• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Stres Dengan Psychological Well-Being Pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Stres Dengan Psychological Well-Being Pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DIAN MARDIAH

051301110

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Hubungan Antara Stres dan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit

Dian Mardiah dan Hasnida

ABSTRAK

Isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan memicu timbulnya stres yang dapat mengakibatkan dampak stres terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.

Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB).

Ryff (dalam Keyes, 1995) menyebutkan bahwa psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stresdengan psychological well-being.

Penelitian ini mengambil sampel isteri karyawan perkebunan kelapa sawit sejumlah 90 orang yang yang membantu suaminya bekerja di lapangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala stres dan skala psychological well-being yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan dimensi-dimensi

psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Keyes, 1995). Skala stres memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.864 dan nilai reliabilitas skala

psychological well-being (rxx)=0.920.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)= -0.845 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan stres dan psychological well-being.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Stres dengan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit”. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW serta orang-orang yang

istiqomah di jalan-Nya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis curahkan kepada ibunda tercinta (Syarifah Hanum Pasaribu, S.Pd) dan ayahanda tersayang (Hendra Siswanto) atas segala do’a dan dukungannya baik ruhiyah maupun material yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Kepada adik-adikku tersayang Denisa Fathanah, Dita Mardatillah dan Dani Ramadhani, penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan dukungannya yang tak pernah berhenti mengalir. Semoga kehadiran kita menjadi penyejuk hati kedua orangtua dan memberikan yang terbaik di setiap waktu.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

(4)

suksesnya penelitian ini. Penulis minta maaf sekiranya selama dalam proses penelitian ini pernah membuat ibu kesal. Semoga Allah selalu membalas setiap kebaikan ibu dengan pahala yang melimpah. Amin.

3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si, Psikolog selaku pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

5. Saudara-saudara seperjuangan. Ukhti fillah: Rena Kinnara, Faqih Zadeh, Zulvia Aztradiana, Retno Keumalasari, dan Juwita Afni, kalian adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Kakak-kakak tercinta Eka Dyah, Debi Fadilah, Ikhwanisifa, Sukmadiarti, Reni Tania, Hanifa Laura, Sukmaya, Citra Suastika, dan Kerry Desiana. Ikhwan fillah: Sahrun Joni, Nur Hadi, Yefri Yudianto, Paidi, Aslam, Ikhsan dan Hans, Jazakumullah khairan katsir atas segala pengertian, dukungan dan bantuannya. Semoga kita tetap istiqamah di jalanNya.

(5)

7. Para pembimbing ruhiyah sekaligus menjadi sahabat dan orangtua. Juga saudara-saudara dalam ikatan mahabbatullah. Semoga kita tetap istiqomah

dan bisa berkumpul bersama Rasulullah di Jannah-Nya yang suci.

8. Seluruh pengurus FORMASI Al-Qalb USU yang telah bersama-sama menuai kebaikan di jalan Allah swt demi umat Islam di Psikologi yang kita cintai. 9. Seluruh teman-teman angkatan 2005. Khususnya yang ambil klinis, Edra,

Tika, Yustian, Pristi, Ayu, juga buat Halimatus Sakdiyah (Emma) atas bantuan pengolahan datanya. Terima kasih atas segala perhatian dan semangatnya. 10.Akhi Diki Altrika, SH. Jazakallah khairan katsir atas bantuan kiriman DVD

SPSS nya. Sungguh, setiap hamba memiliki ketetapanNya masing-masing. 11.Seluruh pihak yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Medan, Juni 2009

(6)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Masalah ………...1

B. Rumusan Masalah………....11

C. Tujuan Penelitian ………11

D. Manfaat Penelitian ………..11

E. Sistematika Penulisan ……….12

BAB II LANDASAN TEORI ……….14

D. Hubungan antara Stres dan Psychological well-Being pada isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit ………...37

(7)

BAB III METODE PENELITIAN ……….41

A. Identifikasi Vaiabel Penelitian ………..41

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………..41

1. Stres ……….41

2. Psychological Well-being ………....43

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ………..46

1. Populasi dan Sampel ……….46

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ...59

A. Gambaran Subjek Penelitian ...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...78

A. Kesimpulan ...78

B. Saran ...80

1. Saran Metodologis ...80

2. Saran Praktis ...81

(8)

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Bobot nilai pernyataan skala stres ………48

