• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Infus Kayu Amargo (Quassia amara Linn.) dan Reversibilitasnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Infus Kayu Amargo (Quassia amara Linn.) dan Reversibilitasnya."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DIAMETER TUBU

musculus L.) YA

amara

N

FAKULTAS MATE

TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS MEN

ANG DIBERI INFUS KAYU AMARGO

ara Linn.) DAN REVERSIBILITASNY

NI GUSTI AYU MANIK ERMAYANTI

TEMATIKA DAN ILMU PENGETAHU

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

MENCIT (Mus

RGO (Quassia

YA

(2)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN……… 1

TINJAUAN PUSTAKA……….. 2

METODE PENELITIAN……….. 6

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 9

KESIMPULAN……….. 12

(3)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan penduduk merupakan masalah yang serius bagi negara yang

sedang berkembang. Keberhasilan Indonesia dalam menekan angka laju pertumbuhan

penduduk ini berkat pelaksanaan gerakan Keluarga Berencana, yang pada dasarnya dilakukan

dengan cara pengaturan fertilitas. Sampai saat ini, pengaturan fertilitas yang paling banyak

dilakukan adalah pada wanita, sedangkan pada pria sejauh ini masih merupakan riset yang

terus-menerus dilakukan untuk mencari suatu teknik pengaturan fertilitas yang efektif dan

aman. Metode kontrasepsi pria yang digunakan saat ini, adalah kondom, vasektomi dan

senggama terputis. Akan tetapi hasilnya masih belum sepenuhnya diterima masyarakat,

karena memberikan efek samping dan belum 100% dapat mencegah kehamilan (Soehadi,

1979).

Sampai saat ini, pencarian metode kontrasepsi yang tepat bagi pria belum didapat hasil

yang meyakinkan, efek samping dan berbagai kendala yang menyertainya masih memerlukan

riset yang panjang dan luas. Berbagai teknik untuk menurunkan fertilitas pada pria yang

sedang dikembangkan adalah penggunaan berbagai jenis senyawa antifertilitas, baik yang

dapat menurunkan jumlah spermatozoa, berhubungan dengan pengaturan horrmon,

pencegahan maturasi spermatozoa dan pengubahan struktur spermatozoa itu sendiri (Bartke

et al., 1987). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa penggunaan senyawa yang berpengaruh

terhadap fertilitas pada manusia harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu, yaitu dapat

menurunkan jumlah spermatozoa hingga mencapai kondisi azoospermia, aman bagi

kesehatan, mempunyai efek samping yang sekecil-kecilnya, bersifat dapat dipulihkan

kembali dalam jangka waktu tertentu, dan bekerja secara spesifik.

Usaha menemukan bahan kontrasepsi pria telah dilaksanakan di beberapa negara dengan

memanfaatkan bahan alami yang berasal dari tumbuhan. Fransworth et al., (1975)

mengelompokan berbagai tumbuhan yang diketahui mempunyai potensi sebagai bahan

pengaturan fertilitas. Kelompok tumbuhan tersebut ada yang mengandung senyawa dari

golongan steroid, alkaloid, triterpenoid dan xanton.

Salah satu tumbuhan tropis yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai

pengaturan fertilitas adalah senyawa bioaktif yang terdapat pada kayu amargo (Quassia

amara Linn.) (Raji et al., 1995). Senyawa bioaktif yang dikaandung amargo tergolong dalam

(4)

quassinoid (Robinson, 1995). Quassinoid-quassinoid yang paling utama dari amargo adalah

quassin, isoquassin dan neoquassin (Kohler, 1996).

