PERBEDAAN PERILAKU PEMELIHARAAN KESEHATAN
GIGI DAN MULUT DAN PENGALAMAN KARIES PADA
SISWA PENDIDIKAN FORMAL (SDIT ALIF) DAN
NONFORMAL (SD YAYASAN AMAL SHALEH)
DI KECAMATAN MEDAN POLONIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
RESTI BEPIANA
NIM: 110600031
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 14 Maret 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Prof. Lina Natamiharja, drg., SKM
ANGGOTA : 1. Prof. Sondang Pintauli, drg., PhD
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini telah
selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran Gigi.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,
pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada:
1.Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., PhD., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2.Prof. Sondang Pintauli, drg., PhD selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan dukungan, keluangan waktu, motivasi dan bimbingan sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Prof. Lina Natamiharja, drg., SKM dan Simson Damanik, drg., M.Kes selaku
dosen penguji, atas keluangan waktu dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
4. Ervina Sofyanti, drg., Sp.Ort selaku penasehat akademik, yang telah banyak
memberikan motivasi, nasihat dan arahan selama penulis menjalani masa pendidikan
di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. Sutomo Kasiman, Sp.PD., Sp.JP(K) selaku Ketua Komisi Etik
penelitian bidang kesehatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin
kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
6. Bapak Muhammad Arif, S.S selaku kepala SD Islam Terpadu Alif dan ibu
Nurasyah Nasution selaku kepala SD Yayasan Amal Shaleh yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.
7. Sahabat-sahabat tersayang, Dinauli Fatwa, Nadya Lovianda, Oktia Kiki
Roni Rustam Afandi, dan teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan selama penulis melakukan
penelitian dan penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga secara khusus penulis sampaikan
kepada ayahanda Azali dan ibunda Hayati yang selalu memberikan dorongan, baik
moril maupun materil serta doanya kepada penulis. Rasa terima kasih juga penulis
sampaikan kepada kakak Yulianti, Asril Suharno, Leo Chandra, Bili Saputra, Asti
Noviana, Risani, Ramdoni, Joko Sutrisno dan paman Harmius serta keluarga besar
yang selalu memberikan motivasi, doa dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya
yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan
sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan dan peningkatan ilmu
khususnya kesehatan gigi dan mulut masyarakat.
Medan, 14 Maret 2015
Penulis,
(Resti Bepiana)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………...
HALAMAN PERSETUJUAN ………
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ………
KATA PENGANTAR ………. iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ……… ix
DAFTAR GAMBAR ………... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1 Tujuan Umum ... 4
1.3.2 Tujuan Khusus ... 4
1.4 Hipotesis ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
1.5.1 Bagi Pihak Sekolah ... 4
1.5.2 Bagi Peneliti ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies ... 6
2.2 Faktor Etiologi Karies ... 6
2.2.1 Faktor Host atau Tuan Rumah ... 6
2.2.2 Faktor Agen atau Mikroorganisme ... 7
2.2.3 Faktor Substrat atau Diet ... 8
2.2.4 Faktor Waktu ... 8
2.3 Faktor Risiko Karies ... 8
2.3.1 Pengalaman karies ... 9
2.3.2 Penggunaan Fluor ... 9
2.3.3 Oral Higiene ... 9
2.3.5 Saliva ... 10
2.8.1 Pencegahan dan Pemeliharaan Rongga Mulut oleh Tenaga Profesional ... 16
2.8.2 Pencegahan dan Pemeliharaan Rongga Mulut Individual .... 19
2.9 Kerangka Konsep ... 24
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 25
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ………. 28
4.2 Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut …………. 30
4.3 DMFT Rata-rata dan Kebutuhan Perawatan Restorasi Gigi pada siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh ………... 33
BAB 5 PEMBAHASAN ………... 36
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……….. 39
6.2 Saran ………... 39
DAFTAR PUSTAKA ………... 41
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut …………. 26
2. Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada siswa SD
Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh ………... 31
3. Persentase kunjungan berkala ke dokter gigi pada siswa SD Islam
Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh ……….. 32
4. Perbedaan kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada siswa SD Islam Terpadu Alif dengan SD Yayasan Amal Shaleh
di Kecamatan Medan Polonia ………. 32
5. DMFT rata-rata siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal
Shaleh ……….. 33
6. Persentase responden yang bebas karies pada SD Islam Terpadu Alif
dan SD Yayasan Amal Shaleh ………... 34
7. Rata-rata kebutuhan perawatan restorasi gigi pada siswa SD Islam
Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh ……….. 34
8. Persentase responden yang membutuhkan perawatan restorasi gigi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Grafik distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ………. 28
2. Grafik distribusi responden berdasarkan umur ……….. 29
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Kuesioner tentang perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
2. Lembar pemeriksaan DMFT menggunakan indeks Klein pada siswa pendidikan formal (SD Islam Terpadu Alif) dengan pendidikan nonformal (SD Yayasan Amal Shaleh) di Kecamatan Medan Polonia
3. Surat persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian bidang kesehatan
4. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian
5. Lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent)
6. Surat keterangan pelaksanaan penelitian dari SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
7. Hasil uji statistik
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi yang paling umum dijumpai
pada anak-anak di negara berkembang seperti Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) tahun 2003 menyatakan, angka kejadian karies pada anak usia sekolah dasar
60-90%. Prevalensi ini akan terus meningkat seiring bertambahnya umur. Anak usia
6 tahun telah mengalami karies pada gigi tetapnya sebanyak 20%, meningkat 60%
pada usia 8 tahun, 85% pada 10 tahun dan 90% pada usia 12 tahun.1,2
Karies lebih banyak terjadi pada masyarakat yang kurang berpendidikan
daripada masyarakat yang berpendidikan. Kesehatan gigi dan mulut pada kelompok
masyarakat yang berpenghasilan rendah merupakan masalah yang sering terabaikan.
Prevalensi penyakit gigi dan mulut pada kelompok tersebut menjadi lebih besar oleh
karena sikap dan perilaku mereka dalam hal menghadapi penyakit ini. Tidak semua
orang memandang gangguan pada gigi dan mulut sebagai suatu penyakit yang perlu
mendapatkan perawatan. Faktor yang dapat mempengaruhi keadaan ini antara lain
pola makan anak, pengetahuan yang diperoleh anak baik dari orang tua maupun pihak
sekolah yang menyelenggarakan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut melalui
perantara UKGS atau Puskesmas setempat. Kebersihan gigi dan mulut anak berkaitan
dengan perilaku anak tersebut dalam memelihara kebersihan gigi dan mulutnya.
Lingkungan memiliki kekuatan yang besar dalam menentukan perilaku seseorang.
Perilaku anak dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut tidak terlepas dari
lingkungan keluarga. Peran orang tua sangat berpengaruh dalam merawat dan
memelihara kesehatan gigi dan mulut anak secara teratur seperti menyikat gigi,
memperhatikan pola makan dan melakukan pemeriksaan secara rutin ke klinik gigi.1,3
Sekolah juga memberikan pengaruh terhadap perilaku anak dalam pemeliharaan
gigi dan mulut, karena sekolah merupakan wadah bagi peserta didik untuk
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal.4
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, sedangkan
pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri. Pendidikan nonformal berbeda dengan pendidikan
formal, walaupun dalam pelaksanaan pendidikan nonformal juga dapat dilakukan
secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal memiliki fungsi sebagai
pengganti, penambah ataupun pelengkap pendidikan formal. Misalnya sekolah anak
jalanan yang berfungsi sebagai pengganti pendidikan formal.4
Anak jalanan pada umumnya memiliki masalah dengan kesehatan rongga
mulutnya. Meskipun anak jalanan sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan
sedang tetapi derajat kebersihan mulut masih buruk, hal ini disebabkan mereka hanya
sekedar tahu namun tidak teraplikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan
yang mereka dapatkan tentang kesehatan gigi juga masih minimal.3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak jalanan usia 5-15 tahun di
Kota Guntur India pada tahun 2011 terlihat bahwa prevalensi karies 50,19%.
