• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aneka Pandangan Di Sekitar Struktur Informasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aneka Pandangan Di Sekitar Struktur Informasi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ANEKA PANDANGAN DI SEKITAR STRUKTUR INFORMASI

Namsyah Hot Hasibuan

Abstract: For a wide range of period a number of experts had given seriously their notions pertaining with information structure. That they were in fact from different background of studies make it more plausible to considering of their varied terminological existence for the same referent in dealing with information structure. Among other of their rested terms are, such as dicotomy of subject-predicate (subyek-predikat),topic-comment (topik-komen), and given-new (lama-baru). The former one is as two terms which rendered many services on the explanation of syntactic structures. In recent years experts working on information structure have taken the given-new distinction and applied it to written sentences. Since written sentences have no intonation, intonation structure was then assigned on them. What may be the implication of such treatment and the other experts’ notions on the other terms can furtherly being come by us across this paper’s contents.

Keywords: different in terminology for the same referent

PENDAHULUAN

Soal subyek dan predikat, sebagai salah satu dikotomi yang ditemukan dalam kajian bahasa, ternyata terdapat juga sejumlah ilmu lain yang ambil bagian dalam pembicaraannya. Tidak mengherankan apabila pada bagian berikut ini terdapat berbagai pandangan dan konsepsi terhadap istilah dikotomis tersebut, termasuk problema yang muncul dari penggunaannya. Selain itu, ditemukan juga istilah lain yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai solusi alternatif terhadap problema penggunaan subyek-predikat tersebut.

Uraian selanjutnya adalah mengenai struktur informasi dalam teks, mulai dari masa pengembangannya oleh para ahli dari mazhab Praha, yang di antara upayanya diketahui telah mengintegrasikan pembedaan antara tema dan rema ke dalam sistem tata bahasa. Upaya mereka menggunakan pendekatan fungsional, yang menekankan urgensi struktur informasi dalam berkomunikasi melalui penggunaan bahasa, adalah suatu hal yang patut menjadi catatan. Pemikiran tentang pengemasan informasi dapat dipandang sebagai bagian implikatif dari pendekatan fungsional itu.

Dalam lanjutan pembicaraan struktur informasi, ternyata tidak kalah pentingnya pembicaraan tentang satuan-satuan informasi, baik yang bersifat tutur maupun yang hurufiah, yang merupakan pengkajian terhadap struktur informasi setelah menjadikan pembedaan antara lama-baru dalam konteks bahasa tulis. Dengan alasan kalimat tulis tidak memiliki

intonasi, maka sejumlah ahli menerapkan struktur intonasi terhadapnya. Dalam lanju-tannya, diketahui bahwa informasi lazimnya dikemas dalam struktur yang tautannya erat dengan struktur wacana. Hal itu, oleh ahli, didasarkan pada penutur, yang dalam menyam-paikan informasi, bahasa yang digunakan terlebih dahulu harus melalui upaya penyusunan berdasarkan struktur sintaksis dan wacana pada saat penggunaannya.

Ciri lebih informatif dan kurang infor-matif juga melengkapi uraian ini. Susunan kata ataupun intonasi dijadikan dasar pertanda atas pembedaan keduanya. Disebutkan bahwa bagian yang dipandang lebih informatif posisinya berada sesudah bagian yang kurang informatif. Dalam kaitan inilah muncul istilah tema-rema atau topik-komen. Dari segi prosodi, bagian yang lebih informatif ditandai oleh ciri intonasi yang paling menonjol berupa aksen nada. Bagian kalimat lainnya, yang kurang menonjol dari segi intonasi dipandang sebagai bagian yang kurang informatif. Terhadap bagian berurutan yang disebutkan ada juga yang mengidentikkannya dengan pembedaan bagian kalimat atas fokus-latar atau lama-baru. Hal lain yang dapat ditam-bahkan berkenaan dengan struktur informasi dan struktur wacana adalah, dalam banyak bahasa keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor prosodi.

PEMBAHASAN

Dikotomi subyek-predikat telah lama menjadi bahan pembicaraan. Soalnya kedua

(2)

istilah tersebut tidak hanya melulu sebagai bahan pembicaraan linguistik. Di samping itu terdapat juga sejumlah ilmu lain yang tercatat telah turut ambil bagian dalam membicarakannya, seperti epistemologi, logika, metafisika, ontologi, yang semuanya itu merupakan bawahan ilmu filsafat. Bidang lain yang menyusul kemudian adalah psikologi atau teori informasi. Penelusuran historis menunjukkan bahwa penggunaan dikotomi subyek-predikat dapat merujuk kembali kepada Plato dan Aristoteles. Kedua istilah tersebut dipandang sebagai kategori yang menunjukkan fungsi yang berbeda dalam kalimat. Istilah subyek dipersepsi sebagai nomina, sedangkan predikat sebagai verba. Namun, kemajuan penelitian dalam bidang tipologi bahasa memberi bukti bahwa dikotomi subyek – predikat bukan merupakan kategori yang bersifat universal. Dalam bahasa Indonesia saja, ditemukan predikat yang tidak termasuk ke dalam kategori verba, misalnya pada kalimat bersahaja: Rumah orang itu tepas, tiangnya empat. Seperti yang terdapat pada kalimat pertama bahasa Indonesia di atas, predikat kalimat tersebut tidak termasuk ke dalam kategori verba atau kerja. Predikatnya adalah kelas nomina atau benda. Demikian juga kalimat kedua, jelas bahwa predikatnya adalah kategori adverbia, yang dalam hal ini kata bilangan, bukan kelas verba atau kerja seperti pemersepsian awal yang disebutkan di atas.

