• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun 2006-2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun 2006-2010)"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

Pada Program Studi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

M. ARIFIN. NST

037024063/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

melimpahkan rahmat, hidayah dan nikmat berupa kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tahap akhir studi di Program Magister Studi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak menerima masukan, bantuan dan fasilitas dari berbagai pihak guna penyelesaian tesis ini dengan baik. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., SPA(k)., selaku Rektor USU.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa H., M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU

3. Bapak Drs. Subhilhar, M.A., Ph.D selaku Ketua program Magister Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana USU.

4. Bapak Drs. Ivan Razali,M.Phil., selaku Dosen Pembimbing I yang banyak memberikan masukan dan motivasi.

5. Bapak Drs. H. Husni Thamrin. Nst, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan bimbingan dan arahan.

(3)

8. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A., selaku Dekan FISIP USU 9. Ibunda Hj. Delima Hasibuan.

10. Saudara-saudara ku, Aida, Dina, dan Kiki. 11. Kemanakanku, Rayez, Shirin, Geys, Dan Filza. 12. Tulang ku Bapak Drs. Panggong, MSP.

13. Sahabatku M.Ravi Siregar dan Sutan Fauzi Arif Lubis, S.STP., M.Si. 14. Seluruh teman-teman angkatan empat (IV) Program Magister Studi

Pembangunan.

15. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pasca Sarjana yang telah meberikan wawasan akademis yang sangat bermanfaat bagi penulis.

16. Seluruh staf dan pegawai Sekolah Pascasarjana USU khususnya di Program Magister Studi Pembangunan, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

17. Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian Tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga Tesis ini bermanfaat.

Medan, Juni 2007

(4)

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya untuk merencanakan pembangunan daerah diregulasikan UU N0.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Regulasi produk hukum ini sekaligus meretas kebuntuan paradigma pembangunan top-down menjadi pembangunan berbasis rakyat (bottom-up). Pendekatan utama model pembangunan bottom-up ini adalah model partisipatoris, yaitu model melibatkan rakyat dalam rangkaian proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat sebagai variabel yang diadopsi dalam ini penelitian ini memiliki indikator : (1) kontribusi, (2) dukungan, (3) komitmen, (4) kerjasama, dan (5) keahlian. Pendekatan penelitian adalah pendekatan deskriptif dengan maksud memperoleh gambaran yang jelas tentang mekanisme dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RPJMD Kota Medan Tahun 2006-2010. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi atau data sekunder, serta wawancara dengan informan dan menyajikannnya dalam bentuk matrik dan maknanya diinterpretasikan oleh peneliti. Dalam penelitian ini digunakan informan penelitian dari berbagai unsur yaitu : Unsur Pemerintahan Kota Medan, Organisasi Masyarakat, Akademisi/Perguruan Tinggi, Media Massa dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan. Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini digunakan metode Analisis Kualitatif yang bermakna sebagai analisis yang didasarkan pada argumentasi logika serta didasarkan pada data yang diperoleh melalui kegiatan teknik perolehan data.

Penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Dari 6 (enam) tahapan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah hanya satu proses saja yang dilibatkan secara utuh stakeholders pelaku pembangunan yaitu tahapan musyawarah perencanaan Pembangunan (Musrenbang), (2) Pelaksanaan Musrenbang RPJMD lebih banyak dilakukan secara formalitas dan tidak semua komponen stakesholders dilibatkan dalam pelaksanaan Musrenbang tersebut (3) Waktu atau durasi yang disediakan Pemerintah Kota Medan, walaupun berdasarkan amanat Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Tentang SPPN, yaitu dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pelantikan kepala daerah dinilai terlalu singkat untuk merumuskan kebijakan 5 (lima) tahunan. Kemudia pelaksanan Musrenbang yang hanya satu hari dinilai kurang dapat mengakomodir dan merumuskan permasalahan dan solusi pembangunan Kota.

(5)

Local Governance, has given the opportunity and chance for the autonomous local governance to optimalize the resources in its territory for the welfare and the prosperity of the people. Then, to plan the local development, it’s necessary to formulate the bill of law no. 25/2004 about the National Development Planning System. The regulation of this law product also solves the mess of top down development paradigm into the community development (bottom up). The main approach of bottom up development modelis the participatory model, means to involve and elaborate the people in the whole process of development.

The participation of the community as the variable which is adopted in this research has the indicators such as: (1) contribution, (2) support, (3) commitment, (4) cooperation, (5) skill. The approach of this research is descriptive approach which means to get the clear description of the mechanism and the participation of community/people in the formulation of Local Middle Term of Development Planning (RPJMD) of Medan City 2006-2010. This method is used to collect the information or secondary data, interview with the informants and brought up in the matrix form and the meaning was intrepreted by the researcher, In this research involved the informants from various elements, they are: Local gGovernment of Medan City elements, Civil Society Organizations, Academicians of University/college, Mass Media, and the legislative Board of Medan city. To answer the research question of this research used the qualititative analysis method which means as the tools of analysis which is based on logic argument and data earned from data collection technics.

This research revealed: (1) From six stages of Local Middle Term of Development Planning (RPJMD) of Medan city just only one process which involved the whole community elements or stakeholders of development, it is Development Planning Discussion (Musrenbang), (2) The Development Planning Discussion (Msrenbang) only used the formality steps and not all stakeholders components involved in the Development Planning Discussion (Musrenbang). The time or duration which is given by the local government of Medan city, eventhough suitable with Bill of law no. 25/2004 about National Planning Development System, in three months after the Mayor appointment is supposed too short to formulate five years policies. Then the Development Planning Discussion (Musrenbang) just only one day is supposed not optimal to accomadate and formulate the problems and the solutions of the city development.

(6)

(Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun 2006-2010)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2007

(7)

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 5 October 1979

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen FISIP USU

Alamat : Jl. Batu Putih No.7/29 Medan, 20233

Telepon : 061- 4156463

Mobile Phone : 08126543451

B. PENDIDIKAN

1985-1991 : SD Islam Azizi, Medan 1991-1994 : SMP Negeri 11, Medan

1994-1997 : Madrasah Aliyah Negeri 1, Medan

1998-2004 : Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan

2004-2007 : Magister Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

C. PEKERJAAN

2005- Sekarang : Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan

2006- Sekarang : Staf Ahli Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan

(8)
(9)

ABSTRAK ………. 4. Manfaat Penelitian ………

II. TINJAUANPUSTAKA ……….

1. ImplementasiKebijakan ……… 2. PemberdayaanMasyarakat……… 3. ProgramPemberdayaan Kelurahan Di Kota Medan………. 4. Pemerintah Kelurahan………..