Menurut Kohler (1996) amargo memmpunyai kemampuan sebagai bahan antifertilitas,

antimalaria, antidisentri, dan antianemia. Sementara itu, Raji et al., (1995) mengatakan

beberapa agen antimalaria mempunyai kemampuan sebagai bahan antifertilitas. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Raji et al., (1995) menunjukkan quassinoid yang terkandung dalam

kayu amargo mampu menghambat steroidogenesis pada sel Leydig tikus dan mempunyai

sifat reversibel. Selain itu, dari penelitian Raji dan Bolarinwa (1997) menunjukkan bahwa

senyawa bioaktif kayu amargo menyebabkan berkurangnya berat testis, epididimis, vesikula

seminalis, dan berkurangnya jumlah spermatozoa epididimis tikus.

Sejauh ini, belum ada laporan mengenai pengaruh senyawa bioaktif kayu amargo yang

dapat menyebabkan gangguan terhadap spermatogenesis mencit sehingga dapat menurunkan

fertilitasya. Salah satu cara untuk mengetahui adanya gangguan spermatogenesis adalah

dengan mengukur diameter tubulus seminierus testis mencit. Pada tubulus seminiferus

terdapat beberapa lapisan sel-sel spermatogenik yang akan berdiferrensiasi untuk

menghasilkan spermatozoa. Oleh karena itu, perlu dillakukan peneliitian tentang diameter

tubulus seminiferus testis mencit (Mus musculus L.) yang diberi infus kayu amargo (Quassia

amara Linn.) dan reversibilitasnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah infus kayu amargo berpengaruh terhadap diameter tubulus seminifrus testis

mencit?

2. Apakah infus kayu amargo bersifat reversibel?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh infus kayu amargo terhadap diameter tubulus

seminiferus testis mencit.

2. Untuk mengetahui pengaruh infus kayu amargo terhadap reversibilitasnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan

(5)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Amargo

Tumbuhan amargo dalam botani dikenal sebagai Quassia amara, berasal dari Brazil

Utara, Venezuela, Suriname, Columbia, argentina, Panama, dan Guayana. Amargo

digunakan dan dipasarkan bersama dengan spesies tumbuhan llainnya, yaitu Picrasma

excelse, yang mempunyai komponen penyusun dan kegunaan yang sama. Picrasma

excelse, jauh lebih tinggi (mencapai tinggi 25 m) dan tumbuh di daerah tropika, Karibia,

dan India Barat (Kohler, 1996).

Kayu amargo adalah suatu semak atau pohon kecil 1-3 meter dengan

cabang-cabang yang memencar, yang tua berwarna pirang abu-abu yang muda merah tua. Daun

tersebar, majemuk menyirip ganjil beranak daun 7, tangkai daun dan sumbunya bersayap,

anak daun jorong, yang di ujung bulat telur terbalik, sisi atas hijau tua mengkilaap, sisi

bawah hijau muda dengan urat-urat daun yang kemerah-merahan. Bunga dalam tandan

pada ujung cabang dari luar merah lembayung segar, dalam agak kekuningg-kuningan,

benang sari menonjol di atas buluh mahkotanya (Tjitrosoepomo, 1994).

Kayu amargo dikenal di Indonesia dengann nama daerah Sunda, yaitu genteng peujit

dan ki congcorang (Hyne, 1987). Menurut Tjitrosoepomo (1994) tumbuhan amargo dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae,

Kelas : Dicotyledoneae, Ordo: Rutales, Famili: Simaroubaceae, Genus: Quassia, Spesies:

Quassia amara Linn.

Senyawa bioaktif yang dikandung amargo tergolong dalam suatu kelompok produk

alami yang disebut triterpenoid, lebih spesifik dikenal sebagai quassinoid (Robinson,

1995). Quassinoid-quassinoid yang paling utama dari amargo adalah quassin, isoquassin,

dan neoquassin (Kohler, 1996). Senyawa-senyawa tersebut dapat ditemukan pada batang,

akar, dan kulit kayunya (Raji et al., 1995). Quassin adalah zat dari kayu amargo yang

mempunyai rasa pahit yang kadarnya sampai 0,1% (Hyne, 1987) dan menurut

Tjitrosoepomo (1994) kayu amargo mengandung 0,15% quassin dan 0,07% neoquassin.