Rata-rata DMFT adalah 0,49±0,93; reRata-rata DT adalah 1,71±0,45; reRata-rata FT adalah
1,80±0,42; sedangkan gigi yang hilang tidak ada. Tetapi, penelitian
Contreras-Bulness et al pada anak jalanan usia 0-17 tahun di Kota Toluca Mexico pada tahun
2008 terlihat bahwa prevalensi karies 94,9%. Rata-rata DMFT adalah 6,0±4,6; rerata
DT 5,8; rerata MT 0,01 dan rerata FT 0,18.5
Kahabuka dan Mbawalla pada tahun 2006 melakukan survei pada mantan anak
jalanan usia 7-16 tahun di Lembaga Dar es Salaam tentang pengetahuan dan perilaku
dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Mereka menemukan bahwa
kebanyakan anak-anak yang hidup di jalanan mengetahui penyebab masalah pada
gigi geligi mereka, namun mereka lebih cenderung mengonsumsi makanan
kariogenik dan memiliki perilaku pemeliharaan kebersihan mulut yang buruk.6
Penelitian ini dilakukan pada 2 sekolah dasar yang berbeda jalur pendidikannya,
Shaleh mewakili pendidikan nonformal. SD Islam Terpadu merupakan sebuah
sekolah dasar swasta yang terletak di kawasan yang cukup strategis, tepatnya di Jl.
Polonia Gg.A No.43. Saat ini, ada 127 orang siswa yang belajar di SD Islam Terpadu
Alif yang terbagi atas 6 tingkatan kelas dengan staf pengajar yang berjumlah 18
orang. Sebagian besar, siswa SD Islam Terpadu Alif merupakan anak-anak yang
berasal dari komplek AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dengan ekonomi
keluarga menegah ke atas. Sebaliknya, SD Yayasan Amal Shaleh merupakan sebuah
sekolah dasar yang berada di teras rumah salah seorang warga selaku pendiri SD
Yayasan Amal Shaleh. Sekolah tersebut diberikan secara gratis untuk semua anak
jalanan yang bekerja serabutan seperti menyemir sepatu, mengamen, dsb. Sekolah ini
berada di kawasan yang susah dijangkau oleh angkutan umum dan masyarakat di
sekitarnya kebanyakan ekonomi menengah ke bawah. Hingga kini ada 48 orang anak
jalanan yang belajar di SD Yayasan Amal Shaleh yang digabungkan atas beberapa
tingkatan kelas yaitu mulai dari kelas 1 hingga kelas 6 berdasarkan usia, dengan 8
orang guru yang mengajar secara bergantian. SD Yayasan Amal Shaleh sangat
kekurangan dalam hal fasilitas yang mendukung kegiatan pembelajaran. Selain tidak
diwajibkannya memakai seragam, sekolah ini juga tidak menggunakan buku
pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku saat ini. Siswa SD Yayasan Amal Shaleh
juga bebas memilih waktu sekolahnya. Mereka yang bekerja di jalanan pada pagi hari
maka mereka sekolah pada sore hari, sedangkan mereka yang bekerja pada sore hari
maka mereka sekolah pagi. Namun hari Sabtu mereka diliburkan, karena mereka
ingin bekerja seharian di akhir minggu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dan pengalaman
karies pada siswa SD Islam Terpadu Alif dan Yayasan Amal Shaleh di Kecamatan
Medan Polonia.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dan
di Kecamatan Medan Polonia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
dan pengalaman karies pada siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal
Shaleh di Kecamatan Medan Polonia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh di Kecamatan Medan
Polonia.
2.Untuk mengetahui pengalaman karies pada siswa SD Islam Terpadu Alif dan
SD Yayasan Amal Shaleh di Kecamatan Medan Polonia.
3.Untuk mengetahui kebutuhan perawatan restorasi gigi pada siswa SD Islam
Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh di Kecamatan Medan Polonia.
4.Untuk mengetahui perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
dan pengalaman karies pada siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal
Shaleh di Kecamatan Medan Polonia.
1.4 Hipotesis
Tidak ada perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pihak Sekolah :
Sebagai masukan bagi pengelola sekolah agar guru dapat berperan dalam
pemberian informasi tentang pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.
1.5.2 Bagi Peneliti :
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Karies
Karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi yaitu enamel, dentin
dan sementum yang diakibatkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu
karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi
pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta
penyebaran infeksi kejaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri. Prevalensi
karies di Indonesia mencapai 90,05% dan ini tergolong lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang lainnya.1,7-10
2.2 Faktor Etiologi Karies
Ada yang membedakan penyebab karies atas faktor primer yang langsung
mempengaruhi biofilm (lapisan tipis normal pada permukaan gigi yang berasal dari
saliva) dan faktor modifikasi yang tidak langsung mempengaruhi biofilm.Pada tahun
1960, Keyes dan Jordan menyatakan karies sebagai penyakit yang multifaktorial yaitu
adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada tiga faktor
utama yang memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau
mikroorganisme, substrat atau diet dan ditambah faktor waktu. Untuk terjadinya
karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus saling mendukung yaitu tuan rumah
yang rentan, mikroorganisme yang kariogenik, substrat yang sesuai dan waktu yang
lama.7-9,11,12
2.2.1 Faktor Host atau Tuan Rumah
Beberapa faktor yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap
karies yaitu faktor morfologi gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel, faktor
kimia dan kristalografis. Pada gigi susu, early childhood caries paling sering
sering ditemukan pada permukaan pit dan fisur. Orang dengan pit dan fisur yang
dalam dan sempit mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya karies. Pit dan fisur
pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah
menumpuk di daerah tersebut, sehingga menyebabkan plak mudah melekat dan
membantu perkembangan karies gigi.8,12
Enamel merupakan jaringan tubuh dengan susunan kimia kompleks yang
mengandung 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, fluor), air 1% dan bahan
organik 2%. Bagian luar enamel mengalami mineralisasi yang lebih sempurna dan
mengandung banyak fluor, fosfat dan sedikit karbonat dan air. Kepadatan kristal
enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung
mineral maka kristal enamel semakin padat dan enamel akan semakin resisten.8
Gigi susu lebih mudah terserang karies daripada gigi tetap. Hal ini disebabkan
karena enamel gigi susu mengandung lebih banyak bahan organik dan air sedangkan
jumlah mineralnya lebih sedikit daripada gigi tetap. Selain itu, secara kristalografis
kristal-kristal gigi susu tidak sepadat gigi tetap. Mungkin alasan ini menjadi salah
satu penyebab tingginya prevalensi karies pada anak-anak.8
2.2.2 Faktor Agen atau Mikroorganisme
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang diatas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan
gigi yang tidak dibersihkan.1,8
Hanya beberapa spesies mikroorganisme yang terlibat dalam proses karies,
yaitu Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, Lactobacillus spp, dan
Actonomyces. Meskipun virulensi mereka bervariasi, organisme ini adalah organisme
indikator. Walaupun demikian, mikroorganisme utama yang memulai proses karies
adalah Streptococcus mutans karena Streptococcus mutans mempunyai sifat
asidogenik dan asidurik (resisten terhadap asam).8-10,12 Bakteri-bakteri tersebut
menggunakan makanan sebagai sumber nutrisi mereka dengan cara mencerna
produk hasil. Asam itulah yang bertanggung jawab untuk menyerang struktur mineral
gigi dan menyebabkan demineralisasi. Namun, tidak semua makanan yang dimakan
dapat dipecah oleh bakteri menjadi asam organik lemah yang terlibat dalam karies
gigi, jenis makanan utama yang diperlukan bakteri adalah karbohidrat.10
2.2.3 Faktor Substrat atau Diet
Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena
membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak
dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta
bahan lain yang aktif yang menyebabkan timbulnya karies. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa
cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya orang dengan diet yang
banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali tidak
mempunyai karies gigi. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat
memegang peranan penting dalam terjadinya karies.8,9
Karbohidrat merupakan sumber makanan yang tergolong murah, sehingga
orang cenderung untuk mengonsumsi dalam jumlah besar di sebahagian besar rumah
tangga. Namun, semakin tinggi kandungan karbohidrat yang dikonsumsi maka
semakin besar kemungkinan untuk berkembangnya karies gigi. Selain itu, minuman
asam seperti jus buah murni dan minuman berkarbonasi adalah sumber lain dari asam
yang berkaitan dengan karies gigi.10
2.2.4 Faktor Waktu