III. METODE PENELITIAN ……….. 1. Tempat Dan Waktu Penelitian………..……… 2. Tipe Penelitian ……… 3. Unit Analisis ……… 4. Teknik Pengumpulan Data………. 5. Teknik Analisis Data ……… 6. Defenisi dan Operasionalisasi Konsep……… IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

(10)

5. Kelurahan Sidorejo………. 6. Kelurahan Bantan Timur………. 7. Kelurahan Bandar Selamat……… 8. Kelurahan Bantan……… 9. Kelurahan Tembung………

V. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

1. Implementasi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kecamatan Medan Tembung……… 2. Faktor pendukung dan penghambat implementasi Program Pemberdayaan

Kelurahan di Kecamatan Medan Tembung………. 3. Analisis

Data………..

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan ………

2. Saran……….

DAFTAR PUSTAKA

62 63 64 65 67

70

119

127

(11)

Tabel 4.l Komposisi Penduduk Kelurahan Indra Kasih ………... 59 Tabel 4.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Indra Kasih ………. 59

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorejo Hilir ……….. 60 Tabel 4.4 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Sidorejo Hilir ……….. 61

Tabel 4.5 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Sidorejo ……….. 62

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Kelurahan Bantan Timur ……….. 63 Tabel 4.7 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Bantan Timur ………. 63

Tabel 4.8 Komposisi Penduduk Kelurahan Bandar Selamat ………... 64 Tabel 4.9 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Bandar Selamat ……….. 65

Tabel 4.10 Komposisi Penduduk Kelurahan Bantan ………. 66 Tabel 4.11 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bantan …... 66 Tabel 4.12 Komposisi Penduduk Kelurahan Tembung ………. 68 Tabel 4.13 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk

Kelurahan Tembung ……… 68

Tabel 5.1 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Tingkat Kebersihan Kelurahan Yang Dipimpin……… 71 Tabel 5.2 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Tim Khusus Yang MenanganiUrusan Kebersihan………... 72 Tabel 5.3 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

(12)

Pengelolaan Kebersihan……… 75 Tabel 5.6 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Jika Dana Pengelolaan Kebersihan Belum Mencukupi, Usaha

Apa Yang Telah/Akan Dilakukan Pihak Kelurahan……… 75 Tabel 5.7 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Pengawasan Lurah Terhadap Petugas Kebersihan Dalam

Menjalankan Tugasnya Sehari-hari………... 76 Tabel 5.8 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Untuk

Menghindari Gangguan Keamanan, Apakah Kelurahan

Mengalokasikan Dana……… 83 Tabel 5.9 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Bagaimana Kelurahan Ini Menghindari Gangguan Keamanan… 84 Tabel 5.10 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Warga Dan Organisasi Pemuda Dilingkungan Ini Digerakkan Untuk Bergotong royong Dan Berpartisipasi Untuk Menjaga Keamanan……… 85 Tabel 5.11 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Bagaimana Kelurahan Ini Melakukan Pengawasan Dan

Pemeliharaan Terhadap Lampu Penerangan Jalan/Umum……… 86 Tabel 5.12 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Dikelurahan Ini Terdapat Pos Siskamling……… 86 Tabel 5.13 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apabila Terdapat Pos Siskamling, Apakah Selalu Ada

Petugas Jaga ……… 87 Tabel 5.14 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Jika Terjadi Konflik Antar Warga, Siapakah Yang Mencoba

Mendamaikan……… 88

Tabel 5.15 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

(13)

Tabel 5.18 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang Apakah Lurah Memberikan Izin Pemakaian Jalan Untuk

Keperluan Tertentu……… 95 Tabel 5.19 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Bapak Atau Pihak Kelurahan Pernah Mengambil Tindakan Terhadap OKP Atau Pihak Lain Yang Melakukan

Pungutan Liar………. 96 Tabel 5.20 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Di Kelurahan Ini Ada Bangunan Yang Menyalahi

Aturan Tata Ruang Kota Misalnya Tidak Memiliki IMB……… 97 Tabel 5.21 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Dikelurahan Ini Adakah Petugas Yang Diberikan Kewenangan Khusus Untuk Menangani Masalah Ketertiban……… 98 Tabel 5.22 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Kelurahan Melakukan Tatap Muka Dengan Tokoh Masyarakat/Masyarakat Untuk Menjelaskan Program

Pemerintah………. 104 Tabel 5.23 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Tingkat Antusiasme Warga Pada Acara Sosialisasi

Tersebut………. 105

Tabel 5.24 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang Cara Yang Ditempuh Pihak Kelurahan Untuk Melakukan

Pembinaan Pada Warga……… 105 Tabel 5.25 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Pemerintah Kelurahan Melakukan Pendekatan Kepada Tokoh Masyarakat Atau Alim Ulama Untuk Bersama-Sama

Melakukan Pembinaan Warga……… 106 Tabel 5.26 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Apakah Ada Ketetapan Yang Mengatur Tugas, Wewenang, Dan Metode Yang Di Pakai Pemerintahan Dalam Menjalankan

(14)

Apakah Aparat Kelurahan Menerima Dana Yang Diberikan

Oleh Masyarakat Jika Mengurus Suatu Hal……… 113 Tabel 5.29 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Mengurus Surat-Surat

Keterangan Dan Sebagainya………. 114 Tabel 5.30 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang

Bagaimana Tanggapan Kelurahan Jika Ada Keluhan Dari

Masyarakat……… 114

Tabel 5.31 Distribusi Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan Tentang Apakah Ada Pelatihan Yang Diberikan Kepada Pegawai Kelurahan Dalam Melaksanakan Tugasnya Untuk Melayani

(15)

Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn ……….. 15

(16)
(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000 : 20). Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (Rogers,1983 : 25). Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (Todaro, 2000 : 20).

(18)

perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.

(19)

Alasan kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.

Gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori Redistribution With Growth yang dikembangkan oleh Chenery (1974), Human Development oleh Justin Pikunas (1976), dan People centre Development oleh David C. Korten (1986).

Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era Delivered Development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan

(20)

Namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu. Menurut Soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. Defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.

