• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Kadar Oksigen Terlarut Optimum Untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla Serrata Dalam Sistem Resirkulasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Kadar Oksigen Terlarut Optimum Untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla Serrata Dalam Sistem Resirkulasi"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KADAR OKSIGEN TERLARUT OPTIMUM

UNTUK PERTUMBUHAN BENIH KEPITING BAKAU

Scylla

serrata

DALAM SISTEM RESIRKULASI

KURNIA FATURROHMAN

C151130021

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Kadar Oksigen Terlarut Optimum untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla serrata dalam Sistem Resirkulasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

RINGKASAN

KURNIA FATURROHMAN. Penentuan Kadar Oksigen Terlarut Optimum untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla serrata dalam Sistem Resirkulasi. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan D. DJOKOSETIYANTO.

Kepiting bakau Scylla serrata merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga jumlah permintaan pasar setiap tahunnya meningkat (FAO 2011). Peningkatan permintaan pasar ini tidak diimbangi dengan terjaminnya kontinuitas produksi. Hal ini disebabkan pemenuhan permintaan pasar baik lokal maupun global sebagian besar masih diperoleh dari hasil tangkapan alam. Jumlah produksi kepiting bakau yang semakin menurun dari tahun 2013 sampai 2014 membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang ketentuan penangkapan kepiting, rajungan, dan lobster berdasarkan ukuran dan ada tidaknya telur. Pembatasan ini membuat sektor budidaya mempunyai peluang besar untuk dikembangkan guna memenuhi permintaan pasar.

Teknologi pembenihan kepiting bakau belum sepenuhnya berkembang. Budidaya kepiting bakau sebagian besar masih berada dalam tahapan pembesaran yaitu dengan menangkap benih yang berasal dari alam kemudian dipelihara sampai ukuran konsumsi. Pemeliharaan berlangsung seluruhnya di dalam air, sangat berbeda dengan habitat alami kepiting bakau. Pertumbuhan kepiting bakau yang dipelihara juga sangat lambat sehingga perlu adanya teknologi perekayasaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja produksi. Salah satu parameter lingkungan yang sangat penting karena berperan sebagai faktor pembatas adalah kadar oksigen terlarut (OT). Faktor pembatas menjadikan OT harus tersedia dalam jumlah tertentu untuk menjaga kelangsungan hidup biota. Oleh karena itu penambahan aerasi dalam budidaya intensif mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya persaingan dalam mendapatkan oksigen. Informasi tentang jumlah oksigen terlarut yang tepat untuk menunjang pertumbuhan kepiting bakau dalam sistem budidaya terkontrol masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan menentukan kadar oksigen terlarut (OT) yang optimum melalui penentuan titik aerasi serta mengevaluasi peranan oksigen terlarut terhadap kinerja produksi kepiting bakau Scylla serrata.

(5)

adalah 0.125 L s-1 untuk satu titik aerasi. Besaran tersebut diaplikasikan ke setiap wadah disesuaikan dengan jumlah titik aerasi sesuai perlakuan. Kepiting bakau yang digunakan memiliki bobot rata-rata 46.6±1.06 g ekor-1 dengan padat tebar 10 ekor per wadah. Wadah yang digunakan selama pemeliharaan adalah bak plastik yang berukuran 40×30×30 cm3. Pemeliharaan kepiting bakau dilaksanakan selama 42 hari dan diberikan pakan empat kali sehari dengan ikan rucah menggunakan metode restricted yakni sebesar 10% dari bobot biomassa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan C yaitu penambahan dua titik aerasi menghasilkan nilai kelarutan oksigen rata-rata sebesar 5.11-5.77 mg L -1 dan memberikan hasil terbaik terhadap kinerja produksi kepiting bakau yaitu derajat kelangsungan hidup 63.33±5.77 %; laju pertumbuhan mutlak 0.83±0.03 g.hari-1 ; pertumbuhan panjang mutlak 4.2±0.4 cm ; rasio konversi pakan 3.6±0.2 dan nilai koefisien keragaman (KK) sebesar 21.50±1.3%. Perlakuan C juga menunjukkan respon stress yang baik dengan peningkatan kadar kortisol dan glukosa hemolim paling rendah dari perlakuan lain yaitu sebesar 13.9 nmol L-1 dan 24.8 mg dL-1 pada akhir masa pemeliharaan. Sedangkan peningkatan nilai total haemocyte count (THC) pada perlakuan C sebesar 8.13±0.27 sel/mm3dengan nilai tingkat konsumsi oksigen (TKO) paling rendah dan stabil daripada perlakuan lain yaitu sebesar 0.45-0.58 mgO2 g-1 jam-1. Kualitas air selama penelitian memiliki nilai yang fluktuatif di setiap perlakuan sebagai efek adanya perbedaan nilai kelarutan oksigen yang dihasilkan. Secara keseluruhan perlakuan C memiliki nilai kualitas air terbaik dibandingkan dengan perlakuan lain dengan kisaran nilai suhu 28.9-30.7 ºC, pH 7.4-7.7, salinitas 24.7-25.7 ppt, alkalinitas 173.1-188.1 mg L-1, amonia 0.002-0.009 mg L-1, nitrit 0.001-0.121 mg L-1, nitrat 0.003-0.334 mg L-1 dan total suspended solid (TSS) sebesar 27.9-96.2 mg L-1.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada pemeliharaan kepiting bakau Scylla serrata dengan penambahan dua titik serasi yang menghasilkan kadar oksigen terlarut dengan kisaran sebesar 5.11-5.77 mg L-1 selama masa pemeliharaan.

(6)

SUMMARY

KURNIA FATURROHMAN. Determination of Optimum Dissolved Oxygen Levels for The Growth of Mud Crab Seed Scylla serrata in Recirculation Systems. Supervised by KUKUH NIRMALA and D. DJOKOSETIYANTO.

Mud crab Scylla serrata is one of fishery commodities that has a high economic value so that the number of market demand increases every year (FAO 2011). The increase of market demand is not balanced with its guaranteed of the continuity of production. This is because the fulfillment of market demand both locally and globally is still largely derived from natural catches. Total production of mud crabs was declining from 2013 to 2014 to make the ministerial regulation No. 1 / MEN-KP / I / 2015 concerning about the provision of catching crab, blue swimming crab, and lobster based on the size and the presence or absence of eggs. This restriction makes farming sector has a great chance to be developed to meet market demand.

The hatchery technology of mud crab is not fully developed. Mud crab cultivation is largely still in the stage of rearing, namely by catching the seeds that come from nature and then maintained until the consumption size. Maintenance takes place entirely in the water so that it is very different from the natural habitat of mud crabs. The growth of reared mud crab is also very slow so it needs environmental engineering technology to improve production performance. One of the highly important environmental parameters is dissolved oxygen level because of their role as the limiting factor. The limiting factor of dissolved oxygen should be available at a certain amount to maintain the viability of biota. Therefore, the addition of aeration in intensive cultivation is absolutely necessary to prevent competition for oxygen. Information about the right amount of dissolved oxygen to support the growth of mangrove crabs in a controlled aquaculture system is still very limited.This study aimed to determine optimum dissolved oxygen (DO) through the addition of aeration and to evaluate the role of dissolved oxygen on production performance of mud crab Scylla serrata.

The study was conducted from July until October 2015 in Aquaculture Environtmental Laboratory II, Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultutural University. Experimental design used was complete randomized design (CRD) with four treatments namely no aeration (A), one point aeration (B), two points aeration (C), and three points aeration (D). All treatments were replicated three times. The preparation phase is done by creating a recirculation system for each treatment. It aimed to maintain the water quality to remain in the expected conditions and reduce the accumulation of faeces and feed residue in the container. The magnitude of the air flow at any point of aeration is determined by a preliminary test to determine the minimal needs OT mud crabs in each container. The result is the amount of air flow needed to meet the minimum needs of OT mudcrab of 4.9 mg L-1 O2 is 1 L / 8 s , or in other words 0.125 L s-1 for a single point of aeration. The magnitude applied to each container are adjusted for the appropriate treatment aeration point.

(7)

dayli with yellow tail trevally fishes by restricted method (10% of the total biomass).

