• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL LINE) SECARA IN VITRO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL LINE) SECARA IN VITRO."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia

C. Presl terhadap Kultur Sel

Kanker Payudara (MCF-7

Cell Line)

secara

In Vitro

SKRIPSI

STEVANI SITORUS

108102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia

C. Presl terhadap Kultur Sel

Kanker Payudara (MCF-7

Cell Line)

secara

In Vitro

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

STEVANI SITORUS

108102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JANUARI 2013

(3)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Stevani Sitorus

NIM

: 108102000073

Tanda Tangan

: ...

(4)
(5)
(6)

Nama : Stevani Sitorus Program Studi : Farmasi

Judul : UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL LINE) SECARA IN VITRO.

Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita oleh perempuan di seluruh dunia. Obat-obat kemoterapeutik yang ada, memiliki efek samping dengan merusak sel sehat penderita. Pencarian obat yang berasal dari tanaman diharapkan dapat menemukan antikanker yang efektif dengan efek samping yang minimal. Tanaman Paku Angiopteris angustifolia C. Presl, suku marattiaceae, merupakan tanaman yang digunakan oleh masyrakat Indonesia sebagai tanaman hias. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap MCF-7

cell line. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melihat penghambatan proliferasi MCF-7 cell line secara in vitro dengan metode analisa MTT. Ekstraksi serbuk daun Angiopteris angustifolia C. Presl dilakukan dengan etanol 70%, pelarut ekstraksi diuapkan dengan vacuum evaporator dan ekstrak yang terbentuk dipekatkan menggunakan frezee drier. MCF-7 cell line dikultur menggunakan metode monolayer dalam medium RPMI 1640 yang mengandung 10% FBS. Absorbansi pada panjang gelombang 540 nm – 600 nm yang diperoleh dari pembacaan microplate reader dilakukan pengolahan data sehingga diperoleh nilai IC50. Nilai IC50 yang diperoleh adalah 91.52 µg/mL. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl memiliki aktivitas sitotoksik.

(7)

Name : Stevani Sitorus Program Study : Pharmacy

Title : CYTOTOXIC ACTIVITY OF Angiopteris angustifolia C. Presl’s ETHANOLIC EXTRACT AGAINTS MCF-7 CELL LINEACCORDING TO IN VITRO METHOD.

Breast cancer is the commonest cause of cancer death in women worldwide. Current chemoterapeutic drugs for breast cancer have side effects. So, there have been an intense search on various biological source to find new anticancer to combat this diseases. In Indonesia, fern Angiopteris angustifolia C. Presl (marattiaceae) is used as ornamental. The aim of this reasearch is to examine the cytotoxic activity of ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl againts MCF-7 cell line. The cytotoxic activity was carried out by using MTT method.

Angiopteris angustifolia C. Presl (marattiaceae) leaf’s powder extraction was done using ethanol 70%, the solvent of extraction was evaporated by vacuum evaporator and frezee drier. MCF-7 cell line was cultured in RPMI 1640 medium which contained 10% of FBS (fetal bovine serum). The absorbance that was obtained from microplate reader was processed in order to get IC50 value. The

result showed that ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl inhibit MCF-7 cell line with the IC50 value 91.52 µg/mL.

(8)

Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita panjatkan kehadirat

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta segala

anugerah-Nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang

senantiasa mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh

ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Kultur Sel Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) Secara In Vitro”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt selaku Pembimbing I dan drg. Laifa

Annisa H., PhD selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga

dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan selaku

pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hening Herawati, M.Biomed selaku kepala Laboratorium Kultur Pusat

Penelitian dan Pengembangan RSKD, yang telah mengajari penulis

mengkultur sel kanker dengan penuh kesabaran serta memberikan

pengalaman dan nasehatnya selama penulis penelitian.

4. Prof. Dr, (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran

(9)

6. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ayahanda tercinta M. Nimrot Sitorus dan Ibunda tercinta Yunita, terima kasih

atas doa yang selalu tercurah untukku, kasih sayang, semangat dan

dukungannya yang menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Adikku tersayang Erica Febriany Sitorus yang dengan canda tawanya mampu

mengusir kepenatan penulis dalam menyusun skripsi ini.

9. Teman–teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2008, terimakasih atas sebuah persahabatan, kekeluargaan dan persaudaraan kita selama ini.

10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan

dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi.

Ciputat, 15 Januari 2013

(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulllah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Stevani Sitorus

NIM : 108102000073

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL

LINE) SECARA IN VITRO.

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 15 Januari 2013

Yang menyatakan,

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...x

DAFTAR ISI ... xi

2.1.3. Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia ... 4

2.2. Simplisia ... 5

2.6.1. Faktor Etiologi Kanker Payudara ... 12

2.6.2. Faktor Risiko Kanker Payudara ... 12

2.6.3. Gejala Penyakit Kanker payudara ... 13

2.6.4. Pencegahan Kanker Payudara ... 14

2.7. MCF-7 Cell Line ... 14

2.8. Antikanker ... 14

2.8.1. Obat Antikanker ... 14

2.8.2. Mekanisme Kerja Obat Antikanker ... 15

2.8.3. Penggolongan Obat Antikanker ... 15

2.9. Kultur Sel ... 17

2.10. Uji Sitotoksisitas ... 18

2.11. Metode Pengujian Sitotoksik ... 19

(12)

3.2.1. Waktu Penelitian ... 22

3.4.10. Perhitungan Persentase Kematian Sel ... 30

3.4.11. Analisa Data ... 31

4.1.5. Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia terhadap Sel MCF-7 ... 33

(13)

Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl ... 49

Gambar 2. Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ... 49

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Log Konsentrasi dengan Probit Hasil Uji Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7... ... 69

Gambar 4. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Pada Saat Inkubasi 0 jam ... 70

Gambar 5. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Setelah Inkubasi 24 Jam. ... 71

Gambar 6. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Setelah Inkubasi 48 Jam. ... 72

Gambar 7. MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi 200 ppm dan inkubasi 24 jam... 73

Gambar 8. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT Setelah Inkubasi 4 Jam. ... 74

Gambar 9. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer... 75

(14)

Tabel 1. Hasil Ekstraksi ... 32

Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia ... 32

Tabel 3. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia ... 33

Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)... 62

Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DMSO ... 63

Tabel 6. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7 ... 67

Tabel 7. Hasil Pengujian Sitotoksik DMSO Terhadap Sel MCF-7... ... 67

Tabel 8. Hasil Pengujian Kontrol Sel ... 69

(15)

Lampiran 1. Hasil Determinasi Angiopteris angustifolia C. Presl ... 48

Lampiran 2. Pohon daun Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ... 49

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl ... 50

Lampiran 4. Hasil Pengamatan Penapisan Fitokimia ... 51

Lampiran 5. Skema Proses Ekstraksi Serbuk Angiopteris angustifolia C. Presl ... 54

Lampiran 6. Skema Kerja Thawing dan Kultur Sel MCF-7 ... 55

Lampiran 7. Skema Subkultivasi Sel MCF-7 ... 56

Lampiran 8. Skema Platting ... 57

Lampiran 9. Skema Uji MTT ... 58

Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol) ... 60

Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Kontrol DMSO ... 63

Lampiran 12. Perhitungan Kepadatan Sel ... 64

Lampiran 13. Skema pemetaan sampel... 65

Lampiran 14. Perhitungan dan Grafik Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7. ... 67