Tabel 2 Blue Print skala stres sebelum uji coba ………49

Tabel 3 Bobot nilai pernyataan skala PWB ………..50

Tabel 4 Blue Print skala PWB sebelum uji coba ………..50

Tabel 5 Distribusi aitem skala stres setelah uji coba ………53

Tabel 6 Distribusi aitem skala stres untuk penelitian ………...53

Tabel 7 Distribusi aitem skala PWB setelah uji coba ………...54

Tabel 8 Distribusi aitem skala PWB untuk penelitian ………..55

Tabel 9 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ………59

Tabel 10 Gambaran subjek penelitian berdasarkan latar belakang Pendidikan ………. 60

Tabel 11 Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama kerja ………. 60

Tabel 12 Uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov ………. 61

Tabel 13 Uji linearitas dengan ANOVA ………62

Tabel 14 Korelasi antara stres dengan PWB………...63

Tabel 15 Hasil perhitungan analisa regresi ……….64

Tabel 16 Deskripsi variabel stres dan PWB ………...65

Tabel 17 Kriteria jenjang kategorisasi variabel stres dan PWB ……….66

Tabel 18 Matriks kategorisasi variabel stres dan PWB ………..67

Tabel 19 Hasil analisa regresi ketiga aspek variabel stres dengan variabel PWB ………..68

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambaran Subjek Penelitian Lampiran 2 Reliabilitas

Lampiran 3 Skala Penelitian Lampiran 4 Data Hasil Penelitian

(11)

Hubungan Antara Stres dan Psychological Well-Being pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit

Dian Mardiah dan Hasnida

ABSTRAK

Isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan memicu timbulnya stres yang dapat mengakibatkan dampak stres terhadap kesehatan fisik maupun psikologis.

Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB).

Ryff (dalam Keyes, 1995) menyebutkan bahwa psychological well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stresdengan psychological well-being.

Penelitian ini mengambil sampel isteri karyawan perkebunan kelapa sawit sejumlah 90 orang yang yang membantu suaminya bekerja di lapangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala stres dan skala psychological well-being yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan dimensi-dimensi

psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (dalam Keyes, 1995). Skala stres memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.864 dan nilai reliabilitas skala

psychological well-being (rxx)=0.920.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)= -0.845 dengan p<0.05 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan stres dan psychological well-being.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Anoraga (2001), mengatakan ada individu yang mencintai pekerjaannya, melakukannya setiap hari dan terdorong untuk melakukan lebih banyak lagi pekerjaan. Individu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang sulit dalam hidupnya, sehinga ia dapat dikatakan hidup untuk bekerja. Selain itu ada pula individu yang sekedar menerima pekerjaan sebagai tuntutan hidup dan merasakannya sebagai sesuatu yang berat, membosankan dan tidak memuaskan. Individu seperti ini bekerja dengan enggan, melakukan tugas-tugas yang tidak menarik atau kondisi kerja yang tidak manusiawi seperti beban kerja yang terlalu berat.

(13)

Motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Hasil kajian Papanek (dalam Sihite Romany, 1995) menyatakan bahwa peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi yang cukup signifikan.

Disisi lain, keterlibatan wanita dalam bidang pekerjaan tidak diperhitungkan. Besarnya upah yang diterima wanita lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja wanita hanya menerima sekitar 50% sampai 80% upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan (Hastuti, 2005).

Di perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kaum wanita sering dipaksa bekerja tanpa dibayar untuk membantu suami mereka memenuhi kuota produksi. Padahal mereka juga masih harus mengurusi anak, memasak, mengumpulkan kayu bakar, dan mengambil air, yang karena luasnya wilayah perkebunan, mereka terpaksa harus berjalan kaki lebih jauh untuk melakukan tugas-tugas mereka tersebut (Sinungan, 2000).

Berikut petikan wawancara personal dengan seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit bernama Supiah (bukan nama sebenarnya) yang berusia 48 tahun:

(14)

pake tangan yaa.. mana tahan toh, ini beratnya bisa sampe 30 kilo ato lebih. Ngutipin brondolan trus dimasukin dalam goni. Yang gak tahan lagi bawa angkongnya ke pinggir jalan. Wong mandor kebunnya bilang isteri harus bantu suaminya. Kalo gak, ya.. gak dapat borong, orang wawak gak dapat gaji.. ya itulah preminya bapak. Yaa.. cemanalah.. kasian bapak kalo gak dibantu.” (Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009)

Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan sarung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Tentu saja hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stres secara emosional, kognitif dan perilaku.