The result showed that treatment C produced 5.11-5.77 mg L-1 of dissolved oxygen and generated the best result of mud crabs production performance with 63.33±5.77% ofsurvival rate, 0.83±0.03 g day-1 of spesific growth rate, 4.2±0.4 cm of absolute length growth, 3.6±0.2 of food conversion ratio and 21.50±1.3% of diversity coefficient . Treatment C also showed a good response to the stress that indicated by the lowest cortisol and glucose level that was 13.9 nmol L-1 and 24.8 mg dL-1. While the increase in the value of total haemocyte count (THC) in

treatment C of 8.13 ± 0.27 cells/mm3 with the value of oxygen consumption rate

(OCR) at the lowest and stable oxygen consumption rate that was 0.45-0.58 mgO2 g-1 hour-1. The water quality during study was fluctuated as the affected by different dissolved oxygen value. Overall treatment C had the best water quality values compared to other treatments with a range of temperature values from 28.9 to 30.7°C, pH 7.4 to 7.7 , 24.7 to 25.7 ppt salinity , alkalinity 173.1 to 188.1 mg L -1, ammonia 0.002 to 0.009 mg L-1, nitrite 0.001 to 0.121 mg L-1, nitrate 0.003 to 0.334 mg L-1and total suspended solid ( TSS ) at 27.9 to 96.2 mg L-1.

Based on these results, the conclusion is treatment C has the best treatment of the maintenance of mud crab Scylla serrata with the addition of two aeration points that produce high levels of dissolved oxygen in the range of 5.11 to 5.77 mg L-1 during the maintenance period.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

PENENTUAN KADAR OKSIGEN TERLARUT OPTIMUM

UNTUK PERTUMBUHAN BENIH KEPITING BAKAU

Scylla

serrata

DALAM SISTEM RESIRKULASI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan berkah‒Nya sehingga serangkaian penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Penentuan Kadar Oksigen Terlarut Optimum Untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla serrata dalam Sistem Resirkulasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc serta Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA selaku komisi pembimbing dan ibu Yuni Pujihastuti, S.Pi M.Si diluar komisi pembimbing, yang selayaknya orang tua yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi serta Dr. Widanarni, M.Si selaku perwakilan ketua Program Studi Ilmu Akuakultur pada ujian tesis atas segala saran yang diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda Widodo, S.T serta ibunda Sri Sulami, S.Pd beserta keluarga besar atas segala

dukungan, kesabaran, pengertian, doa dan kasih sayangnya selama penulis menjalani masa studi.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada segenap dosen laboratorium lingkungan serta laboran bapak Jajang Ruhyana S.Kim dan kang Akbar serta rekan sepenelitian Wildan Nurussalam, S.Pi M.Si begitu juga kerabat dan rekan rekan yang selama masa studi dapat menjadi motivasi dan memberikan pengaruh yang positif bagi penulis; Andre Rachmat Scabra, S.Pi M.Si; Fazril Saputra, S.Kel M.Si; Noviati R. Khasanah, S.Pi M.Si; Hilma Putri Fidyandini, S.Pi M.Si; Putri Pratamaningrum Arifin, S.Pi M.Si; Dwi Mulyasih, S.Pi M.Si; serta keluarga besar Program Studi Ilmu Akuakultur lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN).

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 3

Manfaat Penelitian 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Alat dan Bahan 3

Rancangan Percobaan 3

Pelaksanaan Penelitian 4

Parameter Uji 8

Penghitungan dan Analisis Data 12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

3.1 Parameter Kualitas Air 12

3.2 Parameter kinerja respon stres 14

3.3 Parameter Kinerja Produksi 17

Pembahasan 19

4 SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 31

(14)

DAFTAR TABEL

1 Parameter kualitas air 12

2 Parameter kualitas air pada wadah pemeliharaan kepiting bakau (Scylla serrata) untuk perlakuan penambahan titik aerasi yang berbeda; A (0 titik aerasi), B (satu titik aerasi), C (dua titik aerasi), dan D (tiga titik aerasi) 12 3 Kinerja produksi kepiting bakau (Scylla serrata) pada perlakuan

penambahan titik aerasi yang berbeda; A (0 titik aerasi), B (satu titik aerasi), C (dua titik aerasi), dan D (tiga titik aerasi) 17

DAFTAR GAMBAR

1 Skema penempatan titik aerasi pada wadah pemeliharaan 4

2 Skema resirkulasi 6

3 Komposisi tandon filter 7

4 Diagram Alir penelitian 8

5 Konsentrasi oksigen terlarut selama masa pemeliharaan 42 hari 14 6 Tingkat konsumsi oksigen kepiting bakau Schylla serrata pada setiap

perlakuan selama masa pemeliharaan selama 42 hari 15 7 Kadar kortisol hemolim kepiting bakau Schylla serrata pada setiap

perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)

15 8 Kadar glukosa hemolim kepiting bakau Schylla serrata pada setiap

perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)

16 9 Total haemocyte count haemolymph kepiting bakau Schylla serrata pada

setiap perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata

(P<0,05) 17

1 0

Pertambahan bobot rata-rata kepiting bakau Schylla serrata pada setiap

perlakuan selama masa pemeliharaan 42 hari 18

1 1

Pertambahan panjang karapas rata-rata (cm) kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan 42 hari 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pengukuran kadar kortisol tubuh 32

2 Prosedur pengukuran tingkat konsumsi oksigen (TKO) 32 3 Analisis statistik kinerja produksi hasil penelitian pemeliharaan

(15)

dan D (3 titik aerasi) 34 4 Analisis statistik kinerja respons stres selama pemeliharaan kepiting

bakau Schylla serrata menggunakan jumlah titik aerasi yang berbeda; A (0 titik aerasi),B (1 titik aerasi), C (2 titik aerasi), dan D

(3 titik aerasi) 32

5 Data fluktuasi kualitas air selama pemeliharaan kepiting bakau Schylla serrata menggunakan jumlah titik aerasi yang berbeda; A (0

titik aerasi),B (1 titik aerasi), C (2 titik aerasi), dan D (3 titik aerasi) 36 6 Data jumlah pakan sisa pada pemeliharaan kepiting bakau Schylla

serrata menggunakan jumlah titik aerasi yang berbeda; A (0 titik

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau Scylla serrata. Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan 2002). Selain citarasa daging yang enak dengan kandungan nilai gizi yang tinggi, limbah kepiting bakau yang berupa cangkang juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid untuk bahan baku berbagai macam industri obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain (KKP 2015). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif. Kepiting bakau ditangkap dari perairan estuaria dan saluran petak tambak. Kepiting bakau lebih suka hidup di perairan yang relatif dangkal dengan dasar berlumpur. Daerah yang cocok untuk lokasi budidaya kepiting ialah tambak yang dasarnya berlumpur dengan suhu 25-35°C, pH 7.0-9.0, oksigen terlarut (OT) lebih dari 5 ppm, dan kadar garam berkisar 10-30 ppt (FAO 2011).

Produksi Crustacea dunia telah mengalami peningkatan sebesar 9.7% dari tahun 1990-2010. Peningkatan jumlah produksi Crustacea tersebut, terdapat produksi jenis kepiting sebesar 200 000 ton pada tahun 2010 (FAO 2011). Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah mencanangkan program tahun 2009-2014 untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya, dan menetapkan sebelas komoditas unggulan termasuk jenis kepiting. Kepiting termasuk ke dalam komoditas lainnya dengan target peningkatan sebesar 188% sampai tahun 2014 (KKP 2010). Pada tahun 2000 ekspor kepiting mencapai 12 381 ton dan meningkat menjadi 22 726 ton pada tahun 2007, hal ini berarti telah terjadi peningkatan ekspor kepiting sebesar 183.5% pada tahun 2000-2007. Meningkatnya permintaan konsumen terutama dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang terus meningkat tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga kandungan gizinya yang tinggi. Hasil analisis proksimat diketahui bahwa daging kepiting bakau mengandung protein 47.31% dan lemak 11.20% (Karim 2005). Namun demikian, kenaikan ekspor ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi kepiting tersebut. Hal ini dibuktikan denganvolume produksi kepiting yang menurun dari tahun 2013-2014. Volume produksi kepiting bakau tahun 2013 sebanyak 34 170 ton turun 17.79% pada tahun 2014 menjadi 28 090 ton (KKP 2015) yang menyebabkan juga penurunan nilai ekspor kepiting dari semula US$414.3 juta pada tahun 2013 turun 13.27% menjadi US$359.3 juta pada tahun 2014 (KKP 2015). Hal inilah yang menjadi landasan keluarnya peraturan menteri No. 18/MEN-KP/I/2015 tentang ketentuan penangkapan kepiting, rajungan, dan lobster berdasarkan ukuran dan ada tidaknya telur.