Problema nyata yang muncul dari pemersepsian dikotomi subyek-predikat di atas telah menjadi pendorong bagi sebagian ahli bahasa untuk menggantikan dikotomi tersebut dengan topik-komen (topic-comment). Namun, topik-komen kemudian tidak begitu dipandang sebagai istilah yang mencerminkan aspek gramatikal, dalam hal ini kategori kalimat, karena keduanya lebih terkait dengan pengetahuan atau pemahaman oleh partisipan terhadap apa yang lagi dibicarakan atau aspek tentang apa yang disebutkan sebelumnya daripada tentang struktur unit bahasa. Problema yang muncul dalam mendefinisikan kalimat melalui penggunaan struktur subyek-predikat dengan sendirinya tercatat sebagai penyebab tidak digunakannya lagi konsep tersebut dalam teori sintaksis. Walau demikian, pengertian dasarnya masih tetap dapat ditemukan pada teori linguistik generatif dalam upayanya mentransformasikan kalimat menjadi sebuah FB (Frasa Benda) dan FV

(Frasa Verba) (K Æ FN FV). Dari gambaran di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa, di satu sisi, penggunaan konsep subyek-predikat dalam telaah bahasa bermanfaat secara deskriptif, tetapi hingga kini kedua istilah tersebut belum lagi memiliki batasan gramatikal yang jelas.

Dalam epistemologi, dikotomi subyek-predikat, masing-masing dikonsepsi sebagai bagian kalimat yang lagi dibicarakan, dan bagian mana dari kalimat yang menjelaskan sesuatu. Pada kalimat biasa subyek dan predikat dalam kajian epistemologi identik dengan yang ditemukan pada kajian gramatika. Namun, dalam sejumlah hal, seperti pada kalimat berkonstruksi pasif, kedua bidang kajian ini berbeda pandangan terhadap penetapan subyek. Pada kalimat pasif bahasa Indonesia: Ikat pinggangku dicuri si Gotuk, misalnya, problema muncul pada penentuan subyek. Dalam hubungan ini, bagian yang manakah pada kalimat bahasa Indonesia tersebut yang menjadi subyek epistemologisnya? Pertanyaan semacam ini dapat timbul dengan mengingat bahwa pandangan epistemologis memperhatikan juga adanya ihwal ketergantungan konteks (context dependent) dalam setiap putusannya, sebagaimana halnya penggunaan topik dalam teori linguistik.

Dalam logika terdapat dua konsepsi utama tentang struktur kalimat. Yang pertama (1) pengkonsepsian subyek dan predikat secara tradisional, yang dapat dirujuk kembali ke karya-karya Aristotles awal; yang kedua (2) pengkonsepsian menurut pandangan Frege yang menyebutkan adanya struktur fungtor-argumen (functor-argument) dalam kalimat. Dengan mengikuti pandangan Aristotles alias tradisional, terdapat pengasumsian bahwa subyek dan predikat merupakan istilah umum yang dihubungkan dengan kehadiran kopula, yang dapat diskemakan seperti S adalah P ( S is P ). Kalimat dengan penggunaan kopula menunjukkan adanya penetapan hubungan antara subyek dan predikat, dan hal itu tergambar, misalnya, pada kopula yang menggunakan pola some……is, atau all ……are. Perhatikan contoh (01a-b) berbahasa Inggeris berikut ini.

(01)a. Some Athenian is big. (A is B for some A)

b. All Athenians are Greeks. (A is G for all A)

(3)

Contoh (01a – b) di atas merupakan cerminan dari pandangan tradisionalis ala Aristotles yang memperlakukan subyek dan predikat secara simetris serta pembenaran terhadap bentuk kalimat inversif sebagai upaya menemukan kaidah penarikan kesimpulan. Dengan cara demikian, dari kalimat contoh (01a) dan (01b) di atas, mereka dapat mengambil kesimpulan seperti tergambar pada: Some big person is Athenian, Some Greeks are Athenian. Contoh kalimat yang merupakan cerminan pola pandangan tradisionalis di atas ternyata menuai banyak kritikan dengan berbagai alasan, di antaranya: (1) ciri kesimetrisan tidak dapat diberlakukan pada kalimat negasif, (2) tidak ditemukannya pembenaran penjelasan kalimat hanya melalui penggunaan satu perangkat istilah tertentu, dan (3) penerapan penentuan hubungan subyek-predikat secara simetris tidak memungkinkan pada kalimat, seperti: Every Athenian hates some king.

