PERAN PEKERJA SOSIAL RUMAH PERLINDUNGAN
SOSIAL WANITA MULYA JAYA PASAR REBO DALAM
MELAKUKAN PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN
TERHADAP KORBAN TRAFFICKING
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Sosial Islam (S. SoS.i)
Oleh:
SITI MARYAMAH NIM: 105054002057
Di Bawah Bimbingan
Dr. Murodi, MA NIP: 19640705 199203 1 003
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Peran Pekerja Sosial Rumah Perlindungan Sosial Wanita Mulya Jaya Pasar Rebo dalam Melakukan Perlindungan dan Pelayanan terhadap Korban Trafficking telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Sarjana Program Starata I (SI) pada Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam.
Jakarta, 22 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap
Anggota
Dr. Arif Subhan, MA Faza Amin, S. Th. I
NIP: 19666110 199303 1 004 NIP: 19780703 200501 1 006
Anggota
Penguji I Penguji II
Drs. Yusra Kilun, M. Pd Wati Nilamsari. M. SI
NIP: 15024619 NIP: 19710520 199903 2 002
Pembimbing
Dr. Murodi, MA
LEMBAR PENYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas
Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Juni 2009
ABSTRAK
Siti Maryamah
Peran Pekerja Sosial Rumah Perlindungan Sosial Wanita "Mulya Jaya" Pasar Rebo Dalam Melakukan Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban Trafficking.
Kejahatan trafficking adalah kejahatan global dan sistemis yang melibatkan banyak kalangan. Masalah perdangan manusia, khususnya perdagangan perempuan dan anak menjadi sorotan internasional terutama di negera-negara berkembang dan terbelakang yang miskin. Banyak kalangan yang membicarakan untuk menanggulangi kejahatan kemanusiaan ini, khususnya untuk menjerat para pelaku tindak kejahatan kemanusiaan meskipun sangat susah dan rumit untuk menjerat pelakunya. Namun setidaknya penanganan untuk perlindungan dan pelayanan yang terfokus pada para korban sangat epektif untuk membantu mereka dan meringankan permasalahan yang ada. Salah satu lembaga yang menangani permasalah traffcking ada di daerah Pasar Rebo Jakarta Timur yang bernama Rumah Perlindungan Sosial Wanita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Pekerja Sosial dengan mengangkat permasalahan tentang kewajiban-kewajiban/tugas dan harapan pekerja sosial serta harapan para korban trafficking dalam program perlindungan dan pelayanan terhadap korban trafficking di Rumah Perlindungan Sosial Wanita "Mulya Jaya" Pasar Rebo.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif didapatkan hasil penelitian yang menyajikan data yang akurat dan di gambarkan secara jelas dari kondisi sebenarnya. Subyek penelitian terdiri dari pekerja sosial dan korban trafficking. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, catetan lapangan, catetan atau memo dan dokumen resmi lainnya.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala Puji dan Syukur milik Allah semata yang
menjadikan ilmu sebagai penerang dan yang telah memberikan berjuta
kenikmatan kepada mahluk-Nya. Yang telah menjelaskan dan memberi
tauladan baik kepada Umatnya yaitu Nabi kita Muhammad SAW. Semoga
berjuta Salam senantiasa mengalir kepada keluarganya, para sahabatnya dan
tabiin. Amin.
Sebagai tanda syukur atas selesainya penulisan skripsi yang berjudul
“PERAN PEKERJA SOSIAL RUMAH PERLINDUNGAN SOSIAL
WANITA “MULYA JAYA” PASAR REBO DALAM MELAKUKAN
PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN TERHADAP KORBAN
TRAFFICKING”, maka pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakrta Bapak Dr. Murodi, MA., MA., sekaligus dosen pembimbing skripsi
yang telah sabar dan banyak meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan dan perhatiannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini
3. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M. Pd., Ketua Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam dan seluruh tenaga pengajar Jurusan Pengembangan
Masyarakat Islam yang telah memberikan pengalaman, ilmu dan
pengetahuan kepada penulis.
4. Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Wati Nilamsari, M.Si.,
yang telah membantu secara administratif sehingga memperlancar
penyusunan skripsi ini dengan kesabarannya.
5. Pimpinan Perpustakaan Dakwah dan stafnya serta Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Mulya Jaya, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mencari data-data yang diperlukan oleh penulis.
6. Ayahanda Mansyur dan Ibunda Neneng yang telah mencurahkan cinta dan
kasih sayangnya, dorongan, serta perhatian yang tiada putus-putusnya,
hingga Allah memanggil Ayahanda dalam Dekapan Damai Kasih dan
Cinta-Nya sepuluh hari sebelum pelaksanan wisuda. Semoga amal dan
ibadahnya diterima. Amin, sampai Ananda bisa menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik-adik ku Lia Julianti dan Nanang Mardanih, begitu juga kepada Abah,
Ema dan Ema Tomo yang ikut memberikan motivasi dan do’anya kepada
Ananda.
8. Aa Ramdhan yang selalu menjadi penghibur dan penyemangat di kala
kepenatan menyerang, kan’ selalu terbingkai rapih dan indah dalam
dinding-dinding hati kebahagiaan.
9. Bapak Drs. Suyono, MM selaku ketua Panti Sosial Karya Wanita "Mulya
untuk bertempat tinggal, serta para staf kantor yang telah membantu dalam
pencarian data-data yang diperlukan, khusus Bapak Emil yang selalu
menghibur Ananda didalam suasana mendung dan terang, sehingga
Ananda tersenyum kembali.
10.Bapak Drs. M. Ali Samantha, MM selaku Ketua Tim di Rumah
Perlindungan Sosial Wanita, yang selalu memberi perhatian, nasehat dan
pelajaran-pelajaran yang berharga dan terimakasih atas tambahan uang
jajannya, semoga tidak bosan untuk tetap memberi tambahan. Semoga
dibalas berlipat ganda oleh Nya. Amin.
11.Bapak Ahmad, Bapak Bambang, Bapak Hasan dan Bapak Wisnu, selaku
para Pekerja Sosial di RPSW yang seperti Abang sendiri, telah banyak
memberikan bantuan dalam penulisan dan meluangkan waktunya untuk
berdiskusi tentang penulisan yang diteliti, walau pun terkadang
perdebatan-perdebatan kecil terjadi, sampai pelajaran makna kehidupan dan perjuangan
melawan ego dalam diri.
12.Aa asep yang telah membantu dalam perbaikan tulisan khususnya
memperbaiki komputer, Mas Sugi dan Aa Iman yang selalu temani jikalau
komputer dalam perbaikan.
13.Kepada seluruh warga binaan sosial (WBS) RPSW “Mulya Jaya” Pasar
Rebo, khususnya LW, RTN, LL, KK, ALM, WDY yang telah memberikan
14.Semua sahabatku di PMI angkatan 2005, khususnya Sulis, Anti, Rica,
Romlah dan Reni, yang telah memberikan dorongan semangat kepada
penulis.
15.Seluruh teman-teman Aula Fasco IMM Ciputat, terimakasih semua atas
dorongan semangat dan bantuannya.