(18)

2

dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya memberikan pertumbuhan yang maksimal. Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi. Proses ini dapat mengubah dan memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Wirahadikusumah 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot, aktivitas, jenis kelamin, reproduksi dan molting (Villareal dan Hewiit 2003).

Pertumbuhan S.serrata seperti organisme perairan lainnya, hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian, pertumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin meningkat atau energi yang di metabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang di konsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil dari pada energi yang di metabolisme terlebih lagi dalam sistem resirkulasi yang meminimalkan proses ganti air sehingga parameter lingkungan yang sangat berperan dalam proses mempertahankan kualitas air adalah oksigen terlarut (OT). Oleh sebab itu ketersediaan oksigen terlarut yang optimum di perairan melalui titik aerasi perlu diketahui untuk mendukung proses metabolisme yang baik bagi kepiting bakau dalam sistem resirkulasi.

Perumusan Masalah

(19)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan kadar oksigen terlarut (OT) yang optimum melalui penentuan titik aerasi serta mengevalusi peranan oksigen terlarut bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya dan dijadikan acuan untuk penelitian lanjutan.

Hipotesis

Pada kondisi oksigen terlarut yang optimum melalui jumlah titik aerasi yang tepat akan membuat sistem metabolisme dan pertumbuhan kepiting bakau Scylla serrata juga meningkat. Hal ini tentunya dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, pertumbuhan panjang mutlak, rasio konversi pakan, koefisien keragaman serta penurunan kinerja respon stress selama pemeliharaan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan jadi referensi untuk penelitian pengembangan selanjutnya dan dapat bermanfaat untuk kegiatan budidaya kepiting bakau intensif yang dilakukan di dalam wadah terkontrol.

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober 2015 di Laboratorium Lingkungan 2, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat - alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain; 12 box fiber berukuran 40 x 60 x 40 cm, peralatan instalasi aerasi, tandon, penggaris, timbangan, thermometer, DO-meter, pH-meter, salinometer, osmoter, alat titrasi, ember, baskom, saringan, alat tulis.

Bahan yang digunakan adalah benih kepiting bakau Scylla serrata ukuran 45- 50 gram sebanyak 120 ekor, air laut, air tawar, pakan rucah, akuades dan pereaksi yang digunakan untuk uji kimia air.

Rancangan Percobaan

(20)

4

Perlakuan A: kepiting dipelihara pada media dengan tidak ada titik aerasi Perlakuan B: kepiting dipelihara pada media dengan satu titik aerasi Perlakuan C: kepiting dipelihara pada media dengan dua titik aerasi Perlakuan D: kepiting dipelihara pada media dengan tiga titik aerasi

Berikut skema penempatan titik aerasi pada wadah pemeliharaan:

Gambar 1. Skema penempatan titik aerasi pada wadah pemeliharaan Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari petani pengumpul Jepara, Jawa Tengah. Waktu tempuh pengangkutan kepiting dari Jepara ke lokasi penelitian di Bogor membutuhkan waktu 14 jam. Proses pengangkutan dilakukan dengan menggunakan wadah sterofom berukuran 30 x 40 x 50 cm yang diberi lubang untuk sirkulasi udara. Kepiting dalam keadaan masih terikat, ditata dan di atasnya diberi kain basah serta disiram air laut setiap setengah jam sekali selama perjalanan untuk menjaga kelembaban. Kepiting ditempatkan dalam wadah penampungan selama 3 hari setelah sampai di tempat penelitian. Wadah penampungan berupa akuarium berukuran 1 x 0,6 x 0,5 m sebanyak lima buah yang telah diisi air bersalinitas 20 ppt. Selanjutnya adaptasi salinitas dilakukan secara gradual sesuai dengan salinitas terbaik menurut penelitian sebelumnya yakni 25 ppt selama tujuh hari.

(21)

5 cm, dan bobot rata-rata 46,6±1,06 gram yang diukur menggunakan penggaris dan timbangan dengan ketelitan satu angka di belakang koma.

Persiapan Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan oksigen dari satu ekor kepiting melalui uji Tingkat konsumsi Oksigen (TKO) yang selanjutnya dapat dihitung kebutuhan oksigen dari 10 ekor kepiting. Data ini selanjutnya dijadikan acuan untuk menentukan tekanan aerasi minimum yang harus dialirkan melalui titik-titik aerasi sehingga didapat nilai OT yang berada dalam kisaran kebutuhan minimum per wadah perlakuan. Untuk uji TKO itu sendiri menggunakan akuarium berukuran 20 x 20 x 20 cm3 yang didalamnya sudah terdapat lima liter air yang di aerasi kencang selama 24 jam untuk mendapatkan nilai oksigen terlarut jenuh. Proses selanjutnya adalah pemilihan satu ekor kepiting sehat yang ditimbang bobot nya terlebih dahulu untuk hewan uji. Pengukuran OT awal pada media dilakukan dengan menggunakan DO meter. Selanjutnya hewan uji tersebut dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat menggunakan plastik dengan tujuan untuk menghindari kontak langsung antara udara dengan permukaan air wadah. Permukaan plastik penutup wadah juga dibuat lubang kecil untuk memasukkan DO meter yang berguna untuk mengukur OT dalam air wadah. Selanjutnya di amati penurunan kadar OT setiap satu jam selama 3 jam yang kemudian akan dimasukkan ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai konsumsi oksigen individu per satuan waktu. Dari nilai tersebut akan didapatkan kebutuhan minimal OT yang harus terpenuhi dalam setiap wadah pemeliharaan.

Uji selanjutnya adalah menghitung kadar OT dalam wadah yang menggunakan sistem resirkulasi. Wadah resirkulasi dikondisikan sedemikian rupa agar tidak menghasilkan gelembung pada permukaan air yang dapat menyebabkan difusi udara ke air secara aktif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan selang air pada keran inlet sampai pada dasar wadah, sehingga gemericik air dari keran tersebut dapat dihindari. Uji ini bertujuan untuk mengetahui nilai OT murni yang berasal dari proses ganti air oleh sistem resirkulasi itu sendiri dan juga proses difusi udara ke air secara pasif.

Hasil dari uji tingkat konsumsi oksigen di atas didapat nilai kebutuhan OT per individu kepiting sebesar 0.49 mgO2 g-1 jam-1 sehingga total kebutuhan untuk 10 kepiting dalam wadah diperkirakan mencapai 4.9 mg L-1 O2. Sedangkan nilai OT pada wadah pemeliharaan tanpa aerasi dan hanya mengandalkan sistem resirkulasi hanya sebesar 3.7 mg L-1 O2. Selisih nilai antara kebutuhan OT kepiting bakau dengan OT dalam wadah inilah yang dijadikan rujukan untuk menentukan besaran debit udara (aerasi) untuk setiap satu titik aerasi. Besaran debit udara untuk mencukupi minimal kebutuhan OT kepiting bakau sebesar 4.9 mg L-1 O2 adalah 1 liter dalam waktu 8 detik atau dengan kata lain 0.125 L s-1 untuk satu titik aerasi. Besaran tersebut diaplikasikan ke setiap wadah disesuaikan dengan jumlah titik aerasi sesuai perlakuan.

