PERBAIKAN MUTU BIOMINERAL CAIRAN RUMEN DENGAN
PENAMBAHAN MINERAL MAKRO TERHADAP ASPEK
POPULASI BAKTERI DAN PROTOZOA RUMEN
SKRIPSI
MEGA PRATIWI SARAGI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
i
RINGKASAN
Mega Pratiwi Saragi. (D24070224). 2012. Perbaikan Mutu Biomineral Cairan
Rumen dengan Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi Bakteri dan Protozoa Rumen. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Dewi A. Astuti, MS
Biomineral adalah suplemen mineral yang berasal dari produk sampingan rumah potong hewan. Suplementasi penting dilakukan karena hijauan pakan ternak di Indonesia ditanam di lahan yang miskin kandungan haranya sehingga biasanya memiliki kandungan mineral yang rendah pula. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia dapat mengakibatkan penurunan produksi dan ketidakseimbangan kondisi mikroba rumen. Suplemen biomineral dapat dibuat dari cairan rumen sebagai limbah rumah potong hewan, tetapi kurang kandungan unsur mineral makronya. Biomineral yang diperkaya dengan mineral Ca, P, Mg, dan S dapat menjadi solusi yang baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan mineral makro terhadap aspek populasi bakteri rumen, protozoa rumen, dan sintesis protein mikroba.
Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 5 x 2 dan 4 ulangan. Faktor A adalah level biomineral yang diperbaiki mutunya (A1= 0 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A2= 0,5 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A3= 1 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A4= 1,5 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A5= 2 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000)). Faktor B adalah waktu inkubasi (0 dan 3 jam). Data yang didapat dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) dan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan orthogonal kontras.
Level biomineral yang diperbaiki dengan penambahan mineral makro sampai dengan 2 kali NRC untuk sapi pedaging dapat meningkatkan populasi bakteri total (P<0,1), tetapi perlakuan ini belum dapat memberikan efek yang nyata terhadap populasi protozoa total, bakteri amilolitik, selulolitik, dan proteolitik. Waktu inkubasi 3 jam dapat meningkatkan populasi bakteri total dan selulolitik (P<0,05) dan bakteri proteolitik (P<0,06). Peningkatan populasi bakteri amilolitik dan sintesis protein mikroba tidak berbeda nyata pada inkubasi 3 jam.
Kesimpulannya adalah biomineral yang diperbaiki mutunya dengan level mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) 1,5 kali NRC dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai suplemen berdasarkan efeknya terhadap populasi bakteri total.
ii
ABSTRACT
Quality Improvement of Rumen Fluid Biomineral with Macro Mineral Enrichment on Rumen Bacterial and Protozoal Populations
Mega P. Saragi, A. S. Tjakradidjaja and D. A. Astuti
Mineral is nutrient that is necessary to present in diet of ruminants because it has important roles in physiological processes in animals and are required by the rumen microbes. Pastures in Indonesia, especially those that are planted in infertile land, generally have low mineral contents. Organic mineral supplementation is required to balance body processes and increase animal productivity. Biomineral is a mineral supplement that is made up of rumen fluid as byproduct of slaughter house, but it lack of macro mineral. It is necessary to improve biomineral quality by enrichment with Ca, P, Mg, and S. Therefore, this experiment was conducted to study the effect of macro mineral enrichment in improving biomineral quality on rumen bacterial population, protozoal population and microbial protein synthesis. This study used a factorial completely randomized block design with 5 x 2 factors and 4 replications. Factor A was level of macro mineral addition into biomineral : A1= 0 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A2= 0.5 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A3= 1 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A4= 1.5 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A5= 2 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000). Factor B was incubation time (0 and 3 hours). The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA), the difference between treatments were tested with contrast orthogonal. Levels of biomineral improvement up to 2 x increased total bacterial population (P<0.10); however, these treatments did not produce significant effects on protozoal, amylolitic, cellulolytic and proteolytic bacterial populations. Total and cellulolytic (P<0.05) and proteolytic (P<0.06) bacterial populations increased at 3 h incubation. The increases in amylolytic bacterial population and microbial protein synthesis were not significant at 3 h incubation period. It is concluded that level of 1.5 x NRC is recommended to be used as supplement based on its effect on total bacterial population.
iii
PERBAIKAN MUTU BIOMINERAL CAIRAN RUMEN DENGAN
PENAMBAHAN MINERAL MAKRO TERHADAP ASPEK
POPULASI BAKTERI DAN PROTOZOA RUMEN
MEGA PRATIWI SARAGI D24070224
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
iv
Judul Skripsi : Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan
Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi Bakteri dan Protozoa Rumen
Nama : Mega Pratiwi Saragi
NIM : D24070224
Menyetujui :
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS.
NIP. 19610930 198603 2 003 NIP. 19611005 198503 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr. NIP. 19670506 199103 1 001
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Desember 1989 di Sungai Apit, Riau.
Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak E. Saragi dan Ibu C. Mardiati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN 014 Sungai Apit,
pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMPN 1
Sungai Apit dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di
SMUN 3 Siak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
(TPB), Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB
pada tahun 2007 dan menerima beasiswa penuh untuk S1. Penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
Selama menjalani pendidikan di IPB penulis aktif mengikuti beberapa
organisasi kemahasiswaan yaitu UKM Persatuan Mahasiswa Kristen (PMK)
khususnya Komisi Kesenian (Komkes) dan terlibat dalam beberapa kepanitiaan
dalam acara yang diselenggarakan oleh PMK dan Komkes di lingkungan kampus
IPB. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen pada tahun
2010-2011 dan Integrasi Proses Nutrisi pada tahun 2011. Selama menempuh
pendidikan di IPB, pada tahun 2009 penulis juga berkesempatan bergabung dalam
tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang mendapat bantuan dana
dari DIKTI dengan judul proposal “Pocarichick Sebagai Solusi Penanganan Heat
Stress pada Budidaya Ayam Broiler di Daerah Tropis”. Pada tahun 2009 juga
penulis berkesempatan untuk magang di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
telah melimpahkan berkat dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi Bakteri dan Protozoa
Rumen”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan
Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium
Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor selama 7 bulan dari bulan Agustus 2010 hingga bulan Maret
2011.
Biomineral cairan rumen merupakan salah satu suplemen mineral yang baik
digunakan untuk mengatasi defisiensi mineral pada ternak ruminansia yang
mendapatkan pakan hijauan dari hijauan yang ditanam di tanah yang miskin unsur
hara sehingga kandungan mineral yang terdapat di dalam hijauan tersebut juga
sedikit. Namun kandungan mineral makro biomineral cairan rumen kurang
mencukupi kebutuhan ternak tropis sehingga harus diperbaiki mutunya dengan
penambahan mineral Ca, P, Mg, dan S. Mineral dibutuhkan oleh inang dan juga oleh
mikroba rumen. Keragaman mikroba rumen yang diteliti pada penelitian ini
menggambarkan bagaimana pengaruh pemberian biomineral yang telah diperbaiki
mutunya terhadap populasi protozoa dan bakteri di dalam rumen dengan harapan
biomineral dapat digunakan untuk mengoptimalkan aktivitas mikroba rumen.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan serta
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Bogor, 24 Januari 2012
viii
Perhitungan Populasi Protozoa ... ... 17
Perhitungan Populasi Bakteri Total, Selulolitik, Amilolitik dan Proteolitik ... 17
Perhitungan Sintesis Protein Mikroba ... ... 19
Rancangan Percobaan ... 19
Perlakuan ... ... 19
Model ... 21
Peubah ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Suplementasi Biomineral ... 23
Populasi Protozoa Total ... 27
Bakteri Amilolitik ... 29
Bakteri Selulolitik ... 30
Bakteri Proteolitik ... 33
Bakteri Total ... 35
Sintesis Protein Mikroba ... 36
KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
Kesimpulan ... 39
Saran ... 39
Ucapan Terimakasih ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tabel Rataan Bobot Badan (BB) Awal, Bobot Badan (BB) Akhir,