(21)

maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah. Kemudian menurut Soetrisno (1995: 55) yang menjadi permasalahan dari segi sosial politik dalam pelaksanaan pembangunannya pada negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah munculnya suatu gejala dimana pemerintah menempatkan pembangunan bukan lagi sebagai pekerjaan rutin suatu pemerintah, melainkan telah diangkat kedudukannya sebagai suatu ideologi baru dalam negara. Perubahan ini mempunyai segi positif dan negatif. Aspek positifnya adalah dengan dijadikannya pembangunan sebagai suatu ideologi dalam suatu negara, maka pembangunan akan menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh pemerintahan dan pelestariannya harus dijaga oleh semua warga negara. Dengan kata lain, pembangunan harus dihayati oleh semua warga negara, seperti kita menghayati ideologi negara. Akan tetapi karena pembangunan telah menjadi sebuah ideologi, maka pembangunan itu telah menjadi sesuatu yang suci sehingga tidak bebas untuk dikritik, lebih-lebih untuk dikaji ulang guna mencari alternatifya.

(22)

langsung dalam tindakan program yaitu, Pertama, agar bantuan efektif karena sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kebutuhan sendiri. Kedua, meningkatkan keberdayaan mereka dengan pengalaman dalam melakukan

perencanaan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. (Kartasasmita, 1996 : 54).

Begitu juga setelah desentralisasi menjadi sebuah keputusan pemerintah, yang artinya peluang potensi daerah membuat semakin besarnya kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Otonomi daerah harus dipandang sebagai peluang untuk keberdayaan masyarakat. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan momentum ini sebagai peluang untuk dapat memperkuat jaringan dan dapat mengintegrasikan seluruh jaringan dan kelompok sosial yang ada dalam masyarakat ke dalam sebuah wujud kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana menurut pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 Kabupaten/Kota pada disebutkan bahwa lingkup kewenangan Pemerintah Daeraeh terdiri atas:

a. Perencanaan dan Pengendalian Pemerintahan dan Pembangunan b. Penyelenggaraan Ketertiban Umum

(23)

e. Pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah f. Pengendalian Lingkungan Hidup

g. Pelayanan Lingkungan dan Tata Ruang h. Pelayanan Pertahanan dan Catatan Sipil i. Pelayanan Dalam Penanaman Modal j. Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya k. Pengembangan dan Pelestarian Budaya

l. Hubungan Harmonis Antara Pemerintah : Induk, Tetangga, Propinsi dan Pusat

Kecenderungan untuk menerapkan prinsip desentralisasi membuat daerah-daerah lebih memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dalam pembangunan daerah. Fokus perhatian pemerintah (eksekutif) pun mulai memberikan peluang yang sangat besar untuk munculnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Secara eksplisit ditegaskan bahwa penerapan otonomi daerah secara mendasar adalah mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat. Dalam kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang krusial dan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.

(24)

1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan.

2. Menjamin tercipatanya integrasi, sinkroniasasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.

3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan

4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat

5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional adalah dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Artinya adalah bahwa sistem perencanaan pembangunan menekankan pendekatan partisipatif masyarakat atau yang biasa disebut perencanaan partisipatif.

(25)

Sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki dokumen rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan. Namun prioritas utama adalah menyiapkan dokumen pembangunan jangka menengah yang mengadopsi visi, misi kepala daerah terpilih melalui serangkaian proses, sebagai panduan dalam menyelenggarkan pembangunan selama 5 tahun masa periode kepala daerah terpilih.

Pemerintah Kota Medan, telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk tahun 2006 hinnga 2010. Adapun mekanisme pembuatan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ini diatur melalui SE Mendagri 050/2020/Sj tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RPJP daerah dan RPJM daerah. Dalam peraturan tersebut, sebagaimana juga yang diatur oleh UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah tersebut haruslah melibatkan partisipasi masyarakat. Mengacu pada masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan mengajukan judul tesis sebagai berikut: “PERENCANAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF” (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan

(26)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang diatas, maka perlu kiranya untuk mencari tahu bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di Kota Medan, khususnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Medan.

Sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun 2006-2010”.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana mekanisme penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun 2006-2010.

2. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun 2006-2010.

1.4. Manfaat Penelitian

(27)

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kota Medan, sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah demi meningkatkan peran serta masyarakat sebagi objek dan subjek pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan

Todaro (2000: 18) menyatakan bahwa pembangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak dalam hal ini artinya membahas komponen-komponen ekonomi maupun non ekonomi. Todaro (2000 : 20) mendefenisikan pembangunan merupakan suatu proses multidemensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan. Menurut Todaro (2000 : 21) dari defenisi diatas memberikan beberapa implikasi bahwa :

1. Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk peningkatan income, tetapi juga pemerataan.

2. pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan seperti peningkatan:

(29)

b. Self-Esteem : Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki harga diri, bernilai dan tidak diisap orang lain.

c. Freedom From Servitude : Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.

Konsep dasar di atas telah melahirkan beberapa arti pembangunan yang sekarang ini menjadi populer yaitu :

1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan income atau produktifitas.

2. Equity, hal ini menyangkut aspek pengurangan kesenjangan antara berbagai lapisan masyarakat dan daerah.

3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi aktif dalam memperjuangkan nasibnya dan sesamanya.

4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk menjaga kelestarian pembangunan. (Todaro, 2000 : 24).

(30)

Soekanto (1984 : 45) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai 3 sifat penting, proses terjadinya perubahan secar terus menerus, adanya usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita masyarakat dan kenaikan pendapatan masyarakat yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Demikian pula dengan Todaro (2000:20) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi atau negara yang sedang berkembang.

Bryant dan White (1982 : 15) menegaskan bahwa pembangunan mengandung implikasi yaitu, Pertama, pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok. Kedua, pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan pemerataan sistem nilai dan kesejahteraan. Ketiga, pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesepakatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan. Keempat ,pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri. Kelima, pembangunan berati mengurangi ketergantungan negara yang satu terhadap negara yang lain dengan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati.

(31)

maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan–kesempatan bagi waranya utnuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.

Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Sanit (dalam Suryono 2001 : 32) menjelaskan bahwa pembangunan dimulai dari pelibatan partisipasi masyarakat. Ada beberapa keuntungan ketika partisipasi masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan yaitu, pertama, pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Artinya bahwa jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunana maka akan tericipta kontrol terhadap pembangunan tersebut. Kedua, pembangunan yang berorientasi pada masyarakat akan menciptakan stabilitas politik. Oleh karena masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan sehingga masyarakat bisa menjadi kontrol terhadap pembangunan yang sedang terjadi.

