• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEACHING MATERIALS WORKSHOP DEVELOPMENT OF ADOLESCENT REPRODUCTIVE HEALTH PROTECTION FOR SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TEACHING MATERIALS WORKSHOP DEVELOPMENT OF ADOLESCENT REPRODUCTIVE HEALTH PROTECTION FOR SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sistem pendidikan nasional cenderung selalu mengalami perubahan

mengikuti alur penyempurnaan dalam setiap masanya. Hal yang paling baru diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah pendidikan

berkaratkter. Mukhsinudin (2012:1) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik.

Kata karakter sendiri secara etimologis berarti sesuatu yang bersifat

pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai dan secara terminologis dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Dengan begitu, perubahan paradigma pendidikan di Indonesia yang mengedepankan pembentukan karakter sejak dini, seharusnya menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial bangsa Indonesia. Namun pada kenyataanya implementasi dari pendidikan

(2)

sering dilakukan oleh remaja, khususnya siswa pada jenjang sekolah

menengah. Suryani (2013:1) menyebutkan bahwa dari data kasus aborsi yang tercatat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) ternyata meningkat pada 2012 dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 121 kasus, dengan

mengakibatkan 8 orang meninggal. Berbagai permasalahan tersebut muncul akibat dari tidak diberikanya tentang pemahaman yang baik tentang

bagaimana harus menjaga alat reproduksi sampai pada waktu mereka bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Jika dilihat dari kurikulum yang ada pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, maka materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi sudah tepat sasaran apabila diberikan kepada para siswa usia remaja khususnya Sekolah

Menengah Atas (SMA). Tetapi permasalahan muncul ketika masih ada beberapa kelemahan pada implementasinya, yaitu dimana materi yang diberikan tidak mencakup remaja pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bahkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Para remaja yang duduk pada bangku SD maupun SMP bukanlah seseorang dalam tahapan anak-anak, karena beberapa diantara mereka juga sudah mengalami kematangan secara seksual.

(3)

menjadi indikator bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang sudah dilaksanakan selama ini belum maksimal. Utami (2013:1) menyebutkan dari data yang diperoleh salah satu lembaga survei dunia memaparkan bahwa dari 2.305 orang tua yang ada di negara Amerika Serikat, setidaknya lebih dari 12,47 persen orangtua merasa bahwa sekolah yang seharusnya bertanggung jawab penuh untuk memberikan pendidikan seks pada anak. Dari data tersebut, terlihat bahwa sesungguhnya orang tua yang tinggal pada negara maju sekalipun masih menganggap pendidikan seksual harus terintegrasi dalam pendidikan sekolah dan menjadi tanggung jawab mereka. Selain itu, rasa malu atau sungkan dalam mengajarkan pendidikan seks masih menjadi alasan utama para orang tua untuk tidak mengajarkan kepada para anak-anak mereka. Salah satu penyebab kurang berhasilnya implementasi pendidikan kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan aspek perkembangan teknologi.

Proses perkembangan teknologi yang pesat, mendorong pertukaran informasi yang cepat dari seluruh belahan dunia. Perkembangan tersebut akan

mengakselerasi timbulnya akulturasi budaya dari berbagai belahan dunia. Akulturasi budaya yang tidak tersaring dengan baik, akan menimbulkan konflik negatif pada kebudayaan asli yang diserangnya. Ramli dalam Virdhani (2013:2) menyatakan bahwa penggunaan internet yang saat ini sudah sangat meluas, dapat memberikan dampak baik serta dampak buruk bagi moral bangsa. Kebiasaan masyarakat global yang cenderung konsumtif dan destruktif membentuk karakter budaya yang instan tanpa banyak

(4)

negatif jika si pengguna tidak memiliki cukup pengetahuan atas perihal yang didapatkanya. Contoh nyata dari penyalahgunaan internet adalah peredaran konten porno yang saat ini marak terjadi. Ada dua jenis sumber penyebaran konten pornografi yaitu yang bersifat komersial dan non komersial. Konten pornografi yang bersifat komersial berasal dari provider yang sengaja dibuat dan atau didistribusikan untuk kepentingan komersial atau mendapatkan keuntungan. Sedangkan konten pornografi non komersil yang dibuat bukan tujuan untuk dikomersilkan dan bersifat pribadi yang secara sengaja atau tidak sengaja disebarkan.

Nurlaila (2013:1) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia. Film-film dan sinetron yang beredar di masyarakat saat ini secara tidak langsung mengajarkan generasi muda untuk mengikuti alur dan arus dari skenario untuk diterapkan pada kehidupan mereka. Adegan ciuman,

(5)

berhubungan dengan seksualitas. Pandangan mereka sebagai seorang remaja dan memiliki tingkat keingin-tahuan besar akan merasa semakin tertantang pada hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas.

Rajab dalam Muhammad (2011:2) menyatakan bahwa kasus pemerkosaan yang terjadi di ibukota cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011 akibat mudahnya mengakses konten yang bersifat pornografi dalam penggunaan internet. Salah satu cara mudah untuk memenuhi rasa keingintahuan tersebut adalah dengan cara melihat konten porno melalui alat teknologi canggih seperti telepon genggam, laptop dan peralatan lain yang mendukung kegiatan tersebut. Konten porno bisa mereka dapatkan melalui internet maupun distribusi normal seperti meminta video dari teman atau membelinya dari penjual kaset yang banyak terdapat disekitar lingkungan kita. Dengan begitu, rasa keingintahuanya terhadap seks akhirnya

menghantarkan mereka pada tindakan seks pranikah atau malah tindakan kriminal seperti pelecehan seksual.

Kecenderungan itu juga yang kemudian merubah pergaulan generasi muda yang tergolong masih di bawah umur. Mulai dari taman kanak-kanak hingga remaja puber, mereka sudah mengenal istilah pacaran, ciuman dan

(6)

lebih lanjut, kepadatan akan kegiatan terstruktur tersebut cenderung

membentuk pola yang menimbulkan kebosanan terhadap si anak, sehingga muncul perasaan akibat kurangnya kasih sayang dari orang tuanya, karena terlalu jarang bertemu akibat kesibukan. Senada dengan yang diungkapkan oleh Agustina (2012:2) yang menjabarkan hasil survei dari Ipsos bahwa anak-anak pada saat ini lebih cepat dewasa jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Laporan ini juga diperkuat dari survei di berbagai negara yang melibatkan hampir 7000 orang tua dengan anak-anak dibawah usia 18 tahun dan dilakukan dalam jangka waktu 6 minggu. Hasil penelitian tersebut menghasilkan data bahwa sebanyak 64% responden menyatakan bahwa seringkali mereka mendambakan perasaan bebas yang mereka rasakan dulu sewaktu kecil. Maka kemudian munculah perasaan untuk mengaktualisasikan diri dengan mencari perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis agar dapat saling mencurahkan segala macam isi hati dan permasalahan dengan cara berpacaran. Kegiatan tersebut mereka lakukan karena anak-anak tidak terbiasa berkumpul dengan orang tua mereka dalam waktu yang cukup dimana orang tua terkadang terlalu sibuk dengan pekerjaan.

Dari awal mula berpacaran yang tidak diawasi dan diberikan penjelasaan mengenai pola menjalin hubungan yang baik akan menimbulkan

permasalahan yang lebih serius. Maka kemudian terjadilah hubungan badan atau perilaku seksual yang dimulai dari ciuman, petting hingga koitus. Etika dan norma moral yang tidak diajarkan sejak dini, akan terasa kurang

(7)

oleh Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan jumlah responden lebih dari 4500 remaja dari SMP dan SMA didapatkan data 97 % responden mengaku pernah menonton video porno, 93,7 % dari responden mengaku pernah ciuman, petting dan oral, 62 % responden mengaku sudah tidak perawan, dan 21,2 % siswi SMU mengaku sudah pernah mengalami aborsi. Walaupun responden dari survei tersebut tidak bisa disebut sebagai

perwakilan dari siswa dan siswi SMP dan SMU di seluruh negara Indonesia, namun dari kenyataan tersbut menyiratkan permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi.

