• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL

PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

Oleh

Arif Mz

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan contohnya suhu yang tinggi. Tingkat kerusakan kulit bergantung pada pada suhu tertentu dan waktu kontak tertentu. Madu diduga berperan sebagai antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan sebagai penanganan korban luka bakar sudah diketahui banyak manfaatnya. Penelitian ini bertujuan membandingkan tingkat kesembuhan luka bakar dengan pemberian madu dan gentamisin topikal. Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol.

(2)

(kontrol), K2 (madu 100%), K3 ( Gentamisin Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah 14 hari perlakuan dilakukan pengamatan.

Dari hasil penelitian luka bakar pada kulit tikus menunjukann rata-rata kesembuhan kulit secara histopatologis pada kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 adalah 0,817±2,57, 0,774±4,23, dan 0,691±4,27 dengan nilai P=0,001 pada uji Kruskal-Wallis. Pada analisi Mann-Whitney test nilai p pada tiap kelompok adalah: antara K1 dan K2 p=0,001 kemudian K1 dan K3 p=0,001, untuk uji kelompok K2 dan K3 p=0,936. Pada hasil uji klinis didapat rata-rata 50,70±15,28 pada K1, 94,48±6,07 pada K2 dan K3, 92,14±6,85. Pada uji ANOVA didapatkan p=0,039, dilanjutkan pada uji post hoc

terdapat perbedaan bermakna pada kelompok K1 terhadap kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,001. Dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,585.

Berdasarkan hasil penelitian perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar terhadap pemberian madu dan gentamisin topikal dapat disimpulkan bahwa madu dapat dijadikan sebagai obat alternatif pada luka bakar sebagai pengganti antibiotik gentamisin topikal, terutama di daerah terpencil yang sulit untuk mendapatkan antibiotik gentamisin topikal.

(3)

ABSTRACT

THE COMPARISON FUEL OF LEVEL WOUND HEALING LEVEL BETWEEN HONEY AND TOPICAL GENTAMICIN TREATMENT

WHITE ON RATS (Rattus Norvegicus)

by

Arif Mz

Human skin is one of the most vulnerable organ damage. Damage to the skin, among others, can be caused by temperature. The extent of damage depends on the skin at specific temperature and contact time. thought to act as an antibacterial honey. This study aims to compare the rate of healing of burns with honey and gentamicin topical administration. This study used a randomized controlled design.

(4)

Kruskal-Wallis test. On analysis Mann-Whitney test p values for each group are: between K1 and K2 p = 0.001, then K1 and K3 p = 0.001, test for K2 and K3 group p = 0.936. On the results of clinical trials gained an average 50.70 ± 15:28 on K1, 94.48 ± 6:07 in K2 and K3, 92.14 ± 6.85. In the ANOVA test obtained p = 0.039, resumed in the post hoc tests found significant differences in the K1 to the K2 and K3 with p = 0.001. And there were no significant differences between the groups K2 and K3 with p = 0.585.

Based on the comparative study of the rate of healing of burns and gentamicin topical honey treatment, it can be concluded that honey can be used as an alternative medicine to the burn instead of gentamicin topical antibiotics, especially in remote areas that are difficult to get a topical antibiotic gentamicin.

(5)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL

PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

Oleh :

Arif Mz

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)
(7)
(8)
(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Way Jepara pada tanggal 20 agustus 1991, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Peturun dan Ibu Nurjannah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Muslimin pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD 1 Labuhan Ratu Dua Way Jepara Lampung Timur pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Way Jepara pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Way Jepara pada tahun 2008.

(10)

“JANGAN LIHAT BUKU DARI COVERNYA”

YANG TERBAIK BUKAN DATANG DULUAN

TAPI YANG TERBAIK ADALAH BERTAHAN

(11)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillahirabbil’alamin, segalapuji hanyalah milik Allah SWT Rab semesta

alam yang tak hentinya memberikan nikmat. Berkat, rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rosullullah Muhammad SAW, para sahabat, keluarga serta pengikutnya yang tetap istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi berjudul “PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN

LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN

GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)ini

merupakan syarat bagi penulis utuk memperoleh gelar sarjana kedokteran pada jurusan Pendidikan Dokter S1 universitas lampung. Penulis berharap, karya yang merupakan wujud kerja dan pemikiran maksimal serta didukung dangan bantuan dan keterlibatan berbagai pihak ini akan dapat bermanfaat dikemudian hari.

(12)

1. Ibu dan ayah yang telah melahirkan kedunia, kasih sayang dan doa tak pernah henti perjalanan hidup penulis. Maaf jika selama menyelsaikan study banyak salah dan mengecewakan dan semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan.

2. Kakak, adik, sepupu paman dan tante yang selalu mendukung setiap jalan penulis. Terima kasih

Dan berbagai pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung terwujudnya kelulusan ini.

Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 5

3. Patofisiologi Luka Bakar ... 16

D. Proses Penyembuhan Luka Bakar ... 20

(14)

1. Lebah ... 26

2. Pengumpulan nektar dan polen ... 28

3. Manfaat madu ... 29

4. Kandungan madu ... 29

5. Unsur antibakteri pada madu ... 32

F. Antibiotika ... 33

1. Absorbsi obat melalui kulit ... 33

2. Aminoglikosida ... 35

3. Gentamisin Topikal ... 37

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

C. Alat dan Bahan ... 39

D. Subyek Penelitian ... 40

1. Populasi ... 40

2. Sampel ... 41

E. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 41

F. Variabel Penelitian ... 42

1. Variabel Bebas ... 42

2. Variabel Terikat ... 42

G. Prosedur Penelitian ... 42

1. Pembuatan luka bakar derajat II ... 42

2. Prosedur penanganan luka bakar derajat II ... 43

3. Prosedur operasional pembuatan slide ... 44

4. Alur penelitian ... 46

H. Definisi Operasional ... 47

I. Cara Pengumpulan Data ... 48

1. Klinis ... 48

2. Histopatologis ... 49

J. Pengolahan dan Analisis Data ... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 51

1. Gambaran histopatologis kulit tikus ... 51

2. Gambaran Klinis Kulit Tikus ... 55

(15)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Standarisasi Madu ... 31

2. Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan ... 39

3. Definisi Operasional ... 47

4. Rata-rata hasil pengamatan histopatologis ... 54

5. Hasil Uji Kemaknaan menggunakan uji Kruscal Wallis... 55

6. Persentase rata-rata penyembuhan pada kelompok madu, gentamisin topikal dan kontrol ... 56

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ...7

2. Kerangka Konsep ...7

3. Gambaran mikroskopis Luka bakar derajat I a). Gambaran histologis, ...14

b). Gambaran Klinis Luka Bakar Derajat II ... 14

4. Gambaran Luka bakar derajat II, a). Gambaran histologis, ...15

b). Gambaran Klinis Luka Bakar Derajat II ... 15

5. Gambaran mikroskopis Luka bakar derajat III a). Gambaran histologis, ...16

b). Gambaran Klinis Luka Bakar Derajat II ... 16

6. Diagram Alur Penelitian ...46

7. Diameter Luka Bakar ... 48

8. Gambaran histopatologis kulit tikus K1 dengan pewarna H.E (perbesaran 400 kali, potongan melintang) ...51

9. Gambaran histopatologis kulit tikus K2 dengan pewarna H.E (perbesaran 400 kali, potongan melintang) ...52

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat kerja, maupun dijalan atau ditempat-tempat lain. penyebab luka bakarpun bermacam- macam, bisa berupa api, cairan panas, uap panas bahkan bahan kimia dan aliran listrik (Moenadjat, 2003).

Luka bakar menjadi masalah, oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama pada luka abakar derajat II dan III yang lebih dari 40%, dengan angka kematian 37,38% berdasarkan pengamatan yang dilakukan (Moenadjat, 2003).

(18)

Penelitian Kwakman dan Zaat (2012) dikatakan madu bermafaat sebagai antibakteri. Menurut Mundo dkk., (2004), bahwa pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus aureus dapat dihambat oleh pemberian madu. Pemberian madu pada media tanam yang telah ditanam bakteri-bakteri tersebut memperlihatkan zona penghambatan. Dari segi estetika pemakaian madu memiliki kelebihan karena dapat digunakan untuk menghaluskan kulit, serta pertumbuhan rambut dibandingkan pemakaian antibiotik (Ratnayani dkk., 2008).

Kulit berperan sebagai proteksi tubuh seperti pencegahan infeksi dan penguapan berlebihan dari tubuh. Selanjutnya dikatakan bahwa didalam jaringan kulit terdapat kelenjar minyak dan kelenjar keringat (Junquiera, 2007). Kulit merupakan indra peraba yang menerima rangsangan nyeri, panas, dingin dan sebagainya (Eroschenko, 2003). Oleh sebab itu kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi tubuh.

(19)

3

bakar yang luas, kehilangan sejumlah besar cairan karena perembesan cairan dari kulit dapat menyebabkan terjadinya syok (Guyton, 2006).

Saat ini resistensi obat antibiotika merupakan hal yang sering terjadi dikarenakan pemakaian antibiotika yang tidak terkendali, hal ini juga terjadi pada pemberian antibiotika kepada luka bakar. Sebagai contoh pada obat golongan aminoglikosida, mikroorganisme bisa berubah menjadi resisten dengan cara memperoleh kemampuan untuk memproduksi enzim yang menginaktifasi aminoglikosida dengan cara adenililasi, asetilasi, atau fosforilasi (Katzung, 2004).

Salah satu obat topikal yang sering digunakan adalah gentamisin. Gentamisin (gentamisin) merupakan salah satu jenis antibiotik golongan Aminoglikosida. Antibiotik ini sangat sensitif terhadap basil Gram-negatif yang aerobik, dan kurang efektif dalam keadaan anaerobik atau fakultatif. Aktivitasnya terhadap bakteri Gram-negatif sangat terbatas (Morar dkk, 2009).

(20)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan fakta empiris dan penelitian-penelitian tentang madu menyatakan bahwa madu memiliki efek antibakteri. Menurut Mundo dkk, (2004), bahwa pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus aureus dapat dihambat oleh pemberian madu. Pemberian madu pada media tanam yang telah ditanam bakteri-bakteri tersebut memperlihatkan zona penghambatan. Dari segi estetika pemakaian madu memiliki kelebihan karena dapat digunakan untuk menghaluskan kulit, serta pertumbuhan rambut dibandingkan pemakaian antibiotik (Ratnayani dkk., 2008). Sehingga diharapkan penyembuhan jaringan kulit terhadap luka bakar pada pemberian madu bisa lebih memberikan manfaat. Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

Apakah terdapat perbedaan tingkat kesembuhan secara klinis dan histopatologis antara pemberian madu dengan gentamisin topikal dan tikus putih.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif pengganti antibiotika sintetis untuk penanganan luka bakar.

2. Tujuan Khusus

(21)

5

b. Membandingkan tingkat kesembuhan yang dilihat perkembangan kesembuhan luka bakar yang dinilai secara histologis antara pemberian madu dengan gentamisin topikal pada tikus putih.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, khususnya tentang pengaplikasian pemanfaatan madu sebagai pengganti antibiotika dalam penanganan luka bakar oleh masyarakat tanpa ketakutan adanya efek samping.

E. Kerangka Teori

Beberapa faktor yang mempengaruhi waktu kesembuhan dari luka bakar antara lain adalah mikroorgansime yang dapat membuat infeksi karena infeksi dapat memperlambat kesembuhan luka yang kedua derajat luka bakar. Berat atau ringanya luka bakar mencakup penilaian derajat luka bakar, luas luka bakar, daerah luka bakar, dan termasuk umur dari penderita sendiri karena penilaian untuk orang dewasa dan anak-anak akan jauh berbeda (Molan, 2006).

(22)

Diketahui dari berbagai penelitian madu mempunya sifat antibakteri. Sifat antibakteri ini dikarenakan berbagai zat yang dikandung oleh madu baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah yang besar. Ada tiga hal yang paling mempengaruhi sifat antibakteri dari madu yang pertama, keasaman dari madu karena madu mempunyai pH 3,2-4,5. Kedua, madu mempunya nilai osmolaritas yang tinggi dengan nilat aktivitas air 0,56-0,62. Dan yang ketiga, di dalam madu terdapat hidrogen peroksida dengan konsentrasi 0,02-0,05 mmol/l (Molan, 2006).