(15)

dengan peran majemuk yang disandang oleh isteri yang bekerja yaitu sebagai isteri, pekerja, dan ibu (Kessler & Harris dalam Strong & DeVault, 1989).

Isteri yang bekerja diluar rumah tentu saja berpengaruh terhadap pembagian kerja rumah tangga. Isteri yang bekerja menghadapi tanggung jawab pengasuhan anak dan urusan rumah tangga yang sama besarnya dengan isteri yang tidak bekerja diluar rumah. Kondisi ini menimbulkan beban yang berlebih pada kelompok isteri yang bekerja, yang kemudian akan berpengaruh negatif terhadap penyesuaian emosional dan Well-being (Pleck dalam Strong & DeVault, 1989). Disisi lain, wanita bekerja yang menjadi isteri hidup dalam pertentangan yang tajam antara perannya di dalam dan di luar rumah. Seperti yang dituturkan oleh Supiah (bukan nama sebenarnya):

“ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. ”

(Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009)

Banyak wanita yang bekerja melaporkan bahwa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Setibanya dirumah meraka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami yang dapat menjadi pemicu stress pada wanita (Selye, 1982).

(16)

berkepanjangan dapat menyebabkan timbulnya respon fisiologis, psikologis dan tingkah laku sebagai bentuk adaptasi dan penyesuaian diri terhadap kondisi yang mengancam yang disebut dengan stres (Witkil & Lanoil, 1986).

Witkil & Lanoil (1986), juga mengatakan para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres. Selanjutnya Anoraga (2001), mengatakan wanita yang bekerja hanya sekedar untuk mencari nafkah maka hal sekecil apapun dapat menjadi timbulnya pemicu konflik dan ketegangan yang berakibat munculnya stres.

(17)

tuntutan kehidupan. Stres dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut

Sebagian besar individu merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental ataupun perilaku yang tidak wajar. Adapun penyebab terjadinya stres di dalam diri seseorang disebabkan karena adanya stimulus yang membawa dan membangkitkannya yang disebut sebagai stressor. Bentuk dari stressor tersebut berupa situasi, kejadian atau objek yang dapat membawa pengaruh pada tubuh dan menyebabkan reaksi bagi diri seseorang (Selye, 1982).

Akibat –akibat stres dapat berupa psikologik dan somatik. Stres yang akut dapat menimbulkan penyakit depresi dan kecemasan. Sedangkan stres yang kronik dapat menimbulkan gangguan jiwa yang berat (Schizofrenia ). Pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah akan lebih banyak mengalami stres. Jika dibandingkan dengan pria, wanita lebih emosional Karenanya, lebih rentan terkena stres (Sarafino, 2006).

Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Supiah (bukan nama sebanarnya) yang berusia 48 tahun:

“ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. Ya.. cemanalah...badannya sakit-sakit semua. Orang kerja berat kayak gini badannya entah kayak apa. Capeklah.., jantungnya gak tahan, deg.. degan gitu. Pinggang ini rasanya udah kayak mau copot, ngangkat berat terus-terusan ya mana tahan. Apalagi pundak ma lutut udah entah kayak mana rasanya. Tapi... ya mau gimana lagi, memang harus dibantu, kalo gak ya.. gak dapat borong. ”

(18)

Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

(19)

mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Baum dalam Safarino, 2006).

Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995).

Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Ryff (dikutip oleh Wang, 2002) mendefinisikan Psychological Well-Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat (Schultz, 2002). Fungsi positif dari individu didasarkan pada pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully functioning dan individuasi (Ryff & singer, 1996).

(20)

dapat diartikan sebagai reaksi evaluatif seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Evaluasi ini menyangkut kenyamanan hidup ataupun reaksi emosional yang terus menerus. Keyes et al. (2000) menyatakan bahwa PWB mengacu pada persepsi dan evaluasi individual mengenai kualitas hidupnya.

Wanita dalam pandangan Ryff (dalam Keyes, 1995), tidak mencari penderitaan dan selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai reinterpretasi, Ryff justru melihat wanita sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya. Wanita seperti ini mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun.

Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Darni (bukan nama sebenarnya) yang berusia 50 tahun:

“Yaa... kemana ya, wong suami sendiri yah.. senenglah bantu suami. Walaupun kerjanya berat kayak gini, namanya juga laki sendiri yah.. mo gimana lagi senenglah. Kalo gak dibantu, yah kasian toh, dia sendiri nanti yang capek. Biar dapat borong juga dari premi. Wawak juga ada melihara kambing jadi bisa untuk nambah-nambah penghasilan. Kalo ngarapin dari gaji pokok aja ya gak cukup toh.”

(Komunikasi Personal, Aek Nabara, 5 Februari 2009)

(21)

peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis.

Menurut Ryff (1989) secara psikologis, manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain. Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal mungkin.

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

Yoon & Han (2004), yang meneliti tentang hubungan antara aktivitas yang produktif dengan PWB menemukan bahwa isteri yang bekerja dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga secara signifikan memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan berpengaruh pada PWB.

(22)

untuk melihat sejauh mana hubungan stresdengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(23)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada wanita pekerja khususnya isteri karyawan perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja agar mengetahui pentingnya PWB untuk mengurangi faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan stres, dampak stresbaik fisik, emosional maupun perilaku sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis.

Membuka wawasan masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat mengurangi tingkat stres.

Sebagai referensi bagi Praktisi Psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis yang ingin meneliti lebih jauh tentang stres dan PWB.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah :

BAB I: Pendahuluan

Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

(24)

BAB III: Metodelogi Penelitian

Berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian.

BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data

Berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.

BAB V: Kesimpulan dan Diskusi

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Definisi Stres

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.

Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap adanya tuntutan pada tubuh. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk menyesuaikan diri, dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu. Stres diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus bertahan.

(26)

menyebutkan stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1992). Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, dalam Santrock 2003).

(27)

Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye dalam Santrock, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu dalam meresponnya.

2. Penggolongan Stres

Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya yaitu:

a. Distress (stres negatif)

(28)

berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya. b. Eustress (stres positif)

Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.

3. Sumber-sumber Stres

Sarafino (1994) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stressors) yang dapat terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:

1. Sumber-sumber yang berasal dari individu

(29)

konflik. Konflik merupaka sumber stres yang paling utama. Di dalam konflik individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan mendekat.

2. Sumber-sumber berasal dari keluarga

Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak pada anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 1994). 3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan. Stres yang diperoleh melalui pekerjaan contohnya dikarenakan: lingkungan fisik kerja, kontrol yang rendah terhadap pekrjaan yang diemban, kurangnya hubungan interpesonal dengan sesama rekan kerja, promosi jabatan, kehilangan pekerjaan, pensiaun dan lainnya (Sarafino, 1994).

4. Respon Terhadap Stres

a. Aspek Biologis terhadap Stres

(30)

Respon Tubuh terhadap stres (General Adaption Syndrome /GAS) yang terdiri dari tiga tahap, yaitu:

1. Peningkatan alarm (alarm reaction), individu memasuki kondisi shock yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stresada di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan tekanan darah juga turun. Kemudian terjadi yang disebut dengan countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul ; korteks adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap alarm berlangsung singkat.

2. Perlawanan (resistance), dimana pertahanan terhadap stres menjadi semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh hormon stress, tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres tetap ada, maka akan masuk ke tahap selanjutnya.

3. Kelelahan (exhausted), dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat, orang yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan ini, dan kerentanan terhadap penyakitpun meningkat.

(31)

Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar mengetahui reaksi fisik manusia terhadap stres. Perlu juga mengetahui kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau penyebab stres muncul (Hobfoll dalam Santrock, 2003).

b. Aspek Psikologis Terhadap Stres

Sarafino (2006), menyebutkan 3 aspek psikologis terhadap stres yaitu: 1. Kognisi

Stresdapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Cohen dkk dalam Sarafino, 2006). Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan deficit kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stressor.

2. Emosi

(32)

3. Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006).

Sedangkan Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:

1. Aspek fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

2. Aspek kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

(33)

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

a. Faktor Lingkungan

Menurut Lazarus & Folkman (1984) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang

merupakan pennyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992). Situasi, kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis ini disebut stressor (Beryy, 1998) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan inddividu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.