Listyaningsih (2012:1) mengungkapkan hasil survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2008, menyatakan bahwa dari 14.343 orang remaja Indonesia yang berpacaran, 5,4% telah melakukan hubungan seks pranikah. Kemudian dari jumlah itu, 11,2% di antaranya berakhir dengan kehamilan dan 67,8% remaja hamil tidak meneruskan kehamilannya dengan cara pengguguran kandungan. Permasalahan yang tadinya dianggap sebagai perihal kecil dan lumrah dimana semua orang beranggapan bahwa hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian kelompok kecil saja atau bisa dikatakan anomali, ternyata menjadi gaya hidup baru dikalangan remaja. Hingga akhirnya perilaku seks pranikah yang dilakukan oleh para remaja dan anak-anak menjadi bencana kemanusiaan.

(8)

yang lainya, merupakan hal yang susah untuk ditanggulangi. Nahri (2013:1) menyatakan bahwa ada beberapa dampak yang terjadi karena perilaku seks pranikah antara lain bagi perempuan beresiko terkena penyakit kanker serviks, Kehamilan Tidak Diingikan (KTD), gangguan pada kesuburan dan lain sebagianya. Sedangkan dampaknya secara umum akan beresiko terkena HIV/AIDS, tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) dan munculnya gangguan mental terhadap pengalaman tersebut.

Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa perilaku seks pranikah akan

membawa banyak dampak negatif bagi para pelakunya hingga berujung pada penyakit yang menghinggapi pelaku tersebut. Beberapa diantara penderita tersebut cenderung menutupi dan akibatnya berpengaruh pada kejiwaan mereka. Selain itu, melakukan hubungan seksual pranikah biasanya

menciptakan kenangan buruk atau traumatik kepada para pelakunya. Hal ini bisa dikarenakan atas penyesalan ketika memilih orang yang salah saat pertama kali melakukanya. Hal lain yang lebih mengerikan adalah timbulnya rasa ketagihan hingga tidak mampu mengontrol diri sendiri. Penyimpangan perilaku kejiwaan tersebut, sedikit banyaknya akan berdampak pula pada kehidupan sosial bermasyarakat. Rasa malu yang sudah terkalahkan oleh rasa hasrat dan keinginan, membuat pelaku seks pranikah tersebut mencari

(9)

Kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi yang terintegrasi pada

pendidikan jasmani dan kesehatan ternyata belum memberikan dampak yang signifikan bagi pengetahuan anak. Dikutip dari Purwanti (2011:1) yang menjabarkan hasil riset yang dilakukan oleh Sexual Wellbeing Global Survei yang dilansir Durex di Jakarta (30/11) terungkap 82 persen orang Indonesia membutuhkan informasi yang benar mengenai penyakit HIV/AIDS dimana survei tersebut dilakukan secara global dengan melibatkan 1.015 orang di Indonesia.

Terlihat bahwa kecenderungan orang untuk mempelajari seluk beluk

(10)

kesehatan reproduksi belum dapat mereka sampaikan secara maksimal karena berkaitan dengan beberapa permasalah. Kurangnya bahan ajar mengenai materi, pandangan siswa dan masyarakat mengenai materi kesehatan reproduksi dan penempatan urutan materi pada standar isi merupakan beberapa pokok permasalahan mengenai terkendalanya penyampaian materi pendidikan kesehatan reproduksi.

Dari beberapa kenyataan tersebut, maka sudah selayaknya kita sebagai seorang pendidik dan juga orang tua merasakan adanya fenomena yang berdampak terhadap kelangsungan generasi muda sekarang. Dari pemikiran tersebut, munculah ide untuk membuat kurikulum workshop kesehatan

reproduksi beserta bahan ajarnya yang diperuntukan bagi pelajar pada jenjang sekolah menengah. Dari hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga atau instansi yang dipaparkan di atas, sudah cukup untuk membuka wawasan kita bahwa pada masa anak-anak, rentan terhadap perilaku seks pranikah. Oleh karena itu, maka penelitian ini mengambil judul “Pengembangan Bahan Ajar Workshop Perlindungan Kesehatan Reproduksi Remaja Siswa Sekolah Menengah Atas “. Dengan pembelajaran melalui bahan ajar tersebut diharapkan siswa akan mengalami perubahan kognisi yang berakibat pada afeksi mereka mengenai kegiatan seksual yang baik dan benar.

Senada dengan yang diungkapkan oleh Dewey dalam Widodo (2007:94) tentang konsepsi pendidikan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk

(11)

beradaptasi secara elastis dalam masyarakat dan belajar merekonstruksi pengalamanya guna mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan begitu, siswa yang yang mengalami perubahan pengalaman akan bertransformasi dengan baik, sehingga dapat menjadi duta pengetahuan bagi teman-teman lainya.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan maka ada beberapa pokok masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut :

1) Bahan ajar kesehatan reproduksi dalam mata pelajaran Penjasorkes dan IPA masih terbatas.

2) Pemahaman siswa tentang materi kesehatan reproduksi belum optimal. 3) Adanya keterbatasan pengetahuan guru dan orang tua siswa dalam

mengajarkan kesehatan reproduksi bagi remaja

4) Budaya Indonesia cenderung menganggap tabu membahas permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi

1.3Pembatasan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah yang sudah dijabarkan, maka batasan masalah penelitian kali ini adalah :

(12)

2) Perlunya menyajikan bahan ajar kesehatan reproduksi yang telah dikembangkan untuk diimplementasikan pada jenjang sekolah menengah atas.

3) Perlunya tes penguasaan konsep siswa setelah mendapatkan pembelajaran mengenai kesehatan reproduksi

1.4Rumusan Masalah

Dari beberapa uraian di atas, maka rumusan masalah yang diambil dalam penelitian kali ini adalah :

1) Bagaimanakah potensi materi yang diambil dari BSNP dan kondisi bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi yang telah digunakan di sekolah menengah atas ?

2) Bagaimanakah proses mengembangkan desain bahan ajar untuk workshop kesehatan reproduksi bagi remaja tingkat sekolah menengah atas ?

3) Bagaimanakah efektifitas bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi ?

4) Bagaimanakah efisiensi bahan ajar untuk workshop perlindungan kesehatan reproduksi ?

(13)

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukanya penelitian kali ini adalah antara lain :

1) Mendeskripsikan potensi dan kondisi bahan ajar materi kesehatan reproduksi.

2) Mengembangkan desain pengembangan bahan ajar materi kesehatan reproduksi untuk guru dan siswa.

3) Menganalisis efektifitas bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

4) Menganalisis efisiensi bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

5) Menganalisis daya tarik bahan ajar workshop perlindungan kesehatan reproduksi.

1.6Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian pengembangan ini adalah

1.6.1 Secara Teoritis

1) Manfaat teoretis adalah mengetahui penguasaan konsep, teori, prosedur dalam pemanfaatan media belajar khususnya dalam kawasan pengembangan teknologi pendidikan

(14)

1.6.2Secara Praktis

1) Produk hasil penelitian yang akan dikembangkan, yaitu dapat diterapkan langsung dan terintegrasi dengan mata pelajaran Penjasorkes atau IPA terpadu

2) Dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian pengembangan selanjutnya.

1.7 Produk yang Dihasilkan

(15)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1Kajian Pustaka

2.1.1 Desain Kurikulum

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kegiatan tertentu. Kurikulum secara umum akan berisikan tentang kompetensi yang akan dicapai oleh siswa. Aqib (2010:38) mendefinisikan

kurikulum dalam beberapa pengertian antara lain:

“(a) kurikulum adalah pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh ijazah; (b)

kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk memperoleh pengetahuan; (c) kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa”

Dari beberapa pengertian mengenai kurikulum tersebut, maka pembuatan kurikulum selayaknya harus disesuaikan dengan

(16)

landasan, berupa Empat pilar pendidikan yaitu (i) learning to know, (ii) learning to do, (iii) learning to live together (with others), dan (iv) learning to be. Dari panduan landasan tersebut, jelas bahwa tujuan dari dibentuknya pembelajaran adalah untuk memberikan perubahan perilaku terhadap siswa dengan memberikan treatment atau perlakuan yang sebelumnya harus sudah direncanakan.

