• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal, 1997) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal, 1997) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (

Scylla serrata

Forskal, 1775) DI PERAIRAN KARANGSONG, KABUPATEN

INDRAMAYU, PROVINSI JAWA BARAT

IQRA PUTRA SANUR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

(4)

ABSTRAK

IQRA PUTRA SANUR. Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SULISTIONO dan YONVITNER.

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu hasil tangkapan dominan di perairan Karangsong menggunakan alat tangkap bubu. Tingginya aktivitas penangkapan secara terus-menerus memungkinkan penurunan jumlah populasi kepiting bakau, oleh sebab itu perlu pengelolaan sumberdaya yang tepat dan berkelanjutan. Analisis masalah penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-September 2013. Pengambilan contoh kepiting bakau dilakukan di Perairan Karangsong setiap 1 bulan sekali. Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau jantan berkisar antara 60-138 mm, sedangkan betina antara 74-139 mm. Pola pertumbuhan kepiting bakau di perairan Karangsong bersifat allometrik negatif.

Melalui analisis pendugaan parameter pertumbuhan, didapatkan nilai K = −l n ( ), L∞ = , dan t0 pada kepiting bakau jantan dan betina sebagai

berikut, K sebesar 0.39 dan 0.42 per bulan, L∞ sebesar 157.35 dan 147.99 mm, dengan t0 -0.26 dan -0.24 bulan.

Kata kunci: Kepiting bakau (Scylla serrata), Perairan Karangsong, Indramayu, Parameter Pertumbuhan

ABSTRACT

IQRA PUTRA SANUR. Study on Mud Crab Growth Aspect (Scylla serrata) in Karangsong water, Indramayu, Province of West Java. Supervised by SULISTIONO and YONVITNER.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

STUDI PERTUMBUHAN KEPITING BAKAU (

Scylla serrata

Forskal, 1775) DI PERAIRAN KARANGSONG, KABUPATEN

INDRAMAYU, PROVINSI JAWA BARAT

IQRA PUTRA SANUR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal, 1997) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

Nama : Iqra Putra Sanur

NIM : C24090058

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Sulistiono, MSc Pembimbing I

Dr Yonvitner, SPi MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema tentang pertumbuhan dengan judul Studi Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal,1997) di Perairan Karangsong ini dilaksanakan sejak bulan Juni-September 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Sulistiono, M.Sc dan Bapak Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Sappe Mangiriang, Ibunda Nurmiati Tappa, adinda Ilham Putra Sanur, Imran Putra Sanur dan Sri Ratnaningsih. Keluarga angkatan XI Smudama atas segala doa dan persahabatannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak ibu dosen dan staf pengajar MSP yang telah memberi bimbingan dan bantuan selama perkuliahan hingga penulisan skripsi serta teman-teman seperjuangan Selvia dan Nolalia dan teman-teman MSP 46.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian... 2

METODE ... 3

Waktu dan Tempat ... 3

Pengumpulan Data ... 3

Analisis Data ... 4

Proporsi kelamin ... 4

Hubungan lebar karapas dan bobot... 4

Faktor kondisi ... 5

Kelompok ukuran ... 5

Parameter pertumbuhan ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

Hasil... 7

Proporsi Kelamin ... 7

Sebaran lebar karapas ... 7

Faktor Kondisi ... 8

Hubungan lebar dan bobot ... 9

Kelompok Ukuran ... 10

Parameter pertumbuhan ... 12

Pembahasan ... 13

Indikasi Pengelolaan... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 17

Simpulan ... 17

Saran ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

(11)

DAFTAR TABEL

1 Proporsi kelamin kepiting bakau (S. serrata) jantan dan betina ... 7

2 Parameter pertumbuhan kepiting bakau ... 12

3 Nilai b pada beberapa lokasi penelitian ... 14

4 Parameter pertumbuhan pada beberapa lokasi penelitian ... 14

DAFTAR GAMBAR

1 Skema perumusan masalah ... 2

2 Peta daerah penangkapan kepiting bakau ... 3

3 Distribusi kelas lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) ... 8

4 Faktor Kondisi kepiting bakau (S. serrata) ... 8

5 Hubungan lebar bobot kepiting bakau (S. serrata) jantan ... 9

6 Kelompok ukuran kepiting bakau (S. serrata) jantan ... 10

7 Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) jantan ... 10

8 Kelompok ukuran kepiting bakau (S. serrata) betina ... 11

9 Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) betina ... 11

10 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy kepiting bakau (S. serrata) jantan di Perairan Karangsong Indramayu ... 12

11 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy kepiting bakau (S. serrata) betina di Perairan Karangsong Indramayu ... 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 20