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang
dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
diperkirakan 6-48 bulan.8,13
2.3 Faktor Risiko Karies
faktor yang dianggap sebagai faktor risiko adalah pengalaman karies, penggunaan
fluor, oral higiene, jumlah bakteri, saliva dan pola makan.1,8
2.3.1 Pengalaman Karies
Pengalaman karies sebelumnya merupakan suatu indikator yang kuat untuk
menentukan terjadinya karies di masa yang akan datang. Li and Wang mengatakan
bahwa anak yang mempunyai karies pada gigi sulung mempunyai kecenderungan tiga
kali lebih besar untuk terjadinya karies pada gigi permanen.14,15
2.3.2 Penggunaan Fluor
Berbagai macam konsep tentang mekanisme kerja fluor yang berkaitan dengan
pengaruhnya pada gigi sebelum dan sesudah erupsi. Pemberian fluor yang teratur
baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam
mengurangi terjadinya karies oleh karena dapat meningkatkan remineralisasi. Namun
demikian, jumlah kandungan fluor dalam air minum dan makanan harus
diperhitungkan pada waktu memperkirakan kebutuhan tambahan fluor karena
pemasukan fluor yang berlebihan dapat menyebabkan fluorosis.8
Pada tahun 1938, Dr.Trendly Dean melaporkan bahwa ada hubungan timbal
balik antara konsentrasi fluor dalam air minum dengan prevalensi karies. Penelitian
epidemiologi Dean ditandai dengan perlindungan terhadap karies secara optimum dan
terjadi mottled enamel yang minimal apabila konsentrasi fluor kurang dari 1 ppm.8
2.3.3 Oral Higiene
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu komponen dalam pembentukan karies
adalah plak. Insidens karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak
secara mekanis dari permukaan gigi, namun banyak pasien tidak melakukannya
secara efektif.8 Penyikatan gigi, penggunaan benang gigi dan profesional propilaksis
dapat dikombinasikan dalam menjaga kebersihan mulut. Keterampilan penyikatan
gigi harus diajarkan dan ditekankan pada anak di segala umur. Anak di bawah umur 5
tahun tidak dapat menjaga kebersihan mulutnya secara benar dan efektif, untuk itu
6 tahun kemudian mengawasi prosedur ini secara terus menerus. Penyikatan gigi anak
mulai dilakukan sejak erupsi gigi pertama anak dan tatacara penyikatan gigi harus
ditetapkan ketika molar susu telah erupsi.14
2.3.4 Jumlah Bakteri
Segera setelah lahir akan terbentuk ekosistem oral yang terdiri atas berbagai
jenis bakteri. Kolonisasi bakteri didalam mulut disebabkan transmisi antar manusia,
yang paling banyak dari ibu atau ayah. Bayi yang memiliki jumlah S.mutans yang
banyak, maka usia 2-3 tahun akan mempunyai risiko karies yang lebih tinggi pada
gigi susunya. Walaupun Laktobasilus bukan merupakan penyebab utama karies,
tetapi bakteri ini ditemukan meningkat pada orang yang mengonsumsi karbohidrat
dalam jumlah banyak.8
2.3.5 Saliva
Selain mempunyai efek bufer, saliva juga berguna untuk membersihkan
sisa-sisa makanan didalam mulut. Faktor yang ada dalam saliva yang berhubungan dengan
karies antara lain adalah aksi penyangga dari saliva, komposisi kimiawi, aliran (flow),
viskositas dan faktor anti bakteri. Anak yang berisiko tinggi memiliki aliran saliva
yang rendah dimana tingkat tingkat unstimulated salivary flow (USF) <0,1 ml per
menit dan stimulated salivary flow (SSF) <0,5 ml per menit. Pada individu yang
berkurang fungsi salivanya, maka aktivitas karies akan meningkat secara
signifikan.8,14
2.3.6 Pola Makan
Pengaruh pola makan dalam proses karies biasanya lebih bersifat lokal daripada
sistemik. Faktor makanan yang dihubungkan dengan terjadinya karies adalah jumlah
fermentasi, konsentrasi dan bentuk fisik (bentuk cair, tepung, padat) dari karbohidrat
yang dikonsumsi, retensi di mulut, frekuensi makan dan lamanya interval waktu
makan.14 Setiap kali seseorang mengonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung karbohidrat terutama jenis sukrosa, dan tidak membiasakan menyikat
difermentasikan oleh mikroorganisme dalam plak menjadi asam, sehingga terjadi
demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Diantara periode
makan, saliva akan bekerja menetraliser asam dan membantu proses remineralisasi.
Oleh karena itu, anak dianjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman
yang mengandung gula di antara jam makan.8,11,14
2.4 Faktor Risiko Demografi atau Faktor Modifikasi Karies
Faktor modifikasi adalah faktor yang secara tidak langsung menyebabkan
karies, namun berpengaruh terhadap perkembangan karies.1
2.4.1 Umur
Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies
sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan
terhadap karies, hal ini dikarenakan sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi
sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi
antagonisnya. Anak-anak mempunyai risiko karies yang paling tinggi ketika gigi
mereka baru erupsi sedangkan orangtua lebih berisiko terhadap terjadinya karies
akar.8
2.4.2 Jenis Kelamin
Selama masa kanak-kanak dan remaja, wanita menunjukkan rerata DMF yang
lebih tinggi daripada pria. Walaupun demikian, umumnya kebersihan mulut wanita
lebih baik sehingga komponen gigi yang hilang M (missing) lebih sedikit daripada
pria. Sebaliknya, pria mempunyai komponen F (filling) yang lebih banyak dalam
indeks DMF.8
2.4.3 Sosial Ekonomi
Prevalensi karies lebih tinggi pada anak yang berasal dari status sosial ekonomi
rendah. Hal ini dikarenakan mereka lebih sering mengonsumsi makanan yang bersifat
kariogenik, rendahnya pengetahuan akan kesehatan gigi, dan jarang melakukan
dikatakan bahwa kunjungan kedokter gigi sebagai upaya pencegahan masih kurang
pada anak-anak miskin dengan tingkat pendidikan orangtua yang rendah.13,14
2.5 Indeks Karies
Indeks adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu
golongan kelompok terhadap suatu penyakit gigi tertentu. Ukuran untuk mendapatkan
data tentang status karies seseorang digunakan indeks karies agar penilaian yang
diberikan pemeriksa sama atau seragam. Ada beberapa indeks karies yang biasa
digunakan seperti indeks Klein dan indeks WHO, namun belakangan ini
diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO
sebelumnya.8
Indeks DMF diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun
1938 untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Status karies
dilakukan dengan cara memeriksa semua permukaan gigi dengan menggunakan alat
diagnostik. Apabila terdapat gigi dengan karies yang masih dapat ditambal, gigi
dengan tambalan sementara, gigi dengan karies sekunder tetapi masih dapat ditambal
maka gigi tersebut dimasukan pada komponen Decayed (D). Apabila hanya terdapat
sisa akar atau gigi dengan indikasi pencabutan serta gigi yang sudah dicabut karena
karies maka gigi tersebut termasuk pada komponen Missing (M). Sementara gigi
yang sudah ditambal dengan sempurna dan kondisi tambalan masih baik atau sehat
maka gigi tersebut dikategorikan pada komponen Filling (F).8,11
Nilai DMFT merupakan penjumlahan dari komponen DMF. Indeks ini
menunjukkan klinis penyakit karies gigi.Perhitungan DMFT untuk populasi adalah :
a.DMFT
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan kedalam kategori D Jumlah DMFT populasi
DMFT =
2.Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen
dimasukkan dalam kategori D
3.Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D
4.Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam
kategori M
5.Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan
perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M
6.Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F
7.Gigi sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F
b. deft
Pengukuran ini digunakan untuk gigi susu. Komponen e dihitung bila gigi susu
sudah dilakukan pencabutan karena karies.8,11,12
2.6 Perilaku
Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang yang dapat diamati secara
langsung atau tidak langsung. Robert Kwick pada tahun 1974 menyatakan bahwa
perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan
bahkan dapat dipelajari.16,17
Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu
perilaku, terjadi proses berurutan pada orang tersebut, yaitu:
a.Kesadaran (awareness): seseorang meyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus
b.Tertarik (interest): merasa tertarik terhadap stimulus yang diberikan. Disini
sikap subjek sudah mulai terbentuk.
c. Mempertimbangkan (evaluation): seseorang mempertimbangkan baik buruk
dari stimulus kepada dirinya. Hal ini berarti sikap orang itu sudah lebih baik lagi.
d. Mencoba (trial): seseorang telah mulai mencoba meakukan perilaku baru.
e. Adopsi (adoption): seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.16,17
tindakan atau kegiatan responden, ataupun pengukuran secara tidak langsung dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu.