16.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil, penulis mohon maaf karena tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT, memberikan balasan ganda dan menjadi amal
kebajikan di akhirat kelak. Selaindari itu, penulis pun berdoa semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 22 Juni 2009 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...i
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI...vi
DAFTARTABEL...viii
DAFTAR LAMPIRAN...ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...6
C. Tujuan Penelitian...7
D. Manfaat Penelitian ...8
E. Metodologi Penelitian ...8
F. Tinjauan Pustaka...14
G. Sistematika Penulisan...15
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Peran...17
1. Pengertian Peran...17
2. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran...18
B. Pekerja Sosial...19
C. Trafficking... 26
1. Pengertian Trafficking... 26
2. Modus Praktek Trafficking... 32
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga …...…....43
B. Visi dan Misi……....………...…..…..… 44
C. Dasar Hukum ……….……….……....…...……45
D. Pendekatan yang Digunakan………….……....…....…...46
E. Program Pelayanan dan Rehabilitasi...47
1. Program Pelayanan……….….……….…...………….44
2. Proses Rehabilitasi…………...54
F. Tujuan dan Sasaran...56
G. Target………..……….………….………58
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Peran Pekerja Sosail dalam Program Perlindungan dan Pelayanan terhadap korban Trafficking...59
B. Harapan Pekerja Sosial terhadap korban Trafficking dalam program Perlindungan dan Pelayanan...68
C. Harapan korban Trafficking terhadap Pekerja Sosial dalam Program Perlindungan dan Pelayanan ...71
D. Kesesuaian antara Peran Pekerja Sosial dan Harapan Pekerja Sosial serta Harapan korban Trafficking dalam Program Perlindungan dan Pelayanan...73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…. ...…...……….. 76
B. Saran-saran...……...….…...78
DAFTAR PUSTAKA... ...79
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perdangan manusia (Traffficking) senantiasa mendapatkan
respon serius dari berbagai negara dari masa ke masa. Sebab perdagangan
manusia merupakan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Tuntutan yang begitu kuat untuk melawan dan menghapuskan perdagangan
manusia mencerminkan betapa permasalahan tersebut dipandang sebagai
tindakan yang merugikan dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang
dapat dikatagorikan sebagai kejahatan kemanusiaan yang perlu diberantas
keberadaannya.
Perdagangan manusia atau disebut dengan Human Trafficking
merupakan problematika lama dan telah menyebar di berbagai negara.
Perdagangan manusia memiliki definisi dan ruang lingkup yang sangat luas,
yaitu segala bentuk pemindahan orang dengan sistem jeratan, baik itu disadari
atau tanpa disadari yang menyebabkan korban terekploitasi haknya. Sebagai
contoh seorang tenaga kerja luar negeri yang tidak memiliki perlindungan
mengalami kesulitan ekonomi di negara asing, sehingga melakukan jual beli
organ tubuh dan melakukan pelacuran. Praktek trafficking ini meliputi
anak-anak dan orang dewasa baik laki-laki atau perempuan yang kebanyakan dari
mereka terjerat oleh kemiskinan. Meskipun demikian, kebanyakan korban
2
Istilah trafficing diperkenalkan oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)
sebagai trafficing in persons dengan definisi sebagai berikut:
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasa, atau bentuk-bentuk
pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalah gunaan kekerasan,
atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi.1
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya untuk menghapuskan
perdagangan manusia senantiasa muncul ke permukaan dengan modus yang
berbeda dengan kompleksitas permasalahan yang cenderung semakin
memperhatikan.
Ada berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan dalam trafficking, seperti
pemalsuan dokumen, upah yang tidak standar atau tidak dibayar, dipekerjakan
tidak manusiawi, pemalsuan penempatan kerja dan bahkan korban diperjual
belikan sebagai penjaja seks atau penjualan organ tubuh secara paksa. sehingga
tidak jarang para korban tersebut pulang dengan membawa anak dan bahkan
ada yang meninggal di tempat kerja.
Sebuah definisi konkret yang dapat diterima di tingkat internasional.
Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah, memberantas dan
menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak (2000),
1
3
suplemen Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melawan Organisasi
Kejahatan Lintas Batas, medefinisikan perdagangan manusia khususnya
perempuan dan anak, sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan,
penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan,
kebohongan, atau penyalah gunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau
memberi, atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain dari
tujuan eksploitasi.2
Kejahatan trafficking adalah kejahatan global dan sistemis yang
melibatkan banyak kalangan. Masalah perdangan manusia, khususnya
perdagangan perempuan dan anak menjadi sorotan internasional terutama di
negera-negara berkembang dan terbelakang yang miskin. Banyak kalangan
yang membicarakan untuk menanggulangi kejahatan kemanusiaan ini,
khususnya untuk menjerat para pelaku tindak kejahatan kemanusiaan meskipun
sangat susah dan rumit untuk menjerat pelakunya.
Dari sudut pandang manapun perdagangan perempuan dinilai sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan nilai norma, budaya, harkat dan martabat
manusia serta perwujudan kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat.
Banyak faktor yang menyebabkan praktek perdagangan perempuan semakin
krusial dan kritis. Disamping karena faktor-faktor internal antara lain, sikap
2
4
mental yang tidak stabil, rendahnya ketahanan atau kontrol diri dari godaan dan
sebagainya yang menempatkan kaum perempuan rentan terhadap praktek
perdagangan perempuan.
Selain itu juga ada faktor-faktor ekternal yang memposisikan kaum
perempuan mudah terjerumus ke dalam praktek tersebut. Oleh karena itu,
perlindungan terhadap perempuan korban perdagangan (trafficking) perlu
diupayakan sedemikian rupa, agar permasalahan ini tidak meluas dan
berdampak semakin parah terhadap korban dan kehidupan masyarakat luas.
Korban trafficking, baik di tingkat kota maupun trafficking tingkat
provinsi, jumlahnya semakin meningkat. Dikarenakan kurangnya sosialisasi
tentang bahayanya dari akibat trafficking maka, mereka para korban sangat
memerlukan perlindungan atau pertolongan dari berbagai pihak agar dapat
meringankan bebannya. Dengan memberikan bantuan baik berupa material
maupun siraman rohani dan keterampilan.
Dalam menangani korban trafficking perlu disusun suatu kebijakan
pemerintah yang melibatkan beberapa departermen sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya, sehingga dapat membantu korban trafficking secara maksiamal.
Pelayanan (social services) adalah segala bentuk kegiatan dan
pertolongan yang tersedia di lembaga pelayanan sosial yang ditujukan kepada
prioritas penanganan masalah klien.
Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW) PSKW Mulya Jaya Pasar
Rebo merupakan Rumah yang disiapkan oleh Panti Sosial Karya Wanita
5
yang mengalami kekerasan seksual dan trauma. Rumah Perlindungan Sosial
Wanita melindungi Wanita dari berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi
serta secara khusus memberikan layanan untuk wanita yang membutuhkan
perlindungan (protection), pemulihan dan perbaikan (recovery) terhadap
kondisi trauma dan stess yang dialaminya, menjaga kerahasiaan, melakukan
bimbingan mental, sosial dan pelatihan keterampilan. Rumah Perlindungan
Sosial Wanita berpedoman pada prinsip kepentingan terbaik klien dan
menjamin terpenuhinya hak-hak wanita akan perlindungan dari upaya
"perdagangan" dan eksploitasi seksual.3
Ada tiga alasan kuat mengapa perlindungan terhadap perempuan korban
trafficking penting dalam konteks pelayanan dan rehabilitasi sosial meliputi:
1. Pertama, karena kondisi perempuan korban trafficking renta menjadi dan
dijadikan sebagai Wanita Tuna Susila (WTS)
2. Kedua, untuk menumbuhkan kepercayaan diri korban, melalui bimbingan
fisik, mental/psikologis dan sosial memulihkan trauma serta
mengembalikan pada kehidupan yang berlaku di masyarakat.
3. Ketiga, meningkatkan keterampilan kerja sehingga mempunyai kemampuan
untuk meningkatkan tarif kehidupanya.
3
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Peranan Pekerja Sosial merupakan salah satu profesi yang tugas
utamanya membantu individu, kelompok atau pun masyarakat, sehingga
memungkinkan mereka mencapai tujuan.
Besarnya tugas dan tanggung jawab pekerja sosial mendorong penulis
untuk melakukan penelitian serta pengkajian tentang bagaimana peranan
pekerja sosial khususnya dalam Program Melakukan Perlindungan dan
Pelayanan Terhadap Korban Trafficking di Rumah Perlindungan Sosial Wanita
Pasar Rebo. Pembatasan masalah ini di maksudkan agar lebih terfokus pada
masalah yang diteliti, karena keterbatasan waktu, tenaga dan dana peneliti.
2. Perumusan Masalah
Penelitian tentang Peran Pekerja Sosial Penulis angkat dengan
mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa sajakah kewajiban-kewajiban/tugas Pekerja Sosial dalam Program
Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban Trafficking di Rumah
Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo?
