• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L)JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L)JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ADULT MALE MICE(Mus MusculusL) INDUCED BY MONOSODIUM GLUTAMATE

By

Kania Anindita Bustam

Monosodium glutamate is commonly used as a food seasoning that has free radical effect in the body when the usage doses exceed normal range. The generated oxidative stress may effect male fertility by influencing spermatogenesis process. Vitamin C is one of antioxidants which is effective against free radical effects in the body.

This study aims to prove the effect of vitamin C to testis weight, numbers of Leydig cells, and diameter of seminiferus tubules of adult male mice induced by monosodium glutamate. This study uses a randomized controlled design.

This study used 25 adult male mices DD Webster strain as subject of this study, which were randomly divided into 5 groups : K(-) (given MSG 4mg/grBW), K(+) (given vitamin C 0,2 mg/grBW), P1 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,07 mg/grBW), P2 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,2 mg/grBW), P3 (given MSG 4 mg/grBW and vitamin C 0,6 mg/grBW) after 15 days of treatment, measurement on testis weight and histological measurement on numbers of Leydig cells and diameter of seminiferus tubules were taken. Data were analyzed by using one-way ANOVA test followed by post hoc analysis test with LSD method and Kruskal-Wallis test followed by post hoc analysis test with Mann-Whitney method.

(2)

showed significant value in group K(+) with K(-), P1, P2; group K(-) with K(+) and P3; group P1 with P3 and K(+); group P2 with K(+), P3; and group P3 with K(-), P1, P3.

The result showed the average diameter of seminiferus tubules in group K(+), K(-), P1, P2, and P3 respectively were 64.06±0.66; 55.54±0.44; 59.33±6.93; 66.61±4.60; 64.80±3.87 with p value = 0.037 in Kruskal-Wallis test. Post hoc Mann-Whitney analysis showed significant value in group K(-) with P2, P3, K(+). Based on this study, it can be concluded that vitamin C has effect to o testis weight, numbers of Leydig cells, and diameter of seminiferus tubules of adult male mice induced by monosodium glutamate.

(3)

JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculusL) JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI

MONOSODIUM GLUTAMAT

Oleh

Kania Anindita Bustam

Monosodium glutamat merupakan bumbu penyedap makanan yang banyak

digunakan serta memiliki efek radikal bebas didalam tubuh bila penggunaannya melebihi batas normal. Stres oksidatif yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kesuburan pada pria dengan mempengaruhi proses spermatogenesis. Vitamin C merupakan salah satu jenis antioksidan yang efektif dalam menangkal efek dari radikal bebas di dalam tubuh.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian vitamin C tehadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculusL) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol.

Subjek penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan dewasa strain DD Webster yang dibagi secara acak dalam 5 kelompok yaitu K(-) ( diberi MSG 4mg/grBB), K(+) (diberi vitamin C 0,2 mg/grBB), P1 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,07 mg/grBB), P2 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,2 mg/grBB), P3 (diberi MSG 4 mg/grBBdan vitamin C 0,6) mg/grBB) setelah 15 hari perlakuan dilakukan pengamatan terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit. Analisis data yang digunakan uji one way

Anova yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode LSD dan uji

Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode

Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat testis pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 0.123±0.008; 0.092±0.008; 0.098±0.007; 0.110±0.007; 0.118±0.008 dengan nilai p=0.000 pada uji one way

(4)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah sel Leydig pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 434±54.92; 248±81.42; 251±90.27; 299±47.70; 469±79.01 dengan nilai p=0.000 pada ujione wayAnova. Pada analisispost hocLSD diperoleh nilai bermakna pada kelompok K(+) dengan kelompok K(-), P1,dan P2; kelompok K(-) dengan K(+) dan P3; kelompok P1 dengan P3 dan K(+); kelompok P2 dengan K(+), P3; kelompok P3 dengan K(-), P1, dan P3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata diameter tubulus seminiferus pada kelompok K(+), K(-), P1, P2, dan P3 secara berturut-turut adalah 64.06±0.66; 55.54±0.44; 59.33±6.93; 66.61±4.60; 64.80±3.87 dengan nilai p=0.037 pada uji

Kruskal-Wallis. Pada analisis post hoc Mann-Whitney diperoleh nilai bermakna pada kelompok K(-) dengan kelompok P2, P3, dan K(+).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa vitamin C memiliki pengaruh terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculusL.) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat.

(5)
(6)
(7)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 Desember 1989, dari pasangan Ir. Bustam Hadori, M.M dan Dra. Farida Ariyani, M.PD. sebagai anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Tunas Mekar Indonesia Bandar Lampung pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Rawa Laut (SDN 2 Teladan) pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di (MTs) Ma’had Al-Zaytun pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA YP UNILA pada tahun 2007.

(8)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsidengan judul “Pengaruh Pemberian Vitamin C terhadap Berat Testis,

Jumlah Sel Leydig, dan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit Jantan ( Mus

musculus L) Dewasa yang Diinduksi Monosodium Glutamat”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Harianto, M. Sc., selaku rektor Universitas Lampung.

(9)

skripsi ini;

4. Ibu dr. Khairun Nisa, M.Kes, AIFO., selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi. Terimakasih atas waktu, ilmu dan saran-saran yang telah diberikan;

5. Ibu dr.Nurul Islamy, M. Kes. dan Ibu dr. Dian Angraini selaku Pembimbing Akademik;

6. Papi dan Mami yang telah membesarkan uni selama 22 tahun. Terima kasih atas doa yang selalu kalian panjatkan untukku. terima kasih atas kasih sayang yang telah kalian berikan, terimakasih atas ilmu-ilmu yang selalu kalian ajarkan, terimakasih atas nasihat-nasihat yang selalu kalian berikan, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan selama ini, terimakasih atas motivasi, kesabaran, pengalaman dalam kehidupan yang selama ini berjalan. Maaf bila uni belum dapat memberikan hasil yang sempurna.

7. Kakakku tersayang, Nurul Azizah Bustam, terima kasih atas segala nasihat, motivasi, pelajaran-pelajaran, dan bimbingan yang selalu kau berikan kak. Engkau adalah panutanku kak, walaupun sulit bagiku untuk menyamaimu, tapi aku bangga menjadi adikmu.

(10)

10. Seluruh keluarga besarku, terima kasih atas doa dan motivasi yang diberikan.

11. Sahabat-sahabat terbaikku: Dewi Anggraini, Defi Nurlia, Fira Tania, Prili Olda, Putri Anggia Bunga, dan Riza Zahara, terima kasih atas nasihat-nasihat, motivasi-motivasi, dan kasih sayang yang kalian berikan selama ini. Tanpa kalian kehidupanku di FK mungkin akan kurang berwarna. 12. Teman-teman skripsi, Chintya Giska, Eka Aprilia Arum K, Rezandi

Aziztama, dan Riza Zahara, yang berkerjasama dengan baik sehingga penelitian ini selelsai dengan baik.

13. Seluruh Staf Dosen FK Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, sehingga menambah wawasan penulis dalam perjalan meraih cita-cita.