2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu
dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor
keturunan adalah faktor konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau
tempat untuk perkembangan perilaku tersebut.18
2.7.1 Faktor Genetik (Keturunan)
Faktor keturunan adalah faktor konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan
perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya.18
2.7.2 Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah kondisi atau tempat untuk perkembangan perilaku
seseorangan. Lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang itu bisa berasal dari
lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal (masyarakat) maupun lingkungan
sekolah.18
a.Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satu kesatuan dari suatu kelompok kecil yang terdiri atas
ayah, ibu dan anak yang terbentuk dari suatu tali perkawinan yang merupakan tempat
pertama dalam mendapatkan pendidikan, perlindungan, informasi, sosialisasi serta
sikap disiplin. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang mempunyai peranan penting
bagi perkembangan kepribadian anak, dan orangtua menjadi faktor penting dalam
menanamkan dasar kepribadian seorang anak.18
b.Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah sekumpulan kelompok yang tinggal pada suatu daerah yang
menuju masa dewasa. Tumbuh kembang seseorang di dalam masyarakat dipengaruhi
oleh keadaan masyarakat, teman sebaya, lingkungan tempat tinggal dan aturan-aturan
yang berlaku di dalam masyarakat.18
c.Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah berfungsi sebagai tempat mencerdaskan anak didik dan
transformasi norma. Pendidikan di sekolah bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
kreatif, mandiri dan bertanggung jawab.18
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa jalur
pendidikan terdiri atas: 4
a.Pendidikan formal
Sekolah sebagai lembaga pendidikan dikategorikan formal karena diadakan di
sekolah/tempat tertentu, dilakukan secara teratur dan sistematis, mempunyai jenjang
dan jangka waktu tertentu, berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai
perguruan tinggi, serta dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditentukan
oleh pemerintah.
b.Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
c.Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Jika dihubungkan dengan masalah kesehatan rongga mulut, anak usia sekolah
masing-masing mempunyai risiko untuk mengalami kerusakan gigi karena anak-anak
seusia tersebut mulai tumbuh gigi tetap sehingga rentan terhadap penyakit karies
gigi.10
2.8 Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut
Di Indonesia, upaya pencegahan lebih terpusat pada karies gigi dan penyakit
periodontal yang dapat dikatakan sebagai penyakit mulut yang dapat dicegah.
Keefektifan beberapa tindakan pencegahan telah diteliti secara ilmiah untuk
menentukan mana tindakan yang efektif dan tidak.10 Upaya pencegahan kerusakan
gigi anak dititik beratkan pada anak usia sekolah dasar yaitu 6-14 tahun, karena
anak-anak pada usia tersebut mulai tumbuh gigi tetap sehingga rentan terhadap penyakit
karies gigi.11
2.8.1 Pencegahan dan Pemeliharaan Rongga Mulut oleh Tenaga
Profesional
Pada dasarnya ada empat cara pencegahan primer yang harus dilakukan oleh
tenaga profesional atau dokter gigi yaitu pemberian fluor, pit dan fisur silen,
konseling diet dan melakukan tindakan kebersihan mulut.8
a.Pemberian Fluor
Meskipun mekanisme yang tepat bagaimana fluoride mencegah karies gigi
tidak sepenuhnya dipahami, ada tiga mekanisme umum yang biasanya diketahui:
1.Meningkatkan ketahanan struktur gigi untuk demineralisasi
2.Meningkatkan proses remineralisasi
3.Mengurangi potensi kariogenik plak gigi
Fluoride dapat diperoleh dengan aplikasi langsung dari berbagai produk
kesehatan mulut ke gigi (topikal aplikasi fluoride), atau secara internal dengan produk
makanan dan minuman (aplikasi fluoride sistemik).8,10,19
Fluoridasi air minum adalah tindakan menambah konsentrasi fluor ke dalam air
minum sebanyak 0,8-1,2 ppm. Untuk daerah yang relatif panas dan membutuhkan
untuk daerah yang dingin dengan asupan air kurang maka dilakukan penambahan 1,2
ppm fluoride. Namun konsentrasi rata-rata untuk fluoridasi air minum yaitu 1 ppm
(part per million). Penambahan fluor sampai mencapai 1 ppm (part per million)
dilaporkan dapat menurunkan prevalensi karies sebanyak 40-50% pada gigi desidui,
dan 50-60% pada gigi permanen anak-anak yang mengonsumsi air yang mengandung
fluoride sejak lahir. Selain efektif mengurangi karies, fluoridasi air minum juga
merupakan metode yang mudah dan bermanfaat bagi populasi umum karena tidak
tergantung pada kepatuhan individu.8,9,19,20
Bila air minum masyarakat tidak mengandung jumlah fluor yang optimal, maka
dapat dilakukan pemberian tablet fluor. Pemberian tablet fluor disarankan pada anak
yang berisiko karies tinggi dengan air minum yang tidak mempunyai konsentrasi
fluor yang optimal (2,2 mg NaF,yang akan menghasilkan fluor sebesar 1 mg per
hari). Jumlah fluor yang dianjurkan untuk anak di bawah umur 6 bulan–3 tahun
adalah 0,25 mg, 3–6 tahun sebanyak 0,5 mg dan untuk anak umur 6 tahun ke atas
diberikan dosis 0,5–1 mg. Obat kumur yang mengandung fluor dapat menurunkan
karies sebanyak 20–50%. Seminggu sekali berkumur dengan 0,2% NaF dan setiap
hari berkumur dengan 0,05% NaF dipertimbangkan menjadi ukuran kesehatan
masyarakat yang ideal. Penggunaan obat kumur disarankan untuk anak yang berisiko
karies tinggi atau selama terjadi kenaikan karies. Obat kumur ini tidak disarankan
untuk anak berumur di bawah 6 tahun.14
b.Topikal Aplikasi
Topikal aplikasi diartikan sebagai suatu sistem pelapisan fluor secara lokal
topikal pada permukaan gigi yang sedang erupsi untuk mencegah terjadinya karies
gigi. Sampai sekarang ada tiga jenis fluor yang digunakan yaitu Natrium Fluoride
(NaF), Stannous Fluorida (SnF2) dan Acidulated Phosphate Fluoride (APF).8
Topikal aplikasi dapat dilakukan oleh dokter gigi ataupun ahli terapi, tetapi
biasanya terbatas pada pasien berisiko tinggi dan mereka yang memiliki kebutuhan
khusus, seperti:
1.Anak dengan karies yang banyak
akan menyebabkan pencabutan gigi menjadi berbahaya
3. Pasien penyandang cacat yang tidak dapat mencapai kebersihan mulut yang
memadai sendiri. 9
Tahapan prosedur aplikasi topikal meliputi:
1.Pada gigi yang akan dilakukan perawatan, maka sebelumnya dilakukan
skeling dan penyerutan akar
2.Dengan menggunakan bahan pewarna, diperiksa apakah seluruh permukaan
gigi sudah bebas dari plak
3.Pasien diinstruksikan untuk melakukan kontrol plak atau menyikat seluruh
permukaan gigi
4.Tindakan profilaksis dilakukan dengan bubuk pumis dan air menggunakan
bur berkecepatan rendah (tidak dianjurkan pada pemakai pesawat ortodonti cekat)
5.Gigi diisolasi dan dikeringkan dengan semprotan udara
6.Larutan fluor dioleskan pada gigi dengan menggunakan kuas halus
(sebelumnya gigi dibagi atas 4 kuadran)
7.Biarkan selama 3 menit dan hal yang sama dilakukan pada kuadran lainnya
8.Pasien diinstruksikan untuk tidak makan dan minum selama 1 jam dan
melakukan kontrol sekali tiga bulan.8
c. Pit dan Fisur Silen
Topikal aplikasi fluoride memberikan sebagian besar efeknya pada permukaan
mesial dan distal (proksimal), sedangkan pit dan fisur di permukaan oklusal yang
rentan terhadap karies kurang dilindungi oleh fluoride.9
Silen adalah bahan resin ynag diaplikasikan pada permukaan enamel gigi
sehingga menutup pit dan fisur sehingga sangat efektif untuk mencegah karies pit dan
fisur. Walaupun silen lebih efektif untuk masyarakat bila dibandingkan dengan
program fluoride yang lainnya, namun silen tergolong lebih mahal. Silen dapat
digunakan secara kimia atau bantuan sinar.20
Tahapan prosedur aplikasi pit dan fisur silen meliputi:
1.Permukaan gigi terutama pit dan fisur dibersihkan dengan bubuk pumis dan
2.Gigi diisolasi dan dikeringkan dengan semprotan udara
3.Dilakukan etsa pada email atau pengasaman pada gigi dengan asam fosfat
37% selama 60 detik
4.Gigi dibiakan selama satu menit, jangan sampai terkontaminasi dengan saliva
5. Permukaan gigi yang telah dietsa dibersihkan dengan semprotan air dan
dikeringkan sampai terlihat permukaan oklusal memutih
6. Dilakukan aplikasi bahan silen pada pit dan fisur sampai seluruhnya tertutup
7. Dilakukan penyinaran dengan menggunakan sinar UV (light-cured) selama
30 detik atau sampai bahan mengeras
8. Permukaan oklusal diperiksa dengan memakai ujung sonde, bila ada yang
belum tertutup silen, dilakukan kembali prosedur yang sama.8
d. Konseling
Konseling tentang diet makanan sangat dianjurkan sebagai salah satu cara
mengontrol penyakit. Nasehat diet yang dianjurkan adalah memakan makanan yang
cukup jumlah protein dan fosfat yang dapat menambah sifat basa dari saliva,
memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan yang berserat dan berair yang
bersifat membersihkan dan merangsang sekresi saliva, menghindari makanan yang
manis dan lengket, membatasi jumlah makan menjadi tiga kali sehari dan menekan
keinginan untuk makan di antara jam makan.Pasien perlu diberitahu bahwa makanan
yang mengandung gula dan lengket lebih bersifat kariogenik daripada gula dalam
bentuk cairan. Selain itu, mengonsumsi makanan kariogenik di antara waktu makan
dapat meningkatkan risiko karies. Dalam hal konseling, pasien juga perlu diajarkan
cara menyikat gigi yang benar.8,14,20
2.8.2 Pencegahan dan Pemeliharaan Rongga Mulut Individual
Selain perawatan oleh tenaga profesional, perawatan pencegahan individual
juga perlu dilakukan untuk mempertahankan agar gigi dan mulut tetap sehat.8
a.Menyikat Gigi
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kebersihan gigi dan mulut pada
disingkarkan secara mekanis maupun kemis. Menyikat gigi dengan menggunakan
sikat gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara mekanis. Tujuan menyikat gigi
adalah:
1.Menyingkirkan plak atau mencegah pembentukan plak
2.Membersihkan sisa-sisa makanan, debris atau stein
3. Merangsang jaringan gingival
4. Melapisi permukaan gigi dengan fluor
Umumya, dokter gigi selalu menganjurkan pasien untuk menyikat giginya
segera setelah makan. American Dental Association (ADA) memodifikasi pernyataan
ini dengan menyatakan bahwa pasien harus menyikat gigi secara teratur, minimal dua
kali sehari yaitu pagi hari setelah sarapan dan sebelum tidur malam.8,11,21
Menyikat gigi secara langsung setelah makan harus dihindari, karena pH saliva
dalam waktu 3-5 menit sesudah mengonsumsi makanan yang mengandung
karbohidrat akan turun sampai mencapai pH 5. Menyikat gigi sebaiknya 25 menit
setelah makan atau minum, karena pada saat itu pH saliva akan kembali normal
sehingga dapat mencegah proses pembentukan karies. Waktu menyikat gigi pada
setiap orang tidak sama, bergantung pada beberapa faktor seperti kecendrungan
seseorang terhadap plak dan debris, ketrampilan menyikat gigi dan kemampuan
salivanya membersihkan sisa-sisa makanan dan debris. Seseorang bisa ditentukan
berapa kali sebaiknya menggosok gigi hanya setelah pasien berulang kali menyikat
gigi dengan diawasi oleh tenaga profesional. Biasanya, rerata durasi menyikat gigi
adalah kira-kira satu menit, walaupun demikian ada juga yang melaporkan 2-2,5
menit. Untuk metode penyikatan gigi pada anak lebih ditekankan agar mampu
membersihkan seluruh permukaan gigi, namun dengan bertambahnya usia diharapkan
metode bass dapat dilakukan. Pemakaian sikat gigi elektrik lebih ditekankan pada
anak yang mempunyai masalah khusus.8,14,22
b.Pasta Gigi
Secara sederhana, pasta gigi diartikan sebagai campuran yang digunakan
bersama sikat gigi. Pasta gigi di pasaran tersedia dalam bentuk tepung, pasta atau gel
harus mampu mengurangi penyakit gigi misalnya karies, gingivitis, pembentukan
kalkulus atau sensitivitas gigi. Sedangkan untuk kebutuhan kosmetik, pasta gigi
digunakan untuk menghilangkan stein ekstrinsik akibat rokok, makanan, teh atau kopi
pada permukaan gigi.8
Umumnya pasta gigi mengandung bahan abrasif 20-40%, air 20-40%, pelembab
(humactant) 20-40% , detergen 1-2%, bahan pengikat (binding agent) 2%, bahan
penyegar ±2%, bahan pemanis ±2%, bahan terapeutik ±5% dan pewarna <1%. Bahan
abrasif yang digunakan biasanya kalsium karbonat dan kalsium fosfat, sedangkan
untuk detergen digunakan sodium laurel sulfat (SLS) karena stabil dan mempunyai
sifat antibakteri dan tegangan permukaan yang rendah sehingga memudahkan pasta
gigi mengalir membasahi gigi. SLS aktif pada pH normal namun Barkvoll tidak
menganjurkan SLS digunakan pada pasien yang menderita penyakit pada mukosa
oralnya. Spearmint, peppermint, wintergreen, cinnamon dan lainnya digunakan
sebagai bahan penyegar karena dapat memberikan rasa segar dan menyenangkan.
Formula pasta gigi pada masa lampau menggunakan gula dan madu sebagai bahan
pemanis, namun belakangan ini sedang dikembangkan bahan pemanis xilitol yang
bersifat antikariogenik dan juga antikaries sehingga memungkinkan terjadinya
remineralisasi bila digunakan pada karies dini. Biasanya ditambahkan gliserin
sebagai bahan pelembab.8
Meskipun penelitian tentang efektifitas banyaknya pasta gigi yang harus
dioleskan pada sikat gigi masih sangat jarang, orang tua disarankan hanya
menggunakan pasta gigi sebesar kacang untuk anak dan membantu atau mengawasi
anak dalam menyikat gigi sampai usia anak setidaknya 7 tahun.22
c.Menggunakan Pembersih Interdental
Menyikat gigi merupakan tindakan pencegahan paling baik dan biasa dilakukan,
namun sebenarnya menyikat gigi hanya membersihkan permukaan bukal, lingual dan
oklusal (termasuk pit dan fisur) sedangkan daerah proksimal dan interdental hampir
tidak tersentuh. Daerah tersebut cenderung mudah mengalami karies dan sering
dijumpai lesi gingival dan periodontal. Oleh karena itu, program pencegahan harus
dianjurkan pada anak yang berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit
periodontal meningkat pada umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan
latihan yang lama sebelum benar-benar menguasainya.14
Pemakaian benang gigi adalah metode yang paling banyak direkomendasikan
untuk membersihkan permukaan proksimal gigi. Benang gigi memiliki beberapa
tujuan yaitu:
1.Membersihkan plak yang melekat pada gigi, restorasi, peralatan ortodonti,
protesa cekat dan gingiva di embrasur interproksimal dan di bawah pontik.
2.Mempoles permukaan untuk menyingkirkan debris.
3.Memijat papilla interdental.
4.Alat bantu untuk mengidentifikasi adanya deposit kalkulus subgingiva,
restorasi berlebihan atau lesi karies interproksimal.
5.Mengurangi perdarahan gingiva.
6.Berkontribusi untuk sanitasi mulut secara umum dan kontrol halitosis.20
d. Menggunakan Obat Kumur
Secara umum, obat kumur digunakan untuk memberikan nafas yang segar.
Kebanyakan obat kumur mengandung campuran ammonium, asam benzoat, dan
fenol. Dalam hal pemasaran, obat kumur berhubungan dengan rasa, warna, bau dan
sensani yang diberikan obat kumur tersebut. Menurut Schiott, penggunaan obat
kumur setiap hari secara terus menerus dapat mengurangi bakteri dalam saliva
sebanyak 30-50% dan dalam plak sebanyak 55-97%.8
e. Menggunakan Pembersih Lidah
Selain menyikat gigi, lidah juga harus dibersihkan untuk mengurangi debris,
plak dan sejumlah mikroorganisme. Papilla pada lidah merupakan tempat
berkumpulnya bakteri dan debris. Pembersih lidah digunakan dengan
menempatkanya di bagian tengah lidah dan kemudian menariknya perlahan-lahan ke
arah depan dengan sedikit tekanan pada permukaan lidah. Penggunaan pembersih
lidah terutama diindikasikan pada perokok, atau orang-orang yang mempunyai lidah
f. Mengunyah Permen Karet
Persepsi mengunyah permen karet yang awalnya untuk menikmati aroma dan
rasa manisnya telah berubah karena adanya inovasi terbaru untuk menyempurnakan
pemeliharaan kesehatan gigi yaitu mengunyah permen karet yang mengandung xilitol
atau sorbitol. Xilitol adalah bahan pemanis alami yang berbeda dengan pemanis
lainnya seperti laktosa, sukrosa dan glukosa. Mengunyah permen karet xilitol
merupakan strategi yang efektif untuk mencegah karies dengan menekan jumlah
Streptococcus mutans sehingga pembentukan plak pada enamel gigi dapat dicegah.
Penggunaan permen karet xilitol merupakan kontrol plak tambahan yang bermanfaat
2.9 Kerangka Konsep
Siswa Pendidikan Formal (SD Islam Terpadu Alif)
Siswa Pendidikan Nonformal (SD Yayasan Amal Shaleh)
Pengalaman Karies Kesehatan Gigi dan Mulut
(Arikunto, 2009)
a.Kebiasaan menyikat gigi b.Waktu menyikat gigi c. Frekuensi menyikat gigi d. Durasi menyikat gigi e. Penggantian sikat gigi
rutin
f. Kepemilikkan sikat gigi g. Penggunaan pasta gigi h. Kunjungan berkala ke
dokter gigi
Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut
(Arikunto, 2009)
a.Kebiasaan menyikat gigi b.Waktu menyikat gigi c. Frekuensi menyikat gigi d. Durasi menyikat gigi e. Penggantian sikat gigi
rutin
f. Kepemilikkan sikat gigi g. Penggunaan pasta gigi h. Kunjungan berkala ke
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survei analitik. Survei analitik merupakan suatu
penelitian survei yang diarahkan untuk mengetahui apakah antara dua atau lebih dari
dua kelompok ada perbedaan dalam aspek atau variabel yang diteliti.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah formal yaitu SD Islam Terpadu Alif dan
sekolah non-formal yaitu SD Yayasan Amal Shaleh Kecamatan Medan Polonia.
Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 7 bulan dimulai pada Agustus
2014 sampai Maret 2015 yaitu mulai dari pembuatan proposal penelitian sampai
dengan pembuatan laporan akhir.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah 127 orang siswa pendidikan formal yaitu SD
Islam Terpadu Alif dan 48 orang siswa pendidikan nonformal yaitu SD Yayasan
Amal Shaleh. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu seluruh
populasi kedua sekolah dijadikan sampel sebanyak 175 orang.
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
a. Jenis kelamin: laki-laki atau perempuan
b.Umur: ulang tahun terakhir responden yang dibagi atas tiga, yaitu:
1.6-8 tahun
2.9-11 tahun
3.12-14 tahun
c. Pengalaman karies (DMFT): gigi geligi yang pernah mengalami D (karies,
karies sekunder), M (hilang karena karies, radiks), F (penambalan) yang dihitung
d. Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut responden: tindakan yang
biasa dilakukan responden untuk memelihara kesehatan gigi dan mulutnya. Perilaku
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dalam hal ini mengenai waktu dan frekuensi
menyikat gigi, durasi menyikat gigi, penggantian sikat gigi rutin, kepemilikan sikat
gigi, penggunaan pasta gigi dan kunjungan berkala ke dokter gigi.
e. Kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut: pengelompokan
perilaku responden menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup dan kurang. Menurut
Arikunto (2009), perilaku diinterpretasikan dalam kalimat kualitatif sebagai berikut:
Tabel 1. Kategori Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut
3.5 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data karakteristik perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
responden dilakukan dengan wawancara. Pemeriksaan skor DMFT responden
dilakukan dengan menggunakan sonde dan kaca mulut, yang hasilnya dicatat pada
lembar pemeriksaan.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Lembar pemeriksaan dan kuesioner diperiksa kembali kelengkapan datanya
secara manual, kemudian data tersebut dimasukkan kedalam program komputer
untuk dianalisis. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut ansiswa SD Islam Terpadu Alif dengan SD Yayasan Amal
Shaleh digunakan uji chi-square.
Kategori Kriteria Penilaian Skor
(Total jawaban yang tepat = 8)
Baik 76-100% dari total jawaban
yang tepat >6
Cukup 56-75% dari total jawaban
yang tepat 4-6
Kurang ≤55% dari total jawaban
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden
Persentase responden SD Islam Terpadu Alif berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak, yaitu 53,5%; sedangkan, responden SD Yayasan Amal Shaleh yang berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan sama yaitu masing-masing 50% (Gambar 1).
Gambar 1. Persentase Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Persentase responden SD Islam Terpadu Alif yang berusia 6-8 tahun adalah
lebih banyak yaitu 54,3%; sedangkan, pada SD Yayasan Amal Shaleh yang lebih
banyak adalah responden berusia 9-11 tahun yaitu 54,2% (Gambar 2).
0 10 20 30 40 50 60
SD Islam Terpadu Alif SD Yayasan Amal Shaleh
Laki-laki
Perempuan Jenis Kelamin
SD
53,5%
46,5% 50% 50%
Gambar 2. Persentase Distribusi Responden Berdasarkan Umur pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Persentase responden SD Islam Terpadu Alif kelas III dan IV adalah lebih
banyak, yaitu 40,9%; sedangkan, pada SD Yayasan Amal Shaleh yang lebih banyak
adalah responden kelas I dan II yaitu 35,4% (Gambar 3).
Gambar 3. Persentase Distribusi Responden Berdasarkan Kelas pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
0
SD Islam Terpadu Alif SD Yayasan Amal Shaleh
6-8 tahun
SD Islam Terpadu Alif SD Yayasan Amal Shaleh
4.2 Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut
Seluruh responden SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh sudah
mempunyai kebiasaan menyikat gigi dan menggunakan pasta gigi. Baik responden
SD Islam Terpadu Alif maupun responden SD Yayasan Amal Shaleh lebih banyak
menyikat gigi pada waktu yang tidak tepat, yaitu sewaktu mandi pagi dan mandi sore
sebanyak 32,28% responden SD Islam Terpadu Alif dan 41,66% di SD Yayasan
Amal Shaleh. Sedangkan, responden yang sudah menyikat gigi dengan tepat yaitu
pagi setelah sarapan dan sebelum tidur malam hanya sedikit, yaitu 7,88% responden
SD Islam Terpadu Alif dan 4,17% di SD Yayasan Amal Shaleh. Kebanyakan
responden di SD Islam Terpadu Alif sudah menyikat gigi dengan durasi yang tepat
yaitu 1-2 menit (42,52%), sedangkan di SD Yayasan Amal Shaleh kebanyakan yang
menyikat gigi kurang dari 1 menit (56,25%). Dalam hal kepemilikan sikat gigi, baik
responden SD Islam Terpadu Alif maupun responden SD Yayasan Amal Shaleh
umumnya sudah mempunyai sikat gigi milik sendiri yaitu 85,83% responden SD
Islam Terpadu Alif dan 58,33% di SD Yayasan Amal Shaleh. Namun, persentase
responden yang mempunyai sikat gigi milik bersama di SD Yayasan Amal Shaleh
juga masih banyak yaitu 41,67%. Dalam hal penggantian sikat gigi, baik responden
SD Islam Terpadu Alif maupun responden SD Yayasan Amal Shaleh lebih banyak
yang mengganti sikat gigi bila bulu sikat sudah mekar atau rusak, yaitu 47,24%
responden SD Islam Terpadu Alif dan 70,83% di SD Yayasan Amal Shaleh.