2. Bagaimana harapan Pekerja Sosial terhadap sorban trafficking dalam
Program Perlindungan dan Pelayanan di Rumah Perlindungan Sosial
Wanita Pasar Rebo?
3. Bagaimana harapan para korban traffcking terhadap Pekerja Sosial di
7
4. Adakah kesesuaian antara kewajiban-kewajiban/tugas Pekerja Sosial
dan harapan Pekerja sosial serta harapan para korban dalam program
Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban Trafficking di Rumah
Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini, antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kewajiban-kewajiban/tugas Pekerja Sosial dalam
Program Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban Trafficking
yang dilaksanakan oleh Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo.
2. Mengetahui harapan Pekerja Sosial terhadap para korban trafficking
dalam program Perlindungan dan Pelayanan.
3. Mengetahui harapan serta kebutuhan korban trafficking terhadap
kewajiban-kewajiban Pekerja Sosial dalam Program Perlindungan dan
Pelayanan.
4. Untuk mengetahui kesesuainan antara kewajiban/tugas Pekerja Sosial
dan harapan Pekerja Sosial serta harapan Para Korban Trafficking dalam
Program Perlindungan dan Pelayanan di Rumah Perlindungan Sosial
8
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan akan memberikan
manfaat dari berbagai pihak-pihak berikut:
1. Manfaat Akademik
Secara teorietis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran dalam rangka kajian akademis mengenai korban
trafficking, khususnya di bidang Pengembangan Masyarakat Islam.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan bagi para pekerja sosial dalam menjalankan
kewajibannya/tugas di Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo.
b. Memberi masukan pada lembaga-lembaga dalam mengimplementasikan
kebijakan sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi para Pekerja
Sosial untuk menjalankan perannya secara efektif dan efisien.
E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif
ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Yaitu bersifat luwes, tidak terlalu
rinci, tidak lazim mendefinisikan suatu konsep, serta memberi kemungkinan
bagi perubahan-perubahan manakala ditemukan fakta yang lebih mendasar,
menarik dan unik bermakna di lapangan.4
4
9
Penulis memilih pendekatan kualitatif dalam melakukan penelitian
karena berharap dengan menggunakan pendekatan kualitatif, didapatkan hasil
penelitian yang menyajikan data yang akurat, dan digambarkan secara jelas dari
kondisi sebenarnya.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian ini adalah Deskriptif. Pada
jenis penelitian Deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar
dan bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data
tersebut berasar dari naskah wawancara secara lapangan, catetan atau meno dan
dokumentasi lainnya.5
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai sejak tanggal 02 Desember 2008 dan
penelitian ini berakhir pada tanggal 27 Mei 2009. Adapun tempat penelitian di
Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo.
4. Tehnik Pemilihan Subjek Penelitian
Sesuai denga karakterlistik penelitian kualitatif, dalam memilih
responden ini dipilih secara sengaja, setelah sebelumnya membuat tipologi
berdasarkan latar belakang subjek penelitian, yang penting dalam pendekatan
kualitatif bukan jumlah subyek penelitian kasusnya, melainkan potensi tiap
kasus untuk memberi pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang
dipelajari.
10
Pilihan informan tergantung pada jenis informasi yang hendak
dikumpulkan. Cara mudah mendapatkan informan adalah tehnik ”bola salju”.
Dalam tehnik ini peneliti harus mengenal beberapa informan kunci dan
meminta memperkenalkannya kepada informan lain.6
Berdasarkan pada konteks tersebut, maka penulis memilih subjek
penelitian sebagai berikut:
a. Sebagai data primer utama, penulis akan mewawancarai 5 (lima) orang pekerja sosial, diantaranya:
1. Ketua Tim Rumah Perlindungan Sosial wanita Pasar Rebo.
2. Kepala Bendahara Rumah Perlindungan Sosial Wanita.
3. Kepala Seksi Urusan Manajemen Kasus.
4. Kepala Seksi Urusan Pelayanan dan Pengasuhan.
5. Staff.
Untuk memperoleh 5 (lima) orang yang akan diwawancarai, penulis
memperoleh sampelnya berdasarkan susunan masing-masing tingkat jabatan
dan pendidikan terakhir. Adapun informasi yang diperoleh adalah mengenai
Peran Pekerrja Sosial Dalam Melakukan Perlindungan dan Pelayanan Terhadap
Korban Trafficking di Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo. Adapun
untuk data primer pendukung, penulis mewawancarai 5 (lima) orang WBS
(Warga Binaan Sosial), untuk memperoleh 5 (lima) orang WBS, penulis
memperoleh sempelnya berdasarkan susunan tingkat usia, pendidikan terakhir
6
11
dan daerah asal masing-masing jumlah keseluruhan para WBS yang ada di
Rumah Perlindungan Sosial Wanita yang berjumlah 16 orang warga binaan
sosial (WBS). Adapun informasi yang akan diperoleh adalah mengenai
Program Perlindungan dan Pelayanan di Rumah Perlindungan Sosial Wanita
Pasar Rebo.
b. Data sekunder, diperoleh melalui catetan/dokumentasi di Rumah Perlindungan, laporan Litbang, media cetak, data-data instansi dan sebagainya.
5. Tehnik Pencatetan Data
Penelitian yang biasa digunakan adalah catetan lapangan (data
lapangan). Catetan lapangan (data) tidak lain dari pada catetan yang dibuat oleh
peneliti sewaktu mengadakan wawancara terbuka (para subyek penelitian tahu
bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dan tujuan
wawancara itu) atau menyaksikan kejadian tertentu. Catetan lapangan (data) itu
dibuat dalam bentuk kata-kata kunci, singkatan, pokok utamnya saja, kemudian
dilengkapi dan disempurnakan adabila sudah pulang ketempat tinggal.
Pencatat data dilapangan yang mencatat apa yang di hendaknya
direkam, apa yang perlu dan tidak perlu di catat. Uraian tentang latar belakang
dan orang-orang yang diamati atau diwawancarai, bagaimana menghadapi
perubahan latar penelitian, dan bagaimana cara memberikan pendapat dan
tanggapan sendiri mengenai informasi yang dikumpulkan.7
7
12
Berdasarkan pada konteks tersebut, maka penelitian menggunakan
Tehnik Pencatetan data, dengan mencatat data yang didapat dari hasil penelitian
dilapangan, baik itu berasal dari hasil wawancara (warga binaan sosial dan
pekerja sosial) dan menyaksikan kejadian tertentu. Kemudian dilengkapi dan
disempurnkan apabila sudah ke tempat tinggal.
6. Tehnik analisis Data
Data yang ada dianalisis dengan cara direduksi. Dalam hal ini seluruh
data yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan kemudian diringkas dan
dikelompokan menurut kategori yang diinginkan untuk mengidentifikasi aspek
penting dari tema yang diteliti.
Reduksi membantu peneliti yang memutuskan data yang dikumpulkan.
Selanjutnya, bagaimana dan sipa sampel selanjutnya apa metode analisis yang
akan digunakan dan akhirnya dibuat sebuah kesimpulan. Tujuan terpenting dari
reduksi data hádala untuk mengidentifikasi tema utama yang diteliti dengan
memberikan kategori pada informasi yang telah dikumpulkan seperti yang telah
dijelaskan Patton (lexy,2002), dalam menganalisis data adalah dengan presedur
mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam statu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.8
Reduksi dan membantu penelitian memutuskan data yang dikumpulkan
selanjutnya, bagaimana dan siapa sampel selanjutnya. Dalam hal ini
seperangkat hasil reduksi data juga perlu diorganisasikan kedalam statu bentuk
tertentu (display data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh, bisa
8
13
berbentuk sketsa, sinopsis atau bentuk-bentuk lain. Hal tersebut Sangat
diperlukan untuk mempermudah upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.9
Dari rumusan tersebut di atas penulis menarik garis bahwa dalam
menganalisis data memerlukan proses seperti, mengorganisasikan, mengatur,
mengurutkan, mengelompokan dan mengategorikan data. Estela data dianalisis,
kemudian dirumuskan. Data yang telah didapat dari catetan lapangan (hasil
wawancara rerhadap warga binaan sosial) WBS dan Pekerja Sosial. Dalam hal
ini peneliti mengatur, mengurutkan, mengelompokan, dan
mengkategorikannya. Estela data dianalisis, kemudian dirumuskan dan
disajikan.