dan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Perbobot Badan
Metabolis (BBM) Ternak ... 4
2. Tabel Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah (Friesian Holstein) .... 6
3. Tabel Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging (Angus) ... 6
4. Tabel Kandungan Mineral Biomineral ...
20
5. Tabel Pemberian Mineral Makro pada Perlakuan ...
21
6. Tabel Kandungan Zat Makanan dalam Biomineral Cairan Rumen.. 24
7. Tabel Kandungan Mineral dalam Biomineral Cairan Rumen yang
Telah Diperbaiki Mutunya ………. ……. 26 8. Tabel Rataan Populasi Protozoa Total pada Perlakuan in vitro……. 27
9. Tabel Rataan Populasi Bakteri Amilolitik pada Perlakuan in vitro... 30
10.Tabel Rataan Populasi Bakteri Selulolitik pada Perlakuan in vitro… 31
11.Tabel Rataan Populasi Bakteri Proteolitik pada Perlakuan in vitro… 34
12.Tabel Rataan Populasi Bakteri Total pada Perlakuan in vitro……... 36
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Biomineral dari Cairan Rumen ... 16
2. Proses Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007) ... 17
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Komposisi dan Pembuatan Media Bakteri Total ... 46
2. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Amilolitik ... 46
3. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Selulolitik ... 47
4. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Proteolitik ... 47
5. Komposisi Media Stock……….. 47
6. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall ... 48
7. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan TCA ... 49
8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa Total ... 49
9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Amilolitik ... 49
10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Selulolitik ... 50
11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Proteolitik ... 50
12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Total ... 51
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satu
faktor adalah rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, namun defisiensi berbagai
nutrien mengakibatkan penurunan performa ternak. Salah satu defisiensi yang sering
terjadi pada ternak adalah mineral. Proses-proses dalam tubuh ternak dapat
berlangsung sempurna bila mineral tercukupi. Mineral di dalam rumen dibutuhkan
oleh mikroba untuk pembentukan komponen sel, komponen enzim dan kofaktor.
Dilihat dari fungsi mikroba yang berperan penting dalam proses fermentasi maka
defisiensi mineral akan sangat mempengaruhi proses tersebut.
Secara alami mineral esensial makro dan mikro terdapat dalam tanaman
hijauan atau rumput pakan ternak, akan tetapi kandungan mineral dalam pakan
tersebut kurang mencukupi kebutuhan. Keadaan iklim di Indonesia yang tidak
menentu dan kondisi tanah yang biasa digunakan untuk menanam hijauan pakan
adalah tanah yang kandungan unsur haranya kurang terutama Ca dan P, maka hijauan
yang ditanam di tanah yang miskin unsur hara ini mengandung mineral yang sedikit
pula. Ternak yang mengkonsumsi hijauan ini akan mengalami defisiensi mineral.
Defisiensi mineral yang terjadi pada ternak dapat diatasi dengan pemberian suplemen
mineral premix atau biomineral.
Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang dibuat dari
mikroba cairan rumen. Cairan rumen adalah produk sampingan usaha peternakan
yang terbatas pemanfaatannya. Pembuatan biomineral dari cairan rumen limbah
rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu cara pemanfaatan yang baik,
karena selain dapat memanen kandungan mineralnya, juga dapat menghindari
permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan bahan organik ke
lingkungan secara langsung.
Biomineral kaya akan kandungan mineral mikro seperti Fe, Zn, Se, Al, dan
Cu, akan tetapi rendah kandungan mineral makronya seperti Ca, P, Mg, dan S
(Tjakradidjaja et al., 2007; Suganda, 2009), oleh karena itu perlu dilakukan
penambahan mineral makro yang kurang untuk mendapatkan biomineral yang lebih
2 ruminansia dalam beberapa penelitian dan berpengaruh positif terhadap performa
ternak.
Mikroba rumen penting bagi hewan ruminansia karena selain mampu
memecah serat kasar, mikroba dapat juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
protein dan vitamin inangnya. Menurut Suganda (2009), penggunaan suplemen
biomineral yang diperkaya kadar Ca-nya pada anak sapi diduga dapat meningkatkan
aktivitas mikroba di dalam rumen. Ruckebusch dan Thivend (1980) menyatakan
bahwa Ca ikut serta dalam sintesis dan stabilitas struktur dinding sel mikroba, Ca
juga diperlukan untuk mengaktifkan berbagai macam enzim mikroba seperti α
-amilase, dan Ca diperlukan oleh mikroba rumen untuk mencerna selulosa. Perbaikan
ini dapat meningkatkan produksi berupa pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih
besar. Suganda (2009) menyatakan bahwa anak sapi yang hanya diberi pakan kontrol
mempunyai PBB sebesar 0,097 kg/hari, sedangkan anak sapi yang diberi pakan
kontrol + biomineral mempunyai PBB lebih baik yaitu 0,150 kg/hari.
Hasil percobaan Suganda (2009) memperlihatkan bahwa, dari PBB ternak
dapat diduga bahwa penggunaan biomineral sebagai suplemen mineral dapat
memperbaiki dan menstimulasi aktivitas mikroba rumen dalam mencerna dan
menggunakan serat. Hal ini meningkatkan ketersediaan zat makanan untuk PBB.
Menurut Suryahadi (1996), ternak di Indonesia harus diberi asupan mineral sekitar
1,5 sampai 2 kali kebutuhan NRC untuk mendapatkan produksi yang optimal,
sehingga harus dilakukan perbaikan mutu biomineral dengan cara penambahan
mineral makro yang kurang. Dengan demikian perlu diketahui manfaat penggunaan
biomineral yang telah diperbaiki mutunya terhadap aktivitas mikroba rumen terutama
aspek mikrobiologis rumen yaitu populasi dan sintesis protein mikroba rumen.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek penggunaan
suplemen biomineral yang telah ditingkatkan mutu kandungannya dengan
penambahan mineral Ca, P, Mg, dan S pada berbagai taraf terhadap populasi bakteri
3
TINJAUAN PUSTAKA Biomineral dan Mineral Organik
Suplemen mineral dapat diproduksi dari cairan rumen limbah rumah potong
(RPH). Cairan rumen mengandung zat makanan, seperti protein, vitamin, mineral,
dan lain-lain, yang diproduksi oleh mikroba rumen. Potensi nutrien dari cairan rumen
ini dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi suplemen biomineral (Tjakradidjaja et al.,
2007). Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang mempunyai
nilai biologis cukup baik bila ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Cara
menghasilkan biomineral dari cairan rumen limbah rumah potong, dapat dilakukan
dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke
dalam protein mikrobalnya melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan,
penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et
al., 2009).
Biomineral cairan rumen berbeda dengan mineral organik. Biomineral
diperoleh dengan cara pemanenan protein mikroba rumen (Tjakradidjaja et al.,
2007), sementara mineral organik yang telah banyak diproduksi telah dibuat dengan
bantuan fungi atau dengan bantuan media pengikat seperti sumber protein. Pada
pembuatan mineral organik yang dilakukan Chaerani (2004), mineral anorganik Zn++
dan Cu++ diikat oleh gugus karboksil dari protein ampas tahu. Penggunaan mineral mikro organik dapat meningkatkan pertumbuhan, reproduksi, dan kesehatan
ruminansia karena bioavaibilitasnya lebih tinggi atau lebih mirip dengan sumber
mineral yang tersedia di dalam tubuh. Suplemen mineral mikro organik membentuk
kompleks dengan unsur logam sehingga sering disebut chelat, bentuk ini stabil di
dalam saluran pencernaan sehingga akan mencegah pembentukan bentuk kompleks
dengan nutrien lainnya yang akan menghambat penyerapan. Kompleks logam dapat
diserap dengan memodifikasinya menjadi bentuk kimia mineral yang dapat diserap.
Penggunaan suplemen mineral mikro anorganik tergantung pada kemampuan ternak
dalam mengubahnya menjadi bentuk biologi aktif (Spears, 1996).