14. Seluruh staf Tata Usaha FK Universitas Lampung dan pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, teruntama untuk Mbak Nur dan Mas Bayu, terimakasih atas bantuan dan dukungannya;

15. Bapak Sahroni yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi;

(11)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, 25 Januari 2012

Penulis

(12)

i

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 8

E. Kerangka pemikiran ... 9

F. Hipotesis ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Sistem Reproduksi Pria 1. Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Pria... 14

a. Testis pada Manusia... 14

b. Epididmis pada Manusia... 18

c. Vas Deferens pada Manusia... 19

d. Kelenjar-kelenjar aksesorius... 20

2. Histologi Sistem Reproduksi Pria... 21

a. Tubulus Seminiferus... 21

b. Sel-sel Germinal... ... 22

c. Sel Sertoli... . 23

d. Sel Leydig... . 24

3. Spermatogenesis... 26

B. Monosodium Glutamat. ... 31

1. Kimia Monosodium Glutamat. ... 31

2. Metabolisme Monosodium Glutamat... 34

3. Efek Biologis Monosodium Glutamat. ... 38

4. Efek MSG Terhadap Sistem Reproduksi. ... 39

(13)

ii

3. Biokimia Vitamin C. ... 46

4. Hubungan Vitamin C Terhadap Fertilitas. ... 48

E. Antioksidan ... 50

1. Pengertian Antioksidan ... 50

2. Golongan-golongan Antioksidan. ... 51

3. Sumber Antioksidan... 53

4. Cara Kerja Antioksidan... 55

III. METODE PENELITIAN ... 56

A. Desain Penelitian ... 56

B. Waktu dan Tempat Penelitian... 56

C. Populasi dan Sampel Penelitian . ... 56

D. Alat dan Bahan Penelitian... 58

E. Prosedur Penelitian ... 59

1. Pemeliharaan Hewan Uji ... 59

2. Persiapan Hewan Uji ... 59

3. Penyediaan Vitamin C dan MSG... 60

4. Pemberian Perlakuan ... 66

F. Proses Pembedahan dan Pengambilan serta Pengamatan Histologi... 67

1. Proses Pembedahan... 67

2. Pengambilan dan Penimbangan Testis... 67

3. Pembuatan Preparat Histologi... 67

4. Pemeriksaan Histologi ... 70

G. Perhitungan Jumlah Sel Leydig dan Sel Sertoli... 70

H. Perhitungan Diameter Tubulus Seminiferus. ... 70

I. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel... 71

J. Rancangan Percobaan dan Analisis Data... 73

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

A. Hasil Penelitian ... 76

1. Berat Testis ... 76

2. Jumlah Sel Leydig ... 80

3. Diameter Tubulus Seminiferus…... 84

B. Pembahasan... 87

1. Berat Testis ... 91

2. Jumlah Sel Leydig... 93

(14)
(15)

v

Tabel Halaman

1. Sumber Radikal Bebas ... 44

2. Definisi Operasional ... 72

3. Rerata Ukuran Berat Testis . ... 77

4. Hasil Uji Statistik Berat Testis ... 79

5. Rerata Jumlah Sel Leydig . ... 80

6. Hasil Uji Statistik Jumlah Sel Leydig . ... 82

7. Rerata Diameter Tubulus Seminiferus . ... 84

(16)

iv

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsep Penelitian ... 12

3. Anatomi Sostem Reproduksi Pria ... 14

4. Tubulus Seminiferus ... 21

5. Sel Leydig dan Sel Sertoli... 25

6. Spermatogenesis ... 26

7. Rumus Bangun Monosodium Glutamat... 31

8. Bagan alir penelitian ... 76

9. Gambaran Sel Leydig... 82

10. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada K(+) ... 85

11. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada K(-) ... 85

12. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada P1... 86

13. Pengukuran Diameter Tubulus Sekiniferus pada P2... 86

(17)

A. Latar Belakang

Dewasa ini wisata kuliner sangatlah digemari oleh banyak orang, dimana setiap mereka berkunjung ke suatu daerah wisata hal utama yang dituju ialah mencicipi makanan khas daerah tersebut. Suatu makanan dirasa berkesan bila makanan tersebut menghasilkan rasa yang lezat dan membuat orang yang memakannya ingin makan lagi atau ketagihan. Hampir setiap industri makanan menggunakan bumbu penyedap sebagai bumbu pelengkap yang dapat menimbulkan rasa lezat, salah satunya ialah menggunakan “micin” atau

Monosodium Glutamat. Monosodium Glutamat (MSG) telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan, penggunaannya bukan hanya di industri makanan saja, namun digunakan juga oleh para ibu-ibu rumah tangga. Sebab dengan menambahkan sedikit MSG ke dalam masakan, akan memberikan kelezatan yang setara dengan ekstrak daging sapi. MSG telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dalam bentuk L-glutamic acid(Gehaet al., 2000).

(18)

peptida ataupun protein (Geha et al., 2000;FDA. 1995). Glutamat dalam bentuk bebas didapat dari makanan seperti tomat, keju, dan kecap yang merupakan hasil fermentasi. Secara alamiah glutamat yang berada dalam tubuh kita berasal dari makanan yang mengandung protein seperti keju, susu, daging, kacang kapri, dan jamur (FDA, 1995).

Di Indonesia rata-rata masyarakat mengkonsumsi MSG sekitar 0,6 g/hari (Prawiroharjoet al., 2000) atau 0,3–1,0 g/hari di negara industri (Gehaet al., 2000). Konsumsi tersebut bisa meningkat tergantung pada isi kandungan MSG dalam makanan dan juga tergantung pilihan rasa seseorang (Geha et al., 2000). Food and Drug Administration (FDA) kemudian menetapkan MSG sebagai “food additive atau food enhancer”, serta mengklasifikasikan MSG

sebagai bahan yang aman untuk dikonsumsi (Generally Recognized As Safe, GRAS) seperti bahan makanan lainnya, misalnya garam, cuka, dan pengembang kue (FDA, 1995), akan tetapi setelah bertahun-tahun digunakan, muncul efek yang tidak diharapkan dari MSG. Efek ini pertama kali ditemukan pada tahun 1968 setelah Robert Ho Man Kwok seorang doktor Cina-Amerika mencicipi hidangan China dia merasa kebas dan jantung berdebar-debar, mual, sakit kepala. Sehingga gejala-gejala tersebut dikenal dengan nama “Chinese restaurant syndrome”(Sand, 2005).

(19)

pada tikus yang disuntikan MSG. Berdasarkan alasan ini pimpinan dari White House Conference on Food Nutrition an Health memerintahkan untuk menarik MSG dari makan bayi (Sand, 2005)

MSG bersifat neurotoksik, Legardi et al., (1998) menemukan bahwa MSG menyebabkan ablasi sumbu arcuate nucleus hipothalamus sehingga dapat mengganggu fungsi hipothalamus–pituitary–organ target axis. Hipothalamus mensekresi gonadotropinreleasing hormon yang merangsang pengeluaran hormon gonadotropin (LH dan FSH) dari hipofisis anterior. Kedua hormon ini diperlukan untuk perkembangan gonad pria maupun wanita serta penting keberadaannya untuk proses spermatogenesis dan oogenesis. Terganggunya fungsi hipothalamus mengakibatkan gangguan fungsi endokrin, termasuk hormon reproduksi sehingga turut mempengaruhi fungsi gonad (Camihort, 2004).

(20)

Sedangkan kadar asam askorbat pada testis terjadi penurunan (Vinodini, 2008). Pada penelitian tikus jantan yang diberi MSG selama 15 hari (paparan jangka pendek) dan 30 hari (paparan jangka panjang) yang diberi 4 g/kg BB intraperitoneal memperlihatkan pengaruhnya berupa penurunan berat testis, jumlah sperma, kadar asam askorbat, dan peningkatan jumlah sperma yang rusak atau abnormal. Jumlah sperma yang normal pada tikus yang dipaparkan dengan MSG jangka pendek lebih sedikit dibanding dengan yang dipaparkan dengan jangka panjang (Nayantara, 2008).

Mencit jantan berumur 2 hari yang dipaparkan 4 mg/g BB MSG (setara dengan 30-240 mg/kg BB pada manusia) menunjukkan berat badan, jumlah sel Sertoli dan sel Leydig per testis yang lebih rendah pada saat puber (Franca, 2005). Penemuan berat vesikula seminalis dan epididimis, tetapi tidak disertai dengan perubahan struktur histologi testis mencit pasca pemberian MSG juga telah dilaporkan oleh Giovambattista (2003). Penurunan jumlah sel Leydig ini, menyebabkan produksi testosteron juga berkurang. Hipogonadisme yang terjadi diduga disebabkan oleh penurunan kadar LH dan FSH dan FT4 darah yang berperan dalam perkembangan organ reproduksi dan fungsi reproduksi (Franca, 2005).