7. Keabsahan Data
Tehnik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memiliki
kriteria sebagai berikut:
a. kriteria kredebilitas (derajat kepercayaan), yaitu kriterium ini dapat menggunakan tehnik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan
sesuatu yang lain. Di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu (Triangulasi)10, hal ini dicapai dengan
jalan (a) membandingkan dokumen dari rumah perlindungan dengan hasil
wawancara dengan warga binaan sosial (WBS). (b) Membandingkan antara
jabatan yang diberikan oleh pekerja sosial dengan jawaban warga binaan sosial
9
Burhan Bungin, op. cit. h. 70
10
14
(WBS) mengenai Program Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban
Trafficking.
b. Kriterium kepastian, menurut Scriven ( dalam lexy, 2004) yaitu masih ada unsur ‘kualitas’ yang melekat pada objektivitas. Hal itu digali dari
pengertian bahwa jira sesuatu itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual dan
dapat dipastikan.11 Dalam penelitian ini, peneliti dapat membuktikan data data
ini terpecaya yaitu dengan data-data yang di dapat dari hasil wawancara
terhadap subyek penelitian. Adapun dari segi faktual, adalah melihat program
yang diteliti, yaitu Program Perlindungan dan Pelayanan yang dilaksanakan di
Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo. Dalam hal ini peneliti dapat
memastikan, bahwa kepastian Program Perlindungan dan Pelayanan terhadap
korban trafficking di Rumah Perlindungan Sosial Wanita Pasar Rebo melalui
hasil wawancara terhadap subyek penelitian.
F. Tinjauan Pustaka
Pendukung dilakukannya penelitian ini dikarenakan semakin
banyaknya kasus kasus yang terjadi di lapangan dan semakin banyaknya
buku-buku terbitan tentang Peran para Pekerja Sosial yang menangani para Korban
Trafficking, seperti buku yang ditulis oleh: Gadis Arivia, “Feminisme Sebuah
Kata Hati”. (Penerbit: Jakarta, Kompas, maret 2006), di dalam buku ini
memaparkan terjadinya praktek trafficking sampai pada penanganannya di
11
15
dalam lembaga dan diperdayakan agar menjadi manusia yang lebih berguna
lagi.
Buku yang di tulis oleh: Louis Brown. Sex Silves: Sindikat Perdagangan
Perempuan di Asia, (Jakarta: YOI, 2005). Berisikan tentang sindikat atau
jaringan yang terlibat di dalam permasalahan kejahatan trafficking yang
dijadikan para sasaran hidung belang atau dijadikan para penghibur. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk mengambil penelitian tentang peran pekerja
sosial dalam penanganan korban trafficking di dalam lembaga dan mengetahui
program perlindungan dan pelayanan yang di berikan kepada korban dapat
diterima dan ada timbal balik yang terjadi antara pekerja sosial dengan korban
trafficking.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelitian skripsi ini, maka penulis membuat
sistematika penulisan dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatas dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka dan juga sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori terdiri dari Peran (Pengertian dan Tinjauan Sosiologi tentang peran), Pekerja sosial, Pengertian Pekerja Sosial (Pekerja Sosial dan
tugasnya) Trafficiking (Pengertian), Modus Trafficking dan Pratktek
16
Bab III Gambaran Umum yaitu terdiri Sejarah Singkat Berdirinya Panti, Visi dan Misi, Dasar Hukum, Pendekatan yang digunakan, Program Pelayanan dan
Rehabilitasi (prosesnya), Tujuan dan Sasaran.
Bab IV Analisis tentang kewajiban-kewajiban /tugas pekerja sosial dalam Program Perlindungan dan Pelayanan terhadap korban trafficking. Terdiri dari Kewajiban/tugas pekerja sosial dalam Program Perlindungan dan
Pelayanan bagi korban trafficking dan Harapan Pekerja Sosial terhadap korban
trafficking dalam program perlindungan dan pelayanan, Harapan para korban
trafficking terhadap Pekerja Sosial dalam Program Perlindungan dan Pelayanan,
serta Kesesuaian antara kewajiban/tugas Pekerja Sosial dan harapan pekerja
sosial dalam program perlindungan dan pelayanan serta harapan para korban
trafficking dalam program perlindungan dan pelayanan di Rumah Perlindungan
Sosial Wanita Pasar Rebo.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Peran
1. Pengertian Peran
Berbicara mengenai peran, tentu tidak bisa dilepaskan dengan status
(kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat
antara satu dengan yang lainnya, peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang
yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali. Seseorang
dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut)
mempunyai (status) dalam masyarakat, walaupun keduanya itu berbeda antara
satu dengan orang lain tersebut, akan tetapi masing-masing darinya berperan
sesuai dengan statusnya.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia peranan adalah: bagian dari tugas
utama yang harus dilaksanakan.1
Sedangkan grass Massan dan A. W Mc. Eachern sebagaimana dikutip
oleh David Berry mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan
yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.2
Harapan tersebut masih menurut Davit Berry, merupakan imbangan dari
norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu
1
Depatermen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1988), h. 667
2
ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat,3 artinya seseorang
diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam
pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.4
Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang
dimaksud dengan peranan merupakan kewajiban-kewajiban dan
keharusan-keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya di dalam status
tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan di mana ia berbeda.
2.Tinjauan Sosiologi Tentang Peran
Diatas telah disinggung bahwa ada hubungan yang erat sekali antara
peran dengan kedudukan. seseorang mempunyai peran dalam lingkungan sosial
dikarenakan ia mempunyai status atau kedudukan dalam lingkungan sosialnya
(masyarakat).
Tidak dapat dipungkiri pula bahwasanya manusia adalah mahlik sosial,
yang tidak bisa melepaskan sikap ketergantungan (dependent) pada mahlik atau
manusia lainya, maka pada posisi semacam inilah, peranan sangat menentukan
kelompok sosial masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing
dari hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat
(lingkungan) di mana ia bertempat tinggal.
Di dalam peranannya sebagaimana dikatakan oleh David Berry terhadap
dua macam harapan yaitu: harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang
3
Ibid, h. 100 4
peranan dan harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peranan terhadap
masyarakat.5
B. Pekerja Sosial
Pekerja sosial merupakan profesi yang relatif baru di Indonesia,
sehingga banyak kalangan masyarakat yang belum paham mengenai tujuan dan
manfaat profesi ini. Oleh karena ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa
setiap profesi orang dapat menjadi Pekerja Sosial. Pandangan tersebut
berlandasan pada anggapan bahwa pekerja yang dilakukan para Pekerja Sosial
adalah pekerja memberi sesuatu kepada orang lain. Jadi asal ada kemauan dan
kesediaan untuk membantu orang, maka akan dapat menjadi Pekerja Sosial.
Bagi orang awam, hal ini sah-sah saja. Namun sesungguhnya seseorang dapat
disebut Pekerja Sosial apabila apabila memenuhi kritetia tertentu seperti:
memiliki kerangka pengetahuan, nilai dan keterampilan tentang pekerja sosial.6
Tercatat ada beberapa ahli terkemuka dibidang pekerja sosial seperti:
Siporin, pincus dan Minahan, Friedlander dan Apte, Zastrow, de Gusman,
seperti Skidmore dan Thackeray telah memberikan definisi tentang pekerja
sosial menutur sudut pandang masing-masing. Sebagai berikut:7
1. Siporin, mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:
5
Ibid, h. 99 6
Dwi Heru sukoco, Profesi Pekerja sosial dan Pertolongannya, (Bandung: Kopma STKS, 1998) H.75
7
“Social worker is defined as social institutional method af helping
poeple to prevent and resolve their social problems, to restore an
enchance theiler social functioning”.