Lazarus & Cohen (dalam Berry, 1998) mengklasifikasikan stressor kedalam tiga kategori, yaitu:

1. Cataclysmic events

Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam.

2. Personal stressors

Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisi keluarga.

3. Background stressors

(34)

b. Faktor-Faktor Psikologis

Ada beberapa jenis-jenis stressor psikologis (dirangkum dari Folkman, 1984; Coleman, dkk, 1984 serta Rice, 1992) yaitu:

1. Tekanan (pressure)

Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha ataumengubah sasarn tingkah laku. Tekana sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap imdividu. Tekanan pada beberapa kasusu tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive.

2. Frustasi

Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang didinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi.

3. Konflik

Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah :

(35)

Konflik mendekat/mendekat adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif.

2. Menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik, yang sebenarnya ingin dihindari keduanya, namun mereka harus memilih salah satunya. Pada banyak kasus, individu memilih untuk menunda mengambil keputusan dalam konflik menghindar/menghindar samap saat-saat terakhir.

3. Mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul dilema), biasanya individu merasa bimbang sebelum mengambil keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat, kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller dalam Santrock, 2003). Frustasi adalah situasi apapun dimana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan adalah dua hal yang terutama membuat frustasi.

c. Faktor-Faktor Kepribadian

(36)

anak-anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak-anak-anak dan remaja dengan pola tingkah laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung, ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock, 2003).

d. Faktor-Faktor Kognitif

Lazarus (1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif.

Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Menurut pandangan Lazarus (dalam Santrock, 2003), berbagai kejadian dinilai dua langkah :

a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.

(37)

e. Faktor Usia

Hurlock (1995) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaiatan dengan factor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Kumolohadi, 2001).

5. Dampak Stres pada Individu

a. Dampak pada fisik

(38)

b. Dampak Emosional

Karena pelepasan dan kekurangan norepinefrin (noradrenalin) yang kronis dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada gilirnnya malah menambah depresinya. Juga kecemasan yang berlebihan dan ketakutan sangat sering terjadi jika seseorang terus-menerus mempersepsikan adanya ancaman. Orang yang stres berkepanjangan akan menunjukkan sisnisme, kekakuan pendirian, sarkasme, dan iritabilitas (mudah tersinggung).

c. Dampak pada Perilaku

(39)

B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ia menambahkan bahwa PWB merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.

(40)

dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995). Dapat dismipulkan bahwa psychological well-being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:

(41)

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan PWB yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

(42)

bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.

d. Tujuan hidup (purpose in life)

(43)

tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental. e. Perkembangan pribadi (personal growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

f. Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery)

(44)

maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being

Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang, sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan PWB seseorang. a. Dukungan sosial

Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Robinson (1991) juga mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan well-being seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup.

b. Ideologi Peran Jenis Kelamin

(45)

c. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000). d. Jaringan sosial

Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).

e. Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

f. Kepribadian

Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock, 1999; Ryff, 1995).

C. ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(46)

2001), peran wanita di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat luas (Wahyuni, 2005).

Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias buruh tanpa upah. Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi yaitu menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan bahwa isteri yang bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak bekerja atau pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya keinginan mengaktualisasikan diri.

(47)

sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan saraung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stressecara emosional, kognitif dan perilaku.

(48)

dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa isteri karyawan perkebunan kelapa sawit adalah isteri yang suaminya bekerja sebagai karyawan di perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja di lapangan dengan tidak menerima upah.

E. HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Isteri yang bekerja memegang banyak peran dan berbagai tuntutan yang memungkinkan terjadinya tekanan dan ketegangan. Terkadang, tekanan yang dihadapi dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan, tetapi sering juga merupakan masalah. isteri selain bekerja juga memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya. Stres yang dialami oleh wanita yang bekerja lebih besar dari pada yang dialami wanita yang tidak bekerja, sebab wanita yang bekerja memiliki stress yang khas seperti hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan, pekerjaan, isolasi sosial, diskriminasi serta adanya konflik peran ganda (Wolfman, 1989).

(49)

yang sangat berat. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres(stressor).

Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stress secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stresterhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

(50)

Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995).

Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai lingkungan mereka mampu melihat peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis.

(51)

akan memicu stress seperti berkurangnya kepuasan hidup, stress di lingkungan kerja bahkan munculnya symptom-simptom depresif.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, terlihat adanya suatu benang merah antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Tujuan metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauhmana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2002). Peneliti ingin mengetahui hubungan stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

.