(23)

7

1. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka Teori

2. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

(24)

F. Hipotesis

1. Tidak terdapat perbedaan tingkat kesembuhan luka bakar dengan pemberian madu dibandingkan dengan gentamisin pada tikus putih yang diamati secara klinis.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tikus

Dalam percobaan laboratorium, sering dimanfaatkannya berbagai hewan model, dan tikus merupakan salah satu hewan model sering digunakan. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis, namun demikian galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sparague-Dawley (Weihe, 2010). Adapun klasifikasi tikus menurut menurut Myres dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodensia Famili : Muridae Sub Famili : Murinae Genus : Rattus

(26)

B. Kulit

Kulit adalah salah satu organ tunggal ditubuh yang terberat. Umumnya pada orang dewasa kulit memiliki berat sekitar 16% dari berat badan total orang dewasa, mempunyai luas sebesar 1,2- 2,3 m2 yang terpapar pada dunia luar (Junquiera, 2007). Lapisan-lapisn pada kulit yang membentuk sistem integumen dibagi menjadi tiga daerah yaitu epidermis dan dermis.

1. Epidermis

Epidermis terbentuk dari sel epitel gepeng berlapis, bertanduk (keratin), namun ada juga sel-sel lain yang terdapat di epidermis dalam jumlah yang lebih dikit yaitu sel melanosit, sel merkel, dan sel langerhans. Biasanya lapisan kulit dibedakan menjadi kulit tebal (licin, tidak berambut) dan kulit tipis (berambut) (Junqueira, 2007).

Pada umumnya area epidermis dibagi menjadi lima lapisan yaitu, a. Stratum Basale

b. Stratum Spinosum c. Stratum Granulosum d. Stratum Lusidum e. Stratu Korneum

2. Dermis

(27)

11

Pada umumnya dermis terdiri dari dua lapisan dengan batas yang tidak nyata yaitu stratum papilare di bagian luar dan stratum retikulare di bagian dalam (Eroschenko, 2003).

Pada daerah stratum papilare tipis terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas, dan sel mast dan makrofag. Leukosit yang ekstrafasasi juga bisa dijumpai di sini. Sedangkan stratum retikulare yang tebal, terdiri atas jaringan ikat padat tidak teratur (Eroschenko, 2003).

3. Fungsi Kulit

Kulit adalah pembungkus tubuh yang berkontak langsung dengan duina luar. Itu sebabnya kulit mempunya berbagai macam fungsi yang penting a. Kulit sebagai alat proteksi

Epitel berlapis gepeng bertanduk pada lapisan epidermis melindungi permukaan tubu terhadap abrasi mekanik dan juga membentuk sawar fisik terhadap mikroorganisme patogen. Selain itu glikolipid yang terdapat diantara sel-sel membuat epidermis tidak permeabel terhadap air dan mencegah untuk dehidrasi berlebihan (Junqueira, 2007).

b. Kulit pada regulasi suhu tubuh

(28)

c. Kulit sebagai Presepsi sensoris

Kulit adalah organ sensoris besar dan sumber utama sensasi umum pada tubuh terhadap lingkungan luar. Reseptor sensoris yang terdapat pada kulit antara lain suhu, sentuhan, nyeri, dan tekanan (Junqueira, 2007).

d. Kulit sebagai organ ekskretoris

Memalui produksi keringat maka air, larutan garam, dan limbah bernitrogen dapat dieksresikan oleh tubuh (Junqueira, 2007).

e. Pembentukan vitamin D

Bila kulit terpapar terhadap sinar UV dari matahari, dibentuk vitamin D dari prekursor yang disintesis di dalam epidermis. Vitamin D diperlukan untuk penyerapan kalsium dan mukosa usus dan metabolisme mineral yang memadai (Junqueira, 2007).

C. Luka Bakar

1. Definisi Luka Bakar

(29)

13

2. Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar (Moenadjat, 2003).

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:

Derajat I

(30)

a b

Gambar 3. Luka Bakar Drajat I

a. Gambaran histopatologi b. Gambaran klinis Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih

“sehat” tersebut, luka a at sembuh alam 2-3 minggu. Gambaran luka

(31)

15

Apabila luka bakar derajat IIa yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi deep partial-thickness burn atau luka bakar derajat IIb (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

a b

Gambar 4. Luka bakar drajat II

a. Gambaran histopatologi b. Gambaran klinis

Derajat III

(32)

dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak. Pada perabaan teraba keras karena terdapat jarigan eskar akibat denaturasi protein pada dermis, jaringan ikat, fasia, dan otot (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

a b

Gambar 5. Luka Bakar Drajat III

a. Gambaran Histologis b. Gambaran Klinis

3. Patofisiologi Luka Bakar

(33)

17

menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

(34)

Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12- 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis. Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

(35)

19

dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah. Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

(36)

luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium. Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling. Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).

D. Proses Penyembuhan Luka Bakar

(37)

21

saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan seperti ini disebut penyembuhan primer (healing by first intention). Apabila luka yang terjadi cukup parah seperti adanya kerusakan epitel yang menyebabkan kedua tepi luka berjauhan maka disebut penyembuhan sekunder (healing by second intention atau penyembuhan dengan granulasi). Mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya (Tawi, 2008). Berdasarkan perubahan morfologik, terdapat tiga fase persembuhan luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi.

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Setelah terjadi perlukaan yang menyebabkan pembuluh darah pecah, akan terjadi vasokonstriksi sesaat kemudian dilatasi berkepanjangan (Spector dan Spector, 1993). Selain itu, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan hemostasis berupa keluarnya platelet. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan beberapa substansi seperti platelet-derived growth factor yang akan mengaktifkan makrofag dan fibroblast (Clark dan Singer, 1999).