Pekerja sosial, adalah suatu metode institusi sosial untuk membantu
orang mencegah dan memecahkan masalah mereka serta untuk
memperbaiki dan meningkatkan keberfungsiansosial mereka”.
2. Pincus dan Minahasan:
“Social worker is a concerned with the interactions between people and
their environment which affect the ability of people to accompolish their
life task, allevioate distress, and realize their aspirations and values”.
Pekerja sosial adalah berkepentingan dengan permasalahan interaksi
antara orang dengan lingkungan sosialnya, sehingga mereka mampu
melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengurangi ketegangan,
mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.
3. Friedlander dan Apte:
“Social woeker is aprofessional service, based and scientifc knowledge
ang skill in human relations, which help individuals, groups, or
Pekerja sosial merupakan suatu pelayanan professional, yang
prakteknya didasarkan kepada pengetahuan dan keterampilan ilmiah
tentang relasi manusia, sehingga dapat membantu individu, kelompok
dan masyarakat mencapai kepuasan pribadi dan serta kebebasan.
4. Zasrtow:
“Social worker is the profesional of helping individuas, group, or
communities to enhance or restore their capacity for social
functioningand to create social conditions favorable to their goals”.
Pekerja sosial merupakan kegiatan professional untuk membantu
individu-individu, kelompok-kelompok atau masyarakat guna
meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam fungsi serta
menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai
tujuan.
5. Gusman:
“Social worker is the profession which is primaly concerned with
organized social activity animed to facilitate and strengthen basic
relationship in the mutual adjusment between individual, and their
social environment fot the good of the individual and social, by the use
Pekerja sosial adalah merupakan profesi yang bidang utamanya
berkecimpung dalam kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, di
mana kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan fasilitasdan
memperkuat relationship, khususnya dalam penyesuaian diri secara
timbale balik dan saling menguntungkan antara masyarakat dapat
menjadi baik.
6. Skidmore dan Thackeray:
“Social worker seeks to enhance the social functioning of individuals,
singly and groups, by acticitiesfocused upon their social relationship
which constitute the interaction between man and his environment”.
Pekerja sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial
individu-individu, baik secara individu maupun kelompok, di mana
kegiatannya difokuskan kepada relasi mereka, khususnya interaksi
antara manusia dengan lingkungannya.
Disamping definisi yang dikemukakan para ahli terkemuka di atas,
wacana mengenai pekerja sosial juga mendapat perhatian luas dari pahli ilmuan
Indonesia, termasuk di dalamnya para akademisi. Misalnya mendefinisikan
tentang pekerja sosial sebagai berikut :
“Para pekerja sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai
orang dengan lingkungan sosial sehingga tugas-tugas kehidupan mereka
mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan
nilai-nilai mereka”.8
Pengertian pekerja sosial di Indonesia, selengkapnya terdapat di dalam
Buku Panduan Pekerja Sosial yang mengacu pada pasal 2, ayat 3 UU No. 6 /
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahtraan Sosial.
Yaitu :
“Pekerja sosial adalah semua keterampilan tekhnis yang dijadikan
wahana bagi usaha kesejahteraan sosial, serta merupan suatu
kegiatan professional dalam menolong orang, kelompok manapun
masyarakat yang menderita atau terancam akan menderita masalah
sosial, sedemikian rupa sehingga mereka mampu menolong dirinya
sendiri”.9
Ketentuan itulah yang hingga kini dijadikan pedoman bagi para Pekerja
Sosial Khususnya di lingkungan Depsos (sekarang BKSN) agar para Pekerja
SOsial dapat melaksanakan tugasnya secara sistematis, efektif dan efisien.
Seperti telah diketahui seseorang yang menjalankan profesi di bidang
pekerjaan sosial adalah Pekerja Sosial atau dikenal dengan istilah asingnya
sebagai Social Worker. Meskipun profesi ini belum sepopuler dinegara-negara
maju, namun keberadaannya secara yuridis telah mendapatkan pengakuan dari
pemerintah Indonesia antara lain melalui penerbit Surat Keputusan Menteri
8
Soetarjo, Praktek Pekerja Sosial , (Bandung: Kopma STKS, 1993), h. 5 9
Sosial RI Nomer : 11/ HUK/ 1989, tanggal 02 Maret 1989 tentang
Pendelegasian Wewenang pengangkatan, Pembebasan Sementara,
Pemberhentian dan Pengangkatan Jabatan Pekerja Sosial di lingkungan
Depatermen Sosial. Sementara itu, Definisi Pekerja Sosial menurut Buku
Panduan Pekerja Sosial adalah sebagai berikut :
“Pekerja Sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas
melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial secara penuh oleh
pejabat yang berwewenang pada lingkungan Depatermen Sosial dan
Unit Pelayanan Kesejahteraan Sosial pada instansi lainnya
berdasarkan kompetensi professional pekerja sosial”.10
Di lingkungan Depatermen Sosial (sekarang BKSN), para Pekerja
Sosial ini di dalam struktur keorganisasian kedudukannya berada di dalam
kelompok Pejabat Fungsional, atau lebih akrab dengan sebutan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial, yaitu :
“Kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab , wewenang
dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam satuan Organisasi
untuk melaksanakan usaha kesejahteraan sosial secara penuh dan
mandiri, serta didasarkan pada keahlian dan keterampilan aprofesional
pekerjaan sosial”.11
10
Dep Sos RI, Panduan Pekerja Sosial Di Lingkungan Depatermen Sosial ( Jakarta :Sekretariat Jenderal, 1998), h. 4
11
Mengacu pada definisi tersebut, maka kita dapat mengenal “jati diri”
seorang Pekerja Sosial. Pekerja Sosial adalah tentang professional yang
dimiliki dua atribut :
1. Kekuasaan ( power)
Yaitu kemampuan untuk mengendalikan orang lian berdasarkan
keahlian dan keterampilan profesional pekerja sosial. Keahlian atau
keterampilan ini diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman professional.
2. Kewewenangan (Authority)
Yaitu menunjukan pada suatu kewenangan, di man seorang Pekerja
Sosial berhak untuk melaksanakan kekuasaan.
Berbicara tentang Peran Pekerja Sosial di Indonesia, terutama dalam
kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat akan membawa kita ke
dalam diskusi yang panjang. Sosok seorang pekerja sosial diharapkan oleh
masyarakat mampu memainkan perannya yang lebih besar lagi dari peranan
yang selama ini dilakukan, meskipun para ahli pekerja sosial merumuskan
peranan Pekerja Sosial secara ideal.
Zastrow, mengemukankan bahwa dalam rangka membatu atau bekerja
dengan individu, kelompok, keluarga, organisasi-organisai serta masyarakat,
soerang Pekerja Sosial diharapkan memiliki tingkat pengetahuan dan
keterampilan yang cukup memabai di dalam berbabagi perannan yang
dilakukan.
Dari penjelasan tersebut diatas terlihat suatu gambaran bahwa yang
yang dilakukan seseorang karena kedudukannya di dalam status tertentu serta
memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang cukup memadai dalam
suatu masyarakat atau lingkungan di mana ia berada, sehingga memungkinkan
mereka mencapai tujuan.
C. Trafficking
1. Pengertian Trafficking
Perdagangan manusia merupakan kejahatan yang sistemis dan sulit
diberantas. Masyarakat Internasional menyebutkan sebagai bentuk perbudakan
masa kini yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Praktek
terdagangan manusia suda lama terjadi dan modusnya mengalami perubahan
dari waktu ke waktu bahkan jumlah korbannya setiap tahun mengalami
peningkatan.
Pada pemahamannya, trafficking berbeda dengan perdagangan manusia.
Perdagangan manusia adalah sebuah transaksi penjualan antara penjual dan
pembeli dengan harga yang disepakati. Sedangkan trafficking mengandung
unsur paksaan, penipuan, ancaman, kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan
untuk tujuan-tujuan eksploitasi.
