• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minimum dose of gamma irradiation for quarantine treatment against bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera Tephritidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Minimum dose of gamma irradiation for quarantine treatment against bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera Tephritidae)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DOSIS MINIMUM IRADIASI GAMMA

UNTUK PERLAKUAN KARANTINA

TERHADAP

Bactrocera papayae

(DREW & HANCOCK)

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

RATIH RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Jakarta, Mei 2012

Ratih Rahayu

(4)

ABSTRACT

RATIH RAHAYU. Minimum Dose of Gamma Irradiation for Quarantine Treatment Against Bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae). Supervised by ENDANG SRI RATNA, RULY ANWAR and ACHMAD NASROH KUSWADI.

Bactrocera papayae is one of the most important fruit flies which is distributed in several countries of Asia and Papua New Guinea, including Indonesia. This fly has been given attention, particularly on the international trade of the agricultural commodities, because it carry a risk of entry and spread pest to free area. A quarantine treatment of gamma irradiation is suggested to alter a common chemical fumigation such as methyl bromide (MB). The objective of this research was to determine a minimum dose of 60Cobalt gamma rays applied on egg and larval stages of this fly that were maintained on the artificial diet in-vitro. There were two kind of treatments. First, egg, first instar larvae, second instar larvae, and third instar larvae were irradiated at six level of doses 0 (control), 25, 50, 75, 100, 125 and 150 Gy. Second, the most tolerant stage of the fly based on first treatment, were irradiated at nine level of doses 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, and 150 Gy including control. Our result showed that the third instar was the most tolerant stage of the fly to irradiation treatment. The minimum quarantine dose of irradiation to eradicate the third instar was 114.76 Gy.

(5)

RINGKASAN

RATIH RAHAYU. Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae). Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA, RULY ANWAR DAN ACHMAD NASROH KUSWADI.

B. papayae merupakan salah satu spesies lalat buah penting dengan sebaran wilayah dibeberapa negara Asia termasuk Indonesia dan Papua New Guinea. Lalat buah ini berperan penting dalam lalu lintas perdagangan komoditas pertanian antar negara yang membawa risiko masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan ke wilayah yang masih bebas. Iradiasi merupakan salah satu perlakuan yang berpotensi untuk menggantikan perlakuan karantina yang umum digunakan yaitu fumigasi dengan methyl bromide (MB). Penelitian ini bertujuan mendapatkan dosis minimum iradiasi sinar gamma dari 60Cobalt yang diperlakukan pada telur dan larva B. papayae untuk mencegah pembentukan imago secara in-vitro.

Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai dengan bulan April 2012 di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional Jakarta. Penelitian terdiri dari 2 tahap pengujian yaitu: (1) uji resistensi telur dan larva B. papayae terhadap iradiasi sinar gamma secara

in-vitro, dan (2) uji dosis minimum iradiasi sinar gamma secara in-vitro pada larva instar tiga. Pada tahap pertama peengujian dilakukan dengan menggunakan stadia lalat buah yang mungkin ada dalam komoditi inang, yaitu stadia telur, L1, L2 dan L3 yang dipelihara dalam pakan buatan. Perlakuan iradiasi dilakukan dengan 6 taraf dosis yaitu 0 (kontrol), 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 Gy. Pengamatan dilakukan terhadap pupa dan imago yan terbentuk pada masing-masing stadium dan taraf dosis. Pengujian tahap kedua dilakukan dengan menggunakan larva instar tiga sebagai stadium yang paling resisten terhadap iradiasi sinar gamma. Perlakuan iradiasi dilakukan dengan 9 taraf dosis 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 150 Gy dan 0 Gy sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan pada pupa dan imago yang terbentuk pada setiap taraf dosis.

Berdasarkan jumlah pupa dan imago yang terbentuk pada telur, L1, L2 dan L3 diketahui bahwa L3 merupakan stadium yang paling resisten terhadap iradiasi sinar gamma dibandingkan telur, L1 dan L2. Hasil pengujian dosis minimum iradiasi sinar gamma pada seluruh taraf dosis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pembentukan pupa. Imago yang muncul pada setiap taraf dosis di analisis LD probit 9 dengan program Polo Plus. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa dosis 114.76 Gy efektif dalam mencegah munculnya imago

B. papayae.

(6)
(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

DOSIS MINIMUM IRADIASI GAMMA

UNTUK PERLAKUAN KARANTINA

TERHADAP

Bactrocera papayae

(DREW & HANCOCK)

(DIPTERA: TEPHRITIDAE)

RATIH RAHAYU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk

Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae

(Drew & Hancock) (Diptera: Tephritidae) Nama Mahasiswa : Ratih Rahayu

Nomor Pokok : A352100114 Program Studi : Entomologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dra. Endang Sri Ratna, PhD Ketua

Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. Prof.(R). Ir. Achmad Nasroh Kuswadi, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini adalah perlakuan karantina iradiasi, dengan judul Dosis Minimum Iradiasi Gamma untuk Perlakuan Karantina terhadap Bactrocera papayae (Drew & Hancock ) (Diptera: Tephritidae).

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dra. Endang Sri Ratna, PhD selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini

2. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan bantuan pustaka selama penyusunan tesis ini

3. Prof (R) Ir. Achmad Nasroh Kuswadi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, masukan dan motivasi yang bermanfaat bagi penulis

4. Ir. Turhadi Noerachman, M.Si yang telah memberikan saran, masukan dan menyediakan waktu untuk menguji tesis ini

5. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini

6. Ibu Murni dan Ibu Indah sebagai peneliti di BATAN yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini

7. Seluruh keluarga, Ayah, ibu, kakak-kakak, suami dan anakku tercinta atas segala dukungan dan doa yang diberikan

8. Rekan-rekan di Program Khusus Karantina, Dwi, Erna, Aulia, Aprida, Yuli, Arif, Fitri, Joni, Nurul, Selamet, Riri, Lulu, Rahman, dan Catur atas dukungan dan kebersamaannya

9. Seluruh staf pengajar di Program Studi Entomologi/Fitopatologi Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini beranfaat bagi pihak yang membutuhkan, terutama dibidang Hama dan Penyakit Tumbuhan.

Bogor, Mei 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Betung (Musibanyuasin) pada tanggal 8 April 1982 dari ayah Sulaiman Effendi dan ibu Ami Hartini. Penulis merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara.

(13)

DAFTAR ISI

Aplikasi Iradiasi Gamma pada Bahan Makanan dan Komoditas Pertanian ... 6

Iradiasi sebagai Perlakuan Karantina ... 7

Sejarah Perkembangan Perlakuan Iradiasi untuk Buah dan Sayuran ... 9

Efek Iradiasi terhadap Lalat Buah dan Implementasinya terhadap Keamanan Komoditas ... 10

Pengujian Dosis Minimum Iradiasi terhadap L3 B. papayae secara in-vitro ... 14

Analisis Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi pakan buatan lalat buah B. papayae ... 12 2 Jumlah larva B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada

pakan buatan ... 16

3 Pupa B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan

buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda ... 17

4 Dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva B. papayae

berdasarkan mortalitas larva ... 18 5 Jumlah imago B. papayae yang muncul setelah perlakuan iradiasi

gamma stadia telur dan larva pada pakan buatan ... 20

6 Jumlah pupa dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae

dalam pakan buatan setelah mendapat perlakuan iradiasi gamma

pada taraf dosis yang berbeda ... 22

7 Tiga taraf dosis lethal iradiasi gamma pada L3 B. papayae dalam

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta persebaran B. papayae di Asia Tenggara ... 3 2 Ciri morfologi imago B. papayae, seta praskutelar (a), seta

skutelar (b), lateral postsutural vittae (c), sel bc dan c (d),

abdomen terga ruas ke 3 – 5 . ... 4 3 Ukuran pradewasa lalat buah B. papayae, telur (a), larva instar

satu (b), larva instar dua (c), dan larva instar tiga (d) ... 13 4 Iradiator gamma chamber 4000 A ... 14 5 Bentuk-bentuk imago setelah perlakuan iradiasi: kedua sayap

tidak berkembang sempurna (a), imago muncul sebagian (b), salah satu sayap tidak berkembang sempurna (c), bentuk imago normal

(d) ... 20

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah larva

B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada pakan

buatan ... 31

2 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data pupa

B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan

buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda ... 32

3 Analisis probit dengan program POLO-PC untuk data dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva B. papayae

berdasarkan mortalitas larva ... 38

4 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah imago B. papayae yang muncul setelah perlakuan iradiasi

gamma stadia telur dan larva pada makanan buatan ... 45

5 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah pupa dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae dalam pakan buatan setelah mendapat perlakuan iradiasi gamma pada

taraf dosis yang berbeda ... 47 6 Analisis probit dengan program POLO-Plus untuk data Tiga

taraf dosis lethal iradiasi gamma pada L3 B. papayae dalam

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lalat buah famili Tephritidae merupakan salah satu organisme pengganggu tumbuhan (OPT) penting di Asia dan Pasifik yang seringkali berasosiasi dengan buah tropika. Serangan larva lalat yang tumbuh dan berkembang di dalam buah mengakibatkan pembusukan bagian daging buah yang dapat mengurangi nilai estetika dan higienis makanan, sehingga buah tidak dapat dipasarkan (Siwi et al.