(21)

hipothalamus dan LH-FSH dari hipofisis anterior. Namun hyperleptinemia juga menghambat aktivitas sel Leydig, mempengaruhi proses steroidogenesis, sekresi dan stimulasi tetsosteron (Giovamabttista, 2003).

Vitamin C merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat pada cairan ekstrasel. Vitamin C menetralisir hidroksil, superoksid, radikal hydrogen peroksid dan mencegah aglutinsi sperma. Vitamin C ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada pria infertile. Vitamin C meningkatkan jumlah sperma secara invivo pada pria infertile dengan dosis 200-1000 mg/hari (Agarwal, 2005). Penelitian terhadap pasien infertil dengan keadaan oligosperma, motilitas sperma rendah dan jumlah sperma bentuk normal yang rendah, setelah diberikan suplemen vitamin C 1000 mg per hari selama 2 bulan, memperlihatkan peningkatan jumlah sperma, motilitas sperma, dan jumlah sperma yang morfologinya normal (Akmalet al, 2006).

(22)

meningkatkan efek senyawa radikal bebas yang disebabkan oleh timbal (Fauzi, 2008).

Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa pemberian MSG memberikan pengaruh terhadap kadar LH dan FSH dalam testis, sehingga dapat menyebabkan gangguan spermatogenesis, serta dapat menyebabkan penurunan berat testis. Serta vitamin C yang mempunyai efek sebagai anti-oksidan dalam tubuh. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus yang telah dipapari monosodium glutamat.

B. Rumusan Masalah

(23)

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat? 2. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap jumlah sel

Leydig mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat?

3. Apakah terdapat pengaruh pemberian vitamin C terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan dewasa yang telah diinduksi oleh Monosodium Glutamat?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap testis mencit jantan dewasa yang diinduksi Monosodium Glutamat.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis mencit jantan dewasa yang diakibatkan oleh induksi Monosodium Glutamat.

(24)

c. Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan dewasa yang diakibatkan oleh induksi Monosodium Glutamat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi ilmu pengetahuan, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pencegahan kerusakan testis beserta sel-sel yang berperan penting dalam spermatogenesis serta berbagai penyakit lain yang mempunyai patogenesis serupa (Reaksi oksidan-anti oksidan).

2. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang ilmu Biologi Medik sekaligus dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan.

3. Bagi institusi/masyarakat :

a. Sebagai bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

(25)

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Pemberian MSG 4 mg/g berat badan akan menimbulkan terjadinya stress oksidatif pada mencit yang ditandai dengan peningkatan kadar lipid peroksidasi dan penurunan kadar asam askorbat yang akan berakibat terhadap penurunan berat testis, serta terbentuknya radikal bebas yang akan dilawan oleh tubuh mencit dengan cara meningkatkan enzim glutathione reduktase (GR), glutathione-S- transferase (GST), glutathione peroxidase (GPX) yang berfungsi untuk meningkatkan produksi glutathione yang merupakan anti oksidan.

(26)
(27)

Gambar 1. Kerangka Teori Monosodium

Glutamat

Radikal bebas

Stress Oksidatif

 Peningkatan lipid peroksidase  Penurunan kadar

asam askorbat Vitamin C

Antioksidan

Lesi di Hipotalamus

Penurunan Sekresi FSH dan LH

Penurunan Jumlah Sel Leydig

Penurunan Populasi Sel Spermatogenik

Penurunan Diameter Tubulus Seminiferus

Penurunan peranan dan fungsi antioksidan di

testis Penurunan Sekresi

Testosteron

Gangguan Spermatogenesis

(28)

2. Kerangka Konsep

Keterangan:

: faktor-faktor yang mempengaruhi

: Memperbaiki kerusakan yang terjadi pada testis akibat pemberian MSG

: Membuat kerusakan pada testis

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Endogen:

• Hormon • Psikologis • Genetik

Faktor Eksogen: • Fisik • Kimia • Obat-obatan

Vitamin C

• Berat Testis • Jumlah Sel Leydig • Jumlah Sel Sertoli • Diameter Tubulus

Seminiferus

(29)

F. Hipotesis

1. Vitamin C mempunyai pengaruh terhadap berat testis mencit (Mus musculus L) jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat. 2. Vitamin C mempunyai pengaruh terhadap jumlah sel Leydig mencit

(Mus musculus L) jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat.

(30)
[image:30.595.163.474.262.503.2]

A. Sistem Reproduksi Pria

Gambar 3. Anatomi Sistem Reproduksi Pria (Anonim, 2011)

1. Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Pria a. Testis pada Manusia

(31)

berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus seminiferus (Syahrum, 1994). Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval, agak gepeng dengan panjang sekitar 4 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Bersama epididimis, testis berada di dalam skrotum yang merupakan sebuah kantung ekstra abdomen tepat di bawah penis.

Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intra abdomen yang bermigrasi ke dalam skrotum primitif selama perkembangan genitalia interna pria. Setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus vaginalis) akan menutup (Heffner & Schust, 2006).

(32)

dengan plexus pampiriformis yang melepaskan vena tetikularis dalam canalis inguinalis. Aliran limfe dari testis disalurkan ke nodi lymphoide lumbalis dan nodi lymphoidei preaortici. Saraf otonom testis berasal dari plexus testicularis sekeliling arteria testicularis (Moore, 2002).

Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang akan mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga menjadi sperma. Sel-sel yang terdapat di antara tubulus seminiferus disebut interstitial (leydig). Sel ini menghasilkan hormon seks pria yang disebut testosteron (Syahrum, 1994).

Menurut Saryono (2008), sel yang berperan dalam testis adalah:

• Tubulus seminiferus, bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa per hari selama masa produksi. Sel ini terdiri dari sperma dan sel sertoli.

• Sel leydig (sel interstisial), menyusun komponen endokrin utama yang bertanggung jawab menghasilkan testosteron.

• Sel sertoli

(33)

pengikat intertubuler testis dan jaringan pengikat padat pembungkus testis. Sebagaimana fungsi testis pada umumnya, maka testis mencit juga berfungsi selain merupakan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon steroid, juga bersifat sebagai kelenjar eksokrin karena menghasilkan spermatozoa (Burkittet al., 1993).

Testis terdiri atas 900 lilitan tubulus seminiferus, yang masing-masing mempunyai panjang rata-rata lebih dari 5 meter. Sperma kemudian dialirkan ke dalam epididimis, suatu tubulus lain yang juga berbentuk lilitan dengan panjang sekitar 6 meter. Epididimis mengarah ke dalam vas deferens, yang membesar ke dalam ampula vas deferens tepat sebelum vas deferens memasuki korpus kelenjar prostat. Vesikula seminalis, yang masing-masing terletak di sebelah prostat, mengalir ke dalam ujung ampula prostat, dan isi dari ampula dan vesikula seminalis masuk ke dalam duktus ejakulatorius terus melalui korpus kelenjar prostat dan masuk ke dalam duktus uretra internus. Duktus prostatikus selanjutnya mengalir dari kelenjar prostat ke dalam duktus ejakulatorius. Akhirnya, uretra merupakan rantai penghubung terakhir dari sejumlah besar kelenjar uretra kecil yang terletak di sepanjang dan bahkan lebih jauh lagi dari kelenjar bulbouretralis (kelenjar Cowper) bilateral yang terletaak di dekat asak uretra (Guyton, 2007).

(34)

kehidupan janin, testis perlahan mulai turun keluar dari rongga abdomen melalui kanalis semi inguinalis masuk ke dalam skrotum. Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke tujuh masa gestasi. Testis melaksanakan dua fungsinya yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron.

Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang di dalamnya berlangsung proses spermatogenesis. Sel Leydig atau sel interstitium yang terletak di jaringan ikat antara tubulus-tubulus seminiferosa inilah yang mengeluarkan testosteron. Setelah disekresikan oleh testis, kurang lebih 97% dari testosteron berikatan lemah dengan plasma albumin atau berikatan kuat dengan beta globulin yang disebut hormon seks binding globulin dan akan bersirkulasi di dalam darah selama 30 menit sampai satu jam. Pada saat itu testosteron ditransfer ke jaringan atau didegradasikan menjadi produk yang tidak aktif yang kemudian dieksresikan (Sherwood, 2004).

b. Epididimis pada Manusia

(35)

melewati jalan yang berliku-liku, duktus ini berakhir pada ekor epididimis yang kemudian menjadi vas deferens (Heffner & Schust, 2006).

Epididimis terletak pada bagian dorsal lateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis (Rugh, 1968). Epitel epididimis memiliki dua fungsi. Pertama, mensekresikan plasma epididimis yang bersifat kompleks tempat sperma tersuspensikan dan mengalami pematangan. Kedua, mengabsorbsi kembali cairan testikuler yang mengangkut sperma dari tubulus semineferus dan sperma yang sudah rusak (Hafez dan Prasad, 1976).

c. Vas Deferens pada Manusia

(36)

suatu seri kontraksi yang dikontrol oleh syaraf (Brueschke et al., 1976).

Vas deferens akan melalui kanalis inguinalis masuk ke dalam rongga tubuh dan akhirnya menuju uretra penis. Uretra penis dilalui oleh sperma dan urin. Sperma akan melalui vas deferens oleh kontraksi peristaltik dindingnya. Sepanjang saluran sperma terdapat beberapa kelenjar yang menghasilkan cairan semen. Sebelum akhir vas deferens terdapat kelenjar vesikula seminalis. Pada bagian dorsal buli-buli, uretra dikelilingi oleh kelenjar prostat. Selain itu terdapat juga kelenjar ketiga yaitu kelenjar Cowper. Keluar dari saluran reproduksi pria berupa semen yang terdiri dari sel sperma dan sekresi kelenjar-kelenjar tersebut (semen plasma). Semen plasma berfungsi sebagai medium sperma dan dipergunakan sebagai buffer dalam melindungi sperma dari lingkungan asam saluran reproduksi wanita (Syahrum, 1994).

d. Kelenjar- kelenjar Aksesoris pada Organ Reproduksi Pria

(37)

2. Histologi Sistem Reproduksi Pria

[image:37.595.141.501.154.358.2]

a. Tubulus Seminiferus

Gambar 3. Tubulus Seminiferus (Junqueira, 2007)

Epitel tubulus seminiferus berada tepat di bawah membran basalis yang dikelililngi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut jaringan peritubular yang mengandung serat-serat jaringan ikat, sel-sel fibroblast dan sel otot polos yang disebut dengan sel mioid. Diduga kontraksi sel mioid ini dapat mengubah diameter tubulus seminiferus dan membantu pergerakan spermatozoa. Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Garis tengahnya lebih kurang 150-250 µm dan panjangnya 30-70 cm. Panjang seluruh tubulus satu testis mencapai 250 m.

(38)

lobulus, lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang dikenal sebagai tubulus rektus, atau tubulus lurus, yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin saluran-saluran berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini, terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan bagian kepala epididimis oleh 10-20 duktulus eferentes (Junqueira, 2007).

Tubulus seminiferus terdiri sel spermatogenik dan sel Sertoli yang mengatur dan menyokong nutrisi spermatozoa yang berkembang, hal ini tidak dijumpai pada sel tubuh lain. Sel-sel spermatogenik membentuk sebagian terbesar dari lapisan epitel dan melalui proliferasi yang kompleks akan menghasilkan spermatozoa (Junqueira, 2007). Diameter tubulus seminiferus adalah jarak antar dua titik yang bersebrangan pada garis tenganya, titik tersebut berada pada membrana basalis tubulus seminiferus ( Maslachah, 2004).

b. Sel-sel Germinal

(39)

spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan spermatogenik, sementara spermatogonium tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Junqueira, 2007). Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).

(40)

c. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel pyramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel Sertoli melekat pada lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam lumen tubulus seminiferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel Sertoli tidak jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron mengungkapkan bahwa sel ini mengandung banyak retikulum endoplasma licin, sedikit retikulum endoplasma kasar, sebuah kompleks Golgi yang berkembang baik, dan banyak mitokondria dan lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga, memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok, memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel Sertoli adalah untuk menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa. Selain itu, sel Sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma selama spermatogenesis, sekresi sebuah protein pengikat androgen dan inhibin, dan produksi hormon anti-Mullerian (Junqueira, 2007).

d. Sel Leydig

(41)
[image:41.595.172.490.278.558.2]

sitoplasma sering bervakuol pada sajian mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Umumnya pula dijumpai sel yang memiliki dua inti. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik lipid, dan pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang. Celah di antara tubulus seminiferus dalam testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe (Junqueira, 2007).

(42)
[image:42.595.142.459.123.473.2]

3. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis Manusia

Gambar 5. Spermatogenesis pada Manusia (Eilts, 2004)

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan seksual aktif dari rangsangan oleh hormon gonadotropin hipofisis anterior, dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup (Guyton, 2007). Adapun tahap-tahap spermatogenesis ialah:

(43)

untuk membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B.

b. Spermatogonia bermigrasi kearah sentral di antara sel-sel Sertoli. c. Untuk jangka waktu rata-rata 24 hari, setiap spermatogonium yang

melewati lapisam pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membentuk suatu spermatosit primer yang besar. Pada akhir ke-24, setiap spermatosit terbagi dua menjadi spermatosit sekunder. Pembagian ini disebut sebagai pembagian meiosis pertama.

d. Pada tahap awal dari pembagian meiosis pertama ini, semua DNA di dalam 46 kromosom bereplikasi. Dalam proses ini, masing-masing 46 kromosom menjadi dua kromatid yang tetap berikatan bersama sentromer, kedua kromatid memiliki gen-gen duplikat dari kromosom tersebut. Pada waktu ini, spermatosit pertama terbagi menjadi dua spermatosit sekunder, yang setiap pasang kromosom berpisah sehingga ke-23 kromosom, yang masing-masing memiliki dua kromatid, pergi ke salah satu spermatosit sekunder. Sementara 23 kromosom yang lain pergi ke spermatosit sekunder yang lain.

(44)

hanya setengah dari gen-gen spermatogonium yang pertama. Oleh karena itu, spermatozoa yang akhirnya membuahi ovum wanita akan menyediakan setengah dari bahan genetik ke ovum yang dibuahi dan ovum akan menyediakan setengah bagian berikutnya.

f. Selama beberapa minggu berikutnya setelah meiosis, setiap spermatid diasuh dan dibentuk kembali secara fisik oleh sel Sertoli, mengubah spermatid secara perlahan-lahan menjadi satu spermatozoa (sebuah sperma) dengan menghilangkan beberapa sitoplasmanya, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu kepala yang padat, dan mengumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Spermiogenesis)

g. Semua tahap pengubahan akhir dari spermatosit menjadi sperma terjadi ketika spermatosit dan spermatid terbenam dalam sel-sel Sertoli. Sel-sel Sertoli memelihara dan mengatur proses spermatogenesis, dari sel germinal sampai sperma, membutuhkan waktu kira-kira 64 hari.

(Guyton, 2007)

(45)

kualitasnya, dalam duktus genitalis paling sedikit selama satu bulan (Guyton, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi spermatogenesis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yakni:

a. Faktor endogen

Faktor endogen ialah endokrin (hormon), psikologis dan genetik. Selain hormon stroid, terdapat juga senyawa lain yang disekresikan oleh testis yaitu inhibin. Inhibin ini dihasilkan oleh sel Sertoli dan mempunyai fungsi menekan hipofisis untuk mensekresi gonadotropin (Syahrum et al., 1994; Janqueira, 2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa 30% spermatogenesis pada manusia disebabkan oleh faktor genetik yang secara fenotip dihubungkan dengan azoosperma dan aligospermia idiopatik yang berat (Vogt, 2001).

b. Faktor eksogen

Faktor eksogen meliputi faktor fisik, dan bahan kimia dan obat-obatn. Malnutrisi, alkoholisme, dan kerja obat tertentu (seperti busulfan) dapat mengakibatkan gangguan pada spermatogonia yang kemudian menyababkan penurunan produksi spermatozoa. Radiasi sinar-X dan garam Cadmium cukup toksik terhadap sel turunan spermatogenik (Janqueira, 2007).

(46)

32oC. Testis dipertahankan dingin oleh udara yang mengitari skrotum dan mungkin oleh udara yang mengitari skrotum dan mungkin oleh pertukaran panas melalui arus balik antar arteri dan vena spermatika. Bila testis tetap berada dalam abdomen atau bila pada hewan percobaan yang didekatkan ke tubuh dengan pakaian ketat akan terjadi degenerasi dinding tubulus dan sterilitas. Mandi air pana (43-45oC selama 30 menit perhari) dan busana penyokong atletik dapat menurunkan sel sperma pada manusia, kadang-kadanng sebesar 90% (Ganong, 2003).

Hormon-hormon yang berperan dalam spermatogenesis adalah sebagai berikut:

a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis. Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma.

b. Hormon Lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron.

c. Hormon Perangsang Folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

(47)

membawa keduanya ke dalam cairan dalam lumen tubulus seminiferus, membuat kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.

e. Hormon Pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Secara khusus hormon tersebut meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sendiri. Bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali (Ganong, 2008).

[image:47.595.211.426.357.454.2]

B. Monosodium Glutamat (MSG)

Gambar 6. Rumus Bangun Monosodium Glutamat (Lӧ liger, 2000)

1. Kimia Monosodium Glutamat

Monosodium Glutamat pertama sekali berhasil diisolasi oleh DR. Kikunea Ikeda di Universitas Tokya, pada tahun 1908, yang merupakan seorang ahli kimia berkembangsangan Jepang (George R, 1999), dengan rumus kimia C5H8O4NNaH2O. Dr. Ikeda mengisolasi asam glutamate tersebut dari rumput laut ‘kombu’ yang biasa digunakan dalam masakan Jepang.

(48)

dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa jepang ‘umai’ yang

berarti enak dan lezat. MSG sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin. Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada makanan yang sesuai, maka rasa, kenikmatan dan penerimaan terhadap makanan tersebut akan meningkat (Halpernet al., 2002).

Asam Glutamat digolongkan pada asam amino non esensial karena tubuh manusia sendiri dapat menghasilkan asam glutamat. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri pada asam amino. Struktur kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda dengan asam glutamat, hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung hidrogen diganti dengan natrium. Gugus karboksil setelah siionisasi dapat mengaktifkan stimulasi rasa pada alat pengecap (Naim, 1979).

(49)

bermacam-macam sayuran daging, seafood, dan air susu ibu. Glutamat dalam bentuk alami didapat dari makanan seperti tomat, keju, susu, daging, kacang kapri, jamur, dan kecap yang merupakan hasil fermentasi (FDA,1995). MenurutThe Glutamic AssociationAmerika Serikat, protein yang dikonsumsi sehari-hari mengandung 20-25% glutamat (Uke, 2008). Tubuh manusia terdiri dari 14-17% protein dan seperlimanya merupakan asam glutamat, bila berat tubuhnya 70 kg rata-rata mengandung 2 kg glutamat dalam protein tubuhnya (Sardjono, 1989).

Monosodium glutamat (MSG) adalah garam sodium “L glutamat acid

(50)

Rangsangan selera dari makanan yang diberi MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas dari efek sinergis MSG dengan 5 ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap. MSG bila larut dalam air ataupun saliva akan dengan cepat berdisosiasi manjadi garam bebas dan manjadi bentuk anion dari glutamat. Kemudian ion glutamat ini akan membuka channel Ca 2+ pada neuron yang terdapat pada teste bud sehingga memungkinkan ion Ca 2+ bergerak ke dalam sel sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor yang akan menimbulkan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa yang lezat. MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di sekuluh dunia (Geha et al, 2000) dan menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di Asia Tenggara (Widharto et al., 2000) dan di berbagai negara maju lainnya.

2. Metabolisme Monosodium Glutamat

(51)

enzim hidrolisa protein (Gehaet al., 2000). Metabolisme asam amino non esensial glutamat, menyebar luas di dalam jaringan tubuh. Dilaporkan bahwa 57% dari asam amino yang diabsorpsi dikonversi menjadi urea melalui hati, 6% menjadi plasma protein, 23% absorpasam amino melalui sirkulasi umum sebagai asam amino bebas, dan sisanya 14% tidak dilaporkan dan diduga disimpan sementara di dalam hati sebagai protein hati atau enzim. Kenyataannya bahwa semua glutamat yang di makan dari bahan makanan hanya 4 % yang keluar dari tubuh (Uke, 2008).

(52)

Bila MSG larut dalam air ataupun ludah akan berdisosiasi dengan cepat menjadi garam bebas dalam bentuk anion glutamat, kemudiam ion ini akan membuka saluran Ca2+ pada sel saraf yang terdapat kuncup perasa sehingga memungkinkan ion Ca2+ memasuki sel sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor. Depolarisasi selanjutnya menimbulkan potensial aksi yang sampai ke otak untuk kemudian diterjemahkan oleh otak sebagai rasa lezat. Pemberian MSG secara parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda dibanding per oral karena pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus dan vena porta. Sedangkan pada pemberian per oral, MSG akan melalui usus sebelum memasuki sirkulasi porta ke hati (Machrina, 2009).

(53)

pernah melebihi atau melampaui lima kali kadar basal jikia MSG diberi bersama makanan (Machrina, 2009).

Kadar puncak glutamat yang dicapai hewan dewasa setelah mengkonsumsi MSG secara oral ialah 1g/kg berat badan, kadar terendah dijumpai pada kelinci dan meningkat secara progresif pada monyet, anjing, mencit, tikus, dan marmut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kadar puncak asam glutamat plasma adalah rute pemberian (oral <subkutan <intraperitoneal), konsentrasi MSG dalam larutan (2%, 10%), dan usia )hewan baru lahir memetabolisme asam glutamat lebih rendah dari pada dewasa). Diperkirakan seorang dengan berat badan 70 kg setiap harinya dapat memperoleh asupan asam glutamat sekitar 28 g yang berasal dari makanan dan hasil pemecahan protein dalam usus. Pertukaran asam glutamat setiap harinya dalam tubuh sekitar 48 g. Tapi jumlahnya dalam darah sedikit sekitar 20 mg karena kecepatannya mengalami ekstraksi dan penggunaan oleh beberapa jaringan termasuk otot dan hati. (Garattini, 2000).

(54)

merangsang neuron berdekatan. Asam arakidonat merupakan salah satu hasil reaksi kimia yang akan bereaksi dengan enzim dan menghasilkan radikal bebas seperti radikal hidroksil (Gold, 1995).

3. Efek Biologis Monosodium Glutamat

Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (Food and Drugs Administration, FDA) Amerika Serikat mengklasifikasikan MSG sebagai bahan yang aman untuk dikonsumsi (Generally Recognized As Safe, GRAS) seperti bahan makanan lainnya, misalnya garam, cuka, dan pengembang kue (FDA, 1995). Sejalan dengan itu, hasil penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa konsumsi MSG sampai dengan 1,5 – 3,0 g per hari tidak menimbulkan efek apapun terhadap manusia (Widhartoet al., 2000).

(55)

MSG 4 mg dan 8 mg/g berat badan secara subkutan selama 6 hari menyebabkan hiperlipidemia, hiperglikemia, stress oksidatif, serta meningkatkan total lipid, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas secara signifikasi. MSG juga menyebabkan pengerasan pembuluh darah (aterosklerosis) yang menjadi faktor risiko penyakit jantung koroner (Akhtar, 2008).

4. Efek Monosodium Glutamat Terhadap Sistem Reproduksi

Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) melaporkan adanya dua kelompok orang yang cenderung mengalami kompleks gejala MSG (MSG-Symptomp complex), kelompok orang pertama yang tidak toleran terhadap konsumsi MSG dalam jumlah besar dan kelompok kedua merupakan orang dengan penyakit asma tidak terkontrol, orang-orang ini cenderung mengalami kompleks gejala MSG, perburukan gejala asma yang bersifat sementara setelah mengkonsumsi MSG dengan dosis antara 0,5 g sampai 2,5 g (FDA. 1995).

(56)

jantan dan betina yang manifestasinya akan muncul pada usia dewasa berupa pada mencit betina menimbulkan kehamilan lebih sedikit dan ovarium lebih kecil dan pada mencit jantan menimbulkan penurunan berat testis (Pizzi et al., 1997; Miskowiak et al., 1993). Tikus baru lahir yang diberikan MSG secara suntikan intraperitoneal dengan dosis 4 mg/g berat badan setiap dua hari sampai 10 hari, pada usia pubertas akan memperlihatkan penurunan berat testis, jumlah sel sertoli dan sel leydig per testis, peningkatan kadar leptin, penurunan kadar LH, FSH, testosteron dan T4 bebas, hal yang sama dijumpai pada tikus saat usia dewasa tapi jumlah sel leydignya tetap (Francaet al., 2006; Miskowiaket al., 1993).

(57)

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Vinodini et al (2008) memperlihatkan bahwa MSG dengan dosis 4g/kg berat badan secara intra peritoneal selain menimbulkan terjadinya penurunan berat testis dan penurunan kadar asam askorbat dalam testis, juga memperlihatkan peningkatan kadar peroksidasi lipid dalam testis dan pada kelompok jangka pendek meperlihatkan kerusakan oksidatif yang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok jangka panjang.

C. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah spesies kimia yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan protein. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga spesies kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 1999).

(58)

xantinoksidase, NADPH oksidase, mikrosom, membran inti sel dan peroksisom. Radikal bebas eksogen adalah radikal yang dihasilkan dari lingkungan luar seperti, asap rokok, radiasi UV, bahan kimia toksik. Jenis-jenis radikal bebas yang merusak sel terdiri dari (Setiati S, 2003):

1. Reactive Oxygen Species (ROS),

yaitu senyawa reaktif turunan oksigen misalnya radikal superoksida, radikal hidroksil (OH-), radikal alkoksil (RO), radikal peroksil (R02) serta senyawa bukan radikal yang berfungsi sebagai pengoksidasian atau senyawa yang mudah mengalami perubahan menjadi radikal bebas seperti hidrogen peroksida (HP), ozon (03) dan HOCI.

2. Reactive Nitrogen Species (RNS),

misalnya nitrogen dioksida (N02-), dan peroksi nitrit (ONOO-) dan bukan radikal seperti HN02 dan N2O4.

Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul ini. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak (Silalahi, 2006).

(59)

molekul H2O. Selain itu, oksigen dapat menjadi toxic mutagenic gas yang kemudian dikenal sebagai ROS (Reactive Oxygen Species). ROS merupakan senyawa oksigen yang bersifat reaktif. Senyawa ini pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Senyawa oksigen reaktif yang bersifat radikal, seperti radikal superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal peroksil (RO2-), dan radikal hidroperoksil (HO2-).

2. Senyawa oksigen reaktif yang bersifat nonradikal (oksidan), seperti hydrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorat (HOCl), ozon (O3), singlet oksigen (-O2) dan peroksinitrit (ONOO) (Sudiana, 2008).

(60)
[image:60.595.132.484.147.502.2]

Beberapa sumber radikal bebas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Sumber Radikal Bebas

Sumber Internal Sumber Eksternal

Mitokondria Fagosit

Xantin Oksidase

Reaksi yang melibatkan besi dan logam transisi lainnya

Arachidonat Pathway Peroksisome

Olahraga Peradangan Iskemi/ reperfusi

Rokok Sigaret Polutan Lingkungan Radiasi

Ozon

Zat-zat kimia, obat-obatan tertentu, pestisida, anesthesi, larutan industri

(Tuminah, 2000)

D. Vitamin C

1. Gambaran Umum Vitamin C

(61)

askorbat untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan golongan primata lainnya tidak dapat mensintesa asam askorbat disebabkan karena tidak memiliki enzim gulonolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar pemakan buah. Oleh sebab itu asam askorbat harus disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayur, atau tablet suplemen vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang didapat dari fungsi asam askorbat, seperti fungsinya sebagai anti oksidan, anti atherogenik, imunomodulator dan mencegah flu (Naidu, 2003). Akan tetapi untuk dapat berfungsi dengan baik sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga agar tetap dalam kadar yang relatif tinggi di dalam tubuh (Yi Li, 2007).

2. Sumber-sumber Vitamin C (Asam Askorbat)

Asam askorbat banyak ditemukan di dalam buah-buahan dan sayuran segar. Buah yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah jeruk, lemon, semangka, strawberi, mangga, dan nenas. Sedangkan sayuran yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah sayuran yang berwarna hijau, tomat, brokoli, dan kembang kol. Kebanyakan tumbuhan dan hewan mensintesa asam askorbat dari glukosa-D atau galaktosa-glukosa-D. Sebagian besar hewan memproduksi asam askorbat yang relatif tinggi dari glukosa yang terdapat di liver (Naidu, 2003).

(62)

berbagai macam suplemen, bentuknya dapat berupa tablet, kapsul, tablet kunyah, bubuk kristal, dan dalam bentuk larutan. Baik asam askorbat yang alami maupun sintetis memiliki rumus kimia yang identik dan tidak terdapat perbedaan aktivitas biologi dan bioavailibilitasnya (Naidu, 2005).

3. Biokimia Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 178,13 dengan rumus bangun C6H8O6, dalam bentuk kristal tidak berwarna dengan titik cair 190-192oC. Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% C6H8O6. Asam askorbat adalah suatureduktor. Sifat reduktor tersebut disebabkan oleh mudah terlepasnya atom-atom hydrogen pada gugus hidroksil yang terikat pada atom C2 dan atom C3 (atom-atom C pada ikatan rangkap). Akibat pengaruh oksigen, zat-zat pengoksidasi lemah, atau oleh pengaruh enzim asam askorbat oksidase, asam askorbat mudah mengalami oksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Reduksi asam dehidroaskorbat karena vitamin C bersifat reduktor akan menghasilkan asam askorbat kembali. Oksidasi secara timbal balik ini juga terjadi di dalam tubuh. Karena memiliki sifat mudah teroksidasi, asam askorbat digunakan sebagai antioksidan (Sumardjo, 2006).

(63)

(Naidu, 2003). Kebanyakan spesies mamalia dapat mensintesa asam askorbat kecuali manusia dan primata lainnya, marmut dan kelelawar pemakan buah juga tidak dapat mensintesa asam askorbat (Luck, 1995). Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki enzim gulonolakton oksidase yang sebenarnya sangat penting dalam mensitesa immediate precusor asam askorbat yaitu 2-keto-1-gulonolakton. DNA yang memberi kode untuk gulonolakton oxidase telah mengalami mutasi sehingga menyebabkan ketidakberadaan enzim yang berfungsi.

Vitamin C merupakan donor elektron dan juga merupakan reducing agent. Asam askorbat mendonorkan dua elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lainteroksidasi. Bagaimanapun akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan menghilang dan digantikan oleh radikal bebas semidehydroaskorbic acid atau radikal ascorbyl, yang merupakan zat yang terbentuk akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya, bila dibandingkan dengan radikal bebas yang lain, radikal aascorbyl ini relatif stabil dan tidak reaktif.

(64)

terbentuk menggantikannya ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut. Bila radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acidsudah dibentuk maka dia akan dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang terpisah dengan cara mereduksi komponen yang terdapat di sistem biologi seperti glutation, akan tetapi pada manusia hanya sebagian yang direduksi kembali menjadi asam askorbat yang lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat. Dehydroascorbic acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme dengan cara hidrolisis.

4. Hubungan Vitamin C (Asam Askorbat) Terhadap Fertilitas

Asam askorbat memberikan efek baik kepada integritas dari struktur tubular maupun fungsi sperma. Pada tubular dapat diasumsikan bahwa asam askorbat dibutuhkan untuk sekresi dan pemeliharaan lapisan kolagen tipe I dam IV, yang merupakan bagian utama dari kompleks lamina basalis. Pada endokrin, asam askorbat menstimulasi oxitosin. Defisiensi asam askorbat telah lama dihubungkan dengan jumlah sperma yang rendah, peningkatan jumlah sperma yang abnormal, mengurangi motilitas dan aglutinasi.

(65)

sering timbul akibat polusi lingkungan dan metabolisme selular yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dari DNA.

Kadar leptin meningkat beberapa kali lipat (2,41: 8,07) pada tikus prepubertal yang diberi MSG, pada tikus tersebut menunjukkan kadar plasma LH, FSH, T, dan FT menurun secara signifikan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan testis, proliferasi sel sertoli dan sel leydig terganggu dengan pemberian MSG selama prepubertas. Tikus dewasa yang diberi MSG menunjukkan peningkatan kadar leptin dan penurunan kadar LH, FSH, tetapi kadar T dan FT menunjukkan dalam keadaan normal dan juga tidak terlihat perubahan struktur testis.

(66)

E. Antioksidan

1. Pengertian Antioksidan

Menurut Suhartono (2002) antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Menurut Lautan (1997) antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif.

Penggunaan senyawa antioksidan sebagai anti radikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arterosclerosis, kanker, serta gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas (Tahiret al., 2003).

(67)

tersebut sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas terhadap sel, jaringan atau organ dapat dicegah. Biasanya efektivitas antioksidan disebabkan oleh sifat senyawa yang akan dilindungi. Tubuh mempunyai mekanisme yang dapat menetralisir bahaya radikal bebas dengan sistem antioksidan, namun timbulnya penyakit disebabkan karena jumlah radikal bebas melebihi jumlah sistem antioksidan.

2. Golongan-golongan Antioksidan

Antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 golongan, yaitu:

1. Antioksidan enzimatik (SOD, glutation peroksidase, katalase). 2. Antioksidan hidrofilik (asam askorbat, GSH, asam urat).

3. Antioksidan lipofilik (tokoferol, flavonoid, karotenoid, ubi-kuinol). 4. Antioksidan pereduksi (glutation reduktase, dehidro askorbat

reduktase, tioredoksinreduktase)

5. Antioksidan pendukung pereduksi (glukosa6-fosfatdehidrogenase)

Menurut Winarsi (2005), tubuh memiliki sistem pertahanan internal terhadap radikal bebas. Sistem pertahanan tersebut dikelompokkan menjadi 3 golongan:

1). Antioksidan Primer

(68)

bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga ko-faktor. Antioksidan primer yang berperan sebagai kofaktor yaitu: a. Superoksida Dismutase

Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada mineral-mineral seperti tembaga, mangan yang bersumber pada kacang-kacangan, padi-padian.

b. Glutathione Peroksidase

Enzim tersebut mendukung aktivitas enzim SOD bersama-sama dengan enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak berubah menjadi pro-oksidan. Glutathione sangat penting sekali melindungi selaput-selaput sel.

c. Katalase

Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air. Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant.

2). Antioksidan Sekunder

(69)

buah-buahan. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai penangkap radikal bebas.

3). Antioksidan Tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contohnya adalah enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang dirusak oleh radikal bebas (Winarsi, 2005).

3. Sumber Antioksidan

Antioksidan memiliki jenis yang beraneka ragam. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami).

1). Antioksidan sintetik

(70)

2). Antioksidan alami

Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan, Angiosperm memiliki kira-kira 200.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami terbesar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, biji, dan serbuk sari (Pokorniet al., 2001).

Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Pokorniet al., 2001).

(71)

antioksidan yang diisolasi. Hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya komponen lain dan interaksinya dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang berperan secara positif (Silalahi, 2006).

4. Cara Kerja Antioksidan

Antioksidan berperan dengan cara:

1. Mengkatalisis radikal bebas oleh enzim SOD, katalase dan peroksidase.

2. Mengikat prooksidan (ionFe, Cu, dan hem), contohnya transferin, haptoglobin, hemopeksin dan seruloplasmin.

3. Membersihkan ROS oleh antioksidan dari senyawa-senyawa dengan berat molekul kecil seperti glutation tereduksi (GSH), asam askorbat, bilirubin, α-tokoferol dan asam urat. (Halliwell dan B Gutteridge JMC,

(72)

A. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental murni dengan Rancangan Acak Terkontrol.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung selama 15 hari. Pembedahan organ testis mencit (Mus musculusL) dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Lampung.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

(73)

penelitian WHO yaitu minimal 5 ekor mencit tiap kelompok dan dengan menggunakan rumus Frederer seperti di bawah ini:

(5-1)(n-1) 15 4(n-1) 15 4n415

4n19 n4,83

n5 t = kelompok perlakuan (5 kelompok )

n = jumlah pengulangan atau sampel tiap kelompok

Sampel yang dipilih ialah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriterianya ialah sebagai berikut:

Kriteria inklusi : 1. Sehat

2. Memiliki berat badan antara 25-35 gr 3. Jenis kelamin jantan

4. Usia 12-16 minggu Kriteria eksklusi:

1. Sakit ( penampakan bulu kusam, rontok atau botak, dan aktifitas kurang atau tidak aktif).

(74)

2. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah 1 minggu masa adaptasi di laboratorium.

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Pada penelitian ini alat yang digunakan ialah: seperangkat alat bedah, mikroskop, pipet tetes, erlenmeyer, mikrotom, mikrometer, soxhlet, objek glass, alumunium foil, neraca analitik, kandang mencit yang terbuat dari kawat sebanyak 5 kandang, spuit yang ujungnya telah ditumpulkan atau sonde lambung, spuit 1ml, botol gelap, dan tempat minum mencit.

2. Bahan Penelitian

(75)

E. Prosedur Penelitian

1. Pemeliharaan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus L) jantan strain DD webster dewasa. Umur 12-16 minggu dengan berat 25-35 gram dan sehat. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari untuk mencegah infeksi yang dapat terjadi akibat kotoran mencit tersebut. Dalam 1 kelompok, 5 ekor mencit ditempatkan dalam 1 kandang. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 12.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada dalam kisaran alamiah. Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar matahari tidak langsung.