Serangkaian percobaan telah dilakukan untuk mendapatkan produk
biomineral cairan rumen yang optimal. Permana (2010) menyatakan bahwa level pH
5,5 adalah level pH pengasaman terbaik yang digunakan untuk mendapatkan kadar
4 penambahan bahan carrier berupa tepung terigu dan agar menyebabkan penurunan
kandungan abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan serat kasar (SK), tetapi
peningkatan BETN dibandingkan dengan biomineral yang asli (origin). Penggunaan
tepung terigu sebagai bahan carrier mempunyai keuntungan lain yaitu untuk
memenuhi kebutuhan energi tersedia untuk sintesis protein mikroba. Pati yang
terkandung dalam tepung terigu merupakan jenis karbohidrat mudah larut, namun
amilopektin yang menjadi komposisi utama pati sukar larut di air dingin
(Hindratiningrum et al., 2009). Mulyawati (2009) menyatakan bahwa xylosa
melindungi biomineral cairan rumen dari degradasi oleh mikroba rumen yang terlihat
dari penurunan konsentrasi amonia dan VFA dan peningkatan degradabilitas BK,
kecernaan BK dan bahan organik (BO). Pipit (2009) menyatakan bahwa biomineral
yang dienkapsulasi atau dilindungi dengan xylosa menambah ketersediaan protein
dan energi, namun belum dapat meningkatkan konsumsi bahan segar, BK, PK, total
digestible nutrien (TDN), produksi susu dan bobot badan sapi FH
(Friesian-Holstein). Tjakradidjaja et al. (2007) menyatakan bahwa nilai biologis biomineral
yang cukup baik dapat dimanfaatkan untuk ternak apabila diikuti dengan tingkat
bioavailabilitas dari biomineral dalam organ pasca rumen. Uji stabilitas biomineral
dengan metode Tilley dan Terry (1963) menunjukkan bahwa biomineral cukup
mudah difermentasi dan didegradasi di dalam rumen. Tingkat degradasi dan
kecernaan BK dan BO yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang
baik di rumen dan organ pasca rumen. Tabel 1 menunjukkan performa ternak yang
diberi biomineral cairan rumen dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 1. Rataan Bobot Badan (BB) Awal, Bobot Badan (BB) Akhir, dan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Perbobot Badan Metabolis (BB0,75) Ternak
Peubah Perlakuan
Pakan Kontrol Kontrol + Mineral Mix Kontrol + Biomineral
BB awal (kg) 28,957 35,431 34,259
BB akhir (kg) 33,690 41,489 41,590
PBB (kg/hari) 0,097 0,124 0,150
Konversi Pakan 0,863 0,778 0,638
5 Pemberian biomineral 1% dari konsentrat dalam ransum pada sapi perah
dapat meningkatkan performan ternak dan menghasilkan laju pertumbuhan yang
lebih baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi dan pencernaan
nutrien, namun penggunaan biomineral belum mampu meningkatkan produksi susu
(Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Suganda (2009) menyatakan bahwa pemberian
biomineral 0,05 kg/ekor/hari (sekitar 1% dari konsentrat) pada sapi jantan FH lepas
sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, PK, SK dan TDN.
Pemberian biomineral juga dapat meningkatkan daya produksi ternak dengan
menghasilkan PBB yang cukup tinggi (Tabel 1). Rakhmanto (2009) menambahkan
bahwa pemberian biomineral mempengaruhi pertambahan lingkar dada dan PBB,
konsumsi ransum dan konsumsi mineral Ca, K, Mg dan S. Hasil tersebut tidak
berbeda dengan pemberian suplemen mineral mix.
Mineral
Mineral adalah elemen inorganik yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai
nutrien (Cheeke, 1999). Mineral berperan penting sebagai koenzim dan kofaktor
dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan
kesehatan (Darmono, 2007).
Mineral yang dibutuhkan dengan kuantitas gram per hari yang relatif banyak
disebut mineral makro, termasuk diantaranya adalah Ca, P, Na, Cl, K, Mg, dan S.
Mineral makro penting sebagai komponen struktural dari tulang dan jaringan serta
bertindak sebagai unsur penting dalam cairan tubuh (Perry et al., 2003). Mineral
makro biasanya berfungsi sebagai komponen dari struktur jaringan (Cheeke, 1999).
Unsur mineral makro berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme
tubuh (McDowell, 1992). Unsur mineral esensial baik makro maupun mikro sangat
dibutuhkan untuk proses fisiologis ternak, terutama ternak ruminansia yang hampir
seluruh hidupnya bergantung kepada pakan hijauan. Hijauan pakan ternak, terutama
jenis rumput, yang tumbuh di tanah yang miskin unsur mineral akan kurang pula
kandungan mineralnya. Akibatnya ternak yang hidup di daerah tersebut akan
mengalami penyakit yang disebut penyakit defisiensi mineral (Darmono, 2007). Mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu ≤
100 ppm yang dinyatakan dalam ppm atau ppb (McDowell, 1992). Mineral mikro di
6 mineral mikro adalah kobalt, koper, iodin, besi, mangan, molibdenum, selenium dan
seng (NRC, 1989). Mineral mikro berfungsi sebagai aktivator atau kofaktor enzim
(Cheeke, 1999). Tabel 2 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi perah dan Tabel
3 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi pedaging.
Tabel 2. Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah (Friesian Holstein) Laktasi
Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging (Angus)
Mineral Growing & Finishing Bunting Awal laktasi
Ca ( %) 0,13 0,33 0,16
Kondisi defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan
mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi juga tidak menutup kemungkinan akibat
7 juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan
rendah (Darmono, 2007). Suryahadi (1996) menyatakan bahwa di berbagai daerah di
Indonesia mengalami defisien mineral seperti Ca, Na, Zn, P dan Mg, sementara
kandungan K, Fe, Mn, dan Cu dalam kisaran cukup. Parakkasi (1999) menambahkan
bahwa mineral yang kemungkinan defisien di Indonesia adalah Ca, P, Mg, Co, Se,
Zn, dan Si, sedangkan yang berlebihan adalah Mn. Kualitas hijauan dan kesuburan
tanah di Indonesia juga merupakan hal-hal yang mempengaruhi defisien mineral
(Darmono, 2007).
Gejala awal dari defisiensi mineral dapat berupa penurunan reproduksi sekitar 20−75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah, dan angka kematian anak tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan
penurunan produksi susu pada sapi perah. Terkadang defisiensi terjadi secara
simultan pada ternak mengakibatkan ternak menjadi kurus, rontok bulu,
depigmentasi rambut, dermatitis, abnormalitas tulang, keguguran, dan performa
reproduksi yang buruk (Cheeke, 1999).
Suplementasi Mineral
Suplementasi mineral penting dilakukan karena mineral merupakan salah satu
faktor pembatas pada ternak yang diberi pakan hijauan tropis. Beberapa mineral yang
sering defisien di daerah tropis adalah P, Na, Co, Se, Cu, I, dan Zn (Cheeke, 1999).
Suplementasi mineral dianjurkan harus memenuhi prinsip diantaranya mengandung
Ca dan P dengan rasio sebesar 2 : 1, kecuali untuk hewan ternak yang menyusui.
Bentuk suplemen mineral yang digunakan adalah yang mudah pemakaiannya dan
terhindar dari kontaminasi mineral-mineral beracun, bersifat cukup tinggi
palatabilitanya, tepat jumlah pemberiannya, pencampuran harus homogen
(Parakkasi, 1999). Mineral yang biasa ditambahkan ke dalam ransum dan rumen
dapat berupa mineral organik maupun anorganik. Mineral organik adalah mineral
yang dibuat dengan bantuan fungi (Silalahi, 2003) atau diikay di dalam protein
seperti ampas tahu (Chaerani, 2004). Suplemen mineral anorganik adalah mineral
yang dapat ditambahkan langsung ke dalam ransum.