2006; Clarke et al. 2005).

Keberadaan lalat buah Bactrocera papayae di Indonesia telah dilaporkan oleh Siwi et al. (2006). Persebaran serangga ini meliputi beberapa wilayah di Asia dan Papua New Guinea. Lalu lintas perdagangan komoditas pertanian yang dinamis saat ini menimbulkan dampak peningkatan risiko masuk dan tersebarnya OPT karantina ke wilayah yang masih bebas (CAB International 2007). Oleh karena itu, negara pengimpor memberlakukan persyaratan impor yang ketat antara lain dengan perlakuan yang efektif dalam mengeradikasi OPT.

Perlakuan karantina yang umum digunakan untuk mengeradikasi serangga

(18)

2

Iradiasi terhadap serangga dapat mengakibatkan penghentian aktivitas hidup, penghambatan pertumbuhan dan perkembangan stadia pradewasa, penghambatan reproduksi imago, dan mortalitas serangga (IPPC 2003). Respon iradiasi ini pada serangga bergantung pada dosis yang diaplikasikan. Berdasarkan fakta di atas, penentuan dosis efektif aplikasi iradiasi terhadap setiap spesies penting di teliti untuk mengefisiensikan dosis minimum dalam mengeradikasi OPT/OPTK yang akan digunakan dalam skala komersial. Pada umumnya, skala pengamatan perlakuan karantina yang digunakan berupa mortalitas serangga, yaitu untuk membatasi kemungkinan serangga lolos hidup pada bahan komoditas ekpor-impor. Aplikasi iradiasi dengan dosis minimum dapat mengurangi kerusakan pada komoditas, mengurangi biaya dan aplikasi menjadi lebih cepat. Penentuan dosis minimum iradiasi yang efektif mengeradikasi spesies lalat buah telah banyak dilakukan di luar negeri (Rivera dan Hallman 2007; Hallman dan Martinez 2001). Dosis 60 dan 100 Gy iradiasi sinar gamma dilaporkan efektif mencegah pembentukan stadia imago Anastrepha ludens pada buah jeruk dan Ceratitis capitata pada buah mangga. Namun hingga saat ini belum dilaporkan tentang dosis minimum aplikasi iradiasi untuk mengeradikasi lalat buah B. papayae. Oleh karena itu, penentuan dosis minimum radiasi sinar gamma terhadap B. papayae perlu diteliti sebagai dasar pertimbangan yang dapat direkomendasikan dalam pengendalian OPT karantina.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menentukan dosis minimum iradiasi sinar gamma, sumber radio aktif 60Cobalt yang di aplikasikan pada telur dan larva B. papayae

terhadap lolos hidup stadia pradewasa dan mortalitas imago.

Manfaat

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Bactrocera papayae (Drew & Hancock)

Distribusi

Lalat buah famili Tephritidae merupakan hama utama pada bebuahan dan sesayuran di wilayah tropis dan subtropis (CAB International 2007). Genus Bactrocera menjadi salah satu genus utama di wilayah Asia dan Pasifik (Clarke et al. 2005; Clarke et al. 2001) dan B. dorsalis complex menjadi salah satu hama paling penting dikawasan Asia Tenggara (Adsavakulchai et al. 1999).

Persebaran lalat buah B. papayae telah meluas di Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Christmas Island (Drew dan Hancock 1994), Papua New Guinea dan Brunei Darussalam (Gambar 1; EPPO 2011; CAB International 2007). Lalat buah ini dilaporkan sebagai hama baru di Cairns (Queensland Utara, Australia) pada bulan Oktober 1995, populasi berkembang mapan di daerah tersebut dan dilaporkan menjadi hama 2 tahun kemudian. Serangga ini berhasil dieradikasi dengan menggunakan jantan mandul yang berasal dari perbanyakan massal di Queensland (SPC 2011).

Gambar 1 Peta persebaran B. papayae di Asia Tenggara (EPPO 2011) Legend

(20)

4

Morfologi

B. papayae memiliki tipe metamorfosis holometabola. Pertumbuhan dan perkembangan stadia serangga meliputi telur, larva, pupa dan imago. Telur berwarna putih bening, putih keruh atau putih kekuningan. Bentuk telur silindris dan menyempit ke arah posterior. Panjang telur 1.09 – 1.15 mm, dan lebar telur 0.20 mm. Stadia larva B. papayae dilalui dengan tiga instar. Panjang larva instar akhir 7.69 – 7.85 mm dan lebar 1.81 – 1.87 mm. Pupa eksarata terbungkus di dalam puparium. Puparium pada awalnya berwarna kuning pucat, kemudian berangsur-angsur berubah hingga coklat kehitaman. Panjang puparium 6.62 - 6.94 mm dan lebar 2.89 – 2.92 mm (Noor et al. 2011; CAB International 2007).

Ciri karakter morfologi Imago B. papayae sebagai berikut (Gambar 2), memiliki rentang sayap 6.2 mm. Kepala hipognatus, panjang permukaan kepala arah vertikal 1.8 mm. Skutum toraks dominan berwarna hitam dengan pita berwarna kuning disisi lateral (lateral postsutural vittae) dan tidak terdapat pita (postsutural vittae) di tengah. Pada bagian tepi posterior skutum dan anterior skutelum terdapat masing-masing 2 seta praskutelar dan 2 seta skutelar. Abdomen berbentuk oval, pola warna hitam berbentuk huruf T membentang di bagian terga ruas abdomen ruas ke 3 - 5. Femur berwarna kuning kemerahan. Pertulangan sayap, khususnya pita kostal tidak tumpang tindih dengan Radius2+3

dan tidak meluas pada ujung sayap, sel bc dan c jelas (Drew dan Hancock 1994; Rahardjo et al. 2009; Sukarmin 2011; Siwi et al. 2006)

Gambar 2 Ciri morfologi imago B. papayae, setapraskutelar (a), seta skutelar (b),

lateral postsutural vittae (c), sel bc dan c (d), abdomen terga ruas ke 3 – 5 (e)

e a

(21)

5

Ciri morfologi spesies B. papayae memiliki kemiripan dengan

B. carambolae, B. dorsalis, B. occipitalis, dan B. philippinensis, yaitu memiliki

lateral postsutural vitae yang lebar, pita costal sempit, terga abdomen ruas ke 3 - 5 dengan garis lateral dan pita longitudinal bagian tengah yang gelap dan sempit, bercak oval berwarna pucat pada tergum ruas ke-5, aculeus (ruas ujung ovipositor

yang mengeras) berbentuk seperti jarum. Perbedaan B. papayae dengan

B. carambolae, B. dorsalis, dan B. occipitalis adalah aculeus yang lebih panjang (1.77 – 2.12 mm) dan pita costal umumnya tidak tumpang tindih dengan Radius2+3. B. papayae dibedakan dari B. carambolae dengan ciri tidak

dijumpainya bercak hitam pada permukaan femur. Begitu pula B. papayae

dibedakandengan B. philippinensis dengan ukuran sisik pada ruas ujung dan tengah ovipositor yang lebih panjang (Ebina dan Ohto 2006; Drew dan Hancock 1994; Mahmood 2004).

Biologi dan Ekologi

B. papayae merupakan hama polifagus menyerang buah dan sayuran berdaging. Imago betina biasanya meletakkan telur di bawah kulit buah inang secara berkelompok berisi 10 – 50 telur. Telur menetas dalam waktu 1.16 hari. Larva makan dan hidup menggerek di dalam daging buah sehingga menimbulkan gejala serangan buah busuk dan jatuh. Larva terdiri atas 3 instar. Stadia larva berlangsung 6 hingga 35. Larva instar akhir akan keluar dari dalam buah dan

berpupa di permukaan tanah dekat tanaman inang. Stadia pupa berkisar 8 hingga 12 hari, namun dalam suhu rendah dapat mencapai 90 hari. Imago mulai kawin pada hari ke-8 hingga 12 setelah eklosi. Lama hidup imago mencapai 1 hingga 3 bulan, bahkan dapat mencapai 12 bulan di daerah bersuhu rendah (Noor et al.