Konsepsi yang menunjukkan relasi subyek dan predikat dengan penggunaan kopula, seperti pada contoh (01a-b) tidak ditemukan contohnya dalam kalimat biasa bahasa Indonesia. Keidentikan makna antara to be, yang dipandang sebagai kopula dalam kalimat seperti pada (01a-b), memang ditemukan dengan kata ada dalam bahasa Indonesia. Namun, kata tersebut tidak ditemukan dalam kalimat biasa sebagai kopula yang menunjukkan hubungan subyek predikat, sebagaimana terdapat pada (01a-b). Untuk mengungkapkan pola makna yang sama, seperti pada contoh (01a-b), bahasa Indonesia tidak menggunakan kata ada, melainkan menghilangkan penggunaannya sebagai kopula dalam kalimat. Dengan demikian, penggunaan kata itu sebagai kopula pada kalimat (02a) dan (02b) masing-masing dalam bahasa Indonesia dipandang sebagai kalimat yang tidak diterima. Untuk dapat diterima, kedua kalimat tersebut dapat ditempuh melalui cara penghilangan atau peniadaan kata yang dianggap sebagai kopula tersebut, sehingga diperoleh kalimat yang berterima seperti pada contoh (02c – d) yang berikutnya.

(02) a. * Ayahku ada dokter.

b. * Rumah besar itu ada rumah raja. c. Ayahku dokter.

d. Rumah besar itu rumah raja.

Pemunculan kata ada terjadi dalam kalimat bahasa Indonesia apabila kata tersebut digunakan bukan sebagai kopula penunjuk relasi subyek-predikat, melainkan sebagai penunjuk keberadaan sesuatu pada tempat tertentu. Jadi, kata ada, dalam hal ini, sudah merupakan kata berkategori adverbial lokatif. Perhatikan contoh (03a-b) berikut ini.

(03) a. Ayahku ada di rumah.

b. Sudah kukatakan, tidak ada dia datang ke mari.

Pandangan berikutnya tentang konsep struktur kalimat adalah yang berasal dari Frege. Dia mendasarkan pandangannya pada konsep kalimat tunggal (atomic sentence) yang terdiri dari sebuah fungtor dan satu argumen. Kalimat seperti (04a) merupakan model kalimat tunggal dengan menghadirkan predikat bertaut argumen, sementara kalimat pada (04b) merupakan konstruksi kalimat pada umumnya, yang memiliki penentu relasi subyek-predikat.

(04) a. Sokrates berjalan kaki.

b. Setiap orang senang padanya.

Selanjutnya, dalam Brown dan Yule (1989) disebutkan bahwa kajian intensif tentang struktur informasi dalam teks mulai dikembangkan oleh para ahli dari mazhab Praha sebelum Perang Dunia II. Di sana mereka melakukan pengkajian, menurut perspektif fungsi kalimat terhadap yang mereka sebut dinamisme komunikatif yang terdapat pada bagian-bagian kalimat. Dari sana jugalah, menurut Van Heusinger (1999), ahli-ahli Praha mengintegrasikan pembedaan antara tema dan rema ke dalam sistem tata bahasa. Ciri strukturalis mazhab Praha yang, dalam hal ini, penting dicatat menurut Van Heusinger adalah, mereka menggunakan pendekatan fungsional. Bahasa dipandang sebagai alat untuk melakukan komunikasi, dan oleh karena itu struktur informasi dipandang penting, baik untuk sistem bahasa maupun untuk kepentingan proses komunikasi itu sendiri.

Perspektif fungsional kalimat dikem-bangkan selanjutnya oleh berbagai peneliti. Firbas (1964) misalnya, (dalam Van Heusinger 1999) berpendapat bahwa struktur informasi lebih tepat dipandang sebagai suatu keseluruhan tingkatan atau hierarki yang disebutnya dinamisme komunikatif, seperti telah disebutkan di atas. Kemudian

(4)

dikembangkanlah relasi tematis kalimat ke dalam teks, dan mazhab Praha dari generasi berikutnya menggunakan dikotomi topik-fokus serta memberi penjelasan sekalian, bagaimana mengintegrasikan struktur topik-fokus ini ke dalam model tata bahasa.

Untuk menindaklanjutinya dapat dicoba memformalkan topik-fokus, dengan menyesuai-kannya dengan proposisi terstruktur dan logika dinamis. Perlu diingat bahwa yang paling banyak berupaya dalam memperkenalkan pembedaan antara tema dan rema oleh pengikut mazhab Praha kepada para linguis strukturalis Amerika adalah Halliday (lihat Brown dan Yule, 1989). Oleh Halliday, hasil kajian Praha selanjutnya dikembangkan dan mendapat penyintesaan langsung dengan struktur teks yang telah menjadi bidang yang digemarinya. Secara khusus, dia telah mengadopsi pandangan mazhab Praha tentang informasi yang menyebutkan bahwa informasi terdiri dari dua kategori. Kategori yang pertama dan kedua adalah informasi baru (new information) dan informasi lama (given information). Informasi baru dalah informasi yang diketahui lebih dahulu oleh pemberinya, sedangkan yang menerimanya belum menge-tahuinya. Pada informasi lama ditemukan bahwa apa yang diketahui oleh pemberi tentang isi informasi telah diketahui pula oleh si penerima informasi. Tahunya penerima akan isi informasi dapat saja disebabkan oleh adanya wujud fisik dalam konteks, atau oleh karena telah disebutkan dalam wacana.