Penelitian tentang suplementasi mineral telah banyak dilakukan. Suryahadi
(1996) mengatakan bahwa ternak di daerah tropis harus mendapat suplementasi
8 menyatakan bahwa sintesis protein mikroba pada ransum (60% jerami padi + 40%
pakan penguat) yang disuplementasi Ca, Mg, S dan P meningkat jika dibandingkan
dengan kontrol. Zulkarnaini (2009) menyatakan bahwa suplementasi mineral P dan S
pada jerami padi amoniasi mampu meningkatkan kecernaan NDF, ADF, selulosa,
dan hemiselulosa, lebih lanjut lagi dikatakan bahwa kebutuhan optimal mineral P
untuk mikroba rumen adalah 0,4%.
Rumen
Ternak ruminansia mempunyai bagian pencernaan yang besar dan multi
ruang, di dalamnya juga terdapat ekosistem mikroba yang sangat kompleks yang
mendukung proses fermentasi. Rumen-retikulum seperti tong fermentasi yang besar,
kapasitasnya bervariasi mulai dari 3-15 liter untuk domba dan 35-100 liter untuk
sapi. Rumen memiliki kisaran suhu 38-40 ºC, pH 5,5-7, tekanan osmotik cairan
rumen sekitar 250 mOsm/kg, komposisi gas di dalam rumen adalah CO2 65% dan
CH4 27% (Dehority dan Burk, 2003).
Pakan difermentasi di dalam rumen menjadi VFA, NH3, protein mikroba dan
gas (Dehority dan Burk, 2003). Hanya sedikit dari pakan hijauan yang diserap
sebagai glukosa, sementara pati dan karbohidrat lainnya difermentasi ke dalam
bentuk VFA (Lee, 2009). Produk akhir dari aktivitas bakteri, protozoa, dan fungi
adalah asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang merupakan VFA, metan
dan CO2 (Hobson dan Stewart, 2003).
Setiap mililiter cairan rumen mengandung 1,0 x 109 sampai 5,0 x 109 bakteri, 1,0 x 106 protozoa, dan fungi dan yeast yang bervariasi (Lee, 2009). Mikroorganisme rumen dan protein pakan adalah dua sumber protein yang dapat digunakan untuk
hewan ternak (Dehority dan Burk, 2003). Pada keadaan normal, protein mikroba
minimal dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dari ruminan yang bersangkutan.
Mikroba Rumen
Mikroba rumen terdiri dari bakteri anaerobik, dan campuran spesies protozoa
anaerobik dan fungi serta flagelata yang jumlahnya bervariasi (Hobson dan Stewart,
2003). Jumlah bakteri rumen bervariasi bergantung kepada pakan, cara pemberian
pakan, waktu pengambilan sampel setelah makan, perbedaan spesies, perbedaan
individual spesies, musim, ketersediaan hijauan, dan ada atau tidaknya ciliata
9 terpenting pada ternak ruminansia, oleh karena itu kebutuhan yang harus terpenuhi
terlebih dahulu adalah kebutuhan nutrien untuk mikroba. Tipe mikroba yang paling
berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik
(Bakrie et al., 1996).
Protozoa
Protozoa rumen merupakan protista eukariotik yang membantu pencernaan
karbohidrat yang mudah tercerna seperti pati dan sebagian serat. Protozoa dibagi
berdasarkan fungsinya menjadi pengguna gula terlarut, pendegradasi pati, dan
penghidrolisis ligno-selulosa (Kamra, 2005). Protozoa dan bakteri amilolitik
mempunyai fungsi yang sama untuk mendegradasi pati (Hungate, 1966; Ruckebusch
dan Thivend, 1980; Kung, 1999; Lee, 2009). Protozoa juga umumnya memangsa
bakteri untuk mendapatkan nutrien yang dibutuhkannya. Ada dua pendapat tentang
keberadaan protozoa di dalam rumen. Protozoa diperlukan untuk membantu proses
pencernaan nutrien di dalam rumen, namun disisi lain protozoa harus dikurangi
jumlahnya di dalam rumen; hal ini karena sifatnya yang merugikan dimana
ketidak-mampuan protozoa dalam memenuhi kebutuhan nutriennya membuat protozoa
umumnya memangsa bakteri dan juga bersifat proteolisis (Hobson dan Stewart,
2003). Kamra (2005) menyatakan bahwa ada beberapa dampak positif dengan
pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen, diantaranya adanya penurunan
aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri
kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan adanya peningkatan
efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung tinggi serat.
Bakteri
Bakteri mempunyai fungsi dan produk yang bermacam-macam. Bakteri
rumen mempunyai nama sesuai dengan fungsinya yaitu selulolitik, xylanolitik,
amilolitik, dextrinolitik, pektinolitik, proteolitik, lipolitik, metanogen. Bakteri-bakteri
ini menghasilkan produk yaitu asam format, asam asetat, etanol, asam propionat,
asam laktat, asam butirat, suksinat, valerat, hidrogen, CO2, dan metan (Lee, 2009).
Bakteri total yang terdapat dalam cairan rumen berdasarkan jenis bahan yang
difermentasi dan hasil akhirnya terdiri bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat
10 gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat lipid
(Dehority dan Burk, 2003)
Bakteri amilolitik secara spesifik memfermentasi pati (starch). Hasil
pencernaan dari gula dan pati akan menghasilkan asam propionat yang akan
dikonversi menjadi glukosa di hati ternak ruminansia dan digunakan sebagai energi;
dengan demikian asam propionat tergolong sebagai asam yang bersifat glukogenik
(Kung, 1999). Secara umum glukosa berguna sebagai sumber energi utama bagi
organ-organ tubuh, antara lain: otak, saraf, kelenjar susu dan janin.
Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri
selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996). Karbohidrat merupakan sumber
energi utama dalam kehidupan mikroorganisme dan ruminan itu sendiri (Parakkasi,
1999). Ada banyak hal yang mempengaruhi fermentasi serat di dalam rumen, salah
satunya pakan kecukupan mineral baik makro maupun mikro yang mempengaruhi
kondisi mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk
fungsi sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, ditambah lagi mineral juga
berkontribusi sebagai kapasitas buffer (Serra, 1996).
Bakteri proteolitik di dalam rumen bertanggung jawab untuk mendegradasi
protein sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Lee, 2009). Degradasi
protein menjadi asam amino adalah nilai penting untuk memprediksi jumlah asam
amino yang diserap di usus halus dan dimanfaatkan oleh ternak. Protein didegradasi
menjadi asam amino di dalam rumen dengan bantuan enzim protease dan peptidase
yang dihasilkan mikroba proteolitik, kemudian asam amino ini akan mengalami
katabolisme (deaminasi) lebih lanjut menghasilkan asam lemak terbang ammonia
dan karbondioksida. Amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi
pertumbuhan mikroba (Lee, 2009), karena amonia digunakan kembali untuk
membentuk protein tubuh bakteri. Satu hal yang khas pada ternak ruminansia adalah
ternak ini dapat memanfaatkan bakteri sebagai sumber proteinnya. Dehority dan
Burk (2003) menyatakan bahwa ternak memiliki pasokan asam amino tidak hanya
yang berasal dari protein pakan yang lolos degradasi di dalam rumen melainkan juga
protein mikroba yang terbentuk sebagai hasil fermentasi di dalam rumen. Parakkasi
11 oleh ransum jadi yang terpenting adalah kuantitas mikroba yang lolos sampai di usus
halus untuk dicerna dan diserap sebagai asam amino.
Fungi
Fungi awalnya dianggap sebagai protozoa berflagela, namun memiliki
miselium. Fungi anaerobik obligat mempunyai fungsi secara aktif dan positif untuk
degradasi serat karena memiliki enzim pendegradasi serat. Menghilangkan fungi
secara in vitro dari rumen dapat menyebabkan penurunan produksi gas dan degradasi
pakan berserat. Fungi memiliki kelebihan karena dapat melakukan penetrasi yang
lebih baik ke dalam lignoselulosa (Kamra, 2005). Hubungan antibiosis terjadi antara
fungi dan bakteri rumen. Populasi bakteri, terutama bakteri pencerna pati atau
karbohidrat yang mudah difermentasi, dapat menghambat aktivitas fungi; hal ini
disebabkan oleh penurunan pH yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang
tiba-tiba dan cepat. Populasi bakteri yang meningkat cepat membuat tidak berkurangnya
energi yang digunakan sebagai media untuk melekatkan diri pada serat pakan dan
germinasi bagi fungi (Dehority dan Tirabasso, 2000).