Definisi trafficking yang disepakati oleh beberapa negara sebagain besar
mengambil dari protokol PBB. Pada tahun 2000 Indonesia mengadopsi definisi
trafficking ke dalam keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2000 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A).
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan ataupun
dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi setidaknya meliputi eksploitasi lewat memprostitusikan orang lian
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa
serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ
tubuh.12
International Labour Organisation (ILO) medefinisikan trafficking
sebagai kegiatan mencari, mengirim, memindahkan menampung atau menerima
tenaga kerja dengan ancaman, kekersaan atau bentuk –bentuk pemaksaan
lainnya, dengan cara menculik, menipu, memperdaya (termaksuk membujuk
dan mengiming-imingi) korban, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang,
memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan dan
tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau
menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan ijin dengan
persetujuan dari orang tua, wali atau orang lain yang mempunyai wewenang
atas diri korban, dengan tujuan mengisap dan meremas tenaga
(mengeksploitasi) korban.13
12
Syarif Darmoyo dan Rianto Adi, Trafficking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga (Jakarta : PKPM Unika Atmajaya, 2004), h.9.
13
Adapun definisi trafficking menurut Undang-Undang Pemberantasan
Tindakan Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 tahun 2007 adalah
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan didalm negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.14 Sedangkan kategori anak
dalam trafficking sesuai dengan Konveksi Hak Anak PBB adalah setiap orang
yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan usia dewasa dicapai lebih awal.15
Dari ketiga definisi tersebut, jika diamati maka memiliki perbedaan
tersendiri. Hal ini karena setiap level (lembaga) memiliki pengalaman yang
berbeda. Seperti halnya PBB (Persetikatan Bangsa-Bangsa) yang
mendefinisikan trafficking secara lebih luas dibandingkan UU PTPPO No. 21
yang di buat oleh Indonesia, karena kebijakan PBB (terkait kasus trafficking)
menjadi rujukan beberapa negara di dunia yang pada dasarnya memiliki
berbagai macam dan bentuk kasus. Sebagai contoh kasus trafficking bermodus
14
UU PTPPO No.21 Tahun 2007, h. 2. 15
buruh migran dan berbeda dengan modus yang terjadi di negara-negara dunia
lainnya.16
Adapun definisi ILO (International Labour Organisation) lebih
membidik pada pelaku atau bandar trafficking, berbeda dengan definisi PBB
dan UU PTPPO No. 21 yang membidik pelaku dan bagi siapa saja yang terlibat
dalam kasus trafficking. Hal ini ditunjukan dengan pemakaian kata misalnya
pada definisi ILO menggunakan istilah trafficking sebagai kegiatan mencari,
mengirim dan memindahkan, sedangkan PBB / PTPPO No. 21 dengan
menggunakan istilah trafficking adalah tindakan prekrutan, pengangkutan
Dalam hal ini, ILO memakai kata predikat mencari yang berarti pelaku
berperan besar atas terjadinya trafficking, sedangkan PBB?UU PTPPO No.21
memakai kata benda ejektif pencarian yang berarti semua pihak yang terlibat
atas trafficking (pelaku, perantara dan sponsor atas terjadinya trafficking) maka
harus ditindak.
Dalam kasus trafficking menggunakan istilah perdagangan karena hal
ini sebagaimana layaknya ekonomi yang di dalamnya terdapat transaksi
permintaan dan penawaran (Supply and Demand). Permintaan pasar tenaga
kerja (khususnya pekerja rumah tangga) di luar negeri disebut supply dan
kebutuhan para pencari kerja untuk menopang perekonomian mereka disebut
demand, telah dimanfaatkan oleh para mucikari untuk mendapatkan keuntungan
16
pribadi sebesar-besarnya dengan cara menipu dan memalsukan data atau
identitas korban yang dikomoditaskan tersebut.
Definisi trafficking sedemikian rumit, hal ini dikarenakan keberadaan
dan fenomena praktek trafficking yang sistemis dan rapi dalam menjaring para
korban, sehungga definisi trafficking perlu penjelasan pasti dan detail dalam
menjaring pelaku dan agar dapat ditindak dengan tegas. Rumusan
Undang-undang tersebut dapat dirinci atas tiga bagian, yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, dan
penyerahterimaan orang.
2. Dengan menggunakan kekerasaan atauancaman kekerasan, penipuan,
penculikan penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi
kerentaan atau menjerat utang.
3. Untuk tujuan mengeksploitasi atau perbuatan yang dapat
mengeksploitasi orang tersebut.17
Pelaku disini adalah siapa pun yang terlibat dalam praktek trafficking,
apakah disadari pelaku atau tidak, apakah itu orang tua korban, suami korban,
saudara korban, atau orang dekat korban, jika motif pelaku adalah bertujuan
untuk asas pemanfaatan dan eksploitasi terhadap korban maka pelaku tersebut
tersebut terjerat hukum sebagai trafficker atau pelaku tindak trafficking.
Dalam praktek trafficking paling tidak terdapat adanya tujuan
eksploitasi dapat meliputi: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan orang lain
17
atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau pelayanan
paksa. Ketiga, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan
perbudakan. Keempat, penghambaan. Dan kelima, pengambilan organ-organ
tubuh.18
Kejahatan trafficking yang berupa eksploitasi prostitusi dan eksploitasi
seksual tidak didefinisikan secara tuntas di Komisi Kejahatan PBB (UU Crime
Commision). Dalam pembahasan protokol tersebut yang terdiri dari lebih 100
negara dunia tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai kedua bentuk definisi
ini, namun sebagai perwakilan dan NGO (Nen Goverment Organization)
negara-negara lain tetap menginginkan bahwa prostitusi dewasa (berprofesi
sebagai prostitut atau prostitut yang legal) harus didefinisukan sebagai
trafficking. Sehingga dalam forum tersebut akhirnya memasukan “eksploitasi
seksual” ke dalam trafficking, tetapi forum tersebut tidak mendefinisikannya
secara khusus, karena tiap-tiap negara memiliki perbedaan hukum dan
kebijakan yang beragam terhadap pekerja seks dewasa. Tetapi semua negara
setuju bahwa trafficking merupakan kegiatan yang bersifat perbudakan,
pekerjaan dengan kekerasan atau pemaksaan dan kerja paksa.19 Sehingga
praktek trafficking dikategorikan sebagai kejahatan pidana transnasional, yaitu
kejahatan yang melintas batas dan kepentingan suatu negara.20
18
Lihat Ann Jordan dalam The Annotated Guide to the Complete UN Trafficking Protocol, ( Washinton, DC : Internacional Human Right Law Group, 2002)
19
Supriyadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, h..10 20
2. Modus Praktek Trafficking
Perdangan manusia banyak terjadi di negara-negara miskin dan
berkembang, hal ini dikarenakan negara tersebut belum memiliki kemampuan
ekonomi. Perdagangan manusia yang kebanyakan terjadi pada perempuan dan
anak-anak memiliki berbagai macam dan bentuk. Pada mulanya, bentu-bentuk
perburuan eksploitatif, perburuan anak, praktek perekritan untuk industri seks,
dan perbudakan berkedok pernikahan, yang sebelumnya diterima oleh
masyarakat sebagai hal yang biasa dilakukan. Sekarang bentuk-bentk
perdaganagan manusia tersebut merupakan masalah yang bersifat multi
dimensional kemanusiaan yang merupakan tindak pelanggaran terhadap Hak
asasi Manusia (HAM).
Adapun modus operandi yang terjadi dalam perdagangan manusia
antara lain, meliputi:21
a. Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (Buruh Migran)
Modus ini adalah modus yang paling mudah dan banyak terjadi, karena
banyak tenaga kerja dari dalam negeri yang bertujuan mencari kerja ke luar
negeri tanpa mendapatkan informasi yang lengkap, sehingga posisi mereka
sangat rentan untuk menjadi korban praktek trafficking. Dokumentasi mereka
dipalsukan, dijerat hutang dan hingga pelecehan. Indonesia telah terkenal
sebagai salah satu negara pengirim terbesar pekerja migran ke berbagai negara
(Timur Tengah, Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan Korea). Jumlah
21
Tenaga kerja yang dikirim ke negara Asia Pasifik terus meningkat selama lima
tahun terakhir. Pada kenyataanya dari tahun 1980-1983 jumlah tenaga kerja
migran meningkat dari 10.000 hingga lebih 230.000 orang.22
b. Pengiriman Entertainer (Penghibur) keLuar Negeri
Modus ini hampir sama dengan modus TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Dalam menggunakan modus ini, biasanya para para calon menawarkan
pekerjaan yang mudah dan ringan serta mendapatkan gaji yang besar.
Pekerjaan yang ditawarkan para calo adalah sebagai seni daerah, pelayan
restoran dan pekerja di hotel. Dalam wilayah Asia (tidak terkecuali Indonesia),
perempuan Asia ditawari pekerjaan yang lebih menggiurkan seperti wanita
pendamping atau penyanyi yang menghibur kelompok lelaki kaya pilihan di
sebuah klab mewah. Pada hal kelompok lelaki pilihan ini ternyata
penipu-penipu sadis. Gadis-gadis tersebut tidak di bayar sesen pun dan klab itu pun
berubah menjadi tempat yang mengerikan, namun ini terjadi pada ribuan setiap
gadis setiap malam.23
c. Adopsi Anak
Modus ini sering terjadi di wilayah konflik atau wilayah yang
mendapatkan bencana, seperti di wilayah Aceh sebagai Daerah Operarasi
Militer (DOM) dan Aceh paska terjadinya bencana tsunami. Maka banyak
anak-anak yang terlantar sehingga kondisi seperti ini banyak dimanfaatkan
pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan pribadi.
22
Irwanti dkk, Perdagangan Anak Indonesia (Jakarta: ILO, 2001), h. 45. 23
“Paska bencana banjir besar, gempa bumi dan tsunami, banyak pekerja
yang datang keluar negeri membawa embel-embel lainnya, sehingga masalah
perdagangan manusia (adopsi anak) dikhuatirkan akan meningkat di Aceh”.24
d. Memperkerjakan Anak di sektor Pariwisata, Industri, di Rumah Tangga,
Pengemis dan Anak Jalanan
Modus ini biasanya terjadi karena lilitan dan beban ekonomi keluarga,
sehingga anak-anak purus sekolah dan kerja dengan tujuan membantu orang
tua. Anak-anak yang putus sekolah ini ditawari pekerjaan tanpa adanya
informasi pekerjaan apa yang akan diberikan kepada anak tersebut. Sehingga
anak terjerumus apa yang akan din berikan kepada anak tersebut. Sehingga
anak terjerumus kepda pekerjaan yang mengeksploitasi hak-haknya sebagi
anak. Mereka dimanfaatkan oleh pihak-pihak dan jaringan tertentu.
Peta survei ketenaga kerjaan 1999, di Indonesia menunjukan bahwa
terdapat 310.370 PRT. (Pekerja Rumah Tangga) anak usia 10-18 tahun di
antara 1.3431.712 PRT. Menurut BPS (Badan Statisti Nasional), bahwa di DKI
Jakrta terdapat 70.792 jiwa dan menurut estimasi penelitian Unika Atma Jaya
dan ILO –IPEC melalui rapid assesment (1995) diperkirakan PRT anak di
Jakarta sekitar 600.000 dari sejumlah 1,4 juta PRT. Mengapa PRT anak
dibawah usia 18 tahun dipakai oleh pengguna tenaga mereka, hal ini menurut
10 responden mengtakan bahwa pekerja anak masih mudah diatur, jujur, mudah
diajari dan nurut, sedangkan pekerja dewasa mudah kabur.25
24
“ Aceh dan Traficking” Waspada, 13 Januari, 2007, h.1 25
Setelah korban terjerat dengan kesepakatan palsu dan terjerat dengan
hutang palsu, maka korban dengan mudah diperasdan dieksploitasi secara fisik,
mental dan metarial.
3. Adapun Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia adalah26 :
a. Untuk dijadikan pelacur/WTS (wanita tuna susila).
Para korban trafficking yang tertipu dan terjerat dengan perjanjian palsu
seringkali belakangan ini dipekerjakan sebagai pelacur. Para korban tersebut
terjebak dan tidak memiliki alternatif kecuali menjadi WTS. Dunia prostitusi
merupakan tujuan utama dari praktek trafficking, bahwa dunia prostitusi usaha
yang menjanjikan dan menguntungkan karena di sana terdapat banyak lelaki
hidung belang yang mencari para perempuan untuk dijadikan perempuan
simpanan.
Berdasarkan informasi dari Farid yang kemudian ditulis oleh Irwanto
bahwa pada tahun 1999, sekitar 30% dari seluruh pekerja seks yang ada di
Indonesia masih berusia dibawah 18 tahun. Hal ini memperhatinkan tetapi
permintaan seks dengan anak sebenarnya telah ada sejak dulu. Pemicu
utamanya adalah mitos-mitos seputar keperawanan, antara lain kepercayaan
bahwa berhubungan seks dengan perawan obat awet muda dan pembawa
keberuntungan.27
26
Lusiana Marianingsih dkk, Studi tentang Fenomena Perdagangan Wanita (Trafficking in Persons) dan Upaya Pemberian Perlindungan Hukum bagi Para Korkan (Surakarta : FKH. Univ. 11 Maret, 2004), h. 23
27
b. Untuk dipekerjakan jermal (anjungan penangkap ikan lepas pantai).
Khusus untuk pekerja jermal ini kebanyakan korbannya adalah anak
laki-laki yang berusia sekitar 13-18 tahun. Umumnya mereka tidak bisa
berenang, karena itu mereka rawan tenggelam karena menuntut keahlian
tersebut. Biasanya pekerjaan mereka menaikan dan menurunkan jala, memilih
dan mengeringkan ikan dan membetulkan jala yang rusak tanpa kenal waktu.
Di Indonesia, khususnya beberapa kabupaten di Sumatra Utara seperti
kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu mendapat sorotan tajam
dari kalangan Internasional yang peduli terhadap hak anak. Laporan resmi dari
Dinas Perikanan Daerah Tingkat 1 Sumatra Utara menyebutkan bahwa jumlah
jermal yang ada telah berkurang dari 344 pada tahun 1988 menjadi 144 pada
tahun 1997, sebagian akibat dari faktor-faktor alamiah seperti berkurangnya
permintaan pasokan ikan.28
c. Sebagai pengemis.
Korban ini adalah kebanyakan anak-anak usia sekolah dan tidak
menutup kemungkinan orang dewasa. Mereka memiliki niat untuk membantu
dan meringankan beban perekonomian keluarga, sehingga mereka bekerja dan
meninggalkan bangku sekolah. Cara kerja mereka diorganisir oleh bos yang
menjadi atasannya. Mereka direkrut dari pedesaan dan dipaksa untuk
mengamen dan meminta-minta di sepanjang jalan kota besar dan di tempat
umum, mereka di janjikan pekerjaan yang layak di kota dan tidak tahu kalau
28
akan dijadikan pengemis. Selain anak-anak yang direkrut, ada juga bayi yang
disewakan untuk membantu pengemis wanita supaya kelihatan lebih
memelas.29
d. Sebagai pembantu rumah tangga (PRT)
Korban ini banyak dialami oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia
yang berangkat ke luar negeri, seperti Malaysia dan Arab Saudi. Kebanyakan
pekerja PRT ini dipekerjakan dengan jam kerja yang lebih panjang, gaji mereka
tidak dibayar, akses mereka ditutup dari informasi luar, diperlakukan seperti
budak, dilecehkan secara “ seksual” hingga ada yang sampai memilki anak
(tanpa kehendaknya) di luar negeri dan disiksa hingga meninggal, di luar negeri
tanpa adanya kejelasan informasi tentang keberadaan korban.
Laporan Indonesia 2003 kepada pelabor khususnya PBB untuk hak asasi
migran menyebutkan bahwa lokasi dan menifestasi kerentanan TKW-PRT
(tenaga kerja wanita-pembantu rumah tangga) pada beberapa hal, yaitu lokasi
yang kerentananya mencakup seluruh fase migrasi mulai dari proses perekrutan
tempat penampunagan tenaga kerja hingga proses pemulangan ke tempat asal.
Sementara manifestasi dan kerentanan mereka terlihat di dalam 6 area, yaitu :
(1) perdagangan perempuan, (2) kriminalitas korban, (3) rumah tahanan dan
penjara, (4) deportasi, (5) status kesehatan dan, (6) kekerasan.30
29
Ibid. h. 37 30
e. Adopsi, dijual dan dijadikan pengemis kemudian dilantarkan pendidikannya
dan kehidupannya.
Korban trafficking dalam hal ini, kebanyakan adalah anak-anak yang
menjadi korban kemiskinan dalam keluarga. Modus trafficker dalam hal ini
adalah mengiming-imingi orang tua anak untuk diadopsi sebagai anak angkat,
sehingga orang tua calon korban tergoda dengan tawaran-tawaran trafficker.
Orang tua calon korban merasa akan terbantu dengan janji palsu yang
ditawarkan oleh trafficker. Padahal trafficker berniat lain yaitu untuk menjual
anak-anak tersebut untuk menjadikannya pengemis jalanan. Sehingga
pendidikan akan terlantar dan putus sekolah.
Dalam hal ini, Indonesia ACTs (Against Child Trafficking) mencatat
dari tahun 2005 hingga 2007 ada 101 kasus anak diperdagangkan, mereka
berasal dari 12 daerah yang merupakan anggota ACTs (Medan, Batam, Jakarta,
Indramayu, Yogyakarta, Solo, Semarang dsb). Saat ini ACTs sedang
mengusahakan pengembanganan hak-hak mereka sebagai anak dan meminta
pemerintah daerah untuk melakukan integrasi kepada instansi pemerintah
terkait seperti Departermen Pendidikan Nasional atau Departermen Sosial.31
f. Pernikahan dengan laki-laki Asing untuk tujuan eksploitasi.
Korban ini banyak dialami oleh gadis-gadis desa yang tidak memiliki
informasi cukup. Para traffiker mencari gadis-gadis deasa dan meyakinkan
orang tua calon korban bahwa anaknya akan baik-baik saja dan akan bahagi
31
ketika menikah dengan laki-laki asing. Traffiker akan mendapatkan untung
besar ketika ia mendapatkan gadis untuk laki-laki asing. Sementara gadis-gadis
tersebut tidak bisa terjamin nasib dan kehidupannya kelak ketika sudah
menikah dengan laki-laki asing. Hal ini dikarenakan laki-laki asing ini tidak
diketahui baik dan tidaknya. Para gadis desa tersebut menjadi barang untuk
diperdagangkan dan dieksploitasi haknya.
Dari data yang dikumpulkan diketahui bahwa pada kurun 1992-1999
berlangsung 5293 perkawinan antara WNI (Warga Negara Indonesia) dengan
WNA (Warga Negara Asing). Hal ini berarti bahwa rata-rata setiap tahunnya
terdapat lebih dari 661 pasangan. Adapun perkawinan ini paling banyak
berrlangsung antara WNI dengan WNA (Taiwan), bahkan 90% dari
perkawinan campuran di Pontianak adalah dengan WNA Taiwan dan di
Sambas sebanyakan 99,4%.32
g. Pornografi.
Korban ini banyak dialami oleh perempuan, baik dewasa atau pun
anak-anak dan terkadang terdapat anak-anak laki-laki. Mereka di jadikan obyek pornografi
di luar kemauan mereka. Mereka dipaksa untuk menjadi foto model porno dan
objek seksualitas oleh industri seks.
Begitu juga dunia seni, dengan dalih bahwa seni bebas menampilkan
gambar-gambar fulgar. Di Indonesia bisnis abu-abu ini sekarng sudah menjadi
ruang bisnis yang menggiurkan dan dapat meraup keuntungan hingga 27 triliun
32
rupiah.33 Data yang dilansir ASA (Aliansi Keselamatan Anak Indonesia)
menyebutkan, industri pornografi ini menghasilkan 57 miliar dolar AS setiap
tahun diseluruh dunia, sedangkan pornografi anak menghasilkan 3 miliar dolar
AS setiap tahun.34
h. Pengedar obat terlarang.
Korban ini banyak dialami oleh anak-anak dan perempuan. Mereka
dipaksa menjadi pengedar narkoba dan obat-obat terlarang. Mereka diorganisir
oleh mafia narkotika dengan rapi, sehingga mereka sangat rentan dan mudah
terkena hukum narkotika, biarpun mereka bukan pemakai. Kondisi dan
keberadaan mereka terancam dari segi hukum.
Seperti kasus Noni yang dimanfaatkan oleh pacarnya (warga Nigeria)
menjadi kurir perdagangan narkoba Internasiona. Noni ditangkap polisi di
Pelabuhan Belawan Sumatera Utara saat membawa 3,212 kg heroin murni dari
Laos. Menurut penuturan Noni “Bahwa dia terpaksa menjadi kurir kerena
diancam, dibunih dan bahwa keluarganya diancam”.35
i. Menjadi korban pedofilia.
Istilah pedofil menunjukan pada seorang berusia antara 35 sampai 65
tahun yang meniliki fokus erotis dan fantasi serta kepuasan seksual ketika yang
bersangkutan berhubungan intim dengan anak-anak. Secara leksikal pedofil
33
“ Tiga TKI Asahan Terancam Hukuman Mati”, Waspada, 29 Mei, 2008.h.3. 34
“Aksi Pornografi Terorganisasi,” Republika, 25 Mei, 2007, h. 5. 35
orang yang mempunyai selela seksual terhadap anak kecil.36 Korban pedofil
pada umumnya adalah anak laki-laki yang berusia 9-12 dan praktek pedofil
dapat terjadi di manapun. Penderita pedofil umumnya memiliki sikap santun
yang merupakan upaya tipuan, terutama pada anak-anak. Banyak orang tua
korban yang terkecoh tanpa curiga sedikit pun. Jumlah anak yang
diperdagangkan mencapai 45.000 sampai 50.000 orang dalam setiap
tahunnya.37
Modus-modus tersebut sering terjadi di dalam kasus trafficking pada
umumnya. Sedangkan modus trafficking yang sering terjadi di Indonesia adalah
sebagai buruh migran pekerja rumah tangga, diman sebagian besar korbannya
adalah perempuan. Mereka cenderung disubordinatkan, tidak dilindungi oleh
hukum setempat, bahkan sering dilanggar hak-hak asasinya meskipun
keadaannya dibutuhkan. Jika dibandingkan dengan buruh migran laki-laki,
kondisi buruh migran perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi
dan kekerasan karena posisinya sebagai buruh sektor informal, warga negara
asing dan di tengah budaya patriarkhi di masyarakat.38
Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi
dan transportasi maka semakin berkembang pula modus kejahatan trafficking
yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar
36
Rohman dan Adria Rosi Starine, Pedodilia di Bali: Dewa Penolong atau Pencelaka?
(Yogyajarta: PSKK UGM, 2004), h. 3 37
Ibid, h. 4 38
hukum. Pelaku perdagangan manusia trafficker pun dengan cepat berkembang
menjadi sindikat lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.
Dewasa ini trafficking sudah menjadi “multi-billion-dollar industri”
yaitu industri yang mendatangkan banyak keuntungan dengan sindikat kriminal
yang diperkirakan mampu menyaingi sindikat yang merajalela di dunia hitam
selama ini, yaitu sindikat obat-obatan terlarang dan senjata ilegal.39 Trafficking
sudah menjadi perusahaan tertutup yang sangat menguntungkan bagi
pelakunya, bahkan dengan semakin meluasnya kemiskinan, pendidikan rendah
dan terdiskriminasinya sebagian masyarakat atas informasi atas akses di dunia
maka semakin menyuburkan industri trafficking.
39