, sedangkan di luar tubulus terdapat

sel-sel interstistial atau sel Leydig. Sel-sel germinal terkumpul di dalam siste-siste

semeniferi yang berbeda, yaitu: spermatosit primer, spermatosit sekunder,

spermatid pada tingkatan yang berbeda dan spermatozoa masing-masing siste

dibatasi oleh sel-sel sertoli.

Testes ikan berbentuk memanjang dalam rongga badan di bawah

(20)

7

(mesorchium) menempelkan testes ini pada rongga badan di bagian depan

gelembung renang. Biasanya testes ikan ada sepasang, dapat sama panjang dan

ada pula yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Struktur testes terdiri dari

rongga-rongga yang tidak teratur dan banyak sekali. Disekitar dinding rongga

(lumina) terdapat spermatogonia (sel indung sperma) yang nantinya akan

berkembang menjadi spermatozoa melalui proses yang disebut

sper atoge esis sebagai berikut: “per atogo ia e belah se ara itosis

berkali-kali sampai e jadi sper atosit pri er , sela jut ya de ga beberapa

kali pe belaha lagi e jadi sper atosit seku der , hasil dari pe belaha sper atosit seku der e jadi sper atids ya g a ti ya aka

bermetamorfose menjadi gamet yang dapat bergerak aktif disebut sebagai

sper atozoa , sper a. Proses eta orfose dari sper atid tersebut seri g juga disebut sebagai sper ioge esis . “e ara u u , perke ba ga ke ata ga

testes kurang lebih sejalan dengan tingkat perkembangan ovarium.

Ada dua tipe tubulus testis yang dikemukakan oleh Ginzburg (1972),

yaitu: (1) tipe spermatogonia tertutup, spermatogonia membentuk suatu

deretan panjang dan tinggi, terdapat hampir pada semua jenis ikan teleostei, (2)

tipe spermatogonia tertutup, seluruh spermatogonia tertutup oleh bagian ujung

distal tunica albuginea. Selanjutnya, Ginzburg (1972) juga menjelaskan, ada dua

tipe struktur testikular jenis ikan teleostei berdasarkan perbedaan pola

spermatogenesis, spermatologi, dan fisiologi reproduksi, yaitu : (1) tipe

spermatogonia A adalah sama dengan tipe spermatogonia tertutup, (2) tipe

spermatogonia B adalah proses akhir dari spermatogonia A dimana

tubulus-tubulus akan membelah dan membentuk kelompok siste-siste, spermatid

menempel pada sel-sel sertoli, spermatozoa yang dihasilkan mempunyai

kromatin yang lebih tinggi, panjang, dan tebal dengan lapisan tengah yang penuh

(21)

8

Gambar 1. Urutan pembentukan spermatozoa dan pematangan pada ikan jantan (Mananos et al., in Cabrita et al., 2008).

Nikolsky (1971), menguraikan tingkat perkembangan testis ikan secara

umum, yaitu :

Tingkat I : Tahap muda (immature),

individu-individu muda belum mempunyai

keinginan reproduksi dan ukuran

testis sangat kecil.

Tingkat II : Tahap istirahat (resting stage), testis

belum mulai berkembang dan

ukurannnya masih sangat kecil.

Tingkat III : Proses pemasakan (maturation),

pertambahan berat testis sangat

cepat, testis berubah dari transparan

menjadi warna pucat.

Tingkat IV : Masak (maturity), testis sudah

mencapai berat maksimum, tetapi

spermatozoa tidak bisa keluar pada

saat perutnya ditekan perlahan.

Tingkat V : Kondisi salin (spent condition),

(22)

9

lubang genitalia meradang

kemerah-merahan, gonad telah mengempis

dan testis berisi spermatozoa sisa.

Tingkat istirahat (resting stage) : Spermatozoa telah dikeluarkan,

lubang genitalia tidak

kemerah-merahan lagi dan ukuran testis

sangat kecil.

Pemilihan induk jantan yang sudah matang gonad pada masing-masing

ikan berbeda-beda. Pada ikan mas induk jantan yang dipilih adalah ikan yang

berumur lebih dari 6 bulan dan berbobot minimal 0,5 kg (Suseno, 2002). Pada

ikan patin, induk jantan yang dipilih adalah induk yang berumur setidaknya 2

tahun dan memiliki bobot 1,5 sampai 2 kilogram (Susanto, 2008).

2.2.2. Spermatozoa

Spermatozoa dihasilkan dalam tubula seminiferus (Salisbury and

VanDemark, 1961). spermatozoa ikan tergolong dalam tipe flagellata, karena

mempunyai ekor flagellata yang panjang. Spermatozoa yang sudah matang

terdiri dari kepala, leher, dan ekor flagellata. Inti spermatozoa terdapat pada

bagian kepala (Salisbury and VanDemark, 1961). Ada juga yang mempunyai

middle piece sebagai penghubung atau penyambung antara leher dan ekor. Ekor

flagellata berguna sebagai organ renang. Pada saat dikeluarkan dari alat kelamin

jantan, spermatozoa berada dalam seminal plasma. Campuran antara seminal

plasma dengan spermatozoa disebut semen. Dalam setiap tetes semen terdapat

jutaan spermatozoa. Pada testes bagian dorsal terdapat saluran pengeluaran

spermatozoa yang disebut vas deferens. Secara radial, lumina bermuara ke vas

deferens tersebut.