Lebih lanjut lagi, Halliday mengikuti mazhab Praha yang memandang informasi sebagai faktor yang bersifat fungsional. Menurut Halliday, dalam Bahasa Inggris, faktor intonasi dapat berfungsi membedakan, atau setidaknya dapat dijadikan sebagai pertanda penunjuk informasi mana yang oleh penutur perlakukan sebagai yang baru serta mana pula yang diperlakukan sebagai informasi lama. Dalam bahasannya tentang struktur informasi, Halliday memiliki kecenderungan secara khusus melakukan spesifikasi terhadap penyusunan atau peng-organisasian informasi dalam Bahasa Inggris tutur serta menghubungkannya dengan realisasi fonologis, terutama intonasinya.

Belakangan, banyak ahli telah mengembangkan lingkup pembicaraan tentang informasi lama dan baru ini kepada struktur kalimat dengan tujuan untuk merealisasikan kedua kategori informasi tersebut. Yang terjadi

sesudahnya adalah penyimpangan dalam memaknai istilah tersebut. Perluasan makna terjadi, utamanya terhadap yang disebut lama, yang justru lebih luas maknanya dari yang dimaksudkan semula oleh Halliday. Malah, dari maknanya yang terakhir tidak ditemukan pertaliannya lagi dengan faktor intonasi, yang oleh Halliday sendiri telah mendapat perhatian dan pembicaraan sebelumnya. Bagaimana sesungguhnya pandangan Halliday terhadap struktur informasi dapat ditelusuri melalui uraian Brown dan Yule 1989. Dijelaskan, Halliday mengasumsikan bahwa penutur bermaksud mengkodekan isi klausa (yang merupakan unit dasar dalam sistem tata bahasa). Dalam banyak hal, apa yang Halliday pandang sebagai isi ideasional sebuah klausa dapat dibandingkan dengan apa yang ahli lain sebut sebagai isi proposisional kalimat biasa. Isi klausa ini disusun oleh penutur ke dalam struktur klausa kalimat dan mencari di dalamnya pilihan tematis yang dapat diperolehnya. Dalam bahasa tutur, isi klausa disusun ke dalam satu atau lebih satuan informasi, yang secara fonologis, direalisasikan melalui intonasi. Menurut Halliday, penutur diharuskan membagi tuturannya ke dalam satuan-satuan informasi, dan menyampaikan pesannya dalam kemasan berurutan. Penutur secara mana suka dapat menetapkan bagaimana dia harus mengemas informasi itu. Selain itu, penutur juga bebas menetapkan dari mana setiap satuan informasi diawali ataupun diakhiri, serta bagaimana susunan internal satuan informasi yang akan dibuat.

Berpedoman pada penjelasan di atas, dengan mengambil contoh bahwa penutur hendak memberi tahukan pendengarnya bahwa

Kucing putih itu telah pergi dari rumah, dia dapat mengemas informasi yang terdapat dalam kalimat Bahasa Indonesia itu ke dalam aneka jumlah bagian. Dia dapat dan boleh membuatnya tetap satu bagian, seperti pada contoh (05a); dua bagian, seperti pada contoh (05b); atau tiga bagian, seperti pada (05c).

(05) a. Kucing putih itu telah pergi dari rumah.

b. Kucing putih itu – telah pergi dari rumah.

c. Kucing putih itu – telah pergi – dari rumah.

(5)

Dari contoh (05) di atas, dapat dilihat adanya penyusunan internal di antara satuan informasi serta kaitannya dengan pendistribusian informasi lama dan baru pada satuan. Dapat ditandai, menurut Halliday, bahwa penutur akan menempatkan informasi lama sebelum informasi baru. Penderetan struktur informasi yang lazim adalah dengan urutan lama-baru (given-new). Satuan informasi yang terdapat pada bagian awal wacana biasanya merupakan satuan yang memuat informasi baru.