Secara umum kurikulum memiliki beberapa bagian yang merumuskan tujuan, isi dan hasil yang akan dicapai sebagai akibat dari proses pembelajaran yang berlangsung. Karena sifat dari kurikulum yang berfungsi untuk memaksimalkan setiap potensi siswa, maka kurikulum selalu mengalami perubahan atau pembaharuan. Perubahan atau pembaharuan tersebut, yang kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan secara umum dan sekolah secara khusus harus dapat membuat perubahan kepada siswa. Senada dengan yang dikemukakan Widodo (2007:33) bahwa :

“Sekolah tidak hanya harus memperkenalkan murid-murid kepada

berbagai skill dan kekuatan-kekuatan yang diperlukan agar selalu survive atau untuk self-realization dalam budaya kita, tetapi pendidikan juga harus bekerja sebagai penyatuan kekuatan dalam membentuk keyakinan dan sikap-sikap yang menjadikan koheren dengan ketentuan-ketentuan cara hidup yang demokratis”

Pendapat tersebut dapat diartikan sebagai hal yang dapat dilakukan untuk mengimbangi lingkungan pada siswa yang setiap saat juga selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari

(17)

kurikulum tersebut tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Akibat dari hal tersebut maka sudah pasti berdampak pada pengetahuan dari siswa terbentuk sebagai masyarakat terisolasi dan kurang mengetahui perkembangan ilmu pada saat ini.

Dalam dunia pendidikan, ada beberapa model konsep kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli dan sering diaplikasikan ke dalam proses pengembangan pembelajaran. Suhartoni (2013:1) mengemukakan empat macam model konsep kurikulum yang digunakan diantaranya kurikulum subjek akademis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologis dan kurikulum humanistik. Kurikulum subjek akademis ini merupakan desain kurikulum yang lebih mengutamakan pada isi materi (subject matter) yang disampaikan kepada para siswa. Dengan begitu target utama yang harus dicapai pada desain kurikulum model subjek akademis ini adalah pengusaan yang sebanyak-banyaknya kepada penguasaan materi ajar oleh siswa. Berbeda dengan kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum ini lebih mengedepankan bagaimana pembelajaran memiliki peran penting dan aplikatif dalam dunia nyata.

Target utama pembelajaran dengan menggunakan kurikulum rekonstruksi sosial ini adalah kemampuan dari siswa untuk

(18)

rekayasa (engineering) yang diaplikasikan dalam pendidikan untuk mencapai tujuan yang maksimal. Teknologi yang dimaksudkan tidak hanya berupa teknologi canggih, namun bisa juga teknologi terapan atau teknologi sederhana. Dengan menggabungkan antara kedua

komponen tersebut, maka diharapkan pembelajaran berlangsung dengan efektif dan efisien. Selanjutnya adalah desain kurikulum humanistik yaitu desain kurikulum ini bertumpu pada proses pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa. Dengan begitu, siswa mampu memaksimalkan semua potensi yang ada, sedangkan guru atau pendidik akan berfungsi sebagai fasilitator dan memberikan pengarahan pada saat pembelajaran berlangsung.

Seperti pada penelitian kali ini, penggunaan kurikulum teknologis menjadi salah satu dasar pengembangan penelitian mengenai materi pendidikan kesehatan reproduksi. Wahyudi (2009:5) menyatakan bahwa kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, memiliki tujuan pada pencapaian kompetensi. Desain ini merupakan

(19)

metode dalam pembelajaranya. Dengan begiru, fungsi penggunaan kurikulum ini adalah untuk mengakomodir kemajemukan yang terjadi pada proses pembelajaran, sehingga para siswa mampu memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Teknologi memiliki artian luas sebagai cara atau alat yang dapat memudahkan dan mengefisiensikan pekerjaan dari manusia. Dengan kata lain kurikulum teknologi merupakan

rancangan kurikulum yang menggunakan aplikasi teknologi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran atau pendidikan yang

berlangsung. Sebagai contohnya seperti penggunaan teknologi internet dalam pembelajaran jarak jauh, ketika siswa tidak harus selalu

menghadiri kelas reguler namun siswa masih bisa bertatap muka dengan dosen atau gurunya melewati video conference. Atau bahkan mungkin bisa saja yang lebih sederhana yaitu menggunakan modul dalam memahami suatu materi pelajaran. Sifat modul menjadi komplementer dalam hal memaksimalkan proses pembelajaran yang terjadi karena modul membantu siswa dalam proses transfer

pengetahuan.

(20)

teknologi meliputi inovasi teknologi dan teknologi siap pakai. Dari paparan tersebut, maka selayaknya sebagai pendidik juga harus

memberikan pengetahuan yang baik tentang bagaimana memanfaatkan teknologi baik dari yang sederhana hingga yang kompleks dan

mengaplikasikanya ke dalam dunia pendidikan, sehingga proses

learning to learn yang juga merupakan salah satu pilar pendidikan yang dipaparkan oleh UNESCO akan tertanam dan menjadi kebiasaan baik demi menghadapi kehidupan dimasa depan. Melalui aplikasi teknologi dalam pendidikan, maka secara otomatis konsep-konsep baru akan bermunculan sesuai dengan perkembangan zaman. Pembentukan dan penguasaan kompetensi dari siswa lebih maksimal didapatkan dan bukan hanya tradisi atas pengetahuan turun-temurun yang mungkin saja sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat saat ini. Dengan bantuan teknologi, pembelajaran akan selalu berpusat pada siswa. Mereka bebas mengakses berbagai macam sumber belajar dengan memanfaatkan sumber daya teknologi yang mereka miliki, sehingga guru hanya bersifat sebagai director learning.

(21)

dimana salah satu fungsi kurikulum adalah fungsi penyesuaian atau the adjastive of adaptive function. Dengan begitu, kurikulum harus

membentuk penggunanya untuk bisa beradaptasi dengan dunia nyata dan seperti kita tahu bahwa dunia nyata sangatlah dinamis dan penuh perubahan. Oleh karena itu, seorang perancang kurikulum akan membentuk watak dari penggunanya menjadi individu yang terbuka atas perubahan dinamika kehidupan. Pengunaan desain kurikulum ini dianggap cocok untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada siswa. Dalam proses pembelajaranya, penggunaan modul menjadi bahan dasar yang harus diberikan kepada siswa. Selanjutnya, siswa diberikan pemahaman dengan beberapa cuplikan berita video dan juga pengintegrasian microsoft office power point dalam pelaksanaan presentasinya.

(22)

2.1.2 Penelitian Pengembangan Model Borg and Gall

Proses penelitian dan pengembangan menggunakan desain Borg and Gall. Tujuan dari desain pengembangan model ini adalah untuk menguji sebuah kelayakan produk dengan panduan sistematika langkah-langkah yang telah disusun secara bertahap. Borg & Gall, 1983:772

mengungkapkan bahwa

“Educational research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products. The steps of this process are usually referred to as the R & D cycle , which consists of studying research findings pertinent to the product to be developed, developing the product based on the finding, field testing it in the setting where it wil be used eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the field testing stage. In indicate that product meets its behaviorally defined objectives”.

Penjabaran tersebut akan berarti sebagai berikut “Riset dan

pengembangan bidang pendidikan (R & D) adalah suatu proses yang yang digunakan untuk mengembangkan dan mengesahkan produk bidang pendidikan. Langkah-langkah dalam proses ini pada umumnya dikenal sebagai siklus R & D, yang terdiri dari: pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan validitas komponen-komponen pada produk yang akan dikembangkan,

(23)

Dari definisi tersebut, terlihat bahwa ada beberapa tahapan yang dibuat agar model penelitian pengembangan ini akan menghasilkan sebuah produk dengan kelayakan yang dapat dipertanggung jawabkan. Artinya, produk yang dihasilkan merupakan produk pembelajaran yang telah melalui serangkaian uji coba. Ujia coba yang dilakukan bukan semata-mata sebagai syarat saja, namun untuk memastikan bahwa produk yang akan digunakan dan diaplikasikan kelak memiliki nilai guna dengan efisiensi dan efektifitas yang sesuai dengan harapan awal. Borg & Gall (1983) juga menyatakan bahwa prosedur penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu mengembangkan produk dan menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. org dan Gall (1983: 775) mengajukan serangkaian tahap yang harus ditempuh dalam pendekatan ini, yaitu

“research and information collecting, planning, develop preliminary form of product, preliminary field testing, main product revision, main field testing, operational product revision, operational field testing, final product revision, and

dissemination and implementation”.