Bakteriofage
Bakteriofage adalah virus bagi bakteri yang terdapat di rumen dalam jumlah
yang cukup besar. Bakteriofage adalah patogen obligat bagi bakteri karena
bakteriofage dapat melisis bakteri. Bakteriofage dapat digunakan untuk melisis
bakteri sehingga protein mikroba dapat tersedia bagi inangnya dan untuk mengurangi
bakteri yang tidak diinginkan seperti metanogen (Kamra, 2005).
Kebutuhan Mineral Mikroba Rumen
Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan
mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas
fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada
menurunnya produktivitas ternak (McDowell et al., 2002).
Mineral baik makro maupun mikro mempunyai pengaruh terhadap kondisi
mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk fungsi sel,
aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, mineral juga berkontribusi dalam regulasi
12 kecepatan pencairan (dilution rate). Semuanya ini berdampak pada fermentasi rumen
(Serra, 1995). Mineral berfungsi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
meningkatkan populasi mikroba. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan
sel tubuh seperti S dan P. Mineral S sebagai komponen asam amino sel seperti
metionin, sistein, dan sistin serta vitamin B, tiamin, dan biotin (NRC, 2000). Mineral
P digunakan sebagai bahan utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan
Thivend, 1980). Secara tidak langsung mineral digunakan untuk mengaktivasi
produksi enzim mikroba untuk mendukung proses fermentasi di dalam rumen yang
akhirnya akan menghasilkan energi, NH3,CO2, dan CH4 . Energi dan N yang berasal
dari proses fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel. Mineral juga berperan
dalam menciptakan suasana rumen yang kondusif bagi proses fermentasi.
Mineral Ca, P, Mg dan S adalah mineral esensial yang sangat dibutuhkan
untuk menunjang pertumbuhan sel mikroba rumen (Hungate, 1966; Ruckebush dan
Stivend, 1980; Komisarczuk dan Durand, 1991). Mineral P esensial untuk semua
mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa
koenzim. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S
dalam protein mikroba. Menurut Little (1986), kebutuhan mikroba akan mineral P
adalah 2,8 - 4,3 g/kg bahan kering dan S sebesar 2,5 - 3,2 g/kg bahan kering. Indikasi
kebutuhan P untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri
lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba
rumen. Kekurangan S dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikroba
terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Mineral
Mg dan Ca diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996). Mineral Mg
berfungsi untuk mengaktifkan berbagai enzim yang dihasilkan bakteri termasuk
phospohidrolase dan phospotransferase. Mineral Ca berfungsi untuk mengaktifkan
berbagai enzim seperti protease, nuklease, lipase, α-amilase, dan selulase (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Lebih lanjut Ruckebusch dan Stivend (1980)
menjelaskan bahwa mineral Ca mempunyai peran dalam menjaga stabilitas struktur
dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan
proses-proses metabolisme yang membutuhkan Ca.
Beberapa mineral lainnya yang berperan penting dalam aktivitas mikroba
13
1989). Mineral Zn berfungsi untuk aktivitas mikroba dalam rumen (McDonald et al.,
2002)dan Mn berfungsi untuk pengaktifan enzim yang berperan dalam metabolisme
protein (Williamson dan Payne, 1993). Sintesis protein mikroba membutuhkan
berbagai mineral diantaranya S dan P (NRC, 1996; Pathak, 2008). Selain mineral
yang mempengaruhi sintesis protein mikroba adalah sinkronisasi antara kecepatan
protein yang didegradasi untuk menghasilkan amonia dengan ketersediaan energi
(Khampa dan Wanapat, 2006). Elihasridas (1995) menduga bahwa tidak cukupnya
energi yang tersedia akan menyebabkan amonia tidak dapat dimanfaatkan untuk
sintesis protein mikroba. Selain hal yang disebutkan di atas Thomas (1973)
mengatakan bahwa suplai nutrien, populasi mikroba dan kondisi lingkungan rumen
mempengaruhi sintesis protein mikroba.
Fermentasi dalam Rumen dan Teknik Evaluasi
Ternak ruminansia dewasa memiliki rumen yang besar dan dilengkapi
sejumlah besar papilla, pakan masuk pada bagian rumen-retikulum dan dicerna
sepenuhnya oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen
(Ensminger et al., 1990). Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen
dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi ransum, sehingga
mengakibatkan perbedaan kecernaan. Waktu inkubasi 3-4 jam adalah waktu optimal
bagi mikroba untuk tumbuh (Sutardi, 1980; Nsereko et al., 2001). Produk fermentasi
dari mikroorganisme rumen harus berada dalam bentuk yang tersedia di rumen
(Dehority dan Burk, 2003). Mikroba rumen akan mencerna serat kasar untuk
memproduksi VFAdan CO2. Lemak akan dicerna mikroba membentuk asam lemak
dan gliserol, gliserol kemudian akan dirubah menjadi asam propionat. Hanya sedikit
protein yang dapat lolos dari proses degradasi di rumen (Ensminger et al., 1990).
Menurut Bakrie et al. (1996), hanya 36% protein ransum lolos dari degradasi rumen.
Produk fermentasi ini akan digunakan untuk menyediakan energi untuk aktivitas dan
untuk produksi, misalnya VFA yang digunakan untuk prekursor air susu (Parakkasi,
1999) dan asam propionat yang akan dikonversi menjadi gula di hati (Kung, 1999).
Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium (in vitro
dan in sacco) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Metode in vivo
sangat baik digunakan untuk mengukur kecernaan ternak, namun kekurangan metode
14 bervariasi karena pengaruh ternak, disamping itu juga sering kali membuat ternak
stress. Untuk menghasilkan data kecernaan yang hampir sama dengan keadaan yang
sebenarnya dan menghindari kelemahan-kelemahan teknik in vivo maka
digunakanlah teknik in vitro dan in sacco (Theodorou dan France, 2000). Metode ini
juga dapat digunakan untuk mempelajari tentang bakteri rumen (Dehority dan Burk,
2003). Ibrahim (1990) memaparkan bahwa metode in vitro juga dapat digunakan
untuk mempelajari kelarutan mineral yang terdapat pada pakan.
Teknik in vitro dilakukan dengan cara mencampurkan cairan rumen dengan
larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini ditempatkan
dalam tabung fermentor. Sampel ini kemudian difermentasi pada temperatur rumen
yaitu 39º C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam. Tilley dan Terry
(1963) telah memperkenalkan metode tersebut sebagai two stage method, metode ini
paling banyak digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah
inkubasi dalam larutan buffer dan cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi
anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian larutan enzim pepsin
15
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai April 2011 di
Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan Laboratorium Ilmu Nutrisi
Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Alat
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian tersebut antara lain: autoclave,
sentrifus, kantong plastik tahan panas, tabung sentrifus, termos, kain penyaring,
shaker waterbath, labu Erlenmeyer, oven 60 °C, gegep, sudip, magnetic stirrer,
tabung fermentor, tutup karet, pipet Mohr, bulp, timbangan digital, gelas ukur,
spatula, pengaduk kaca, counting chamber, botol Schott, mikroskop cahaya, tabung
reaksi, freezer, roller tube, spoit.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen, tepung
terigu, agar-agar, larutan mineral mikro, larutan McDougall, larutan resazurin 0,1%,
gas CO2, garam formalin (formal-saline), K2HPO4, NaCl, (NH4)2SO4, KH2PO4,
MgSO4, CaCl2, Na2CO3, cystein-HCl, Na2HPO4, KCl, tricloro acetic acid (TCA) dan
sulfo salicylic acid (SSA), media tepung brain heart infusion (BHI), carboxy methyl
cellulose (CMC), kasein, susu skim, pati, agar, glukosa, larutan hemin 0,05% dan
vitamin, aquades.