Persentase responden yang rutin mengganti sikat gigi setiap 3 bulan sebanyak 10,24%
di SD Islam Terpadu Alif dan 4,17% di SD Yayasan Amal Shaleh (Tabel 2).
Tabel 2. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut
Frekuensi dan waktu menyikat gigi
1x (pagi hari, sewaktu bangun tidur)
2x (pagi setelah sarapan dan sebelum tidur malam)
2x (pagi sebelum sarapan dan sebelum tidur malam)
2x (sewaktu mandi pagi dan mandi sore)
Kurang dari 1 menit 1-2 menit
Lebih dari 2 menit Tidak tentu
Bila bulu sikat sudah mekar/ rusak Rutin setiap 3 buan sekali
Tidak pernah mengganti sikat gigi Tidak tentu
Baik responden SD Islam Terpadu Alif maupun responden SD Yayasan Amal
Shaleh lebih banyak mengunjungi dokter gigi pada waktu sakit gigi, yaitu sebanyak
47,24% responden SD Islam Terpadu Alif dan 47,92% responden SD Yayasan Amal
Shaleh. Responden yang sudah mengunjungi dokter gigi setiap 6 bulan hanya 4,73%
responden SD Islam Terpadu Alif sedangkan tidak seorangpun di SD Yayasan Amal
Tabel 3. Persentase Kunjungan Berkala ke Dokter Gigi pada Siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Kunjungan Berkala ke Dokter Gigi
SD Islam Terpadu
Pada waktu sakit gigi
6
Berdasarkan kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, tidak
seorangpun responden pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
yang masuk dalam kategori perilaku baik. Responden SD Islam Terpadu Alif lebih
banyak pada kategori perilaku cukup (50,4%), sedangkan pada SD Yayasan Amal
Shaleh pada kategori kurang (77,1%). Ada perbedaan perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut antara siswa SD Islam Terpadu Alif dengan SD Yayasan
Amal Shaleh (p=0,001) (Tabel 4).
4.3 Pengalaman Karies dan Kebutuhan Perawatan Restorasi Gigi Siswa
Pendidikan Formal (SD Islam Terpadu Alif) dan Pendidikan Nonformal (SD
Yayasan Amal Shaleh)
Rerata karies (D) pada responden SD Yayasan Amal Shaleh lebih tinggi yaitu
1,40±1,19 daripada responden SD Islam Terpadu Alif 0,94±1,25. Sedangkan rerata
Missing Indicated (Mi), Missing Extracted (Me) dan Filling (F) pada responden SD
Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh rendah. Secara keseluruhan, rerata
DMFT pada siswa SD Yayasan Amal Shaleh lebih tinggi, yaitu 1,58±1,28 daripada
SD Islam Terpadu Alif 1,02±1,37 (Tabel 5).
Tabel 5. DMFT Rata-rata Siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Sekolah
D Mi/Me F DMFT
n x̄ ±SD x̄ ±SD x̄ ±SD x̄ ±SD
SD Islam
Terpadu Alif 0,94±1,25 0,06±0,29 0,02±0,19 1,02±1,37 127
SD Yayasan
Amal Shaleh 1,40±1,19 0,08±0,28 0,10±0,30 1,58±1,28 48
Persentase tertinggi responden yang bebas karies pada SD Islam Terpadu Alif
dan SD Yayasan Amal Shaleh dijumpai pada kelas I dan II yaitu 54,24%; sedangkan,
persentase terendah responden yang bebas karies pada kedua sekolah tersebut
terdapat pada kelas V dan VI yaitu 35,42%. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi
tingkatan kelas maka responden yang bebas karies juga semakin rendah. Secara
keseluruhan, persentase responden yang bebas karies pada SD Islam Terpadu Alif
Tabel 6. Persentase Responden yang Bebas Karies pada SD Islam Terpadu Alif dan
Berdasarkan kelas, rata-rata kebutuhan perawatan restorasi gigi yang lebih
tinggi pada responden SD Islam Terpadu Alif adalah responden kelas V dan VI yaitu
1,33. Namun berbeda dengan SD Islam Terpadu Alif, pada SD Yayasan Amal Shaleh
yang lebih banyak membutuhkan perawatan restorasi gigi lebih banyak responden
kelas III dan IV yaitu 1,63 daripada responden kelas V dan VI 1,40 (Tabel 7).
Tabel 7. Rata-rata Kebutuhan Perawatan Restorasi Gigi pada Siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Kelas
SD Islam Terpadu Alif (n=127)
SD Yayasan Amal Shaleh (n=48)
Jika dilihat berdasarkan jumlah responden, persentase tertinggi responden yang
membutuhkan perawatan restorasi gigi pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan
Amal Shaleh dijumpai pada kelas V dan VI yaitu 64,58%; sedangkan, persentase
terendah responden yang membutuhkan perawatan restorasi gigi pada kedua sekolah
tersebut terdapat pada kelas I dan II yaitu 45,76%. Hal ini menunjukkan, semakin
tinggi tingkatan kelas maka responden yang membutuhkan perawatan restorasi gigi
perawatan restorasi gigi pada SD Yayasan Amal Shaleh lebih banyak, yaitu 72,92%
daripada SD Islam Terpadu Alif 49,61% (Tabel 8).
Tabel 8. Persentase Responden yang Membutuhkan Perawatan Restorasi Gigi pada Siswa SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh
Kelas
SD Islam Terpadu Alif (n=127)
SD Yayasan Amal
Shaleh (n=48) Total
Jumlah
(orang) % n
Jumlah
(orang) % n
Jumlah
(orang) % n
I dan II 17 40,48 42 10 58,82 17 27 45,76 59
III dan IV 28 53,85 52 12 75 16 40 58,82 68
V dan VI 18 54,55 33 13 80 15 31 64,58 48
BAB 5
PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara
perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada siswa SD Islam Terpadu Alif
dan siswa SD Yayasan Amal Shaleh (p=0,001). Responden SD Islam Terpadu Alif
lebih banyak pada kategori perilaku cukup (50,4%), sedangkan pada SD Yayasan
Amal Shaleh pada kategori kurang (77,1%) (Tabel 4). Responden SD Yayasan Amal
Shaleh yang merupakan anak jalanan lebih banyak pada kategori perilaku kurang
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kahabuka dan Mbawalla pada mantan anak
jalanan usia 7-16 tahun di Lembaga Dar es Salaam, mereka menemukan bahwa
kebanyakan anak-anak yang hidup di jalanan lebih cenderung untuk mengonsumsi
makanan kariogenik dan termasuk dalam kategori perilaku pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut yang buruk.5
Penelitian menunjukkan baik responden SD Islam Terpadu Alif maupun
responden SD Yayasan Amal Shaleh lebih banyak menyikat gigi pada waktu yang
tidak tepat, yaitu sewaktu mandi pagi dan mandi sore sebanyak 32,28% responden
SD Islam Terpadu Alif dan 41,66% di SD Yayasan Amal Shaleh. Sedangkan,
responden yang sudah menyikat gigi dengan tepat yaitu pagi setelah sarapan dan
sebelum tidur malam hanya sedikit, yaitu 7,88% responden SD Islam Terpadu Alif
dan 4,17% di SD Yayasan Amal Shaleh (Tabel 2). Hal ini mungkin disebabkan
karena kurangnya pengetahuan responden tentang waktu menyikat gigi yang tepat,
sehingga responden yang menyikat gigi setelah sarapan pagi dan sebelum tidur
malam hanya sedikit. Hal ini hampir sama dengan data Susenas 1998 yang
menyatakan dari 77,2% masyarakat yang menyikat gigi hanya 8,1% yang menyikat
gigi tepat pada waktunya.11
Penelitian juga menunjukkan, baik responden SD Islam Terpadu Alif maupun
responden SD Yayasan Amal Shaleh belum mengganti sikat gigi secara rutin setiap 3
Shaleh lebih banyak yang mengganti sikat gigi bila bulu sikat sudah mekar atau
rusak, yaitu 47,24% responden SD Islam Terpadu Alif dan 70,83% di SD Yayasan
Amal Shaleh (Tabel 2). Hal ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan
responden tentang waktu penggantian sikat gigi yang tepat yaitu setiap 3 bulan,
dengan ataupun tanpa kerusakan pada bulu sikat. Pada SD Yayasan Amal Shaleh
yang siswanya merupakan anak jalanan, mereka tidak melakukan penggantian sikat
gigi secara rutin juga bisa disebabkan karena faktor ekonomi, yaitu tidak adanya
biaya untuk mengganti sikat gigi setiap 3 bulan.