2 Data lebar dan bobot kepiting bakau pada setiap pengambilan contoh ... 21

3 Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau ... 29

4 Faktor Kondisi ... 29

5 Hubungan lebar dan bobot ... 29

6 Nilai tengah, standar deviasi dan indeks separasi ... 30

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki perkembangan perikanan dan potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Ekosistem pesisir pantai dan muara adalah ekosistem kunci bagi nelayan lokal yang intensif dalam mengeksploitasi produktivitas alami (Kapetsky 1984 in Hotos 2011). Sesuai letaknya yang berada di pesisir pantai, Indramayu menjadi kabupaten produsen ikan laut terbesar, karena 58.11% dari seluruh produksi ikan laut Jawa Barat atau sekitar 107.989,70 ton/tahun berasal dari Indramayu (BPS Jawa Barat 2012).Untuk kegiatan perikanan tangkap yang berbasis di Karangsong sendiri jumlah produksi ikan laut sebesar 30.350 ton/tahun (BPS Indramayu 2006).

Sumberdaya perikanan yang terdapat di perairan Karangsong cukup beragam mulai dari ikan, moluska, krustase, dan lain-lain. Salah satu jenis krustase yang merupakan hasil tangkapan dominan yaitu kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala dan pemakan bangkai ( omnivorous-scavenger) sehingga merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Indonesia memiliki 3,5 juta Ha hutan mangrove pada tahun 1996 yang merupakan habitat dari kepiting bakau (Dahuri 2003 dalamRachmawati 2009).

S. serrata biasanya ditangkap dengan menggunakan perangkap bambu (wadong) dan jaring angkat (lift net atau disebut juga pintur) (Sulistiono et al.1994). Dalam siklus hidupnya kepiting bakau (Scylla serrata) memijah di laut lepas, larva yang baru menetas kemudian terbawa arus dan akhirnya terdampar di perairan pantai dan masuk ke daerah estuaria. Setelah memasuki stadium dewasa dan siap untuk memijah kepiting bakau kembali bermigrasi ke tengah laut untuk mencari pasangan dan memijah disana (Kasry 1993 dalam Muchlisin dan Azwir 2004).

Tingginya aktivitas penangkapan di wilayah estuari Karangsong secara terus-menerus menyebabkan jumlah populasi dan kelestarian kepiting bakau terganggu. Pada pengelolaan terhadap sumberdaya kepiting bakau yang berkelanjutan diperlukan informasi biologis maupun data hasil tangkapan. Menurut Widodo dan Suadi (2006), langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan mencakup kegiatan pengumpulan data mengenai biologi, ekonomi, dan sosial perikanan. Data yang diperoleh diolah kedalam bentuk informasi yang berguna untuk membuat keputusan dalam pengelolaan, penetapan, serta memantau pelaksaan keputusan pengelolaan tersebut.

Perumusan Masalah

(13)

Indonesia, dimungkinkan akan terjadi kegiatan impor pada sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri akan tingginya permintaan pada produk perikanan. Jika hal tersebut terjadi pihak yang dirugikan adalah nelayan lokal karena harga yang ditawarkan oleh produk perikanan impor jauh lebih rendah di pasar dibandingkan harga yang ditetapkan oleh nelayan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengelolaan yang tepat agar sumberdaya tersebut tetap lestari dan berkelanjutan. Salah satu informasi biologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan tersebut adalah kajian mengenai aspek pertumbuhan. Sebaran frekuensi lebar karapas dan hubungan lebar bobot merupakan informasi dasar yang sangat penting untuk melihat laju pertumbuhan dan merupakan salah satu faktor pertimbangan utama dalam menetapkan strategi pengelolaan perikanan suatu sumberdaya kepiting bakau tertentu.

Gambar 1. Skema perumusan masalah

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji aspek pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) yang meliputi hubungan panjang bobot, proporsi kelamin, faktor kondisi serta parameter pertumbuhan antara lain lebar asimptotik, koefisien pertumbuhan dan t0 di Perairan Karangsong, Indramayu.

Manfaat Penelitian

(14)

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Juni – September 2013 dengan interval waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan kepiting contoh yaitu di Perairan Karangsong, Indramayu (Gambar 1). Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Biomakro 1 Bagian Ekobiologi dan Konservasi Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Peta daerah penangkapan kepiting bakau

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer termasuk hasil wawancara dengan nelayan dan data sekunder. Alat dan bahan yang diperlukan dapat dilihat pada Lampiran 1.