2011; Clarke et al. 2001; CAB International 2007).

Kisaran Inang

(22)

6

perbedaan preferensi inang di setiap wilayah. Terminalia catappa, Psidium guajava, Syzygium samarangense dan Averrhoa carambola menjadi

inang yang disukai di Thailand dan Malaysia (Clarke et al. 2001). Pepaya jarang diserang B. papaye di Brunei Darusalam, dan mangga merupakan inang utama saat terjadi outbreak di Queensland Australia (CAB International 2007).

Aplikasi Iradiasi Gamma pada Bahan Makanan dan Komoditas Pertanian

Iradiasi adalah perlakuan pemaparan sinar terhadap suatu bahan untuk berbagai keperluan khusus. Teknologi iradiasi umumnya dimanfaatkan untuk berbagai tujuan antara lain: terapi penyakit kanker, mendeteksi barang di pelabuhan udara, mengewetkan ban, mensterilkan pupuk, membuat peralatan masak anti lengket, membersihkan wol, sterilisasi peralatan medis, dan membunuh bakteri pada kosmetik (Brennand 1995). Iradiasi dapat digunakan terhadap bahan pangan dengan tujuan membunuh bakteri merugikan seperti E. coli dan Salmonella, mencegah pertunasan umbi, memperpanjang waktu simpan komoditas, dan mencegah perkembangan OPT (Ferrier 2009). Iradiasi yang berkaitan dengan pengendalian OPT pada bahan pangan dan hasil pertanian dilakukan dengan cara memaparkan sinar gamma, e-beam (elektron berenergi tinggi), atau sinar X tanpa merusak kualitas bahan. Sinar yang di pancarkan akan menembus ke bagian dalam bahan yang disinari dan akan merusak molekul sel

organisme hidup termasuk OPT di dalamnya. Pada serangga OPT sasaran perlakuan sinar biasanya berpengaruh pada jaringan reproduksi (Ferrier 2010).

(23)

7

pengoperasian iradiasi yang dikembangkan untuk keperluan skala komersial ada dua tipe: (1) komoditas yang akan diradiasi dimasukkan ke dalam ruang radiasi dan bahan sumber radioaktif diarahkan ke ruang radiasi sesuai dengan waktu yang diperlukan hingga mencapai dosis tertentu, (2) sistem konveyor yang melalukan komoditas melewati sumber penyinaran dengan kecepatan tertentu sesuai dengan dosis serap yang dibutuhkan. Sinar X dan berkas elektron yang keduanya memancarkan sinar searah sesuai diaplikasikan melalui metode sistem konveyor (Hallman 1999; IPPC 2003).

Keamanan iradiasi terhadap kualitas bahan makanan dipengaruhi oleh dosis penyinaran yang diaplikasikan. WHO (1992) menyatakan bahwa makanan hasil iradiasi dibawah dosis 10 KGy dinyatakan aman dari infestasi OPT dan masih memiliki kandungan gizi yang memadai. Keamanan penggunaan bahan makanan hasil iradiasi tersebut didukung oleh sebagian besar lembaga kesehatan masyarakat di seluruh dunia, yaitu dengan mencantumkan pelabelan pada produk makanan. Makanan hasil iradiasi tersebut biasanya diberi label treated with irradiation atau treated by irradiation (IPPC 2003; Ferrier 2010; Delincee 1998).

Iradiasi sebagai Perlakuan Karantina

Lalulintas komoditas hasil pertanian serta kehutanan dalam perdagangan global memberi peluang terjadinya perpindahan atau penyebaran OPT dari suatu daerah atau negara ke negara lain yang terbawa bersama komoditas tersebut. Oleh

(24)

8

Demikian pula, penyimpanan bahan di ruang pendingin dan berbagai perlakuan panas dengan kombinasi pencelupan insektisida juga dilaporkan untuk mengeradikasi lalat buah Tephritiae (Hallman dan Loaharanu 2002). Setiap metode perlakuan karantina memiliki kekurangan dan kelebihan. Tiga perlakuan suhu tinggi, suhu rendah maupun kimia efektif dalam mengendalikan OPT, namun seringkali faktor kerugian yang ditimbulkan menjadi kendala operasional. Perlakuan suhu tinggi dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa komoditas seperti terjadi pada buah pome dan alpukat, perlakuan suhu rendah membutuhkan waktu aplikasi yang lama yaitu kurang lebih 12 hari, sedangkan perlakuan kimia mulai dihindari karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan dan lingkungan (Hallman 1999). Sekarang ini perlakuan iradiasi mulai banyak diminati karena memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) aplikasi cepat; (2) dapat diaplikasikan pada komoditas dikemas; (3) tidak meninggalkan residu bahan kimia; (4) berbagai jenis buah toleran pada aplikasi dosis yang sesuai; dan (5) dosis efikasi tidak dipengaruhi oleh ukuran buah. Walaupun demikian, iradiasi memiliki beberapa kelemahan antara lain (1) diperlukan biaya yang besar untuk membangun fasilitas iradiasi; (2) aplikasi pada komoditas yang sudah dikemas dalam skala komersial membutuhkan dosis yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan risiko kerusakan pada komoditas; (3) tidak menimbulkan mortalitas yang akut pada serangga; dan (4) untuk alasan keamanan dan biaya yang tinggi iradiasi dilaksanakan di lokasi yang tersentralisasi, sehingga tidak dapat

dilaksanakan di lokasi pengemasan setempat (Hallman dan Martinez 2001). Iradiasi telah diakui sebagai perlakuan karantina terhadap produk bahan segar oleh The International Consultative Group on Food Irradiation (ICGFI) dan The Regional Plant Protection Organizations (RPPO). RPPO yang mendukung iradiasi untuk keperluan karantina adalah The North American Plant Protection Organization (NAPPO), The European Plant Protection Organization (EPPO),

(25)

9

Sejarah Perkembangan Perlakuan Iradiasi untuk Buah dan Sayuran

Penggunaan iradiasi sinar X sebagai perlakuan karantina telah diperkenalkan sejak tahun 1930 (Koidsumi 1930 dalam Burditt 1994). Berikutnya Balock et al.

(1966) mengemukakan bahwa sinar gamma dari radioaktif 60Cobalt telah digunakan untuk eradikasi lalat buah asal Hawai. Macfarlane (1966) menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma digunakan sebagai perlakuan karantina untuk mencegah masuknya B. tryoni di Australia. Follet (2006), melaporkan bahwa iradiasi telah digunakan sebagai perlakuan fitosanitari untuk mengeradikasi kutu perisai pada buah peach.

Pada tahun 1970 Food dan Agriculture Organization (FAO) dan

International Atomic Energy Agency (IAEA) menyelenggarakan panel ahli di Honolulu, Hawai USA, yang membahas megenai (1) potensi iradiasi sebagai perlakuan karantina untuk buah sayuran segar terutama yang terserang oleh lalat buah dan penggerek buah mangga; (2) penentuan dosis yang dibutuhkan; (3) kriteria yang dibutuhkan untuk keamanan karantina; (4) metode implementasi; dan (5) teknik disinfestasi dengan iradiasi.

Pada tahun 1984 United States Environmental Protection Agency (USEPA) melarang penggunaan fumigan ethylene dibromide (EDB) diaplikasikan pada makanan. Maka FAO, IAEA dan World Health Organization (WHO) menindaklanjuti aksi tersebut dengan mendirikan ICGFI. ICGFI

menyelenggarakan dua pertemuan yang membahas mengenai iradiasi sebagai perlakuan karantina. Pada pertemuan tersebut ICGFI memberikan beberapa rekomendasi antara lain: (1) pelaksanaan perlakuan dimasukkan dalam panduan internasional karantina tumbuhan (International Plant Quarantine Treatment Manual); (2) penelitian dilakukan untuk mengembangkan perlakuan iradiasi untuk OPT penting lainnya; (3) evaluasi toleransi dosis untuk komoditas lainnya; (4) program pelatihan dikembangkan untuk petugas karantina. Kemudian beberapa pertemuan diselenggarakan untuk membahas topik tersebut pada tahun-tahun berikutnya (Burditt 1994; Loaharanu 1992).

(26)

10

yang dikirim dari Puerto Rico ke Florida. Kemudian tahun 1989, buah pepaya hasil perlakuan iradiasi amma dosis 150 Gy diekspor dari Hawaii ke California. Penggunaan iradiasi sebagai sarana perlakuan karantina berlangsung terus menerus dan semakin meluas ke Negara-negara lain seperti Australia, Vietnam, Thailand, dan Pakistan. Fasilitas iradiasi komersial untuk perlakuan karantina pertama kali didirikan tahun 1992 di Florida, kemudian diikuti pada tahun 1995 di Hawaii (Dowdy 2001; Hossain et al. 2011).