Lampiran 15. Gambar MCF-7 Cell Line dalam Medium RPMI 1640 Berserum... 70

Lampiran 16. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Setelah Inkubasi 24 Jam... 71

Lampiran 17. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Setelah Inkubasi 48 Jam... 72

Lampiran 18. Gambar MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi 200 ppm dan inkubasi 24 jam... 73

Lampiran 19. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT dan Inkubasi 4 Jam. ... 74

Lampiran 20. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer. ... 75

Lampiran 21. Gambar Bahan dan Alat yang Digunakan... 76

Lampiran 22. Deskripsi Medium RPMI 1640... 80

Lampiran 23. Morfologi Sel MCF-7... 81

(16)

1.1 Latar Belakang

Kanker, umum disebut juga neoplasma, secara harfiah berarti

pertumbuhan baru. Suatu neoplasma, sesuai definisi Wilis, adalah massa

abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak

terkoordinasi walaupun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut

telah berhenti. (Robbins, 1999).

Menurut laporan WHO berdasarkan data statistik IARC

(International Agency for Research on Cancer), angka kejadian kanker payudara di Asia pada tahun 2008 terjadi sebanyak 528.927 kasus dengan

angka kematian sebanyak 193.497 juta jiwa setiap tahun (IARC, 2008).

Data rekam medis Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)

melaporkan insiden kanker payudara di Indonesia menduduki peringkat

pertama diantara jenis kanker lainnya. Pada tahun 2009 terjadi sebanyak

567 kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi sebanyak 711 kasus.

Dimana pada setiap tahun terjadi peningkatan insiden kanker payudara

(Anonim, 2012).

Obat antikanker merupakan obat khusus dengan batas

keamanannya begitu sempit. Antikanker diharapkan memiliki toksisitas

selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan

normal. Pada umumnya antikanker menekan pertumbuhan atau proliferasi

sel dan dapat menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel

normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel

germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit.

Terapi hanya dapat dikatakan berhasil baik, bila dosis yang digunakan

dapat mematikan sel tumor ganas dan tidak terlalu mengganggu sel normal

yang berproliferasi (Departemen Farmakologi dan Terapi, 2008). Hal

tersebut menjadi sebuah tantangan untuk terus melakukan studi dan

(17)

alam khususnya tumbuh-tumbuhan, dengan harapan dapat menemukan

antikanker yang efektif dan dapat mengurangi efek samping yang

berbahaya.

Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu divisi tumbuhan yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Dari sekitar

10.000 spesies tumbuhan paku di dunia, diperkirakan 1.300 spesies di

antaranya tumbuh di kawasan Indonesia. Berbagai jenis spesies tumbuhan

paku telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai

tanaman hias, bahan obat tradisional, bahan makanan, tanaman pelindung,

dan pupuk hijau. Masyarakat pada umumnya telah mengenal manfaat

tumbuhan paku dan sebagian telah menggunakan tumbuhan ini sebagai

obat tradisional (Susiarti, 2009).

Adapun Msayoshi Hirohara, dkk telah menemukan senyawa

triterpenoid dari Goniophlebium mengtzeense dari suku Polypodiaceae, serta telah mengisolasi senyawa triterpenoid dari tumbuhan tersebut

(Msayoshi Hirohara,.et.al, 1996)

Beberapa jenis tumbuhan paku telah terbukti memiliki aktivitas

sitotoksik dari penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Zulnely, dkk pada jenis Dictyopteris irregularis Preal suku Gleicheniaceae menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan nilai LC50

sebesar 0,46 ppm. Adapun penelitian Fitrya dan Lenny Anwar (2009) pada

uji aktivitas sitotoksik secara in vitro menggunakan sel Murine P-388 dari akar tumbuhan tunjuk langit Helmynthostachis zaeylanica (Linn) Hook

yaitu salah satu spesies tumbuhan paku dari Ophioglassaceae

menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan LC50 sebesar 2,4 µg/mL.

Diantara tumbuhan paku yang banyak tumbuh di Indonesia adalah

Angiopteris angustifolia C. Presl. Penelitian tentang efek sitotoksik

Angiopteris angustifolia C. Presl. belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian efek sitotoksik dari tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. yang tumbuh di Indonesia secara in vitro terhadap sel kanker payudara (MCF-7) menggunakan metode kolorimetri dengan

(18)

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. memiliki aktivitas sitotoksik terhadap kultur sel kanker payudara (MCF-7

cell line) secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

(19)

2.1 Tinjauan Botani

Angiopteris angustifolia C. Presl adalah sinonim dari Angiopteris angustifolia (Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Kingdom : Viridiplantae

Filum/Phylum : Streptophyta

Kelas/Class : Marattiopsida

Bangsa/Ordo : Marattiales

Suku/Family : Marattiaceae

Marga/Genus : Angiopteris

Jenis/Spesies : Angiopteris angustifolia

(Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).

2.1.2 Deskripsi Tanaman

Merupakan paku yang besar, daun sampai 2-5 meter menyirip

ganda 2-4, anak daun menyerupai daun kedondong (spondias dulcis), sorus memanjang, sporangium didalamnya bebas, membuka dengan satu

celah (Tjitrosoepomo, 2003).

Suku dari Marattiaceae ini memiliki daun amat besar, meyirip

ganda sampai beberapa kali. Sporangium pada sisi bawah daun,

mempunyai dinding yang tebal, tidak mempunyai cincin, membuka

dengan suatu celah atau liang. Kebanyakan paku ini berupa paku tanah

yang isospor. Protalium berumur panjang, mempunyai mikoriza endofitik,

tumbuh di atas tanah, berwarna hijau, bentuknya menyerupai talus lumut

hati yang terdiri atas beberapa lapis sel (Tjitrosoepomo, 2003).

2.1.3 Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia

Informasi mengenai aktivitas biologi serta kandungan kimia dari

(20)

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain,

berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi

simplisia nabati, simplisia hewani, simplisia pelikan atau mineral

(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia nabati

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman

dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar dari

tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau

zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih

belum berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia hewani

Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau

zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia murni

(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia mineral

Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik yang telah

diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia

edisi III, 1979).

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan

tumbuhan liar (wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat

tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen

dan preparasi akhir. Usaha untuk mengajegkan variabel tersebut dapat

dianggap sebagai usaha untuk menjaga keajegan mutu simplisia (DepKes,

2000).

2.2.1 Tahapan Pembuatan Simplisia

Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut :

(21)

a. Pengumpulan bahan baku

Pengumpulan bahan baku atau waktu pemanenan yang tepat adalah

pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif

dalam jumlah terbesar.

b. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran – kotoran atau bahan asing lainnya dari bahan simplisia.

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor

lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan

dengan air bersih.

d. Perajangan

Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang

tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang

lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi

enzimatik akan dicegah penurunan mutu dan perusakan simplisia.

f. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan

simplisia. Tujuannya adalah untuk memisahkan benda-benda asing

seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan.

2.3 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan

massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi

baku yang telah ditetapkan (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).

Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang

(22)

pelarut dan pengawet. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan

dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienaptuangkan.

Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope (Farmakope

Indonesia edisi IV, 1995).

Proses pembuatan ekstrak terdiri dari beberapa tahap yaitu :

Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya, cairan pelarut, separasi dan

pemurnian, pemekatan / penguapan, dan pengeringan ekstrak (DepKes,

2000).

a) Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk

simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia

dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini

dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal. Seperti

semakin halus serbuk simplisia, maka proses ekstraksi makin efektif dan

efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi

peralatan untuk tahap filtrasi (DepKes, 2000).

b) Cairan pelarut

Cairan pelarut dalam pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif,

dengan demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari

senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian

besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam ekstrak total, maka

cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder

yang terkandung (DepKes, 2000).

c) Separasi dan pemurnian

Tujuan dari tahap ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang

tidak dikendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa

kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih

murni. Proses – proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan

(23)

d) Pemekatan / Penguapan (vaporasi dan evaporasi)

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)

secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak

hanya menjadi kental/pekat (DepKes, 2000).

e) Pengeringan ekstrak

Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga

menghasilkan serbuk, massa kering–rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan (DepKes, 2000).

2.4 Metode Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan 2 cara,

yaitu :

1. Cara Dingin, antara lain :

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk

ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan

yang kontinu (terus–menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilkukan penyaringan

maserat pertama, dan seterusnya (DepKes, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (DepKes, 2000).

2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas

yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes,

(24)

b. Soxlet

Soxlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik (DepKes, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan

(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50 oC (DepKes, 2000).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,

temperatur terukur 96–98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (DepKes, 2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (DepKes, 2000).

Faktor–faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak, antara lain : (DepKes,

2000).

1. Faktor biologi

a) Identitas jenis (species). Jenis tumbuhan dari sudut keragaman

hayati dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai

faktor internal untuk validasi jenis (species).

b) Lokasi tumbuhan asal. Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu

lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi

berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air,

senyawa organik dan anorganik).

c) Periode pemanenan hasil tumbuhan. Faktor ini menentukan

kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses

(25)

d) Penyimpanan bahan tumbuhan. Merupakan faktor eksternal

yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas

bahan serta adanya kontaminasi.

e) Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.

2. Faktor kimia

a) Faktor internal, yaitu jenis senyawa aktif dalam bahan,

komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif

senyawa aktif, kadar total rata – rata senyawa aktif.

b) Faktor eksternal, yaitu metode ekstraksi, perbandingan ukuran

alat ekstraksi, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang

digunakan, kandungan logam berat dan pestisida.

2.5 Kanker

Kanker atau neoplasma ialah penyakit pertumbuhan sel yang

terjadi karena dalam tubuh timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang

bentuk, sifat dan kinetikanya berbeda dari sel normal asalnya. Sel yang

baru itu pertumbuhannya liar, terlepas dari sistem kendali pertumbuhan

normal sehingga merusak bentuk dan atau fungsi organ yang terkena. Kata

neoplasma berasal dari bahasa Yunani neos yang berarti baru dan plasein

yang berarti bentukan, yaitu bentukan baru berupa sel baru yang berbeda

dari sel asalnya. Sel neoplasma itu terjadi karena ada mutasi atau

transformasi sel normal akibat adanya kerusakan gen yang mengatur

pertumbuhan dan diferensiasi sel (Sukardja, 2000).

Segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya kanker disebut

karsinogen. Dari berbagai penelitian dapat diketahui bahwa karsinogen

dapat dibagi menjadi 4 golongan : (Pringgoutomo,S.dkk.,2002)

(26)

c. Karsinogen radiasi, contohnya : radiasi UV

d. Agen biologik, contohnya : beberapa jenis hormon, mikotoksin,

dan parasit.

Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa terjadinya neoplasma

melalui 2 tahap transformasi sel yaitu tahap inisiasi dan tahap promosi

(Pringgoutomo,S.dkk.,2002)

 Tahap Inisiasi

Pada tahap inisiasi sel normal berubah menjadi sel yang

mempunyai potensi untuk menjadi sel neoplastik. Pada tahap ini

karsinogen yang bekerja sebagai inisiator, cenderung berubah baik

langsung maupun melalui perubahan metabolik menjadi gugus

yang bereaksi dengan DNA, mengakibatkan DNA pecah,

mengalami metilasi atau hambatan perbaikan kerusakan DNA.

 Tahap Promosi

Bahan kimia yang merangsang transformasi neoplastik pada sel

yang telah diinisiasi tetapi tidak menyebabkan transformasi

neoplastik oleh dirinya sendiri disebut promotor. Promotor bekerja

mengubah ekspresi informasi genetik sel. Promotor merangsang

proliferasi klonal pada sel yang telah diinisiasi dan mengubah cara

diferensiasi dan maturasi.

2.6 Kanker Payudara (Carsinoma Mammae)

Kanker payudara adalah keganasan yang bermula dari sel-sel

payudara. Kanker ini menyerang jaringan payudara, tumbuh di dalam

kelenjar susu, saluran susu, dan jaringan lemak. Terjadinya karena ada

pertumbuhan abnormal sel pada kelenjar payudara. Namun, pertumbuhan

kanker payudara jauh lebih lambat dibandingkan dengan jenis kanker

lainnya. Sistem getah bening adalah salah satu cara utama kanker payudara

menyebar. Sel-sel kanker payudara dapat memasuki pembuluh limfe dan

mulai tumbuh di kelenjar getah bening. Jika sel-sel kanker payudara telah

(27)

kemungkinan besar sel-sel kanker telah masuk ke aliran darah dan

menyebar ke organ tubuh lainnya (Soebachman, 2011).

2.6.1 Faktor Etiologi Kanker Payudara

Kanker payudara terjadi akibat adanya mutasi tertentu pada DNA

sel payudara. Sebagian mutasi gen bersifat diwariskan (genetic). Sementara sebagian yang lain tampak terjadi dengan sendirinya tanpa

diketahui penyebab pastinya (Soebachman, 2011).

2.6.2 Faktor Risiko Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Penyebab pasti dari kanker payudara belum diketahui. Namun, ada

beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya

kanker payudara. Beberapa diantaranya sebagai berikut :

 Riwayat Keluarga

Beberapa riwayat keluarga yang dianjurkan untuk pemeriksaan

deteksi dini yaitu ibu atau saudara perempuan terkena kanker

payudara, atau kanker yang berhubungan dari ibu atau ayah, kanker

ovarium, endometrium, kolorektal, prostat, tumor otak, leukimia,

dan sarkoma.

 Faktor Hormon

Faktor hormon merupakan faktor yang banyak berpengaruh pada

timbulnya kanker payudara, seperti mendapat haid pertama

(menarke) sebelum umur 10 tahun, mati haid (menopause) setelah

umur 55 tahun, tidak menikah atau tidak melahirkan anak,

melahirkan anak pertama setelah umur 35 tahun, dan tidak pernah

menyusui anak.

 Faktor Umur

Wanita berusia di atas 30 tahun mempunyai kemungkinan lebih

besar mendapat kanker payudara dan kemungkinan tersebut terus

bertambah sampai setelah menopause.