Prosedur Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007)
Cairan rumen yang digunakan diperoleh dari rumah potong hewan (RPH)
yang ada di kandang A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Cairan rumen
diendapkan dengan larutan HCl 0,1 N hingga pHnya menjadi 5,5, kemudian disaring.
Bahan carier berupa tepung terigu dan ditambahkan agar-agar kemudian dikeringkan
selama 2-3 hari dengan panas matahari atau menggunakan oven 60 °C. Setelah
kering, bahan tersebut digiling sampai menjadi tepung biomineral seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 1, kemudian dianalisis kandungan mineralnya. Untuk lebih
16
Gambar 1. Biomineral dari Cairan Rumen
Penambahan Mineral Makro
Pencampuran mineral Ca, P, Mg, dan S ke dalam tepung biomineral
dilakukan secara manual dengan sendok sampai tercampur semua. Sumber mineral
yang ditambahkan adalah CaCO3, MgSO4.7H2O, (NH4)2SO4, dan K2HPO4.
Fermentasi in vitro Biomineral (Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Sutardi (1979))
Tabung fermentor diisi dengan 1 g biomineral, 12 ml larutan buffer
McDougall dengan pH 6,9 dan 8 ml cairan rumen segar. Tabung lalu dikocok dan
dimasukkan ke dalam shaker waterbath pada suhu 39 oC untuk menciptakan suasana
yang hampir sama dengan kondisi rumen dengan dialiri CO2 selama 30 detik dan
ditutup dengan karet berventilasi. Penelitian ini akan mengamati waktu inkubasi 0
dan 3 jam, sehingga pada waktu-waktu tersebut dari dalam tabung fermentor diambil
masing-masing 0,05 ml sampel dan dimasukkan kedalam media stok untuk
perhitungan populasi bakteri, 1 ml dimasukkan kedalam larutan triphan blue formal
saline (TBFS) untuk perhitungan populasi protozoa, dan 1 ml dimasukkan kedalam
tabung reaksi berisi larutan pengencer untuk perhitungan sintesis protein mikroba.
Saat pengambilan sampel dari tabung fermentor harus terus dialiri CO2 agar tetap
17 Cairan rumen
Diendapkan dengan larutan HCl 0,1 N hingga pH 5,5
Disaring
Endapan cairan rumen
Ditambahkan agar dan tepung terigu sebagai bahan carrier
Dikeringkan dengan panas matahari atau dalam oven 60°C selam 2-3 hari
Digiling
Tepung Biomineral
Gambar 2. Proses Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007)
Perhitungan Populasi Protozoa (Ogimoto dan Imai, 1981)
Sebanyak 1 ml sampel cairan sampel hasil inkubasi ditambah 1 ml larutan
garam formalin (formal saline). Larutan garam formalin dibuat dari campuran
formalin 4% ditambah dengan larutan NaCl fisiologis 0,9% dalam 100 ml larutan.
Sebanyak ± 2 tetes campuran tersebut lalu ditempatkan pada counting chamber
18 dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 100 kali. Populasi
protozoa dapat dihitung dengan rumus :
Perhitungan Populasi Bakteri Total, Selulolitik, Amilolitik dan Proteolitik (Ogimoto dan Imai, 1981)
Medium tumbuh yang digunakan untuk menghitung populasi bakteri total
adalah medium BHI, yaitu campuran dari tepung BHI3,7 g, glukosa 0,05 g, CMC 1
ml, pati (starch) 0,05 g, cystein-HCl 0,05 g, hemin 0,5 ml, resazurin 0,05 ml, dan
aquades sampai 100 ml. Campuran medium tersebut dipanaskan perlahan-lahan
sambil dialiri gas CO2 sampai terjadi perubahan warna dari kekuningan menjadi
merah dan berubah lagi menjadi kuning bening, lalu didinginkan. Selanjutnya
medium dimasukkan ke dalam tabung Hungate sebanyak 5 ml yang sebelumnya
telah diisi agar Bacto sebanyak 0,15 g. Medium disterilkan dalam autoclave pada
suhu 121 ºC selama 15 menit dengan tekanan 1,2 Kgf/cm3.
Pada prinsipnya komposisi dan pembuatan medium untuk penghitungan
populasi bakteri amilolitik, selulolitik dan proteolitik sama dengan untuk
penghitungan populasi bakteri total. Perbedaan terdapat pada penggunaan sumber
nutrien yang disesuaikan dengan jenis bakteri tersebut. Bahan medium tumbuh
bakteri selulolitik adalah medium BHI ditambah dengan CMC 10 ml per 100 ml
medium. Bahan medium tumbuh bakteri amilolitik adalah medium BHI ditambah
dengan pati 0,05 g per 100 ml medium. Bahan medium tumbuh bakteri proteolitik
adalah susu skim 1 g ditambahkan ke dalam 100 ml medium BHI.
Sampel diencerkan terlebih dahulu dengan medium pengencer sebelum
dikulturkan. Pengenceran dilakukan dengan cara berikut : 0,05 ml cairan rumen
dimasukkan ke dalam 4,95 ml medium pengencer pertama. Selanjutnya diambil
kembali 0,05 ml lalu dimasukkan ke dalam 4,95 ml medium pengencer kedua. Dari
pengencer kedua diambil kembali 0,05 ml lalu dimasukkan ke media pengencer tiga.
Hal yang sama juga dilakukan pada pengencer keempat. Seluruh pengenceran ini
19 empat masing-masing mengandung bakteri 102, 104, 106, dan 108 CFU/ml. Pengenceran tersebut dilakukan sampai 4 kali (4 seri tabung). Dari masing-masing
seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0,1 ml, lalu diinokulasikan ke medium
agar dan dihomogenkan dengan diputar sambil dialiri air, sehingga medium dapat
memadat secara merata. Tabung yang telah diinokulasi lalu diinkubasi di dalam
inkubator pada suhu 39 oC selama 24 jam. Populasi bakteri total, selulolitik, amilolitik, dan proteolitik dapat dihitung dengan rumus :
Populasi bakteri = n x 10x/0,05 x 0,1 CFU/ml
n = jumlah koloni yang terdapat pada tabung seri pengenceran ke-x
Perhitungan Sintesis Protein Mikroba (Shultz & Shultz, 1969)
Perhitungan protein yang berupa non protein nitrogen (NPN) diukur dengan
menggunakan TCA dan SSA. Larutan yang akan digunakan dibuat dengan
mencampurkan larutan TCA 20% dan larutan SSA 2% dengan proporsi 50:50.
Sebanyak 1 ml cairan sampel hasil inkubasi dicampur dengan larutan TCA dan SSA,
kemudian larutan ini dihomogenkan dengan vortex selama 2 menit. Larutan tersebut
lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang
dan endapan ditambah dengan aquades (3 ml), kemudian ditambahkan 6 ml
campuran TCA-SSA. Campuran ini dihomogenkan lagi dengan vortex selama 2
menit, kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
Supernatannya dibuang dan endapannya dianalisis dengan metode mikro Kjehldal.
Rancangan Percobaan Perlakuan
Perlakuan yang diterapkan meliputi dua faktor. Faktor A adalah suplementasi
mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) pada biomineral dengan tingkat pemberian 0, 0,5,
1, 1,5, dan 2 kali taraf kebutuhan mineral sapi potong (Angus) yang
direkomendasikan oleh NRC (2000). Faktor A adalah sebagai berikut :
A1= Biomineral + 0 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000)
A2= A1 + 0,5 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000)
A3= A1 + 1 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000)
A4= A1 + 1,5 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000)
20 Faktor B adalah waktu inkubasi cairan rumen secara in-vitro, sebagai berikut :
B1= waktu inkubasi 0 jam
B2= waktu inkubasi 3 jam
Tabel 4 menunjukkan kandungan mineral dalam biomineral cairan rumen
yang telah diteliti oleh Suganda (2009) dan Tabel 5 adalah mineral makro yang
ditambahkan pada perlakuan.