Efek Iradiasi terhadap Lalat Buah dan Implementasinya terhadap

Keamanan Komoditas

Iradiasi pada perlakuan karantina bahan pertanian umumnya tidak menimbulkan mortalitas akut pada serangga sasaran, sehingga dosis iradiasi yang diaplikasikan untuk mendapatkan respon mortalitas tinggi dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan pada komoditas. Faria (1989) dalam Bustos et al. (2004) menyatakan bahwa dosis iradiasi gamma yang diperlukan untuk mortalitas larva

C. capitata mencapai 1.190 Gy, namun dosis tersebut mempengaruhi kualitas buah. Oleh karena itu dosis rekomendasi pengendalian diturunkan cukup untuk mencegah perkembangan atau reproduksi serangga, dosis tersebut dianggap setara dengan mortalitas dan memberikan jaminan keamanan karantina. Sebagai contoh dosis 1000 Gy dapat membunuh stadium dewasa penggerek kentang, namun batas dosis 400 Gy dapat merusak komoditas sehingga dosis rekomendasi menjadi 200

Gy yang hanya memberikan efek sterilitas pada serangga tersebut (Dowdy 2001; Hossain et al. 2011).

(27)

11

Gy menyebabkan penghambatan proses melanisasi yang ditandai dengan perubahan warna kelabu pada lapisan integumen dibandingkan kontrol yang berwarna hitam setelah melalui periode pembekuan dan pelelehan spesimen. Pengujian fenoloksidase melalui metode simple spot test pada transparansi film dengan menggunakan penanda 2-methyl-DOPA tidak menghasilkan perubahan warna integumen pada larva yang diradiasi dengan dosis ≥ 25 Gy, sebaliknya perubahan warna merah terjadi pada larva perlakuan kontrol. Rahman et al.

(28)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai dengan bulan April 2012 di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah lalat buah spesies

B. papayae, Iradiator gamma chamber 4000A pemasangan tahun 1992 (kapasitas 2 liter dengan sumber radiasi gamma Co-60, Shelf shield/potrable dengan aktivitas maksimum ± 10.000 Ci) dan pakan untuk perbanyakan lalat buah. Lalat buah diperoleh dari hasil pembiakan massal di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN Jakarta. Pakan buatan dibuat dengan komposisi bahan yang diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi pakan buatan lalat buah B. papayae (Kuswadi et al. 1999)

Bahan- bahan Jumlah

Sekam gandum 223 g

Ragi roti 28 g

Gula pasir 1000 g Sodium benzoat 0.79 g

Nipagin 0.79 g

HCl teknis 0.75 g

Air 600 ml

Metode Penelitian

(29)

13

Perbanyakan Massal Lalat Buah B. papayae

Perbanyakan lalat buah dilakukan dengan teknik pembiakan massal yang telah dikembangkan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi (Kuswadi et al. 1999). Telur dari hasil perbanyakan digunakan sebagai stok serangga uji pada perlakuan selanjutnya.

Uji Keberhasilan Hidup Lalat Buah di Dalam Pakan Buatan

Setiap 100 telur B. papayae berasal dari stok pembiakan massal diinokulasikan pada 300 gram pakan buatan di wadah plastik berukuran 5 cm x 10 cm x 8 cm. Pakan buatan dimasukkan dalam wadah berukuran 10 cm x 8 cm, dengan volume pakan kurang lebih 300 gram. Inokulasi dilakukan dengan cara meletakkan telur di atas potongan kain hitam ukuran 3.5 cm x 3.5 cm yang berada di permukaan pakan buatan. Telur dipelihara pada suhu 25 oC. Media pakan berisi inokulum telur dibongkar berturut-turut pada hari ke-3, ke-4 dan ke-5 setelah inokulasi, untuk diamati dan dihitung jumlah populasi L1, L2 dan L3 yang berhasil hidup. Pemilihan telur yang digunakan pada perlakuan serta pengamatan setiap instar larva ditentukan berdasarkan pedoman ukuran panjang tubuh larva (Gambar 3). Perlakuan tersebut diulang lima kali.

Gambar 3 Ukuran pradewasa lalat buah B. papayae, telur (a), larva instar satu (b), larva instar dua (c), dan larva instar tiga (d)

Aplikasi Iradiasi Gamma terhadap Telur dan Larva B. papayae

(30)

14

Setiap kelompok berisi 100 telur B. papayae yang berasal dari stok pembiakan massal diinokulasikan pada media pakan buatan. Inokulasi telur dan pemeliharaan larva dilakukan dengan cara yang sama seperti diuraikan di atas. Media pakan buatan yang telah diinokulasi telur, masing-masing diberi perlakuan iradiasi gamma berturut-turut pada hari ke-1, ke-3, ke-4 dan ke-5 setelah inokulasi dengan asumsi bahwa 3 hari pemeliharaan tersebut merupakan waktu pembentukan L1, L2 dan L3. Dosis iradiasi yang diujikan adalah 0 (kontrol), 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 Gy. Setiap perlakuan tersebut diulang sebanyak 5 kali.

Jika telah diiradiasi, telur dan larva lalat buah tersebut kemudian dialasi pakan buatan yang berisi serbuk gergaji sebagai media berpupa. Setelah lalat buah memasuki stadia pupa, pupa tersebut dipisahkan dari serbuk gergaji kemudian dipindahkan pada kurungan imago. Mortalitas pupa hasil masing-masing perlakuan telur, L1, L2 dan L3 dianalisis menggunakan prorgram probit POLO-PC. Dosis efektif iradiasi terhadap mortalitas pupa tersebut dinyatakan dalam LD50. Data tersebut dibandingkan dengan analisis ragam Anova dan uji

Tukey dengan program Minitab 16. Jumlah imago yang terbentuk dihitung dan diamati gejala morfologi tubuhnya akibat iradiasi gamma.

Gambar 4 Iradiator gamma chamber 4000A

Pengujian Dosis Minimum Iradiasi terhadap L3 B. papayae secara In-vitro

(31)

15

larva, diketahui bahwa stadium L3 merupakan stadium yang paling toleran terhadap radiasi sinar gamma.

Larva instar tiga diperoleh dari pemeliharaan telur hingga stadium larva instar tiga dalam pakan buatan. Pemeliharaan pada nampan berukuran kurang lebih 5 cm x 30 cm x 20 cm dengan suhu ruangan 25 o C. Enam hari setelah inokulasi telur, lalat buah telah memasuki stadium L3.

Pengujian dilakukan dengan memindahkan 100 ekor L3 akhir yang berasal dari stok pemeliharaan larva ke dalam wadah plastik berisi pakan buatan berukuran 5 cm x 10 cm x 8 cm. Larva dibiarkan kurang lebih 6 jam sebelum pelaksanaan iradiasi. Iradiasi L3 dalam pakan buatan dengan dosis 0 (kontrol), 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 150 Gy. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Pemeliharaan larva setelah iradiasi gamma hingga terbentuknya imago dilakukan dengan cara yang sama seperti diuraikan di atas. Jumlah pupa hasil perlakuan dosis iradiasi dihitung dan dianalisis ragam Anova dan uji Tukey dengan program Minitab 16. Imago yang terbentuk setelah perlakuan dosis iradiasi dianalisis probit POLO-Plus. Dosis efektif iradiasi gamma terhadap mortalitas imago tersebut dinyatakan dalam LD50, LD99 dan LD Probit 9. LD probit 9 merupakan

standar yang digunakan untuk memenuhi dosis minimum keperluan eradikasi pada perlakuan karantina.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam eka arah (Oneway Anova), dilanjutkan dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%. Pengolahan data menggunakan program statistik Minitab 16.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Perkembangan Stadia Larva B. papayae

pada Pakan Buatan

Sebelum dilakukan uji toleransi telur dan larva lalat buah terhadap iradiasi sinar gamma, perlu diketahui pertumbuhan dan perkembangan B. papayae stadia larva dalam pakan buatan. Pengaruh perlakuan pakan terhadap pertumbuhan dan perkembangan B. papayae ditunjukkan pada Tabel 2 dan Lampiran 1. Perlakuan iradiasi telur terhadap L1, L2 dan L3 terbentuk berturut-turut pada hari ke-4, ke-5 dan ke-6, yaitu rata-rata sebesar 74%, 62% dan 50%.