(24)
[image:24.595.131.545.72.355.2]

Gambar 1. Prosedur pengembangan Borg & Gall (Sumber: Borg & Gall, 1983:775)

Jika diuraikan lebih lanjut, maka langkah-langkah dari pengembangan model Borg and Gall adalah sebagai berikut.

1. Research and information collecting; Melakukan penelitian pendahuluan dan pengumpulan data awal untuk kaji pustaka, pengamatan kelas, identifikasi permasalahan dan merangkum permasalahan termasuk dalam langkah ini antara lain studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dan persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian;

2. Planning; Melakukan perencanaan yaitu identifikasi dan definisi keterampilan, perumusan tujuan, dan uji ahli atau ujicoba pada skala kecil, atau expert judgement, termasuk dalam langkah ini

Research and informational collection (1)

Develop preliminary form

of product (3)

Preliminary field testing (4) Planning (2)

Main product revision (5) Main field testing

(25)

merumuskan kecakapan dan keahlian yang berkaitan dengan permasalahan, menentukan tujuan yang akan dicapai pada setiap tahapan, dan jika mungkin/diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas;

3. Develop preliminary form of product; yaitu Mengembangkan jenis/bentuk produk awal meliputi penyiapan materi pembelajaran, penyusunan buku petunjuk, dan perangkat evaluasi mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung, menyiapkan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung;

4. Preliminary field testing;, yaitu melakukan ujicoba lapangan awal dalam skala terbatas. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau angket; 5. Main product revision; yaitu melakukan perbaikan terhadap produk

awal yang dihasilkan berdasarkan hasil ujicoba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukan lebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam ujicoba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diujicoba lebih luas;

6. Main field testing; Melakukan uji coba lapangan utama, dilakukan terhadap beberapa sekolah.

7. Operational product revision; yaitu melakukan

(26)

sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi;

8. Operational field testing; yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan. Melakukan uji lapangan

operasional (dilakukan terhadap 10-30 sekolah, melibatkan 40-200 subjek), data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan kuisioner

9. Final product revision; yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final); 10.Dissemination and implementation; yaitu langkah menyebarluaskan

produk/model yang dikembangkan. Mendesiminasikan dan mengimplementasikan produk, melaporkan dan menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah, bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial, dan memantau distribusi dan kontrol kualitas

Skema tersebut dirujuk dari the major steps in the R & D cycle Borg dan Gall. Pengadaptasiannya diwujudkan dalam bentuk perencanaan teknis sasaran dan jenis kegiatan yang dilakukan dalam tiap tahapnya. Langkah-langkah tersebut bukanlah hal baku yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Ini artinya, kesepuluh langkah tersebut dapat diadaptasikan dengan kondisi dan keadaan dari masing-masing tempat dimana penelitian

(27)

2.1.3 Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Pendidikan kesehatan reproduksi merupakan salah satu proses pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap siswa mengenai pentingnya menjaga dan merawat alat reproduksi mereka. Hariyanto (2010:1) mengemukakan pendapat bahwa pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sedangakan menurut hasil ICPD 1994 di Kairo definisi kesehatan reproduksi adalah keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses. WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

(28)

adalah agar siswa atau siswa memiliki informasi yang benar mengenai sistem, fungsi dan proses reproduksi pada alat reproduksi mereka. Dalam perananya, pendidikan kesehatan reproduksi ini mencakup permasalahan-permasalahan yang terjadi jika mereka kurang

memahami hakikat mereka sebagai seorang remaja yang bertumbuh dewasa dalam hal penjagaan alat reproduksi mereka. Dengan

mengaitkanya pada aspek moral, agama, sosial, budaya, ekonomi dan tettu saja bagi kesehatan mereka siswa diajak untuk menelaah

permasalahan tersebut. Hingga pada akhirnya, terjalin penguasaan konsep terhadap permasalahan mengenai kesehatan reproduksi.

(29)

peneliti yang dipimpin oleh Patricia Cavazos-Rehg dari WUSL mempersempit analisisnya pada tingkat remaja perempuan yang melahirkan pada usia 15 - 17 tahun di 24 negara bagian AS selama tahun 1997 - 2005. Peneliti menemukan bahwa penambahan kurikulum pendidikan seks yang komprehensif di sekolah berkaitan dengan tingkat remaja melahirkan yang lebih rendah. Ketika peneliti melihat latar belakang dari setiap kebijakan yang diambil pada setiap negara bagian, seperti religiusitas dan kebijakan aborsi, negara-negara yang mendapat peringkat tinggi dalam religiusitas dan konservatisme politik memiliki angka remaja melahirkan yang lebih tinggi.

Dikutip dari Wanjek (2012:1) yang menjabarkan temuan yang dimuat jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, penelitian Cavazos-Rehg menegaskan bahwa anak perempuan yang tinggal di negara konservatif mendapat kurikulum pendidikan seks yang kurang berkualitas, mengabaikan pelajaran atau kurang mau melakukan aborsi. Temuan lain didapatkan bahwa angka kehamilan remaja sangat

(30)

liberalisme tinggi, dan memiliki angka remaja melahirkan yang paling rendah, yaitu sebesar 9,7 orang dar 1.000 orang remaja perempuan. Sebelumnya, para peneliti di Drexel University pernah melaporkan temuan serupa pada tahun 2009 dalam jurnal Reproductive Health. Temuan terbaru dari WUSL ini menambahkan bahwa tingkat konservatisme suatu negara juga mempengaruhi kualitas pendidikan seks. Beberapa hubungan yang terjadi antara perilaku seks yang kurang memiliki pengetahuan terhadap kesehatan reproduksinya dengan berbagai

penyebaran penyakit kelamin. Banyak sekali penyakit kelamin yang timbul

akibat dari ketidaktahuan dari para remaja khususnya remaja dalam usia

sekolah menengah pertama salah satu diantaranya adalah penyakit HIV/AIDS.

Penyakit HIV/AIDS meski belum bisa disembuhkan namun bisa dicegah.

Sayangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit ini masih rendah sehingga

masih banyak yang percaya pada berbagai mitos yang salah.

Seperti dikutip dari Anna (2011:1) dalam hasil riset Sexual Wellbeing Global Survei yang dilansir Durex di Jakarta (30/11) terungkap 82 persen orang Indonesia membutuhkan informasi yang benar mengenai penyakit HIV/AIDS. Survei dilakukan secara global dengan melibatkan 1.015 orang di Indonesia. Pendidikan seks yang wajib dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan adalah pengetahuan seputar sistem

(31)

pendidikan kesehatan reproduksi kepada generasi muda ternyata

terbukti dapat menurunkan laju penyebaran penularan penyakit seksual. Terbukti jika hal tersebut menjadi solusi untuk mengurangi kehamilan di luar nikah dan penyebaran penyaki seksual dan bukan malah

merengsang kegiatan seksual bagi para remaja. Selain dari pemerintah, diperlukan peran dari para orang tua tidak menganggap tabu

pembicaraan seks dengan anak. Selain orang tua dan pemerintah, informasi seputar pendidikan seks dan HIV/AIDS juga diharapkan datang dari media massa, terutama televisi karena banyak masyarakat di pedalaman sulit mengakses informasi dari media cetak atau internet.

2.1.4 Workshop

Beberapa literatur menyebutkan bahwa workshop adalah pelatihan kerja, yang meliputi teori dan praktek dalam satu kegiatan terintegrasi. Dimaknai dari kata dasarnya workshop sendiri adalah tempat kerja bisa juga disebut bengkel, inti dari makna workshop adalah tempat tenaga kerja (mekanik,montir dll) melakukan kegiatan teknis dengan didukung alat-alat kerja. Definisi lain dari workshop adalah wadah atau tempat penampungan untuk memodifikasi data dan alat-alat. Dikutip dari artikata.com maka istilah workshop dalam bahasa Inggris memiliki definisi “a brief intensive course for a small group; emphasizes problem

solving”. Dengan begitu maka workshop yang dalam bahasa Indonesia

juga sering disebut sebagai loka karya memiliki makna sebagai

(32)

membahas pemasalahan tertentu. Pada hal ini workshop yang dimaksud adalah workshop pendidikan. Wokshop yang dilakukan lebih bersifat sebagai sosialisasi dari materi pendidikan kesehatan reproduksi.