Baik responden SD Islam Terpadu Alif maupun SD Yayasan Amal Shaleh lebih
banyak mengunjungi dokter gigi pada waktu sakit gigi, yaitu sebanyak 47,24%
responden SD Islam Terpadu Alif dan 47,92% responden SD Yayasan Amal Shaleh.
Responden yang sudah mengunjungi dokter gigi setiap 6 bulan hanya 4,73%
responden SD Islam Terpadu Alif sedangkan tidak seorangpun di SD Yayasan Amal
Shaleh (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan karena kebanyakan orang
memandang gangguan pada gigi dan mulut sebagai suatu penyakit yang tidak perlu
mendapatkan perawatan. Tidak ada seorangpun responden SD Yayasan Amal Shaleh
yang memeriksakan gigi geliginya setiap 6 bulan ke dokter gigi kecuali pada waktu
sakit gigi juga bisa disebabkan karena tidak adanya biaya ke dokter gigi. Seperti yang
dilaporkan oleh The World Oral Health Report 2003 di mana penyakit gigi dan mulut
merupakan peringkat keempat penyakit termahal dalam pengobatan.8
Secara keseluruhan, rerata DMFT responden SD Islam Terpadu Alif dan SD
Yayasan Amal Shaleh sama-sama lebih dari 1, walaupun rerata DMFT responden SD
Yayasan Amal Shaleh lebih tinggi, yaitu 1,58±1,28 daripada responden SD Islam
Terpadu Alif 1,02±1,37 (Tabel 5). Hasil penelitian yang dilakukan Srinivas dkk pada
anak jalanan usia 5-15 tahun di Kota Guntur India tahun 2012 menunjukkan rerata
DMFT 0,49±0,93; lebih rendah daripada rerata DMFT anak jalanan yang ada di SD
Yayasan Amal Shaleh.Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan jumlah sampel
yang diteliti, pada anak jalanan Kota Guntur India 255 orang, sedangkan anak jalanan
yang ada di SD Yayasan Amal Shaleh hanya 48 orang.5
berdasarkan kelas menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan perawatan restorasi gigi
yang lebih tinggi pada SD Islam Terpadu Alif adalah responden kelas V dan VI yaitu
1,33±1,51. Namun berbeda dengan SD Islam Terpadu Alif, pada SD Yayasan Amal
Shaleh yang lebih banyak membutuhkan perawatan restorasi gigi lebih banyak
responden kelas III dan IV yaitu 1,63±1,36 daripada responden kelas V dan VI
1,40±1,05 (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena responden kelas V dan VI sudah lebih
banyak melakukan perawatan restorasi gigi.
Jika dilihat berdasarkan jumlah responden, persentase tertinggi responden yang
membutuhkan perawatan restorasi gigi pada SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan
Amal Shaleh dijumpai pada kelas V dan VI yaitu 64,58%; sedangkan, persentase
terendah responden yang membutuhkan perawatan restorasi gigi pada kedua sekolah
tersebut terdapat pada kelas I dan II yaitu 45,76%. Hal ini menunjukkan, semakin
tinggi tingkatan kelas maka responden yang membutuhkan perawatan restorasi gigi
juga semakin tinggi (Tabel 8). Rendahnya rata-rata kebutuhan perawatan restorasi
gigi pada kelompok kelas I dan II kemungkinan disebabkan karena gigi permanen
responden yang sudah erupsi hanya beberapa gigi, sedangkan gigi geligi yang lain
masih gigi susu. Berbeda halnya dengan kelompok kelas V dan VI yang rata-rata gigi
permanennya sudah lebih banyak erupsi. Rata-rata kebutuhan perawatan restorasi gigi
yang tinggi juga mungkin terjadi karena masyarakat masih belum memahami dan
menyadari pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sehingga keinginan untuk
melakukan perawatan restorasi masih sangat rendah.1
Secara keseluruhan, persentase responden yang membutuhkan perawatan
restorasi gigi pada SD Yayasan Amal Shaleh lebih banyak, yaitu 72,92% daripada SD
Islam Terpadu Alif 49,61% (Tabel 8). Hal ini disebabkan karena persentase
responden yang bebas karies pada SD Islam Terpadu Alif lebih banyak, yaitu 50,39%
daripada SD Yayasan Amal Shaleh 27,08%. Rendahnya persentase responden SD
Islam Terpadu Alif yang membutuhkan perawatan restorasi gigi juga mungkin terjadi
karena perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada SD Islam Terpadu Alif
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1.Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut responden SD Islam Terpadu
Alif lebih banyak pada kategori cukup (50,4%), sedangkan pada SD Yayasan Amal
Shaleh pada kategori kurang (77,1%). Pada SD Islam Terpadu Alif sebanyak 42,52%
responden sudah menyikat gigi selama 1-2 menit, dan kebanyakan sudah mempunyai
sikat gigi milik sendiri (85,83%). Namun demikian, untuk waktu menyikat gigi yang
tepat setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam hanya 7,88% dan melakukan
kunjungan berkala ke dokter gigi setiap 6 bulan hanya 4,73%. Sebaliknya, pada SD
Yayasan Amal Shaleh masih banyak responden yang menyikat gigi kurang dari 1
menit (56,25%) dan tidak seorangpun responden yang melakukan kunjungan berkala
ke dokter gigi setiap 6 bulan. Dalam hal penggantian sikat gigi, baik responden SD
Islam Terpadu Alif maupun SD Yayasan Amal Shaleh belum mengganti sikat gigi
secara rutin, tetapi mengganti sikat gigi bila bulu sikat sudah mekar atau rusak.
2.Pengalaman karies pada responden SD Yayasan Amal Shaleh lebih tinggi,
yaitu 1,58±1,28 daripada responden SD Islam Terpadu Alif 1,02±1,37.
3.Kebutuhan perawatan restorasi gigi lebih tinggi pada responden SD Yayasan
Amal Shaleh daripada responden SD Islam Terpadu Alif.
4.Ada perbedaan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut antara SD
Islam Terpadu Alif dengan SD Yayasan Amal Shaleh (p=0,001). Hal ini
menunjukkan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dan pengalaman karies
pada siswa pendidikan formal lebih baik daripada nonformal.
6.2 Saran
1.Perlu diupayakan suatu program pemberian sikat gigi secara gratis setiap 3
bulan oleh pihak yayasan dari masing-masing sekolah yang bekerjasama dengan
2.Perlu diupayakan suatu program penyuluhan kesehatan gigi dan mulut yang
secara rutin dilakukan setiap 1 tahun oleh Puskesmas setempat yang melibatkan siswa
dan guru yang ada di SD Islam Terpadu Alif dan SD Yayasan Amal Shaleh.
3.Orangtua diharapkan dapat berperan dalam mengajarkan anak tentang cara
memelihara kesehatan gigi dan mulut yang tepat, serta membawa anak ke dokter gigi
setiap 6 bulan untuk memeriksakan gigi geligi ataupun melakukan perawatan gigi