Sel spermatozoa secara umum terdiri atas dua bagian besar, yaitu kepala

dan ekor, tetapi ada pula yang terdiri atas tiga bagian bila bagian antara kepala

dan ekor cukup besar yang dinamakan bagian tengah. Tiap bagian berbeda-beda

(23)

10

Spermatozoa ikan teleostei memiliki struktur yang sederhana, dengan

ukuran panjang kepala 2-3 µm dan panjang total 40 sampai dengan 60 µm.

Kepala spermatozoa mengandung DNA yang berperan dalam penyimpanan dan

menerjemahkan informasi genetik yang dibawa oleh spermatozoa (Hafez, 1987).

Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai

kriteria penentu kualitas semen (Toelihere, 1981). Derajat kekeruhannya

ditentukan oleh konsentrasi spermatozoa. Semakin banyak konsentrasinya

semakin keruh warna semennya (Herrick and Self, 1962).

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa adalah

sifat-sifat fisik dan kimia bahan pengencer, suhu, cahaya, pH, tekanan osmotik,

elektrolit, nonelektrolit. Spermatozoa akan tahan hidup lama pada pH 7.0 dan

tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah dan spermatozoa lebih

mudah dipengaruhi oleh keadaan hipertonik daripada hipotonik (Toelihere,

1981). Spermatozoa ikan imotil didalam cairan plasma semennya sendiri dan

baru bergerak apabila telah bercampur dengan air. Respon rangsangan aktifitas

spermatozoa tergantung pada pH, tekanan osmotik, dan kandungan ion pada

medium yang mengelilinginya (Ernawati, 1999).

Salisbury and Vandemark (1961) menyatakan bahwa sel spermatozoa

diselubungi oleh membran lipoprotein. Apabila sel tersebut mati maka

permeabilitas selnya meningkat terutama di daerah pangkal kepala, dan hal ini

merupakan dasar pewarnaan semen yang membedakan spermatozoa yang hidup

dan mati.

Spermatozoa ikan imotil di dalam cairan plasma semennya sendiri dan

baru bergerak apabila telah bercampur dengan air. Respons rangsangan aktifitas

spermatozoa tergantung pada pH, tekanan osmotik, dan kandungan ion pada

medium yang mengelilinginya. Spermatozoa ketika berada di dalam alat

reproduksinya memiliki pH yang berkisar pada 7.0 dan suhu sekitar 6oC, dan ketika dikeluarkan sebaiknya suhu spermatozoa tetap dipertahankan dibawah

(24)

11

2.2.3. Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa merupakan sel kecil yang kompak dan sangat khas dengan

bentuk yang menyerupai kecebong serta tidak tumbuh dan membelah diri.

Pengetahuan terhadap morfologi spermatozoa diperlukan mengingat sudah

cukup banyak penelitian-penelitian yang membahas korelasi antara morfologi

dengan fertilitas pada berbagai ternak.

Menurut bentuknya, spermatozoa terbagi atas kepala dan ekor. Kepala

spermatozoa dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah akrosom anterior yang

dibungkus oleh tudung akrosom dan daerah post akrosomal posterior. Tudung

akrosom berasal dari apparatus golgi selama tahap awal spermiogenesis. Tudung

akrosom mengandung akrosin, hyaluronidase, dan enzim-enzim hidroloitik

lainnya yang terlibat pada proses fertilisasi.

Bentuk kepala oval memanjang, lebar dan datar yang terisi sepenuhnya

dengan materi yang homogen sebagai informasi genetik dari pejantan yaitu

kromosom (Barth and Oko 1989). Benang-benang kromatin terdiri dari deoxyribo

nucleic acid (DNA) kompleks dan bersifat haploid. Sel sperma yang haploid

dihasilkan dari proses meiosis yang terjadi selama proses spermatogenesis.

Ekor sperma berasal dari sentriol spermatid selama proses

spermiogenesis yang berfungsi memberikan gerak maju atau lokomosi kepada

spermatozoa dengan gelombang-gelombang yang dimulai di daerah implantasi

ekor-kepala dan berjalan ke arah belakang. Barth and Oko (1989) menyatakan

bahwa ekor sperma terbagi atas tiga bagian yaitu bagian utama (principal piece)

bagian tengah (midpiece) dan bagian ujung (endpiece).

Permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Bila

sel tersebut mati maka permeabilitas sel akan meningkat terutama di daerah

pangkal kepala. Hal ini dijadikan dasar pewarnaan sperma untuk membedakan

sperma hidup dan sperma mati berdasarkan kemampuan zat warna untuk

menembus membran sel yang rusak.

Parameter yang dianggap penting bagi spermatozoa yang akan

(25)

12

spermatozoa dan persentase morfologi sperma normal. Abnormalitas sperma

diketahui disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penyakit, stres panas dan

musim (Barth and Oko, 1989) termasuk perlakuan preservasi dan kriopreservasi

semen. Beberapa peneliti telah menyebutkan bahwa tingkat abnormalitas juga

bisa disebabkan oleh teknik pengumpulan semen dan teknik pewarnaan.