2.2. Perencanaan Pembangunan

Pengertian perencanaan secara sederhana adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk masa mendatang yang lebih baik dengan memperhatikan keadaan sekarang maupun keadaan sebelumnya.

(32)

memperkenalkan pengertian mereka sendiri. Lebih dari itu, diantara pakar pun belum ada kesepakatan tentang istilah perencanaan. Conyers dan Hills dalam Arsyad (2002 : 19) mendefenisikan perencanaan sebagai suatu proses yang bersinambung yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Berdasarkan defenisi tersebut, Arsyad (2002 : 19-20) berpendapat ada empat elemen dasar perencanaan, yaitu :

1. Merencanakan berarti memilih.

2. Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya. 3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan. 4. Perencanaan berorientasi ke masa depan.

Sementara itu, menurut Widjojo Nitisastro dalam Arsyad (2002 : 21) perencanaan berkisar pada dua hal: pertama adalah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalm jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Yang kedua adalah pilihan-pilihan diantara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Friedman dalam Robinson (2005 : 4) mendefenisikan perencanaan sebagai berikut, “planning is primarily a way of thinking about social and economic problem, planning is oriented predominantly toward the future, is deeply

concerned with the relation of goals to collective decisions and strives for

(33)

Menurut Friedman perencanaan adalah cara berpikir mengatasi permasalahan sosial ekonomi, untuk menghasilkan sesuatu di masa depan. Sasaran yang dituju adalah keinginan kolektif dan mengusahakan keterpaduan dalam kebijakan dan program. Friedman melihat perencanaan memerlukan pemikiran yang mendalam dan melibatkan banyak pihak sehingga hasil yang diperoleh dan cara memperoleh hasil itu dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini berarti perencanaan sosial dan ekonomi (kedua hal tersebut termasuk dalam tujuan pembangunan) harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Perencanaan pembangunan merupakan perencanaan yang bertujuan untuk memperbaiki penggunaan berbagai sumber daya publik yang tersedia dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumber-sumber daya swasta secara bertanggung jawab demi kepentingan pembangunan masyarakat secara menyeluruh (Kuncoro, 2004 : 15).

Berdasarkan asas dan tujuan pembangunan maka diperlukan suatu proses perencanaan yang mampu mengakomodasikannya. Pengertian proses perencanaan pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara rasional yang menghasilkan suatu atau beberapa kebijakan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan yang akan dilakukan.

(34)

daya swasta secara bertanggung jawab demi kepentingan pembangunan masyarakat secara menyeluruh (Kuncoro, 2004 : 16).

Berdasarkan asas dan tujuan pembangunan maka diperlukan suatu proses perencanaan yang mampu mengakomodasikannya. Pengertian proses perencanaan pembangunan secara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara rasional yang menghasilkan suatu atau beberapa kebijakan yang dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan yang akan dilakukan.

Perencanaan pembangunan pada masa Orde Baru didasarkan kepada pergulatan pemikiran mengenai ekonomi-politik pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” pada saat itu. Hal ini pula yang melahirkan konsep sentralistik dalam segala bidang perencanaan pembangunan di Indonesia (Mas’oed, 1994 : 50).

Adapun pada masa reformasi, dalam proses perencanaan di Indonesia dilakukan dengan pendekatan secara Top Down dan Bottom Up. Pengertian Top Down dalam hal ini yaitu perencanaan memperhatikan kebijakan Pemerintah

Pusat yang dapat dipedomani dalam proses perencanaan. Sedangkan Bottom Up dalam hal ini yaitu, perencanaan memperhatikan aspirasi dari masyarakat dalam proses perencanaan.

2.3. Pentingnya Perencanaan dalam Pembangunan

(35)

mengatakan pembangunan meliputi perubahan-perubahan sosial yang besar. Hal tersebut seringkali mengakibatkan adanya frustrasi, alienasi, kegoncangan dalam identitas dan lain-lain.

Di samping itu kemerdekaan sesuatu bangsa seringkali meningkatkan perasaan persamaan sebagai warga masyarakat dan bangsa. Semua hal tersebut menjadi beban yang berat bagi elit pemerintah untuk memimpin, mengarahkan dan membina kegiatan-kegiatan yang mendorong proses pembangunan. Dengan demikian perencanaan pembangunan itu menjadi penting.

Riant Nugroho (2003 : 67-68) mengatakan pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal, memakan waktu panjang, melibatkan seluruh warganegara dan dunia internasional, dan menyerap hampir seluruh sumber daya negara bangsa. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan di-management. Kata Nugroho, perencanaan pembangunan menjadi kunci karena sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang maha rumit. Seperti diketahui, istilah “pembangunan” adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas, termasuk ekonomi, politik, kebudayaan, dan sebagainya) yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang.

(36)

optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.

T. Hani Handoko (1984 : 75), mengatakan ada dua alasan dasar perlunya perencanaan.

1. Perencanaan dilakukan untuk mencapai “protective benefits” yang dihasilkan dari pengurangan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan,

2. Perencanaan dilakukan untuk mencapai “positive benefits” dalam bentuk meningkatnya sukses pencapaian tujuan organisasi.

2.4. Persyaratan Pembuatan Perencanaan yang Baik

Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang perencanaan yang baik dengan menyebutkan ciri-ciri, syarat-syarat, dan sebagainya. Sondang.P. Siagian (1980 : 111) menyebutkan ciri-ciri rencana yang baik sebagai berikut :

1. Rencana harus mempermudah tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang sungguh-sungguh memahami tujuan organisasi.

3. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mendalami teknik-teknik perencanaan.

4. Rencana harus disertai oleh suatu perincian yang teliti.

(37)

7. Rencana harus luwes.

8. Di dalam rencana terdapat tempat pengambilan resiko. 9. Rencana harus bersifat praktis (pragmatis).

10. Rencana harus merupakan forecasting.

Kunarto (1993 : 15), mengatakan perencanaan yang baik mempunyai beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Didasari dengan tujuan pembangunan. 2. Konsisten dan realistis.

3. Pengawasan yang kontinu.

4. Mencakup aspek fisik dan pembiayaan.

5. Memahami berbagai ciri hubungan antar variabel ekonomi. 6. Mempunyai koordinasi yang baik.

Sehubungan dengan perencanaan yang baik tersebut, Kartasasmita (1997:49), mengatakan perencanaan pembangunan pada umumnya harus memiliki, mengetahui dan memperhitungkan beberapa unsur pokok, yaitu :

1. Tujuan akhir yang dikehendaki.

2. Sasaran-sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya (yang mencerminkan pemilihan dari berbagai alternatif).