Tabel 2 Jumlah larva B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada pakan buatan

Stadia Rata-rata jumlah larva (ekor)

Larva instar 1 73.6 ± 1.67 a

Larva instar 2 62.0 ± 7.31 b

Larva Instar 3 49.6 ± 1.52 c

Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Tukey pada taraf 5%.

Dari pengujian ini diketahui bahwa dalam setiap tahap perkembangannya mulai stadia telur yang diinokulasikan hingga jumlah L1 sampai dengan L3 yang terbentuk semakin berkurang. Penurunan jumlah larva juga dilaporkan Noor et al.

(33)

17

Pengaruh Iradiasi Gamma terhadap Perkembangan B. papayae

Pengaruh dosis irradiasi pada setiap stadia lalat buah terhadap pembentukan pupa B. papaya ditunjukkan pada Tabel 3 dan Lampiran 2. Dosis iradiasi gamma 25 Gy hingga 150 Gy sangat nyata menghambat perkembangan telur yang ditunjukkan dengan keberhasilan pembentukan pupa sangat rendah, yaitu rata-rata berkisar antara 0 - 8% dibandingkan kontrol sebesar 76%. Kematian telur pada perlakuan kontrol sebesar 24% diduga bukan akibat iradiasi melainkan faktor kematian alami atau infertilitas telur, dengan pertimbangan bahwa telur yang ditetaskan berhasil hidup hingga L1 sebesar 74% pada percobaan sebelumnya (Tabel 2).

Pembentukan pupa cenderung sedikit meningkat pada perlakuan iradiasi L1

rata-rata berkisar antara 3 - 22% nyata berbeda dengan kontrol sebesar 75%. Penghambatan pertumbuhan L1 secara umum masih nyata pada perlakuan dosis

tinggi 75 - 150 Gy dengan perkecualian pada dosis 25 Gy yang hanya mencapai 6%. Rendahnya pembentukan pupa pada dosis terendah ini diduga karena terjadi perbedaan respon variasi di antara individu populasi larva uji.

Pertahanan larva terhadap perlakuan iradiasi semakin meningkat pada perkembangan L2 dibandingkan L1. Pupa yang terbentuk rata-rata berkisar antara 26 - 41% berbeda nyata dengan perlakuan kontrol sebesar 62%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis terendah yang mencapai 49%. Pertahanan pupa terlihat nyata pada perlakuan dosis rendah mulai 25 - 100 Gy dengan tingkat

Tabel 3 Pupa B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda

Dosis perlakuan

(Gy)

Jumlah pupa hasil iradiasi pada stadia (ekor)

Telur L1 L2 L3

0 75.81 a 75.40 a 61.69 a 90.32 a

25 7.80 b 5.71c 49.35 ab 87.50 a

50 0.40 b 22.01 b 40.65 bc 80.65 a

75 1.00 b 13.59 bc 35.16 bc 83.06 a

100 0.00 b 4.62 c 40.32 bc 45.56 b

125 0.40 b 3.53 c 28.06 c 60.08 b

150 0.00 b 2.72 c 26.45 c 52.42 b

(34)

18

persentase keberhasilan pembentukan pupa yang lebih tinggi 35 - 49% dibandingkan dosis 125 – 150 Gy yang berkisar antara 26 - 28%. Hal ini berarti bahwa L2 cenderung lebih tahan terhadap perlakuan iradiasi dibandingkan L1 maupun telur.

Perlakuan iradiasi L3 menghasilkan pupa yang relatif jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan telur maupun instar larva sebelumnya, yaitu berkisar antara 52 - 88%. Perlakuan dosis rendah 25 - 75 Gy menghasilkan pupa 83 - 87% tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol sebesar 90%. Peningkatan pertahanan larva juga ditunjukkan dengan persentase pupa yang dihasilkan pada perlakuan dosis tinggi 100 - 150 Gy sebesar 46 - 60% yang relatif hampir sama pada perlakuan dosis rendah 25 Gy terhadap L2, yaitu sebesar 49%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa semakin berkembang stadium perkembangan serangga, maka semakin meningkat pertahanannya terhadap respon irradiasi. Dari hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa L3 memiliki respon pertahanan paling tinggi atau lebih toleran terhadap perlakuan iradiasi.

Peningkatan ketahanan larva ditunjukkan lebih jelas dengan peningkatan dosis efektif atau LD50 terhadap mortalitas larva (Tabel 4 dan Lampiran 3). Data

hasil analisis Probit menunjukkan bahwa LD50 tertinggi diperoleh pada perlakuan

iradiasi terhadap L3 sebesar 167.7 Gy, berturut-turut menurun pada L2 sebesar 128.3 Gy dan terendah pada L1 sebesar 2 Gy. Hal ini berarti bahwa L3 merupakan larva paling toleran terhadap perlakuan iradiasi gamma. LD50 hasil perlakuan telur

terhadap mortalitas pupa relatif lebih tinggi dari perlakuan larva instar I. Hal ini diduga bahwa kulit telur membantu proses perlindungan terhadap perkembangan embrio dari pengaruh luar seperti contoh iradiasi gama. Ketahanan L3 terhadap

Tabel 4 Dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva

B. papayae berdasarkan mortalitas larva

Perlakuan LD 50 (Gy) Persamaan regresi

Telur 7.19 y = -2.08 + 2.43 x

L1 1.96 y = -0.22 + 0.75 x

L2 128.33 y = -2.46 + 1.16 x

L3 167.65 y = -5.36 + 2.41 x

(35)

19

iradiasi gamma ditunjukkan pada berbagai spesies lalat buah B. latifrons,

B. jarvisi, B. tryoni, A. suspense, maupun C.capitata (Follet et al. 2011;Bustos et al. 2004; Heather dan Corcoran 1992; Jessup et al. 1992). Menurut Hallman dan Loaharanu (2002), ) secara umum tingkat toleransi serangga terhadap iradiasi akan meningkat sejalan dengan perkembangan serangga. Stadium L3 merupakan stadium yang paling toleran pada lalat buah yang mungkin ditemukan pada inang, sehingga stadium L3 dapat digunakan pada pengujian iradiasi untuk keperluan karantina terhadap Tephritidae. Namun berbeda dengan hasil penelitian Hallman dan Worley (1999) bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat toleransi antara L3 dan prepupa A. obliqua secara in-vitro. Follet dan Lower (2000) menyebutkan bahwa pada Cryptophlebia illepida instar awal lebih toleran daripada instar tengah. Nimpha Pseudaulacaspis pentagona lebih toleran terhadap iradiasi dibandingkan stadium dewasa dalam mencegah terbentuknya F1. Bagaimanapun juga Hallman (1999) dan Hallman et al. (2010) menyatakan bahwa sebelum pelaksanaan perlakuan karantina, stadia yang paling toleran yang mungkin ada di dalam komoditas perlu diidentifikasi sehingga dosis efektif yang diperlakukan pada stadia yang paling toleran akan efektif pula untuk stadia yang lebih rentan. Hallman et al. (2010) menyatakan bahwa perlakuan fitosanitari harus menunjukkan keefektifan terhadap stadia yang paling toleran yang ada pada media pembawa sehingga perlakuan akan efektif pada stadia yang lain.

Pupa yang terbentuk hasil perlakuan iradiasi sebagian besar tidak berganti

kulit menjadi imago (Tabel 5 dan lampiran 4). Imago dapat eklosi hanya pada perlakuan dosis rendah iradiasi gama terhadap L3, yaitu sebesar 6%. Walaupun pupa tersebut lolos hidup menjadi imago, namun terjadi berbagai variasi abnormalitas morfologi. Dari seluruh L3 yang lolos dari perlakuan iradiasi dosis 25 Gy, tiga bentuk fenomena abnormalitas ditemukan pada imago lalat B. papaya

(36)

20

Tabel 5 Jumlah imago B. papayae yang muncul setelah perlakuan iradiasi sinar gamma stadia telur dan larva pada pakan buatan

Dosis (Gy)

Jumlah imago yang muncul pada perlakuan (ekor)

Telur L1 L2 L3

0 50.40 48.39 40.72 62.10 a 25 0.00 0.00 0.00 6.45 b 50 0.00 0.00 0.00 0.00 b 75 0.00 0.00 0.00 0.00 b 100 0.00 0.00 0.00 0.00 b 125 0.00 0.00 0.00 0.00 b 150 0.00 0.00 0.00 0.00 b

Ket: Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Tukey dengan taraf 5%.