(76)

2. Persiapan Hewan Uji

Sebelum diberi perlakuan, mencit diadaptasikan selama satu minggu di kandang mencit di tempat dilaksanakannya penelitian, yaitu laboratorium Fakultas Kedokteran Unila. Terhadap setiap mencit ditimbang berat badannya dan diamati kesehatannya secara fisik (gerakannya, makan dan minumnya), sebelum diberi perlakuan.

3. Penyedian Vitamin C dan Monosodium Glutamat

Vitamin C yang digunakan merupakan vitamin C sintetik yang terdapat dipasaran, kemudian di encerkan dalam 0,5 ml aquadest. Sedangkan untuk Monosodium Glutamat yang digunakan merupakan MSG yang beredar dipasaran yang digunakan sehari-hari, dalam bentuk Monosodium glutamat murni yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0,9% sebanyak 0,5 ml

a. Prosedur pelarutan dan penghitungan dosis MSG

1) Prosedur Pembuatan Bahan Pelarut

(77)

adalah untuk menentukan seberapa banyak larutan NaCl yang akan dilarutkan dan seberapa banyak pelarut yang digunakan untuk menghasilkan larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9%.

V1x M1= V2x M2 V1x 1 = 100 x 0,9

V1= (90)/1 V1= 90 ml NaCl Keterangan :

- Konsentrasi larutan NaCl (M1) = 1 M

- 0,9 % = terdapat 0,9 M NaCl dalam 100 ml air - Volume cairan pelarut (V2): 100 ml

- Konsentrasi cairan yang dilarutkan (M2) : 0,9 M

Maka larutan NaCl murni yang dibutuhkan untuk membuat larutan NaCl dengan konsentrasi sebesar 0,9% sebesar 90 ml. Setelah didapati volume, selanjutnya di masukan 90 ml larutan NaCl murni dan 100 ml aquades ke dalam labu ukur, setelah itu dihomogenkan/dilarutkan sehingga terbentuklah larutan NaCl 0,9%.

2) Prosedur Penghitungan Dosis

(78)

MSG = dosis x berat badan mencit = 4 mg/gr BB x 30 gr = 120 mg

Didapati berat MSG yang digunakan sejumlah 120 mg. Kemudian MSG ditimbang dengan menggunakan neraca analitik sampai berat MSG 120 mg. Setelah ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur lalu ditambahkan dengan 0,5 ml larutan NaCl 0,9%. Setelah itu diaduk dengan spatula sampai kristal MSG larut.

b. Prosedur Pengenceran Vitamin C

Preparat vitamin C yang digunakan adalah vitamin C sintetik dalam bentuk cairan yang berada dalam 1 ampul dengan kosentrasi 200mg/2ml, sehingga harus di encerkan terlebih dahulu untuk mendapatkan dosis yang tepat. Dosis tengah efektif vitamin C pada mencit adalah 0,2 mg/grBB (Fauzi, 2008). Dalam hal ini, zat yang digunakan sebagai pelarut adalah aquades. Pada kelompok perlakuan 3 dan 5 merujuk pada standar pengobatan ASEAN, digunakan dosis paling rendah yaitu 1/3 dosis dan dosis paling tinggi 3 kali dosis (anonim, 2006).

- Kontrol positif : 0,2 mg/gr BB

- Perlakuan 1 : 1/3 x 0,2mg/gr BB = 0,07 mg/grBB - Perlakuan 2 : 0,2 mg/gr BB

(79)

Dikarenakan sediaan digunakan dalam penelitian ini berupa vitamin C dalam bentuk cairan, maka sebelum diencerkan dikonversikan terlebih dahulu ke dalam satuan mililiter (ml).

Perhitungan volume vitamin C yang akan diencerkan ialah: 1. Dosis Vitamin C untuk kontrol :

K = dosis x berat badan = 0,2 mg/gr BB x 30 gr = 6 mg

Didapati dosis vitamin C dalam bentuk sediaan padat (gram) sebesar 6 gram, kemudian dikonversikan kedalam satuan mililiter dengan cara:

2 ml Vitamin C = 200 mg Vitamin C X = 6 mg

X = dosis Vitamin C yang di cari

maka hasil yang didapat ialah: X= (2ml x 6mg) / 200mg X= 0, 06 ml

Jadi dosis vitamin C untuk kontrol ialah 0,06 ml.

2. Dosis Vitamin C untuk Perlakuan 1 : K = dosis x berat badan

(80)

Didapati dosis vitamin C dalam bentuk sediaan padat (gram) sebesar 2,1 gram, kemudian dikonversikan kedalam satuan mililiter dengan cara:

2 ml Vitamin C = 200 mg Vitamin C X = 2,1 mg

X = dosis Vitamin C yang di cari

maka hasil yang didapat ialah: X= (2ml x 2,1mg) / 200mg X= 0,021 ml

Jadi dosis vitamin C untuk perlakuan 1 ialah 0,06 ml.

3. Dosis Vitamin C untuk Perlakuan 2 : K = dosis x berat badan

= 0,2 mg/gr BB x 30 gr = 6 mg

Didapati dosis vitamin C dalam bentuk sediaan padat (gram) sebesar 6 gram, kemudian dikonversikan kedalam satuan mililiter dengan cara:

2 ml Vitamin C = 200 mg Vitamin C X = 6 mg

X = dosis Vitamin C yang di cari maka hasil yang didapat ialah:

(81)

Jadi dosis vitamin C untuk perlakuan 2 ialah 0,06 ml.

4. Dosis Vitamin C untuk Perlakuan 3 : K = dosis x berat badan

= 0,6 mg/gr BB x 30 gr = 18 mg

Didapati dosis vitamin C dalam bentuk sediaan padat (gram) sebesar 18 gram, kemudian dikonversikan kedalam satuan mililiter dengan cara:

2 ml Vitamin C = 200 mg Vitamin C X = 18 mg

X = dosis Vitamin C yang di cari

maka hasil yang didapat ialah: X= (2ml x 18mg) / 200mg X= 0, 18 ml

Jadi dosis vitamin C untuk perlakuan 3 ialah 0,18 ml.

(82)

4. Pemberian Perlakuan

Setiap kelompok mempunyai perlakuan yang berbeda, yaitu:

1. Kontrol (-) : hanya diberi MSG 4mg/gr berat badan yang dilarutkan dalam 0,5 ml NaCl 0,9% secara intraperitoneal selama 15 hari perlakuan.

2. Kontrol (+) : diberi vitamin C 0,2 mg/g berat badan yang dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest secara oral setiap hari selama 15 hari perlak

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3. Anatomi Sistem Reproduksi Pria (Anonim, 2011)
Gambar 3. Tubulus Seminiferus (Junqueira, 2007)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian vitamin C pada mencit yang dipajankan MSG dapat memulihkan berat testis (P&lt;0,05), namun tidak dapat memulihkan volume testis, diameter tubulus seminiferus dan jumlah sel

bahwa untuk rata-rata diameter tubulus seminiferus terdapat perbedaan yang nyata antar. perlakuan (P&lt;0,05) dan antar waktu

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh saos tomat (Solanum lycopersicum) terhadap diameter tubulus seminiferus mencit galur DDY yang telah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pasta tomat (Solanum lycopersicum) terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan galur DDY yang dipapar asap

diameter tubulus seminiferus terbaik adalah mimba dengan dosis 100 mg/kg BB dan Bagian ekstrak campuran biji pepaya (carica papaya L.) dan ekstrak daun mimba (Azadirachta

Subyek penelitian dalam penelitian ini berjumlah 15 ekor tikus Wistar jantan hipotiroid dengan induksi PTU 15 mg/kg BB dengan cara disonde selama empat minggu, dibagi menjadi

diambil sebanyak 0,52 mg dilarutkan dengan minyak jarak Serbuk MSG.

Vitamin C tidak dapat memulihkan volume testis, diameter tubulus seminiferus dan jumlah sel spermatogenik tetapi dapat memulihkan berat testis mencit yang terpajan