Ahli lain yang tercatat berbicara soal struktur informasi adalah Chafe 1976 (lihat Van Heusinger 1999). Chafe tertarik pada cara bagaimana wacana disusun. Dia mengasumsikan bahwa wacana disusun berdasarkan pengetahuan penutur akan pengetahuan pendengarnya, bukan oleh isi semantis ekspresi linguistiknya. Terhadap upaya penyusunan ini Chafe menggunakan istilah pengemasan (packaging) yang maknanya lebih dekat kepada bagaimana pesan disampaikan daripada pesan itu sendiri. Perumpamaannya dia sampaikan melalui pengemasan pasta gigi yang dapat memberi pengaruh terhadap penjualan barang tersebut. Dengan demikian, menurut Chafe, relevansi upaya pengemasan adalah kepada nomina, yang dapat saja: (a) berupa lama atau baru, (b) sebagai fokus kontras (focus of contast), (c) definit atau indefinit, (d) subyek dalam kalimat, (e) topik kalimat, dan (f) orang yang sudut pandangnya diikuti oleh penutur atau dengan orang yang penutur senangi. Terhadap lama-nya (givenness) Halliday, dikembangkan oleh Chafe kemudian ke dalam model kesadaran psikologis penutur dan pendengar. Informasi lama (given) didefinisikannya sebagai pengetahuan yang menurut asumsi penutur ditemukan pada kesadaran petutur pada saat tuturan berlangsung. Menyusul yang disebut informasi baru (new information) sebagai – apa yang disampaikan menurut asumsi penutur kepada kesadaran petutur melalui apa yang dikatakannya. Apa yang terpenting dari Chafe adalah upayanya dalam memasukkan struktur informasi ke dalam wila-yah psikologi. Penyusunan kalimat dijelaskan dengan memperhatikan kondisi kejiwaan parti-sipan. Hal demikian ternyata membawa kita kembali kepada model awal struktur informasi dengan segala problemanya. Pandangan Chafe tentang kelamaan (givenness) sebagai jenis aktivasi di dalam kesadaran penutur dan

pendengar mengundang pembicaraan tentang skala kelamaan.

Pemikiran tentang pengemasan

informasi selanjutnya dikembangkan oleh Vallduvi (1990) (dalam Van Heusinger 1999) yang mengasumsikan struktur informasi terdiri dari tiga bagian yang menggabungkan aspek-aspek struktur informasi yang paling menonjol menjadi satu, yaitu fokus-latar dan topik-komen. Dalam kalimat (06), misalnya,

Jonggur merupakan topik dan fokus tentang

Jonggur minum.

(06) Apa Jonggur minum?

(07) Struktur topik-komen dan fokus-latar

Topik Komen

Jonggur minum susu

Latar belakang Fokus

Predikat minum pada (06) terdapat pada dua bagian yang berbeda pada (07), yaitu sebagai bagian dari komen dan latar. Dalam kaitan ini, Vallduvi juga mengusulkan struktur, seperti terdapat pada (08) yang sesuai dengan struktur informasinya pada (09). Dia sarankan agar bagian utama kalimat dimasukkan ke dalam fokus dan latar, dan bagian kedua, latar belakang, ke dalam penyambung (link) dan buntut (tail) (yang meliputi topik dan yang selebihnya dari latar belakang). Penggabungan ini akan menghasilkan tiga satuan informasi, yaitu: fokus, penyambung, dan buntut.

(08) Model kemasan Vallduvi

Penyambung Buntut Fokus

Jonggur minum susu

(09) Struktur informasi model fokus-penyambung-buntut

Kalimat

Fokus Latar belakang

Penyambung Buntut

Vallduvi memberi penjelasan situasi yang ada dengan cara informal, dan dia tidak terlihat begitu berupaya memberikan analisis semantis terhadap fenomena yang dihadapi. Dia mengatakan malah bahwa pengemasan informasi tidak akan berpengaruh pada

(6)

syarat kebenaran. Hal demikian dikuatinya dengan mengatakan bahwa mana kala isi proporsionalnya sama, tidak muncul dari-padanya INFORMASI yang sama. Namun, sejauh ini Vallduvi tidak menjelaskan secara meyakinkan apa yang dimaksudkannya dengan informasi itu. Penjelasan menarik dari Chafe adalah tentang semantik fokus kontrastif yang dia bedakan dari fokus informasi yang direalisasikan melalui kontras lama-baru (given-new). Fokus kontrastif pada Roma

dalam kalimat (10), misalnya, menginfor-masikan bahwa pengetahuan penutur tentang

Roma di antara sekian banyak nama lain meru-pakan pilihan yang tepat untuk menjadi pemeran. Dalam menafsirkan kalimat (10), menurut Chafe, terdapat tiga faktor yang terlibat. Yang pertama adalah asumsi atau pengetahuan yang melatari bahwa seseorang membuat dodol, kedua sejumlah kemungkinan nama orang lain, dan yang ketiga penjelasan tentang kemungkinan nama orang lain yang tepat (perhatikan contoh (10).

(10) ROMA membuat dodol.

(1) Latar belakang: Seseorang membuat dodol.

(2) Nama lain yang mungkin: (Risna, Karlia, Musair, Paisa... dsb.).

(3) Penjelasan: Roma adalah yang membuat dodol itu.

Setidaknya, dengan melihat konsepsi fokus kontaraktif Chafe, dapat dicatat bahwa terdapat kesamaannya dengan deskripsi Chomsky tentang struktur informasi pada praduga dan fokus. Chomsky (1971) (dalam Van Heusinger 1999) membicarakan struktur informasi dalam konteks pembedaannya antara struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure). Dari penjelasannya diketahui bahwa struktur batin itulah sesungguhnya yang berperan dalam menentukan arti kalimat. Namun, yang perlu menjadi perhatian di sini adalah perlakuannya terhadap kontras lama-baru (given-new), yang dalam istilahnya disebut praanggapan-fokus (presupposition-focus). Fokus didefinisikan sebagai frasa yang memiliki perolehan intonasi yang menonjol; sedangkan praanggapan secara informal dinyatakan sebagai bagian kalimat yang dalam penyampaiannya bebas dari tindak tutur atau negasi yang dibuat terhadap kalimat. Praanggapan dapat disamakan dengan formula, kalimat minus komponen fokus.