(15)

Analisis Data

Proporsi Kelamin

Proporsi kelamin atau SR (Sex ratio) adalah bagian dari jantan dan betina dalam suatu populasi. Nilai dari proporsi yang berdasarkan kelamin ini diamati karena adanya perbedaan tingkah laku berdasarkan kelamin, kondisi lingkungan, dan penangkapan. Proporsi jantan betina ini dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 2002):

= × 100%

Pj adalah proporsi kelamin (jantan atau betina), A adalah jumlah jenis kepiting bakau dengan kelamin tertentu (jantan atau betina), dan B adalah jumlah total individu kepiting bakau yang ada (ekor).

Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui dengan melakukan analisis nisbah kelamin kepiting bakau menggunakan uji Chi-square (X2) (Steel dan torrie 1993 dalamTuhuteru (2004):

= ( − )

Χ2

adalah nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran khikuadrat (Chi-square), oi adalah jumlah frekuensi kepiting bakau jantan dan betina yang teramati, dan ei adalah jumlah frekuensi harapan dari kepiting bakau jantan dan betina.

Hubungan Lebar Karapas dan Bobot

Analisa mengenai hubungan lebar karapas-bobot dapat digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan. Lebar karapas pada kepiting dimanfaatkan untuk menjelaskan pertumbuhannya, sedangkan bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari lebar tersebut. Hubungan lebar karapas-bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot kepiting merupakan hasil pangkat tiga dari lebarnya.

Model yang digunakan dalam menduga hubungan lebar karapas dan bobot adalah sebagai berikut (Effendie 1979) : W = a Lb

Keterangan:

W: Bobot kepiting (gram) L : Lebar karapas kepiting (mm) a : Konstanta

b : Konstanta

Korelasi parameter dari hubungan lebar karapas dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) yaitu, dengan hipotesis:

1. Bila nilai b = 3, maka hubungan yang isometrik (pola pertumbuhan lebar karapas sama dengan pola pertumbuhan bobot)

2. Bila b ≠ 3, maka hubugan allometrik, yaitu:

a. Bila b > 3 maka allometrik positif (pertambahan bobot lebih dominan) b. Bila b < 3 maka allometrik negatif (pertambahan lebar karapas lebih

(16)

5

Uji yang dipakai adalah uji parsial (uji t) yaitu dengan hipotesis : Ho : b = 3

H1 : b ≠ 3

ℎ = 1− 0

1

Pada selang kepercayaan 95% bandingkan nilai thitung dengan nilai ttabel kemudian keputusan yang diambil untuk mengetahui pola pertumbuhan yaitu:

thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol (H0)

Faktor Kondisi

Dalam menganalisis faktor kondisi kepiting bakau terlebih dahulu kepiting bakau dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Kepiting bakau yang memiliki jenis kelamin yang sama dilihat koefisien pertumbuhan (model gabungan lebar dan bobot). Setelah pola pertumbuhan lebar dan berat tersebut diketahui, maka baru dapat ditentukan kondisi dari kepiting tersebut (Effendie 2002)

a) Jika pertumbuhan kepiting bakau isometrik (b=3) maka persamaan yang digunakan adalah:

= W

b) Jika pertumbuhan kepiting bakau adalah model pertumbuhan allometrik

(b≠3) maka persamaan yang digunakan adalah:

=

K adalah faktor kondisi, W adalah bobot tubuh kepiting bakau contoh (gram), L adalah lebar karapas kepiting bakau contoh (mm), a adalah konstanta, dan b adalah intercept.

Kelompok Ukuran

(17)

Parameter Pertumbuhan

Parameter pertumbuhan diduga menggunakan Model pertumbuhan Von Bertalanffy (Sparre &Venema 1999):

= 1− ( )

Selanjutnya untuk menduga parameter pertumbuhan K, L dan to, model tersebut ditransformasi menjadi parameter linier sehingga diperoleh persamaan berikut.

− = . ( ). [1− ]

Kemudian kedua rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh persamaan : − = [ − ][1− ] atau Lt+1 = L∞[1- e-k] + e-k Lt

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier = + , jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y).

L(t+1) = a +bLt

sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan Ldiperoleh dengan cara:

= −ln ( ) dan =

Sedangkan dalam menduga nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1983) dalam Sparre & Venema (1999):

(18)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Proporsi Kelamin

Proporsi kelamin merupakan perbandingan antara jumlah kepiting bakau jantan dengan jumlah kepiting bakau betina dalam suatu populasi. Proporsi kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi. Berikut proporsi kelamin kepiting bakau pada setiap pengambilan contoh.