3. Jangka waktu mencapai sasaran-sasaran tersebut. 4. Masalah-masalah yang dihadapi.

5. Modal atau sumber daya yang akan digunakan, serta pengalokasiannya. 6. Kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk melaksanakannya.

(38)

8. Mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pengawasan.

Melihat persyaratan perencanaan yang baik yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka tidak mungkin pembuatan perencanaan pembangunan dapat melibatkan semua pihak atau semua anggota masyarakat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat secara menyeluruh dalam pembuatan perencanaan tidak diperlukan.

2.5. Proses Penyusunan Perencanaan Pembangunan

Proses penyusunan perencanaan pembangunan dikelompokkan ke dalam dua sistem yaitu perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) dan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning). Kedua bentuk perencanaan itu, disebut oleh Kunarto (1993 : 13) perencanaan dilihat dari arus informasi. Menurut Kunarjo Perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) diartikan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau sasaran-sasarannya ditetapkan dari tingkat nasional dalam tingkat makro, kemudian diterjemahkan ke dalam perencanaan yang lebih mikro atau perencanaan tingkat daerah. Sedangkan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning) diartikan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah/departemen atau perencanaan dalam tingkat mikro/proyek. Berdasarkan apa yang dikemukakan Kunarjo, dapat disimpulkan bahwa top down planning bersifat makro dan bottom up planning bersifat mikro.

(39)

Menurut Ginandjar, perencanaan dari atas ke bawah merupakan pendekatan perencanaan yang menerapkan cara penjabaran rencana induk ke dalam rencana rinci. Rencana rinci yang berada di bawah adalah penjabaran rencana induk yang berada di atas. Sedangkan perencanaan dari bawah ke atas dianggap sebagai pendekatan perencanaan yang seharusnya diikuti karena dipandang lebih didasarkan pada kebutuhan nyata. Pandangan ini timbul karena perencanaan dari bawah ke atas ini dimulai prosesnya dengan mengenali kebutuhan ditingkat masyarakat yang secara langsung terkait dengan pelaksanaan dan mendapat dampak dari kegiatan pembangunan yang direncanakan. Anggapan bahwa mereka yang memperoleh pengaruh atau dampak langsung pembangunan seyogyanya terlibat langsung sejak tahap perencanaan, menjadi dasar pembenaran pendekatan perencanaan dari bawah ke atas ini. Ginandjar mencontohkan perencanaan sektoral sebagai perencanaan dari atas ke bawah, (bersifat makro), dan perencanaan rinci merupakan contoh dari perencanaan dari bawah ke atas (bersifat mikro).

(40)

Khususnya mengenai bottom up planning sering dimaksudkan perencanaan yang dibuat oleh masyarakat secara langsung.

2.6. Perencanaan Pembangunan Menurut UU No. 25 Tahun 2004

Didalam UU No. 25 Tahun 2004 ada beberapa ruang lingkup perencanaan pembangunan baik secara nasional maupun daerah, yaitu :

a. rencana pembangunan jangka panjang; b. rencana pembangunan jangka menengah; dan c. rencana pembangunan tahunan.

Secara nasional, RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pernerintahan Negara Indonesia yang tercanturn dalarn Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pernbangunan Nasional. Sedangkan RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional.

(41)

RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pernbangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif, serta RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

2.7. Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah Menurut Peraturan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050 / 2020 / SJ Tahun 2005

(42)

menjadi batas kewenangan daerah dengan mempertimbangkan kemampuan/kapasitas keuangan daerah.

Dalam upaya mendapatkan RPJM Daerah yang dapat mengantisipasi kebutuhan pembangunan daerah dalam jangka waktu lima tahunan, maka penyusunannya perlu dilakukan secara komprehensif dan lintas pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan. Untuk itu dilaksanakan tahapan penyusunan RPJM Daerah sebagai berikut:

1. Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah. Kegiatan ini dibutuhkan guna mendapatkan gambaran awal dari jabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah terpilih.

2. Penyiapan rancangan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (rancangan Renstra-SKPD), yang dilakukan oleh seluruh SKPD. Penyusunan rancangan Renstra-SKPD bertujuan untuk merumuskan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD, agar selaras dengan program prioritas Kepala Daerah terpilih.

3. Penyusunan rancangan RPJM Daerah. Tahap ini merupakan upaya mengintegrasikan rancangan awal RPJM Daerah dengan rancangan Renstra-SKPD, yang menghasilkan rancangan RPJM Daerah.

(43)

dan komitmen dari seluruh pemangku-kepentingan pembangunan atas rancangan RPJM Daerah.

5. Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah, dimana seluruh masukan dan komitmen hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan RPJM Daerah, menjadi rancangan akhir RPJM Daerah. Rancangan akhir RPJM Daerah disampaikan oleh Kepala Bappeda kepada Kepala Daerah terpilih.

(44)

Diagram : Tata Cara Penyusunan RPJM Daerah

- Visi, Misi, Program KDH

- Program, indikasi kegiatan, dan

Gambar 2.1 Diagram Tata Cara Penyusunan RPJMD Sumber : Data diolah

2.8. Pengertian Partisipasi.

(45)

dari program tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi program, suatu proses aktif , dimana rakyat dari suatu komuniti mengambil inisiatif dan menyatakan dengan tegas otonomi mereka”.

Menurut FAO seperti yang dikutip Mikkelsen (1999 : 64), berbagai penafsiran yang berbeda dan sangat beragam mengenai arti kata tentang partisipasi yaitu :

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.

3. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak sosial.

4. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.

5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

(46)

1. Gordon Allport, menyatakan bahwa Partisipasi keterlibatan ego atau diri sendiri/pribadi/personalitas (kejiwaan) lebih dari pada hanya jasmaniah/fisik saja.

2. Keith Davis, menyatakan Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional yang mendorong untuk memberi sumbangan kepada tujuan / cita-cita kelompok dan turut bertanggung jawab terhadapnya.

3. Achmadi, menyatakan Partisipasi dalam bentuk swadaya gotong-royong merupakan modal utama. “Swadaya adalah kemampuan dari suatu kelompok masyarakat yang dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar pemenuhan kebutuhan.