Struktur Informasi dan Prosodi

Dengan mengacu kepada Brown dan Yule 1989, diperoleh penjelasan bahwa satuan-satuan informasi itu direalisasikan secara lang-sung ke dalam tuturan dengan intonasi tertentu, dengan sebutan kelompok bertona (tone groups). Untuk maksud yang sama, ada juga yang menyebutnya kelompok senapas (breath groups), klausa fonemis (phonemic clauses), ataupun satuan setona (tone unit). Penutur mendistribusikan bobot informasi yang hendak diekspresikannya ke dalam satuan-satuan fonologis tertentu. Kelompok bertona secara fonologis dapat ditandai oleh adanya sebuah suku kata bertona. Suku kata bertona seperti ini ditandai oleh bagian yang mendapat nada maksimal padanya. Karena itu ada juga yang menyebutnya suku kata inti, atau tekanan kalimat, yang ditandai oleh adanya nada bergerak maksimal, ketinggian nada maksimal, intensitas maksimal atau durasi maksimal. Kelompok bertona dalam bahasa lisan dipandang ada juga kaitannya dengan ritme bahasa tutur. Dalam kajian Halliday ditentukan bahwa setiap foot dalam bahasa Inggris diawali dengan suku kata bertekanan dan disusul kemudian oleh sejumlah suku kata yang tidak betekanan. Kelompok bertona, dengan demikian, harus diawali dengan sebuah suku kata bertekanan. Namun, dalam kalimat-kalimat khusus ditentukan juga sesekali bahwa suku kata pertama pada foot awal dalam kelompok bertona tidak mendapat tekanan. Iktus takbersuara (silent ictus) dipostulasikan sebagai awal pada kelompok bertona. Suku kata bertona berfungsi memfokuskan informasi baru pada kelompok bertona. Dalam kasus biasa, suku kata bertona akan terpusat pada leksikal terakhir kelompok bertona. Bagian ini umumnya akan menjadi kata inti konstituen yang mengandung informasi baru. Pada (11) diberikan contoh penggambaran penjelasan di atas dengan mengambil contoh lafal berbahasa seorang penutur bahasa Indonesia.

(11) a. // oh / baru aku / SADAR //

b. // masa / studiku telah / BERUJUNG //

c. // yang / dahulunya / PANJANG //

d. // dan / seolah / tiada / BATAS //

e. // namun / kini / tiada / LAGI //.

Pada contoh (11a-e) penutur bahasa Indonesia melafalkan tuturannya dan sekaligus mengadakan pemenggalan terhadap setiap

(7)

tuturan tersebut menjadi satuan-satuan informasi yang direalisasikan sebagai kelompok bertona. Dengan mengikut pada penjelasan sebelumnya, yang mengisyaratkan fokus tekanan jatuh pada bagian leksikal terakhir, diperoleh gambaran seperti pada (11a-e). Pada kelompok bertona, dari (11a) hingga (11e), bagian leksikal terakhir memiliki suku bertona yang menandakannya sbagai fokus informasi baru. Tentang kebenaran penjelasan ini masih perlu mendapat pembuktian lanjut, mengingat bahwa bahasa Indonesia, walau mengenal adanya tona dalam pelafalan, berbeda karakteristiknya dengan bahasa Inggris yang dijadikan sebagai data pengambilan teori.

Struktur Informasi dan Kalimat

Sejumlah ahli psikologi yang melakukan pengkajian terhadap struktur informasi telah menjadikan pembedaan antara lama-baru dalam konteks bahasa tulis. Mereka sering (menurut Brown dan Yule 1989) mengutip kalimat tulis secara terpisah. Oleh karena kalimat tulis tidak memiliki intonasi, maka para ahli yang dimaksudkan menerapkan struktur intonasi terhadapnya. Hal itu mereka dasarkan pada bentuk sintaktis ekspresi nominal dan pada struktur kalimat untuk menetapkan yang mana di dalam kalimat yang memiliki status baru, serta yang mana pula yang memiliki status lama dalam kalimat. Mereka berpandangan bahwa status informasi sepenuhnya ditentukan oleh bentuk ekspresi yang digunakan. Pendekatan yang dilakukan terhadap struktur informasi telah membawa orang kembali kepada penafsiran ulang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan status lama (given) itu. Melalui data kalimat tulis yang dilafalkan dengan kuat, Brown dan Yule mencatat beberapa hal berkenaan dengan bentuk kalimat dan penerapan intonasi di dalamnya. Pertama adalah adanya masih ketidakjelasan, apakah status lama-baru ditentukan oleh bentuk kalimat atau sebagai akibat dari penempatan pusat tekanan pada komponen yang berbeda dalam kalimat, atau disebabkan oleh adanya interaksi antara dua sistem yang berbeda. Kedua, posisi Halliday ditampilkan salah tampaknya, dengan pandangan bahwa kalimatlah yang meng-isyaratkan lama-barunya informasi; padahal, Halliday sendiri telah sering mengingatkan bahwa penuturlah yang menentukan status informasi. Ketiga, istilah lama (given) tidak