Secara umum abnormalitas spermatozoa terdiri dari abnormalitas primer

dan sekunder. Abnormalitas primer adalah segala sesuatu perubahan yang

terjadi pada saat proses spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan

abnormalitas sekunderterjadi setelah sperma meninggalkan tubuli seminiferi,

selama perjalanannya melalui epididimis, ejakulasi atau penanganan ejakulat

termasuk pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi

dengan air, urine, antiseptik dan sebagainya (Barth and Oko, 1989).

Herrick and Self (1962), mengklarifikasikan abnormalitas spermatozoa

menjadi abnormalitas primer, dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer

terjadi pada proses spermatogenesis, abnormalitas sekunder kemungkinan

terjadi pada epididimis, dan juga terjadi pada saat ejakulasi termasuk handling

semen (temperatur, pH dan tekanan osmotik).

Abnormalitas primer meliputi kepala yang terlampau besar atau

terlampau kecil, kepala pendek dan melebar, ekor ganda, ekor melingkar, putus

atau bercabang. Sedangkan abnormalitas sekunder meliputi kepala tanpa ekor,

bagian tengah yang terlipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau

distal dan selubung akrosom yang terlepas (Hafez, 1987).

Pengamatan morfologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara

manual maupun menggunakan teknologi mutakhir. Cara manual dapat dilakukan

dengan menggunakan teknik pewarnaan dan pengamatan dilakukan dengan

mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras. Sedangkan metode mutakhir

yang dapat digunakan adalah Timen-Exposure Photomicrography (TEP), Multiple

Exposure Photomycrography (MEP), Microcinematography (Cine),

(26)

13

2.2.4. Morfometri Spermatozoa

Morfometri spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

teknik fiksasi, teknik pewarnaan, handling semen, kualitas mikroskop dan

ketrampilan personal (Toelihere, 1981). Pengamatan morfometri spermatozoa

dapat dilakukan dengan menggunakan metode manual yaitu dengan teknik

fiksasi dan pewarnaan, sedangkan pengamatan dilakukan di bawah mikroskop

cahaya atau mikroskop fase kontras yang dilengkapi dengan micrometer. Adapun

metode terbaru untuk mengamati morfometri spermatozoa adalah dengan

metode Automated Sperm Morphometry Analysis (ASMA), dengan menggunakan

sistem ini akan memberikan hasil yang akurat dan lebih mudah (Cabrita et al,.

2008). Akan tetapi metode ini sangat mahal dan belum dapat diaplikasikan di

Indonesia.

Gambar 2. Morfometri spermatozoa: a. panjang kepala; b. lebar kepala; c. areal kepala; d. ekor bagian tengah; e. ekor bagian utama.(Salisbury and

Van Demark, 1961).

Ukuran dan bentuk spermatozoa berbeda pada setiap jenis hewan,

namun memiliki struktur morfologis hampir sama. Panjang dan lebar

spermatozoa sapi, domba dan babi berkisar antara 8.0-10 µm x 4.0-4.5 µm, tebal

kepala berkisar 0.5-1.5 µm pada semua jenis. Bagian tengah sperma mempunyai

panjang 1.5-2 kali panjang kepala dengan panjang spermatozoa 35-45 µm.

Panjang keseluruhan spermatozoa pada hewan peliharaan mencapai 50-70 µm

(27)

14

2.2.5. Teknik Pewarnaan

Pewarnaan spermatozoa berfungsi untuk membantu proses pengamatan

morfologi dan morfometri spermatozoa. Berbagai metode pewarnaan dapat

dilakukan di lapangan. Laboratorium rujukan Departemen Klinik Divisi

Reproduksi, Kebidanan Dan Kesehatan Ambing Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Pertanian Swedia merekomendasikan penggunaan metode

pewarnaan Williams karena sediaan pengamatan hanya perlu dibuat preparat

ulas dan difiksasi di udara sedangkan pewarnaan dan pengamatan dapat

dilakukan di laboratorium. Metode lain yang direkomendasikan adalah fiksasi

spermatozoa dalam larutan formol-saline. Hal yang perlu diperhatikan dalam

fiksasi formol-saline adalah senyawa formic acid yang terbentuk akibat terlalu

lama disimpan sehingga akan merusak sel sehingga pengamatan morfometri

sebaiknya dilakukan sebelum enam bulan sejak sampel diambil (Arifiantini,

2006). Formol-saline direkomendasikan sebagai media fiksasi spermatozoa yang

baik karena memiliki kelebihan, antara lain: murah, pembuatannya mudah,

memfiksasi lemak dengan baik, daya penetrasi yang baik dan tidak menyebabkan

jaringan menjadi kering (Arifiantini, 2006).

Menurut Arifiantini (2006), pewarnaan dengan metode Williams

merupakan serangkaian proses pewarnaan dengan zat warna dasar basic fuchsin

dan eosin, basic fuchsin merupakan zat warna yang termasuk dalam golongan

(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Sampel diambil dari tiga ekor ikan mas jantan yang berasal dari empang

di sekitar Kampus, dan tiga ekor ikan patin jantan yang berasal dari kolam

penelitian jurusan Budidaya Perairan (BDP) dengan kondisi sudah matang gonad,

tanpa perlakuan, dan siap untuk memijah. Penelitian pendahuluan dan penelitian

utama dilakukan kurang lebih 1 tahun (September 2009 sampai september

2010). Pengamatan motilitas spermatozoa dan evaluasi langsung dilakukan di

lapang dan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Unit

Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Biologi

Makro Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Reproduksi Bidang

Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Cibinong.

3.2. Alat dan Bahan

Alat Bahan

Bunsen sampel semen segar

mikropipet 0,5-1,0 µl larutan pewarna Williams tabung epphendorf 2 ml larutan formol saline

kamar hitung Neubauer tissue

Outerslide box alkohol absolut

Counter larutan chloramin 0,5%

pH indikator paper larutan sodium sitrat 0,3%

Stopwatch distilled water

mikroskop cahaya alkohol 96%

mikroskop compound Nikon Optihot 2 kertas label perangkat lunak CorelDraw X4

gelas objek

wadah penampung sperma

Syringe 5 ml

(29)

16

3.3. Penelitian Pendahuluan

Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penelitian

pendahuluan. Hal tersebut dilakukan karena belum ada metode yang ditemukan

untuk menentukan pewarnaan yang tepat pada spermatozoa ikan yang diteliti.

Pada mulanya, dilakukan pewarnaan spermatozoa dengan pewarnaan Williams

sesuai dengan standar pada pewarnaan spermatozoa hewan mamalia. Karena

spermatozoa tidak terlihat, maka dilakukan percobaan dengan pewarnaan eosin

dan juga nigrosin. Namun sampel spermatozoa juga tidak terlihat. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Tuset et al., (2008) pada ikan trout (Onchorynchus

mykiss), perlu dilakukan pengenceran dengan sodium sitrat dan sentrifugasi,

sehingga spermatozoa menjadi cukup jelas terlihat setelah kedua metode

tersebut dikolaborasikan. Langkah-langkah pewarnaan spermatozoa ikan dengan

pewarnaan Williams yang dimodifikasi berdasarkan penelitian pendahuluan,

antara lain :

1. Spermatozoa segar yang diambil dari ikan diencerkan dengan larutan

sodium sitrat 3% dengan perbandingan 1:100 dan dimasukkan ke

dalam tabung epphendorf 2 ml.

2. Sampel spermatozoa disentrifuse dengan kecepatan 300 g atau 1750

rpm selama 1 menit, lalu dibuat preparat ulas.

3. Preparat ulas difiksasi dari semen segar yang dikoleksi dari lapang

dengan bunsen.

4. Cuci dalam alkohol absolut selama 4 menit. Biarkan sampai kering.

5. Masukkan kedalam larutan 0.5% chloramin selama 1-2 menit, sambil

diangkat dan dimasukkan kembali berkali-kali dengan tujuan

menghilangkan mukus dan ulasan terlihat jernih.

6. Cuci dalam distilled water selanjutnya masukkan ke dalam alkohol 95%.

(30)

17

Gambar 3. Skema pembuatan preparat pewarnaan williams yang dimodifikasi. Pengenceran dengan larutan NaCO3 3%

Perbandingan 1 : 100

Masukkan ke dalam epphendorf 2 ml

Fiksasi dengan bunsen

Cuci dalam Alkohol Absolut selama 4

Masukkan kedalam larutan chloramin 0,5%

Selama 1-2 menit

Cuci dalam distilled water Sentrifuse 1750 rpm selama 1 menit

(31)

18

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan sampel spermatozoa

segar yang langsung dilakukan di lokasi penangkapan ikan dengan cara

memfiksasi preparat ulas dari semen segar yang dikoleksi dari lapang dan

pewarnaan dilakukan di laboratorium. Penampungan dan evaluasi semen

dilakukan secara kontinyu, dengan cara pengambilan sampel ikan ke kolam

sebanyak tiga kali. Setiap pengambilan sampel ikan, pada masing-masing ikan

dilakukan tiga kali pengambilan sperma. Beberapa ml masing-masing

spermatozoa diambil dari tiap ikan lalu dimasukkan ke tabung epphendorf. Dari

setiap tabung epphendorf dijadikan tiga preparat pengamatan. Semen yang

dikoleksi kemudian dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis untuk dilihat

morfologi dan morfometrinya. Evaluasi makroskopis meliputi volume, warna,

dan konsistensi, sedangkan mikroskopis terdiri dari gerakan massa, motilitas dan

konsentrasi spermatozoa (Sorenson, 1979 in Arifiantini, 2006).

3.4. Parameter Pengamatan

Parameter-parameter yang diamati pada penelitian ini antara lain

Morfologi dan Morfometri spermatozoa pada masing-masing ikan (mas dan

patin), dan konsentrasi spermatozoa.

3.5. Analisis Data

Pengamatan morfologi spermatozoa dilakukan dengan menghitung

jumlah spermatozoa baik pada kepala maupun ekor. Pengamatan dilakukan pada

100 sel spermatozoa masing-masing preparat menggunakan mikroskop cahaya

pada perbesaran 100x. Pengamatan kualitas semen segar, morfologi dan

morfometri spermatozoa dilakukan dengan tiga kali ulangan. Pengamatan

Morfometri semen dilakukan dengan melihat diameter kepala sperma, dan

panjang ekor sperma. Hasil yang didapat pada mikrometer dikonversikan ke

(32)

19

secara deskriptif dengan melihat rataan dan simpangan baku konsentrasi

spermatozoa dan melihat hubungan antara morfologi dan morfometri

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Semen Segar

Hasil evaluasi semen segar merupakan pemeriksaan awal semen yang

dijadikan dasar untuk menentukan kelayakan semen yang akan diproses lebih

lanjut (Ginzburg, 1972). Volume ejakulat pada hewan ternak dipengaruhi oleh

breeding, ukuran badan, tingkatan umur, frekuensi, metode penampungan dan

kondisi lingkungan (Toelihere, 1981). Sedangkan pada ikan, volume ejakulat

dipengaruhi oleh umur, bobot, frekuensi dan kondisi lingkungan (Billard, 1995).

Tabel 1. Kualitas semen segar ikan.

Karakteristik Jenis Ikan

Mas Patin

Makroskopis

Volume (ml) 1,27 ± 0,47 1,23 ± 0,21

Warna Putih susu Krem-putih susu

Konsistensi Sedang Sedang-kental

Keterangan : Gerakan massa diambil berdasarkan nilai tingkat kekentalan sperma

+ = 1 ; ++ = 2 ; +++ = 3

Jumlah sampel pada masing-masing jenis ikan adalah tiga ekor. Pada hasil

penelitian didapatkan volume spermatozoa ikan mas 1,27 ± 0,47 ml sedangkan

pada ikan patin 1,23 ± 0,21 ml. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa

volume spermatozoa kedua ikan tersebut hampir sama pada penelitian ini.

Volume spermatozoa dapat dikaitkan dengan sex ratio pada ikan. Sex ratio

adalah seberapa banyak perbandingan spermatozoa antara induk jantan dengan

(34)

21

Perbedaan volume semen juga dapat mengindikasikan sex ratio yang dibutuhkan

pada ikan jantan dan betina. Salah satu faktor berhasil tidaknya suatu proses

pembuahan bergantung pada perbandingan spermatozoa dengan sel telur.

Warna semen ikan mas adalah putih susu (Tabel 1) dan warna semen ikan

patin adalah krem-putih susu. Warna krem pada semen mamalia disebabkan

oleh pengaruh riboflavin yang disekresikan oleh kelenjar vesikularis dan

dibawakan oleh suatu gen autosomal resesif dan tidak mempunyai pengaruh

terhadap fertilitas (Toelihere, 1981), pada semen ikan patin ditemukan warna

krem, namun itu bukan merupakan akibat adanya riboflavin, karena riboflavin

hanya ditemukan pada spermatozoa mamalia. Warna krem diduga disebabkan

karena adanya pencampuran dengan feses atau lendir yang keluar dari kulit ikan

pada saat pengambilan sperma. Konsistensi semen yang didapatkan berkisar

sedang pada ikan mas, dan kental ke sedang pada ikan patin.

Tebal tipisnya nilai gerakan massa sperma dilihat dari seberapa banyak

spermatozoa yang terlihat pada mikroskop yang diamati pada 7 sampai 10

lapang pandang, dengan menilai gerakan spermatozoa apakah bergerak secara

individu atau secara kelompok yang padat. Menurut Toelihere (1981) Nilai

gerakan massa +++ adalah sangat baik, terlihat gelombang besar, banyak, gelap,

tebal, dan aktif bagaikan gumpalan awan hitam dekat waktu hujan yang bergerak

cepat berpindah-pindah tempat. Nilai ++ adalah jika terlihat

gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban. Nilai + adalah

jika tidak terlihat gelombang melainkan hanya gerakan-gerakan individual aktif

progresif, dan nilai - adalah jika hanya sedikit atau tidak ada gerakan-gerakan

individual. Penilaian gerakan massa pada pemeriksaan makroskopis gerakan

massa diperoleh rataan sebesar 2,67 (++/+++) pada ikan mas dan 3 (+++) pada

ikan patin yang mengindikasikan sperma ikan patin lebih bergerak aktif (rough)

dibandingkan sperma ikan mas. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa dengan

gerakan massa yang lebih aktif, maka spermatozoa pada ikan patin mempunyai

daya gerak yang lebih aktif dan dapat memaksimalkan pergerakan untuk proses

(35)

22

Persentase spermatozoa yang motil progresif merupakan parameter

kuantitas spermatozoa sebagai ukuran kesanggupan membuahi sel telur. Dari

hasil penelitian diperoleh sperma motil ikan mas sebesar 75 ± 5 %, dan 78,33 ±

2,89 % pada ikan patin, data tersebut menunjukkan persentase kesanggupan

sperma ikan patin dalam membuahi sel telur lebih besar pada penelitian ini.

Penilaian konsentrasi atau jumlah spermatozoa per mililiter semen

menggambarkan sifat-sifat semen dan digunakan sebagai kriteria penentuan

kuantitas semen. Perbedaan volume semen bergantung kepada keadaan gonad

individu ikan. Pada penelitian ini tidak dilakukan pembedahan pada gonad ikan,

sehingga diduga ikan yang diteliti berada pada tingkat kematangan gonad 3 atau

4, hal ini dikarenakan pada tingkat 1 atau 2, jika dilakukan stripping pada ikan

sperma akan keluar namun kemungkinan sedikit ataupun keluar bersamaan

dengan darah.

Nilai pH pada pengamatan berada pada kisaran antara 7,23 pada

spermatozoa ikan mas dan 7,5 pada ikan patin sedangkan pada ikan hake

(Merluccius merluccius), yaitu 7,6 ± 0,1 (Groison et al., 2010). Nilai tersebut

masuk ke dalam kisaran pH netral. Pada hasil penelitian diperoleh konsentrasi

spermatozoa ikan mas sebesar 11,08 ± 2,16 x 109 ml-1 dan konsentrasi spermatozoa ikan patin sebesar 5,53 ± 3,57 x 109 ml-1 sebagai pembanding, konsentrasi spermatozoa pada ikan cod Atlantik Gadus morhua adalah 3,92 ±

0,74 sampai 29,07 ± 11,76 x 109 spermatozoa ml-1 (Rakitin et al., 1999) dan pada penelitian yang dilakukan Tvedt et al,. (2000) konsentrasi spermatozoa pada ikan

Hippoglossus hippoglossus berkisar antara 200 x 109 sampai 600 x 109 spermatozoa ml-1. Konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh kematangan seksual ikan jantan, kualitas pakan, kesehatan reproduksi, besar testis, umur,

musim dan perbedaan geografis (Salisbury and Van Demark, 1961). Pada usaha

pembiakan ikan maupun alam bebas, faktor biotik dan non abiotik

mempengaruhi kualitas sperma dan bergantung pada interaksi genetik, fisiologi

(36)

23

4.2. Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa pada hewan mempunyai pola dasar yang sama, namun

secara morfologi terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi

karakteristik bentuk sperma pada masing-masing spesies. morfologi

spermatozoa memiliki korelasi dengan fertilitas sehingga keberadaan

spermatozoa abnormal akan berpengaruh terhadap kemampuan jantan untuk

membuahi betina. studi terhadap karakteristik morfologi spermatozoa sebaiknya

diikuti oleh kajian histologi pada organ kelamin jantan, khususnya testis (Barth

and Oko, 1989).

Morfologi spermatozoa ikan mas dan ikan patin diambil dari preparat

yang telah diwarnai dengan pewarnaan Williams dan pengolahan gambar

dengan menggunakan perangkat lunak CorelDraw X4 dan dengan skala yang

telah dikalibrasikan dengan lensa mikroskop pada perbesaran 100x.

(a) (b)

Gambar 4. Morfologi spermatozoa ikan patin (a) dan mas (b).

Gambar diatas menggunakan perbesaran 100x pada mikroskop, dapat

dibandingkan dengan ikan patin, bentuk kepala spermatozoa ikan mas

cenderung lebih bulat, dan ekor yang lebih panjang. Struktur sperma ikan pada

umumnya terdiri dari kepala dan ekor sperma. Kepala sperma berbentuk

cenderung ellips. Ekor sperma terdiri atas midpiece, principal piece, dan

endpiece. Pada kepala sperma terkandung DNA yang membawa sifat genetik dari

(37)

24

yang dihasilkan pada induk betina. Sedangkan pada ekor sperma (midpiece)

terdapat sisa-sisa sitoplasma dan mitochondria yang cukup untuk menggerakkan

ekor sperma. Setelah proses spermatogenesis selesai, sperma akan tersimpan

dalam testis. Pada wilayah temperate, spermatogenesis akan sempurna pada

akhir musim panas dan pemijahan terjadi pada musim semi tahun berikutnya,

namun pada wilayah tropis, pemijahan pada ikan bisa berjalan sepanjang tahun

sesuai siklus hidupnya (Billard, 1995).

Umumnya kepala sperma pada gambar berbentuk nyaris bulat

sempurna, dengan ekor yang tidak menggulung kondisi tersebut dapat dikatakan

normal. Namun jika dibandingkan dengan pustaka yang didapat, panjang ekor

sperma tersebut tidak sempurna atau tidak sesuai dengan panjang pada pustaka.

Hal ini diduga karena putusnya sebagian ekor sperma yang disebabkan oleh

proses sentrifugasi yang bertujuan untuk memisahkan fase padatan dan cairan,

karena melalui penelitian pendahuluan, jika tanpa proses sentrifugasi maka

spermatozoa menyebar terlalu soliter sehingga ketika proses pewarnaan, hanya

sedikit sampel individu yang didapatkan. Pada penelitian ini, memakai metoda

Williams yang dimodifikasi dengan proses sentrifugasi pada sampel yang siap

untuk diwarnai, hal tersebut dilakukan karena pada pewarnaan sebelumnya,

spermatozoa ikan yang sudah diwarnai tidak kelihatan secara jelas, maka perlu

pengendapan spermatozoa. Namun hasil yang didapat pada gambar adalah

spermatozoa yang ekornya terputus pada bagian midpiece (bagian ekor tengah)

sampai ke bagian ekor utama (endpiece).

4.3. Morfometri Spermatozoa

Morfologi spermatozoa ikan diambil berdasarkan panjang diameter

kepala dan panjang ekor pada setiap sel spermatozoa dan dirata-ratakan. Sampel

preparat diambil 46-100 sel tergantung kepadatan pada setiap ulasan.

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan

(38)

25

Tabel 2. Morfometri spermatozoa ikan Mas dan Patin.

Preparat

ekor sebesar 74,01 dengan simpangan baku sebesar 7,42 μ . Dengan demikian

dapat dilihat bahwa diameter kepala spermatozoa ikan mas dan ikan patin tidak

jauh berbeda, namun panjang ekor spermatozoa ikan mas sedikit lebih panjang

daripada panjang ekor ikan patin, hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa

dengan ekor yang lebih panjang, pergerakan massa akan lebih sulit pada ikan

mas, yang dapat menjadi salah satu faktor pembeda pada keberhasilan suatu

proses pembuahan.

4.4. Aplikasi Pengelolaan

Pada ikan mas yang breedingnya secara relatif sinkron atau bersamaan,

maka pada pengelolaan pada perikanan yang bisa diaplikasikan dari penelitian ini

adalah data pada kualitas semen ikan bisa menjadi dasar untuk penentuan sex

ratio antara spermatozoa dengan sel telur untuk bisa menghasilkan bibit yang

optimal ke depannya. Sedangkan pada ikan patin yang breeding antara jantan

dan betina secara tidak bersamaan (Ernawati, 1999) sehingga diperlukan

(39)

26

buatan, maka data kualitas semen segar ini bisa menjadi dasar untuk proses

cryopreservasi dan menghasilkan bibit yang optimal dan nantinya untuk produksi

sektor perikanan melalui biologi reproduksi pada kedua ikan tersebut di masa

(40)

V. Simpulan dan Saran

5.1. Simpulan

Karakteristik spermatozoa ikan mas dan patin secara umum berbeda.

Volume spermatozoa ikan mas lebih banyak daripada ikan patin. Warna,

konsistensi, gerakan massa dan pH memiliki nilai yang hampir sama. Morfologi

dan Morfometri spermatozoa ikan mas dan patin memiliki bentuk dan ukuran

yang mirip, namun ekor spermatozoa ikan mas lebih panjang. Konsentrasi pada

spermatozoa ikan mas lebih besar daripada ikan patin. Secara keseluruhan, hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk mengetahui karakteristik

spermatozoa ikan secara khusus pada ikan mas dan patin, dan secara umum

sebagai pengelolaan lanjutan dalam produksi benih ikan.

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan perlakuan terhadap ikan

yang akan diteliti agar didapat informasi yang lebih, yaitu dengan pemeliharaan

terlebih dahulu untuk mendapatkan homogenitas ikan yang diteliti terkait

dengan hubungan antara aspek geografis, pakan, panjang dan berat ikan dengan

karakteristik spermatozoa ikan. Selain itu, juga dilakukan penelitian terhadap

spesies ikan lain agar didapatkan data mengenai spermatozoa ikan yang lebih

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Arifiantini RI, Wresdiyati T, dan Retnani EF. 2006. Pengujian Morfologi Spermatozoa Sapi Bali (Bos sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Willia s . Jur al Pe ge bangan Peternakan Tropis (JPPT). 31(2). 105-110.

Baras E, Slembrouck J, Cochet C, Caruso D, and Legendre M. 2010. Morphological Factors behind the Early Mortality of Cultured Larvae of the Asian Catfish,

Pangasionodon hypophthalmus. Aquaculture 298. 211-219.

Barth AD and Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa State University Press. Ames. Iowa.

Billard R. 1995. Biology of sperm and artificial reproduction in carp. Aquaculture 129; 112.

Cabrita E, Robles V, and Herraez P. 2008. Methods in Reproductive Aquaculture Marine and Freshwater Species. CRC Press. Boca Raton. New York.

Ernawati Y. 1999. Efisiensi Implantasi Analog LH-RH da 17α-Metil Testosteron serta Pembekuan Semen dalam upaya Peningkatan Produksi Benih Ikan Jambal Siam (Pangasius hypophthalmus). Disertasi. Program Pascasarjana. IPB.

Ginzburg. 1972. Fertilization in fishes and the problem of Polyspermy. Academy of Sciences of the USSR. Institute of Development Biology. Israel Program for Scientific Translations. Jerusalem.

Groison A L. 2010. Sperm Motility in European Hake, Merluccius merluccius, and Characterization of its Spermatozoa Concentration and Volume, Spermatocrit, Osmolality and pH. Aquaculture 301; 31–36.

Hafez E S E. 1987. Reproduction in farm Animals 5th edition. Lea & Febriger. Philadelphia. USA.

Herrick J B and Self H L. 1962. Evaluation of Fertility in the Bull and Boar. Iowa State University Press. Ames. Iowa. USA.

Nikolsky. 1963. The Ecology of Fishes. London. Academic Press.

Rakitin A, Ferguson M, and Trippel E. 1998. Spermatocrit and Spermatozoa Density in Atlantic cod (Gadus morhua): Correlation and Variation during the Spawning Season. Aquaculture 190. 349-358

Rurangwa E, Kime D E, Ollevier F, and Nash JP. 2004. The Measurement of Sperm Motility and Factors Affecting Sperm Quality in Cultured Fish. Aquaculture 234. 1-28.

(42)

29

Susanto H. 2008. Budi Daya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suseno D. 2002. Pengelolaan usaha Pembenihan Ikan Mas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Toelihere M R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

Tuset V M, Dietrich G J, Wojtczak M, Slowinska M, de Monserrat J, and Ciereszko A. 2008. Comparison of Three Staining Techniques for the Morphometric Study of Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) Spermatozoa. Theriogenology 69.

(43)

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Rumus perhitungan kepadatan spermatozoa:

Pada setiap ikan, diambil; n = 2 lapang pandang pada chamber dijumlahkan lalu dirata-ratakan

Kepadatan = n (di lapang pandang) x 25 x 106 (individu)

Pengulangan yang terjadi :

Ikan Patin P 1 :

U1 = 194+130= 324/2 =162 x 25 x 10^6= 4050 x 10^6

U2 = 76+138= 214/2 =107 x 25 x 10^6= 2675 x 10^6

U3 = 73+174= 247/2 =123,5 x 25 x 10^6= 3087,5 x 10^6

P1=((4050+2675+3087,5)/3) x 10^6)= 3270,8333 x 10^6 P2 :

U1 = 278+462= 740/2 =370*25*10^6= 9250 x 10^6

U2 = 231+567= 798/2 =399 x 25 x 10^6= 9975 x 10^6

U3 = 325+452= 777/2 =388,5 x 25 x 10^6= 9712,5 x 10^6

P2=((9250+9975+9712,5)/3) x 10^6)= 9645,8333 x 10^6 P3 :

U1 = 146+133= 279/2 = 139,5 x 25 x 10^6= 3487,5 x 10^6

U2 = 116+192= 308/2 = 154 x 25 x 10^6= 3850 x 10^6

U3 = 136+159= 295/2 = 147,5 x 25 x 10^6= 3687,5 x 10^6

(44)

31

U1=589+540=1129/2=564,5 x 25 x 10^6=14112,5 x 10^6

U2=624+391=1015/2=507,5 x 25 x 10^6=12687,5 x 10^6

U3=393+643=1036/2=518 x 25 x 10^6=12950 x 10^6

M1=((14112,5+12687,5+12950)/3) x 10^6=13250 x 10^6

M2

U1=553+360=913/2=456,5 x 25 x 10^6=11,412 x 10^6

U2=318+501=819/2=409,5 x 25 x 10^6=10,2375 x 10^6

U3=514+409=923/2=461,5 x 25 x 10^6=11,5375 x 10^6

M2=((11,412+10,2375+11,5375)/3) x 10^6= 11062,33 x 10^6

M3

U1=362+428=790/2= 395 x 25 x 10^6=9875 x 10^6

U2=351+277=628/2=314 x 25 x 10^6=7850 x 10^6

U3=331+396=727/2=363,5 x 25 x 10^6=9087 x 10^6

(45)

32

x 10^6 = 11083 x 10^6

1

2

x x f

N  

2 2 2

) 11083 8937

( ) 11083 11062

( ) 11083 13250

( 3

1

(46)

33

Lampiran 2. Sampel morfologi ikan mas dan patin

1.

1. Ikan Mas

Gambar

Gambar 1. Urutan pembentukan spermatozoa dan pematangan pada ikan jantan
Gambar 2. Morfometri spermatozoa: a. panjang kepala; b. lebar kepala; c. areal kepala; d
Gambar 3. Skema pembuatan preparat pewarnaan williams yang dimodifikasi.
Tabel 1. Kualitas semen segar ikan.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pekanbaru, 18

d.b (N-1)=(26-1)=25 adalah 2.060, sehinggah Ho dalam penelitian ditolak dan Ha diterima artinya terdapat pengaruh permainan kid’s athletic lari gawang terhadap efektifitas

The total project cost includes the construction cost (for building and site work), plus amounts for architect's fees, furniture and equipment, communications, contingency,

Adapun faktor ancaman tersebut meliputi jumlah pesaing, perkembangan fasilitas kesehatan yang dimiliki pesaing, Regulasi/aturan yang membatasi dokter untuk

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, orang yang sabar akan mampu menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka yang melanda Indonesia telah

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Munif (1997) yang menyatakan bahwa Bti Cair SH-14 pada dosis terendah (208g/m 2 ) mampu membunuh larva sampai dengan satu

Maka sudah saatnya kita mengembangkan kurikulum sejarah yang memperhatikan kondisi-kondisi mutakhir negeri ini, baik dari segi sosio kultural, kebijakan

Data pri- mer meliputi karateristik sosial ekonomi kelu- arga (tingkat pendidikan orangtua, pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi ibu), karakteris- tik anak, status gizi