A. IDENTIFIKASI VERIABEL PENELITIAN

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel I : Stres

2. Variabel II : Psychological Well-Being

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Stres

(53)

Stres yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) yaitu kognisi, emosi dan perilaku sosial.

1. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stressor seperti pemikiran irasional, lambat dalam mengambil keputusan, sulit berkonsentrasi, berpikir negatif dan menyalahkan diri sendiri.

2. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat memengaruhi stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino,2006).

3. Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino,2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino,2006). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006).

(54)

diperoleh subjek dalam skala stres maka akan semakin rendah tingkat stres subjek.

2. Psychological Well-Being

Psychological Well-Being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Psychological Well-Being ini diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan teori Psychological Well-Being oleh Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995) yang akan mengukur dimensi- dimensi PWB yang terdiri dari dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), Otonomi (autonomy), Tujuan hidup (purpose in life), Perkembangan pribadi (personal growth), Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery).

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya.

(55)

merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu, ingin menjadi orang yang bebeda dari dirinya saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep PWB. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain.

Nilai tinggi: hangat, merasa puas, percaya berhubungan dengan orang lain; memikirkan kesejahteraan orang lain; memiliki empati, affection dan intimacy; dalam suatu hubungan dapat saling mengerti, memberi, dan menerima. Nilai rendah: tidak nyaman dekat dengan orang lain, merasa terisolasi dan frustasi jika berhubungan dengan orang lain, tidak bisa terikat dengan orang lain.

c. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

Nilai tinggi: mandiri, mampu mempertahankan diri dari pengaruh luar (tidak konformitas), mampu mengatur diri, mampu mengevaluasi diri. Nilai rendah: terlalu memperhatikan harapan dan evaluasi dari luar, tidak membuat keputusan sendiri (minta bantuan dari orang lain untuk mengambil keputusan penting), konformitas.

d. Tujuan hidup (purpose in life)

(56)

Nilai tinggi: memiliki tujuan hidup, merasakan masa kini dan masa lalu adalah berarti, memiliki keyakinan hidup. Nilai rendah: kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, tidak memiliki keyakinan dalam hidup.

e. Perkembangan pribadi (personal growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.

Nilai tinggi: selalu punya keinginan mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Nilai rendah: personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru.

f. Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery)

Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya.

(57)

Total skor pada skala PWB menunjukkan tingkat Psychological Well-Being individu. Total skor yang tinggi menunjukkan Psychological Well-Being yang tinggi pada individu dan sebaliknya total skor yang rendah pada skala PWB menunjukkan Psychological Well-Being yang rendah pada individu.

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti hanya meneliti sebahagian dari populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang lebih dikenal dengan nama sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama. (Hadi, 2000). Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Isteri karyawan perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja di lapangan.

b. Tidak mendapatkan upah

(58)

2. Teknik Pengambilan Sampel

Hadi (2000) mengemukakan bahwa metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa incidental sampling adalah teknik pengambilan sampel nonprobability dimana tidak semua populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan sampel, hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang dijadikan sampel penelitian.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Jumlah total subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 60

orang. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

(59)

pilihan, yaitu dengan cara menyebarkan skala yang berisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah (Azwar, 2000).

Dalam penelitian ini menggunakan dua buah skala psikologi yaitu skala stres dan skala psychological well-being.

1. Skala Stress

Skala disusun mengacu pada aspek-aspek stress yang dikemukakan oleh Sarafino (2006), yaitu: aspek kognisi, aspek emosi dan aspek perilaku sosial. Skala Stres menggunakan model skala likert yang berjumlah 60 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan menggunakan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk item favorable, sedangkan untuk item unfavorable bergerak dari 1 sampai 4. Pemberian skor untuk skala ini dapat dilihat pada tabel 1. sedangkan Blue print skala stres dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Bobot Nilai Pernyataan Skala Stres

Bobot nilai STS TS S SS

Favorable 1 2 3 4

(60)

Tabel 2. Blue print Skala Stres Sebelum Uji coba

2. Skala Psychological Well Being

(61)