Tabel 4. Kandungan Mineral Biomineral
Mineral Jumlah
P (% BK) 0,29
K (% BK) 0,16
Ca (% BK) 0,31
Mg (% BK) 0,09
Na (% BK) 0,42
S (% BK) 0,25
Fe (ppm) 717
Al (ppm) 1343
Mn (ppm) 50
Cu (ppm) 7
Zn (ppm) 147
Co (ppm) 0,3
Ni (ppm) 1,3
Cr (ppm) 3
Se (ppm) 32,5
21 Tabel 5. Pemberian Mineral Makro pada Perlakuan
Mineral Kebutuhan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
acak kelompok (RAK) berpola faktorial 5 x 2. Faktor A taraf pemberian mineral Ca,
P, Mg, dan S 0 x, 0,5 x, 1 x, 1,5 x, dan 2 x kebutuhan NRC (2000) yang ditambah ke
dalam biomineral dan kontrol. Faktor B adalah waktu inkubasi, 0 dan 3 jam. Cairan
rumen sapi potong dengan mineral sebagai ulangan atau kelompok. Model
matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + i+ αj + ßk + αjßk + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan kelompok ke-i, perlakuan ke-j, dan waktu inkubasi
ke-k
µ = nilai rataan umum
i = pengaruh kelompok (cairan rumen) ke-i
αj = pengaruh perlakuan perbaikan mutu biomineral ke-j
ßk = pengaruh perlakuan waktu inkubasi ke-k
αjßk = pengaruh interaksi
εijk = galat percobaan untuk kelompok ke-i, pengaruh perlakuan mineral
makro ke-j dan pengaruh perlakuan waktu inkubasi ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA)
dan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan diuji dengan ortogonal kontras
(Steel dan Torrie, 1993).
Peubah
22
1) Populasi protozoa total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)
2) Populasi bakteri total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)
3) Populasi bakteri selulolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)
4) Populasi bakteri proteolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)
5) Populasi bakteri amilolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral
Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang berasal dari
limbah RPH. Biomineral dapat dihasilkan melalui proses pemanenan produk
inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen melalui pelarut asam, pengendapan,
penambahan carrier dan pengeringan dengan sinar matahari dan oven. Penggunaan
biomineral sebagai mineral organik akan lebih efektif dibandingkan dengan
penggunaan mineral anorganik karena mineral ini mempunyai bioavailabilitas yang
lebih tinggi atau lebih mirip dengan mineral yang digunakan di dalam tubuh (Spears,
1996).
Hasil analisa komposisi zat nutrisi biomineral cairan rumen (Tabel 6)
memperlihatkan bahwa kandungan nutrisi tinggi yang terdapat dalam biomineral
cairan rumen adalah abu, yaitu 21,86 %. Nilai ini menunjukkan bahwa biomineral
berpotensi untuk dipakai sebagai suplemen mineral bagi ternak karena menurut Perry
et al. (2003), kadar abu merupakan total mineral yang terdapat dalam suatu bahan.
Biomineral yang dienkapsulasi dengan limbah kertas mengandung kadar abu yang
lebih sedikit yaitu 9,29% (Mulyawati, 2009), dan mineral mix mengandung kadar
abu paling tinggi yaitu 78,67% karena mineral mix sedikit sekali mengandung bahan
organik (Suganda, 2009).
Biomineral cairan rumen mengandung PK 15,79% dan BETN sebesar
56,57%, sementara kandungan PK dan BETN biomineral dienkapsulasi
masing-masing 11,27% dan 77,40% (Mulyawati, 2009) jauh lebih tinggi dari mineral mix
(PK 0,84%, dan BETN 15,83%). Hal ini dapat dijelaskan karena kandungan PK
biomineral berasal dari protein mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen yang
menjadi bahan baku pembuatan biomineral dan tepung terigu dan agar-agar yang
ditambahkan sebagai bahan carrier mengandung pati yang cukup tinggi. PK dan
BETN yang baik pada biomineral cairan rumen berpotensi dalam upaya
meningkatkan sintesis protein mikroba dan substrat bagi mikroba rumen. BETN
merupakan karbohidrat yang mudah larut yang berasal dari bahan carrier yaitu
tepung terigu sehingga diharapkan dapat sinkron dengan pelepasan N dari amonia
24 Tabel 6. Kandungan Zat Makanan dalam Biomineral Cairan Rumen
Zat Makanan Kandungan
* Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2010) ** Mulyawati (2009)
*** Suganda (2009)
Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan mineral makro biomineral lebih
tinggi dibandingkan dengan mineral makro yang terdapat di dalam biomineral
dienkapsulasi kecuali mineral P. Kekurangan P dapat dipenuhi dengan penambahan
mineral makro P anorganik. Kandungan mineral makro Ca dan Mg yang terdapat
dalam mineral mix telah memenuhi kebutuhan sapi potong sesuai kebutuhan NRC
(2000), namun kebutuhan akan mineral P dan S belum terpenuhi. Hasil analisa
kandungan zat makanan pada Tabel 6 juga memperlihatkan bahwa kandungan Ca
25 ditoleransi oleh ternak sapi potong menurut NRC (2000), yaitu 4,4%; hal ini dapat
membuat ketidakseimbangan mineral bahkan dapat menjadi racun bagi ternak.
Biomineral yang dienkapsulasi kekurangan Mg, karena hanya mengandung 0,09%
padahal kebutuhan Mg bagi ternak sapi potong adalah 0,12% (NRC, 2000).
Kandungan mineral mikro biomineral lebih tinggi dibandingkan dengan
biomineral dienkapsulasi dan mineral mix. Kandungan mineral mikro biomineral dan
mineral mix sudah memenuhi kebutuhan ternak sapi pedaging sesuai NRC (2000).
Kandungan mineral mikro biomineral telah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan
sapi potong, tetapi tidak sampai pada level toksik, sehingga diharapkan aktivitas
dalam tubuh yang membutuhkan mineral ini dapat berjalan optimal. Mineral bagi
ternak ruminansia dibutuhkan baik oleh inang maupun mikroba rumen.
Kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S ternak sapi potong (NRC, 2000) yang
terdapat pada Tabel 3 dibandingkan kandungan mineral Ca, P, Mg, dan S pada
biomineral cairan rumen terdapat pada Tabel 6, maka dapat dilihat bahwa biomineral
cairan rumen dapat memenuhi kebutuhan mineral ternak sapi potong, kecuali unsur
mineral P. Kandungan Mg biomineral cairan rumen yang mencapai 0,56% berada di
atas ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ternak yaitu 0,4%, namun menurut
NRC (2000), ekses Mg bagi ternak sapi potong tidak terlalu memberi pengaruh yang
signifikan. Menurut Suryahadi (1996), ternak di Indonesia harus diberi suplementasi
mineral sekitar 1,5 sampai 2,0 kali untuk mendapatkan produksi yang optimal. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan penambahan unsur yang defisien.
Tabel 7 menunjukkan data kandungan mineral dalam biomineral cairan rumen yang
telah diperbaiki mutunya.
Biomineral cairan rumen mengandung unsur mineral mikro yang cukup
tinggi (Tabel 6), namun kandungan unsur mineral makronya kurang untuk memenuhi
kebutuhan mineral sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000). Perlu adanya penambahan
mineral makro ke dalam biomineral cairan rumen untuk memperbaiki kualitasnya.