Gambar 5 Bentuk-bentuk imago setelah perlakuan iradiasi: kedua sayap tidak berkembang sempurna (a), imago muncul sebagian (b), salah satu sayap tidak berkembang sempurna (c), bentuk imago normal (d)

(37)

21

bertahan hidup kurang lebih 4 hari. Berdasarkan biologi B. papayae imago mulai kawin setelah 8 hingga 12 hari dari munculnya imago, sehingga ketiga bentuk imago yang tidak normal ini memiliki risiko yang sangat rendah untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan kerusakan. Dengan demikian dosis efektif terhadap mortalitas pupa tidak menjamin keamanan perlakuan karantina. Hal ini ditunjukkan bahwa perlakuan eradikasi lalat buah selain teramati dalam bentuk kegagalan eklosi pupa menjadi imago juga terjadi abnormalitas sayap pada imago yang berhasil hidup. Sama seperti hasil yang dilaporkan oleh Vijaysegaran et al.

(1992) bahwa iradiasi gamma pada dosis 25-50 Gy terhadap telur, larva instar I, II, dan III B. dorsalis complex dalam media wortel mencegah terbentuknya imago. Hal yang sama dilaporkan oleh Windeguth (1992), bahwa larva A. suspensa yang diiradiasi dosis 50 Gy pada stadia L3 dan kemudian dipelihara selama 1 - 7 hari dalam media buatan, tidak terbentuk imago hidup.

Pengujian Dosis Minimum Iradiasi secara In-vitro

Dalam pengujian iradiasi untuk kepentingan karantina dikenal beberapa metode inokulasi antara lain: (1) pemeliharaan, inokulasi dan iradiasi lalat buah dalam pakan buatan atau in-vitro, (2) inokulasi buatan dengan pemindahan lalat buah dari pakan buatan ke dalam media buah atau in-situ, dan (3) inokulasi telur secara alami dengan oviposisi lalat buah (Hallman dan Loaharanu 2002).

Menurut Hallman dan Thomas (2010) metode yang paling akurat adalah metode yang mendekati kondisi alami, melalui oviposisi langsung oleh lalat buah betina walaupun memiliki kelemahan dengan tidak diketahui tepatnya jumlah telur yang diinokulasikan.

Pengujian dosis minimum dalam penelitian ini dilakukan secara in-vitro

(38)

22

sebelum digunakan dalam perlakuan. Disamping itu dalam pengujian dosis ini perlakuan iradiasi dilakukan pada stadia larva instar tiga akhir yang diinokulasi kurang lebih 6 jam sebelum iradiasi. Cara ini dilakukan agar serangga uji yang digunakan seragam pada stadia yang paling toleran dan sesuai dengan jumlah yang dikehendaki. Cara inokulasi seperti ini akan sulit jika dilakukan secara in-situ karena larva instar tiga yang aktif bergerak.

Jumlah pupa dan imago yang muncul setelah perlakuan iradiasi sebagaimana tertera pada Tabel 6 dan lampiran . Jumlah pupa yang muncul hasil iradiasi L3 nyata sama pada semua taraf dosis 10 – 150 Gy, yaitu 89 – 96% dibandingkan dengan kontrol sebesar 97%. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan radiasi dosis 150 Gy perlakuan tidak berpengaruh nyata pada pembentukan pupa B. papayae.

Jumlah imago yang muncul bervariasi di antara perlakuan dosis yang diberikan. Pada dosis 40, 60, 100, dan 150 Gy imago gagal eklosi. Pada dosis 80 Gy dan dosis 120 Gy masing-masing ditemukan 4% dan 2% lalat buah yang berhasil menjadi imago. Dalam pengujian beberapa taraf dosis iradiasi seringkali diperoleh hasil kemunculan imago pada dosis yang tinggi sedangkan pada dosis yang lebih rendah tidak muncul imago. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor ketahanan tubuh yang berbeda-beda terhadap radiasi.

Tabel 6 Jumlah pupa dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae

dalam pakan buatan setelah mendapat perlakuan iradiasi gamma pada taraf dosis yang berbeda

Dosis (Gy) Jumlah larva uji Rata-rata jumlah pupa

Rata-rata jumlah imago

0 100 97.0 ± 1.58 a 91.6 ± 1.1 a

10 100 93.2 ± 5.17 a 63.6 ± 2.1 b

20 100 93.4 ± 4.93 a 23.2 ± 24.7 c

(39)

23

Pada dosis 80 Gy dan 120 Gy lalat buah yang muncul merupakan lalat buah yang memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat terhadap radiasi dibandingkan lalat buah yang diuji pada dosis 40, 60 dan 100 Gy. Pada dosis yang paling rendah 10 Gy masih menghasilkan 64% imago, namun demikian nilai tersebut berbeda nyata dengan kontrol.

Perlakuan OPT pada komoditas pasca panen membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi untuk keamanan karantina, yang umum disebut probit 9. Metode statistik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara dosis dan respon disebut analisis probit. Respon probit 9 (LD Probit 9) menghasilkan tingkat efikasi 99.9968%. Respon yang dihasilkan dapat berupa penghambatan pertumbuhan, sterilitas atau mortalitas. Pada pengujian ini, pengaruh dosis iradiasi dalam mencegah munculnya imago B. papayae setelah dilakukan analisis probit dengan program Polo Plus sebagaimana tercantum dalam Tabel 7 dan Lampiran 6.

Tabel 7 Tiga taraf dosis lethal iradiasi gamma pada larva L3 B. papayae dalam pakan buatan berdasarkan mortalitas imago g = Penetapan kesesuaian model probit analisis Pearson chi-square (α = 0.05) dengan ketentuan nilai g < 1

Data dari Tabel 7 diperoleh nilai LD Probit 9 sebesar 114.76 Gy. Hal ini berarti bahwa pada dosis iradiasi 114.76 Gy cukup memberikan keamanan karantina dalam mencegah munculnya imago B. papayae. Keefektifan perlakuan dibuktikan dengan nilai g < 1. Dosis minimum yang diperoleh pada pengujian ini lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang direkomendasikan IPPC untuk mencegah munculnya imago family Tephritidae yaitu 150 Gy. Penelitian untuk mendapatkan dosis minimum iradiasi yang efektif terhadap beberapa spesies lalat buah telah banyak dilakukan diluar negeri. Berdasarkan hasil penelitian, dosis minimum untuk mencegah munculnya imago B. latifrons, C. Capitata, A. ludens

(40)

24

keperluan karantina di Indomesia telah dilakukan pada spesies B. carambolae

dengan pengujian secara in-vitro, dosis 100 Gy dapat mencegah munculnya pupa menjadi imago (Kuswadi dan Indarwatmi 2010).

Dosis aplikasi yang lebih rendah diharapkan dapat mengurangi biaya perlakuan, mempercepat waktu perlakuan serta mengurangi kerusakan pada komoditas terutama bila diaplikasikan dalam skala komersial. Sebagaimana disebutkan oleh Follet et al. (2008) dan Hallman (1999) bahwa aplikasi iradiasi diupayakan untuk menggunakan dosis serendah mungkin dengan tingkat efikasi yang cukup untuk keamanan karantina, agar aplikasi menjadi lebih cepat, mengurangi kerusakan pada komoditas serta mengurangi biaya.

(41)

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Setiap tahap perkembangan B. papayae dari telur sampai dengan L3 mengalami pengurangan populasi dalam media pakan in-vitro. L3 merupakan stadium yang paling toleran terhadap radiasi sinar gamma dibandingkan stadia telur, L1, dan L2. Dosis minimum perlakuan L3 B. papayae yang berhasil mencegah pembentukan imago adalah 114. 76 Gy.

Saran

(42)
(43)

DAFTAR PUSTAKA

Adsavakulchai A, Baimai V, Prachyabrued, Grote PJ, Lertlum S. 1999. Morphometric study for identification of the Bactrocera dorsalis complex (Diptera: Tephritidae) using wing image analysis. Biotropia. 13:37-48.

Allwood AJ, Chinajariyawong A, Kritsaneepaiboon S, Drew RAI, Hancock DL, Hengsawad C, Jipanin JC, Jirasurat M, Krong CK, Leong CTS, Vijaysegaran S. 1999. Host plant records for fruit flies in Southeast Asia. The Raffles Bulletin of Zoology. 47 Suppl 7:1-92.

Balock JW, Burditt AK, Seo, Stanley T, Akamine, Ernest K. 1966. Gamma radiation as a quarantine treatment for Hawaiian fruit flies. J Econ Entomol. 59:202-204. Brennand CP. 1995. Food irradiation [internet]. USA: Idaho State University.

Tersedia pada: http://www.physics.isu.edu/radinf/food.htm.

Burditt AK, 1994. Irradiation. Di dalam: Sharp JL, Hallman GJ, editor. Quarantine Treatment forPest of Food Plants. India : Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. hlm 101-117.