Tabel 3. Bobot nilai pernyataan skala PWB

Bobot nilai STS TS S SS

Favorable 1 2 3 4

Unfavorable 4 3 2 1

Tabel 4. Blue print Skala PWB

Jenis Aitem

No Aspek

Favourable Unfavourable Jlh

1. Penerimaan diri ( self-acceptance)

1, 7, 13, 19, 25 31, 37, 43, 49,

55 10

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

5. Perkembangan pribadi (personal growth)

5, 11, 17, 23, 29,

35, 41, 47, 53,

59 10

6. Penguasaan terhadap lingkungan

(environmental mastery)

6, 12, 18, 24, 30,

36, 42, 48, 54,

60 10

Jumlah 30 30 60

E. UJI VALIDITAS DAN REALIBILITAS ALAT UKUR

(62)

karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian. Item yang memiliki daya beda cukup tinggi akan dihitung reliabilitasnya dengan menggunakan reliabilitas koefisien Alpha yang diperoleh melalui analisis data dengan menggunakan SPSS Statistics 17.0 for windows. Item-item dalam skala yang memiliki daya beda cukup tinggi dan reliabel akan digunakan untuk mengukur stres dan PWB.

1. Uji Validitas

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2000).

(63)

2. Uji Daya Beda Item

Setelah melakukan validitas isi kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji daya beda item. Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur (Azwar, 2000). Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2000). Uji daya beda item ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam penelitian ini adalah skala citra stres dan PWB.

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur

(64)

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba skala stres dan skala PWB dilakukan pada 90 isteri karyawan

perkebunan kelapa sawit di PTPN3 Kebun Aek Nabara Selatan.

1. Hasil Uji Coba Skala Stres

Hasil uji coba skala stres menghasilkan 24 item yang diterima dari 60 aitem yang diujicobakan. Indeks diskriminasi item rix  0.270 dengan koefisien reliabilitas rxx = 0.864. Indeks aitem yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari rix = 0.271 sampai dengan rix=0.588.

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres Setelah Uji Coba

(65)

2. Hasil Uji Coba Skala PWB

Hasil uji coba skala PWB menghasilkan 35 item yang diterima dari 60 item yang diujicobakan. Indeks diskriminasi item rix  0.30 dengan koefisien reliabilitas rxx = 0.920. Indeks item yang memiliki daya beda tinggi bergerak dari rix = 0.328 sampai dengan rix=0.643

Tabel 7. Distribusi item skala PWB setelah uji coba

Jenis Aitem

No Aspek

Favourable Unfavourable Jlh Persentase (%) 1. Penerimaan diri (

self-acceptance) 1, 7, 13, 19 - 4

11,43% 2. Hubungan positif

(66)

Tabel 8. Distribusi item skala PWB untuk penelitian

Jenis Aitem

No Aspek

Favourable Unfavourable Jlh Persentase (%) 1. Penerimaan diri (

self-acceptance) 1, 5, 11, 17 - 4

11,43% 2. Hubungan positif

dengan orang lain

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Persiapan Penelitian

Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh peneliti, antara lain :

a. Pembuatan alat ukur

Gambar

Tabel 1. Bobot Nilai Pernyataan Skala Stres
Tabel 2. Blue print Skala Stres Sebelum Uji coba
Tabel 4. Blue print Skala PWB
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses ini bahan baku yang digunakan adalah ethyl alcohol

Bulu mata lentik dari pangkal hingga ujung* Efek lentik yang tahan lebih lama* Kuas super lengkung, membantu melentikkan &amp; menarik setiap bulu mata.. BULU

Lebih jauh lagi, kegagalan remaja dalam menguasai kecakapan-kecakapan sosial akan menyebabkan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

Metode Kano digunakan untuk mengidentifikasikan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan melalui 25 atribut pelayanan yang dijadikan sebagai atribut dalam penelitian.. Kata kunci:

keterampilan bereksperimen pada pembel- ajaran IPA terhadap siswa kelas V SDN Ka- rangasem II Surakarta tahun ajaran 2016/ 2017. Berdasarkan hasil pengamatan observer di

Analisi lisis s kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Ind Indom omaret aret den dengan gan kep kepuasa uasan n kon konsum sumen en Alfamart terhadap

Tidak terlepas hubungannya dengan pernyataan di atas, maka salah satu tugas dari statistik sebagai ilmu pengetahuan adalah menyajikan atau mendeskripsikan data angka yang