lagi dipakai sebagai istilah analitis dalam menjelaskan status rujukan ekspresi klausa (kelompok bertona), melainkan menggunakan pra anggapan yang mengatributi klausa dalam kalimat. Pandangan tentang kelamaan (givenness) diambil alih oleh para ahli psikologi kemudian, seperti Sanford dan Garrod 1981. Mereka tetap memegang pandangan Halliday yang menurut mereka tetap mencanangkan bahwa soal lama-baru dapat diterapkan pada setiap kalimat dalam wacana dan hal itu dapat ditandai, baik pada kalimat maupun pada intonasinya. Dengan contoh kalimat bahasa Indonesia Inilah si mahasiswa yang merantau itu, kita dapat membaginya atas:

Lama : Seseorang merantau.

Baru : Seseorang yang merantau itu adalah si Miswa.

Kalimat di atas (Inilah si Miswa yang merantau itu), sesungguhnya apabila dilafalkan akan berwujud seperti pada (12) berikut ini.

(12) // inilah si MISWA / yang MERANTAU itu //

Pada kalimat (12) di atas, yang mendapat penekanan adalah Miswa dan

merantau. Dengan demikian, yang dipandang sebagai informasi baru adalah yang terdapat pada kedua kata tersebut; sedangkan bagian

inilah si dan yang... itu tidak dapat dipandang sebagai bagian yang berisi informasi baru, melainkan informasi lama karena bagian-bagian tersebut tidak mendapat tekanan.

Struktur Informasi dan Wacana

Pada prinsipnya, yang diharapkan dari tuturan adalah perolehan informasi. Karena informasi diperoleh lewat penggunaan bahasa, dengan sendirinya tanpa bahasa dengan segala perangkat kelengkapannya informasi akan menjadi suatu perolehan yang sulit atau tidak mungkin bagi manusia. Dalam penyampaiannya, informasi lazimnya dikemas dalam struktur yang tautannya erat sekali dengan struktur wacana (lihat Siregar, 2005). Struktur informasi dikatakan memiliki pertalian yang erat dengan struktur wacana. Penjelasan itu cukup beralasan karena penutur, dalam menyampaikan informasi, bahasa yang digunakan terlebih dahulu harus melalui upaya penyusunan berdasarkan struktur sintaksis dan wacana pada saat penggunaan bahasa tersebut.

(8)

Dalam Siregar 2005, kejelasan hubungan antara keduanya disampaikan dengan menyatakan bahwa teori struktur informasi adalah teori yang berkaitan dengan struktur wacana atau konteks. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada komponen-komponen dalam konteks yang dirujuk seharusnya oleh struktur informasi kalimat, seperti kesamaan latar, topik wacana, dan yang lainnya lagi berupa bagian awal teks, ataupun pertanyaan yang dijadikan sebagai bahan pembahasan.

Selanjutnya disebutkan bahwa penggunaan istilah dalam struktur informasi terimplikasi pada pembedaan dua hal mendasar yang berkenaan dengan bagian-bagian wacana atau tuturan. Pertama adalah penggunaan istilah topik-komen atau tema-rema yang membedakan antara bagian tuturan yang menunjukkan tujuan wacana dan bagian yang berhubungan dengan lanjutan wacana; dan yang kedua penggunaan istilah lama-baru yang membedakan bagian-bagian wacana berupa kata-kata yang dapat membedakan isi informasi yang diperoleh dari sejumlah kemungkinan pilihan yang disediakan oleh konteks dengan bagian wacana yang sudah lazim. Pada struktur informasi dikenal adanya dikotomi kalimat dalam membedakan bagian yang lebih informatif dan bagian lainnya yang kurang informatif. Susunan kata ataupun intonasi dapat menjadi pertanda atas perbedaan keduanya. Biasanya, bagian yang dipandang lebih informatif posisinya berada sesudah bagian yang kurang informatif. Dalam kaitan inilah munculnya istilah yang sering disebut dengan tema-rema atau topik-komen. Dari segi prosodi, bagian yang lebih informatif ditandai oleh ciri intonasi yang paling menonjol berupa aksen nada. Bagian kalimat lainnya, yang kurang menonjol dari segi intonasi dipandang sebagai bagian yang kurang informatif. Terhadap bagian berurutan yang disebutkan ada juga yang mengidentikkannya dengan pembedaan bagian kalimat atas fokus-latar atau lama-baru. Dalam keterkaitannya dengan struktur informasi, kajian struktur wacana berupaya untuk dapat menjelaskan koherensi satuan bahasa yang lebih besar dari kalimat. Jelasnya, sampai pada penjelasan koherensi satuan bahasa di tingkat teks. Struktur wacana melakukan penkajian dan memberi penjelasan tentang satuan wacana yang lebih besar; termasuklah, di antaranya, relasi di antara satuan-satuan yang membentuk struktur wacana secara hierarkis. Makna wacana tidak

dipandang sebagai sekadar totalitas makna kalimat-kalimat yang menjadi komponen dalam penyusunan wacana itu. Di antara makna kalimat-kalimat dan kelompok kalimat ditemukan sejumlah relasi semantis yang oleh penutur dipahami berdasarkan kesimpulan yang dia peroleh melalui teks, padahal relasi semantik semacam itu tidak diungkapkan secara eksplisit dalam wacana (misalnya, dengan penggunaan kata hubung wacana). Hal semacam itu dapat dilihat, misalnya, pada perbandingan contoh (13) dan (14) berikut ini.