(38)

venula dan kapiler. Hal tersebut membuat tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat sehingga mengganggu keseimbangan di dalamnya yang menyebabkan leukosit dan cairan dapat keluar dari pembuluh darah kemudian memasuki jaringan (Underwood, 1999). Leukosit, terutama neutrofil, akan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan (Tawi, 2008).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa neutrofil juga merupakan sumber sitokin yang memungkinkan sebagai sinyal awal aktivasi fibroblast lokal dan keratinosit (Martin, 1997). Sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) ber era alam terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, sel mast, sel endotelial dan fibroblast (Perdanakusuma, 2008).

(39)

23

2. Fase Proliferasi

Fase proliferasi kira-kira di mulai 4 hari setelah terjadi perlukaan dan selesai hingga 3-4 minggu atau lebih, tergantung pada ukuran luka. Fase ini ditandai dengan adanya pembentukan angiogenesis, reepitelisasi, dan fibroplasia (Ackermann 2007). Pada awal pembentukan neovaskuler, pertama-tama nampak sebagai pita yang padat dari sel-sel endotel yang tumbuh ke luar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi luka. Sel-sel muncul oleh aktivitas mitosis pada sel-sel pembuluh darah tetua diikuti oleh migrasinya ke arah luka. Pita endotel yang padat menjadi bersaluran dalam beberapa jam dan dalam lumen yang terbentuk demikian darah mulai mengalir (Spector dan Spector, 1993).

(40)

Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi miofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (Tawi, 2008).

(41)

25

3. Fase Maturasi (remodelling)

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan (Perdanakusuma, 2008).

(42)

dan faktor kesehatan individu misalnya imunosupresan, stress dan diabetes mellitus (Perdanakusuma, 2008).

Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait dengan suplai darah individu muda yang lebih baik dan adanya kemungkinan penyakit seperti artheroskeloris pada individu tua (Vegad 1995 dalam Handayani, 2006). Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis (Tawi, 2008).

E. Madu

Madu merupakan cairan manis yang diproses oleh lebah yang berasal dari sari pati atau tepung sari bunga, yang dijadikan lebah sebagai bahan baku yang disebut nektar, yang didapat pada sel tumbuhan. Lebah madu mengumpulkan madu didalam sarang, tidak hanya itu mereka juga menyimpan sebuk sari bunga atau yang biasa disebut dengan istillah pollen (Saqa, 2010). Sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai salah satu bahan makanan atau minuman alami yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan (Sulistyorini, 2006).

1. Jenis-Jenis Lebah

(43)

27

dorsata, Apis florea, Apis indica, dan Apis mellifera. Indonesia mempunyai lima spesies lebah yaitu A. florea, A. dorsata, A. cerana, A. andreniformis, A. khoschevnikovi dan A. nigrocincta (Hadisoesilo, 2001). Berikut ini adalah kedudukan lebah madu dalam klasifikasi dunia binatang (Sulistyorini, 2006).

Kingdom : Animal Phylum : Arthropoda

Class : Hexapoda / Insecta Order : Hymenoptera Family : Apidae Genus : Apis

Species : dorsata/ florae/ indica/ mellifera

a. Apis dorsata

(44)

b. Apis florea

Lebah ini merupakan spesies lebah madu yang paling kecil ukurannya dan habitat hidupnya berada di daerah payau. Jenis lebah ini sering berpindah tempat dan suatu koloni jarang tinggal pada satu tempat lebih dari lima bulan secara terus-menerus. Satu koloni lebah ini hanya 4 mampu membangun satu lembar sisiran kurang lebih 10 cm, yang menggantung di cabang-cabang dan hasil madunya hanya 61 gram per sarang (Sulistyorini, 2006).

c. Apis indica

Apis indica atau Apis cerana sering dipelihara oleh masyarakat di pedesaan. menyatakan bahwa, dalam satu koloni lebah Apis indica

terdiri dari 10.000 sampai 15.000 lebah. Secara alami lebah ini hidup di dalam lubang pada batang pohon, gundukan tanah dari koloni rayap, celah-celah batu, dan dari tempat-tempat tertutup lainnya. Dalam satu koloni Apis cerana dapat menghasilkan 3,6– 4,5 kg madu per koloni per tahun (Sulistyorini, 2006).

d. Apis melifera

(45)

29

kali lebih besar dari pada lebah madu tropika Apis indica (Sarwono, 2001).

2. Pengumpulan Nektar dan Polen

Seekor lebah pekerja harus mengunjungi banyak bunga agar proses pembentukan pelet dapat berlangsung secara berangsur-angsur dalam pengumpulan polen. Tubuh lebah penuh dengan bulu halus, sehingga saat lebah mengunjungi bunga, butir-butir polen menempel pada bulu lebah tersebut. Butir-butir polen yang menempel pada bulu tubuh lebah merupakan polen untuk penyerbukan. Sedangkan polen yang dibawa pada kakinya merupakan polen untuk dibawa ke dalam sarang sebagai bahan makanan (Sarwono, 2001).

3. Manfaat Madu

(46)

4. Kandungan Madu

Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik. Asam amino, karbohidrat, protein, beberapa jenis vitamin serta mineral adalah zat gizi dalam madu yang mudah diserap oleh sel-sel tubuh. Sejumlah mineral yang terdapat dalam madu seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin, seperti vitamin E dan vitamin C serta vitamin B1, B2 dan B6 (Ratnayani dkk., 2008). Selain itu juga didalam madu terdapat unsur- unsur yang lebih kecil lagi yaitu (Saqa, 2010):

 Zat pigmen yang berupa carotene, klorofil,dan sejumlah unsur-unsur turunan klorofil, dan xantofil.

 Unsur-unsur aroma terkandung adalah triptofan, aldehida, alkohol, ester.

 Senyawa gula alkohol yaitu manitol, dulcitol, tanin dan asetilkolin.  Enzim-enzim pada madu yaitu invertase, diastase, glukosa, oksidase,

katalase, fosfatase,dan peroksidase.

 Zat yang bersifat antibiotik dan antiviral antara lain interferon dan inhibin.

 Hormon: hormon nabati, hormon-hormon turunan eterogen, prostalglandin, unsur-unsur pengaktif organ-organ reproduksi pada jantan dan betina.