Sosialisasi sendiri mengacu pada proses individu mulai memahami hakikat diri dan lingkunganya akibat interaksi antar keduanya. Hal ini berarti jika sosialisasi tidak akan terjadi jika hanya ada satu individu tanpa individu lain. Dikutip dari Anonimous (2011) menurut Charlotte Bruner Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya. Para sosiolog mnyebutkan bahwa proses sosialisasi merupakan

implementasi dari role theory (teori peranan), karena dalam proses sosialisasi, individu-individu bertugas untuk menjalankan peranya masing-masing yang terbagi akibat interaksi antar individu tersebut. Dikutip dari wikipedia, sosialisasi memiliki dua macam yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.

Sosialisasi primer merupakan bentuk sosialisasi yang pertama kali terjadi yaitu jenis sosialisasi dalam keluarga, ketika anak masih belum mengenal ligkungan sekitarnya dan hanya mengenal anggota keluarga mereka. Proses ini biasa terjadi pada balita atau anak kecil yang belum sekolah. selanjtnya adalah sosialisasi sekunder yaitu jenis sosialisasi yang mulai terjadi akibat interaksi terhadap orang-orang atau

(33)

memahami peranya masing-masing dalam menjalankan kehidupanya. Tujuan dari sosialisasi antara lain adalah memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat, mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara efektif, membantu mengendalikan fungsi-fungsi yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat dan membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada di masyarakat.

2.1.5 Potensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Potensi pengembangan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi dilihat dari segi dasar pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sudah dirumuskan oleh BNSP pada tahun 2006. Standar yang sudah dirumuskan oleh BNSP tersebut, memiliki materi yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan reproduksi dalam dua mata pelajaran umum yaitu pelajaran Penjasorkes dan IPA terutama Biologi. Tentu saja pengembangan untuk materi tersebut bukan untuk hanya dilihat dan dibaca, namun untuk diimplementasikan sehingga tujuan dari pembuatan SK dan KD tersebut menjadi jelas dan nyata.

(34)

organ manusia dan hewan tertentu, kelainan/penyakit yang mungkin terjadi serta implikasinya pada Salingtemas. Selain itu, pada jenjang mulai dari Sekolah Dasar kelas V hingga Sekolah Menengah Pertama kelas IX juga ditemukan SK yang memuat hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi baik dalam mata pelajaran IPA maupun

Penjasorkes. Diantara SK tersebut antara lain pada mata pelajaran IPA kelas IX dalam SK Memahami Berbagai Sistem Dalam Kehidupan Manusia dan SK Menerapkan Budaya Hidup Sehat yang ada dalam mata pelajaran Penjasorkes pada kelas V, VI, VII, VIII dan IX. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya materi mengenai pendidikan kesehatan reproduksi merupakan materi pokok yang seharusnya diajarkan secara simultan dan terus menerus kepada siswa agar mereka mengetahui bagaimana pola hidup yang sehat dan menghindari perilaku menyimpang terhadap penjagaan kesehatan reproduksi mereka.

2.1.6 Bahan Ajar

(35)

materi atau isi yang dikemas sebagai bahan untuk diberikan kepada para siswa pada saat proses pembelajaran yang disusun secara sistematis dan terencana. Secara umum, bahan ajar berisi tentang pengetahuan, nilai dan keterampilan atas beberapa kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Lebih lanjut, bahan ajar berisi mengenai fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang ada pada materi yang akan diajarkan. Dalam isinya, bahan ajar terdiri atas beberapa konten baik teks, audio, video, dan gambar (bergerak atau diam).

National Center for Competency Based Learning dalam Bandono (2009:1) mendefinisikan bahan ajar sebagai segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dikelas baik berupa tertulis maupun tidakn tertulis. Jika dilihat dari segi fungsinya, bahan ajar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bahan ajar yang digunakan secara langsung, dan bahan ajar yang digunakan secara tidak langsung. Bahan ajar yang digunakan secara langsung merupakan bahan yang digunakan sebagai inti atau pedoman langsung atau juga bisa disebut sebagai bahan utama pada saat proses pembelajaran, seperti hand out, buku cetak, video dan lain

(36)

Menurut panduan pengembangan bahan ajar yang disusun oleh Depdiknas (2007) disebutkan bahwa bahan ajar memiliki tiga fungsi yaitu (1) sebagai pedoman bagi guru yang mengarahan aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa, (2) sebagai pedoman bagi siswa yang mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses

pembelajaran, sekaligus merupakan substnsi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasai, dan (3) sebagai alat evaluasi

pencapaian/penguasaan hasil belajar. Dari pengertian tersebut, maka fungsi bahan ajar memiliki keterkaitan erat antara kemampuan guru dalam merencanakan proses pembelajaran yang berlangsung, dan kemudian mengimplementasikannya hingga yang terakhir melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran kepada para siswa.

(37)

sesuai dengan apa yang mereka suka. Diversifikasi bahan ajar juga akan berdampak pada kemenarikan proses pembelajaran yang

dilaksanakan. Sampai akhirnya, setiap siswa bisa memilih dan mereka berekspresi sesuai dengan ketertarikan mereka terhadap bahan ajar tersebut.

Bahan ajar yang dibuat merupakan bahan ajar yang berisikan fakta tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penanganan kesehatan reproduksi dan beberapa evaluasi yang digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa. Bahan ajar dibuat menjadi dua jenis yaitu bahan ajar cetak berupa buku modul dan bahan ajar non cetak yaitu berupa flip book atau buku flash elektronik. Dengan demikian,

penggunaan masing-masing dari bahan ajar tersebut akan menyesuaikan dari siswa dan lingkungan pembelajaran. Bahan ajar yang dibuat

kemudian diaplikasikan kemudian analisis tentang efektifitas, efisiensi dan daya tariknya selama workshop berlangsung. Efektifitas

penggunaan bahan ajar akan dianalisis melalui tes penguasaan konsep yang diberikan pada awal (pretest) dan akhir (posttest) workshop. Efisiensi penggunaan bahan ajar dianalisis dari aspek waktu yang digunakan untuk mempelajari bahan ajar tersebut melalui rasio penggunaanya dan pada aspek biaya pembuatanya. Daya tarik

(38)

2.1.7 Karakteristik Pembelajaran IPA dan Penjasorkes

Pendidikan kesehatan reproduksi sangat erat kaitanya dengan pelajaran IPA dan Penjasorkes. Pada dasarnya, materi mengenai kesehatan reproduksi sudah mulai diajarkan pada jenjang sekolah dasar dan terintegrasi dengan Penjasorkesorkes. Seperti pada mata pelajaran Penjasorkes kelas V Sekolah dasar di KD ke 5 yaitu “Menerapkan Pola Hidup Sehat”. Pada KD ini, SK yang harus dipelajari oleh siswa yaitu “

5.1 Mengenal Cara Menjaga Kesehatan Alat Reproduksi” dan “5.2

Mengenal Berbagai Bentuk Pelecehan Seksual”. Lebih lanjut lagi

mengenai seluk beluk perbedaan jenis kelamin dan cara reproduksi manusia, akan mulai diajarkan pada pelajaran IPA Terpadu di jenjang SMP. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya materi mengenai kesehatan reproduksi merupakan materi krusial yang sudah mulai diajarkan semenjak Sekolah Dasar. Namun pada implementasinya, para guru sering mengabaikan materi kesehatan reproduksi dengan berbagai macam alasan. Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang karakteristik mata pelajaran Penjasorkesorkes, maka memang sudah sepantasnya materi tentang kesehatan reproduksi menjadi salah satu fokus utama, tidak hanya mengenai senam, permainan dan kegiatan lapangan lainya.

(39)

lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Secara umum struktur materi yang diterapkan pada mata pelajaran Penjasorkes mengacu pada penciptaan gaya hidup sehat dan aktif.