Persiapan Media Uji

(22)

6

laut yang telah ditransportasikan dari Ancol menuju Bogor kemudian ditampung dalam tandon yang berukuran 1 x 1 x 1 m sebanyak 3 buah. Sedangkan air tawar yang digunakan berasal dari air PAM Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Air yang akan dipakai, terlebih dahulu disterilisasi dan diaerasi selama 24 jam agar terhindar dari mikroorganisme patogen serta bahan- bahan kimia yang membahayakan hewan uji. Salinitas terbaik untuk menunjang kinerja pertumbuhan kepiting adalah 25 ppt (Hastuti et al, 2013). Untuk mendapatkan salinitas yang diinginkan yakni 25 ppt maka perlu dilakukan pengenceran dengan rumus sebagai berikut (Rusdi dan Karim 2006):

S2 = V x S1 N + V Keterangan

S1 : Tingkat salinitas air laut yang akan diencerkan (ppt) S2 : Tingkat salinitas yang diinginkan (ppt)

V : Volume air laut yang akan diencerkan (L) N : Volume air tawar yang perlu ditambahkan (L) Persiapan Wadah dan Titik Aerasi

Wadah dibersihkan dan disterilkan terlebih dahulu agar bebas dari kotoran atau mikroorganisme yang merugikan, dengan melakukan perendaman menggunakan kaporit dosis 10 mg L-1, selanjutnya dibilas dengan air bersih. Untuk mengurangi sisa kaporit wadah dapat dicuci menggunakan sabun kemudian bilas dengan air bersih dan didiamkan selama 24 jam.

Tahap persiapan wadah dilakukan dengan membuat sistem resirkulasi untuk setiap perlakuan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas media pemeliharaan agar tetap dalam kondisi yang diharapkan serta mengurangi penumpukan feses dan sisa pakan di wadah pemeliharaan. Terdapat tiga wadah box fiber tempat pemeliharaan dan satu tandon (ember plastik besar) berguna untuk wadah berbagai macam filter dalam satu rangkaian resirkulasi. Tandon tersebut juga berfungsi untuk menampung dan memfilter air yang berasal dari wadah pemeliharaan. Setiap wadah pemeliharaan dipasang titik aerasi sesuai perlakuan yang diberikan.

(23)

7 Selama pemeliharaan berlangsung, air dialirkan dari wadah pemeliharaan menuju talang melalui selang dengan metode sipon, untuk kemudian dialirkan ke tandon dengan melalui filter fisik pertama terlebih dahulu berupa kapas filter. Setelah air masuk ke tandon, air akan melalui beberapa treatment filter, yaitu filter fisik yang kedua berupa pasir malang, filter kimia berupa batu zeolith dan yang terakhir yaitu filter biologi berupa bioball. Air yang telah melewati treatment pada tandon, kemudian dipompa dan dialirkan kembali menuju wadah pemeliharaan (Masser et al. 1999). Penentuan titik aerasi berdasarkan skema penelitian juga dilakukan dengan ditambahkan selang agar air yang jatuh tidak membuat gemericik yang dapat membuat rancu data OT.

Gambar 3. Komposisi tandon filter

Pemberian Pakan

Pakan yang digunakan adalah ikan rucah (ikan jenis selar). Pakan ikan rucah didapatkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Metode pemberian pakan secara restricted yaitu jumlah pakan yang diberikan 10% dari biomassa (Aditya et al. 2012). Persentase jumlah pakan yang diberikan setiap hari nya dibagi berdasarkan kebiasaan makan kepiting bakau di habitat alami. Kepiting bakau merupakan hewan nokturnal yaitu mencari makan di malam hari.Oleh karena itu pembagian persentase lebih banyak diberikan untuk porsi pemberian pakan pada malam hari. Pakan diberikan dengan frekuensi empat kali sehari pada pagi hari pukul 08.00 WIB dengan persentase 20%, siang pukul 14.00 WIB dengan persentase 20%, malam pukul 20.00 WIB dengan persentase 30% dan malam pukul 24.00 WIB dengan persentase 30% dengan Pakan sisa juga ditimbang setiap hari untuk mendapatkan data rasio konversi pakan dan efisiensi pakan. Sebelum penebaran, benih kepiting dipuasakan selama satu hari terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan benih kepiting masih berada pada tingkat stres yang tinggi akibat perubahan salinitas perlakuan.

Kontrol Kualitas Air

(24)

8

jika dalam wadah terdapat sisa pakan. Pengukuran suhu, pH dan DO air dilakukan 4 kali sehari, yaitu pada pukul 08.00, 12.00, 17.00 dan 22.00 WIB. Sedangkan pengukuran parameter kualitas air lain seperti salinitas, total ammonia nitrogen (TAN), nitrit, nitrat, alkalinitas dan total suspended solid (TSS) dilakukan tiap minggu atau per 7 hari selama pemeliharaan.

Sampling

Sampling dilakukan setiap tujuh hari sekali untuk memantau kinerja produksi terkait pertumbuhan biota yaitu dengan cara menimbang bobot kepiting dan mengukur panjang karapas kepiting. Data tersebut kemudian dikonversi untuk mendapatkan data kinerja produksi yaitu tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan mutlak (LPM) dan pertumbuhan panjang mutlak (PPM). Data pakan sisa yang dikumpulkan setiap hari akan dikonversi menjadi rasio konversi pakan (FCR). Pengukuran kinerja respon stres seperti kadar kortisol hemolim, kadar glukosa hemolim, kadar kolesterol hemolim dan Total Haemocyte Count (THC) dilakukan pada awal dan akhir masa pemeliharaan. Sedangkan untuk tingkat konsumsi oksigen (TKO) dilakukan setiap tujuh hari sekali. Berikut merupakan diagram alir penelitian:

Gambar 4. Diagram Alir penelitian

Parameter Uji

1. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup merupakan persentase jumlah ikan yang hidup dari total ikan yang dipelihara per perlakuan. Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan pada penelitian ini, digunakan rumus sebagai berikut (Goddard 1996):

Persiapan ikan uji

Analisa (ANOVA dan Deskriptif) parameter ikan uji pada masing-masing perlakuan

Penerapan prosedur penelitian

Pemeliharaan ikan uji pada masing-masing perlakuan

(25)

9

TKH = tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah ikan pada akhir pengamatan No = jumlah ikan pada awal pengamatan 2. Laju Pertumbuhan Mutlak

Laju pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan selisih bobot rata-rata akhir (Wt) dengan bobot rata-rata awal (Wo) pemeliharaan, kemudian dibandingkan dengan waktu pemeliharaan (t) dan dihitung menggunakan rumus (Goddard 1996). Pertumbuhan mutlak dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

LPM = Laju pertumbuhan mutlak (gram/ekor/hari) Wt = Bobot rata-rata pada hari ke-t (gram) Wo = Bobot rata-rata saat tebar (gram) t = Lama pemeliharaan

4. Pertumbuhan panjang mutlak

Pertumbuhan panjang mutlak dihitung berdasarkan selisih panjang atau lebar rata-rata akhir (pt) dengan panjang rata-rata awal (po) pemeliharaan, kemudian dibandingkan dengan waktu pemeliharaan (t) dan dihitung menggunakan rumus (Goddard 1996). Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

PPM = Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Pt = Panjang rata-rata pada hari ke-t (cm) Po = Panjang rata-rata saat tebar (cm) 5. Rasio konversi pakan (RKP)

RKP juga merupakan perbandingan antara jumlah bobot pakan dalam keadaan kering yang diberikan selama kegiatan budidaya dibagi dengan jumlah bobot biomassa ikan pada waktu panen dan bobot biomassa ikan mati selama pemeliharaan dikurangi bobot biomassa ikan pada awal pemeliharaan (Watanabe, 1988).Rasio konversi pakan dihitung berdasarkan Goddard (1996):

(26)

10

RKP = F

(Wt+Wd)-Wo) Keterangan :

RKP = Rasio konversi pakan

Wt = Biomassa ikan pada akhir pemeliharaan (gram) Wo = Biomassa ikan mati selama pemeliharaan (gram) Wd = Biomassa ikan pada awal pemeliharaan (gram) F = Jumlah pakan selama pemeliharaan (gram) 6. Koefisien keragaman (KK)

Variasi ukuran dalam penelitian ini berupa variasi bobot yang dinyatakan dalam koefisien keragaman (KK). Rumus perhitungan KK berdasarkan Steel dan Torrie (1993) yaitu:

KK = S × 100 Y

Keterangan :

KK = Koefisien keragaman (%) S = Simpangan baku

Y = Rata‒rata contoh 7. Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO)

Tingkat konsumsi oksigen (TKO) merupakan variabel yang dapat digunakan untuk menentukan laju metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan. Prosedur secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Tingkat konsumsi oksigen dihitung berdasarkan NRC (1977) :

TKO = Vx (DOto - DOtt) w x t

Keterangan:

TKO = tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g/jam) V = volume air dalam wadah (L)

DOto = konsentrasi oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg.L-1) DOtt = konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg.L-1)

w = bobot ikan uji (g)

t = periode pengamatan (jam)

8. Kadar Kortisol Hemolim

(27)

11 spesifik kortisol yang terbatas. Kadar kortisol dianalisis dengan menggunakan kit komersial Coat-A-Count Cortisol (Diagnostic Product Corporation, Los Angeles, CA). Prosedur lengkap terdapat pada Lampiran 2.

9. Kadar Glukosa Haemolymph

Pengukuran kadar glukosa dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh kadar oksigen yang berbeda dalam menentukan kadar glukosa hemolim kepiting bakau. Pengukuran glukosa menggunakan metode enzimatik yang lebih spesifik untuk glukosa. Metode ini umumnya menggunakan enzim glukosa oksidase atau heksokinase, yang bekerja hanya pada glukosa dan tidak pada gula lain dan bahan pereduksi lain. Perubahan enzimatik glukosa menjadi produk dihitung berdasarkan reaksi perubahan warna (kolorimetri) sebagai reaksi terakhir dari serangkaian reaksi kimia, atau berdasarkan konsumsi oksigen pada suatu elektroda pendeteksi oksigen. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam Chemistry analyzer (mesin penganalisis kimiawi). Nilai absorbansi kemudian dimasukkan ke dalam rumus:

GD =

Keterangan:

GD = Kandungan glukosa darah (mg/100mL) Au = Absorbansi sampel

Cs = Konsentrasi standar As = Absorbansi standar 10. Total Haemocyte Count (THC)

Perhitungan total hemosit (THC) kepiting dilakukan pada awal dan akhir penelitian di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Perhitungan ini mengacu pada metode Blaxhall dan Daishley (1973) yakni

THC = (HC x D x C) / 0.4 Keterangan:

THC : rata-rata haemocyte terhitung D : Faktor pengenceran (10)

C : Faktor konversi dari 0.1 mm3 sampai 1 ml (1000) 11. Parameter Kualitas Air

(28)

12

Tabel 1. Parameter kualitas air. Parameter

kualitas air Satuan Alat ukur

Waktu

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17.0. Analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% digunakan untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap kinerja produksi dan kinerja respon stres. Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey untuk menentukan perlakuan yang terbaik. Apabila perlakuan tidak berbeda nyata, maka akan dilakukan analisis secara deskriptif. Analisis deskriptif secara langsung juga digunakan untuk menjelaskan parameter kualitas air.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

3.1 Parameter Kualitas Air

Hasil pengukuran parameter kualitas air meliputi nilai pH, oksigen terlarut, suhu, salinitas, alkalinitas, amonia, nitrit, nitrat, dan total suspended solid (TSS) disajikan pada Tabel 2.

(29)

13

Berdasarkan pada tabel diatas, profil kualitas air menunjukkan bahwa setiap parameter masih berada pada kisaran optimum menurut literatur yang ada. Selama masa pemeliharaan terjadi fluktuasi pada beberapa parameter kualitas air. Fluktuasi tersebut membuat semakin besarnya nilai kisaran yang dihitung pada akhir masa pemeliharaan.

3.1.1 Oksigen terlarut

(30)

14

Gambar 5. Konsentrasi oksigen terlarut selama masa pemeliharaan 42 hari

3.2 Parameter kinerja respon stres

Parameter kinerja respons stres meliputi tingkat konsumsi oksigen (TKO), kadar kortisol hemolim, kadar glukosa hemolim dan total haemocyte count (THC).

3.2.1 Tingkat Konsumsi Oksigen

(31)

15

Gambar 6. Tingkat konsumsi oksigen kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan selama 42 hari

3.2.2 Kadar Kortisol Hemolim

Hasil uji kadar kortisol hemolim selama penelitian disajikan pada Gambar . Dari data tersebut menujukkan bahwa setiap perlakuan mengalami peningkatan nilai kortisol dalam hemolymph. Nilai peningkatan kortisol terendah pada akhir penelitian terjadi pada perlakuan C yaitu 12.0 nmol L-1 pada awal masa pemeliharaan, naik menjadi 13.9 nmol L-1 pada akhir masa pemeliharaan. Sedangkan untuk peningkatan nilai kolesterol tertinggi terdapat pada perlakuan D yaitu 10.5 nmol L-1 pada awal masa pemeliharaan, naik menjadi 24.0 nmol L-1 pada akhir masa pemeliharaan.

Gambar 7. Kadar kortisol hemolim kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).

(32)

16

3.2.3 Kadar Glukosa Hemolim

Kadar glukosa haemolymph kepiting selama penelitian pada Gambar 4 menunjukkan peningkatan nilai yang cukup signifikan pada setiap perlakuan di akhir masa pemeliharaan. Secara keseluruhan, peningkatan kadar glukosa hemolim terendah terdapat pada perlakuan C yaitu dari 20.8 mg dL-1 pada awal masa pemeliharaan menjadi 24.8 mg dL-1 pada akhir masa pemeliharaan. Sebaliknya perlakuan D mengalami peningkatan kadar glukosa hemolymph tertinggi yaitu dari 21.4 mg dL-1 pada awal masa pemeliharaan menjadi 45.1 mg dL-1 pada akhir masa pemeliharaan.

Gambar 8. Kadar glukosa hemolim kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).

3.2.4 Total Haemocyte Count

Hasil uji Total Haemocyte Count (THC) pada awal dan akhir masa penelitian disajikan pada Gambar 3. Data tersebut menunjukkan peningkatan nilai THC pada setiap perlakuan. Peningkatan nilai THC terendah pada akhir penelitian terjadi pada perlakuan D sebesar 2.09 sel/mm3 pada awal masa pemeliharaan, naik menjadi 3.57 sel/mm3 pada akhir masa pemeliharaan. Sedangkan untuk peningkatan nilai THC tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 2.05 sel/mm3 pada awal masa pemeliharaan, naik menjadi 8.32 sel/mm3.

(33)

17

Gambar 9. Total haemocyte count haemolymph kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan pada awal dan akhir masa pemeliharaan selama 42 hari. Huruf berbeda di atas diagram menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).

3.3 Parameter Kinerja Produksi

Parameter kinerja produksi meliputi tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan mutlak (LPM), pertumbuhan panjang mutlak (PPM), rasio konversi pakan (RKP) dan koefisien keragaman (KK) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kinerja produksi kepiting bakau (Scylla serrata) pada perlakuan

penambahan titik aerasi yang berbeda; A (0 titik aerasi), B (satu titik aerasi), C (dua titik aerasi), dan D (tiga titik aerasi)

Parameter Kinerja Produksi Perlakuan penambahan titik aerasi

A(0) B(1) C(2) D(3)

Tingkat kelangsungan hidup (%) 40±10a 53.33±5.77ab 63.33±5.77b 20±10c

Laju pertumbuhan mutlak (g ekor-1 hari-1) 0.52±0.05ac 0.66±0.06a 0.83±0.03b 0.44±0.01c

Pertumbuhan panjang mutlak (cm) 2.8±0.3a 2.9±0.2a 4.2±0.4b 2.2±0.1a

Rasio konversi pakan (RKP) 5.2±0.5a 4.3±0.5ab 3.6±0.2b 6.9±0.6c

Koefisien keragaman (%) 15.12±1.6ac 17.86±1.2a 21.50±1.3b 12.99±0.5c

Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Hasil uji analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap nilai tingkat kelangsungan hidup (TKH), nilai laju pertumbuhan mutlak (LPM), pertumbuhan panjang mutlak (PPM), rasio konversi pakan (RKP) dan koefisien keragaman (KK) (Lampiran 4). Adapun serangkaian proses uji analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai TKH tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 63.33±5.77% dan terendah

(34)

18

terdapat pada perlakuan D yaitu 20±10%. Nilai LPM tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 0.83±0.03 g ekor-1 hari-1 dan terendah pada perlakuan D yaitu 0.44±0.01 g ekor-1 hari-1. Nilai PPM tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 4.2±0.4 cm dan terendah pada perlakuan D yaitu 2.2±0.1 cm. Nilai RKP terendah terdapat pada perlakuan C yaitu 3.6±0.2 dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 6.9±0.6. Nilai KK terendah terdapat pada perlakuan D yaitu 12.99±0.5 % dan tertinggi pada perlakuan C yaitu 21.50±1.3%.

3.3.1 Pertambahan Bobot

Hasil pengamatan terhadap peningkatan bobot rata-rata kepiting selama masa pemeliharaan selama 42 hari memiliki hasil yang berbeda pada setiap perlakuan yakni A (kontrol/tidak menggunakan titik aerasi), B (Satu titik aerasi), C (Dua titik aerasi) dan D (Tiga titik aerasi) mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Gambar 7). Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa bobot rata-rata kepiting meningkat hingga akhir pemeliharaan. Peningkatan bobot tertinggi terdapat pada perlakuan C dengan pemberian 2 titik aerasi yakni berkisar antara 46.8-81.8 g ekor-1. Sedangkan pertumbuhan bobot terendah pada perlakuan D dengan pemberian tiga titik aerasi yakni berkisar antara 47.9-66.6 g ekor-1.

Gambar 10. Pertambahan bobot rata-rata kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan 42 hari

3.3.2 Pertambahan Panjang Karapas

(35)

19

Gambar 11. Pertambahan panjang karapas rata-rata (cm) kepiting bakau Schylla serrata pada setiap perlakuan selama masa pemeliharaan 42 hari

Pembahasan

Penggunaan sistem resirkulasi selama pemeliharaan berlangsung bertujuan untuk menjaga kestabilan kualitas air dan mengurangi pergantian air pada media. Sistem resirkulasi ini pada dasarnya merupakan proses filtrasi yang melewatkan air melalui media berpori. Salah satu parameter kualitas air yang dapat diminimalisir adalah kekeruhan (Salmin 2005). Padatan terlarut dan kekeruhan memiliki korelasi positif, akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi tetapi tidak berarti kekeruhannya juga tinggi (Jewlaika et al. 2014). Sistem resirkulasi ini melibatkan beberapa komponen yaitu filter fisik, filter kimia dan filter biologi. Filter fisik yang digunakan berupa kapas filter dan pasir malang. Kapas filter dan pasir malang berperan dalam menyaring padatan tersuspensi dalam air. Sifat pasir malang yang berongga halus dapat menjebak partikel-partikel seperti sisa feses dan pelet, sehingga dapat menyaring kotoran-kotoran tersebut (Nurhidayat et al. 2012). Filter kimia menggunakan batu zeolit. Batu zeolit berperan dalam penyerapan zat beracun seperti amonia dan nitrit. Zeolit merupakan mineral alumunia silikat terhidrat yang memiliki rongga berisi molekul air dan kation-kation bebas yang dapat dipertukarkan (Supriyono et al. 2007). Struktur yang berongga pada zeolit tersebut juga mampu menyerap atau menyaring sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan rongganya (Erdem dan Karadinar 2004). Filter biologi yang dipakai adalah bioball yang berperan sebagai media tempat pelekatan mikroba. Mikroba yang tumbuh merupakan bakteri nitrifikasi yang berperan dalam mendegradasi amonia nitrogen kedalam bentuk nitrat yang tidak beracun bagi ikan (Dewi dan Masithoh 2013). Kelimpahan dan aktivitas bakteri di sedimen berpengaruh terhadap konsentrasi

(36)

20

senyawa toksik yang dapat mempengaruhi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan biota yang dipelihara (Badjoeri et al. 2010). Beberapa parameter kualitas air juga telah dirancang sesuai dengan kebutuhan optimum untuk menunjang pertumbuhan kepiting bakau. Nilai salinitas sebesar 25 g L-1, nilai pH sebesar 7 dan nilai suhu sebesar 29°C (Hastuti et al. 2013) merupakan parameter kualitas air optimum yang menjadi dasar acuan penelitian ini untuk menciptakan kondisi lingkungan yang nyaman untuk kepiting bakau.

Parameter kualitas air yang diamati adalah kadar oksigen terlarut (OT). Oksigen terlarut merupakan gas yang sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan air (Hickling 1971). Oksigen terlarut dalam suatu perairan diperoleh melalui difusi dari udara ke dalam air, aerasi mekanis, dan fotosintesis tanaman akuatik. Salah satu metode yang sering dipakai untuk meningkatkan kadar oksigen dalam perairan adalah penambahan batu aerasi, kincir air, pipa U serta teknologi ganti air pada wadah pemeliharaan budidaya perikanan. Oksigen terlarut dalam air dapat berkurang akibat adanya respirasi dan pembusukan bahan organik pada dasar perairan. Keberadaan oksigen terlarut pada media pemeliharaan seringkali menjadi faktor pembatas sehingga keberadaannya harus selalu tersedia pada jumlah minimum tertentu. Wedemeyer dan Yasutake (1978) menyatakan bahwa ketersediaan oksigen terlarut sangat penting dalam budidaya intensif, karena bila kekurangan akan mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan ikan bahkan kematian. Hal ini dikarenakan oksigen terlarut dibutuhkan oleh ikan dalam proses metabolisme tubuh untuk membantu pembakaran makanan sehingga menghasilkan energi yang selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan pematangan gonad. Kekurangan OT pada media pemeliharaan dapat berdampak terhadap hilangnya nafsu makan pada ikan. Oksigen terlarut juga dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dalam proses aerobik. Hal tersebut terkait dengan aktifitas bakteri nitrifikasi yang merombak amonia menjadi nitrit yang kemudian akan diubah lagi menjadi nitrat (zat hara) dengan bantuan oksigen sebagai oksidator. Penambahan aerasi dalam budidaya intensif mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya persaingan oksigen (Huisman 1987). Oleh sebab itu pada penelitian ini parameter oksigen terlarut menjadi fokus utama karena perannya sebagai faktor pembatas yang dapat mempengaruhi kinerja produksi dan hormonal biota serta parameter kimia air lainnya.Konsentrasi oksigen terlarut selama 42 hari pemeliharaan pada masing-masing perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda. Pada perlakuan A dengan tidak adanya penambahan aerasi dan hanya mengandalkan ganti air dari sistem resirkulasi menunjukkan nilai pada kisaran 3.3-3.9 mg L-1. Pada perlakuan B dengan penambahan satu titik aerasi menunjukkan nilai OT pada kisaran 3.9-4.8 mg L-1. Perlakuan C dengan penambahan dua titik aerasi mempunyai nilai OT tertinggi dari semua perlakuan yaitu berada pada kisaran 5.1-5.7 mg L-1. Pada perlakuan A, B dan C konsentrasi oksigen terlarut secara umum menurun secara stabil hingga akhir masa pemeliharaan (Gambar 5). Proses penurunan oksigen secara stabil ini diakibatkan oleh ukuran S. serrata yang semakin besar dan dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen semakin banyak (Boyd 1982).

(37)

21 Penurunan nilai OT diakibatkan oleh banyaknya sisa pakan, buangan hasil metabolisme serta kepiting bakau mati yang menyebabkan banyaknya lapisan lendir pada permukaan air sehingga mengurangi kemampuan difusi oksigen dari udara ke air oleh aerasi. Aktivitas perombakan amonia oleh bakteri menjadi nitrit dan nitrat yang tinggi secara aerob tersebut juga mengkonsumsi OT sehingga menyebabkan turunnya nilai OT. Hal tersebut bisa dilihat dari grafik peningkatan nilai nitrit dari awal pemeliharaan sampai pada hari ke-28 dan kemudian mulai menurun sampai akhir masa pemeliharaan (Lampiran 5). Sedangkan nilai nitrat mengalami kenaikan dari awal sampai akhir masa pemeliharaan. Peningkatan nilai OT dari hari ke-32 sampai akhir masa pemeliharaan diakibatkan sudah menurunnya populasi kepiting pada perlakuan ini yang mengakibatkan semakin rendahnya suplai amonia yang berasal dari sisa pakan dan kotoran biota (Gambar 5). Penurunan nilai OT juga disebabkan oleh buih yang terdapat pada permukaan media. Buih tersebut berasal dari gelembung aerasi yang bercampur lendir dari tubuh kepiting bakau. Lendir tersebut merupakan indikator stress kepiting bakau terhadap kualitas lingkungan yang buruk. Buih yang menutupi permukaan membuat daya larut air semakin kecil sehingga akan menghalangi penyerapan oksigen melalui proses difusi (Boyd 1982). Pemberian tiga titik aerasi juga meningkatkan konsentrasi total suspended solid (TSS) pada media pemeliharaan (Lampiran 5). Perlakuan D mempunyai laju peningkatan TSS paling signifikan yakni berkisar antara 28.9-142.4 mg L-1. Hal ini diakibatkan banyaknya bahan organik yang terdapat di kolom air. Banyaknya bahan organik di perairan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk, mengurangi kemampuan kepiting dalam menangkap pakan dan padatan tersuspensi nya dapat menyumbat insang. Dari data diatas menunjukkan perlakuan C memberikan suplai OT paling stabil dan terbaik diantara perlakuan lain. Hal tersebut sesuai dengan FAO (2011) menetapkan standar kualitas air untuk memelihara kepiting bakau, dengan kisaran OT optimum lebih dari 5 mg L-1 dan diperkuat oleh KepMen-LH No. 54 Tahun 2004 mengenai kandungan oksigen untuk biota air laut yaitu lebih dari 5 mg L-1. Sedangkan menurut Paital dan Chainy (2012) kisaran OT pada habitat alami S. serrata di perairan India berkisar antara 4-10 mg L-1.