Tabel 1. Proporsi kelamin kepiting bakau (S. serrata) jantan dan betina

Pengambilan

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh jumlah kepiting bakau jantan di Perairan Karangsong Indramayu dari Bulan juni-September 2013 sebanyak 520 ekor dan jumlah kepiting bakau betina sebanyak 299 ekor. Perbandingan kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina sekitar 1,7:1. Rasio kelamin dipengaruhi oleh adanya pola penyebaran, ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan.

Sebaran lebar karapas

(19)

Gambar 3. Distribusi kelas lebar karapas kepiting bakau (S. serrata)

Berdasarkan Gambar 2 frekuensi lebar kepiting bakau secara total menyebar dari kelas 60 mm sampai 139 mm. Kepiting bakau jantan menyebar dari kelas 60 mm sampai 139 mm. Kepiting bakau betina menyebar dari kelas 68 mm sampai 139 mm. untuk frekuensi tertinggi kepiting bakau jantan terdapat pada selang kelas 100-107 mm dengan jumlah 141 ekor, sedangkan frekuensi tertinggi kepiting bakau betina pada selang kelas 108-115 mm dengan jumlah 90 ekor.

Faktor Kondisi

Faktor kondisi yaitu suatu keadaan yang menggambarkan kemontokan kepiting dan dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data lebar karapas dan bobot. Berikut disajikan faktor kondisi kepiting bakau di Perairan Karangsong Indramayu.

Gambar 4. Faktor Kondisi kepiting bakau (S. serrata) 0

20 40 60 80 100 120 140 160

F

re

k

u

e

n

si

Selang Kelas (mm)

jant an

(20)

9

Selama waktu pengamatan, nilai faktor kondisi kepiting bakau berkisar antara 1.08-1.21. Faktor kondisi kepiting bakau jantan berkisar antara 1.11-1.21 sedangkan untuk betina berkisar antara 1.08-1.19. Faktor kondisi kepiting bakau jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Faktor kondisi yang tinggi menunjukkan kepiting dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah menunjukkan pada bulan tersebut kepiting kurang mendapat asupan makanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung pada jenis kelamin, musim atau lokasi penangkapan serta oleh tingkat kematangan gonad dan juga kelimpahan makanan (King 1995).

Hubungan lebar dan bobot

Hubungan lebar karapas dan bobot dianalisis untuk dapat mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau. Gambar 4 menunjukkan hubungan lebar karapas dan bobot sebagai berikut.

Gambar 5. Hubungan lebar bobot kepiting bakau (S. serrata)

Berdasarkan grafik diatas didapatkan persamaan hubungan lebar karapas dan bobot kepiting bakau jantan adalah W = 0.0003L2.8793 dan kepiting bakau betina W = 0.003L2.3210. Koefisien determinasi pada kepiting bakau jantan sebesar 80.3% sedangkan pada kepiting bakau betina sebesar 84.9%. Selanjutnya dilakukan uji t untuk menentukan pola pertumbuhannya. Hasil uji t (Lampiran 5) menunjukkan pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina adalah allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan bobotnya.

Jantan

(21)

Kelompok Ukuran

Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran kepiting bakau dengan menggunakan metode NORMSEP. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata lebar karapas menurut waktu pengambilan contoh. Berikut disajikan kelompok ukuran kepiting bakau di Perairan Karangsong Indramayu.

Gambar 6. Kelompok ukuran kepiting bakau (S. serrata) jantan

Berdasarkan Gambar 6 sebaran lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) jantan menggambarkan adanya pertumbuhan lebar karapas. Pergeseran modus kelas panjang setiap pengambilan contohnya ke arah kanan menunjukan adanya pertumbuhan kepiting bakau. Untuk kurva pertumbuhan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) jantan

Berdasarkan pada Gambar 7 terlihat bahwa telah terjadinya pergeseran frekuensi modus yang menandakan bahwa telah terjadi pertumbuhan pada kepiting bakau. Selain itu terlihat juga pada gambar adanya garis umur yang merupakan penentuan dari ukuran lebar kepiting bakau pada umur tertentu.

Juni 2013

Juli 2013

Agustus 2013

(22)

11

Gambar 8. Kelompok ukuran kepiting bakau betina (S. serrata)

Berdasarkan Gambar 8 sebaran lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) jantan menggambarkan adanya pertumbuhan lebar karapas. Pergeseran modus kelas panjang setiap pengambilan contohnya ke arah kanan menunjukan adanya pertumbuhan kepiting bakau. Untuk kurva pertumbuhan kepiting bakau dapat terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kurva pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) betina

Berdasarkan pada Gambar 9 terlihat bahwa telah terjadinya pergeseran frekuensi modus yang menandakan bahwa telah terjadi pertumbuhan pada kepiting bakau. Selain itu terlihat juga pada gambar adanya garis umur yang merupakan penentuan dari ukuran lebar kepiting bakau pada umur tertentu.