(47)

31

merupakan kriteria mutu madu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan merupakan revisidari SNI nomor 01-3545-1994.

Tabel 1.Standarisasi Madu (BSN, 2004).

No. Jenis Uji Persyaratan

1 Aktifitas Enzim Diastase, 3 Diastase Number

2 Hidroksimetilfurfural 50 Mg/kg

3 Air 22 %b/b

4 Gula Pereduksi ( dihitung sebagai glukosa) 65 %b/b

5 Sukrosa 5 %b/b

Penggunaan madu untuk perawatan sudah banyak dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Dunia kedokteran modern saat ini telah banyak membuktikan madu sebagai obat yang unggul (Suranto, 2007). Keistimewaan dari madu sendiri antara lain (Saqa, 2010):  Madu lebah bisa bertahan untuk jangka waktu yang panjang yaitu

sekitar dua tahun dengan syarat disimpan ditempat yang kelembabannya terkontrol (Saqa, 2010).

(48)

tingginya komposisi gula didalam madu yang mencapai 80% dari komposisi madu itu sendiri (Saqa, 2010).

 Menjaga ketahanan jaringan sel-sel (Saqa, 2010).

Pada penelitian yang telah dilakukan pada sampel marmut didapatkan perbandingan penyembuhan luka yang diberikan madu secara topikal yaitu rata-rata kecepatan proses penyembuhan pada kelompok madu nektar flora adalah 9,67 hari, kelompok silver sulfadiazine diadapat 10 hari, kelompok kontrol didapat 19,17 (Handian, 2006). Kartini (2009) menyatakan bahwa dari hasil penelitian penggunaan madu terhadap luka bakar menjadi steril dalam waktu 2-6 hari, 7 hari, dan 7-10 hari.

5. Unsur antibakteri pada Madu

Beberapa kandungan pada madu menghasilkan efek antibakteri, beberapa unsur tersebut adalah (Paulus, 2011):

a. Osmolaritas Tinggi

Pada beberapa madu kandungan gulanya bisa sampai 80 % yang terdiri dari glukosa, fruktosa, maltosa dan sucrosa. Kurang dari 18 % komponennya adalah air sehingga mempunya osmolaritas yang tinggi (Paulus, 2011).

b. Hidrogen Peroksida

(49)

33

c. pH madu

Madu mempunyai keasaman yang rendah yaitu 3,2-4,5 sehingga mampu untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Paulus, 2011).

F. Antibiotika

Antibiotika adalah zat kimia yang bersifat merusak terhadap organisme tetapi sifatnya selektif sehingga hanya merusak mikroorganisme yang dituju tanpa merugikan inangnya. Toksisitas selektif tergantung pada proses hambatan biokimianya. Mekanisme kerja dari kebanyakan antibiotika sendiri belum diketahui secara sempurna namun, beberapa referensi menuliskan kerja antibiotika secara umum ada empat cara yaitu (Katzung, 2004).

 Penghambatan sintesa dinding sel.

 Perubahan permeabilitas membran sel atau transport aktif melalui membran sel.

 Penghambatan sintesa protein.  Penghambatan sintesa asam nukleat.

1. Absorbsi Obat melalui Kulit

(50)

intravena bioavailibilitas dari obat tersebut adalah sama dengan satu (Katzung, 2004).

a. Tingkat Absorbsi

Tingkat absorbsi bisa dipengaruhi oleh berbagai hal misal, obat yang diberikan secara peroral dapat diabsorbsi secara tidak lengkap dikarenakan interaksi dengan bakteri didalam usus atau interaksi dengan obat yang diberikan secara bersamaan. Obat lain yang terlalu hidrofilik ataupun hidrofobik akan mempunyai bioavalibilitas yang rendah karena penyerapan yang tidak lengkap. Jika terlalu hidrofilik, obat akan sukar menembus sel membran yang bersifat lipid dan jika terlali lipofilik akan kurang melarut saat menembus lapisan air disekitar sel (Katzung, 2004).

b. Kecepatan Absorpsi

Setelah adanya tingkat absorpsi obat kemudian diketahui adanya kecepatan absorpsi obat itu sendiri. Kecepatan absorpsi obat adalah kecepatan suatu dosis obat yang diberikan untuk mencapai sirkulasi umum (Katzung, 2004).

(51)

35

korneum adalah semipermeabel dan bentuk transportasinya adalah diufsi pasif (Simanjuntak, 2008).

Umumnya kemampuan obat untuk penetrasi kedalam kulit tergantung dari sifat kimia dan fisika dari obat tersebut, bisa juga dipengaruhi oleh pH, zat pembawa dan, konsentrasi zat tersebut (Katzung, 2004). Keadaan fisiologis yang mempengaruhi kemampuan absorbsi obat anatara lain, umur kulit, kelembaban kulit, kesehatan kulit, dan spesies (Simanjuntak, 2008).

Absorbsi zat aktif masuk ke bagian bawah kulit disebut absorbsi perkutan. Pada umumnya absorbsi obat dari sediaan topikal yang ada sekarang tidak hanya tergantung dari sifat kimia dan fisika dari obatnya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh farmasetikanya (Simanjuntak, 2008).

2. Aminoglikosida

(52)

 Dengan mengganggu kompleks awal pembentukan peptida

 Dengan menginduksi kesalahan pada pembacaan kode pada mRNA template yang menyebabkan kesalahan pada penggabungan asam amino ke dalam peptida.

 Menyebabkan pemecahan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi.

Pada golongan aminoglikosida dikenal beberapa cara yang dapat menyebabkan mikroorganisme resisten terhadap obat golongan ini antara lain (Katzung, 2004).

 Mikroorganisme memperoleh kemampuan untuk memperoduksi enzim yang menginaktifkan aminoglikosida dengan cara adenililasi, asetililasi, atau fosforilasi. Cara ini merupakan yang paling utama diantara bakteri gram negatif dan biasanya dikendalikan oleh plasmid, yang mebahayakana dalah sifat resisten ini bisa ditularkan.  Perubahan pada permukaan sel, yang mempengaruhi penyerapan

atau transport dari aminoglikosida itu sendiri. Biasanya dikendalikan oleh kromosom atau plasmidnya.