(13) Gigi paman semua masih utuh. Dia sering menyikatnya.

(14) Paman ompong. *Dia sering menyikatnya.

Kelompok kalimat pada masing-masing contoh nomor (13) dan (14) di atas memiliki kesamaan, yakni sama-sama mempunyai penanda relasi anaforis yang identik. Namun, kedua pasangan kalimat tersebut masing-masing menghasilkan struktur wacana yang berbeda. Hal lain yang dapat ditambahkan berkenaan dengan struktur informasi dan struktur wacana adalah, dalam banyak bahasa keduanya sama-sama dipengaruhi oleh faktor prosodi. Dengan demikian, faktor prosodi kalimat merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam struktur informasi dan struktur wacana. Faktor prosodi kalimat yang mempengaruhi penataan struktur informasi dapat lagi kita lihat misalnya pada contoh (06), yang menyebabkan adanya perbedaan fokus di dalamnya.

KESIMPULAN

Penggunaan dikotomi subyek-predikat merupakan dua buah istilah yang memiliki jasa bantu dalam menjelaskan struktur kalimat. Hingga kini pun sebenarnya belum ditemukan definisi yang jelas tentang konsep keduanya. Yang ada hanya berupa sejumlah istilah usulan yang memiliki tautan historis dari berbagai bidang keilmuan, seperti sintaksis, epistemologi, logika, dan metafisika. Konsep subyek-predikat tradisional ala Aristotles dalam kajian tata bahasa ternyata lebih banyak memunculkan problema daripada yang dapat diselesaikannya. Dua hal, yaitu ketidakjelasan pengertian struktur subyek-predikat beserta problema penggunaannya dalam teori linguistik ternyata membawa beban pikiran

(9)

62

ketika konsep dikotomi tersebut dibawakan ke ranah bidang ilmu lain, seperti psikologi, ataupun teori informasi.

Pemenggalan terhadap setiap tuturan oleh penutur bahasa Indonesia menjadi satuan-satuan informasi yang direalisasikan sebagai kelompok bertona ditemukan data pendukung-nya. Dengan mengikut pada penjelasan yang mengisyaratkan fokus tekanan jatuh pada bagian leksikal terakhir (seperti pada (11a-e), maka bagian ini memiliki suku bertona yang menandakannya sebagai fokus informasi baru. Tentang kebenaran penjelasan ini masih perlu

mendapat pembuktian lanjut, mengingat bahwa bahasa Indonesia, walau mengenal adanya tona dalam pelafalan, bahasa Indonesia berbeda karakteristiknya dengan bahasa Inggris yang dijadikan sebagai data pengambilan teori.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian. 1989. Discourse Analysis. Cambridge, Cambridge University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta, PT Gramedia.

Saeed, John I. 2000. Semantics. Blackwell Publisher Limited.

Siregar, Bahren Umar. 2005. “Struktur Informasi, Struktur Wacana, dan Semantik Wacana: Menelaah Bahasa Dalam Konteks” (Makalah). Medan, Bahren Umar Siregar.

Van Heusinger, Klaus. 1999. Intonation and Information structure. Konstanz, University of Konstanz.

Referensi

Dokumen terkait

Optimasi dilakukan dengan cara membandingkan jumlah produk yang dapat dihasilkan dari masing- masing bahan baku, sehingga didapat jumlah produk optimal yang akan

[r]

Dari hasil rekaman SG yang telah dihilangkan efek pasang surutnya, serta data seismometer (LHZ) yang telah diturunkan terhadap waktu, maka dilakukan perhitungan

Partikel gipsum yang lebih besar, tidak beraturan dan porus seperti plaster membutuhkan air yang lebih banyak ketika dicampur dan dihidrat yang dihasilkan akan

Dan setelah saya berangkat tidur lagi, saya ingat bahwa saya belum mematikan radio, dan seterusnya (Darma, 2004, hlm. Seperti dijelaskan sebelumnya, tokoh aku

Tugas akhir dengan judul “Rancang Bangun Aplikasi Toko Buku Online Menggunakan Framework Laravel” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang strata

Prosedur yang biasa digunakan dalam menyusun time study adalah (Barnes, 1985) : Mencatat informasi tentang pekerjaan dan operator atau pelaksana yang akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak (basis kering) genjer setelah pengukusan mengalami peningkatan, namun berdasarkan hasil uji lanjut duncan (Lampiran