 Pernah mengalami infeksi, trauma/benturan, operasi payudara

akibat tumor jinak (kelainan fibrokistik dan fibroadenoma), atau

(28)

 Pernah menggunakan obat hormonal yang lama, seperti terapi sulih

hormon atau hormonal replacement therapy (HRT), dan pengobatan kemandulan (infertilitas).

 Pemakaian kontrasepsi oral pada penderita tumor payudara jinak

seperti kelainan fibrokistik.

 Pernah mendapat radiasi sebelumnya pada payudara atau dinding

dada, misalnya untuk pengobatan keloid.

 Peningkatan berat badan yang signifikan pada usia dewasa.

2.6.3 Gejala Penyakit Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan keluhan. Penderita merasa sehat, tidak merasa nyeri, dan tidak terganggu

aktivitasnya. Tanda yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah

teraba benjolan kecil di payudara. Keluhan baru timbul bila penyakitnya

sudah lanjut. Beberapa keluhannya yaitu :

 Teraba benjolan pada payudara.

 Bentuk dan ukuran payudara berubah, berbeda dari sebelumnya.

 Luka pada payudara sudah lama tidak sembuh walau diobati.

 Eksim pada puting susu dan sekitarnya sudah lama tidak sembuh

walau diobati.

 Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting atau keluar air

susu pada wanita yang tidak sedang hamil atau tidak sedang

menyusui.

 Puting susu tertarik kedalam.

 Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (peau d’orange).

2.6.4 Pencegahan Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Kanker payudara bisa dicegah dengan beberapa tindakan seperti

berikut :

 Penggunaan obat-obat hormonal harus dengan sepengetahuan

dokter.

 Wanita dengan riwayat keluarga menderita kanker payudara atau

yang berhubungan, tidak menggunakan alat kontrasepsi yang

(29)

 Melakukan pemeriksaan terhadap diri sendiri setiap bulan. Bagi

wanita berisiko tinggi, melakukan juga pemeriksaan mammografi

secara berkala, terutama pada usia di atas 49 tahun.

 Memberikan air susu ibu (ASI) pada anak selama mungkin dapat

mengurangi faktor risiko terkena kanker payudara. Hal ini

disebabkan selama proses menyusui, tubuh akan memproduksi

hormon oksitosin yang dapat mengurangi produksi hormon

estrogen. Hormon estrogen dianggap memegang peranan penting

dalam perkembangan sel kanker payudara.

 Mejaga kesehatan dengan mengonsumsi buah dan sayuran segar.

Kedelai beserta produk olahannya, seperti susu kedelai, tahu, dan

tempe, mengandung fitoestrogen bernama genistein yang dapat

menurunkan kejadian kanker payudara.

 Menghindari makanan berkadar lemak tinggi. Dari hasil penelitian,

konsumsi makanan berkadar lemak tinggi berkorelasi dengan

peningkatan kanker payudara.

2.7 MCF-7 Cell line

Sel MCF-7 adalah salah satu model sel kanker payudara yang

banyak digunakan dalam penelitian. Sel ini diperoleh dari jaringan epitel

payudara dengan titik metastasis pleural effusion breast adenocarcinoma

seorang wanita berusia 69 tahun dengan etnis kaukasian bergolongan

darah O dengan Rh+. Sel MCF-7 bersifat adherent sehingga metode kultur yang tepat adalah metode monolayer. Akronim dari MCF-7 yaitu

Michigan Cancer Foundation-7 (ATCC, 2012).

2.8 Antikanker 2.8.1 Obat Antikanker

Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan untuk pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat

(30)

pengobatan kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang

berbahaya tanpa menganggu sel normal (Siswandono, 2000)

2.8.2 Mekanisme Kerja Obat Antikanker

Banyak obat antikanker yang bekerja dengan cara mempengaruhi

metabolisme asam nukleat, terutama DNA, atau biosintesis protein. Obat

antikanker dapat mempengaruhi proses kehidupan sel (Siswandono, 2000)

Proses kehidupan sel merupakan suatu siklus yang terdiri dari

beberapa fase sebagai berikut : (Siswandono, 2000)

1. Fase mitotik (M) : fase dimana terjadi pembelahan sel aktif. Setelah

melalui fase ini ada 2 alternatif :

a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi.

b. Masuk ke fase istirahat (Go), pada fase istirahat (Go) kemampuan

sel untuk berproliferasi hilang,sel meninggalkan siklus secara tidak

terpulihkan.

2. Fase post mitotik (G1), pada fase ini tidak terjadi sintesis DNA, tetapi

terjadi sintesis RNA dan protein. Pada akhir fase G1 terjadi sintesis

RNA yang optimum.

3. Fase sintetik (S), pada fase ini terjadi replikasi DNA sel.

4. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai bila sel sudah menjadi

tetraploid dan mengandung 2 DNA, kemudian sintesis RNA dan

protein dilanjutkan. Selanjutnya sel kembali ke fase mitotik, demikian

seterusnya sehingga merupakan suatu siklus.

2.8.3 Penggolongan Obat Antikanker

Obat antikanker dibagi menjadi 5 kelompok yaitu senyawa

pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan

lain-lain (Siswandono, 2000)

1) Senyawa Pengalkilasi

Senyawa pengalkilasi adalah senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi

DNA, RNA dan enzim – enzim tertentu. Mekanisme kerjanya adalah membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil, diikuti

pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion ini bereaksi,

(31)

gugus donor elektron, seperti gugus karboksilat, amin, fosfat dan tiol,

yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein,

yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Reaksi ini

membentuk hubungan melintang (cross linking) antara dua rangkaian

DNA, akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi

hambatan pertumbuhan sel kanker.

2) Antimetabolit

Antimetabolik adalah senyawa yang dapat menghambat jalur

metabolik yang penting untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker,

melalui penghambatan asam folat, purin, pirimidin dan asam amino,

serta jalur nukleosida pirimidin, yang diperlukan pada sintesis DNA.

Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan struktur metabolit

normal dan bersifat sebagai antagonis.

3) Antikanker Produk Alam

Antikanker produk alam dibagi mejadi tiga kelompok yaitu antibiotika

antikanker, antikanker produk tanaman dan antikanker produk hewan.

 Antibiotika Antikanker

Beberapa antibiotik yang mula – mula dikembangkan sebagai senyawa antibakteri ternyata didapatkan memiliki efek sitotoksik

tinggi. Efek samping tersebut dievaluasi dan kemudian

dikembangkan menjadi obat – obat antikanker.

 Antikanker Produk Tanaman

Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah mengikat tubuli

dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada

kumparan mitosis sehingga metafase berhenti.

 Antikanker Produk Rekayasa Genetika

Contohnya : antineoplaston, interferon α-2a, interferon α-2b. 4) Hormon

Beberapa neoplasma dapat dikontrol baik oleh hormon seks, seperti

hormon androgen, progestin dan estrogen, serta hormon

adrenokortikoid. Biasanya untuk pengobatan tambahan sesudah

(32)

2.9 Kultur Sel(Malole, 1990)

Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau

jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis

menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi

satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol,

tabung, cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh.

Monolayer tersebut kemudian diperbanyak lagi sesudah melalui proses

pemisahan sel secara enzimatis dan diencerkan dengan media penumbuh.

Teknik ini disebut subkultur atau pasase. Apabila dipasase terus menerus

maka dihasilkan sel lestrai (cell line).