 Protein reseptor pada subunit 30S ribosom hilang atau bermutasi  Kemudian cara yang tidak langsung yaitu, organisme fakultatif yang

(53)

37

3. Gentamisin Topikal

Gentamisin (gentamisin) topikal merupakan salah satu jenis antibiotik golongan Aminoglikosida. Antibiotik ini sangat sensitif terhadap basil Gram-negatif yang aerobik, dan kurang efektif dalam keadaan anaerobik atau fakultatif. Aktivitasnya terhadap bakteri Gram-negatif sangat terbatas (Syarif dan Ascobat, 2007)

Gentamisin (Aminoglikosida) bekerja dengan cara menembus bakteri Gram-negatif melalui porin, berikatan dengan ribosom 30S sehingga menghambat sintesis protein disusul dengan kematian sel. Aktivitas yang optimal (tanpa efek toksik) tercapai dengan kadar Gentamisin 4-8µg/ml. namun setelah kontak dengan antibiotik, biasanya terjadi penurunan kepekaan sehingga pemberian antibiotik ini harus secara tepat dan hati-hati (Syarif dan Ascobat, 2007)

(54)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang akan menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only controlled group design. Tikus penelitian didapat dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pemilihan secara random yang dibagi menjadi 3 kelompok sebanyak 18 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa galur Sprague Dawley berumur 3- 4 bulan, dengan pengulangan sebanyak 6 kali, akan digunakan sebagai subjek penelitian. Adapun kelompok perlakuanya yaitu kelompok

1). Kelompok kontrol yaitu tikus yang diberi Luka bakar yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian zat aktif,

2). Kelompok tikus yang diberi luka bakar, selama proses kesembuhan akan diberikan madu,

(55)

39

Tabel 2. Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan.

No. Hewan Percobaan Jenis Perlakuan Dosis

1 Tikus dengan Luka bakar - -

2 Tikus dengan Luka Bakar Madu SNI 100%

3 Tikus dengan Luka Bakar Gentamisin Gel 0,1%×5gr

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya akan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Dengan waktu juni-September 2012.

C. Alat dan Bahan

 Pisau cukur dan gagangnya  Tikus Putih

 Sarung tangan steril  Bengkok

 Kom Steril  Perlak

 Besi aluminium dengan diameter 2 cm  Pemanas api

 Jas Lab

(56)

 Pinset anatomis  Obat anastesi  Obat analgesic  Aquadest  Spuit + jarum  Kassa steril  Alkohol  Arloji  Madu SNI

 Gentamisin Topikal

D. Subyek Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa galur Sprague Dawley berumur 3- 4 bulan.

2. Sampel

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :

t

(57)

41

menggunakan 3 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi :

Jadi sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 6 sampel ( >6) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 3 kelompok sehingga penelitian ini akan menggunakan 9 ekor tikus putih dari populasi yang ada.

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Inklusi :

1. Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak dan aktif).

2. Memiliki berat badan sekitar 200- 250 gram. 3. Berjenis kelamin betina.

4. Berusia sekitar 3- 4 bulan. Ekslusi :

1. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.

(58)

F. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent variable)

Zat aktif yang diberikan pada tikus putih.

2. Variabel Terikat (Dependent variable)

Tingkat kesembuhan kulit tikus dengan luka bakar derajat II

G. Prosedur Penelitian

Sebelum dilakukan perlakuan kepada semua tikus laboratorium, terlebih dahulu tikus diadaptasikan dengan lingkungan lab selam tujuh hari kemudian dilanjutkan dengan prosedur penelitian berikutnya.

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II

(59)

43

2. Prosedur penanganan Luka Bakar Derajat II

Penanganan dilakukan sebanyak dua kali sehari dan selalu dibersihkan sebelum mengaplikasikan madu dan gentamisin topikal ke tikus putih dengan cara, membersihkanya dengan air aquades. Berikut runtutan prosedur penanganan luka bakar yang akan di aplikasikan.

a. Tempatkan perlak yang dilapisi kain di bawah lukayang akan dirawat

b. Atur posisi tikus untuk mempermudah tindakan c. Dekatkan bengkok danplastik

d. Pakai sarung tangan steril e. Siapkan kasa

f. Madu

Olesi bagian luka yang telah terinfeksi dengan kasa yangtelah dibasahi dengan Madu SNI setebal 2 mm hingga menutup seluruhpermukaan luka

Gentamisin Topikal

Olesi bagian luka yang telah terinfeksi dengan menggunakan gentamisin topikal untuk kelompok perlakuan dengan gentamisin topikal setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan gentamisin topikal.

g. Tutup luka dengan kasasteril

(60)

3. Prosedur operasional pembuatan slide

Metode pembuatan preparat histopatologi Bagian Patologi Anatomi Laboratorium PA Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (2012): a) Prosedur pembuatan slide :

1) Organ telah dipotong secara representatif dan telah difiksasi menggunakan formalin 10% selama 3 jam.

2) Bilas dengan air mengalir sebanyak 3-5 kali. 3) Dehidrasi dengan:

o Alkohol 70% selama 0,5 jam o Alkohol 96% selama 0,5 jam o Alkohol 96% selama 0,5 jam o Alkohol 96% selama 0,5 jam o Alkohol absolut selama 1 jam o Alkohol absolut selama 1 jam o Alkohol absolut selama 1 jam o Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam

4) Clearing dengan menggunakan:

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I danII masing-masing selama 1 jam.

5) Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65oC. 6) Pembuatan blok parafin:

Sebelum dilakukan pemotongan blok parafin, parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome

(61)

45

b) Prosedur pulasan HE :

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

1) Dilakukan deparafinisasi dalam:

o Larutan xylol I selama 5 menit o Larutan xylol II selama 5 menit o Ethanol absolut selama 1 jam

2) Hydrasi dalam:

o Alkohol 96% selama 2 menit o Alkohol 70% selama 2 menit o Air selama 10 menit

3) Pulasan Inti dibuat dengan menggunakan:

o Haris Hematoksilin selama 15 menit o Air mengalir

o Eosin selama maksimal 1 menit

4) Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan

o Alkohol 70% selama 2 menit o Alkohol 96% selama 2 menit o Alkohol absolut 2 menit 5) Penjernihan:

o Xylol I selama 2 menit o Xylol II selama 2 menit

(62)

4. Alur Penelitian

(63)

47

H. Definisi Operasional

Tabel 3. Defisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis madu yang diberikan

Sediaan histopatologi dilihat dengan perbesaran 400x dalam 5 lapang pandang dan diamati apakah

1 : sel radang menyebar dengan kepadatan sangat rapat (>79 sel per lapang pandang )

2 : : sel radang menyebar dengan kepadatan rapat (40 sampai 79 sel per lapang pandang) 3 : sel radang menyebar dengan kepadatan sedang (20 sampai 39 sel per lapang pandang) 4 : sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 sampai 19 sel per lapang pandang)

Gambaran klinis kulit Tikus Gambaran klinis didapat dengan menghitung rata-rata diameter penyembuhan luka yang dihitung setiap hari kemudian dihitung persentase dengan rumus

( ) dengan hari pertama sebagai acuan.

Numerik

Madu SNI Madu yang sudah terstandarisasi sesuai dengan kriteria pada BSN (Badan Standarisasi Nasional) yaitu dengan kandungan Aktifitas enzim diastase 3 DN, Hidroksimetilfurfural 50 Mg/kg, Air 22 %b/b, Gula Pereduksi 65 %b/b, Sukrosa 5 %b/b, Keasaman 50 ml NaOH 1 N/kg, Padatan yang tak larut dalam air 0,5 %b/b, Abu 0,5 %b/b, Timbal 1,0 Mg/kg, Tembaga 5,0 Mg/kg, Cemaran Arsen 0,5 mg/kg

Luka Bakar Derajat II Lesi mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya. Ukuran 2 cm

(64)

I. Cara Pengumpulan Data

1. Makroskopis

Dalam penelitian ini digunakan teknik Observasi eksperimen, dimana sampel dibagi menjadi 3 kelompok kemudian dilakukan pengamatan setiap hari untuk melihat penyembuhan secara makroskopis. Pengamatan ini dilakukan mulai awal dari mulai pemberian terapi sampai hari terakhir penyembuhan untuk mengetahui perubahannya dengan batas waktu penelitian selama 14 hari. Diameter luka bakar rata-rata dihitung dengan cara

Gambar 4. Diameter Luka Bakar Diameter luka didapat dengan rumus:

… ( )

Keterangan :

dx = Diameter hari ke x d1 = Diameter 1

d2 = Diameter 2 d3 = Diameter 3 d4 = Diameter 4

Lalu untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus

d1

d2 d3

(65)

49

Penyembuhan diobservasi pada stase penyembuhan satu dan dua yaitu, Fase Inflamasi dan Fase Proliferasi. Sampel biopsi diambil pada hari ke 14. Gambaran yang dinilai adalah panjang repitelisasi, sel radang dan scab dengan sistem scoring pada pembesaran 40x (scor lesio pada kulit):

Skoring untuk reepitelisasi

1 : sel radang menyebar dengan kepadatan sangat rapat (>79 sel per lapang pandang )

2 : sel radang menyebar dengan kepadatan rapat (40 sampai 79 sel per lapang pandang)

3 : sel radang menyebar dengan kepadatan sedang (20 sampai 39 sel per lapang pandang)

4 : sel radang menyebar dengan kepadatan rendah (1 sampai 19 sel per lapang pandang)

(66)

Skor untuk scab:

1 : scab memenuhi >3/4 permukaan epitel 2 : scab memenuhi 3/4 permukaan epitel 3 : scab memenuhi 2/4 permukaan epitel 4 : scab memenuhi 1/4 permukaan epitel 5 : scab memenuhi <1/4 permukaan epitel Nilai rata-rata pengambilan skor: S1+S2+S3 = Sr

3

Catatan:

1 Apabila hasil rata-rata skor didapatkan bentuk koma 0,33 maka dibulatkan menjadi nilai skor dibawahnya. Contoh: 4,33 maka akan dibulatkan menjadi skor 4.

2 Apabila hasil rata-rata skor didapatkan bentuk koma 0,66 maka dibulatkan menjadi nilai skor diatasnya. Contoh: 4,66 maka dibulatkan menjadi skor 5.

J. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengukuran diameter yang dihasilkan dari penelitian ini selanjutnya dibuat rataannya dan dihitung simpangannya dengan menggunakan standard deviasi (rerata ± SD). Selanjutnya data yang didapat pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan

ila jutka e ga Uji Tukey e ga sela g ke ercayaa 9 (α=0.05)

(67)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kesembuhan luka bakar secara histopatologis maupun klinis antara pemberian madu secara topikal dengan gentamisin topikal pada tikus putih.

2. Perawatan luka bakar derajat II menggunakan madu dan gentamisin topikal secara topikal mempunyai tingkat kesembuhan yang setara.

B. SARAN

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari batas efektifitas dosis maksimum dan minimum dari madu.

(68)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF. 1989. Analisis epidemiologi korban kecelakaan kerja pada industri x di Jakarta.Majalah kedokteran indonesia. 1992 Februari:Vol 42, No 2; 98-104.

Ackermann, MR. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Missouri : Mosby Elsevier

Dharmestiwi, KI. 2007. Perkembangan Produksi Madu Lebah Hutan (Apis dorsata) di Kawasan Gunung Tampomas Utara, Kabupaten Sumedang. [Skripsi]. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Eroschenko, VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional.

EGC. Jakarta. hlm 135-145.

Turtay, MG. Oguzturk,H., Firat,C., Erbatur, S.E., Colak,C. 2010. Efects of Montelukast on Burn Wound Healing in a Rat Model. Clin Infest Med. Vol 33 No 6. hlm 413-421.

Guyton, A C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. hlm 299. Hadisoesilo. 2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.

Biodiversitas. Journal of Biological Diversity Volume 2(1): 123-125. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Handian, FI. 2006. Efektivitas Perawatan Menggunakan Madu Nektar Flora Dibandingkan Dengan Silver Sulfadiazine Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Terinfeksi Pada Marmut. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. 21 hlm.

Junqueira, LC. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. EGC. Jakarta. hlm 355-368.

(69)

Katzung, BG. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta. hlm 1-9,729.

Kwakman, PHS. Zaat SAJ. 2011. Antibacterial Components of Honey. IUBMB Life. Vol. 64 Issue 1. hlm 48–55.

Manheim, JK. Heller, JL. 2010. Image of Burn Wound Degree. MedlinePlus. Bethesda. 13 Januari 2010 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ imagepages.html.

Martin, P. 1997. Wound healing-aiming for perfect skin regeneration. Science magazine. Vol 276. 4 april 1997 [article]. http://www.sciencemag.org [19 agustus 2012]

Mattjik, AA. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Jilid 1 Edisi Kedua. 287 hlm.

Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Molan, PC. (1999). Why honey is effective as a medicine 1. Its use in modern

Molan, PC (2006) The evidence supporting the use of honey as a wound dressing. Int J Lower Extrem Wounds 5(1): 40–54

Morar, N. Willis-Owen,SAG. Moffatt, Mf. Cookson, WOCM. (2006) The

genetics of atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol,118

Kartini, M. 2009. Efek penggunaan madu dalam manajemen luka bakar .junal kesehatan. Vol 2 No 2. 20 hlm.

Mundo, M.A. I., Olga, P., Zakour, R.W. Worobo. 2004. Growth Inhibition of Food Pathogens and Food Spoilage Organisms by Selected Raw Honeys.

International Journal of Microbiology. Volume 97 issue 1. hal 1-8. Myers, P. Armitage, D. 2004. "Rattus norvegicus" Animal Diversity Web.

(70)

Price,AS. McCarty,WL.1992. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit.brahm u. pendit,penerjemah: huriawati hartono,editor.jakarta: EGC. Terjemahan dari: pathophisiology: Clinical Consept of Disease Prosses Ratnayani, K. Adhi, NMAD., Gitadewi, IGAMAS. 2008. Penentuan kadar

glukosa dan fruktosa madu randu dan madu kelengkeng dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Kimia 2. Vol 2 No 2. hal 77-86. Sahli, FM. 2012. Madu dan Keuntungan Supelment Sehat Tanpa Efek Samping.

Diandra Pustaka Indonesia: Yogyakarta

Sarwono, B. 2001. Kiat Mengatasi Permasalah Praktis: Lebah Madu. Agro Media Pustaka. Jakarta. 95 hlm.

Saqa, M. 2010. Pengobatan dengan Madu.Pustaka al-Kautsar. Jakarta. hlm 6-17. Simanjuntak, M.R. 2008. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun

Tumbuhan Senduduk (melastoma malabathricum. L) Serta Pengujian Efek Sediaan Krim terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. 85 hlm.

Clark, MD. Singer, AJ. Richard, AF. 1999. Cutaneous wound healing. The Ne Englan Journal Medicine. September. www.nejm.org.on [21 agustus 2012] Sjamsuhidajat R, Jong, W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku

Kedokteran. Jakarta : EGC.

Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. hlm 3.

Spector,WG. Spector, TD.1993. Pengantar Patologi Umum. ED ke 3.

penerjemah: Moelyono MPE, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology. 3th edition Subramanyam, M. AG. Sahapure, NS. Nagane, VR. Bahagwat. 2001. Effect of

Topical Application of Honey on Burn Wound Healing. São José Hospital. Portugal. Hlm 3

(71)

Sullivan, R. 2003. Rats: observations on the history and habitat of the city's most unwanted inhabitants. Holtzbnnck. New York. Hlm 221.

Suranto, A. 2007. Terapi Madu. Penerbit Penebar Plus. Jakarta. hlm 27-28. Suryani, LNS. Meida. 2004. Daya antibakteri madu terhadap beberapa kuman

patogen secara in vitro. Jurnal Kedoktern Yarsi. Vol.12 No.3. hlm 41-45. Suyanto. 2006. Penanganan Luka Bakar secara intensif. Numed: Bandung.

Syarif A, Ascobat, P. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta 585-731 hlm.

Tawi, M. 2008. Proses Penyembuhan Luka

http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/. [2 semptember 2012]

Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Edisi 2. Prof. Dr. Sarjadi, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari General and Systemic Pathology. Hlm 232-241.

Wahl, S. 2008. Cytokines in Wound Healing. www.scienceboard.net [14 agustus 2012]

Weihe, W.H. 2010. The laboratory rat In 'The UFA W Handbook on the Care and Management of Laboratory Animals. Essex: Longman Scientific and

Technical. Harlow. hlm 61-75.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 3. Luka Bakar Drajat I
Gambar 4. Luka bakar drajat II
Gambar 5. Luka Bakar Drajat III
+5

Referensi

Dokumen terkait

Mengembalikan data kepada setiap Kanwil Kemenag Provinsi untuk diperbaiki, apabila data yang diterima dari Kanwil Kemenag Provinsi tersebut dinilai belum benar, lengkap

Orang yang qana'ah selalu bersyukur dalam hidupnya. Contohnya, walaupun hanya makan dengan garam, ia akan merasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging

Sitem penilaian adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan melalui tes (untuk mengehtahui hasil belajar kognitif) dan non tes (untuk mengehtahui hasil belajar

(2) Besar pengaruh gaya kepemimpinan kepala sekolah demokratis terhadap sikap disiplin guru dapat dilihat dari hasil hitung koefisien determinasi sebesar 0,734, ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar gerak dasar menendang bola dengan punggung kaki melalui metode pembelajaran modifikasi alat bantu pada siswa kelas

Merupakan suatu hal yang sangat fundamental bagi seorang yang mempelajari ilmu arsitektur untuk memahami benar mengenai faktor-faktor eksternal yang dapat

Gambar 2.25 Wortel berkembang biak dengan umbi akar.. Jika umbi akar ditanam, maka akan tumbuh tunas baru dari bagian yang merupakan sisa batang. Contoh tumbuhan yang berkembang

The study showed the lecturer had good response to the development of using poetry group investigation in writing a report of poetry class. The lecturer viewed that poetry