Dari aspek karakteristik pembelajaran IPA, maka materi kesehatan reproduksi merupakan materi yang terkait langsung dengan

pengetahuan kognitif anak tentang bagaimana proses reproduksi dari mahkluk hidup. Depdiknas (2006 : 4) menyatakan bahwa IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat

diidentifikasikan. Dari penjabaran tersebut, dijelaskan bahwa mata pelajaran IPA memegang peranan penting dalam memecahkan masalah sehari-hari, dalam hal ini terutama mengenai cara menjaga organ reproduksi agar dapat berfungsi dengan baik. Jika pada jenjang SMA mata pelajaran IPA sudah mulai dipisahkan berdasarkan pendalaman materinya, maka pada kurikulum 2006, mata pelajaran IPA yang diselenggarakan pada tingkatan sekolah dasar dan menengan pertama merupakan jenis mata pelajaran terpadu.

Shoemaker (1989 :5 ) mendefinisikan kurikulum terpadu sebagai pendidikan yang disusun sedemikian rupa sehingga melintasi garis materi subjek, menyatukan berbagai aspek kurikulum menjadi

(40)

tersebut, Depdikbud (1996 : 3) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu prooses mempunyai beberapa karakteristik atau ciri-ciri holistik, bermakna, otentik dan aktif. Dengan begitu,

karakteristik pada mata pelajaran IPA yang diterapkan bisa

dihubungkan langsung dengan kehidupan sehari-hari secara menyeluruh dan dapat melewati batasan bahasan pada mata pelajaran lain jika hal tersebut masih terhubung dalam satu wilayah materi yang dibahas.

Dari beberapa penjabaran di atas, maka sudah sepatutnya materi

mengenai kesehatan reproduksi merupakan materi yangg ada dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Materi kesehatan reproduksi bukan lagi mmenjadi materi yang tabu untuk diajarkan kepada para siswa.

Sehingga mereka memiliki akses pengetahuan tentang bagaimana kesehatan reproduksi merupakan salah satu hal yang terkait dengan masa depan mereka.

2.2Teori Belajar dan Pembelajaran

Mustaji (2012:4) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah teori yang menawarkan penduan eksplisit bagaimana membantu orang belajar dan berkembang lebih baik. Hilgard (dalam Aqib, 2010:42) mendefinisikan belajar sebagai perubahan tingkah laku dan tidak hanya dalam bidang intelektual saja melainkan seluruh pribadi anak dan didapatkan

perkembangan dalam hal perubahan tingkah laku atas hasil dari proses

(41)

teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya.

Yaumi (2008:1) mengungkapkan bahwa Piaget menemukan ternyata anak-anak berpikir dan beralasan secara berbeda pada periode yang berbeda dalam kehidupan mereka. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya berubah

pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku.

Lebih lanjut, Purwanto (2011:1) menyebutkan bahwa Piaget mengemukakan tentang intelegensi yang merupakan ciri bawaan yang dinamis sebab tindakan yang cerdas akan berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan mendapat pengalaman.

(42)

memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:

a. Tahap sensorimotor (sensorymotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini,

perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.

b. Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif orang lain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.

c. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis

menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik atau konkrit.

(43)

Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8). 3 hal tersebut antara lain struktur, isi dan fungsi. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi.

Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori

perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu; 1. Intelegensi

Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak mendefinisikan secara ketat namun definisi umum yang lebih mengungkap orientasi

biologis. Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan

mekanisme sensiomotor diarahkan. 2. Organisasi

Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem yang lebih tinggi.

3. Skema

(44)

4. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif saat seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.

5. Akomodasi

Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada.

6. Ekuilibrasi

Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi

sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang

menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan

(45)

Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual saat pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui untuk membentuk struktur pengertian yang baru. Setiap orang mempunyai struktur pengetahuan awal (skema) yang berperan sebagai suatu filter atau fasilitator terhadap berbagai ide dan pengalaman yang baru.

Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan, diperbaharui , bahkan diubah untuk dapat memahami

tanyangan pemikiran dari luar. Proses ini disebut adaptasi pikiran. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Dalam pembentukan pengetahuan , Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yakni

pengetahuan fisis, pengetahuan matematis logis, pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.

Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (bentukan) orang itu sendiri. Proses pembentukan

(46)

Selain menggunakan teori perkembangan Piaget, maka teori yang dipakai selanjutnya adalah Menurut Erik Erickson perkembangan Psycho-sosial atau perkembangan jiwa manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dibagi menjadi 8 tahap. Simanjuntak (2011:3) mengungkapkan bahwa Erikson membuat bagan untuk mengurutkan delapan tahapan perkembangan ego dalam psikososial.

a. Trust (percaya) vs Mistrust (kecurigaan) pada usia 0 s.d. 18 bulan Tahap pertama adalah tahap pengembangan rasa percaya diri. Fokus terletak pada Panca Indera, sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.

b. Autonomy (otonomi/Mandiri) vs Shame and Doubt (malu-malu/Ragu-ragu) pada usia 18 bulan s.d. 3 tahun

Tahap ini bisa dikatakan sebagai masa pemberontakan anak atau masa 'nakal'-nya. Namun kenakalannya itu tidak bisa dicegah begitu saja, karena ini adalah tahap dimana anak sedang mengembangkan kemampuan motorik (fisik) dan mental (kognitif), sehingga yang diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk

mengembangkan motorik dan mentalnya. Anak-anak cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan terdekat atau orang-orang penting disekitarnya.

(47)

d. Industry (industri/tekun) vs Inferiority (rasa rendah diri) pada usia 6 s.d. 11 tahun

Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah - termotivasi untuk belajar. Namun masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.

e. Identity (identitas) vs Identity Confusion (kebingungan identitas) pada usia 10 s.d. 20 tahun

Pada tahapan ini anak akan mulai mengeksplorasi kemandirian dan kepekaan terhadap lingkunganya. Selain itu, kehidupanya mulai mempertanyakan jati diri atas status dan perannya dalam kehidupan sosial, sehingga akan banyak muncul hasrat sekaligus kebingungan terhadap dirinya sendiri.

Istiqomah (2012:1) mengungkapkan bahwa menurut Erikson Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan

individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi dan krisis tersebut bukanlah suatu bencana melainkan suatu titik balik peningkatan kerentanan dan

peningkatan potensi. Dengan begitu proses pengembangan bahan ajar materi pendidikan kesehatan reproduksi akan dibuat berdasarkan tingkatan para penggunanya, sehingga dapat memaksimalkan proses penyerapan informasi.

2.3Kajian Penelitian yang Relevan

(48)

pendidikan seks terhadap perubahan sikap remaja mengenai seks pranikah. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 92 orang remaja baik putera maupun puteri di SMK yang berusia 14-17 tahun. Alat ukur yang dipakai untuk mengukur sikap mengenai seks pranikah dalam penelitian ini adalah Skala Sikap Mengenai Seks Pranikah yang disusun berdasarkan pada komponen-komponen sikap dikaitkan dengan bentuk-bentuk aktivitas seksual. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Paired Sample T-test, menunjukkan nilai T sebesar 0,331 dengan taraf signifikansi sebesar 0,741 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan seks terhadap sikap mengenai seks pranikah pada subjek penelitian. Sebelum dan sesudah diberikan pendidikan seks, sikap mengenai seks pranikah pada subjek hanya sedikit mengalami perubahan.

2.3.2 Gender implications of the teaching of relationships and sexuality education for health-promoting schools oleh Patricia Mannix mcNamara, Tomgeary dan Didier Jourdan, Oxford Journal, Universitas Oxford, 2010

(49)

diberikan oleh subyek ujicoba untuk kemudian dianalisis melalui pendekatan pengkodean tematik (thematic coding) dan dikumpulkan kedalam beberapa grup kategori. Hasil penelitian yang diperoleh adalah diperlukanya sikap profesionalime dari guru dan sekolah untuk mengajarkan RSE pada siswa agar dapat menanggulangi

permasalahan mengenai kesehatan reproduksi remaja. 2.3.3 Parents Attitude Towards Imparting Sex Education to Their

Adolescent Girls oleh Payal Mahajan and Neeru Sharma dari P.G. Department of Home Science, University of Jammu, Jammu 180 006, Jammu and Kashmir, India.

Studi ini mempelajari tentang bagaiamana pengaruh orang tua

terhadap pendidikan seksual yang diberikan kepada anak-anak mereka dan pandangan mereka terhadap kehidupan seksual anak-anak mereka. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan pengetahuan anak mengenai pendidikan kesehatan reproduksi.

2.3.4 Parents as Co-Educators: Do Effective Sex Education Programs Include Parents? Oleh Jennie E. Long Dilworth, Ph.D, CFLE dari Georgia Southern University.

(50)

sekaligus mengikat pengetahuan anak mengenai permasalahan seksualitas.

2.3.5 Pengembangan paket pendidikan seks untuk siswa SMP oleh Lina Maulida, Universitas Negeri Malang, Tahun 2011.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan paket pendidikan seks yang berguna, layak, tepat, dan menarik bagi siswa SMP. Produk yang dihasilkan dari pengembangan ini adalah Paket Pendidikan Seks yang terdiri atas (1) panduan Paket Pendidikan Seks untuk konselor, (2) materi Paket Pendidikan Seks untuk siswa, dan (3) lembar jawaban siswa; yang meliputi lembar jawaban untuk materi: (I) Tumbuh Kembang Remaja, (II) Pendidikan Seks, (III) Perilaku Seksual Menyimpang, (IV) Penyakit Menular Seksual. Paket ini disusun dengan menggunakan model pembelajaran experiential learning. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang

menggunakan langkah-langkah pengembangan dari Borg & Gall yang terdiri atas tahap perencanaan, tahap pengembangan produk, dan tahap uji coba. Subyek uji coba adalah ahli, yaitu ahli bimbingan dan

konseling dan ahli bahasa. Subyek uji coba yang lain adalah uji calon pengguna produk, yaitu konselor; dan uji kelompok kecil, yaitu satu kelas siswa SMP.

2.4Kerangka Berpikir

(51)

sudah terintegrasi ke dalam pendidikan jasmani dan kesehatan. Diperlukan sebuah terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan membentuk sebuah bahan ajar dan workshop mengenai perlingungan kesehatan

reproduksi remaja.

Penelitian dimulai dengan melakukan analisa terhadap pelaksanaan pembelajaran dan potensi dari desain bahan ajar workshop. Tahapan

selanjutnya adalah mengaplikasikanya ke dalam bentuk produk yang berupa bahan ajar berbentuk buku elektronik. Dalam pengujianya, maka

dipersiapkan instrumen yang berfungsi untuk menganalisa efektifitas,

efisiensi dan daya tarik dari bahan ajar dan proses workshop yang dilakukan. Pengujian awal dilakukan melalui uji perorangan, uji kelompok kecil dan uji ahli media. Setelah melalui tahapan uji awal, maka selanjutnya adalah melalukan uji lapangan terhadap produk penelitian yang telah direvisi pada proses sebelumnya.

(52)
[image:52.595.123.517.61.483.2]

Gambar 2. Diagram alur penelitian 2.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah :

H0 : Tidak terdapat perbedaan penguasaan konsep pada workshop dengan bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi

H1 : Terdapat perbedaan penguasaan konsep pada workshop dengan bahan ajar pendidikan kesehatan reproduksi Berdasarkan hipotesis tersebut, maka uji hipotesisnya adalah Ho : μ1 = μ2

Ha : μ1 ≠ μ2

Kurikulum Integrasi Pendidikan Seks Belum

Maksimal

Pengetahuan Anak Mengenai Kesehatan

Reproduksi Kurang

Penyalahgunaan dan penyimpangan perilaku

seksual

Pengembangan bahan ajar workshop pendidikan kesehatan

reproduksi

Modul cetak dan flash elektronik

(53)

III. METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengembangkan bahan ajar workshop tentang pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa pada jenjang sekolah menengah. Metode dari penelitian ini yang paling tepat adalah dengan metode penelitian dan pengembangan. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Borg and Gall (1974:62) “Educational research and development (R&D) is a process

used to develop and validate educational product”. Maka setelah produk itu

(54)
[image:54.595.110.531.86.427.2]

Gambar 2. Model desain R&D Borg and Gall (1983)

Produk yang dikembangakan berupa bahan ajar untuk workshop pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja usia sekolah menengah atas yang

disampaikan dengan bantuan modul cetak dan flash elektronik.

3.2Prosedur Penelitian

Sesuai dengan model pengembangan oleh Borg and Gall, maka ada beberapa langkah-langkah yang diadaptasikan sebagai arah pengembangan dari produk yang dihasilkan dalam penelitian kalian ini.

Research and informational collection (1)

Develop preliminary form

of product (3)

Preliminary field testing (4) Planning (2)

Main product revision (5) Main field testing

(6)

Operational product revision

(7)

Operational field testing (8)

Final product revision (9)

(55)
[image:55.595.192.472.98.394.2]

Gambar 3. Desain Pengembangan Produk Diadaptasi Dari model Borg & Gall

Penelitian dimulai dengan menganalisa kebutuhan dari siswa. Kebutuhan itu didasarkan kepada perihal hak dan kewajiban mereka dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Data didapatkan dengan wawancara terhadap guru dan siswa, literatur yang terkait dengan kurikulum pendidikan kesehatan

reproduksi dan beberapa narasumber. Selanjutnya, penelitian dilanjutkan dengan mendesain bahan ajar untuk workshop, termasuk di dalamnya perangkat workshop pada saat pembelajaran berlangsung.

Setelah produksi atas purwarupa bahan ajar untuk workshop selesai, maka dilakukanlah uji validasi oleh ahli yang telah ditunjuk. Jika diperlukan revisi,

Analisis Kebutuhan

Desain Bahan Ajar

Produksi Bahan Ajar

Validasi Ahli

Revisi

(56)

kemudian dilakukan uji coba produk. Desain pengembangan model Borg and Gall pada penelitian ini memuat beberapa tahapan hal penting antara lain:

1. Tahap analisis

Pada tahapan ini, analisis dilakukan dengan studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur yang dilakukan bermaksud untuk mengkaji beberapa literatur-literatur yang sudah ada sebagai bahan awal dalam menyusun produk desain workshop. Literatur yang dimaksud bisa berupa buku cetak maupun pedoman-pedoman lain yang menyangkut tentang workshop dan kesehatan reproduksi. Sedangkan pada studi lapangan bermaksud untuk mengumpulkan untuk kemudian dianalisis kepada siswa, wali murid,guru dan beberapa ahli dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Model pengumpulan data tersebut dilakukan dengan metode kuisionar maupun wawancara. Setelah data didapatkan, maka hal yang selanjutnya adalah melakukan analisa untuk kemudian ditindak lanjuti sebagai bahan desain pengembangan workshop. 2. Tahap perencanaan

Tahapan perencanaan dilakukan untuk menyusun hal-hal yang berkaitan dengan penelitian mulai yang berkaitan langsung dengan produk penelitian maupun segala perihal yang ikut mendukung penelitian. Selain itu, skenario penelitian juga mulai dilakukan guna mengefisienkan dan memaksimalkan proses penelitian yang

(57)

Pada tahapan ini, peneliti mulai merumuskan isi kurikulum yang tercantum dalam pelaksanaan workshop. Perumusan desain juga dapat membantu untuk memperjelas arah pembelajaran pada bahan ajar untuk workshop pendidikan kesehatan reproduksi. tahapan ini memuat isi, tujuan, dan storyboard mengenai pelaksanaan workshop.

4. Tahap pengembangan

Tahap pengembangan adalah tahapan dimana penelitian mulai

memproduksi produk pembelajaran. Produk pembelajaran yang dibuat berupa e-book dengan menggunakan aplikasi flash dan produk media cetak berupa modul.

5. Tahap Uji Ahli

Tahap penilaian merupakan tahapan produk yang sudah dibuat

diperiksa oleh ahli dalam hal ini dosen Magister Teknologi Pendidikan Universitas Lampung. Hal ini dimaksudkan untuk mensuperfisi dari produk yang sudah dibuat. Jika ternyata ditemukan beberapa celah yang harus diperbaiki, maka produk yang sudah dibuat direvisi sehingga siap untuk diuji-cobakan.

6. Tahap Uji Lapangan

(58)

Tahap implementasi berlangsung jika tidak ada revisi lagi terhadap produk yang dihasilkan. Pada tahapan ini, produk sudah siap dilakukan terhadap workshop pendidikan kesehatan reproduksi.

3.3Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada SMA DCC Global School Bandar Lampung dan M.A. Al-Hidayah Pringsewu, Provinsi Lampung. Penelitian dilangsungkan pada periode bulan Januari hingga Maret tahun 2013.

3.4Subjek Uji Coba

Populasi dan sampel yang diambil adalah guru Mata Pelajaran Penjasorkes dan siswa SMA/MA yang berada dalam sekolah para guru tersebut. Siswa yang menjadi subjek uji coba sebanyak 15 anak dengan kemampuan bervariatif dalam pemahaman tentang materi pendidikan kesehatan reproduksi.

3.5Teknik Pengumpulan Data

(59)

diajukan kepada peserta didik.

3.6Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur sesuatu pada saat penelitian berlangsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian kali ini ada tiga macam yaitu instrument untuk studi lapangan, instrument untuk validasi ahli dan instrument untuk penilaian siswa terhadap workshop. A. Instrumen studi lapangan

Instrumen studi lapangan memuat hal-hal yang dibutuhkan sebagai pengumpul data sebelum membuat produk pembelajaran pada workshop pendidikan kesehatan reproduksi. Instrumen berisi angket atau kuisioner dan juga wawancara terhadap siswa, guru, wali murid dan juga beberapa kesehatan reproduksi.

B. Instrument validasi ahli

Instrument validasi ahli adalah instrument yang digunakan untuk menilai produk yang sudah dibuat oleh para ahli. Instrument ini menggunakan rating scale sebagai penilaianya.

C. Instrumen penilaian siswa

(60)

3.7.1 Efektifitas Pembelajaran 3.7.1.1 Definisi Konseptual

Efektifitas pembelajaran adalah kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. Efektifitas pembelajaran berkaitan erat dengan perolehan hasil belajar siswa baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

3.7.1.2 Definisi Operasional

Efektifitas pembelajaran adalah penilaian terhadap penguasaan konsep belajar siswa yang menggunakan bahan ajar berupa e-book pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja jenjang Sekolah Menengah Atas. Hasil data penguasaan konsep yang diperoleh selanjutnya dianalisis nilai gain-nya untuk kemudian dianalisis dengan uji t berpasangan (paired t-test). Uji ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

3.7.2 Efisiensi Pembelajaran 3.7.2.1 Definisi Konseptual

(61)

Efisiensi pembelajaran adalah penilaian tentang rasio penggunaan waktu yang digunakan pada tiap fase penelitian. Pengukuran dilakukan dengan cara membagi jumlah waktu yang diperlukan dengan jumlah waktu yang dipergunakan.

3.7.3 Daya Tarik Pembelajaran 3.7.3.1 Definisi Konseptual

Daya tarik adalah pendeskripsian dari antusiasme pengguna produk dalam penelitian. Daya tarik atas sebuah hal ditentukan oleh seberapa sering pengguna ingin kembali menggunakan produk tersebut karena adanya pengalaman yang menarik.

3.7.3.2 Definisi Operasional

Daya tarik adalah penilaian yang berkaitan dengan antusiasme siswa dalam menggunakan produk hasil pengembangan yaitu bahan ajar workshop pendidikan kesehatan reproduksi. Data diambil dengan cara memberikan angket kepada siswa dengan kriteria skala kemenarikan tertentu dan berkaitan dengan aspek dalam bahan ajar.

3.8Validasi dan kisi-kisi instrumen

(62)

validity). Validasi isi atau yang biasa disebut sebagai validasi kurikulum merupakan validasi yang digunakan untuk mengukur kesesuaian soal dengan membandingkanya pada isi kurikulum. Validasi dalam bentuk ini mengukur apakah soal-soal yang diberikan sudah menunjukkan perwakilan dari isi materi yang disampaikan. Validasi konstruk merupakan validasi yang

digunakan untuk mengukur apakah soal yang diberikan sesuai dengan tujuan pembelajaran atau ciri-ciri dari domain tingkah laku yang hendak diukur.

3.9Teknik Analisis Data 3.8.1 Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif diperoleh dari nilai pretest dan posttest. Nilai pretest dan posttest kemudian diuji menggunakan One-Sample

(63)
[image:63.595.153.508.216.288.2]

rata-rata gain ternormalisasi. Tingkat efektifitas berdasarkan rata-rata nilai gain ternormalisasi dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 3.1 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya

Rata-rata Gain

Ternormalisasi Klasifikasi

Tingkat Efektifitas

Tinggi Efektif

Sedang Cukup Efektif

Rendah Kurang Efektif

(Hake, 1998: 3) Besar rata-rata gain ternormalisasi dihitung dengan persamaan berikut:

Keterangan:

gain ternormalisasi nilai posttest nilai pretest

= nilai maksimum

Analisis efisiensi penggunaan bahan ajar untuk workshop difokuskan pada aspek waktu dengan membandingkan antara waktu yang

diperlukan dengan waktu yang digunakan dalam memahami komponen yang ada di dalam bahan ajar dengan persamaan :

(64)

Nilai Efisiensi Klasifikasi Tingkat Efisiensi

> 1 Tinggi Efisien

= 1 Sedang Cukup Efisien

< 1 Rendah Kurang Efisien

(Degeng, 2000: 174)

3.8.2 Data Kualitatif

Data kualitatif diperoleh dari sebaran angket untuk mengetahui kemenarikan bahan ajar untuk workshop pendidikan kesehatan reproduksi. Kualitas daya tarik dapat dilihat dari aspek kemenarikan dan kemudahan penggunaan yang ditetapkan dengan indikator dengan rentang persentase sangat menarik (90%-100%), menarik (70%-89%), cukup menarik (50%-69%), atau kurang menarik (0%-49%). Adapun persentase diperoleh dari persamaan

[image:64.595.157.508.116.176.2]
(65)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Beberapan hasil kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian

pengembangan bahan ajar workshop pendidikan kesehatan ini antara lain adalah :

1. Potensi pengembangan bahan ajar dan workshop untuk pendidikan kesehatan reproduksi terdapat pada mata pelajaran Penjasorkes kelas X dan XI pada materi menerapkan budaya hidup sehat dan pada mata pelajaran Biologi pada materi menjelaskan struktur dan fungsi organ manusia. Namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara materi tersebut tidak diintegrasikan ke dalam bentuk pembelajaran kesehatan reproduksi yang baik dan belum memberikan hasil yang optimal. Kondisi bahan ajar yang dipakai belum sesuai dengan kebutuhan siswa terutama pada aspek pembentukan sikap dan perilaku dalam melindungi kesehatan reproduksi.

(66)

ASSURE pada tahapan Ana

Gambar

Gambar 1. Prosedur pengembangan Borg & Gall (Sumber: Borg &
Gambar 2. Diagram alur penelitian
Gambar 2. Model desain R&D Borg and Gall (1983)
Gambar 3. Desain Pengembangan Produk Diadaptasi Dari model Borg &  Gall
+3

Referensi

Dokumen terkait

Utama: Setelah selesai melaksanakan kegiatan ini, mahasiswa menjadi terampil dalam melakukan pengambilan darah tepi, membuat apusan, membuat pewarnaan Giemsa, melakukan pemeriksaan

Diisi dengan kategori revisi yaitu: perubahan rincian anggaran yang disebabkan penambahan atau pengurangan pagu anggaran belanja termasuk pergeseran rincian

Menurut anda faktor apakah yang menurut anda penting dalam mengembangkan usaha kerajinan kulit inic. (pilih 3 faktor yang menurut

Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Buruh Tani Di Desa Tanjungrejo Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember.. Evy

[r]

Pada anak yang memiliki aktivitas kurang dan perilaku makan yang tidak sesuai, maka akan terjadi penumpukan lemak akibat adanya ketidakseimbangan kalori yang masuk dengan

Dan Kinerja bank merupakan hal yang penting karena merupakan cerminan dari kemampuan bank dalam mengelola aspek permodalan dan aset nya dalam mendapatkan laba, serta

Berdasarkan hasil evaluasi sensori menunjukkan bahwa tahu koro pedang dapat diterima oleh panelis sebagai perlakuan terbaik yaitu sampel dengan penambahan koro