Beberapa parameter kualitas air lainnya seperti pH, suhu, salinitas, alkalinitas, amonia, nitrit, nitrat dan TSS untuk perlakuan A (tidak menggunakan titik aerasi), B (satu titik aerasi) dan C (dua titik aerasi) memiliki kisaran yang masih sesuai dengan kisaran maksimum yang telah ditentukan tetapi untuk perlakuan D (tiga titik aerasi) pada beberapa parameter seperti amonia dan TSS mempunyai nilai paling tinggi diantara perlakuan lain (Tabel 2). Hal ini diakibatkan oleh pengadukan yang kencang oleh tiga titik aerasi tersebut yang menyebabkan pakan rucah melayang di kolom perairan sehingga berpotensi untuk meningkatkan limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan.Kinerja produksi dan respon stress S.serrata secara langsung berkaitan erat dengan kualitas air sebagai media tempat pemeliharannya. Perbedaan nilai kualitas air antar perlakuan inilah yang menyebabkan perbedaan nilai kinerja produksi dan respon stress antar perlakuan.

(38)

22

imunitas, kegagalan reproduksi, penurunan bobot karkas, hingga kepada kematian hewan (Prodjodihardjo 2002). Stres juga menggambarkan kondisi terganggunya homeostasi hingga berada diluar batas normal serta memerlukan proses-proses pemulihan untuk diperbaiki. Menurut Woodward dan Strange (1987) kondisi stres pada ikan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal adalah yang terkait langsung pada proses yang terjadi di dalam tubuh ikan seperti tingkat imunitas tubuh dan keseimbangan nutrien. Sedangkan perubahan eksternal yang dapat menimbulkan respon stres diantaranya terjadi akibat perubahan lingkungan, kualitas air, penanganan, dan lain sebagainya yang berasal dari luar tubuh ikan. Kadar kortisol tubuh merupakan parameter primer yang menunjukkan tingkat stres ikan. Tingginya hormon kortisol dapat mempengaruhi resistensi ikan terhadap penyakit. Porchase et al. (2009) menyatakan pada saat ikan mengalami stres, respons fisiologis pertama yang dilakukan untuk menjaga homeostasi adalah dengan mengatur mekanisme fungsi hormonal. Ransangan atau faktor penyebab stres akan diterima oleh ikan melalui kelenjar hyphothalamus yang kemudian berdampak terhadap terjadinya pelepasan hormon kortisol pada jaringan interrenal. Peningkatan kadar kortisol tubuh tersebut berdampak negatif terhadap kondisi fisiologis ikan. Dalam kondisi stres terjadi realokasi energi metabolik aktivitas investasi (seperti pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktivitas untuk memperbaiki homeostasi, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidromineral dan perbaikan jaringan (Wendelaar 1997). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Barton et al. (1987) yang menyatakan bahwa respons terhadap stres dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol yang dalam jangka panjang dapat berdampak kronis seperti terhambatnya sistem reproduksi, menurunnya laju pertumbuhan, melemahnya sistem kekebalan tubuh, meningkatnya penyakit, hingga terjadinya kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan hormon kortisol dari kondisi awal. Peningkatan dengan nilai terendah terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 13.9 nmol L-1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kondisi homeostasi yang baik sehingga dapat menekan tingkat stres S.serrata. Sedangkan peningkatan kadar kortisol dalam darah tertinggi terdapat pada perlakuan D yaitu sebesar 24 nmol L-1. Tingginya kadar kortisol tersebut mengindikasikan bahwa kepiting bakau mengalami tingkat stres yang tinggi. Tingkat stres tersebut berasal dari mutu kualitas air yang buruk. Hal ini sesuai dengan Adams (1990) yang menyatakan stres merupakan suatu adaptasi terhadap perubahan fisiologis yang dihasilkan dari berbagai stresor lingkungan.

(39)

23 perlakuan C memiliki nilai kadar glukosa paling rendah yaitu sebesar 24.8 mg dL -1. Hal tersebut menunjukkan bahwa S.serrata yang dipelihara pada perlakuan C memiliki tingkatan stres paling rendah dibanding dengan perlakuan lain. Sekresi hormon insulin yang lancar dapat membantu proses penyerapan glukosa dalam darah oleh sel. Hal tersebut didukung juga oleh data kortisol darah pada perlakuan C yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Sedangkan nilai kadar glukosa darah tertinggi terdapat pada perlakuan D sebesar 45.1 mg dL-1. Kualitas air yang buruk adalah faktor yang menyebabkan tingginya kadar glukosa darah pada perlakuan D sehingga menyebabkan biota uji menjadi stres. Stres juga berpengaruh pada jalur metabolik yang menekan sistem imunitas ikan sehingga ikan yang mudah stres rentan terhadap penyakit (Anderson 1999).

Sel hemosit merupakan sel-sel darah yang beredar pada invertebrata yang merupakan efektor imun utama yang melakukan fungsi imunologi beragam termasuk fagositosis, regenerasi molekul sitotoksik ketika dibawah paparan racun dan juga termasuk pemeliharaan homeostasis serta bertanggung jawab dalam berbagai mekanisme perlindungan (Vijayavel 2007). Jumlah sel hemosit dalam tubuh atau Total Haemocyte Count (THC) diyakini mempengaruhi kemampuan organisme untuk bereaksi melawan benda asing dan berbagai respon terhadap infeksi, perubahan lingkungan pada sebagian besar crustacea (Tsing et al. 1989). Faktor lingkungan mendasar seperti suhu, salinitas dan oksigen terlarut sangat mempengaruhi jumlah THC pada beberapa spesies dekapoda krustasea. Salah satu contoh adalah faktor hipoksia sebagai akibat dari konsentrasi oksigen terlarut (OT) yang rendah yaitu sebesar 1 mg L-1 pada pemeliharaan udang P. Stylirostris yang menyebabkan penurunan jumlah THC. Konsisi hipoksia tersebut menyebabkan menjadi stres dan rentan terhadap infeksi Vibrio alginolyticus (Cheng dan Chen 2001). Kelimpahan sel hemosit juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jenis kelamin, molting, status reproduksi dan nutrisi, ukuran, seks, dan berat badan. Berdasarkan data penelitian dapat dilihat bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan jumlah sel hemosit pada akhir masa pemeliharaan. Peningkatan nilai THC tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu dari nilai 2.05 sel/mm3 pada awal pemeliharaan menjadi 8.32 sel/mm3 pada akhir masa pemeliharaan. Sedangkan berturut-turut nilai THC pada akhir pemeliharaan perlakuan A dan C adalah 7.51 sel/mm3 dan 8.13 sel/mm3. Peningkatan nilai THC pada perlakuan B dan C memiliki hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Sedangkan perlakuan D mengalami peningkatan nilai THC paling rendah yaitu dari nilai 2.09 sel/mm3 pada awal pemeliharaan menjadi 3.57 sel/mm3 pada akhir pemeliharaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan B dan C memiliki kondisi lingkungan yang baik untuk menunjang pembentukan sistem imun S.serrata dilihat dari banyakya sel-sel hemosit yang diproduksi. Hal ini juga sesuai dengan Cook et al. (2003) yang menjelaskan bahwa terbentuknya sel- sel hemosit memiliki peluang lebih tinggi dalam pengendalian dari serangan patogen baik bakteri maupun virus dan mampu meningkatkan sistem imun.

(40)

24

budged energi untuk pertumbuhan menjadi lebih banyak. TKO dapat menggambarkan respons stres pada ikan karena peningkatan tingkat konsumsi oksigen terjadi apabila ikan dalam kondisi yang tidak seimbang. Ikan akan melakukan aktifitas bergerak yang lebih aktif sehingga proses respirasi akan semakin tinggi (Li et al. 2007). Bonga (1997) juga menyatakan bahwa kondisi stres akan menyebabkan terjadinya realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktivitas untuk memperbaiki homeostasis, seperti peningkatan respirasi, pergerakan yang lebih aktif, regulasi hidromineral dan perbaikan jaringan. Berdasarkan data diatas perlakuan D memiliki kisaran peningkatan nilai TKO paling tinggi dibandingkan perlakuan lain yaitu berkisar antara 0.50-0.75 mgO2 g-1 jam-1. Sedangkan kisaran peningkatan nilai TKO terendah terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 0.45-0.58 mgO2 g-1 jam-1 (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan C memiliki kualitas lingkungan yang stabil dan optimum untuk menunjang kinerja pertumbuhan sehingga S.serrata dapat mengatur konsumsi oksigen untuk kegiatan metabolisme tanpa menggangu aktivitas pertumbuhan dan reproduksi.

(41)

25 pengadukan pada media yang terlalu kencang. Hal tersebut juga mengakibatkan nilai tertangkapnya pakan oleh kepiting bakau menjadi rendah karena banyaknya pakan yang melayang-layang di kolom air. Hal ini juga ditunjukkan dengan banyaknya sisa pakan yang tidak termakan pada proses penyiponan. Kurangnya pakan yang dapat ditangkap oleh kepiting bakau juga mengakibatkan banyaknya kepiting mati karena nilai kanibalisme meningkat.

Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ikan dalam bobot dan panjang seiring dengan bertambahnya waktu (Affandi 2002). Huet (1971) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari daya tahan terhadap penyakit dan genetik. Faktor eksternal meliputi faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup serta ketersediaan makanan. Berdasarkan Tabel 3melalui uji analisis ragam (P>0.05), penambahan jumlah titik aerasi yang berbeda memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan terhadap parameter kinerja produksi. Beberapa parameter kinerja produksi terkait pertumbuhan antara lain laju pertumbuhan mutlak (LPM) dan pertumbuhan panjang mutlak (PPM). Kedua parameter diatas mempunyai korelasi positif. Nilai LPM tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 0.83±0.03 g ekor-1 hari-1 diikuti perlakuan B yang mempunyai nilai sebesar 0,66±0,06 g ekor-1 hari-1 dan perlakuan A sebesar 0.52±0.05 g ekor-1 hari-1. Perlakuan D memiliki nilai LPM terendah yaitu 0.44±0.01 g ekor-1 hari-1. Selaras dengan nilai LPM, nilai PPM tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 4.2±0.4 cm. Sedangkan perlauan A, B dan D berturut-turut sebesar 2.8±0.3 cm, 2.9±0.2 cm, dan 2.2±0.1 cm.

(42)

26

fitoplankton (Novotny dan Olem 1994). Kompetisi ini dapat mengakibatkan S.serrata mengalami stres sehingga laju pertumbuhan pun terganggu. Kurangnya pakan yang masuk dalam tubuh kepiting juga menyebabkan pembentukan energi tidak maksimal. Energi yang telah terbentuk juga dimanfaatkan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang buruk sehingga porsi energi untuk pertumbuhan semakin sedikit (Lovell 1977).

Parameter kinerja produksi lainnya adalah rasio konversi pakan (RKP) yang merupakan rasio kebutuhan jumlah pakan untuk menghasilkan satu kilogram biomassa ikan kultur (NRC 1983). Berdasarkan data penelitian, perlakuan C memiliki nilai RKP paling rendah yaitu 3.6±0.2 (Tabel 3). Semakin rendah nilai RKP maka semakin efisien pula penyerapan pakan yang kemudian diubah menjadi daging (bobot biomassa). Hal tersebut dikarenakan pada perlakuan C proses pengadukan yang terjadi oleh dua titik aerasi masih menyisakan ruang untuk pakan dapat mencapai dasar sehingga memperbesar peluang tertangkapnya pakan oleh S.serrata. Pengurangan penumpukan bahan organik akibat berkurangnya sisa pakan juga berefek pada suplai OT yang lebih stabil dikarenakan berkurangnya aktivitas bakteri yang menggunakan OT untuk melakukan proses pembusukan. Nilai OT yang stabil juga dapat berefek pada proses respirasi aerob oleh S.serrata yang lebih optimum dibanding perlakuan lain. Porsi energi untuk digunakan ke pertumbuhan juga menjadi lebih besar. Perlakuan D memiliki nilai RKP paling tinggi diantara perlakuan lain yaitu sebesar 6.9±0.6 dengan nilai EP sebesar 14.5±1.2%. Hal tersebut menunjukkan pada perlakuan D, pakan yang diberikan sangat tidak efisien dalam menghasilkan bobot biomassa. Tingginya nilai RKP pada perlakuan D juga diakibatkan oleh buruknya kualitas air terutama pada parameter amonia dan TSS (Tabel 2). Pengadukan oleh tiga titik aerasi juga terjadi secara merata pada seluruh bagian wadah. Pakan yang diberikan tidak sepenuhnya dapat terdistribusi dengan baik karena ada beberapa pakan yang melayang pada badan air sedangkan S.serrata terdapat pada dasar wadah. Hal ini diperkuat dengan data rata-rata pakan sisa setiap hari selama masa pemeliharaan pada perlakuan D paling tinggi yaitu mencapai 16.5 gr sedangkan perlakuan C paling rendah yaitu 9.2 gr (Lampiran 6). Begitu pula pada perlakuan A dan B yang memiliki nilai RKP lebih tinggi dari perlakuan C yaitu berturut-turut 5.2±0.5 dan 4.3±0.5. Pada perlakuan A dan B walaupun efek pengadukan oleh titik aerasi sangat kecil dan pakan sebagian besar dapat sampai ke dasar wadah, kurangnya suplai oksigen pada proses respirasi aerob menyebabkan energi ATP yang dihasilkan tidak maksimal. Budged energi yang akan digunakan untuk keperluan aktifitas dan metabolisme juga meningkat, yaitu penyesuaian diri untuk menjaga homeostasi sebagai dampak dari kondisi lingkungan yang tidak ideal. Hal tersebut kemudian menyebabkan porsi energi untuk pertumbuhan berkurang.

Gambar

Gambar 1. Skema penempatan titik aerasi pada wadah pemeliharaan
Gambar 2. Skema resirkulasi
Gambar 4. Diagram Alir penelitian
Tabel 2. Parameter kualitas air pada wadah pemeliharaan kepiting bakau (Scylla serrata) untuk perlakuan penambahan titik aerasi yang berbeda; A (0 titik aerasi), B (satu titik aerasi), C (dua titik aerasi), dan D (tiga titik aerasi)
+5

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Jenis Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Stadia Juvenil Kepiting Bakau (Scylla serrata).”

Berdasarkan gambar 1, terbukti bahwa pada awal pemeliharaan, perlakuan pH tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p&gt;0,05) terhadap tingkat konsumsi oksigen pada

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji aspek pertumbuhan kepiting bakau ( Scylla serrata) yang meliputi hubungan panjang bobot, proporsi kelamin, faktor kondisi serta

Hasil pemetaan selisih logaritma lebar karapaks total (sumbu Y) terhadap nilai tengah kelas (sumbu X) kepiting bakau ( Scylla serrata ) yang berumur dua tahun dapat

Pada pemeliharaan krablet kepiting bakau (Scylla serrata) yang dilakukan oleh Unnikrishnan &amp; Pauraj (2010), benih kepiting tersebut hanya diberi pakan sebanyak 6%/hari

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Pakan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla serrata) adalah bukan karya orang

Penelitian mengenai Kajian Penambahan Kombinasi Dosis Bayam Dan Air Kapur Pada Pakan Untuk Mempersingkat Durasi Moulting Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dilakukan

penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Jenis Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Stadia Juvenil Kepiting Bakau (Scylla serrata).”