Sel lestari memiliki beberapa sifat, yaitu : terjadi peningkatan

jumlah sel, sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi, sel-sel

tersebut seragam, dan biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan

fenotipe dan transformasi.

Sebelum penambahan sel medium harus dipanaskan dahulu pada

temperatur 37 oC dan pHnya distabilkan. Bibit yang digunakan untuk

produksi sel hendaknya sel yang berada pada fase akhir pertumbuhan

logaritmis agar dapat dicapai tingkat produktivitas yang tinggi karena sel

tersebut masih aktif berbiak. Jumlah sel yang digunakan sebagai bibit

bervariasi antara jenis sel dan tergantung pada keadaan medium yang

digunakan, secara umum biasanya jumlah sel tersebut antara 50.000

sampai 200.000 sel/mL atau 5.000 sampai 20.000 sel/cm2. Pengadukan suspensi sel dilakukan pada kecepatan yang optimum, walaupun kecepatan

tersebut bervariasi pada setiap jenis sel dan bentuk bejana, akan tetapi

secara umum dapat digunakan 100-500 rpm, untuk kultur yang memakai

microcarrier antara 20-100 rpm.

Produktivitas dari suatu sistem produksi sel dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain :

a. Medium dan Bahan Nutrisi

Kualitas dan kuantitas bahan nutrisi yang tersedia dalam

medium menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan pada

(33)

(mengandung suplemen dan asam lemak). Untuk mempertahankan

kehidupan atau kultur sel perlu ada tambahan bahan nutrien serta

penggantian medium yang lama dengan medium yang baru secara

keseluruhan atau hanya sebagian atau dengan perfusi.

b. pH dan Dapar (buffer)

sistem karbondioksida bikarbonat yang sama seperti dalam darah.

Daya buffer dari medium ditingkatkan dengan adanya ion fosfat

yang terdapat pada larutan garam seimbang.

c. Oksigen

Peningkatan produksi sel pada kultur sangat tergantung

pada kecukupan penyediaan oksigen. Pemberian oksigen pada

kultur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain pemberian

udara pada permukaan medium, difusi membran, perfusi medium

dan pemompaan oksigen langsung kedalam media.

2.10 Uji Sitotoksisitas

Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat

tambahan makanan, pestisida dan digunakan untuk mendeteksi adanya

aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa (Freshney, 1992).

Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan, seperti: dapat digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan

sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur primer manusia dari

berbagai organ target (ginjal, liver, kulit) serta memberikan informasi

secara langsung efek potensial pada sel target manusia. Akhir dari uji

sitotoksik dapat memberikan informasi konsentrasi obat maksimal yang

(34)

yang masih bertahan hidup pada uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan

berbagai cara yang seringkali didasarkan pada parameter kerusakan

membran, gangguan sintesis dan degradasi makromolekul, modifikasi

kapasitas metabolisme serta perubahan morfologi sel. Metode lain yang

dapat digunakan adalah metode kolorimetrik menggunakan suatu substrat

yang akan dimetabolisme oleh sel menjadi produk berwarna misal MTT

{3-(4,5-dimetil tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida). Uji sitotoksik

dapat menggunakan parameter lC50. Nilai lC50 menunjukkan nilai

konsentrasi yang menghasilkan hambatan pertumbuhan sel sebesar 50%

dari populasi. Nilai lC50 dapat menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai

sitotoksik. Semakin besar nilai lC50 maka senyawa tersebut semakin tidak

toksik (Heti, 2008).

2.11 Metode Pengujian Sitotoksik

a. MTT assay

MTT assay adalah teknik yang sering dipakai pada umumnya, teknik ini menggunakan garam tetrazolium atau MTT {3-(4,5-dimetil

tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida) yang berwarna kuning dimana

akan dimetabolisme oleh enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat pada mitokondria sel menjadi kristal formazan berwarna ungu (Freshney, 1992). MTT dilarutkan dalam Phosphate Buffer Saline (PBS) 5 mg/ml dan disaring untuk menghilangkan residu yang tidak larut. MTT ditambahkan

secara langsung pada plate yang berisi medium kultur sebanyak 10-100 µl

dan diinkubasi selama kurang lebih 4 jam pada 37o C. Kristal formazan yang berwarna ungu yang terbentuk akan terlarut dengan penambahan

isopropanol asam (100 µl 0,04 N HCl dalam isopropanol) atau SDS 10%

dalam HCl 0,01 N. Selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang

gelombang 550 nm. Intensitas warna yang terbentuk berbanding langsung

dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme (Zakaria, 2010).

b. Metode Perhitungan Langsung

Metode Perhitungan Langsung dilakukan dengan pengecatan

(35)

tripan, sedangkan yang mati tidak. Hal ini disebabkan karena sel yang mati

mengalami kerusakan pada membran selnya, mengakibatkan protein

didalam sel keluar dan berikatan dengan biru tripan. Pemberian biru tripan

dilakukan secara bertahap untuk menghindari kemungkinan kematian sel

yang disebabkan oleh biru tripan dan hasilnya sel yang mati akan tampak

keruh tidak bercahaya (Agoes, 1994).

c. Perubahan Integritas Membran

Metode ini terutama digunakan untuk senyawa toksik yang

memberikan efek dengan merusak membran sel yang tidak terjadi dalam

keadaan normal (seperti biru tripan dan eritrosin) dan pengeluaran isotop

atau pewarna dalam keadaan normal tidak dikeluarkan oleh sel, seperti

15

Kromium dan diasetil fluoresin (Freshney, 1992).

d. Radioisotop

Pemasukan radioisotop seperti [3H]-timidin ke dalam DNA dan [3H]-uridin ke dalam RNA (Freshney, 1992).

2.12 Microplate Reader

Microplate reader adalah jenis spektrofotometer khusus. Prinsip kerjanya adalah cahaya lampu memancarkan panjang gelombang cahaya,

lalu disaring oleh monokromator menjadi cahaya monokromatik. Sebagian

cahaya tersebut kemudian diserap oleh sampel yang ada di dalam

microplate dan sebagian yang lainnya diteruskan oleh sampel menuju detektor fotolistrik. Dari detektor fotolistrik serapan diubah menjadi sinyal

listrik hingga akhirnya didapat nilai absorbansi yang tertera pada komputer

(Anonim, 2012).

(36)

Daun tumbuhan paku (Angiopteris angustifolia C. Presl.) 3.1. Alur Penelitian

Simplisia

Maserasi dengan etanol 70 %

Ekstrak etanol dipekatkan dengan evaporator

Ekstrak etanol kental

Uji sitotoksisitas dengan metode MTT

Perhitungan % penghambatan proliferasi

Analisa data lC50 Sel MCF-7

Thawing

Subkultivasi

Perhitungan kepadatan sel dengan

Haemocytometer

Analisa kandungan kimia : Alkaloid, Flavonoid, glikosida,

saponin, tanin, dll.

(37)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai bulan Desember

2012.