Juni 2013

Agustus 2013

(23)

Parameter pertumbuhan

Analisis parameter pertumbuhan disajikan pada lampiran 7. Hasil dugaan parameter pertumbuhan (L∞, k, t0) yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter pertumbuhan kepiting bakau

Parameter Jantan Betina

L∞ (mm) 157.35 147.99

K (per tahun) 0.39 0.42

t0 (bulan) -0.26 -0.24

Model pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina di Perairan Karangsong Indramayu masing-masing adalah Lt = 157.35 (1-e[-0.39(t+0.26)] dan Lt = 147.99 (1-e[-0.42(t+0.24)] dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Berdasarkan Tabel 2 kepiting bakau betina memiliki nilai K yang lebih tinggi dibandingkan jantan.

Gambar 5. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy kepiting bakau (S. serrata) jantan di Perairan Karangsong Indramayu

Gambar 6. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy kepiting bakau (S. serrata) betina di Perairan Karangsong Indramayu

Faktor penyebab pertumbuhan dari kepiting bakau adalah ketersediaan makanan di perairan. Parameter pertumbuhan sangatlah penting dikaji untuk mengetahui seberapa cepat pertumbuhan dan berapa lebar asimptotik dari kepiting bakau. Semakin besar nilai koefisien pertumbuhan (K) dari kepiting bakau, maka akan semakin cepat kepiting bakau mencapai panjang asimptotiknya, sehingga memiliki umur yang relatif lebih pendek.

Lt = 157.35 [1-e-0.39(t+0.26)]

(24)

13

Pembahasan

Kepiting bakau (S. serrata) yang diperoleh selama penelitian bulan Juni-September 2013 sebanyak 819 ekor, 520 ekor jantan dan 299 ekor berjenis kelamin betina. Rasio kelamin secara keseluruhan adalah 1,7:1 atau 63% jantan dan 37% betina. Disimpulkan jenis kelamin kepiting bakau jantan yang tertangkap lebih banyak dibandingkan dengan betina, dan tangkapan terbesar terdapat pada Juli 2013. Sama halnya dengan penelitian Tuhuteru (2004) di perairan Ujung Pangkah yang menemukan rasio kepiting bakau (S. serrata) sebesar 1.56:1 antara jantan dan betina. Menurut Ward dkk (2008), selama periode tahun 2006 rasio kepiting bakau yang ditemukan di perairan teluk Beagle sebesar 1,5:1 dan perairan teluk Carpentier sebesar 1:1,5. Hal ini menjelaskan bahwa perbandingan rasio kelamin di alam tidaklah mutlak. Hasil analisis uji chi-square memperlihatkan bahwa pada bulan Juli-September nilai X2 hitung lebih besar daripada nilai X2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi kelamin kepiting bakau tidak seimbang. Menurut Hill (1982) dalam Tuhuteru (2004) , keadaan nisbah kelamin jantan dan betina berubah menurut musim, tempat, dan ukuran kepiting. Selanjutnya Hill (1982) dalam Tuhuteru (2004) mengatakan bahwa hanya kepiting betina yang akan beruaya ke laut untuk memijah, sedangkan kepiting jantan tetap berada di muara sungai, dengan demikian komposisi antara kepiting jantan dan betina di suatu muara berubah sesuai dengan waktu pemijahan. Terlihat perubahan komposisi mulai bulan Juli, yaitu perubahan komposisi betina di perairan menurun. Hal ini dapat menujukan bahwa pada bulan ini mulai terjadi musim pemijahan hingga September.

Menurut Grubert dan Phelan (2007) jumlah kepiting jantan lebih banyak tertangkap dikarenakan kepiting betina pada bulan Oktober baru kembali ke daerah mangrove dari lepas pantai setelah memijah.

Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa frekuensi tertinggi kepiting bakau jantan pada selang kelas 100-107 mm, sedangkan frekuensi tertinggi kepiting bakau betina pada selang kelas 108-115 mm. Hasil yang didapatkan sama dengan penelitian Sagala dkk (2013) di perairan pantai desa Tapulaga yang menemukan pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau betina lebih tinggi dengan nilai rata-rata pertumbuhan lebar karapas 1,36 mm, sedangkan lebar karapas kepiting jantan 1,08 mm.