4. Santoso S. Hamidjoyo, menyatakan Partisipasi berarti turut memikul beban pembangunan, menerima kembali hasil pembangunan dan bertanggung jawab terhadapnya, dan terwujudnya kreativitas dan oto-aktivitas.

5. Alastraire White, menyatakan Partisipasi adalah keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan.

6. Santoso Sastropoetro, menyatakan Partisipasi adalah keterlibatan spontan dalam kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok unutk mencapai tujuan bersama.

(47)

Kemudian, menurut Oakley (1991 : 1-10) mengartikan partisipasi kedalam tiga bentuk, yaitu :

1. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat desa menetapkan sebelumnya program dan proyek pembangunan. 2. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang

panjang diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrumen yang fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk organisasional sebagai sarana bagi partisipasi, seperti organisasi-organisasi yang biasa dibentuk atau organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari adanya proses partisipasi. Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa dimensi, yaitu :

a. Sumbangan pikiran (ide atau gagasan). b. Sumbangan materi (dana, barang, alat).

c. Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja). d. Memanfaatkan/melaksanakan pelayanan pembangunan.

(48)

keterampilan dan kemampuan masyarakat desa untuk memutuskan dan ikut terlibat dalam pembangunan.

Moeljarto (1986 : 136), mengartikan partisipasi sebagai pernyataan mental secara emosional seseorang dalam suatu situasi kelompok yang mendorong mereka menyumbangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi tersebut.

Kemudian seperti yang dikutip Ndraha (1987 : 102), Nelson (Bryant dan White) menyebut dua macam partisipasi, yaitu : “partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakannya partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan , atau antar klien dengan patron atau antar masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal”.

Secara umum ada 2 (dua) jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat, menurut Soetrisno (1995 : 221-222),yaitu :

1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam defenisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan.

(49)

rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan di bangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dapat digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.

Definisi mana yang dipakai akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengembangkan dan memasyarakatkan sistem pembangunan wilayah yang partisipatif. Dalam sosiologi defenisi pertama merupakan suatu bentuk lain dari mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Terkait dengan hal tersebut, maka partisipasi masyarakat menjadi elemen yang penting dalam pengembangan masyarakat. Menurut Adi (2001 : 208). Partisipasi masyarakat atau keterlibatan warga dalam pembangunan dapat dilihat dalam 4 (empat) tahap, yaitu :

1. Tahap Assesment.

Dilakukan dengan mengidentifikasi masalah dan sumber daya yang dimiliki. Untuk ini masyarakat dilibatkan secara aktif merasakan permasalahan yang sedang terjadi merupakan pandangan mereka sendiri.

2. Tahap alternatif program atau kegiatan.

Dilakukan dengan melibatkan warga untuk berfikir tentang masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya dengan memikirkan beberapa alternatif program.

(50)

Dilakukan dengan melaksanakan program yang sudah direncanakan dengan baik agar tidak melenceng dalam pelaksanaannya dilapangan.

4. Tahap Evaluasi (termasuk evaluasi input, proses dan hasil).

Dilakukan dengan adanya pengawasan dari masyarakat dan petugas terhadap program yang sedang berjalan.

2.9. Bentuk dan Jenis Partisipasi Masyarakat.

Menurut Davis, seperti yang dikutip oleh Sastropoetro (1988 : 16), mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat sebagai berikut, yaitu :

a. Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa. b. Sumbangan spontan berupa uang dan barang.

c. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu / instansi yang berada diluar lingkungan tertentu (dermawan, pihak ketiga).

d. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari, dan dibiayai seluruhnya oleh komuniti (biasanya diputuskan oleh rapat komuniti, antara lain, rapat desa yang menentukan anggarannya).

e. Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.

f. Aksi massa.

(51)

Kemudian Davis juga mengemukakan jenis-jenis partisipasi masyarakat seperti yang dikutip oleh Sastropoetro (1988 : 16), yaitu sebagai berikut :

a. Pikiran (psychological participation). b. Tenaga (physical participation).

c. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation) d. Keahlian (participation with skill).

e. Barang (material participation). f. Uang (money participation).

Selanjutnya, Sherry R. Arnstein dalam Suryono (2001 : 127) memberikan model delapan anak tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on ladder of Citizen Participation). Hal ini bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana

tingkat partisipasi masyarakat di sebuah negara.

Tabel 2.1.

Model Delapan Anak Tangga Partisipasi Masyarakat (Model Arsntein)

Tangga

Ke

Bentuk Partisipasi Kategori

VIII Pengawasan masyarakat

VII Pendelegasian Kekuasaan dan Kewenangan

VI Kemitraan/Kesetaraan

Tingkat kekuatan masyarakat

(Degrees of Citizen Power)

V Peredaman/Kompromi

IV Berkonsultasi

III Menginformasikan

Tingkatan Semu

II Pengobatan untuk penyembuhan

I Manipulasi

(52)

Dari model delapan anak tangga Arsntein maka akan sangat membantu untuk menganalisis perkembangan ataupun tingkat partisipasi masyarakat di suatu negara ataupun di suatu daerah.

2.10. Pentingnya Partisipasi Dalam Pembangunan.

Oakley (1991 : 14),berpendapat bahwa “Partisipasi merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada perwujudan kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud, karena masyarakatlah yang lebih tahu akan kebutuhannya dan cara mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi dalam masyarakat”.

Menurut Moeljarto (1987 : 48-49), partisipasi menjadi amat penting, terdapat beberapa alasan pembenar bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, karena :

1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.

2. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.

(53)

4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.

5. Partisipasi memperluas zona (wawasan) penerima proyek pembangunan. 6. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh

masyarakat.

7. Partisipasi menopang pembangunan.

8. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia.

9. Partisipasi merupakan cara yang efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah.

10. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.

Partisipasi masyarakat menjadi penting dalam setiap perencanaan, program dan kegiatan sosial (Adi dan Laksmono, 1990 : 174) karena :

1. Merupakan suatu sarana untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat. Tanpa informasi ini, maka program tidak akan berhasil.

(54)

khususnya dalam program yang bertujuan untuk merubah masyarakat dalam cara berfikir, merasa dan bertindak.

3. Banyak negara-negara yang menganggap bahwa partisipasi masyarakat merupakan “hak demokrasi yang bersifat dasar”, dimana masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembangunan dimaksudkan untuk memberi keuntungan pada manusia.