3.2.2 Tempat Penelitian

Pembuatan ekstrak etanol dilakukan di Laboratorium Product Natural Analysist (PNA) FKIK Jurusan Farmasi UIN Jakarta. Penelitian Uji Sitotoksisitas dilakukan di Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais – Jakarta.

tabung reaksi, timbangan analitik (Kern), inkubator CO2 (Memmert),

autoklaf (Hirayama), sentrifuge (Hettich), sentrifuge tube 15 mL dan 50

mL (Corning), Laminar Air Flow cabinet (LAF), biological safety cabinet

II (Esco), mikroskop inverted (Olympus), tangki nitrogen cair (Thermo),

culture flask (Corning), cryogenic vials (Nalgene), mikro pipet (Eppendorf), pipet tips (Axygen), pipet tips 5 mL (Eppendorf), syiringe

200 cc (Terumo), syiringe filter (Minisart), vortex (Heidolph), tabung

conical (Nunclon), microplate 96 sumuran (Nunclon), haemocytometer

(Nebauer), microplate reader, tabung falcon, hot plate, kulkas 4 oC dan -20oC (Toshiba), kulkas -80oC (Thermo).

3.3.2 Bahan yang digunakan a. Simplisia

Bahan utama dalam uji sitotoksisitas ini adalah bagian daun dari

tumbuhan paku yaitu Angiopteris angustifolia [C.Presl] yang diperoleh dari hutan daerah bogor, dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogoriense

(38)

b. Sel Uji

Sel yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah sel MCF-7 yang

diperoleh dari stok Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais Jakarta.

c. Bahan Kimia yang Digunakan

Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol

70%, klorofom, aquadest, HCl, dragendorf, meyer, serbuk Mg, amil

alkohol, FeCl3, pereaksi Stiasny (Formaldehid 30% : HCl pekat = 2 : 1),

Na asetat, NaOH, pereaksi Liebermann-Buchard (2 tetes asam asetat

anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat), eter, ammonia (NH4OH) 10%, media

sel RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) (Gibco), Phosphate Buffered Salina (PBS), Penicillin-streptomisin, Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma), Trypsin EDTA 5% (Sigma), MTT [3-(4,5 dimetiltiazol-2-yI)-2,5 difenil

tetrazolium bromide] (Sigma), Trypan Blue Stain 0,4% (Sigma), DMSO

(Dimetil Sulfoksida) (AppliChem), Sodium bikarbonat (NaHCO3).

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Persiapan Simplisia

Daun tumbuhan paku yang telah dipisahkan dari batang dan

tangkainya, kemudian dibersihkan menggunakan tissue untuk

menghilangkan kotoran yang melekat pada daun tumbuhan paku tersebut.

Kemudian dirajang dan dikering anginkan. Setelah kering, daun tumbuhan

paku diblender sehingga diperoleh simplisia halus.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan cara maserasi serbuk

daun tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. menggunakan etanol 70%. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia

dengan pelarut, penggantian pelarut dilakukan 3 hari sekali sampai cairan

pelarut tidak berwarna atau bening, dimana setiap hari labu maserasi

digoyang-goyangkanagar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan

sempurna. Setelah semua filtrat terkumpul dilakukan pemekatan dengan

(39)

kemudian dilakukan teknik freezdry untuk mengangkat air tersebut sehingga didapat ekstrak kental. Proses freezdry dilakukan selama 12 jam.

3.4.3 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan

senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, glikosida,

dan triterpenoid yang terdapat pada ekstrak.

a. Pemeriksaan Ekstrak (Ayoola et al., 2008)

1) Gula Pereduksi (Uji Fehling)

Larutan ekstrak etanol (0,5 gram ekstrak dalam 5 mL aquadest) lalu

ditambahkan larutan Fehling A dan B kemudian dididihkan dalam tabung

reaksi. Perubahan warna yang terjadi pada larutan mengindikasikan

adanya gula pereduksi.

2) Terpenoid (Uji Salkowski)

Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 mL kloroform, kemudian

ditambahkan 3 mL asam sulfat (H2SO4) untuk membentuk lapisan.

Adanya warna merah kecoklatan diantara lapisan mengindikasikan adanya

terpenoid.

3) Triterpenoid (Tiwari, 2011)

Uji Salkowskii: Ekstrak dilarutkan dengan kloroform dan disaring. Filtrat

kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfat, lalu dikocok

dan didiamkan. Terbentuk warna kuning keemasan mengindikasikan

adanya triterpenoid.

4) Flavonoid

Terdapat 3 metode yang digunakan untuk menguji keberadaan flavonoid :

 Pertama: 5 ml larutan ammonia ditambahkan ke dalam filtrat air dari

ekstrak, lalu ditambahkan 1 mL asam sulfat. Terbentuk warna kuning

menunjukkan adanya flavonoid.

 Kedua: Beberapa tetes dari larutan ammonia 1% ditambahkan ke dalam

filtrat ekstrak. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.

 Ketiga: Sejumlah cuplikan ekstrak ditambahkan 10 mL etil asetat dan

(40)

kemudian disaring, diambil 4 mL filtratnya dan ditambahkan dengan 1 mL

larutan ammonia. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya

flavonoid.

5) Saponin

0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL aqua destilat dalam tabung reaksi.

Larutan kemudian dikocok dengan kuat, lalu diamati busa yang terbentuk

secara stabil. Ke dalam busa ditambahkan 3 tetes minyak zaitun lalu

dikocok kuat, terbentuknya emulsi mengindikasikan keberadaan saponin.

6) Tannin

0,5 gram ekstrak dididihkan dalam 10 mL aquadest dalam tabung reaksi,

lalu disaring. Kemudian kedalam filtrat ditambahkan beberapa tetes ferri

klorida 0,1%. Terbentuk warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman

menunjukkan keberadaan tannin.

7) Alkaloid (Tiwari, 2011)

Ekstrak dilarutkan dalam HCl dan disaring, lalu filtratnya dikumpulkan.

Uji Meyer: Filtrat ditambahkan dengan reagent Meyer (potasium merkuri

iodida). Terbentuk endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya

alkaloid.

Uji Dragendroff: Filtrat ditambahkan dengan reagent Dragendroff (larutan

potasium bismut iodida). Terbentuk endapan merah mengindikasikan

adanya alkaloid.

8) Glikosida Jantung (Uji Keller-Killani)

0,5 gram ekstrak dilarutkan dengan 5 mL aquadest dan ditambahkan 2 mL

asam asetat glasial yang mengandung satu tetes larutan ferri klorida. Lalu

ditambahkan pada lapisan bawah dengan asam sulfat. Terbentuknya cincin

coklat diantara lapisan menujukkan adanya deoxysugar yang merupakan

karakteristik dari kardeonolid. Cincin ungu dapat terlihat dibawah cincin

coklat, pada lapisan asam asetat dapat terbentuk cincin kehijauan sedikit

diatas cincin coklat lalu tersebar perlahan-lahan keseluruh lapisan tersebut.

9) Fenol (Tiwari, 2011)

Uji Ferri Klorida: Ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan ferri klorida.

(41)

10) Protein (Tiwari, 2011)

Uji Xantoprotein: Ekstrak ditambahkan beberapa tetes dari larutan asam

nitrat. Terbentuk warna kuning mengindikasikan adanya protein.

b. Rendemen total ekstrak etanol tumbuhan paku

Rendemen ekstrak tumbuhan paku total dihitung dengan

membandingkan berat awal serbuk dengan berat akhir ekstrak tumbuhan

paku total yang dihasilkan.

3.4.4 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan steril. Untuk

senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan perlakuan dapat dilakukan

secara aseptis di dalam LAF (Laminar Air Flow), hal ini bukanlah proses

sterilisasi akan tetapi dilakukan untuk mencegah adanya kontaminasi.

Filter yang umumnya digunakan adalah syiringe filter membrane non pyrogenic dengan ukuran pori 0,2 µM. Untuk alat-alat gelas dicuci bersih lalu dikeringkan, selanjutnya dibungkus dengan kertas dan disterilkan

dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.

3.4.5 Pembuatan Reagen

a. Pembuatan Larutan PBS (Phosphat Buffer Saline)

Ke dalam gelas becker dimasukkan aqua steril lalu ditambahkan

serbuk PBS secara perlahan-lahan dan diaduk menggunakan magnetic stirrer sampai serbuk terlarut sempurna. Dilakukan pengecekan pH (7,2). Kemudian dimasukkan ke dalam botol yang bertutup dan disterilisasi

menggunakan autoklaf selama 20 menit pada suhu 121o C. Lalu disimpan pada suhu ruangan (Freshney, 2010). Adapun pembuatan secara manual

adalah dengan Sebanyak 2.16 gram hidrogen fosfat (Na2HPO4) ditimbang,

kemudian ditambahkan 0.20 gram kalium fosfat (KH2PO4), 8.0 gram

natrium klorida (NaCl) dan 0.20 gram kalium klorida (KCl). Kemudian

dilarutkan dalam aquadest steril hingga 1 liter. Larutan distabilkan pada

pH 7.2 dengan menggunakan alat pH meter kemudian disterilkan dengan

(42)

b. Pembuatan Larutan MTT (3 – [4,5 – dimethylthiazol – 2Yi] – 2,5 – diphenyl tetrazolium bromide)

Melarutkan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium

bromide (MTT) sebanyak 50 mg/mL dalam PBS. Kemudian disterilisasi

dengan filtrasi (Freshney, 2010). Filtrasi dilakukan menggunakan syiringe filtermembrane non pyrogenic dengan diameter pori sebesar 0.2 μM.

c. Pembuatan Larutan Trypsin

25 gram Trypsin ditimbang dan ditambahkan NaCl 0,14 M hingga

1 liter kemudian diaduk hingga larut menggunakan magnetic stirrer

selama 1 jam pada suhu ruangan. Lalu disterilisasi dengan filtrasi.

Kemudian dibagi ke dalam 10-20 ml bagian dan disimpan pada suhu -20o C. Sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu dengan PBS

(perbandingan 1: 10). Larutan Trypsin yang disimpan pada suhu 4o C akan stabil maksimal 3 minggu (Freshney, 2010).

d. Pembuatan Larutan Trypan Blue

0.4 % Trypan Blue dilarutkan ke dalam PBS (Freshney, 2010).

e. Pembuatan Medium RPMI Berserum

Sebanyak 500 mL medium RPMI ditambahkan 10% FBS yaitu 50

mL dan Penstrep (Penisilin-Streptomisin) sebanyak 5 mL kemudian

dihomogenkan. Selanjutnya larutan medium RPMI berserum disaring

dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori sebesar 0.2 μM dan disimpan pada suhu 4oC.

3.4.6 Persiapan Larutan Uji dan Blangko DMSO a. Larutan Uji ekstrak etanol

200 mg ekstrak etanol ditimbang dalam microtube, kemudian dilarutkan dengan 1.000 µl DMSO 99,5%, lalu disentrifus sampai

homogen. Larutan ini dijadikan larutan induk dengan konsentrasi 200.000

ppm (larutan induk 1). Selanjutnya dari larutan induk 1 dibuat konsentrasi

200 ppm (larutan induk 2), lalu dibuat larutan uji dengan seri 100 μg/mL,

(43)

b. Kontrol DMSO (Kontrol Negatif)

Larutan DMSO dibuat dengan mengencerkan DMSO 99,5%

menjadi larutan DMSO dengan konsentrasi 0,1%. Selanjutnya larutan

DMSO disaring dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori sebesar 0.2 μM. Digunakan DMSO pro Analysis.

3.4.7 Persiapan Kultur sel MCF-7 (Freshney, 2010) a. Pengaktifan sel (Thawing Kultur Sel)

a) Bahan steril yang dibutuhkan : culture flask, tabung sentrifus, mikropipet & tips 1 mL-10 mL, syiringe.

b) Bahan nonsteril yang dibutuhkan : waterbath suhu 37oC, alkohol swab 70%.

1) Tabung yang berisi cell line MCF-7 dikeluarkan dari tabung nitrogen cair, kemudian dicairkan dalam waterbath pada suhu 37 oC sampai gumpalan di dalam vial mencair.

2) Bagian luar dari ampul dibersihkan dengan alkohol swab 70%.

3) Di dalam laminar air flow, cairan sel dipipet sebanyak 1 mL dan

dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan 10 mL medium

RPMI secara perlahan-lahan kemudian disentrifus dengan kecepatan

1000 ppm selama 5 menit.

4) Supernatan yang diperoleh dipisahkan, sedangkan pelet yang terbentuk

disuspensikan dengan 6 mL medium kultur RPMI dan FBS 10%.

5) Suspensi sel dipipet dan dimasukkan ke dalam culture flask, lalu diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam,

medium diganti setiap 3 – 4 hari untuk mendapatkan jumlah sel yang cukup dengan tingkat kepadatan sekitar 70-80% menutupi culture flask.

b. Pengembangan sel (Sub Kultivasi)

1) Setelah diinkubasi selama 1 hari, cultur flask yang berisi sel dikeluarkan dari inkubator.

2) Medium yang ada di dalam cultur flask dibuang kemudian dicuci dengan PBS sebanyak ± 10-15 mL untuk mencuci sebanyak 3-4 kali. Larutan PBS

dibuang, lalu ditambahkan 2 mL tripsin yang telah diencerkan dengan PBS

(44)

3) Selanjutnya sel diinkubasi selama 3 menit dalam inkubator suhu 37 oC dengan sedikit membuka tutup cultur flask.

4) Setelah 3 menit, cultur flask dikeluarkan dari inkubator kemudian diketuk-ketuk bagian luar dari dinding cultur flask dengan tujuan agar sel terlepas dari permukaan cultur flask. Sel dilihat di mikroskop untuk memastikan bahwa sel sudah lepas dari permukaan dinding culture flask.

5) Culture flask kemudian dipindahkan ke dalam LAF ditambahkan RPMI berserum kedalam culture flask sebanyak 400 µL untuk menonaktifkan tripsin lalu dihomogenkan.

6) Larutan sel dimasukkan ke dalam tabung conical steril dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm.

7) Supernatan dibuang dan diganti dengan medium RPMI ± 1 mL, kemudian

dihomogenkan dengan pipet sehingga sel menyebar ke seluruh media.

8) Larutan sel tersebut diencerkan dengan tripan blue (10 µL tripan blue + 10

µL sel) dan dihitung jumlah selnya menggunakan Haemocytometer. Syarat jumlah sel dalam setiap sumuran adalah 5x103 sel.

9) Sel dihitung dari keempat bidang besar pada sudut seluruh permukaan

yang terbagi. Penghitungan dimulai dari sisi kiri atas kemudian ke kanan,

turun ke bawah dan dari kanan ke kiri. Cara tersebut dilakukan pada

keempat bidang besar. Sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau

atas harus dihitung. Sebaliknya sel yang menyinggung garis batas sebelah

kanan atau bawah tidak dihitung. Jumlah sel per ml dihitung menggunakan

rumus:

n = Jumlah sel dalam keempat bidang besar

4 = Jumlah bilik haemocytometer yang dihitung P = Faktor pengenceran terhadap indikator warna

3.4.8 Pemeliharaan Terhadap Kultur Sel Kanker

Sel diamati setiap hari menggunakan mikroskop untuk memeriksa

kemungkinan adanya pencemaran mikroorganisme lain seperti bakteri dan

jamur. Apabila medium kultur telah berubah warna maka diganti dengan

(45)

3.4.9 Uji Sitotoksisitas

Uji sitotoksisitas menggunakan plat kultur jaringan 96 sumuran

sebagai media uji. Sebanyak 100 µL suspensi sel dalam medium RPMI

berserum dimasukkan kedalam setiap sumuran pada plat kultur jaringan,

lalu diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37oC selama 48 jam

untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik (Meiyanto, 2008). Setelah 48

jam sel akan melekat pada dasar mikroplate, lalu medium dibuang, ke

dalam masing-masing sumuran ditambahkan 200 µL larutan uji (ekstrak

etanol tumbuhan paku) dalam medium RPMI 1640 dan larutan kontrol

DMSO (kontrol negatif) dalam medium RPMI 1640 dengan konsentrasi

0,1% serta kontrol sel dalam medium sebanyak 200 µL (sebagai blanko).

Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24

jam. Sel diamati dengan mikroskop pada saat inkubasi 4, 8, dan 24 jam.

Didalam LAF masing-masing medium di dalam sumuran dibuang.

Kemudian ditambahkan 100 µL PBS lalu digoyang-goyangkan dan

dibuang. Sebanyak 100 µL RPMI berserum dan 10 µL MTT ditambahkan

ke dalam setiap sumur, kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5%

pada suhu 37oC selama 4 jam, dikeluarkan dari inkubator dan dilihat kristal formazan ungu yang terbentuk dengan mikroskop. Selanjutnya

ditambahkan 100 µL DMSO pada masing-masing sumuran dan diaduk

sampai homogen, Masing-masing sumur dibaca secara langsung setelah

penambahan DMSO menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 540-600 nm (CCRC, 2008).

3.4.10 Perhitungan Persentase Kematian Sel

Dengan menggunakan metode MTT presentasi kematian sel

merupakan selisih absorbansi kontrol negatif dengan absorbansi sampel uji

dibagi absorbansi kontrol negatif dikalikan 100%. Masing-masing

absorbansi telah dikoreksi dengan absorbansi dari larutan uji saja setiap

kadar. Perhitungan kematian sel dengan menggunakan metode MTT

menggunakan rumus sebagai berikut: (Zakaria, 2011)

(46)

3.4.11 Analisa Data

Dari hasil perhitungan jumlah sel yang hidup dapat digunakan

untuk menghitung presentase kematian sel dengan tujuan untuk

mendapatkan nilai IC50 dengan analisa probit. Dari data ini dibuat regresi

linier hubungan antara logaritma konsentrasi sebagai X dengan probit

sebagai Y. IC50 diperoleh dengan memasukkan nilai 5 sebagai probit ke

dalam persamaan regresi linier tersebut, kemudian hasil subtitusi ini

diantilogaritma dan hasil tersebut merupakan nilai IC50. Persentase

kematian yang dibuat ke dalam angka probit digambarkan hubungannya

dengan logaritma konsentrasi. Penarikan garis lurus yang paling baik

melalui titik-titik yang ada (berdasarkan penglihatan) dan konsentrasi pada

garis ini yang menyatakan 50% kematian (probit -5). Antilog titik ini

(47)

4.1 Hasil

4.1.1 Determinasi

Dari hasil determinasi yang diperoleh, tanaman yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Angiopteris angustifolia C. Presl dengan famili Marattiaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.

4.1.2 Hasil Ekstraksi

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia

Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia

Golongan Senyawa Ekstrak Etanol

Terpenoid +

Keterangan : (+) mengandung senyawa yang diuji

(48)

Proses penapisan fitokimia dapat dilihat pada lampiran 4.

4.1.4 Jumlah Kerapatan Sel

Jumlah kepadatan sel dihitung pada saat sel MCF-7 telah mecapai

kepadatan 80% menutupi permukaan culture flask. Yaitu setelah sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37o C selama 48 jam.

Perhitungan dilakukan dengan memipet 10 µL suspensi sel dan ditambah 10

µL trypan blue lalu diteteskan pada Haemocytometer (faktor pengenceran 2 kali). Jumlah kepadatan yang diperoleh adalah 1,97 x 106 sel/mL. Sedangkan syarat jumlah sel tiap sumuran adalah 5x103 sel/mL, sehingga jumlah sel yang harus dipipetkan tiap sumuran adalah 2,54 µL sel/sumuran. Namun, dalam

penelitian ini sel tidak dipipet satu per satu artinya sel tidak dimasukkan 2,54

µL sel/sumuran, tetapi sebanyak 254 µL sel (2,54 µL x 100 sumuran)

dilarutkan dalam medium RPMI 1640 berserum ad 10 mL. Lalu dipipet sebanyak 100 µL suspensi sel ke dalam setiap sumuran. Perhitungan

kepadatan sel dapat dilihat pada lampiran12.

4.1.5 Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia terhadap Sel MCF-7

Tabel 3. Hasil Pengujian Antiproliferatif Angiopteris angustifolia terhadap Sel MCF-7

*

Perhitungan analisa probit dan grafik uji antiproliferatif Angiopteris angustifolia dapat dilihat pada lampiran 14.

Gambar

Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl ....................................
Tabel  1. Hasil Ekstraksi  ...............................................................................
Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia
Tabel 3. Hasil Pengujian Antiproliferatif Angiopteris angustifolia terhadap Sel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi tentang aktivitas antikanker ekstrak etanol kulit batang jarak pagar (Jatropha curcas L.) bertujuan untuk mengetahui sitotoksisitas ekstrak etanol kulit

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba rumput mutiara tidak mempunyai efek sitotoksik terhadap HeLa cell line. Kata kunci : Herba Rumput mutiara,

Ekstrak etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada waktu inkubasi selama 24 jam tidak dapat memberikan efek sitotoksik terhadap sel kanker serviks (HeLa cell

Dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata Schlecht) pada waktu inkubasi selama 24 jam tidak memberikan efek sitotoksik terhadap sel

Ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) terhadap HeLa cell line tidak dapat memberikan efek sitotoksik. Kata kunci : Buah mahkota dewa,

Analisis Probit Log Fraksi Etanol Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia L.) Terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7 .... Analisis Probit Log Fraksi Etanol Umbi Bawang Dayak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas sitotoksik ekstrak etanol kulit buah naga pada sel kanker payudara MCF-7 secara in vitro dan mengkaji mekanisme molekuler

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Akar Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7 dengan Metode MTT Assay Malang : Skripsi Program Studi