Bustos ME, Enkerlin W, Reyes J, Toledo J. 2004. Irradiation of mangoes as a postharvest quarantine treatment for fruit flies (Diptera: Tephritidae). J Econ Entomol. 97 (2):286-292.

[CAB International] Commonwealth Agricultural Bureau International. 2007. Crop Protection Compendium (CD-Rom). Wallingford (UK): CAB International. 2nd CD-Rom dengan penuntun di dalamnya.

Clarke AR, Allwood A, Chinajariyawong A, Drew RAI, Hengsawad C, Jirasurat M, Krong CK, Kritsaneepaiboon S, Vijaysegaran S. 2001. Seasonal abundance and host use patterns of seven Bactrocera Macquart species (Diptera: Tephritidae) in Thailand dan Peninsular Malaysia. The Raffles Bulletin of Zoology.

49(2):207-220.

Clarke AR, Armstrong KF, Carmichael AE, Milne JR, Raghu S, Roderick GK, Yeates DK. 2005. Invasive phytophagous pests arising through recent tropical evolutionary radiation: The Bactrocera dorsalis complex of fruit flies. Annu Rev Entomol. 50:293-319.

Delincee H. 1998. Detection of food treated with ionizing radiation. Trends in Food Sci Tech. 9:73-82.

(44)

27

Drew RAI, Hancock DL. 1994. The Bactrocera dorsalis complex of fruit flies (Diptera: Tephritidae: Dacinae) in Asia. Bull of Entomol Res. 84 (2 Suppl):68. Ebina T, Ohto K. 2006. Morphological characters and PCR-RFLP markers in the

interspecific hybrids between Bactrocera carambolae and B. papayae of the B. dorsalis species Complex (Diptera: Tephritidae). Res Bull Pl ProtJapan. 42:23-34.

[EPPO] European Plant Protection Organization. 2011. PQR-EPPO database on quarantine pests. Tersedia pada http://www.eppo.org.

Ferier P. 2010. Irradiation as a quarantine treatment. Food Policy. 35:548-555.

Follet PA, Lower RA. 2000. Irradiation to ensure quarantine security for

Cryptophlebia spp. (Lepidoptera: Tortricidae) in sapindaceous fruits from Hawaii [abstrak]. J Econ Entomol. 93(6):1848-1854.

Follet PA, Amstrong JW. 2004. Revised irradiation doses to control melon fly, mediterranean fruit fly, and oriental fruit fly (Diptera: Tephritidae) and a generic dose for tephritid fruit flies. J Econ Entomol. 97 (4):1254-1262.

Follet PA. 2006. Irradiation as phytosanitary treatment for white peach scale (Homoptera: Diaspididae). J Econ Entomol. 99(6):1974-1978.

Follet PA, Neven LG. 2006. Current trends in quarantine entomology. Annu Rev Entomol. 51:359-85.

Follet PA, Willink E, Gastaminza G, Kairiyama E. 2008. Irradiation as an alternative quarantine treatment to control fruit flies in exported blueberries. Rev Ind y Agric de Tucuman. 85(2):43-45.

Follet PA, Phillips TW, Armstrong JW, Moy JH. 2011. Generic phytosanitary radiation treatment for tephritid fruit flies provides quarantine security for

Bactrocera latifrons (Diptera: Tephritidae). J Econ Entomol. 104 (5):1509-1513. Hallman GJ. 1999. Ionizing radiation quarantine treatments against tephritid fruit

flies. Postharvest Biol Tech. 16:93-106.

Hallman GJ, Worley JW. 1999. Gamma radiation doses to prevent adult emergence from immatures of Mexican and West Indian fruit flies (Diptea: Tephritidae) [abstrak]. J Econ Entomol. 92(4):967-973.

Hallman GJ, Martinez LR. 2001. Ionizing irradiation quarantine treatment against Mexican fruit fly (Diptera: Tephritidae) in citrus fruits. Postharvest Biol Tech. 23:71-77.

(45)

28

Hallman GJ, Thomas DB. 2010. Ionizing radiation as a phytosanitary treatment against fruit flies (Diptera: Tephritidae): efficacy in naturaly versus artificially infested fruit. J Econ Entomol. 103 (4):1129-1134.

Hallman GJ, Nichole MLB, Zettler JL, Winborne IC. 2010. Factor affecting ionizing radiation phytosanitary treatments, and implications for research and generic treatments. J Econ Entomol. 103 (6):1950-1963.

Heather NW, Corcoran RJ. 1992. Effects of ionizing energy on fruit flies and seed weevil in Australian mangoes. Di dalam: International Atomic Energy Agency (IAEA), editor. Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities. Proceeding of the Final Research Co-ordination Meeting on Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities; 1992 Augts 27-31; Kuala Lumpur. Kuala Lumpur: IAEA. hlm 43-52.

Hossain MA, Hallman GJ, Khan AS, Islam MS. 2011. Phytosanitary irradiation in South Asia. J Ento Nemat. 3(3):44-53.

[IPPC] International Plant Protection Convention. 2003. International Standards for Phytosanitary Measures No.18: Guidelines for the Use of Irradiation as a Phytosanitary Measure. Rome: FAO.

[IPPC] International Plant Protection Convention. 2009. International Standards for Phytosanitary Measures No.28: Phytosanitary Treatments for Regulated Pests. Rome: FAO.

[IPPC] International Plant Protection Convention. 2008. Replacement or reduction of the use of methyl bromide as a phytosanitary measure. Recommendation for the Implementation of the IPPC. Rome: FAO.

Jessup AJ, Rigney CJ, Millar A, Sloggett RF, Quinn NM. 1992. Gamma irradiation as a commodity treatment against the Queensland fruit fly in fresh fruit. Di dalam: International Atomic Energy Agency (IAEA), editor. Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities. Proceeding of the Final Research Co-ordination Meeting on Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities; 1992 Augts 27-31; Kuala Lumpur. Kuala Lumpur: IAEA. Hlm13-42.

Kuswadi, AN, Nasution IA, Indarwatmi M, Darmawi. 1999. Pembiakan massal lalat buah Bactrocera carambolae (DREW & HANCOCK) dengan makanan buatan. Di dalam: Pusat Studi Pengendalian Hayati Universitas Gadjah Mada, editor.

Panduan Seminar NasionalPpengendalian Hayati; 1999 Juli 12-13; Yogyakarta. Kuswadi, AN, Indarwatmi M. 2010. Uji in-vitro dosis iradiasi gamma untuk

perlakuan fitosanitari terhadap hama lalat buah Bactrocera carambolae

(46)

29

Limohpasmanee W, Keawchoung P, Segsarnviriya S, Malakrong A, Kongratarpon T. 2005. Irradiation as quarantine treatment of fruits. Di dalam: Radiation Entomology Group, editor. Irradiation for Agriculture Research Program Office of Atoms for Peace. International Symposium New Frontier of Irradiated Food and Non-food Products; 2005 September 22-23; Bangkok.Thailand.

Loaharanu P. 1992. Co-ordinated research programme on use of irradiation as a quarantine treatment of food and agriculture commodities. Di dalam: International Atomic Energy Agency (IAEA), editor. Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities. Proceeding of the Final Research Co-ordination Meeting on Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities; 1992 Augts 27-31; Kuala Lumpur. Kuala Lumpur: IAEA. hlm 1-6.

Macfarlane JJ, 1966. Control of the Queensland fruit fly by gamma irradiation [abstrak]. J Econ Entomol. 59:884-889.

Mahmood K, 2004. Identification of pest species in oriental fruit fly, Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae) species complex. Pakistan J Zool. 36(3):219-230.

Nation JL, Burrell S, Kathy M. 1995. Radiation-induced changes in melanization and phenoloxidase in Carribean fruit fly larvae (Diptera: Tephritidae) as the basis for a simple test of irradiation [abstrak]. J Ann Ent Soc Am [internet]. [diunduh 2012 Februari 24]; 88 (2): 201-205.

Noor MAZM, Azura AN, Muhamad R. 2011. Growth dan development of

Bactrocera papayae (Drew & Hancock) feeding on guava fruits. Aust J Basic Appl Sci. 5(8):111-117.

Rahardjo BT, Himawan T, Utomo WB. 2009. Penyebaran jenis lalat buah (Diptera: Tephritidae) dan parasitoidnya di Kabupaten Magetan. Agritek. 17(2).