Dalam penelitian ini dilakukan perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan
menambahkan unsur Ca, P, Mg dan S yang didapatkan dari CaCO3, MgSO4.7H2O,
(NH4)2SO4, dan K2HPO4, dengan level 0,5 x, 1 x, 1,5 x, dan 2 x NRC sapi potong
(2000). Perbedaan angka yang terjadi antara Tabel 5 dan 7 atau antara hasil
26 dihindarkan karena banyak faktor salah satunya homogenisasi yang kurang baik,
karena homogenisasi yang dilakukan menggunakan cara manual menggunakan
tangan. Hal ini sebenarnya harus dihindari karena syarat suplementasi menurut
Parakkasi (1999) adalah dilakukan secara homogen agar kandungan nutrisinya
tersebar merata dan menghindari efek toksisitas yang dapat terjadi. Meskipun
demikian, dilihat dari hasil penelitian ini terutama pada populasi bakteri total yang
ditunjukkan pada Tabel 12, dapat dikatakan bahwa penambahan mineral yang terbaik
adalah pada taraf 1,5 x NRC (2000).
Tabel 7. Kandungan Mineral dalam Biomineral Cairan Rumen yang Telah
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi pada bahan biomineral cairan rumen.
Evaluasi yang dilakukan adalah terhadap aspek populasi bakteri dan protozoa rumen
serta sintesis protein mikroba secara in vitro. Fermentasi in vitro biomineral cairan
rumen dilakukan tanpa substrat untuk memastikan bahwa hasil fermentasi adalah
murni karena pengaruh biomineral cairan rumen. Biomineral cairan rumen
mengandung BETN tinggi yang berasal dari bahan carrier dan PK yang tinggi dari
protein mikroba sehingga dapat dijadikan substrat. Kandungan mineral makro yang
ditambahkan (Ca, P, Mg, dan S) mempengaruhi populasi mikroba baik langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan sel tubuh
27 mikroba yang mengandung sulfida (NRC, 2000) dan P digunakan sebagai bahan
utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Secara tidak
langsung mineral-mineral tersebut digunakan untuk mengaktivasi enzim mikroba dan
menciptakan suasana rumen yang mendukung proses fermentasi yang akhirnya akan
menghasilkan energi, NH3, CO2, dan CH4. Energi dan N yang berasal dari proses
fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel mikroba sehingga populasi mikroba
meningkat.
Populasi Protozoa Total
Kamra (2005) menyatakan bahwa kisaran normal rataan populasi protozoa
pada berbagai ternak ruminansia adalah 104-106 cfu/ml cairan rumen. Kisaran ini sama dengan kisaran populasi protozoa cairan rumen dalam penelitian ini yaitu 4 log
sel/ml cairan rumen atau 104 cfu/sel cairan rumen. Protozoa di dalam rumen mempunyai fungsi untuk membantu mencerna karbohidrat yang mudah dicerna
seperti pati. Protozoa mempunyai keterbatasan untuk mensuplai kebutuhan
nutriennya, oleh karena itu umumnya sebagian besar protozoa menjadi predator bagi
bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi
protein protozoa.
Tabel 8. Rataan Populasi Protozoa Total Perlakuan pada Percobaan in vitro
Taraf perbaikan
Rataan±SD 4,745±0,041 4,674±0,134 4,710±0,050
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa populasi protozoa tidak dipengaruhi
oleh perlakuan berupa faktor taraf penambahan mineral dan waktu inkubasi, serta
28 dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S sampai dengan 2 kali
kebutuhan NRC (2000) tidak meningkatkan rataan populasi protozoa total.
Perbaikan mutu biomineral tidak mengakibatkan kenaikan rataan populasi
protozoa (Tabel 7). Hal ini akan memberikan kesempatan pada bakteri rumen untuk
hidup lebih baik. Rataan populasi protozoa total yang juga tidak mengalami kenaikan
secara nyata pada waktu inkubasi 3 jam dapat memberikan kesempatan pada bakteri
rumen untuk dapat menggunakan mineral yang terdapat dalam biomineral dengan
lebih baik untuk aktivitasnya dan pada akhirnya akan membantu pencernaan dalam
rumen.
Protozoa bersifat memangsa bakteri dan juga proteolisis (Hobson dan
Stewart, 2003) sehingga dapat menurunkan efisiensi penggunaan nitrogen bagi
inangnya. Populasi protozoa total tidak mengalami peningkatan saat diberi
perlakuan, sehingga tidak akan mempengaruhi jumlah protein dan energi yang dapat
diabsorbsi oleh inang. Protozoa juga berfungsi sebagai pencerna karbohidrat mudah
larut seperti pati-patian yang banyak terdapat dalam konsentrat yang menjadi pakan
utama pada sapi potong. Protozoa bersama bakteri amilolitik akan mencerna gula dan
pati-patian sehingga ternak ruminansia dapat menggunakannya sebagai energi
(Kung, 1999). Dari hasil analisa komposisi nutrien biomineral cairan rumen dapat
dihitung BETN yaitu 56,57%, dan menunjukkan bahwa karbohidrat yang mudah
dicerna dari biomineral ini cukup tinggi. Hal ini diharapkan dapat juga memicu
peningkatan populasi dan aktivitas mikroba pencerna karbohidrat mudah dicerna
seperti protozoa, namun kebutuhan protozoa akan mineral untuk aktivitasnya harus
cukup. Penelitian ini menunjukkan bahwa, ternyata dengan ketersediaan karbohidrat
mudah tercerna yang cukup tinggi belum mampu memberikan pengaruh peningkatan
populasi protozoa, karena penambahan mineral makro pada biomineral sampai 2 kali
kebutuhan NRC (2000) tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap peningkatan
populasi protozoa. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi mineral untuk
mempengaruhi peningkatan populasi protozoa rumen.
Protozoa dan bakteri amilolitik mempunyai fungsi yang sama untuk
mendegradasi pati. Hungate (1966) menjelaskan bahwa pencernaan pati yang
dilakukan oleh protozoa akan diselesaikan oleh bakteri karena substrat akan jenuh
29 masih dapat digunakan oleh bakteri yang ukurannya lebih kecil. Aktivitas protozoa
akan lebih optimal dengan kehadiran mineral esensial seperti mineral Ca dan Mg
yang dibutuhkan untuk aktivator enzim amilase sesuai dengan pernyataan
Ruckebusch dan Thivend (1980), protozoa dan bakteri amilolitik sama-sama mampu
untuk menghasilkan enzim amilase. Kedua mikroba ini bersinergi untuk
mendegradasi pati (starch), sehingga peruntukkan mineral ini terbagi dua yaitu untuk
protozoa dan bakteri amilolitik. Hal inilah yang kemungkinan membuat perbaikan
biomineral dengan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali
kebutuhan NRC (2000) belum mencukupi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan tidak meningkatnya
jumlah protozoa total pada waktu inkubasi 3 jam, mengakibatkan jumlah bakteri
selulolitik, proteolitik dan total meningkat. Hal ini karena bakteri telah dapat
menggunakan tambahan mineral yang diberikan dengan lebih optimal dan tanpa ada
kegiatan predasi yang berlebihan yang disebabkan oleh populasi protozoa.
Pemberian biomineral yang telah diperbaiki mutunya dan waktu inkubasi sampai 3
jam tidak nyata meningkatkan populasi protozoa, sehingga memberikan kesempatan
untuk bakteri beraktivitas dengan lebih baik. Kamra (2005) menambahkan bahwa
pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen dapat mengakibatkan beberapa
hal diantaranya adanya penurunan aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang,
peningkatan jumlah bakteri kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan
adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung
tinggi serat.
Bakteri Amilolitik
Bakteri amilolitik adalah mikroba rumen yang mampu memfermentasi pati
(Dehority dan Burk, 2003). Bakteri amilolitik menjadi dominan jumlahnya apabila
makanan mengandung pati yang tinggi, seperti biji-bijan (konsentrat pakan ternak).
Asam propionat adalah produk yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan pati
yang kemudian akan dikonversi menjadi glukosa di hati dan digunakan sebagai
sumber energi sehingga asam propionat bersifat sebagai bahan glukogenik (Kung,
1999). Pemberian mineral seperti mineral Ca dan Mg dapat berfungsi sebagai
aktivator enzim amilase yang berasal dari bakteri amilolitik dan protozoa