Di hutan hujan Amazon, amargo digunakan seperti Quinine Bark, yaitu sebagai obat

untuk penyakit malaria. Di samping itu, amargo juga digunakan sebagai tonik, untuk

penyembuhan diare, serta hepatitis (Kohler, 1996). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa

amargo yang dijual bebas dalam bentuk rajangan atau parutan, tidak berbau namun

mempunyai rasa pahit dan sering digunakan sebagai obat dalam masa penyembuhan

(6)

1.2. Sel-sel Spermatogenik pada Tubulus Seminiferus

Tubulus seminiferus adalah suatu organ berbentuk saluran panjang dan

berkelok-kelok yang terdapat dalam lobulus testis. Di dalam tubulus seminiferus inilah terdapat

proses perkembangan sel-sel spermatogenik yang membelah beberapa kali dan akhirnya

berdiferensiasi untuk menghasilkan spermatozoa. Proses ini disebut dengan

spermatogenesis. Sel-sel spermatogenik tersebut tersebar dalam empat sampai delapan

lapisan yang menempati ruangan antara lamina basalis dan lumen tubulus seminierus.

Semakin banyak lapisan sel-sel spermatogenik maka gambaran diameter tubulus

seminiferus semakin besar. Sel-sel spermatogenik terdiri atas spermatogonium,

spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid (Junqueira et al., 1995).

Lebih lanjut menurut Junqueira et al. (1995) spermatogenesis terdiri atas 3 fase

yaitu:

Spermatositogenesis (mitosis) adalah fase spermatogonium membelah menghasilkan

generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit. Fase ini dimulai dengan

sel benih primitif yaitu spermatogonium A1 (stem sel/sel induk) mengalami proliferasi

melalui mitosis menjadi spermatogonium A2, A3, A4, intermediet dan spermatogonia B,

spermatogonia B membelah lagi akhirnya terbentuk spermatosit primer. Spermatogonium

biasanya terletak dekat lamina basalis, relatif kecil, mengandung kromosom diploid.

Meiosis adalah fase spermatosit mengalami dua kali pembelahan secara berturutan

dengan mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah DNA persel

menghasilkan spermatid. Fase ini dimulai dengan spermatosit primer memasuki tahap

profase dari pembelahan meiosis I (preleptoten, leptoten, zigoten, pakiten, diploten,

diakinesis). Spermatosit primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA.

Preleptoten, aktif dalam sintesis DNA, struktur kromosom tidak jelas. Leptoten,

kromosom mengalami kondensasi dan terdiri atas 2 kromatid. Zigoten terjadi penebalan

kromosom dan sinapsis kromosom. Pakiten, sinapsis kromosom semakin sempurna dan

kromosom semakin menebal dan memendek, inti dan sitoplasma tumbuh dan merupakan

sel yang terbesar dalam garis turunan sel spermatogenik. Diploten, pasangan kromosom

terpisah tapi tetap bergabung pada bagian kiasma. Diakinesis, kromosom semakin

memendek dan dua kromatid yang menyusun tiap kromosom dapat terlihat. Metafase,

kromosom di bidang ekuator. Anafase, masing-masing kromosom di kutub yang

berlawanan. Telofase, dua anak inti baru dan terbentuklah dua sel baru yang disebut

spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder kemudian menyelesaikan meiosis II

(7)

melalui jembatan sitoplasma/jembatan intersel. Karena profase dari meiosis I waktunya

lebih lama maka spermatosit primer hampir dapat diamati dan selnya paling besar.

Spermatosit sekunder selnya lebih kecil dari spermatosit primer, mempunyai 23

kromosom dan 2N DNA, sulit diamati karena berumur pendek dengan cepat memasuki

meiosis II.

Spermiogenesis adalah fase spermatid mengalami proses sitodiferensiasi sehingga

menghasilkan spermatozoa. Spermatid berbatasan dengan lumen, mengandung 23

kromosom dan 1N DNA, ukuran kecil, inti dengan kromatin padat. Spermiogenesis tediri

atas 3 fase yaitu (1) Fase golgi: sitoplasma spermatid mengandung kompleks golgi yang

mencolok dekat inti, mitokondria, sepasang sentriol, ribosom bebas dan tubulus

retikulum endoplasma licin. Granula proakrosom kecil berkumpul dalam kompleks golgi

dan kemudian menyatu membentuk satu granula akrosom yang terdapat di dalam vesikel

akrosom berbatas membran. Sentriol bermigrasi ke posisi dekat permukaan sel dan

berlawanan dengan lokasi dari akrosom pembentuk. Pembentukan aksonema berflagela

dimulai dan sentriol bermigrasi kembali ke arah inti, sambil memilin komponen

aksonema sewaktu bergeser. (2) Fase akrosomal: vesikel dan granula akrosom

menyebar untuk menutupi belahan anterior dari inti yang memadat yang dikenal dengan

akrosom. Kutub anterior sel yang mengandung akrosom akan berorientasi ke arah basis

tubulus seminiferus. Inti menjadi lebih panjang dan lebih padat. Salah satu dari sentriol

tumbuh secara bersama membentuk flagelum. Mitokondria berkumpul di sekitar bagian

proksimal flagelum membentuk bagian menebal yaitu bagian tengah (tempat pergerakan

spermatozoa dibangkitkan). (3) Fase pematangan: sitoplasma residu dibuang dan

(8)

III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola

faktorial. Faktor pertama adalah faktor perlakuan waktu, waktu pengamatan I dan waktu

pengamatan II. Faktor kedua adalah faktor perlakuan variasi dosis. Tigapuluh dua ekor

mencit dibagi menjadi dua perlakuan waktu, selanjutnya masing-masing dibagi menjadi

5 perlakuan variasi dosis dan masing-masing terdiri atas enam ekor hewan uji sebagai

ulangan. Perlakuan infus kayu amargo diberikan satu kali setiap hari dengan volume 1,0

mL selama 35 hari. Setelah 35 hari dilakukan pengamatan I untuk kelompok 1 dan

kelompok 2 tetap dipelihara selama 14 hari untuk mengetahui reversibilitasnya. Dosis

infus kayu amargo dari masing-masing perlakuan adalah

1. Perlakuan A (kontrol) : tanpa perlakuan

2. Perlakuan B (plasebo) : 1,0 mL aquades

3. Perlakuan C (dosis 1) : 1000 mg/kgBB/hari

4. Perlakuan D (dosis 2) : 2000 mg/kgBB/hari

5. Perlakuan E (dosis 3) : 4000 mg/kgBB/hari

3.2 Bahan Penelitian

Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain (1) bahan infus

adalah kayu amargo, bagian yang digunakan adalah batangnya yang telah dikupas

kulitnya dan diserut. Bahan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaaman Rempah dan Obat

Bogor, (2) Hewan uji adalah mencit jantan strain Swiss dengan berat badan antara 25

sampai 30 gram, umur 10 minggu, sebanak 12 ekor yang diperoleh dari UPHP UGM,

(3) Pakan mencit berupa par G-pellet dari PT. Japfa Comfeed Indonesia dan air minum

berupa air PAM, (4) Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah aquades,

formalin 10%, larutan bouin, alkohol bertingkat, toluol, parafin, xylol, Hematoxylin,

Eosin dan canada balsam.

3.3 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain, (1) kandang hewan percobaan

yang terbuat dari bak plastik ditutup kawat, (2) Timbangan hewan, (3) peralatan untuk

pembuatan infus, yaitu grainer, saringan, tabung erlenmeyer dan gelas ukur, (4) peralatan

untuk membuat sediaan mikroanatomi, yaitu mikrotom, oven, lampu spiritus, skalpel,

(9)

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Aklimasi mencit

Aklimasi mencit selama seminggu. Selama aklimasi dan perlakuan mencit diberi

pakan dan minum secara ad libitum dan dipuasakan sehari sebelum mendapat perlakuan.

3.4.2 Pembuatan infus

Batang amargo yang tlah dikupas kulitnya dan diserut dikeringinkan di udara

terbuka. Bahan setelah kering dijadikan serbuk dengan alaat grainer sampai halus dan

diayak dengan ukuran penyaringan 360 mesh sehingga diperoleh serbuk yang homogen.

Pembuatan infus dimulai dengan penimbaangan serbuk sesuai dengan dosis yang

digunakan untuk hewan uji. Selanjutnya masing-masing serbuk tersebut dimasukkan ke

dalam tabung erlenmeyer dan diberi aquades 100 mL, kemudian dipanaskan selama 15

menit terhitung sejak mencapai 900C serta sekali-kali diaduk. Larutan yang masih panas

disaring dengan kertas saring dan ditambahkan aquades secukupnya sehingga diperolh

volume 100 mL.

3.4.3 Pembuatan sediaan mikroanatomi testis

Sehari setelah perlakuan berakhir, berat badan hewan ditimbang dan mencit

dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah kemudian testis diambil

untuk dibuat sediaan mikroanatomi testis dengan metode parafin dan pewarnaan

Hematoxylin-Eosin.

Prosedur pembuatan sediaan mikroanatomi testis mengikuti cara Suntoro (1983)

dengan tahapan sebagai berikut: testis difiksasi dalam larutan formalin 10% (7 ± hari)

kemudian dilanjutkan fiksasi dalam larutan bouin ± 3 jam. Organ testis dicuci dengan

alkohol 70% tiga kali, kemudian diteruskan dihidrasi menggunakan alkohol konsentrasi

bertingkat dimulai dari alkohol 70% (4x30 menit), 80% (2x30 menit), 90% (2x30 menit),

95% (1x300 menit), absolut (1x30 menit). Untuk menjernihkan, organ direndam dalam

toluol selama semalam. Infiltrasi parafin ke dalam jaringan dilakukan dengan cara

merendam organ dalam campuran toluol dan parafin (30 menit), kemudian dilanjutkan

dengan parafin murni I, II, dan III masing-masing 30 menit, selanjutnya penanaman

organ dalam parafin padat. Blok parafin yang berisi organ testis diiris setebal 6 µm

menggunakan mikrotom, sehingga deretan irisan membentuk pita. Dari irisan-irisan

tersebut dipilih yang bagus kemudian ditempel pada gelas benda yang telah diolesi mayer

albumin. Dibiarkan 24 jam agar penempelan cukup kuat. Selanjutnya sediaan dicelupkan

(10)

menit), aquades, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70% (masing-masing 3 celupan),

Eosin-Y 1% (2-3 menit), alkohol 70%, 80%, 95% (masing-masing 3 celupan), xylol (10

menit). Sediaan yang telah dipulas kemudian ditutup dengan canada balsam. Untuk

mengukur diameter tubulus seminierus testis mencit, maka pengamatan dilakukan dengan

memilih 10 tubulus seminiferus yang terpotong bundar secara random. Pengamatan

dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.

3.5 Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan ANOVA, jika berbeda dilanjutkan dengan

(11)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil penelitian diameter tubulus seminiferus testis mencit yang diberi perlakuan

variasi dosis infus kayu amargo dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.

Rata-rata Diameter Tubulus seminiferus Testis Mencit yang Diberi Infus Kayu Amargo

Perlakuan Diameter tubulus seminiferus (µm)

Keterangan: Uji One Way Anova dilanjutkan dengan uji DMRT (P<0,05). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Berdasarkan hasil pengamatan yaang tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 1, terlihat

bahwa untuk rata-rata diameter tubulus seminiferus terdapat perbedaan yang nyata antar

perlakuan (P<0,05) dan antar waktu pengamatan (P<0,05).