Rahman R, Rigney C, Petersen B.E. 1990. Irradiation as a quarantine treatment against Ceratitis capitata (Diptera: Tephritidae): anatomical and cytogenetic changes in mature larvae after gamma irradiation [abstrak]. J Econ Entomol. [internet]. [diunduh 2012 Februari 24]; 83 (4):1449-1454. Tersedia pada: http://esa.publisher.ingentaconnect.com/content/esa/jee/1990/00000083/0

(47)

30

Rahman R, Bhuiya AD, Huda SMS, Shahjahan RM, Nahar G, Wadud MA. 1992. Anatomical changes in the mature larvae of two Dacus spp. following irradiation. Di dalam: International Atomic Energy Agency (IAEA), editor. Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities. Proceeding of the Final Research Co-ordination Meeting on Use of Irradiation as a Quarantine Treatment of Food and Agricultural Commodities; 1992 Augts 27-31; Kuala Lumpur. Kuala Lumpur: IAEA. hlm 133-140.

Rivera ZT, Hallman GJ. 2007. Low-dose irradiation phytosanitary treatment against Mediterranean fruit fly (Diptera: Tephritidae). Flor Entomol. 90(2).

Siwi SS, Hidayat P, Suputa. 2006. Taksonomi dan Bioekologi Lalat Buah Penting di Indonesia (Diptera: Tephritidae). Bogor (ID): Kerjasama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Indonesia dan Departement of Agriculture, Fisheries, and Forestry, Australia.

[SPC] Secretariat of the Pacific Community. 2002. Asian Papaya Fruit Fly (Bactrocera papayae Drew & Hancock). [internet]. Australia (AU) [diunduh 2011 Juni 11]. Tersedia pada http://www.spc.int/pacifly/species_profiles/ B_papayae.htm

(48)
(49)
(50)

31

Lampiran 1 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data jumlah larva

B. papayae yang hidup dari inokulasi 100 telur pada pakan buatan

One-way ANOVA: Jumlah individu versus stadia

Source DF SS MS F P stadia 2 1440.5 720.3 36.87 0.000 Error 12 234.4 19.5

Total 14 1674.9

S = 4.420 R-Sq = 86.01% R-Sq(adj) = 83.67%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+---- L1 5 73.600 1.673 (----*---) L2 5 62.000 7.314 (---*---)

L3 5 49.600 1.517 (----*---)

---+---+---+---+---- 50 60 70 80 Pooled StDev = 4.420

Grouping Information Using Tukey Method

stadia N Mean Grouping L1 5 73.600 A

L2 5 62.000 B L3 5 49.600 C

Means that do not share a letter are significantly different.

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of stadia

Individual confidence level = 97.94%

stadia = L1 subtracted from:

stadia Lower Center Upper -+---+---+---+--- L2 -19.052 -11.600 -4.148 (----*----)

L3 -31.452 -24.000 -16.548 (----*----)

-+---+---+---+--- -30 -15 0 15

stadia = L2 subtracted from:

stadia Lower Center Upper -+---+---+---+--- L3 -19.852 -12.400 -4.948 (----*----)

(51)

32

Lampiran 2 Uji statistik dengan program Minitab 16 untuk data pupa B. papayae

yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan buatan yang diiradiasi gamma pada stadium yang berbeda

(52)

33

Means that do not share a letter are significantly different.

Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis

(53)
(54)

35

Means that do not share a letter are significantly different.

(55)

36

Means that do not share a letter are significantly different

(56)

37

Dosis = 125 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 150 -26.632 -7.662 11.308 (---*----)

25 8.450 27.420 46.390 (---*----) 50 1.594 20.564 39.534 (---*----) 75 4.012 22.982 41.952 (---*----) Kontrol 11.272 30.242 49.212 (---*----)

---+---+---+---+--- -35 0 35 70

Dosis = 150 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 25 16.112 35.082 54.052 (----*----)

50 9.256 28.226 47.196 (----*----) 75 11.674 30.644 49.614 (---*----) Kontrol 18.934 37.904 56.874 (---*----)

---+---+---+---+--- -35 0 35 70

Dosis = 25 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 50 -25.826 -6.856 12.114 (----*----)

75 -23.408 -4.438 14.532 (---*----) Kontrol -16.148 2.822 21.792 (---*----)

---+---+---+---+--- -35 0 35 70

Dosis = 50 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 75 -16.552 2.418 21.388 (---*----)

Kontrol -9.292 9.678 28.648 (---*----)

---+---+---+---+--- -35 0 35 70

Dosis = 75 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- Kontrol -11.710 7.260 26.230 (----*----)

(57)

38

Lampiran 3 Analisis probit dengan program POLO-PC untuk data dosis lethal iradiasi gamma pada stadia telur dan larva B. papayae berdasarkan mortalitas larva

POLO-PC

(C) Copyright LeOra Software 1987 Input file >

input: = Uji Iradiasi lalat buah secara in-vitro input: = enam taraf konsentrasi plus kontrol

input: = lima ulangan per perlakuan, 100 telur per perlakuan input: = Data mortalitas 27 hari setelah perlakuan

(58)

39

Do you want probits [Y] ? Is Natural Response a parameter [Y] ? Do you want the likelihood function to be maximized [Y] ? LD's to calculate [10 50 90] > Do you want to specify starting values of the parameters [N] ? The probit transformation is to be used

The parameters are to be estimated by maximizing the likelihood function Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 1) telur

Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -472.13488

parameter standard error t ratio

(59)

40

chi-square 13.050 degrees of freedom 4 heterogeneity 3.2624 A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit

analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.22831 g(.95)=.38725 g(.99)=1.0649 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 telur 7.19251 lower 1.54364 .45936

upper 12.71614 14.21023 Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) larva1 Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -1182.4061

parameter standard error t ratio

preparation subjects responses expected deviation probability larva1 500. 468. 423.179 44.821 .846358 A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit

analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=4.8323 g(.95)=8.1963 g(.99)=22.539 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 larva1 1.96695

(60)

41

Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -2284.8281

parameter standard error t ratio

preparation subjects responses expected deviation probability larva2 500. 251. 252.275 -1.275 .504549 A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit

analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.28128 g(.95)=.47710 g(.99)=1.3119 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 larva2 128.33403 lower 96.74195 89.41962

upper 230.54341 373.46446 Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) larva3 Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -1887.5734

(61)

42

Chi-squared goodness of fit test

preparation subjects responses expected deviation probability larva3 500. 61. 57.479 3.521 .114958 500. 95. 93.463 1.537 .186926 500. 83. 137.498 -54.498 .274995 500. 269. 180.274 88.726 .360548 500. 197. 218.799 -21.799 .437599 500. 236. 252.491 -16.491 .504982 chi-square 104.40 degrees of freedom 4 heterogeneity 26.099 A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit

analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.84818 g(.95)=1.4387 g(.99)=3.9561 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 larva3 167.65222

Intercepts and slopes constrained (lines are the same) Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -7970.3373

parameter standard error t ratio INTERCPT -1.3593393 .10893234 -12.478748 SLOPE .87635514 .57349218E-01 15.281030 Variance-Covariance matrix

INTERCPT SLOPE INTERCPT .1186626E-01 -.6190750E-02 SLOPE -.6190750E-02 .3288933E-02

Testing hypothesis that slopes and intercepts are the same chi-square 4286.8 degrees of freedom 6 tail probability .000

Gambar

Gambar 1 Peta persebaran B. papayae di Asia Tenggara (EPPO 2011)
Tabel 3 Pupa B. papayae yang terbentuk dari 100 butir telur dalam pakan buatan
Gambar 5   Bentuk-bentuk imago setelah perlakuan iradiasi: kedua sayap tidak
Tabel 6 Jumlah pupa dan imago yang muncul dari 100 ekor L3 B. papayae

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam bahasa Indonesia ‘pergi’ merupakan verba yang tidak memiliki penanda atau imbuhan karena hanya merupakan kata dasar bentuk tanya, jadi dari dua pola bentuk

• Implementasi sistem online untuk semua layanan registrasi obat untuk mendorong efektivitas dan efisiensi pelayanan serta meminimalisasi terjadinya penyimpangan.. 48/2010 Tentang

Begitupun tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap produksi bahan kering sejalan pula dengan produksi hijauan segar, karena diduga tanaman rami masih berada dalam

Ilmu Manajemen sangatlah luas, maka penulis hanya akan melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Promosi, Kualitas, Harga, dan Brand Image Terhadap Kepuasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa etanol dengan kadar 80% lebih efektif digunakan sebagai bahan bakar karena lebih ekonomis dan memiliki lama

FK +++ subjek berasal dari keluarga yang tidak matang secara psikologis. Beberapa masalah terjadi di dalam keluarga subjek yang menyebabkan kakak subjek melakukan

Metode yang digunakan Aidh al-Qarni dalam menafsirkan Al-Qur‟an adalah metode Ijmali (suatu penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an, di mana penjelasan yang dilakukan

Berdasarkan dari hasil analisa yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh simpulan bahwa store atmosphere mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen