• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merr.) DARI EKSPLAN BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merr.) DARI EKSPLAN BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max [L].Merr.) DARI EKSPLAN

BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

Oleh

Ria Aprilenta Br.Hutabarat

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

EFISIENSI REGENERASI IN VITRO MELALUI ORGANOGENESIS EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L).Merr.) DARI EKSPLAN

BIJI YANG DIKECAMBAHKAN ATAU DIIMBIBISIKAN

Oleh

RIA APRILENTA BR.HUTABARAT

(3)

Argomulyo, dan Tanggamus. Pada perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam (19,5 tunas per eksplan) lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari (9,63 tunas per eksplan). Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l.

(4)
(5)
(6)
(7)

viii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian. ... 39

4.1.1 Perkembangan Eksplan. ... 39

4.1.2 Analisis ragam variabel persentase eksplan membentuk tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 41

4.1.3 Persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 42

4.1.4 Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 44

4.1.5 Proporsi eksplan yang membentuk akar fungsional (PEMAF). ... 45

4.1.6 Aklimatisasi. ... 47

4.2 Pembahasan. ... . 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan. ... 58

5.2 Saran. ... 58

PUSTAKA ACUAN. ... 59

(8)

ix DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Analisis ragam variabel PEMTA dan RJTA. ... . 42

2. Pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). ... 45

3. Pengamatan PTMAF dalam dua macam media pengakaran pada 3 mst. ... 47

4. Formulasi Media MS (Murashige dan Skoog, 1962). ... 66

5. Deskripsi Kedelai Varietas Grobogan. ... 67

6. Deskripsi Kedelai Varietas Argomulyo. ... 68

7. Deskripsi Kedelai Varietas Tanggamus. ... 69

8. Deskripsi Kedelai Varietas Ijen. ... 70

9. Data Persentase Eksplan Menghasilkan Tunas Adventif (PEMTA) dari perlakuan imbibisi atau pengecambahan. ... . 71

10. Total faktor perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) pada PEMTA semua varietas. ... . 71

11. Uji homogenitas ragam untuk PEMTA. ... 72

12. Analisis Ragam data PEMTA. ... 72

13. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk PEMTA. ... 73

14. Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA) pada perlakuan imbibisi dan pengecambahan. ... . 73

(9)

x 16. Uji homogenitas ragam untuk RJTA. ... 74 17. Analisis ragam data RJTA. ... 75 18. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk RJTA. ... 75 19. Uji t-student taraf nyata 5% pada tunas adventif

(10)

xi

Gambar Halaman

1. Tahapan sterilisasi benih. ... . 33

2. Perlakuan pra-kultur imbibisi (a) dan pengecambahan (b). ... . 34

3. Pengulturan pada media inisiasi tunas. ... . 35

4. Tahapan pengakaran tunas adventif. ... . 36

5. Pembentukan tunas adventif kedelai secara organogenesis melalui perlakuan pra-kultur imbibisi dan pengecambahan. ... 40

6. Pengaruh interaksi antara faktor pelakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) dan varietas terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 43

7. Pengaruh interaksi antara faktor pelakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) dan varietas terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA). ... 44

8. Penampilan akar pada planlet umur 3 MST. ... 46

9. Penampilan planlet yang telah diaklimatisasi 3 hst. ... . 48

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan sebagai sumber utama protein nabati dan minyak nabati yang sangat penting karena gizinya dan aman dikonsumsi. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Di Indonesia, biji kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan seperti: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai makanan ringan (Damardjati et al., 2005).

Kebutuhan akan kedelai terus meningkat setiap tahunnya. Rata-rata kebutuhan kedelai ± 2,3 juta ton/tahun. Berdasarkan data tahun 2011, produksi dalam negeri sebesar ± 851,29 ribu ton biji kering atau hanya mencukupi ± 37,01% dari

kebutuhan, sisanya ± 64% diimpor dari negara lain (BPS, 2012). Besarnya impor tersebut menyebabkan kehilangan devisa negara yang cukup besar dan sangat rentan terhadap ketahanan pangan nasional (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012). Oleh karena itu, perlu upaya intensifikasi dan ekstensifikasi untuk

meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.

(12)

meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai visi tersebut dibutuhkan seperangkat teknologi yang tepat untuk mengangkat posisi sumber daya genetik lokal, terutama yang mendorong kemandirian nasional dan kesejahteraan petani (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2013).

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menemukan varietas unggul. Salah satunya dapat diperoleh melalui rekayasa genetika (transformasi genetik).

Keberhasilan transformasi genetik untuk memperoleh tanaman transgenik sangat ditentukan oleh teknik regenerasi in vitro (Pardal, 2001). Regenerasi in vitro atau kultur jaringan berfungsi untuk meregenerasikan tanaman transgenik dari sel atau jaringan transgenik (Utomo, 2010).

Beberapa faktor biotik dan abiotik serta hama dan penyakit dapat menurunkan kualitas dan produksi tanaman. Tantangan biotik dan abiotik dapat diatasi dengan rencana perbaikan tanaman secara sistematis dalam rangka meningkatkan

produksi tanaman yang melibatkan penggunaan teknologi baru dan

pengembangan kultivar baru dengan kualitas yang diinginkan ( Joyner et al., 2010).

(13)

sintetik, multi galur, dan klon. Berbagai jenis varietas tersebut dapat dirakit menggunakan teknik pemuliaan tradisional maupun modern/bioteknologi.

Keberhasilan penerapan bioteknologi dalam perbaikan tanaman didasarkan pada protokol regenerasi in vitro tanaman yang efisien. Regenerasi in vitro yang efisien diperlukan untuk meregenerasikan tanaman transgenik dari sel atau

jaringan transgenik. Tanggapan eksplan dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu fisiologi tanaman, manipulasi in vitro, dan stres fisiologi in vitro (Lazzeri et al., 1985).

Regenerasi in vitro kedelai melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui dua proses yang berbeda, yaitu melalui organogenesis (shootmorphogenesis) dan embriogenesis somatik (somaticembryogenesis). Organogenesis dan

embriogenesis somatik sangat tergantung kepada sumber eksplan dan jenis media kultur yang digunakan. Kedua proses tersebut sangat dipengaruhi oleh

kultivar/genotipe tanaman (cultivar-specificresponses), di mana beberapa galur lebih responsif terhadap media kultur dari galur lainnya (Barwale et al., 1986).

Beberapa penelitian tentang regenerasi in vitro kedelai melalui jalur embriogenesis somatik telah dilakukan dengan eksplan kotiledon muda (Lippmann dan Lippmann,1984; Pardal et al., 1997; Hiraga et al., 2007; Loganthan et al., 2010), hipokotil (Gamborg et al., 1983; Phillips dan Collins, 1981), dan biji masak (Widoretno et al., 2002). Regenerasi in vitro kedelai melalui organogenesis telah dilakukan dengan eksplan buku kotiledon

(14)

embrio (McCabe et al.,1988), potongan hipokotil (Dan dan Reichert, 1998; Reichert et al., 2003; Wang dan Xu, 2008), dan belahan benih masak yang diimbibisi (Paz et al., 2006; Joyner et al., 2010).

Protokol regenerasi in vitro kedelai digunakan dalam transformasi genetik sehingga diharapkan memperbesar efisiensi transformasi genetik kedelai. Utomo et al. (2010) melaporkan prosedur regenerasi in vitro dari eksplan buku kotiledon enam varietas kedelai (Wilis, Sinabung, Anjasmoro, Kaba, Seluwah, dan Sibayak) melalui organogenesis. Eksplan buku kotiledon diperoleh dari benih yang dikecambahkan selama 5-6 hari. Proporsi eksplan yang menghasilkan tunas berkisar 43-100%. Rata-rata jumlah tunas per ekplan berkisar antara 7-36 tunas per eksplan.

Prosedur transformasi genetik kedelai dimodifikasi oleh Paz et al. (2006) dengan menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes) dari benih masak. Benih masak diperoleh melalui perlakuan pra-kultur berupa pengecambahan 6 hari dan benih masak lainnya diperoleh dengan perlakuan imbibisi semalam. Prosedur ini juga yang dilakukan oleh Safitri (2013) yang menerapkan lima varietas kedelai pada masing-masing perlakuan pra-kultur (imbibisi dan

pengecambahan). Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan dengan perlakuan imbibisi yaitu 15,4 tunas per eksplan lebih tinggi daripada perlakuan

pengecambahan 6 hari yaitu 12,9 tunas per eksplan.

(15)

perlakuan pengecambahan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efisiensi regenerasi in vitro empat varietas kedelai melalui perlakuan pra-kultur (imbibisi dan pengecambahan) dengan varietas yang berbeda.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut

1. Bagaimana pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai?

2. Bagaimana perbedaan efisiensi pembentukan tunas adventif empat varietas kedelai?

3. Apakah terdapat interaksi antara perlakuan (imbibisi atau pengecambahan) dengan varietas kedelai?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan) terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai.

2. Membedakan efisiensi pembentukan tunas adventif dari empat varietas kedelai. 3. Mengetahui interaksi antara perlakuan (imbibisi atau pengecambahan) dengan

(16)

1.4 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, maka disusun landasan teori sebagai berikut:

Pada tahapan kegiatan transformasi genetik kedelai, teknik kultur jaringan diperlukan dalam meregenerasikan sel atau jaringan transgenik. Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, akan sulit diperoleh tanaman transgenik yang diinginkan. Inilah yang merupakan salah satu alasan penggunaan teknik kutur jaringan dalam perbanyakan tanaman kedelai. Dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi yaitu faktor internal sel/jaringan eksplan dan faktor lingkungan. Faktor internal meliputi genotipe (varietas) tanaman, asal jaringan, tingkat perkembangan dan diferensiasi sel. Faktor lingkungan meliputi komposisi media, suhu, dan cahaya (Marveldani et al., 2007)

(17)

Menurut Wattimena (1992), keberhasilan organogenesis tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh empat golongan utama yaitu media yang digunakan mencakup komponen penyusun media dan ZPT, lingkungan tumbuh, fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan, dan genotipe atau varietas dari sumber bahan tanaman yang digunakan. Pemberian sitokinin eksogen diperlukan untuk mendorong tunas/akar untuk membentuk planlet karena kemungkinan sitokinin endogen tidak mencukupi untuk pembentukan planlet. Interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dengan zat pengatur tumbuh eksogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur (Azriati et al., 2006).

Pada regenerasi kedelai melalui organogenesis, tidak semua varietas memberikan respon yang baik. Pierik (1987) dalam Pardal (2002) menyatakan bahwa masing-masing jenis eksplan dan genotipe memiliki respon pertumbuhan in vitro yang berbeda-beda walaupun ditumbuhkan pada media dan kondisi lingkungan tumbuh yang sama.

Tanaman transgenik yang dihasilkan dari rekayasa genetika umumnya berupa tunas adventif. Untuk meningkatkan efisiensi transformasi kedelai menggunakan Agrobacterium, eksplan buku kotiledon dilukai pada buku tempat tumbuh tunas aksilar. Tujuan dari pelukaan tersebut ialah untuk mencegah munculnya tunas aksilar, merangsang inisiasi tunas adventif majemuk dari meristem aksilar, dan meningkatkan efisiensi tunas (Utomo, 2005).

(18)

beserta sebagian hipokotil sepanjang 3-5 mm. Penambahan BAP dalam media tersebut diduga dapat mengatasi dominasi apikal. Subkultur tunas majemuk dalam medium yang mengandung BAP menyebabkan pemanjangan tunas. Prosedur ini dimodifikasi oleh Wright et al. (1986) dan melaporkan pembentukan tunas efisien pada medium yang mengandung garam rendah dengan 5 µM BAP.

Marveldani et al. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi eksplan buku kotiledon tiga varietas kedelai adalah 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan pada media MS yang ditambahkan BA sesuai perlakuan percobaan. Persentase eksplan membentuk tunas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Ijen sebesar 77,5% dan rata-rata jumlah tunas per eksplan tertinggi ditunjukkan oleh varietas Sinabung yaitu sebanyak 5 tunas per eksplan.

Untuk memperoleh prosedur transformasi genetik kedelai varietas unggul nasional yang efisien, maka diperlukan prosedur regenerasi in vitro kedelai melalui

organogenesis yang efisien. Paz et al. (2006) dalam penelitiannya

(19)

Safitri (2013) melaporkan juga bahwa efisiensi regenerasi in vito kedelai yang lebih tinggi diperoleh pada perlakuan pra-kultur imbibisi. Prosedur regenerasi yang digunakan hampir sama dengan Paz et al.(2006) menggunakan perlakuan pra-kultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari). Lima varietas kedelai yang dievaluasi menggunakan eksplan buku kotiledon mendapatkan perlakuan pra-kultur sebelum dikulturkan pada media tumbuh. Rata-rata jumlah tunas adventif (RJTA) perlakuan pra-kultur imbibisi yaitu 15,4 tunas per eksplan lebih tinggi daripada perlakuan pengecambahan yaitu 12,9 tunas per eksplan.

Pengecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru. Komponen biji tersebut adalah bagian kecambah yang terdapat di dalam biji, misalnya radikula dan plumula (Sudjadi, 2006). Pengecambahan biji merupakan suatu proses dimana radikula (akar embrionik) memanjang ke luar menembus kulit biji. Di balik gejala morfologi dengan pemunculan radikula tersebut, terjadi proses fisiologi-biokemis yang kompleks, dikenal sebagai proses perkecambahan fisiologis (Salisbury dan Ross, 1995).

(20)

Imbibisi merupakan proses masuknya air ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim untuk melakukan proses metabolisme. Air yang masuk ke dalam kotiledon menyebabkan volumenya bertambah, akibatnya kotiledon membengkak. Pembengkakan tersebut pada akhirnya menyebabkan pecahnya testa (Sudjadi, 2006).

1.5 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka dapat disusun kerangka pemikiran berikut ini untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah.

Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di Indonesia, karena mengandung protein nabati. Permintaan kedelai terus meningkat seiring dengan semakin beragamnya produk olahan yang berbahan dasar kedelai. Namun demikian, produksi kedelai nasional menurun tiap tahunnya. Oleh karena itu, penggunaan varietas unggul merupakan salah satu cara yang dapat mengatasi kendala tersebut. Varietas unggul baru yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu seperti varietas yang resisten terhadap serangan hama penyakit dapat dirakit salah satunya melalui pemuliaan non-konvensional yakni menggunakan rekayasa genetika. Kultur jaringan merupakan teknologi terapan yang

mendukung program pemuliaan melalui rekayasa genetika. Eksplan transgenik yang jaringannya telah mengandung gen asing dari hasil rekayasa genetika dapat diregenerasikan melalui kultur jaringan.

(21)

adalah melalui jalur organogenesis. Organ baru yang diharapkan ialah tunas-tunas adventif yang berasal dari buku kotiledon empat varietas kedelai sebagai eksplan. Setiap varietas diberikan perlakuan pra-kultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari).

Keberhasilan regenerasi tunas menggunakan buku kotiledon ini juga dipengaruhi oleh metode pra-kultur yang digunakan. Metode pra-kultur yang selama ini digunakan pada beberapa penelitian adalah metode pengecambahan 5-7 hari. Namun, perlakuan pra-kultur imbibisi memiliki kelebihan dalam hal efisiensi waktu. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan hasil regenerasi yang lebih efisien pada perlakuan pra-kultur imbibisi daripada pengecambahan 6 hari.

Imbibisi merupakan proses peresapan air ke dalam ruangan antardinding sel, sehingga dinding selnya akan mengembang. Pada peristiwa perendaman terjadi proses imbibisi oleh kulit biji tanaman. Efek yang terjadi adalah membesarnya ukuran biji karena sel embrio membesar dan biji melunak. Salah satu syarat imbibisi adalah perbedaan tekanan antara benih dan larutan, dimana tekanan benih lebih kecil daripada tekanan larutan.

(22)

daun) dan radikula (bakal akar). Proses pengecambahan fisiologis adalah perubahan kondisi embrio di dalam benih yang semula berada pada kondisi dorman kemudian mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia berkembang menjadi kecambah. Perubahan fisiologis ini melalui 3 tahap yakni imbibisi (penyerapan air oleh benih), pengaktifan enzim untuk proses

metabolisme, dan perkecambahan.

Kandungan hormon endogen dalam setiap tanaman (genotipe) berbeda sehingga respons tanaman tidak sama. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari hormon yang berada dalam eksplan (endogen) dengan hormon eksogen yang diserap dari media tumbuh. Pada proses imbibisi dan pengecambahan, terjadi pengaktifkan kinerja enzim di dalam benih untuk proses pertumbuhan sehingga proses-proses fisiologi dalam benih menjadi aktif.

Penambahan ZPT dari golongan sitokinin juga diperlukan dalam regenerasi in vitro kedelai secara organogenesis untuk mencegah dominasi tunas apikal serta merangsang tumbuhnya mata tunas samping. ZPT yang telah banyak digunakan dalam regenerasi in vitro kedelai secara organogenesis adalah benzyl adenine (BA) karena mempunyai efektivitas yang tinggi dalam perbanyakan tunas dan harganya relatif murah.

(23)

munculnya tunas adventif pada eksplan buku kotiledon kedelai sehingga diharapkan dapat memperbaiki prosedur organogenesis dalam mendukung program pemuliaan kedelai melalui rekayasa genetika.

1.6 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang dikemukakan disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Efisiensi regenerasi in vitro secara organogenesis melalui perlakuan pra-kultur

imbibisi 20 jam lebih tinggi daripada perlakuan pra-kultur pengecambahan 6 hari.

2. Terdapat perbedaan efisiensi regenerasi in vitro secara organogenesis dari empat varietas kedelai menggunakan eksplan buku kotiledon.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kedelai

Kedelai merupakan adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur dan telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian

berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya. Kedelai yang dibudidayakan adalah Glycine max yang merupakan keturunan domestikasi dari spesies moyang Glycine soja. Kedelai adalah tumbuhan yang peka terhadap pencahayaan. Pada pencahayaan agak rendah, batangnya akan mengalami pertumbuhan memanjang sehingga berwujud seperti tanaman merambat.

Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merr.) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta

Classis : Dicotyledoneae Ordo : Polypetales

Familia : Fabaceae (Leguminosae) Genus : Glycine

(25)

Daun kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun (trifoliat) dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuning–kuningan. Bentuk daun ada yang oval, juga ada yang segitiga. Warna dan bentuk daun kedelai ini tergantung pada varietas masing – masing. Namun, umumnya pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Permukaan daun berbulu halus pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang (Anonim, 2013).

Biji kedelai berbentuk polong, setiap polong berisi 1–4 biji. Biji umumnya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Ukuran biji berkisar antara 6 – 30g/100 biji, ukuran biji diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu biji kecil (6–10 g/100 biji), biji sedang (11–12 g/100 biji) dan biji besar (13 g atau lebih/100 biji). Warna biji bervariasi antara kuning, hijau, coklat dan hitam (Fachruddin, 2000).

Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi

(26)

Warna kulit biji bermacam-macam, ada yang kuning, hitam, hijau atau coklat (Adisarwanto, 2005).

Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh pada suhu yang rendah (< 15o C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-27o C. Pada proses

perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu yang cocok sekitar 30o C (Adisarwanto, 2005).

Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat

bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar (Anonim, 2013).

2.2 Kultur Jaringan Tanaman

(27)

tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Dasar teori yang digunakan adalah teori totipotensiyang ditulis oleh Schleiden dan Schwann yang menyatakan bahwa teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang

pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Meskipun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan

keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik (Pratiwi et al., 2009).

Kultur jaringan merupakan suatu teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman yang hidup yang mempunyai perangkat fisiologi dan informasi genetik yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang utuh jika berada dalam kondisi yang sesuai. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan yakni diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (motherstock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari, 2011).

(28)

beberapa faktor, antara lain eksplan, komposisi media tumbuh, genotipe tanaman, zat pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh.

2.3.1 Eksplan

Umur fisiologi, umur ontogenik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan merupakan jaringan muda yang aktif tumbuh. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel aktif membelah diri, dan relatif bersih (Yusnita, 2003).

Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji atau bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan batang satu buku (nodul eksplan), potongan akar, potongan daun, potongan umbi batang , umbi akar, empulur batang, umbi lapis dengan dan bagian batang, dan bagian bunga (Gunawan, 1995 yang dikutip oleh Yusnita, 2003).

2.3.2 Media Kultur

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (Yusnita, 2003). Kesuksesan kultur jaringan sangat ditentukan dan tergantung oleh pilihan media yang digunakan (Santoso dan F. Nursandi, 2001)

(29)

dan mikro yang dibutuhkan tanaman terdapat dalam bentuk garam-garam anorganik (Hardjo, 1994). Tanaman normal melakukan sintesis vitamin untuk pertumbuhan dan perkembangan (Santoso dan F. Nursandi, 2001). Vitamin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah dari kelompok vitamin B, yaitu thiamin-HCL (vitamin B1), piridoksin-HCL (vitamin B6) atau nikotinat, dan riboflavin (vitamin B2) (Yusnita, 2003).

Unsur-unsur organik yang dibutuhkan tanaman in vitro sama dengan yang

dibutuhkan tanaman di lapang. Unsur-unsur anorganik meliputi unsur hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S, serta unsur mikro seperti Fe, Mn, Zn, B, Cu, Cl, dan Mo (Santoso dan F. Nursandi, 2001).

Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS), Gamborg (B5), Schenk dan Hildebrant (media SH), WPM (Woody plant medium), Nitsch dan Nitsch, Knop, White, Knudson dan media Vacin and Went. Media B5 pertama kali

dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS (Pratiwi et al., 2009).

Keasaman (pH) media mempengaruhi kelarutan, penyerapan hara atau zat tumbuh dari media oleh eksplan, dan efisiensi gel dari agar. pH media harus diatur

(30)

2.3.3 Zat Pengatur Tumbuh

Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tanaman sangat penting, yaitu untuk mengontrol organogenesis dan morfogenesis dalam pembentukan dan Perkembangan tunas dan akar serta pembentukan kalus. Ada dua golongan zat pengatur tumbuh tanaman yang sering digunakan dalam kultur jaringan, yaitu sitokinin dan auksin. Yang termasuk golongan sitokinin antara lain BA (benzil adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl amino purin), thidiazuron, dan zeatin. Yang termasuk dalam golongan auksin antara lain IAA (indole acetic acid), NAA (naphtalene acetic acid), IBA (indole butiric acid), 2.4-D (2.4-dichlorophenoxy acetic acid), dicamba (3,6-dicloro-o-anisic acid), dan picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid). Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnya digunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau pembentukan kalus digunakan auksin (Lestari, 2011).

Zat pengatur tumbuh jenis sitokinin perlu ditambahkan pada media Murashige Skoog (MS) (Tabel 4) untuk inisiasi tunas adventif. Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelah sel, morfogenesis, differensiasi sel, merangsang

(31)

Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada arah pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas pada umumnya digunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau

pembentukan kalus digunakan auksin. Namun demikian, sering pula dibutuhkan keduanya tergantung pada perbandingan/ratio sitokinin terhadap auksin atau sebaliknya. Adanya salah satu zat pengatur tumbuh tertentu dapat meningkatkan daya aktivitas zat pengatur tumbuh lainnya. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk masing-masing tanaman tidak sama karena tergantung pada genotipe serta kondisi fisiologi jaringan tanaman (Lestari, 2011).

Pengulturan dengan media yang ditambah sitokinin bertujuan untuk merangsang pecah dan tumbuhnya mata tunas samping dan mencegah dominansi apikal yang mengakibatkan terbentuknya tunas samping. Sitokinin dapat merangsang pembentukan tunas adventif, multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominansi apikal (Yusnita, 2003).

(32)

2.3.4 Genotipe

Keberhasilan regenerasi tanaman sangat tergantung pada genotipe yang digunakan (Barwale et al., 1986 dikutip oleh Pardal, 2002). Belum tentu semua sel atau tanaman dapat dimanipulasi secara in vitro. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan daya tumbuh atau regenerasi dari masing-masing jenis sel dan

genotipe tanaman (Pardal, 2002). Masing-masing jenis eksplan atau sel dan genotipe tanaman memerlukan komposisi media yang berbeda-beda (Pierik, 1987).

2.4 Regenerasi in vitro Kedelai

Kedelai merupakan salah satu jenis tanaman yang masih sulit dimanipulasi secara in vitro, karena tanaman ini bersifat rekalsitran. Meskipun telah banyak

dilaporkan keberhasilan regenerasi tanaman pada kedelai, ternyata masih sulit diulang oleh peneliti lain (tidak reproducible). Keberhasilanregenerasi tanaman kedelai sangattergantung pada genotipe yangdigunakan (Barwale et al., 1986).

(33)

dikondisikan sedemikian rupa sehingga membentuk organ atau embrio baru (George dan Sherrington, 1984).

Morfogenesis tunas/organogenesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan tunas dari jaringan meristem tunas. Tunas selanjutnya dapat diakarkan untuk mendapatkan tanaman utuh. Embriogenesis somatik merupakan proses regenerasi tanaman melalui pembentukan struktur menyerupai embrio (embrioid) dari sel-sel somatik yang telah me-miliki calon akar dan tunas (serupa embrio zigotik). Tanaman utuh diperoleh dari hasil perkecambahan embrio somatik tersebut (Barwale et al., 1986).

Embrio somatik berguna dalam perbanyakan masal tanaman berumur panjang. Embrio somatik kedelai dapat diproduksi melalui embriogenesis menggunakan eksplan menggunakan kotiledon muda (Lippmann dan Lippmann,1984; Pardal et al., 1997; Hiraga et al., 2007; Loganthan et al., 2010), hipokotil (Gamborg et al., 1983; Phillips dan Collins, 1981), dan biji masak (Widoretno et al., 2002).

2.5 Organogenesis Kedelai

(34)

Kultur in vitro kedelai dapat dilakukan melalui proses organogenesis atau pembentukan tunas adventif dari eksplan. Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk melalui kalus atau tidak melalui kalus dan keluar dari tempat yang bukan biasanya (ketiak atau buku). Tempat yang tidak biasanya, seperti kalus, hipokotil, internode (daerah antarbuku) batang muda. Pembentukan tunas adventif tidak langsung yaitu melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Gunawan, 1995).

Tunas merupakan bakal cabang yang telah membentuk ≥1 daun trifoliat. Tunas

adventif dapat dibedakan dengan tunas aksilar. Tunas aksilar dapat terbentuk secara langsung (tanpa melalui fase kalus) dari meristem aksilar. Tunas aksilar biasanya sudah terbentuk 7 hari setelah tanam (hst) berupa tunas tunggal yang tumbuh cepat karena tanpa melalui fase kalus. Sebaliknya, tunas adventif

terbentuk dari kalus yang berasal dari meristem aksilar yang dicacah. Pencacahan tersebut bertujuan untuk menghindari terbentuknya tunas aksilar dan merangsang terbentuknya tunas adventif (Utomo, 2010).

(35)

Tunas dapat diinduksi melalui organogenesis dengan menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes) (Cheng et al., 1980; Wright et al., 1986; Utomo, 2005; Marveldani et al., 2007), daun muda (Kim et al., 1990), poros embrio (McCabe et al., 1988), potongan hipikotil (Dan dan Reichart, 1998), belahan benih masak yang diimbibisi (Paz et al., 2006; Joyner et al., 2010).

Marveldani et al. (2007) meregenerasikan tiga varietas kedelai menggunakan eksplan buku kotiledon (cotyledonary nodes). Konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi tiga varietas kedelai tersebut adalah 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan pada media MS yang ditambahkan BA sesuai perlakuan percobaan. Persentase eksplan membentuk tunas tertinggi ditunjukkan oleh varietas Ijen sebesar 77,5% dan rata-rata jumlah tunas per eksplan tertinggi ditunjukkan oleh varietas

Sinabung yaitu sebanyak 5 tunas per eksplan.

Joyner et al. (2010) melaporkan induksi kalus dan organogenesis pada kedelai menggunakan eksplan belahan benih masak melalui perlakuan dengan berbagai konsentrasi 2,4-D dan NAA, digunakan sendiri atau dalam kombinasi konsentrasi 2,4-D pada 3-21 µM dalam media kultur yang menghasilkan 100% induksi kalus dari kotiledon. Setelah kalus terbentuk, kultur tersebut ditumbuhkan pada media kultur BAP dan kinetin untuk mendapatkan akar dan tunas. Media kultur yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah 5 µM BAP.

2.6 Imbibisi dan Perkecambahan Biji

(36)

umumnya terjadi pada proses penyerapan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan khususnya air. Imbibisi merupakan proses awal masuknya air pada biji, sehingga terjadi proses perkecambahan. Sedangkan perkecambahan merupakan tahap awal perkembangan suatu tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji. Dalam tahap ini, embrio di dalam biji yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan embrio tersebut berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah (Lakitan, 1996).

Imbibisi merupakan penyerapan air oleh imbiban, contohnya penyerapan air oleh benih dalam proses awal perkecambahan, benih akan membesar, kulit benih pecah, berkecambah, dilandasi oleh keluarnya radikula dari dalam benih. Syarat imbibisi yaitu perbedaan tekanan antara benih dengan larutan, dimana tekanan benih lebih kecil dari pada tekanan larutan, ada daya tarik-menarik yang spesifik antara air dan benih. Benih memiliki partikel koloid yang merupakan matriks, bersifat hidrofil berupa protein, pati, sellulose, dan benih kering memiliki tekanan sangat rendah (Anonim, 2008).

Banyaknya air yang dihisap selama proses imbibisi umumnya kecil, cepat dan tidak boleh lebih dari 2-3 kali berat kering dari biji. Ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap proses fisiologi benih yakni hidrasi atau imbibisi (selama kedua periode tersebut, air masuk kedalam embrio dan membasahi protein dan koloid lain), pembentukan atau pengaktifan enzim, yang

(37)

yang membungkus embrio yaitu endosperm, kulit biji dan kulit buah (Salisbury dan Ross, 1992).

Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tanaman baru. Komponen biji adalah struktur lain di dalam biji yang merupakan bagian

kecambah, seperti calon akar (radicula), calon daun, batang (plumule) dan sebagainya. Pada proses perkecambahan, biji membutuhkan air dalam jumlah minimum dalam tubuhnya, atau yang disebut dengan taraf kandungan minimum. Jika kandungan air benih kurang dari batas tersebut akan menyebabkan proses perkecambahan terganggu. Fungsi utama cadangan makanan dalam biji adalah memberi makan pada embrio atau tanaman yang masih muda sebelum tanaman itu dapat memproduksi sendiri zat makanan, hormon, dan protein (Anonim, 2008).

2.7 Pengakaran dan Aklimatisasi Tanaman Kedelai

Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah

perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang

serapan hara. Perakaran dengan kualitas yang baik juga sangat menentukan

(38)

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman Tangguh menggunakan media MS + NAA 1 mg/l dapat dihasilkan akar (Lestari et al., 1999 dikutip oleh Lestari , 2011). Singh et al. (2013) melaporkan bahwa pengakaran tunas terbaik dari hasil regenerasi in vitro dari eksplan kotiledon pomegranate (Punica

granatum L.) diperoleh pada media setengah MS yang diformulasikan dengan 0,5 mg/l NAA + 200 mg/l arang aktif.

Kegiatan penelitian yang melibatkan kultur in vitro, misalnya dalam perakitan

tanaman transgenik, selain memerlukan sistem regenerasi yang konsisten dan

teknik transformasi yang efektif dan efisien, juga perlu menguasai teknik

aklimatisasi tanaman (Slamet et al., 2005). Aklimatisasi merupakan tahapan

paling kritis dan sulit pada proses regenerasi tanaman secara in vitro. Kegagalan

aklimatisasi tanaman merupakan kendala yang banyak dijumpai di Indonesia.

Oleh karena itu, tahapan ini memerlukan pengalaman dan penanganan yang

penting karena aklimatisasi adalah mengadaptasikan planlet dari media kultur in

vitro ke media tanah pada ruangan terbuka (Pardal et al., 2005).

Keberhasilan aklimatisasi kedelai ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum,

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman

kedelai adalah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan

(ketepatan media tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan

perlakuan pra dan pasca transplantasi dari media in vitro ke media tanah, dan

sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit. Kedelai adalah tanaman rekalsitran dan

sensitif terhadap lingkungan. Salah satu kendala dalam perakitan kedelai unggul

(39)

kehilangan kandidat putatif transgenik yang memiliki sifat tertentu, sebelum

(40)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013 sampai dengan Mei 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai 4 varietas yaitu Tanggamus, Grobogan, Argomulyo, dan Ijen yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang, 12 N HCl, NaClO (Sunklin), air suling, spirtus, gula, agar, air steril, KOH 1 N, HCl 1 N, zat-zat kimia penyusun media MS (Murashige dan Skoog) dan benziladenin (BA).

(41)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan yang

diterapkan dalam penelitian ini disusun secara faktorial 4x2 kombinasi dua faktor yaitu varietas (Argomulyo, Ijen, Tanggamus, Grobogan) dan metode prakultur (imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari) dengan 5 ulangan.

Pengelompokkan berdasarkan waktu tanam untuk setiap ulangan (Tabel 9). Setiap satuan percobaan terdiri dari empat eksplan buku kotiledon kedelai. Setelah dilakukan pra-kultur, baik melalui imbibisi 20 jam atau pengecambahan 6 hari, eksplan buku kotiledon ditumbuhkan pada media inisiasi tunas yang

mengandung BA 0,75 mg/L.

Homogenitas ragam data antarperlakuan (pra-kultur dan varietas) diuji dengan menggunakan uji Bartlett. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis ragam. Bila analisis ragam terpenuhi, data dilakukan pemisahan nilai tengah. Pemisahan nilai tengah antarperlakuan dilihat dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Pada data yang diperoleh dari hasil pengakaran, dilakukan uji t-student untuk membandingkan nilai rata-rata perlakuan.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Sterilisasi Alat dan Bahan

(42)

maupun sesudah digunakan dengan cara mencelupkan ke dalam spirtus lalu dibakar dengan pembakar bunsen.

3.4.2 Pembuatan Media Kultur

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini ialah media MS (Murashige dan Skoog) (Tabel 4) serta media MS yang diformulasikan dengan BA 0,75 mg/l. Media MS digunakan sebagai media perkecambahan benih dengan perlakuan kecambah selama 6 hari, sedangkan media MS yang mengandung BA 0,75 mg/l merupakan media regenerasi untuk pembentukan tunas adventif. Pemadat media yang digunakan ialah agar-agar sebanyak 8 g/l. Gula yang digunakan sebanyak 30 g/l (mengandung 2% sukrosa). Derajat keasaman (pH) diatur menggunakan pH meter menjadi 5,8 dengan penambahan KOH 1 N atau HCl 1N.

Larutan media dimasak sampai mendidih lalu dituangkan ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi, ditutup dengan plastik, dan diikat dengan karet gelang kemudian media dalam botol disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm selama 7 menit.

3.4.3 Sterilisasi Benih

Sebelum diberi perlakuan pra-kultur, benih-benih kedelai disterilkan dengan menggunakan gas klorin yaitu dengan menaruh selapis benih kedelai dalam cawan petri terbuka kemudian ditempatkan berjejer dalam desikator. Gas klorin

(43)

100 ml Bayclin yang berbahan aktif NaClO 5,25%. Desikator kemudian ditutup rapat dengan menambahkan vaselin disekitar pinggiran desikator kemudian dibalut dengan plastik wrap dan dibiarkan selama 2 x 24 jam (Gambar 1). Reaksi kimia yang terjadi didalam larutan bayclin (NaClO) yang ditetesi HCl adalah: NaClO + 2HCl H2O + NaCl + Cl2

Gambar 1. Tahapan sterilisasi benih

3.4.4 Perlakuan pra-kultur imbibisi atau pengecambahan

Pada perlakuan pra-kultur imbibisi, benih 4 varietas yang telah melalui proses sterilisasi masing-masing sebanyak 25-30 benih dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi air steril sehingga benih-benih tersebut terendam sepenuhnya.

(44)

benih per botol kemudian dikecambahkan selama 5-6 hari pada suhu 24 ± 2°C dengan 16 jam terang dan 8 jam gelap.

(a) (b)

Gambar 2. Perlakuan pra-kultur biji kedelai (a) imbibisi dan (b) pengecambahan.

3.4.5 Pengkulturan pada media inisiasi tunas

Proses pengkulturan pada media inisiasi tunas dilakukan setelah perlakuan pra-kultur selesai. Pada perlakuan pra-pra-kultur imbibisi, air yang terdapat didalam erlenmeyer yang berisi benih dibuang kemudian dilanjutkan dengan membelah benih secara vertikal menjadi dua bagian kotiledon (Gambar 3a). Pucuk poros embrio di atas buku kotiledon dibuang dan selanjutnya dibuat 5-7 goresan sepanjang 2-3 mm sejajar dengan poros embrio pada buku kotiledon

menggunakan skapel dengan mata pisau no. 15 (Gambar 3b). Eksplan buku kotiledon dari kecambah yang berumur 20 jam tersebut dikulturkan pada media inisiasi tunas (MS) yang mengandung BA 0,75 mg/l. Eksplan dikulturkan selama 3-4 minggu pada ruang bersuhu 25°C (18 jam terang dan 6 jam gelap).

(45)

kotiledon dipisahkan dengan cara membelah vertikal sepanjang hipokotil menggunakan pisau skapel no.15. Pucuk poros embrio di atas buku kotiledon dibuang, kemudian dibuat 5-7 goresan sejajar dengan poros embrio pada buku kotiledon (Gambar 3c). Eksplan buku kotiledon dari kecambah yang telah

berumur 5-6 hari tersebut dikulturkan pada media inisiasi tunas yang mengandung BA 0,75 mg/l. Posisi eksplan pada media diletakkan condong dengan sudut 120-150°, permukaan adaksial menghadap ke atas dan bagian yang dicacah

dibenamkan dalam media. Eksplan dikulturkan selama 3-4 minggu pada ruang bersuhu 24 ± 2°C dengan 16 jam terang dan 8 jam gelap.

(a) (b) (c) Gambar 3. Pengulturan pada media inisiasi tunas. (a) dua buku kotiledon

dipisahkan dengan cara membelah vertikal sepanjang hipokotil pada benih perlakuan imbibisi, (b) eksplan imbibisi disayat pada poros embrio, (c) eksplan kecambah disayat pada poros embrio.

3.4.6 Subkultur

(46)

medium inisiasi baru yang telah berisi eksplan diinkubasi kembali selama 2 minggu dalam ruang kultur.

3.4.7 Pengakaran

Perakaran dengan kualitas yang baik sangat menentukan keberhasilan saat tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi media yang tepat sangat menentukan kualitas akar. Setelah berumur 40 hari setelah tanam (hst), eksplan dikeluarkan dari dalam botol dan dipisahkan dari media kultur (Gambar 4a). Tunas-tunas adventif yang tumbuh pada setiap eksplan dipisahkan satu per satu (Gambar 4b). Tunas-tunas yang memiliki lebih dari 3 daun dikulturkan ke dalam medium pengakaran masing-masing 1 tunas per botol (Gambar 4c). Hal ini bertujuan agar akar yang muncul dari tunas dapat tumbuh dengan baik. Medium pengakaran yang

digunakan adalah media 1/2 MS dan media 1/2 MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l. Masing-masing perlakuan ditanam ke dalam dua media pengakaran tersebut. Pengamatan tunas yang membentuk akar fungsional dilakukan pada umur 3 minggu setelah tanam (mst) selama di medium pengakaran.

(a) (b) (c)

(47)

3.4.8 Aklimatisasi

Setelah berumur 3 minggu setelah di medium pengakaran, tunas-tunas yang telah membentuk akar (planlet) selanjutnya di aklimatisasi dalam media campuran cocopeat dan arang sekam dengan perbandingan 1:1. Media campuran tersebut sebelumnya telah disterilkan dengan merendamnya dalam air mendidih selama semalam.

Proses aklimatisasi planlet meliputi penyiapan planlet, perendaman dalam larutan fungisida, penanaman, serta pengondisian iklim tanaman. Penyiapan planlet dilakukan dengan cara mengeluarkan planlet dari botol kemudian mencuci bersih akar planlet tersebut dari sisa-sisa agar yang masih menempel dengan air

mengalir. Tujuan pencucian akar tersebut ialah untuk menghindari pertumbuhan jamur melalui sisa-sisa agar. Oleh karena itu, akar tersebut harus direndam dalam larutan fungisida selama 3 menit. Setelah 3 menit, planlet siap ditanam dalam pot kecil berisi media campuran. Setelah itu, planlet disungkup menggunakan plastik transparan dengan tujuan menjaga kelembaban tanaman baru tersebut. Intensitas cahaya dinaikkan bertahap dan kelembaban diturunkan bertahap.

3.5 Variabel Pengamatan

(48)

(2) Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Tunas yang dihitung adalah jumlah seluruh tunas adventif yang tumbuh dibagi jumlah eksplan yang membentuk tunas.

(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perlakuan pra-kultur berpengaruh terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA) dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Sedangkan perlakuan varietas dan interaksi hanya berpengaruh pada PEMTA tetapi tidak berpengaruh pada RJTA. Pada perlakuan imbibisi, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Grobogan, Argomulyo, dan Tanggamus. Pada

perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari. Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l.

5.2 Saran

(50)

PUSTAKA ACUAN

Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai. Penebar Swadaya. Bogor.

Anonim. 2008. Imbibisi Benih. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 13.20 WIB.

Anonim. 2013. Perkecambahan Kedelai. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 4 Agustus 2013. Pukul 11.43 WIB.

Azriati, E., Asmeliza, dan N.Yurmita. 2006. Respon regenerasi eksplan kalus kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap pemberian NAA secara in vitro. Proposal Kegiatan Mahasiswa Penelitian. Universitas Padang. Padang.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi kedelai indonesia. http://www.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Barwale, U.B., H.R. Kerns, and J.M.Widholm. 1986. Plant regeneration from callus cultures of several soybean genotypes via embryogenesis and organogenesis. Planta 167:473-481.

Cheng, T. Y., H. Saka, and T. H. Voqui-Dinh. 1980. Plant regeneration from soybean cotyledonary node segments in culture. Plant Science. 19:91-99. Clemente, T., B. J. LaValle, A. R. Howe, D. C. Ward, R. J. Rozman, P. E. Hunter,

D. L. Broyles, D. S. Kasten, and M. A. Hinchee. 2000. Progeny analysis of glyphosate selected transgeneic soybeans derrived from Agrobacterium -mediated transformation. Crop Sci. 40: 797-803.

Damardjati. 2005. Kacang Kedelai. http://www.agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/5.pdf. Dan, Y. and N. A. Reichert. 1998. Organogenic regeneration of soybeam from

hypocotil explants. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 34:12-21.

(51)

Fachruddin dan Lisdiana. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Gamborg, O. L., B. P. Davis, and R. W. Stahlquist. 1983. Somatic embryogenesis in cell cultures of Glycine species. Plant Cell Rep. 2: 202-209.

George, E.F. dan P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Second Edition. Exegetics Limited. England.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 304 hlm.

Hardjo, P.H. 1984. Organogenesis Langsung dan Kalogenesis pada Kultur kedelai (Glicine max [L.] Merr.) dan Glicine tomentella H. dalam medium MS dan PCL-2 termodifikasi. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.

Hiraga S, Minakawa H, Takahashi K, Takahashi R, Hajika M, Harada K, Ohtsubo N. Evaluation of somatic embryogenesis from immature cotyledons of Japanese soybean cultivars. Plant Biotechnology 2007, 24 (4):435-440. Joyner, E.Y., L.S. Boykin, and M.A. Lodhi. 2010. Callus Induction and

Organogenesis in Soybean [Glycine max (L.) Merr.] cv. Pyramid from Mature Cotyledons and Embryos. Open Plant Dci. J., 4: 8-21.

Kim, J., C. E. LaMotte, and E. Hack. 1990. Plant regeneration in vitro from primary leaf nodes of soybean Glycine max seedling. Plant Physiol. 136: 664-669.

Lakitan, Benyamin. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Edisi ke-1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 218 hlm.

Lazzeri, P. A., D. F. Hilderband, and G. B Collins. 1985. A Procedure for Plant Regeneration from Immature Cotyledons Tissue of Soybean. Plant Mol. Biol. Rep. 3: 160-167

Lestari, Endang G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. AgroBiogen. 7(1):63-68.

Lippmann, B and G. Lippmann. 1984. Induction of somatic embryos in

cotyledonary tissue of soybean Glycine max L. Merr. Plant Cell Rep. 3: 215-218.

(52)

Marveldani, M. Barmawi, dan S.D.Utomo. 2007. Regenerasi in vitro kedelai melalui organogenesis pada tiga konsentrasi benziladenin. Jurnal Agrin. 10 (1): 49-55.

McCabe, D. E., W. F. Swain, B. J. Martinell, and P. Christou. 1988. Stable transformation of soybean by particle acceleration. Bio/Technol. 6: 923-926.

Pardal, S. J., D. R. Untari, A. Sisharmini, D. Riyadi, dan M. Herman. 1997. Regenerasi kedelai secara in vitro, hal. 27-38. Prosiding Seminar Bioteknologi Pertanian Indonesia, Surabaya 12-14 Maret 1997. Perhimpunan Bioteknologi Indonesia, Bogor.

Pardal, S. J. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi pada tanaman kedelai. Buletin Agrobio 5:37-44.

Pardal, S.J., G.A. Wattimena, H. Aswidinoor, dan M. Herman. 2005. Transformasi genetik kedelai dengan gen proteinase inhibitor II menggunakan teknik penembakan partikel. Jurnal AgroBiogen 1(2):

53−61.

Paz, M.M., J.C. Martinez, A.B. Kavlig, T.M. Fonger and K.Wang. 2006. Improved cotyledonary node method using an alternative explant derived from mature seed for efficient Agrobacterium-mediated soybean

transformation. Plant Cell Rep. 25: 206-213.

Phillips, G. C. And G. B. Collins. 1981. Induction and development of somatic embryos from cell suspension cultures of soybeans. Plant Cell Tissue Organ Cult., 1: 123-129.

Pratiwi, Indah., N. Khumaida., D. Sukma. 2009. Penggunaan Jenis Media Dasar Dan Kinetin Untuk Induksi Organogenesis Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii)SecaraIn Vitro. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Safitri, Yesi. 2013. Pengaruh Perlakuan Pra-kultur Terhadap Efisiensi Regenerasi In Vitro Lima Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Skripsi.

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Salisbury, F. B., C, W. Ross. 1992. Plant Physiology 4th edition. Diterjemahkan oleh Lukman, D.R., dan Sumaryono. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

(53)

Sari, R.M. 2012. Pengaruh berbagai Bagian Benih Sebagai Sumber Eksplan dengan Umur Kecambah Enam Hari Terhadap Induksi embrio Somatik Dua Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singh, Pushpraj., R.M. Patel, dan S. Kadam. 2013. In vitro mass multiplication of pomegranate from cotyledonary nodal explants cv. Ganesh. Academic Journal 12 (20): 2863-2868.

Slamet, S.J. Pardal, dan M. Herman. 2005. Regenerasi kedelai (Glycine max L. Merr.) melalui kultur epikotil. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia: Tantangan dan peluang pengembangan bioteknologi pertanian menghadapi era globalisasi. Perhimpunan

Bioteknologi Pertanian Indonesia, Malang.

Staden, V. J. 2008. Stock Plant Physiological Factor Affecting Growth and Morphogenesis. Plant Propagation by Tissue Culture 3th Edition. Springer. 1: 219-220.

Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan

Umbi-Umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian. Malang. 154 hlm

Utomo, S.D. 2004. Transformasi genetik lima varietas kedelai menggunakan Agrobacterium. Jurnal Agrotropika 9(2):95-101.

Utomo, S. D. 2005. Efisiensi Regenerasi In Vitro Enam Varietas Kedelai melalui Organogenesis. Jurnal Agrista. 9 (1): 83-92.

Utomo,S.D., F. Yelli, dan A. Edy. 2010. Regenerasi in vitro dari eksplan buku kotiledon enam varietas kedelai melalui organogenesis pada medium MS. Prosiding bagian II. Seminar Nasonal Sains dan Teknologi III. 10 (1): 49-55.

Utomo, S.D. 2012. Pemuliaan Tanaman Menggunakan Rekayasa Genetik. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Wang G, Xu Y. Hypocotyl-based Agrobacterium-mediated transformation of soybean (Glycine max) and application for RNA interference. Plant Cell Reports 2008, 27:1177-1184.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB. 71 hlm.

(54)

Wright, M.S., S.M. Kohler, M.A.Hinchee, and M.G. Carnes. 1986. Plant

regeneration by organogenesis in Glycine max. Plant Cell Reports 5:150-154.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Gambar

Gambar 1.  Tahapan sterilisasi benih
Gambar 2.  Perlakuan pra-kultur biji kedelai (a) imbibisi dan (b) pengecambahan.
Gambar 3.  Pengulturan pada media inisiasi tunas.  (a) dua buku kotiledon
Gambar 4.  Tahapan pengakaran tunas adventif.  (a) eksplan imbibisi dikeluarkan dari media kultur, (b) tunas adventif yang tumbuh pada eksplan dipisahkan satu per satu, (c) tunas adventif dikulturkan ke dalam medium pengakaran masing-masing 1 tunas per botol

Referensi

Dokumen terkait

The effective interest rate is the rate that exactly discounts estimated future cash receipts or payments (including all fees and points paid or received that form

Berdasarkan Berita Acara evaluasi administrasi, teknis dan biaya Nomor : KU.003/B.768 /III/BPPTD-2012 tanggal 21 Maret 2012 tentang Hasil Evaluasi Dokumen

pembelajaran kelompok. 4) Angket, untuk mengumpulkan data kegiatan pembelajaran kuis, baik penjawab, penanya maupun pengamat. Kegiatan analisis data dilakukan untuk

NRM atau yang juga dikenal dengan sebutan NIM pada bank konvensional merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya.

Empirical results (e.g., Zeithaml, 1998; and Dodds et al., 1991) also support the view that perceived value lead to customers intention to continue purchasing from an organized

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan Laporan Praktek Kerja ini, maka penulis memakai metode sebagai berikut :.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dinyatakan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Kemampuan menulis kata tulisan Arab Melayu mahasiswa Program

Implementasi LKM Posdaya Kenanga dikatakan baik karena dari hasil tabel frekuensi menunjukkan tingkat ketepatan sasaran, tingkat pemberian sumber daya, dan tingkat