Pada pengamatan I kenaikan dosis infus kayu amargo menyebabkan penurunan

rata-rata diameter tubulus seminiferus testis mencit. Pada pengamatan I rata-rata-rata-rata diameter

tubulus seminiferus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB berbeda nyata dengaan

kontrol dan plasebo. Rata-rata diameter tubulus seminiferus untuk kontrol, plasebo, dan

perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 190,00 mµ, 190,02 mµ 187,20 mµ, 182,00

mµ, 175,00 mµ.

Perbedaan yang nyata juga terlihat antara waktu pengamatan I dan waktu pengamatan II.

Pada pengamatan II, yaitu 14 hari setelah perlakuan dihentikan pengaruhnya semakin

berkurang sehingga rata-rata diameter tubulus seminiferus semakin meningkat. Pada

pengamatan II diameter tubulus seminierus dengan dosis 1000, 2000 dan 4000 mg/kg BB

(12)

kontrol, plasebo, dan perlakuan variasi dosis, masing-masing adalah 191, 01 mµ, 191,05 mµ,

188,15 mµ, 184,00 mµ, 178,00 mµ.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pada periode perlakuan dengan infus

kayu amargo terjadi penurunan diameter tubulus seminiferus tesris mencit. Menurunnya

diameter tubulus seminiferus disebabkan oleh gangguan spermatogenesis. Dari

pengamatan lapisan sel-sel spermatogenik, maka kelompok D mempunyai lapisan yang

paling sedikit sehingga mempunyai diameter tubulus seminiferus yang paling kecil.

Terjadinya penurunan lapisan sel-sel spermatogenik dalam tiap penampang tubulus

seminiferus testis mencit diduga disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron.

Menurut Junqueira et al. (1995) testosteron diperlukan untuk perkembangan sel-sel

spermatogenik. Menurunnya perkembangan sel-sel spermatogenik, meliputi sel

spermatogonium, sel spermatosit dan sel spermatid akan menyebabkan lapisan sel-sel

spermatogenik menurun yang mengakibatkan diameter tubulus seminiferus berkurang.

Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada kemungkinan terjadinya

hambatan spermatogenesis yang ditandai dengan menurunnya diiameter tubulus

seminiferus testis mencit.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Raji et al. (1995) yang

melaporkan bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo dapat menghambat

aktivitas sel interstisial Leydig dengan mempengaruhi LH adenohipofisis. Lebih lanjut,

dilaporkan pula bahwa quassinoid yang terdapat pada kayu amargo bekerja secara

kompetitif pada lokasi reseptor LH sehingga menghambat sekresi LH akibatnya akan

mengganggu kerja sel interstisial Leydig. Menurut Hafez (1987) testosteron dapat

memacu spermatogenesis. Oleh karena itu, bila kadar hormon testosteron menurun ada

(13)

mencit sehingga lapisan sel-sel spermatogenik meurun dan mengakibatkan diameter

tubulus seminiferus berkurang.

Menurut Sharma et al. (1998) sel-sel spermatogenk akan mengalami vakuolisasi dan

sitolisis bila terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh menurunnya kadar

hormon testosteron. Oleh karena itu, bila terjadi penekanan terhadap produksi testosteron

maka ada kemungkinan terjadinya gangguan metabolisme pada sel spermatogenik di

dalam tubulus seminiferus testis. Adanya gangguan metabolisme tersebut akan

mengakibatkan sel spermatogenik mengalami kerusakan atau degenerasi dan banyak

ditemukan vakuola-vakuola. Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka akan mengakibatkan

sel spermatogenik akan mengalami lisis sehingga lapisannya menurun.