Selama waktu pengamatan, nilai faktor kondisi kepiting bakau berkisar antara 1.08-1.21. Faktor kondisi kepiting bakau jantan berkisar antara 1.11-1.21 sedangkan untuk betina berkisar antara 1.08-1.19. Hasil analisis dalam tiap bulan memperlihatkan bahwa kepiting bakau jantan memiliki faktor kondisi yang lebih besar dibandingkan dengan kepiting bakau betina. Faktor kondisi yang tinggi menunjukkan kepiting dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah menunjukkan kepiting kurang mendapat asupan makanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung pada jenis kelamin, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan juga kelimpahan makanan (King 1995).

(25)

hasil uji t (Lampiran 4) disimpulkan bahwa pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina adalah allometrik negatif dimana pertambahan lebar lebih cepat dibanding pertambahan bobotnya. Sama halnya dengan penelitian Asmara (2004) di perairan Segara Anakan bahwa rasio kepiting bakau (S. serrata) hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh baik kepiting jantan maupun kepiting betina menujukan hubungan yang nyata dan menghasilkan hubungan allometrik negatif. Pada penelitian Wijaya (2010) disimpulkan bahwa pertumbuhan kepiting bakau betina di habitat mangrove Taman Nasional Kutai Timur menghasilkan hubungan allometrik negatif. Selanjutnya dikatakan bahwa kepiting bakau betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif disebabkan karena asupan makanan lebih banyak digunakan untuk moulting dan proses pematangan gonad (bertelur).

Pola pertumbuhan (b), menggambarkan hubungan lebar karapas dengan bobot, kepiting dengan pola allometrik positif (b>3) berarti pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan lebar karapas. Sedangkan allometrik negatif (b<3) berarti pertambahan lebar karapas lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot. Nilai b dari hasil analisis yang didapatkan pada kepiting jantan adalah 2,8793 sedangkan pada kepiting betina adalah 2.3210. Nilai b yang didapatkan secara umum sama dengan nilai b dari beberapa lokasi penelitian.

Tabel 3. Nilai b pada beberapa lokasi penelitian

Sumber Lokasi N

Nilai b berbeda di setiap perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan tersebut dan ketersediaan makanan (Effendie 2002). Sedangkan menurut Hartnoll (1982) variasi nilai b antar spesies dan kelamin dipengaruhi oleh faktor luar, perbedaan iklim mikro yang optimum seiring perubahan musim, dan juga faktor dalam; jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan anggota tubuh yang hilang.

Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi dari umur (Sparred an Venema 1999). Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode NORMSEP yang terdapat dalam program FISAT II (Gambar 6 dan 8). Analisis sebaran frekuensi lebar dapat digunakan untuk untuk menduga umur dan kelompok umur kepiting bakau. Hal ini disebabkan frekuensi lebar tertentu umurnya berasal dari umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal.

(26)

15

menjadi 97.5 mm hingga bulan Juli, sedangkan pada betina mengalami pergeseran modus dimulai dari bulan Juni dengan lebar dari 87.2 mm menjadi 113.5 mm hingga bulan September. Rekruitmen kepiting bakau diduga terjadi pada bulan Agustus-September yang memiliki ukuran lebar yang kecil atau dapat dikatakan ditangkap pada usia muda oleh para nelayan. Hal ini didukung oleh dengan penelitian Tuhuteru (2004) di Perairan Ujung Pangkah kepiting bakau (Scylla serrata) rekrutmen pada bulan Agustus-Oktober.

Berdasarkan penelitian Asmara (2004) di perairan Segara Anakan kepiting bakau (Scylla serrata)pertama kali matang gonad pada ukuran lebar karapas 72.8 mm untuk betina dan 71.2 mm untuk betina. Hasil tangkapan di perairan Karangsong untuk ukuran terendah kepiting bakau terdapat pada kisaran lebar 60-67 mm. Apabila hal ini terus terjadi, akan berdampak negatif bagi keberadaan populasi kepiting bakau di perairan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kematangan gonad kepiting bakau di perairan Karangsong, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih akurat.Pada setiap pengambilan contoh terlihat bahwa pada setiap kelompok ukuran memiliki ukuran yang bervariasi dari masing-masing individunya (Lampiran 3). Effendie (2002) menyatakan bahwa keberhasilan mendapatkan makanan dari kelompok ukuran yang sama akan menentukan pertumbuhan. Oleh karena itu dalam satu keturunan akan diperoleh ukuran yang bervariasi.

Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K dan L∞) diduga dengan menggunakan metode plot Ford Walford. Metode ini merupakan metode paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995) dan memerlukan data panjang rata-rata kepiting dari setiap kelompok ukuran panjang yang sama (Sparre & Venema 1999). Lebar total maksimum kepiting bakau yang tertangkap di perairan Karangsong adalah 139 mm, lebar ini lebih kecil dibanding lebar asimptotiknya yaitu 157.35 mm dengan koefisien pertumbuhan 0.39 per bulan untuk jantan dan 147.99 mm dengan koefisien pertumbuhan 0.42 per bulan untuk betina. Pada penelitian Tuhuteru (2004) kepiting bakau (Scylla serrata) di Perairan Segara Anakan nilai K dan L∞ berturut-turut adalah 1.10 dan 123.38 mm untuk jantan sedangkan 0.78 dan 131.25 mm untuk betina.

Tabel 4. Parameter pertumbuhan pada beberapa lokasi penelitian

Sumber Lokasi Nama

(27)

berlainan pula, terutama kepiting bakau yang masih muda memiliki kecepatan tumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan kepiting bakau tua. Pertumbuhan lebar kepiting bakau yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin lambat seiring dengan bertambahnya umur sampai mencapai panjang asimptotik dan tidak akan bertambah panjang lagi. Pertumbuhan cepat bagi kepiting bakau yang berumur muda terjadi karena energi yang didapatkan dari makanan sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan. Pada kepiting bakau tua energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi hanya digunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang rusak (Jalil et al 2001).

Indikasi Pengelolaan

Indikasi pengelolaan ditujukan untuk mempelajari hasil pengamatan yang kemudian digunakan untuk menentukan prosedur pengelolaan yang akan dilakukan selanjutnya. Nilai b adalah konstanta yang diperoleh dari pengelolaan data lebar dan bobot. Nilai ini menjadi dasar dalam penentuan pengelolaan karena kita dapat mengetahui pola pertumbuhan kepiting bakau serta faktor kondisi dari nilai b yang diperoleh. Faktor kondisi menggambarkan kemontokan yang digunakan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas daging. Setelah mendapatkan nilai ini

Berdasarkan indikasi pengelolaan diatas, pengelolaan kepiting bakau yang dapat dianjurkan antara lain menetapkan aturan penangkapan untuk tidak menangkap kepiting dengan ukuran yang belum matang gonad, menjaga daerah estuari sebagai habitat utama dari kepiting bakau agar sumber makanan tetap melimpah, serta menutup musim penangkapan kepiting pada bulan tertentu sampai kepiting mencapai ukuran layak tangkap.

(28)

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kepiting bakau yang terdapat di perairan Karangsong (Indramayu) memiliki proporsi kelamin yang tidak seimbang (1,7:1) karena dipengaruhi oleh waktu pemijahannya. Hasil analisis hubungan lebar karapas dan bobot pada kepiting bakau jantan diperoleh persamaan W = 0.0003L2.8793 dengan koefisien determinasi 80.3% dan kepiting bakau betina diperoleh persamaan W = 0.003L2.3210 dengan koefisien determinasi 84.9%. Hasil uji t menunjukkan pola pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina allometrik negatif. Faktor kondisi kepiting bakau yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 1.11-1.31. Model pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina di Perairan Karangsong masing-masing adalah Lt = 157.35 (1-e[-0.39(t+0.26)] dan Lt = 147.99 (1-e[-0.42(t+0.24)]. Berdasarkan model Von Bertalanffy, dapat diketahui bahwa kepiting bakau jantan memiliki lebar asimptotik sebesar 157.35 mm dan kepiting bakau betina sebesar 147.99 mm. Perlu dilakukan upaya untuk menjaga ekosistem bakau agar sumberdaya makanan kepiting bakau tetap melimpah.

Saran

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Asmara H. 2004. Analisis beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Indramayu. 2006. Indramayu dalam Angka Tahun 2005. Indramayu : BPS Kabupaten Indramayu dalam DKP Kabupaten Indramayu.

[BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2012. Jawa Barat : BPS Provinsi Jawa Barat.

Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.163 hlm.

Hotos GN and Katselis GN. 2011. Age and Growth of the Golden Grey Mullet Liza aurata (Actinopterygii: Mugiliformes: Mugilidae), in the Messolonghi-Etoliko Lagoon and the Adjacent Gulf of Patraikos, Western Greece 41(3): 147–157.

Grubert M dan Phelan M. 2007. A Guide To Catching Mud Crabs In The Northern Territory. Department of Primary Industry, Fisheries and Mines.No 24.

Hartnoll, R. G. 1982. Grauthl. In D. E. Bliess (ed). The biology of crustacea. Vol 2, embryology, morphology and genetics. Academic Press. New York. P.111-196.

Jalil, Mallawa A, & Ali SA. 2001. Biologi populasi ikan Baronang Lingkis (S. canaliculatus) di Perairan Kecamatan Bua Kabupaten Lawu. Sci&tech,

Volume 2(2): 1-13. [terhubung berkala].

Rachmawati PF. 2009. Analisa Variasi Karakteristik Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla serrata.) di Perairan Indonesia. .[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sagala LS, Idris M, Ibrahim MN. 2013. Perbandingan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina Pada Metode Kurungan Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol. III (12) :46-54.

Sparre P. dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku e-manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.

Steel RGD dan JH Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik (Edisi Terjemahan), PT. Gramedia. Jakarta. 748 hlm.

(30)

19

Cilacap, Central Java, Maret 1994. NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. Tokyo.

Tanod .2000. Studi Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata, S. tranquebarica, S. oceanic di Segara Anakan, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tuhuteru. 2004. Studi Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 23-46 hlm.

Ward TM, Schmarr DW, McGarvey R. 2008. Northern Territory Mud Crab Fishery: 2007 Stock Assessment. SARDI Aquatic Sciences. West Beach. No 244.

Widodo J, Suadi.2008. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. P.49.

(31)

LAMPIRAN

Lampiran 1 . Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian

Kepiting bakau (Scylla serrata) Timbangan

Alat bedah Alat tulis (buku, pulpen dan penggaris)

(32)

21

(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)

29

Lampiran 3. Sebaran frekuensi lebar karapas kepiting bakau

SKB SKA SK BKB BKA BK Xi Fi

Lampiran 5. Hubungan lebar dan bobot a. Kepiting bakau jantan

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 10.3319 10.3319 2112.4736 6.5E-185

Residual 518 2.5335 0.0049

(41)

b. Kepiting bakau betina

thit>ttab maka tolak ho, dan b<3 maka alometrik negatif

Lampiran 6. Nilai tengah, standar deviasi dan indeks separasi a. Kepiting bakau jantan

Waktu Kelompok umur Panjang rata-rata Index Sparasi

Juni 2013 1 85.72 ± 10.06 n.a

Waktu Kelompok umur Panjang rata-rata Index Sparasi

Juni 2013 1 87.17 ±9.25 n.a

(42)

31

b. Kepiting bakau betina

t Lt (mm) L(t+1) (mm)

1 87.17 105.45

2 105.45 125.95

3 125.95 131

(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pinrang pada tanggal 07 Juli 1991 dari pasangan Bapak Sappe Mangiriang dan Ibu Nurmiati Tappa sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Melati Sungguminasa tahun 1996-1997. SD Negeri Bonto-bontoa tahun 1997-1998, SD Negeri Paccinongang tahun 1998-2000, SD Inpres Mangasa 2000-2001 dan SD Negeri Paccinongang 2001-2003. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Sungguminasa dan pada tahun 2009 penulis menyelasaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Tinggimoncong.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Ekologi Perairan (2011/2012). Penulis juga aktif di organisasi UKM Sepakbola IPB sebagai ketua umum (2010/2011), Badan pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) (2010/2011), Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK (2011/2012), dan ketua umum HIMASPER (2012/2013). Sebagai penerima beasiswa BUD, serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. enulis juga mendapat kesempatan mewakili Sulawesi selatan dalam POPNAS cabang Sepakbola.

Pada tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB (BUD) dan diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah
Gambar 2. Peta daerah penangkapan kepiting bakau
Tabel 1. Proporsi kelamin kepiting bakau (S. serrata) jantan dan betina
Gambar 3. Distribusi kelas lebar  karapas kepiting bakau (S. serrata)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada pemeliharaan kepiting bakau Scylla serrata dengan penambahan dua titik

Perlakuan induksi autotomi pada kepiting bakau Scylla paramamosain , Scylla tranquebarica , dan Scylla serrata menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi kombinasi suhu dan salinitas yang sesuai terhadap media pemeliharaan kepiting bakau ( Scylla serrata

Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (scylla serrata) di Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara.. Universitas

Struktur populasi kepiting bakau ( Scylla serrata ) ditinjau dari kelimpahan kepiting bakau ( Scylla serrata ), hubungan lebar karapas dengan bobot tubuh, pola pertumbuhan,

penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Jenis Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Stadia Juvenil Kepiting Bakau (Scylla serrata).”

Grafik Kelulushidupan kepiting bakau Scylla serrata KESIMPULAN Berdasarkan penelitian pengaruh kombinasi keong mas dan ikan rucah terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan kepiting

Rata-rata konversi dan efisiensi pakan pada kepiting bakau Scylla serrata Percobaan Konversi pakan Efisiensi pakan % Ikan Rucah 8.51 14.47 Keong Bakau 7.75 16.06 Usus Ayam 8.19