Menurut Supriatna (2000 : 212) tanpa partisipasi pembangunan justru akan mengganggu manusia dalam upayanya untuk memperoleh martabat dan kemerdekaannya. Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Kartasasmita (1997 : 145), diperlukan peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.

Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Conyers (1991 : 154), menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan yaitu :

a. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

(55)

tersebut. Kepercayaan semacam ini adalah penting khususnya bila mempunyai tujuan agar dapat diterima oleh masyarakat.

c. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat dirasakan mereka pun mempunyai untuk turut ‘urun rembug’ (memberikan saran) dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka.

Menurut Dr. Lastaire White dalam tulisannya “Introduction To Community Participation”, yang dikutip oleh Sastropoetro (1988 : 33) mengemukakan 10

(sepuluh) alasan tentang pentingnya partisipasi dalam setiap kegiatan, yaitu sebagai berikut :

1. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dicapai

2. Dengan partisipasi pelayanan atau service dapat diberikan dengan biaya yang murah.

3. Partisipasi memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena menyangkut kepada harga dirinya.

4. Partisipasi merupakan katalisator untuk pembangunan selanjutnya 5. Partisipasi mendorong timbulnya rasa tanggung jawab.

6. Partisipasi menjamin, bahwa suatu kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat telah dilibatkan.

7. Partisipasi menjamin, bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar. 8. Partisipasi menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan yang

(56)

9. Partisipasi membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain.

10. Partisipasi lebih menyadarkan manusia terhadap penyebab kemiskinan, sehingga menimbulkan kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya.

Menurut Tjokromidjoyo (1976 : 222-224), ada empat aspek penting dalam rangka partisipasi pembangunan, yaitu :

1. Terlibatnya dan ikut sertanya rakyat tersebut sesuai dengan mekanisme proses politik dalam suatu negara, turut menentukan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah.

2. Meningkatnya artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan terutama cara-cara dalam merencanakan tujuan itu yang sebaiknya.

3. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik.

4. Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam pembangunan yang berencana.

(57)

Hal ini terlihat dalam istilah “bottom up planning” (perencanaan dari bawah), keterlibatan pada “grassroots” (sampai pada masyarakat yang paling bawah), “Demokratic Planning” (perencanaan demokratis) dan “Participatory Planning”. Dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat, perlu diketahui

tujuan dari partisipasi tersebut, menurut Glass (1972 : 182), ada 5 (lima) tujuan umum partisipasi masyarakat, yaitu :

1. Pertukaran informasi, hal ini terutama bertujuan untuk memungkinkan adanya kebersamaan antara pengambil keputusan dan rakyat untuk memungkinkan rakyat biasa yang secara bersama mengembangkan ide-ide dan keinginan.

2. Pendidikan, ini berhubungan penyebaran informasi secara terinci dari suatu rencana sehingga memungkinkan masyarakat mengerti akan rencana tersebut. 3. Bangunan dukungan (support building) ini terutama melibatkan kegiatan

yang bersifat menciptakan suasana yang baik sehingga memungkinkan tidak terjadi benturan diantara kelompok-kelompok masyarakat, dan antara kelompok masyarakat dan pemerintah.

4. Proses pembuatan keputusan yang terbuka, ini terutama bertujuan untuk memungkinkan masyarakat biasa memberikan ide-ide baru atau pilihan ide dalam proses perencanaan.

(58)

2.11. Otonomi Derah dan Partisipasi Publik

Otonomi Daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 didefenisikan sebagai berikut; Otonomi Daerah ialah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah Otonom menurut UU No. 32 tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk memahami lebih jauh, dalam UU No. 32 tahun 2004 juga mendefenisikan tentang Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Otonomi Daerah kewenangan daerah dalam menentukan arah pembangunan di berikan kebebasan yang cukup luas sehingga dimana prinsip Dekonsentrasi yang mengatur pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, menjadi kian berarti. Dalam UU ini mendefenisikan juga tentang Pemerintah Daerah yaitu sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi.

Kewenangan Daerah Otonom, khususnya untuk Kabupaten/Kota dalam Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 dirinci sebagai berikut:

(59)

b. Penyelenggaraan Ketertiban Umum c. Penanggulangan Masalah Sosial d. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan

e. Fasilitas Pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah f. Pengendalian Lingkungan Hidup

g. Pelayanan Lingkungan dan Tata Ruang h. Pelayanan Pertahanan dan Catatan Sipil i. Pelayanan Dalam Penanaman Modal j. Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya k. Pengembangan dan Pelestarian Budaya

l. Hubungan Harmonis Antara Pemerintah: Induk, Tetangga, Propinsi dan Pusat

Sejak memasuki era reformasi pola-pola penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, politik dan sosial masyarakat harus ditingkatkan dan diarahkan sejalan dengan tuntuatan masyarakat yang menjamain kepentingan yang prima kepada masyarakat tanpa diskriminasi, memperkenalkan kontrol masyarakat, kepastian hukum, ketertiban, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan akuntabilitas.

(60)

masyarakat dalam melaknakan fungsinya masing-masing mengenai urusan-urusan negara pada setiap tingkatan.

Untuk dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik itu salah satu yang harus diperhatikan adalah prinsip akuntabilitas yang didefenisikan disini sebagai kewajiban-kewajiban dan individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban piskal, manajerial dan program. Sedangkan akuntabilitas pemerintahan daerah didefenisikan sebagai kewajiban-kewajiban dari pemerintah daerah baik Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipercayakan merencanakan kebijakan pembangunan daerah dan pelaksanannya, melaksanakan kebijaksanaan nasional di daerah, untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertangggungjawabannya.

Sedangkan pemberdayaan masyarakat dimaksudkan di sini sebagai upaya menjadikan masyarakat seperti lembaga politik, lembaga ekonomi, lembaga keagamaan, lembaga adat, lembaga hukum dan lembaga swadaya masyarakat serta komunitas, keluarga dan individu-individu, memiliki kermandirian, kemampuan, kapasitas dan efektifitas untuk melaksanakan partisipasinya dalam menyelenggarakan otonami daerah.

(61)

1. Dilihat dari sejarah politik pembangunan nasional, dapat kita bagi ke dalam tiga polarisasi:

a. Berdasarkan konotasi etnis dan tingkat kemajuan yaitu Jawa dan Luar Jawa. Jawa yang berkonotasi padat penduduk dan majuu serta Luar Jawa yang berkonotasi kurang penduduk, kaya sumber daya alam dan terbelakang. Padahal tidak semua wilayah Jawa dan rakyatnya sudah maju. Oleh karena itu ada yang lebih suka menyebutkan dengan polarisasi kedua yaitu;

b. Berdasarkan sentralisasi pemerintah yaitu Jakarta yang berkonotasi menjadi pusat segala-galanya, dan Luar Jakarta yang menjadi wilayah pinggiran. Ada juga yang menyebutnya dengan “Indonesia Bagian Barat” dan “Indonesia Bagian Timur”. Tetapi bagi sementara kalangan tak suka memakai istilah Indonesia bagian Timur karena berkonotasi salah satu negara bagian daripada Republik Indonesia Serikat dahulu. Oleh karena itu ada yang lebih suka menggunakan polarisasi ketiga,

(62)

Dalam konteks pemahaman politik pembangunan yang demikian itulah maka kondisi masyarakat luar Jakarta termasuk di daerah-daerah kawasan timur indonesia, berada dalam ketidakberdayaan sebagai berikut:

a. Dari aspek politik daerah berada dalam ketidakberdayaan berpartisipasi. Padahal rakyat yang berdaulat.

b. Dari aspek ekonomi, masyarakat daerah berada dalam ketidakberdayaan mengembangkan kemampuan ekonominya apalagi berkompetisi dalam menghadapi sumber mata pencaharian yang menjanjikan masa depan yang lebih sehat. Padahal pembangunan ekonomi kerakyatan berdasarkan persaingan yang sehat dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan menjadi fungsi daripada sektor swasta dalam membangun bangsa.

c. Dari aspek sosial masyarakat berada dalam ketidakberdayaan dalam berpola hidup bersih dan sehat dalam mengejar harapan hidup yang lebih baik, kekurangan tenaga-tenaga ahli dan terampil serta terutama kemampuan menyeleksi dan mewaspadai ancaman integrasi bangsa yang berkonotasi suku dan agama. Padahal harapan hidup yang baik, tersedianya tenaga terdidik dan terampil serta nasionalisme menjadi kebutuhan bangsa.

(63)

e. Dari aspek keagamaan, masyarakat daerah mengalami ketidakberdayaan dari ancaman tindak kekerasan dan ketidaktertiban. Padahal tertib hukum dan ketertiban umum menjadi paradigma demokrasi.

Oleh karena itu masalah utama pembangunan daerah adalah belum berdayanya masyarakat.

2. Dilihat dari segi institusi kepemerintahan ketidakberdayaan itu mencakup: masyarakat, dunia usaha dan pemerintahan (daerah):

a. Ketidakberdayaan masyarakat daerah (partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa dan tokoh masyarakat) adalah belum mampu mandiri dan memangkuskan partisipasinya dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Juga termasuk ketidakberdayaan kaum perempuan terutama dalam jabatan-jabatan politik dan pemerintahan.

b. Ketidakberdayaan sektor swasta lebih kepada lemahnya daya saing pengusaha daerah dibandingkan dengan pengusaha PMA. Pengusaha besar mendapatkan peluang bisnisnya akibat berkolusi dengan birokrasi yang memiliki kewenangan yang luas tanpa kontrol. Di lain pihak pengusaha kecil tidak mendapatkan akses dalam meraih peluang bisnis yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.

(64)

dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksnaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Hal ini dipertegas pula dalam amanat GBHN 1999 yang mengaskan tentang pembangunan nasional yang terpusat dan tidak merata, kebijakan yang terpusat, serta tindakan ketidakadilan pemerintah.

Untuk mengatasi ketidakadilan dan ketidak berdayaan masyarakat daerah tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijaksanaan perlunya pemberdayaan masyarakat seperti lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat. Sejalan dengan kebijakan tersebut pemerintah daerah mengeluarkan pula kebijakan yang sama, dengan menekankan perlunya pula pemberdayaan pemerintah lokal, dan aparatur pemerintah, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan pengusaha kecil, menengah dan koperasi, pemberdayaan Badan Usaha Milik Daerah, melalui pendidikan bermutu. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lokal, aparaturnya, sektor swastanya dan masyarakatnya mampu berpartisipasi dalam membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasinya.

(65)

Untuk mengantisipasi minimnya pemberdayaan masyarakat terutama partisipasinya dalam pembangunan pemerintah melalui UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional meregulasikan perlunya penyusunan Rencana Pembanguanan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan yang melibatkan berbagai unsur dalam komunitas daerah.

Metode penyusunan RPJMD itu sendiri dimulai dari Prediksi kondisi umum daerah yang terdiri atas geomorfologi dan lingkungan, ekonomi dan Sumber Daya Alam, Demografi, Prasarana dan Sarana. Dari assesment tersebut ditentukan Rancangan Arah Pembangunan serta Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah.

(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode/jenis penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana mekanisme peyusunan RPJMD Kota Medan Tahun 2006-201 dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan RPJMD tersebut.

3.2. Defenisi Konsep

Defenisi Konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan, menentukan kebutuhan, menentukan tujuan dari prioritas, dalam rangka mengeksploitasikan sumber-sumber potensial dalam pembangunan. Dalam penelitian ini, partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan kontribusi, dukungan, komitmen, kerjasama dan keahlian dalam perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun 2006-2010. 2. Perencanaan Pembangunan adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk

Gambar

Tabel  5.27
Gambar 2.4Model Implementasi Kebijakan Sabatier dan Mazmanian… 20
Gambar 2.1 Diagram Tata Cara Penyusunan RPJMD Sumber : Data diolah
Tabel 2.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

untuk mengadakan laporan dengan judul sebagai berikut: “ REVIEW PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2012 – 2016”..b. Lokasi dan

Penulis memilih BAPPEDA Propinsi Sumatera Barat karena disanalah penulis mengetahui bagaimana sebenarnya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi

bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Barito Selatan merupakan arah Pembangunan yang ingin dicapai dalam kurun waktu masa bakti Bupati dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut dengan RPJM Desa adalah Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, selanjutnya disingkat RPJM Desa, adalah Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun, mencakup bidang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Perubahan (RPJMD-P) KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO 2013 - 2018.. BAB VI – STRATEGI, ARAH KEBIJAKAN DAN VI - 1

Jangka Menengah Kelurahan (RPJMKel). Kegiatan ini, merupakan kegiatan penyusunan dokumen untuk Rencana Pembangunan Kelurahan selama lima tahun yang disusun

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 4 TAHUN 2021 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2021-2026 DENGAN RAHMAT