Berdasarkan penelitian tentang pemulihannya maka pengaruh inus kayu amargo

terhadap diameter tubulus seminiferus testis mencit adalah reversibel karena setelah

perlakuan infus kayu amargo dihentikan maka terjadi peningkatan kembali diameter

tubulus seminiferus testis mencit. Hal ini menandakan bahwa proses pembentukan

spermatozoa (spermatogenesis) kembali meningkat dengan munculnya kembali sel-sel

spermatogenik dalam tiap penampang tubulus seminiferus testis mencit sehingga lapisan

sel-sel spermatogenik menjadi semakin banyak dan diameter tubulus kembali mengalami

peningkatan.

V KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Perlakuan dengan infus kayu amargo sampai dosis 4000 mg/kgBB dapat menurunkan

diameter tubulus seminiferus testis mencit.

2. Infus kayu amargo bersifat reversibel karena diameter tubulus seminiferus yang

(14)

VI DAFTAR PUSTAKA

Bartke, A., D.W. Hahn, R.G. Foldwsy and J.I. Mcguire. 1987. Experiment Studies in the Development of Male Contraceptives. In: Male Contraception advances and

Future Prospects. Aitken (Ed) R.J. Pergamon Press Oxford.

Fransworth, N.R., A.S. Bingel, G.A. Cordell, F.A. Crane dan H.H.S. Fong. 1975. Potencial Value of Plants as Sources of New Antifertility Agents. J.Pharmaceut

Sci. Vol 61

Ganong, W.F. 1995. Review of Medical Physiology. 17thed. Lange Medical Publication, California.

Gonzales, M.G., G. Camacho and P. Sanoou. 1997. Pharmacologic Activity of the Aqueous Wood Extract from Quassia amara (Simarubaceae) on Albino Rats and Mice. Rev. Biol. Trop

Guyton, A.C. 1986. Textbook of Medical Physiology. 7thed. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Hyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sarata Warna Jaya, Jakarta.

Junqueira, L.C., J. Carneiro and R.O. Kelley. 1995. Basic Histology. Appleton and Lange Stanford.

Kohler. 1996. Amargo. Raintree Nutrition Inc, Austin. Texas.

Raji, Y., A.F. bolarinwa dan E.U. Nduka. 1995. Antifertility Activity of Quassia amara: Quassin Inhibits the Steroidogenesis in Rat Leydig Cells in vitro. J. Planta Med. 61(2):180-182

Raji, Y., dan A.F. Bolarinwa. 1997. Antifertility Activity of Quassia amara in Male Rats-in vivo Study. Ife Sci. 61(11):1067—1074

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (The Organic Constituents of higher Plants). Ed ke-6. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB Bandung.

Soehadi, K. 1979. Spermatologi. Prosiding Kongres Spermatologi. Pandi

Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Bhratara Karya Aksara Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sharma, S., M. Kumar R.B. Goyal, B. Manivannan, N.K. Lohiya. 1999. Reversible Antispermatogenic Efffect off Gossypol in Langur Monkey (Presbytis entellus

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian kesimpulan yang dapat ditarik dari sub masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Kesulitan belajar siswa kelas XI IPS 1 pada mata pelajaran sosiologi di SMA

Gagasan Kebangsaan Taufiq Kiemas (TK) tersebut kemudian dikenal dengan istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang terdiri dari Pancasila, Undang-Undang

Pada variabel motivasi individu dengan tingkat dukungan sosial yang dalam menjaga kesehatan selama kehamilan tinggi memiliki perasaan kuat bahwa individu subjek penelitian

moral yang harus diindahkan oleh seorang dai ketika ia hendak melaksanakan aktivitas dakwahnya. Kode etik itu adalah, “bila seorang juru dakwah hendak melaksanakan dakwahnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam mencermati pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas perusahaan, risiko perusahaan, kompleksitas

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Isjoni (2010:54) mengatakanpembelajaran dengan menggunakan tipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran yang mendorong siswa

Kesimpulan yang dapat diambil dari pen- elitian pengembangan ini adalah sebagai berikut: 1) Profil multimedia pembelajaran fisika berba- sis audio-video eksperimen listrik dinamis

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan