• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOZOOLOGI MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN

CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KABUPATEN

SUKABUMI, JAWA BARAT

AJENG YUN ILHAMI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

AJENG YUN ILHAMI. Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan RESTI MEILANI.

Pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari satwa, mempengaruhi pengelolaan dan kelestarian satwa tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi pemanfaatan jenis-jenis satwa dan pengelolaannya berdasarkan pengetahuan, kearifan lokal masyarakat adat. Pemanfaatan satwa dan pengelolaannya oleh masyarakat dikumpulkan melalui wawancara terhadap 10 informan menggunakan metode snowball. Sistem pewarisan nilai etnozoologi antar generasi dikumpulkan melalui kuisioner terhadap 66 responden menggunakan teknik proportional stratified random sampling. Terdapat 72 jenis satwa digunakan masyarakat untuk bahan pangan (27 spesies), obat (34 spesies), kesenian dan hiburan (6 spesies), komoditas perdagangan (8 spesies), serta keperluan hajatan dan ritual adat (7 spesies). Pengelolaannya berdasarkan aturan adat dan ajaran leluhur. Sistem pewarisan yang memberikan pengetahuan tertinggi pada generasi penerus adalah mereka yang menerima informasi dari orang tua, tokoh adat, dan tetangga sekitar melalui penyampaian secara lisan ketika usia kanak-kanak (2 – 12 tahun).

Kata kunci: etnozoologi, kasepuhan, satwa

ABSTRACT

AJENG YUN ILHAMI. Ethnozoology of Kasepuhan Ciptagelar Indigenous People, Sirnaresmi Village, Sukabumi Regency, West Java. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and RESTI MEILANI.

Local knowledge and wisdom of Indigenous people of Kasepuhan Ciptagelar in fulfill their needs from animals, affected the management and conservation of animals. This study aimed to identify people’s local knowledge and wisdom on the types of animal utilization and its management. Knowledge and practice on animals utilization and its management were collected through interview with 10 informant that were selected using snowball method. The inheritance system of ethnozoology values were collected through questionnaires distributed to 66 respondents using proportional stratified random sampling technique. There were 72 species of animals used for food (27 species), medicine (34 species), arts and entertainment (6 species), trading commodities (8 species), and customary purpose (7 species). The management was based on the customary rules and ancestral teachings. Inheritance system that caused the highest knowledge in next generation was derived from them who received the information from parents, elders, and neighbors orally when they were child (2 – 12 years).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ETNOZOOLOGI MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN

CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KABUPATEN

SUKABUMI, JAWA BARAT

AJENG YUN ILHAMI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah mengenai pemanfaatan satwa dengan judul Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Resti Meilani, SHut MSi selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya yang telah diberikan kepada penulis. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Abah Ugi, Aki Aang, Kang Yoyo, Bapak Upar, Ibu Nia, dan Bapak Rukanda dari perwakilan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Bapak Amil Buchori selaku sekertaris Desa Sirnaresmi serta Bapak Kohar beserta staff Resort Gunung Bodas Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada teman-teman Pongo pygmaeus 48, BEM FAHUTAN Kabinet Samanea saman dan FAHUTAN 48 atas kebersamaan dan kekompakkannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Instrumen Penelitian 2

Prosedur Penelitian 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4

Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar 5 Pewarisan Nilai Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar 18

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

(12)

DAFTAR TABEL

1 Penggolongan jumlah responden berdasarkan kelompok umur 3 2 Daftar satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

dan status konservasinya 5

3 Jumlah satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

berdasarkan kelompok pemanfaatan 7

4 Persentase jenis satwa berdasarkan kelasnya pada tiap kelompok

pemanfaatan 7

5 Jenis ritual dan hajatan dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar 8 6 Daftar jenis satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan 9 7 Jenis mitos terkait satwa yang dipercaya oleh masyarakat adat

Kasepuhan Ciptagelar 11

8 Daftar jenis hewan ternak untuk kesenian dan hiburan masyarakat adat

Kasepuhan Ciptagelar 12

9 Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan berdasarkan kategori penyakit 15 10 Total jumlah jenis satwa yang diketahui dan/atau dimanfaatkan

masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar antar generasi 18

DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagian yang berkhasiat obat 14

2 Podot landak (Hystrix javanica) 14

3 Jumlah jenis satwa berdasarkan cara pengolahan bagian-bagian tubuh

yang berkhasiat obat 14

4 Kijang (Muntiacus muntjak) anakan untuk ritual mipit bulan Maret 2015 17 5 Cacing sanari (Metaphire longa) setelah dikeringkan 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan

Ciptagelar 25

2 Daftar jenis satwa berkhasiat obat oleh masyarakat adat Kasepuhan

Ciptagelar 30

3 Daftar jenis satwa yang memiliki makna atau mitos 33 4 Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam pemanfaatan

dan pengelolaan satwa 35

5 Proses pewarisan informasi etnozoologi dan karakteristik tiap generasi

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memiliki kekhasan budaya sebagai identitas mereka. Warisan leluhur tersebut hingga kini masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat dan menciptakan berbagai aturan, adat istiadat, serta kebiasaan yang mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat hidup mengandalkan sektor pertanian dan berdampingan dengan sumberdaya hayati dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) termasuk satwa. Satwa hidup di sekitar lingkungan masyarakat adat Kasepuhan mulai dari lingkungan „leuweung’ (hutan alam) hingga „lembur’ (pemukiman) dan beberapa diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari maupun keperluan adat. Pengetahuan lokal mengenai keanekaragaman jenis satwa dan manfaatnya sebagai suatu sistem pengetahuan masyarakat menurut Firmansyah (2009) tentu akan berpengaruh pula terhadap cara-cara pengelolaan lingkungan alam dan sistem-sistem lainnya dalam sistem-sistem budaya yang dimiliki. Hal ini merupakan upaya adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan manfaat tersebut tanpa mengganggu kelestarian satwa di sekitar mereka, khususnya dalam lingkup kawasan TNGHS dengan segala kebijakan pemerintah di dalamnya.

Pengetahuan tradisional dapat dijadikan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam karena menurut Suansa (2011) telah memberikan kontribusi yang besar untuk pelestarian lingkungan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Pengetahuan lokal dapat menjadi sumber informasi mengenai status terkini dari suatu sumberdaya, dinamika ekosistem lokal, keanekaragaman spesies, perilaku suatu spesies, hubungan interaksi dengan komponen-komponen ekosistem, dan karakteristik lingkungan lokal dengan objek-objek di sekitarnya (Seixas dan Begossi 2001). Dengan mengetahui pengetahuan dan pemanfaatan satwa oleh suatu masyarakat, maka interaksi mereka dengan satwa dan kaitannya dalam pemanfaatan berkelanjutan dapat dikaji lebih mendalam. Secara keilmuan kajian seperti ini dikenal dengan „etnozoologi‟ yang menurut Batoro (2012) mempelajari tentang pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman jenis hewan yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat suatu kelompok, etnik, atau suku bangsa. Berdasarkan pemikiran di atas, timbul pertanyaan penelitian tentang bagaimana gambaran jenis-jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, serta bagaimana sistem pewarisan kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat terkait manfaat satwa liar tersebut. Oleh karena itu penelitian etnozoologi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar ini dipandang penting dilakukan, sehingga dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan satwa tetap menjamin kelestarian satwa tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian etnozoologi ini ditujukan untuk mengidentifikasi: 1. Pemanfaatan jenis-jenis satwa dan pengelolaannya,

(14)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pemanfaatan jenis-jenis satwa baik satwa hasil domestikasi maupun satwa liar oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan satwa liar di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi dan kelestarian sumberdaya alam hayati. Selain itu juga dapat memberikan gambaran potensi satwa dan pengelolaan pemanfaatannya secara lestari dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret - April 2015. Pengolahan dan analisis data dilakukan selama dua bulan yaitu April - Mei 2015.

Alat dan Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu alat perekam, kamera, alat tulis, serta software Microsoft Excel 2007. Instrumen dalam penelitian ini yakni panduan wawancara dan kuisioner.

Prosedur Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan

Data penelitian yang dikumpulkan terbagi menjadi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data pemanfaatan satwa dan pengelolaannya oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (nama spesies lokal, nama ilmiah, famili, lokasi dan waktu pengambilan, manfaat, cara pengolahan dan penggunaannya) serta pewarisan etnozoologi yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Data sekunder berupa data kondisi umum lokasi penelitian diperoleh melalui pengumpulan informasi dari berbagai pustaka yang menunjang penelitian.

Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: a. Wawancara

(15)

3 menentukan informan berikutnya yang dianggap penting (Suprapto 2013). Penentuan informan akan selesai jika data telah mengalami kejenuhan dan waktu kegiatan telah habis. Secara keseluruhan jumlah informan yang diwawancarai sebanyak 10 orang meliputi sesepuh, pengurus adat, tokoh masyarakat dan individu lainnya yang mengetahui dan/atau memanfaatkan satwa di lingkungan Kasepuhan Ciptagelar.

b. Kuisioner

Kuisioner semi terbuka digunakan untuk mengumpulkan data tanggapan responden terkait pengetahuannya terhadap satwa beserta pemanfaatannya dan sistem pewarisan informasi antar generasi. Penentuan jumlah sampel (n) dalam proses sampling menurut Suprapto (2013) ditentukan dari populasi darimana unit tersebut berasal, sehingga jumlah sampel diambil dari total populasi penduduk Ciptagelar pada tahun 2014 sebanyak 461 individu dengan rumus:

n = besarnya sampel N = besarnya populasi

P = proporsi sampel penelitian yakni 0.5 atau 50%

D = derajat ketepatan, dengan rumus , dan B = Bound of error sebesar 10%.

Jumlah sampel terpilih sebanyak 66 individu dikelompokkan menjadi empat kelompok umur menggunakan teknik proportional stratified random sampling yang menurut Suprapto (2013) diambil jumlah individu berdasarkan persentase untuk masing-masing kelompok. Sampel diambil dari sebagian penduduk setempat yang telah mencapai masa remaja akhir-dewasa awal (≥ 15 tahun) karena sebagian besar dianggap telah memiliki pengetahuan non spesialis atau kemampuan untuk melakukan suatu keterampilan subsisten sepenuhnya. Selain itu, interval usia yang berselang 15 tahun tersebut cukup sebagai ukuran pembanding (Tabel 1).

Tabel 1 Penggolongan jumlah responden berdasarkan kelompok umur No. Kelompok umur* Jumlah penduduk

(individu)

Jumlah responden (individu)

1 15 – 29 tahun 56 10

2 30 – 44 tahun 130 23

3 45 – 59 tahun 142 25

4 > 60 tahun 45 8

Total 373 66

*Sumber: Zent (2009).

c. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang dapat menunjang kegiatan penelitian. Pustaka yang digunakan meliputi kondisi umum lokasi penelitian yang diperoleh dari situs resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak, penelitian-penelitian terkait yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh pihak lain dengan lokasi penelitian dan/atau topik kajian yang sama, serta

(16)

4

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan satwa.

Pengolahan dan analisis data

Data hasil wawancara dan kuisioner diolah dan dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel 2007 yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kampung Ciptagelar yang secara geografis terletak pada 106o27‟ – 106o33‟ Bujur Timur dan 6o 52‟ – 6o44‟ Lintang Selatan (Mahdi 2014). Secara administratif Kampung Ciptagelar berada di wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Noviandi 2014) dan terletak pada ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.

Kampung Ciptagelar termasuk bagian dari wilayah Resort Gunung Bodas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang mempunyai topografi bergelombang, berbukit-bukit dan bergunung dengan kemiringan lereng berkisar antara 25 – 45%. Wilayah Resort Gunung Bodas secara umum memiliki tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson, dengan perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dan basah adalah 24.7. Suhu rata-rata bulanan di kawasan ini adalah 31.8 o

C dengan suhu terendah 19.7 oC dan suhu tertinggi 33oC. Kelembaban udara rata-rata 88% dengan rata-rata-rata-rata curah hujan yaitu 4 000 – 6 000 mm/tahun. Jenis tanah termasuk ke dalam tipe asosiasi latosol coklat, kekuning-kuningan, latosol coklat kemerahan dan latosol merah dengan jenis batuan merupakan jenis batuan vulkanik.

Lokasi kampung berada dalam kawasan TNGHS sehingga jenis satwa liar di sekitar kampung Kasepuhan Ciptagelar tidak jauh berbeda dengan satwa liar yang tersebar dalam taman nasional tersebut, seperti macan tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa (Hylobatesh moloch), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung (Trachypithecus auratus) dan surili (Prebytis comata), termasuk 61 spesies mamalia, 244 spesies burung, 27 spesies amfibi, 50 spesies reptilia, dan 26 spesies capung yang juga dapat ditemukan di TNGHS (TNGHS 2013). Flora dalam Kampung Ciptagelar diantaranya jawer kotok (Plectranthus scutella), seureuh (Piper betle), antanan (Centella asiatica), huru meuhmal (Actinodaphne glomerata), kukuk (Lagenaria leucantha) dan beberapa jenis tumbuhan berkhasiat obat lainnya (Noviandi 2014).

(17)

5 Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

Jenis-jenis satwa yang dimanfaatkan dan status konservasinya

Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memanfaatkan 72 jenis satwa dari 53 famili dan 11 kelas yang meliputi 35 jenis satwa liar, 22 jenis hewan terdomestikasi (12 hewan ternak dan 10 hewan peliharaan bukan ternak atau pet) serta 15 invertebrata (Lampiran 1). Status konservasi jenis satwa yang dimanfaatkan berbeda-beda berdasarkan redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Apendiks CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (Tabel 2).

Tabel 2 Daftar satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dan status konservasinya

No. Kategori

kelas jenis ∑ %

Jumlah jenis satwa berdasarkan status konservasi

IUCN CITES PP No.

Hewan peliharaan bukan ternak (pet)

1. Mamalia 3 4.2 2 - 1 - - - 3 - - - 3 -

(18)

6

Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan, terbanyak berasal dari satwa liar (48.6%) dibandingkan hewan terdomestikasi (30.6%) dan invertebrata (20.8%; Tabel 2). Letak Kampung Ciptagelar yang berada di dalam kawasan TNGHS menyebabkan keanekaragaman satwa liar di sekitar kampung hampir sama dengan keanekaragaman satwa liar dalam TNGHS yang tergolong cukup tinggi yakni 61 jenis spesies mamalia, 244 spesies burung, 27 spesies amfibi, 50 spesies reptilia, dan 26 spesies capung (TNGHS 2013). Penyebaran satwa liar hampir merata di seluruh kawasan TNGHS, membuka peluang masyarakat untuk bertemu berbagai jenis satwa liar dalam lingkungan kampung.

Satwa liar yang dimanfaatkan meliputi 15 mamalia, 5 reptilia, 2 amfibia, 3 aves, dan 10 actinopterygii (Tabel 2). Hewan terdomestikasi meliputi 12 hewan ternak terdiri dari 3 mamalia, 3 aves serta 6 actinopterygii dan 10 pet yang terdiri dari 3 mamalia dan 7 aves. Invertebrata yang dimanfaatkan mencakup 7 insecta, masing 2 jenis dari kelas arachnida, gastropoda, clitelata, serta masing-masing 1 jenis dari kelas chilopoda dan diplopoda. Mayoritas satwa yang dimanfaatkan pada ketiga kategori beresiko rendah dalam kepunahan ataupun tidak dilindungi. Berdasarkan status kepunahan IUCN, 26 jenis termasuk beresiko rendah atau Least Concern (17 jenis satwa liar, 2 hewan ternak dan 7 jenis pet) sementara 35 jenis lainnya tidak terdaftar dalam IUCN (10 jenis satwa liar, 8 jenis hewan ternak, 3 pet, dan 15 invertebrata). Diketahui 62 jenis dari ketiga kategori satwa (26 jenis satwa liar, 11 jenis hewan ternak, 10 pet, dan 15 invertebrata) tidak terdaftar dalam Apendiks CITES sehingga tidak terdapat peraturan perdagangan internasional yang mengikat jenis tersebut atau dengan kata lain bebas untuk diperdagangkan. Sebanyak 68 jenis satwa yang dimanfaatkan (31 jenis satwa liar, 12 jenis hewan ternak, 10 pet, dan 15 invertebrata) tidak dilindungi oleh PP Nomor 7 tahun 1999. Masih ditemukan beberapa jenis satwa yang dimanfaatkan dilindungi atau terancam punah meliputi: 1) jenis yang berpeluang tinggi mengalami kepunahan menurut IUCN yakni 3 jenis rentan punah (VU), 1 jenis terancam punah (EN), 2 jenis kritis (CR), dan 1 jenis telah dinyatakan punah (EX); 2) jenis yang diatur ketentuan perdagangan internasionalnya oleh CITES akibat kondisi populasinya yang rentan yakni 3 jenis Apendiks I, 5 jenis Apendiks II, dan 1 jenis Apendiks III; serta 3) 4 jenis yang tergolong dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999 dan berlaku hanya di Negara Indonesia. Jenis satwa yang dilindungi dan terancam punah tersebut umumnya berasal dari kategori satwa liar seperti Manis javanica, Nycticebus javanicus, Hylobatesh moloch, Panthera tigris sondaica, Trachypithecus auratus, Aonyx cinerea, Amyda cartilaginea, dan Muntiacus muntjak (Lampiran 1).

Bentuk pemanfaatan satwa dan pengolahannya

(19)

7 cenderung karena kebiasaan tradisi dikalangan masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan satwa sebagai obat dan bahan pangan selain dari tradisi adat juga berasal dari pengalaman trial and error penggunannya sehingga memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan lebih banyak jenis satwa. Komposisi jenis satwa yang dimanfaatkan tiap kelasnya berbeda-beda sesuai dengan kelompok pemanfaatannya. Hanya 1 – 2 kelas satwa diantaranya yang terlihat mendominasi pada kelompok pemanfaatan tertentu (Tabel 4).

Tabel 3 Jumlah satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan kelompok pemanfaatan 6 Satwa sebagai media kesenian dan hiburan

(6 jenis) 8 8 27

7 Satwa berkhasiat obat 47 60 100

Keterangan: (1): Persentase jumlah jenis satwa tiap kelompok pemanfaatan terhadap 72 total jenis satwa yang dimanfaatkan; (2): Persentase jumlah famili satwa tiap kelompok pemanfaatan terhadap 53 total famili satwa yang dimanfaatkan; (3): Persentase jumlah kelas satwa tiap kelompok pemanfaatan terhadap 11 total kelas satwa yang dimanfaatkan; total persentase lebih dari 100% karena ada jenis satwa yang sama yang digunakan untuk lebih dari satu pemanfaatan.

Tabel 4 Persentase jenis satwa berdasarkan kelasnya pada tiap kelompok pemanfaatan

No. Kelas satwa Kelompok pemanfaatan satwa (%)

A B C D E F G Keterangan: A: Satwa untuk bahan pangan (27 jenis); B: Satwa untuk ritual dan hajatan (7 jenis);

(20)

8

Satwa sebagai bahan pangan masyarakat berjumlah 27 jenis dengan jenis-jenis actinopterygii mendominasi dibandingkan kelas lainnya sebesar 59.3% (Tabel 4). Kelas ini meliputi 10 famili yaitu Channidae, Scombridae, Menidae, Trichiuridae, Cyrprinidae, Cichlidae, Poeciliidae, Clariidae, Oshronemidae dan Synbranchiformes. Jenis-jenis actinopterygii yang dimanfaatkan diperoleh dari „balong’ atau kolam ikan (Cyprinus carpio, Carassius auratus, Oreochromis mossambicus, Oreochromis niloticus, Poecilia reticulate, Clarias sp,), persawahan (Monopterus albus danXiphophorus heller), sungai sekitar kampung (Channa gachua, Rasbora argyrotaenia, Puntius binotatus, dan Trichogaster sp.) dan Pasar Pelabuhan Ratu (Euthynnus affinis, Rastrelliger sp., Mene maculate serta Trichiurus lepturus) (Lampiran 1). Bagian satwa yang dikonsumsi adalah daging. Konsumsi daging hewan ternak lebih diperuntukkan untuk hidangan ritual dan hajatan sementara konsumsi daging satwa liar bersifat kondisional. Masyarakat sehari-hari lebih memilih mengonsumsi olahan telur dari Gallus sp., serta berbagai jenis actinopterygii yang diolah menjadi ikan asin ataupun ikan goreng.

Satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan berjumlah 7 jenis yang didominasi oleh mamalia (57.1%; Tabel 4). Satwa tersebut dimanfaatkan untuk ritual „ngaseuk’, ‘mipit’, ‘nganyaran’, ‘sedekah mulud’, ‘sedekah ruah’, ‘seren taun’, ‘rasulan’ dan tradisi „hurip’ serta hajatan, dengan aspek pertanian paling menonjol dibanding lainnya (Tabel 5).

Tabel 5 Jenis ritual dan hajatan dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar No. Jenis ritual

dan hajatan Keterangan

Ritual adat

1. Ngaseuk Ritual memohon kelancaran saat awal masa tanam padi yang disimbolkan dengan prosesi menanam benih padi

2. Mipit Ritual potong padi ketika panen padi pertama kali

3. Nganyaran Ritual prosesi mencicipi padi hasil panen pertama kali (dimulai dari proses menumbuk padi, dimasak ditungku, hingga dinikmati)

4. Sedekah mulud

Ritual perayaan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW 5. Sedekah ruah Ritual perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW 6. Seren taun Perayaan syukuran setelah „ponggokan’ (waktu untuk

mengembalikan segala sesuatunya kepada ketua adat termasuk mengistirahatkan lahan yang menurut Hanafi et al. (2004) selama 21 hari) atas hasil panen selama 1 tahun 7. Rasulan Syukuran atas terlaksananya seluruh kegiatan dan

merupakan waktu pengembalian apa yang diserahkan ketika ‟ponggokan’ dari ketua adat kepada masyarakat

8. Hurip Tradisi meminta restu untuk suatu keperluan ataupun tradisi memberikan ayam kampung (Gallus sp.) sebagai tanda terima kasih.

Hajatan

(21)

9 Ketujuh satwa tersebut digunakan sebagai pelengkap hidangan syukuran setelah ritual maupun hajatan ataupun sebagai pengganti syarat ritual, kecuali kijang (Muntiacus muntjak) dan ayam kampung (Gallus sp.). Kijang diperuntukkan sebagai syarat ritual „ngaseuk’, ‘mipit’dan „nganyaran’, sementara ayam kampung diperuntukkan sebagai syarat sahnya seluruh ritual adat termasuk hajatan (Tabel 6).

Tabel 6 Daftar jenis satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan No. Kelas

SR: Sedekah Ruah; HP: Hurip; NK: Nikahan; KT: Khitanan

(22)

10

sebelum hari ritual tiba. Kijang selanjutnya dikuliti dan diolah dagingnya menjadi hidangan syukuran setelah ritual.

Proses penyembelihan kerbau dilakukan dengan tata cara adat agar sah sebelum digunakan. Modal yang didapat dari ‘sesepuh girang’ untuk penyembelihan kerbau berupa getah dari pohon tenjo (Anisoptera costata Korth), panglay, air dan kemenyan pada penyembelihan kerbau. Peralatan yang digunakan mencakup patok kayu, golok, tali tambang, dan batang pisang sebagai bantalan. Kerbau dibaringkan dengan kepala menghadap ke selatan dan beralaskan batang pisang. Kemenyan, tenjo, dan panglay dibakar kemudian dibawa mengelilingi kerbau. Leher kerbau dibilas dengan air sebelum disembelih. Beberapa bagian disisit sedikit (di„windu’) yang mencakup ujung lidah, alis, kulit dekat tanduk, kuping, kaki kanan bagian depan dan belakang, serta ujung ekor untuk kemudian dikubur di dekat kepala kerbau. Prosesi „sakebo’ kemudian dilakukan sebagai pertanda sahnya penyembelihan kerbau dengan cara menyisit bagian tubuh kerbau secara lengkap mencakup: 1) bagian punuk, 2) belikat, 4) paha, 5) daging rusuk, 6) hati, 7) lidah, 8) tulang rusuk, 9) tulang punggung, 10) kaki depan, 11) darah, 12) limpa, 13) gigi, 14) paru-paru, 15) usus, 16) tulang kaki, 17) babat, dan 18) bagian leher. Penyembelihan pada kambing dan domba dilakukan dengan tata cara yang sama tanpa menggunakan getah tenjo.

Ayam kampung dimantrai dengan kemenyan dan panglay sebelum disembelih. Cara menyembelih ayam kampung jantan berbeda dengan betina. Pada ayam kampung jantan, penyembelih harus menempelkan kaki kanan ke atas kaki kirinya ketika menyembelih, dan berlaku sebaliknya terhadap ayam kampung betina. Hanya pada „rasulan’, kaki dan kepala ayam kampung perlu dicuci sebelum menyembelih dengan tujuan menyucikan. Ayam yang digunakan pada „rasulan’ adalah ayam kampung berbulu putih, berjengger merah dan berkaki kuning atau yang dikenal dengan nama „ayam putih kuning‟ dan terdiri dari 9 ekor jantan dan 1 ekor betina. Jika benar-benar tidak diperoleh ayam kampung, maka dapat diganti dengan telurnya saja yang juga perlu disembelih sebelum digunakan dalam ritual dan hajatan. Penggunaan ayam kampung hidup hanya diperuntukkan pada tradisi „hurip’.

(23)

11 merupakan sejenis ikan yang hidup di darat karena memiliki sisik di tubuhnya. Informasi seperti ini dinilai Firmansyah (2009) sebagai hasil imajinasi konstruktif dimana mitos menjadi bagian dari sistem pengetahuan dan kepercayaan masyarakat. Misalnya pengetahuan masyarakat untuk menangkal petaka dari keberadaan satwa sebagai petanda buruk melalui „jangjawokan’ (cara menyampaikan izin dan tujuan kepada yang bersangkutan), „simpeneun’ (mantra untuk diri sendiri), „bikeneun’ (mantra untuk orang lain) maupun „pakeun’

(mantra untuk diri sendiri dan orang lain).

Tabel 7 Jenis mitos terkait satwa yang dipercaya oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

No. Jenis mitos Jumlah jenis %

1 Pantangan 4 16.7

2 Pertanda baik 3 12.5

3 Pertanda buruk 7 29.2

4 Informasi atau cerita terkait satwa 9 37.5

5 Gejala alam 1 4.2

Total 24 100.0

Hewan ternak sebanyak 8 jenis berfungsi sebagai komoditas perdagangan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri dari 3 mamalia, 3 actinopterygii, dan 2 aves (Tabel 4). Harga jual masing-masing jenis berbeda-beda. Domba, kambing dan kerbau dijual melalui tengkulak atau penampung dengan harga berkisar antara Rp 1 000 000 – Rp 3 000 000 per ekor untuk kambing dan domba, dan Rp 15 000 000 – Rp 20 000 000 per ekor untuk kerbau. Hewan ternak kelas actinopterygii (Oreochromis niloticus, O. mossambicus, dan Cyprinus carpio) dan aves (Cairina moschata dan Gallus sp.) dijual kepada tetangga sekitar dengan kisaran harga kurang dari Rp 100 000 per kilogram untuk jenis-jenis actinopterygii dan lebih dari Rp 100 000 per ekor untuk jenis aves. Perdagangan satwa antar tetangga selain diperuntukkan sebagai penghasilan tambahan, juga untuk membantu ketersediaan hewan ternak untuk ritual dan hajatan, khususnya Gallus sp.

(24)

12

Sebaliknya, di sisi taman nasional perburuan tersebut dikhawatirkan berdampak pada keseimbangan populasi babi hutan di alam.

Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar menggunakan 6 jenis hewan ternak untuk media kesenian dan hiburan yang terdiri dari 1 aves, 2 mamalia, dan 3 actinopterygii (Tabel 4). Bagian tubuh jenis-jenis tersebut digunakan sebagai bahan untuk alat musik, hiasan, maupun media perantara dalam acara hiburan

Gallus sp. Phasianidae 1. bulu/ penyeimbang anak panah

2. seluruh tubuh/ hiburan „mamacan’

Actinopterygii

1. Mas Cyprinus carpio Cyrprinidae seluruh tubuh/ hiburan „seseroan’

2. Mujaer O. mossambicus Cichlidae seluruh tubuh/ hiburan „seseroan’

3. Nila O. niloticus Cichlidae seluruh tubuh/ hiburan „seseroan’

(25)

13 Seni juga diterapkan pada peralatan seperti gagang golok dan pipa rokok yang terbuat dari tanduk kambing dan kerbau. Potongan tanduk dari kepala kambing atau kerbau diambil bagian ujungnya, diamplas bagian permukaan tanduk hingga halus, bagian dalam tanduk dilubangi dengan bor, kemudian ditancapkan bilah pisau pada bagian tersebut sementara tanduk yang tersisa dapat dibuat sebagai hiasan pada penutup golok. Hiasan kepala kambing dibuat dengan cara mengamplas permukaan tanduk kambing kering dan merekatkannya pada bagian atas kepala kambing tiruan yang terbuat dari kayu. Beberapa individu memanfaatkan bulu ayam sebagai penyeimbang pada pangkal anak panah yang lebih bersifat hobi dan tidak digunakan dalam perburuan satwa. Hiburan lain yang ditemui dalam hajatan adalah „seseroan’ dimana pemain yang kerasukan dan memakan ikan mas, mujair, dan nila dalam keadaan hidup sementara pada „mamacan’ pemain akan berperilaku layaknya macan dan memakan ayam kampung hidup.

(26)

14

arak dari janin Muntiacus muntjak yang disimpan selama setahun sebagai antibodi. Selain itu, obat „cimande’ untuk patah tulang dibuat dari campuran kelabang dan kalajengking yang sudah dibakar dan kemudian direndam bersama air santan kelapa hjau dan minyak wijen, perlu disimpan di bawah tanaman pisang mas (Musa acuminata) selama setahun sebelum digunakan. Dengan kata lain, cara dan lama pengolahan juga menyesuaikan kategori penyakit yang ingin disembuhkan.

Gambar 1 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagian yang berkhasiat obat

Gambar 2 Podot landak (Hystrix javanica)

(27)

15 Masyarakat percaya 34 jenis satwa tersebut dapat mengobati sekitar 60 penyakit yang dikelompokkan ke dalam 21 kategori (Tabel 9). Penggunaan satwa lebih beragam jenisnya untuk mengobati gangguan saluran pernapasan (18%) meliputi Macaca fascicularis, Marmota sp., Pteropus sp., Aonyx cinerea, Hemidatylus sp, dan Blatella sp. (Tabel 9). Satu jenis satwa dapat digunakan untuk mengobati lebih dari satu penyakit. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) misalnya. Selain untuk mengobati gangguan pernapasan, monyet ekor panjang juga digunakan untuk mengobati penyakit kulit berupa gatal, koreng, kaki pecah-pecah, dan eksim basah. Penyakit kulit ini merupakan kategori penyakit terbanyak kedua (15%) setelah kategori penyakit pernapasan yang diobati dengan 5 jenis satwa meliputi monyet ekor panjang itu sendiri, Muntiacus muntjak, Manis javanica, Eutropis multifasciata, dan Takydromus sexlineus. Pemanfaatan satwa untuk obat didasarkan pada ajaran leluhur yang perlu dilakukan uji klinis agar dapat diketahui kebenaran khasiat kandungan zat-zat dalam tubuh satwa sebagai obat.

Tabel 9 Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan berdasarkan kategori penyakit

No. Kategori penyakit Jumlah bagian tubuh %

1 Gangguan saluran dan organ pencernaan 4 12

2 Penyakit kulit 5 15

3 Stamina 4 12

4 Gangguan saluran pernapasan 6 18

5 Penyakit disebabkan oleh bakteri 4 12

6 Antibodi 3 8.8

7 Penyakit mata 3 8.8

8 Kecerdasan 1 2.9

9 Penghangat tubuh 3 8.8

10 Masalah pendengaran 1 2.9

11 Gangguan tekanan darah 1 2.9

12 Perawatan kehamilan dan persalinan 1 2.9

13 Penyakit jantung 1 2.9

14 Kesehatan gigi 1 2.9

15 Gangguan otot dan persendian 4 12

16 Kecantikan 1 2.9

17 Kesehatan anak 2 5.9

18 Cedera (luka, memar, patah tulang) 2 5.9

19 Panas demam 4 12

20 Gangguan gizi 1 2.9

21 Gangguan tenggorokan 1 2.9

Keterangan: %: Persentase jumlah jenis dalam tiap kategori penyakit terhadap 34 total jenis satwa yang dipercaya berkhasiat obat dan total persentase lebih dari 100% karena ada jenis satwa yang digunakan untuk lebih dari satu kategori penyakit.

Ketentuan adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan satwa

(28)

16

konservasi seperti pembagian zonasi hutan, adanya pengorganisasian sumberdaya manusia dalam pengelolaan satwa, hingga sistem sanksi bagi pelanggar. Pembagian kawasan „leuweng’(hutan) masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menjadi „leuweng titipan’ (protected forest), ‘tutupan’ (conservation forest) dan „garapan’ (opened forest)menurut Kodir (2009) didasarkan pada intensitas pemanfaatan dan perlindungannya. Aktivitas pemanfaatan satwa diarahkan pada „leuweng garapan’ sebagai batasan tempat satwa boleh dimanfaatkan sehingga di dalamnya banyak ditemukan „balong’(kolam ikan), ‘sampalan’ (tempat menggembalakan kerbau), dan kandang ternak di „lembur’ (pemukiman). Sebaliknya, satwa dalam „leuweng titipan’ dan „tutupan’ dilarang dimanfaatkan mengingat fungsi keduanya sebagai lahan cadangan untuk masa mendatang dengan larangan masuk dan memanfaatkan sumberdaya di dalamnya bagi pihak luar maupun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tanpa seizin „sesepuh girang’. Pembagian ini serupa dengan konsep zonasi pemerintah yang diterapkan dalam TNGHS seperti zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan yang dipandang Hanafi et al. (2004) sangat mungkin „lahir‟ sebagai respon adaptif terhadap konsep zonasi yang disosialisasikan kepada mereka.

Sistem pembagian sumberdaya manusia yang mengelola satwa dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar didasarkan pada tugas turunan leluhur dan relatif serupa dengan pengembangan organisasi pengelolaan satwa liar yang dipelajari oleh Anderson (1985) diacu dalam Alikodra (2010) dari personil, jalur komando, dan hubungan masyarakat. Hubungan ketiganya terlihat dari peran „sesepuh girang’ sebagai komando utama, „rorokan’ dan „baris kolot’ sebagai perpanjangan tangan „sesepuh girang’ dan penanggung jawab, serta masyarakat sendiri sebagai pelaksana, membuat pengelolaan satwa tidak sembarang dan dapat dipantau sesuai porsi masing-masing peranan, diperkuat dengan sanksi berupa

‘kabendon’ (karma atau malapetaka) dari ‘karuhun’ kepada pelanggar. Kepercayaan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap kehadiran sesuatu yang gaib sangat kental, terutama pada kehadiran para „karuhun’-nya (Budi et al. 2014). Pantangan dan kepercayaan terhadap mitos beberapa jenis satwa secara tidak langsung berfungsi untuk melindungi kehadiran satwa-satwa tersebut karena membuat masyarakat lebih berhati-hati dan tidak sembarangan memasuki habitatnya dalam hutan bahkan mengganggu keberadaan satwa itu. Menurut Firmansyah (2009) penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini mempertemukan dunia nyata dengan dunia gaib ternyata menciptakan cara berperilaku yang tidak jauh berbeda dengan prinsip konservasi. Didukung oleh adanya prinsip bahwa alam adalah pinjaman dari leluhur yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan. Menurut Ugi Suganda dan Mufachri Buchori sebagai sesepuh yang ditulis Hanafi et al. (2004), bagi masyarakat Kasepuhan segala sumber daya alam yang mereka kelola adalah milik „empuNya’ sedangkan mereka hanya merupakan pengelola belaka sehingga hasil maupun setiap kegiatan yang mereka lakukan dalam mengelola alam harus minta izin „empuNya’ agar hasil yang mereka peroleh dapat bermanfaat dan mereka nikmati dengan baik.

(29)

17 yang maksimal dapat tercapai yakni: 1) lamanya musim berburu; 2) waktu dibuka dan ditutupnya musim berburu; 3) daftar spesies yang boleh diburu dan jenis kelaminnya; serta 4) jumlah satwa yang dapat diburu. Aturan perburuan kijang secara tradisional oleh masyarakat memang telah memenuhi dua indikator Bailey (1984) diacu dalam Alikodra (2010) yakni lamanya musim berburu serta waktu dibuka dan ditutupnya musim berburu terlihat dari jangka waktu 4 hari pada 3 jenis ritual dalam satu tahun dan larangan berburu di luar musim tersebut. Akan tetapi kegiatan ini masih belum memenuhi pertimbangan daftar spesies yang boleh diburu (kijang tetap diburu meskipun dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999). Terkait jenis kelamin satwa yang diburu, masyarakat mendapatkan janin kijang untuk obat dari produk sampingan hasil buruan kijang betina yang bunting sehingga membuktikan bahwa betina dewasa produktif juga menjadi target buruan. Hal ini akan mempengaruhi jumlah populasi kijang di alam karena keberadaan betina yang bunting menurut Alikodra (2010) menentukan tingkat keberhasilan reproduksi satwa itu sendiri. Jumlah satwa buruan (kuota perburuan) juga menjadi bahan pertimbangkan lainnya, sementara jumlah kijang yang diburu masyarakat bersifat kondisional. Selain itu perburuan juga belum mempertimbangkan struktur umur satwa buruan terlihat dari kijang hasil buruan anakan pada „mipit’ bulan Maret 2015 (Gambar 4). Alikodra (2010) berpendapat bahwa pemanenan hasil yang lestari (Sustained Yield) menuntut agar panen per tahunnya tidak boleh menyebabkan penurunan populasi, sementara kijang sendiri dilindungi PP Nomor 7 Tahun 1999 karena populasinya di alam yang menurun tajam, kondisi populasi yang kecil, serta wilayah penyebaran yang terbatas. Populasi yang kecil menjadi salah satu sebab kepunahan suatu jenis (Alikodra 2010) dan resiko tersebut akan semakin meningkat jika perburuan terhadap betina produktif dan anakan diburu tetap dilakukan. Walaupun perburuan kijang oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak bersifat eksploitatif, namun belum dapat dikatakan mampu menjamin kelestarian satwa buruannya dan tetap beresiko untuk punah sehingga perlu dilakukan penangkaran kijang sebagai upaya pemanfaatan yang berkelanjutan.

Gambar 4 Kijang (Muntiacus muntjak) anakan untuk ritual „mipit’ bulan Maret 2015

(30)

18

ditangkap. Ekstrak akar tuba mengandung zat yang disebut rotenon (C23H22O6) yang efektif dalam membunuh ikan karena menurut Jayadipraja et al. (2012) karena lipofilik rotenon mudah diambil melalui saluran pernapasan insang. Rotenon akan rusak bila terkena sinar matahari dengan masa singkat 6 hari di lingkungan dan 6 bulan dalam air. Akan tetapi penggunaannya secara terus menerus sebagai racun ikan menurut Sihombing et al. (2013) akan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan, sehingga Jayadipraja et al. (2012) menyarankan penggunaan dosis ekstrak akar tuba yang lebih kecil untuk lingkungan.

Pewarisan Nilai Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

Gambaran pengetahuan dan pemanfaatan satwa oleh masyarakat

Pewarisan nilai etnozoologi pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi melalui pengetahuan dan pemanfaatan satwa antar generasi yang dimiliki oleh 66 responden terpilih pada berbagai kelompok umur (KU; Tabel 1). Jika dibandingkan dengan jumlah jenis satwa yang diketahui pemanfaatannya oleh sesepuh adat (72 jenis; Tabel 3), pengetahuan masyarakat tiap generasi pada masing-masing kelompok pemanfaatan relatif sedikit kecuali pada kelompok pemanfaatan untuk ritual dan hajatan (57% – 100%; Tabel 10), yakni 22% – 59% untuk bahan pangan, 21% – 54% yang dipercaya sebagai mitos, 38% – 75% untuk komoditas perdagangan, 25% – 75% untuk kegiatan pertanian,17% – 33% untuk kesenian dan hiburan, serta 15% – 50% untuk obat-obatan.

Tabel 10 Total jumlah jenis satwa yang diketahui dan/atau dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar antar generasi

No. jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat terhadap jumlah jenis satwa yang diketahui dan/atau dimanfaatkan sesepuh dan tokoh adat.

(31)

19 Pengetahuan generasi usia 15 – 29 tahun (KU I) mengenai jenis satwa yang digunakan pada sebagian besar kelompok pemanfaatan relatif rendah, kecuali pada kelompok pemanfaatan satwa untuk komoditas perdagangan dan kegiatan pertanian. Kedua kelompok pemanfaatan tersebut tidak banyak diketahui oleh generasi usia lebih atau sama dengan 60 tahun (KU IV) yaitu 38% dan 25%. Perbedaan pengetahuan antar generasi ditafsirkan Zent (2009) sebagai indikasi perubahan, dan tidak terjadinya perubahan yang signifikan menunjukkan retensi. Retensi pada pemanfaatan satwa untuk ritual dan hajatan antar generasi disebabkan adanya tuntutan kewajiban melaksanakan ritual dan hajatan sebagaimana yang leluhur ajarkan termasuk jenis-jenis satwa yang wajib digunakan di dalamnya serta sanksi „kabendon’ (petaka) bagi pelanggar, sehingga pengetahuan yang didapat dari sesepuh adat tersebut tetap diingat, diimplementasikan, dan dipertahankan dari generasi ke generasi.

Proses pewarisan nilai etnozoologi oleh masyarakat

Mayoritas masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar mendapatkan informasi terkait nilai-nilai etnozoologi dari orang tua (98.5%), sesepuh dan tokoh adat (89.4%), serta tetangga sekitar (78.8%; Lampiran 5). Informasi ini umumnya disampaikan secara lisan (95.4%) ketika penerima berusia kanak-kanak (42.4%) hingga remaja (40.9%) dengan rentang usia 2 – 17 tahun. Mereka cenderung tertarik terhadap informasi yang berkaitan dengan satwa (77.3%), walaupun sebagian kecil diantaranya mengaku sebaliknya karena faktor minat mereka pada hal-hal selain satwa, kekhawatiran akan gangguan satwa liar hingga rasa jijik pada pemanfaatan jenis satwa tertentu, misalnya pemanfaatan otak Macaca fascicularis untuk obat pernapasan.

(32)

20

tidak ditemukan aktivitas fasilitasi terhadap generasi muda dengan media pustaka namun melalui lisan dan praktik.

Keberagaman sumber informasi, usia ketika menerima informasi, minat serta cara pewarisan informasi memberikan pengaruh yang berbeda terkait pengetahuan jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan pada tiap generasi. Persentase pengetahuan tertinggi terdapat pada mereka yang memperoleh informasi dari orang tua, tokoh adat, dan tetangga sekitar secara lisan maupun praktik ketika usia kanak-kanak hingga remaja (Lampiran 5). Hal ini juga didukung dengan besarnya minat terhadap informasi etnozoologi. Akan tetapi, informasi yang disampaikan oleh orang tua, tokoh adat, dan tetangga sekitar dapat sama (36% pada KU III) maupun berbeda seperti pada KU I (24% dari orang tua, 21% dari tokoh adat dan tetangga), KU II (61% dari orang tua dan tokoh adat, 58% dari tetangga sekitar), KU IV (26% dari orang tua, 22% dari tokoh adat dan tetangga). Kondisi sekitar lingkungan Kasepuhan dapat memperluas atau mempersempit informasi pemanfaatan satwa dari pemanfaatan yang sebenarnya. Misalnya adanya keterbatasan akses untuk mengambil dan memanfaatkan satwa liar dari hutan karena terkendala aturan pemerintah yang hanya memperbolehkan pemanfaatan satwa secara tradisional untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi di kawasan taman nasional (Pasal 34 Paragraf 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011), kendala dari satwa liar itu sendiri yang memang sulit ditemukan dan ditangkap, ataupun proses pengolahan satwa yang cenderung sulit dan lama sehingga orang tua memilih alternatif lainnya (pemanfaatan ternak, bahan pangan instan, obat generik, dan sebagainya) untuk disosialisasikan kepada anak. Akibatnya hanya beberapa jenis satwa liar yang diketahui dan/atau dimanfaatkan sang anak. Pengetahuan tersebut berpeluang untuk bertambah dengan kehadiran sumber informasi lainnya yang menunjang fungsi pewarisan budaya itu sendiri. Misalnya program-program pada CIGA TV (stasiun televisi lokal milik masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang didirikan pada tahun 2008). Keterlibatan masyarakat di dalam media massa lokal dinilai Dominick (2011) diacu dalam Rachelita dan Ispandriamo (2014) memenuhi fungsi pewarisan budaya meliputi: 1) memperkuat kesepakatan nilai sosial dalam masyarakat lokal; 2) mengulas kehidupan dan kearifan masyarakat lokal; 3) membangkitkan identitas kultural; serta 4) pengambilan makna.

(33)

21 bersifat pemberani sehingga tidak terhambat rasa takut kalau dirinya diejek teman-temannya sebagaimana ditakuti anak yang lebih besar; serta 3) anak belia mudah dan cepat belajar karena tubuh yang masih sangat lentur dan keterampilan yang dimiliki baru sedikit sehingga keterampilan baru tidak mengganggu keterampilan yang sudah ada.

Masa remaja masih menjadi masa yang baik untuk mempelajari sesuatu. Masa ini merupakan masa peralihan. Hurlock (1980) menyatakan bahwa pada masa remaja, hal-hal yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, walaupun mungkin terdapat perubahan minat sebagai proses peralihan menuju fase remaja. Berbeda dengan usia dewasa. Sekali seseorang menemukan pola hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya (Hurlock 1980). Kekhasan inilah yang membuat generasi usia dewasa lebih memilih dan memilah informasi mengenai satwa yang diterimanya sesuai dengan kekhasan dirinya, termasuk pemanfaatan mana yang dirasa penting dengan yang tidak penting untuk ia lakukan.

(34)

22

pendidikan formal) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap banyak tidaknya pengetahuan etnozoologi yang dimiliki oleh tiap generasi dalam masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.

Gambar 5 Cacing sanari (Metaphire longa) setelah dikeringkan

Sistem pewarisan etnozoologi berdasarkan proses pewarisan dan karakteristik yang dimiliki tiap generasi, diduga akan lebih efektif jika: 1) terdapat persamaan informasi terkait pemanfaatan satwa yang disampaikan orang tua, tokoh adat, tetangga sekitar serta adanya keterlibatan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam media informasi lainnya untuk memenuhi fungsi pewarisan budaya; 2) informasi yang disampaikan kepada generasi muda dilakukan sejak kanak-kanak dan terus dilakukan hingga dewasa; 3) pewarisan pengetahuan mengenai satwa dapat dioptimalkan melalui percakapan sehari-hari (lisan) dan praktik langsung saat terdapat aktivitas pemanfaatan, serta melalui media lain yang dapat menarik minat generasi muda; dan 4) interaksi masyarakat dengan satwa ditingkatkan baik pada peran perempuan maupun laki-laki, pada berbagai bidang pekerjaan, serta pada beragam pendidikan formal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(35)

23 pemanfaatan yang dilakukan generasi penerus berbeda dengan generasi dahulu berkaitan dengan jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan. Sistem pewarisan yang memberikan pengetahuan tertinggi pada keempat generasi penerus adalah mereka yang menerima informasi dari orang tua, tokoh adat, dan tetangga sekitar melalui penyampaian secara lisan ketika usia kanak-kanak (2 – 12 tahun).

Saran

Adapun saran yang dapat direkomendasikan berdasarkan penelitian ini mencakup:

1. Perlunya pihak TNGHS maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar berkaitan dengan satwa yang dimanfaatkan untuk menjamin pengelolaan dan pemanfaatan satwa yang lestari dan berkelanjutan,

2. Perlunya pihak TNGHS maupun masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar mengembangkan penangkaran bagi kijang (M. muntjak) dan jenis-jenis satwa dilindungi dan/atau terancam punah yang dimanfaatkan langsung dari alam sebagai upaya konservasi eksitu untuk mendukung pemanfaatan satwa yang berkelanjutan,

3. Perlunya orang tua, sesepuh adat dan tetangga sekitar dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memberikan informasi etnozoologi kepada generasi muda sejak usia kanak-kanak (2 – 12 tahun), dengan cara menyisipkan materi pemanfaatan satwa dan pengelolaannya melalui: 1) percakapan sehari – hari (lisan) serta partisipasi aktif dalam forum adat untuk mempertahankan pengetahuan lokal dan kearifan lokal masyarakat; 2) melalui media lokal (CIGA TV, handphone, dan radio lokal)

4. Perlunya pemerintah daerah mengintergrasikan nilai adat dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah melalui muatan lokal, khususnya untuk pelajar usia 2 – 12 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): IPBPress.

Budi DSU, Soedarsono RM, Haryono T, Narawati T. 2014. Angklung dogdog lojor pada upacara seren taun. Resital. 15(2): 139 – 151.

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2015. Checklist of CITES species. [internet]. (diunduh 2015 Mei 18). Tersedia pada: http://checklist .cites.org/#/en.

Firmansyah M. 2009. Pengelolaan lingkungan di Kasepuhan Ciptagelar. PendarPena. 2(4): 18 – 19.

(36)

24

Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2015. The IUCN red list of threatened species version 2015.2. [internet]. (diunduh 2015 Mei 18). Tersedia pada: http://www.iucn redlist. org/.

Jayadipraja EA, Ishak H, Arsin AA. 2012. Uji efektifitas ekstrak akar tuba (Derris elliptica) terhadap mortalitas larva Anopheles sp. [makalah]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.

Kodir A. 2009. Keanekaragaman dan bioprospek jenis tanaman dalam sistem kebun talun di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mahdi M. 2014. Peranan nilai adat dalam modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Noviandi IP. 2014. Pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Kasepuhan di Kampung Ciptarasa dan Ciptagelar Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta (ID): Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Rachelita YL. Ispandriarno LS. 2014. Fungsi media massa lokal sebagai pewarisan nilai budaya (analisis isi fungsi pewarisan nilai budaya dalam berita Pahargyan Ageng GKR Hayu dan KPH Notonegoro di SKH KR periode 13 Agustus – 27 Oktober 2013). Jurnal Ilmu Komunikasi. 1 - 4. Seixas CS, Begossi A. 2001. Ethnozoology of fishing communities from Ilha

Grande (Atlantic Forest Coast, Brazil). Journal of Ethnobiology. 21(1): 107 – 135.

Sihombing M, Afiffuddin Y, Hakim L. 2013. Bahan anti nyamuk (mosquito repellent) dari akar tuba (Derris elliptica (Roxb.) Benth). Peronema Forestry Science Journal. 2(2): 39 – 43.

Suansa NI. 2011. Penggunaan pengetahuan etnobotani dalam pengelolaan hutan adat Baduy [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sulismadi, Sofwani A. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang (ID): UMMPress.

Suprapto. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta (ID): PT Buku Seru.

[TNGHS] Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Keanekaragaman hayati. [Internet]. (diunduh 2014 Juli 4). Tersedia pada: http://halimunsalak.org/ tentang-kami/keanekaragamanhayati/.

(37)

Lampiran 1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

No. Kategori satwa Nama ilmiah Famili Status konservasi Kelompok pemanfaatan

PP No.7/ 1999 CITES IUCN A B C D E F G Pet A. Satwa liar

Mamalia

1. Owa jawa Hylobates moloch Hylobatidae dilindungi I En √

2. Harimau jawa Panthera tigris sondaica Felidae dilindungi I Ex √

3. Lutung jawa Trachypithecus auratus Cercopithecidae - II Vu √

4. Babi hutan Sus scrofa Suidae - - Lc √

5. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae - II Lc √

6. Tikus Rattus sp Muridae - - Lc √

7. Mencit Mus musculus Muridae - - Lc √

8. Landak jawa Hystrix javanica Hystricidae - - Lc √ √ √

9. Kijang Muntiacus muntjak Cervidae dilindungi - Lc √ √ √

10.Kalong Pteropus sp. Pteropodidae - - - √

11.Trenggiling Manis javanica Manidae dilindungi II Cr √ √ √

12.Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus

Viverridae - III Lc

13.Kukang jawa Nycticebus javanicus Lorisidae - I Cr √ √

14.Sero Aonyx cinerea Mustelidae - II Vu √

15.Lutung kumang - - -

Reptilia

1. Viper tanah Calloselasma rhodostoma Viperidae - - Lc √

2. Kadal kebun Eutropis multifasciata Scincidae - - - √

3. Cicak Hemidactylus sp. Gekkonidae - - - √

Keterangan: PP No. 7 /1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; Dd: Data Deficient; Lc: Least Concern;Nt: Near Threatened; Vu:

Vulnerable; En: Endangered; Cr: Critically Endangered; Ex: Extinct; I: Apendiks I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks III CITES; A: Satwa

untuk bahan pangan; B: Satwa untuk ritual dan hajatan; C: Satwa komoditas perdagangan; D: Satwa berkhasiat obat; E: Satwa sebagai media kesenian

(38)

Lampiran 1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (lanjutan)

No. Kategori satwa Nama ilmiah Famili Status konservasi Kelompok pemanfaatan

PP No.7/ 1999 CITES IUCN A B C D E F G Pet A. Satwa liar (lanjutan)

Reptilia

4. Labi-labi Amyda cartilaginea Trionychidae - II Vu √

5. Kadal rumput Takydromus sexlineatus Lacertidae - - Lc

Amfibia

1. Kodok buduk Duttaphrynus melanostictus Bufonidae - - Lc √

2. Bancet Oridozyga sp. Dicroglossidae - - Lc √

Aves

1. Burung walet Aerodramus fuciphagus Apopidae - - Lc √

2. Burung wiwik kelabu Cacomantis merulinus Cuculidae - - Lc √

3. Burung hantu - - - √

Actinopterygii

1. Belut sawah Monopterus albus Synbranchiformes - - - √ √

2. Ikan gabus Channa gachua Channidae - - Lc √

3. Ikan tongkol Euthynnus affinis Scombridae - - Lc √

4. Ikan kembung Rastrelliger sp. Scombridae - - Dd √

5. Ikan kantung semar Mene maculata Menidae - - - √

6. Ikan layur Trichiurus lepturus Trichiuridae - - - √

7. Ikan paris Xiphophorus helleri Poeciliidae - - - √

8. Ikan paray Rasbora argyrotaenia Cyprinidae - - - √

9. Ikan beunteur Puntius binotatus Cyprinidae - - Lc √

10. Ikan sepat Trichogaster sp. Oshronemidae - - Lc √

Keterangan: PP No. 7 /1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; Dd: Data Deficient; Lc: Least Concern; Nt: Near Threatened; Vu:

Vulnerable; En: Endangered; Cr: Critically Endangered; Ex: Extinct; I: Apendiks I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks III CITES; A: Satwa

untuk bahan pangan; B: Satwa untuk ritual dan hajatan; C: Satwa komoditas perdagangan; D: Satwa berkhasiat obat; E: Satwa sebagai media kesenian dan hiburan; F: Satwa untuk kegiatan pertanian; G: Satwa yang memiliki nilai makna; Pet: Peliharaan bukan ternak

(39)

Lampiran 1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (lanjutan)

No. Kategori satwa Nama ilmiah Famili Status konservasi Kelompok pemanfaatan

PP No.7/ 1999 CITES IUCN A B C D E F G Pet

B. Hewan terdomestikasi Hewan ternak

Mamalia

1. Domba Ovis aries domestica Bovidae - - - √ √ √

2. Kambing Capra hircus Bovidae - - - √ √ √ √ √ √ √

3. Kerbau Bubalus bubalis Bovidae - - - √ √ √ √ √ √ √

Aves

1. Entok Cairina moschata Anatidae - III Lc √ √ √

2. Ayam kampung Gallus sp. Phasianidae - - - √ √ √ √ √ √

3. Ayam broiler Gallus gallus domesticus Phasianidae - - - √

Actinopterygii

1. Lele Clarias sp. Clariidae - - - √

2. Ikan mujaer Oreochromis mossambicus Cichlidae - - Nt √ √ √ √

3. Ikan nila Oreochromis niloticus Cichlidae - - - √ √ √ √

4. Ikan bungkreung Poecilia reticulata Poeciliidae - - - √ √ √ √

5. Ikan mas Cyprinus carpio Cyrprinidae - - Vu √ √ √ √ √

6. Ikan mas koki Carassius auratus Cyprinidae - - Lc

Hewan peliharaan bukan ternak (pet)

Mamalia

1. Kelinci Lepus nigricollis Leporidae - - Lc √ √

2. Anjing Canis familiaris Canidae - - - √ √ √

3. Kucing Felis catus Felidae - - - √ √

Keterangan: PP No. 7 /1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; DD: Data Deficient; LC: Least Concern;NT: Near Threatened; VU:

Vulnerable; EN: Endangered; CR: CriticallyEndangered; EX: Extinct; I: Apendiks I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks III CITES; A: Satwa

untuk bahan pangan; B: Satwa untuk ritual dan hajatan; C: Satwa komoditas perdagangan; D: Satwa berkhasiat obat; E: Satwa sebagai media kesenian

(40)

Lampiran 1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (lanjutan)

No. Kategori satwa Nama ilmiah Famili Status komservasi Kelompok pemanfaatan

PP No.7/ 1999 CITES IUCN A B C D E F G Pet

Hewan peliharaan bukan ternak (pet) (lanjutan)

Aves

1. Cucak Hijau Chloropsis sonnerati Chloropseidae - - Lc √

2. Cucak jenggot Alophoixus bres Pycnonotidae - - Lc √

3. Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae - - Lc √

4. Ciblek gunung Prinia atrogularis Cisticolidae - - Lc √

5. Kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae - - Lc √

6. Gelatik wingko Parus cinereus Estrildidae - - - √

7. Gereja Passer montanus Passeridae - - Lc

C. Invertebrata Insecta

1. Lalat hijau Lucilia caesar Calliphoridae - - - √

2. Jangkrik Acheta domesticus Haglotettigoniidae - - - √ √

3. Tawon Vespa sp. Vespidae - - - √ √

4. Belalang Oxya sp. Baissogryllidae - - - √ √

5. Kecoa Blattella sp. Blattellidae - - - √

6. Kupu-kupu

(harimeme)

- - - - -

7. Ulat sinanangkep - - - √

Arachnida

1. Kalajengking - - - - - √

2. Laba-laba - - - √

Keterangan: PP No. 7 /1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; Dd: Data Deficient; Lc: Least Concern;Nt: Near Threatened; Vu:

Vulnerable; En: Endangered; Cr: Critically Endangered; Ex: Extinct; I: Apendiks I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks III CITES; A: Satwa

untuk bahan pangan; B: Satwa untuk ritual dan hajatan; C: Satwa komoditas perdagangan; D: Satwa berkhasiat obat; E: Satwa sebagai media kesenian dan hiburan; F: Satwa untuk kegiatan pertanian; G: Satwa yang memiliki nilai makna; Pet: Peliharaan bukan ternak

(41)

Lampiran 1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (lanjutan)

No. Kategori satwa Nama ilmiah Famili Status konservasi Kelompok pemanfaatan

PP No.7/ 1999 CITES IUCN A B C D E F G Pet

C. Invertebrata (lanjutan) Gastropda

1. Keong racun Achatina fulica Achantinidae - - - √

2. Tutut jawa Filopaludina javanica Viviparidae - - -

Clitellata

1. Cacing sanari Metaphire longa Megascolecidae - - - √

2. Cacing kalung Pheretima aspergillum Megascolecidae - - - √

Chilopoda

1. Kelabang Scolopendra sp. Scolopendridae - - - √

Diplopoda

1. Kaki seribu Spirostreptus sp. Spirostreptida - - - √

Keterangan: PP No. 7 /1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; Dd: Data Deficient; Lc: Least Concern; Nt: Near Threatened; Vu:

Vulnerable; En: Endangered; Cr: Critically Endangered; Ex: Extinct; I: Apendiks I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks III CITES; A: Satwa

untuk bahan pangan; B: Satwa untuk ritual dan hajatan; C: Satwa komoditas perdagangan; D: Satwa berkhasiat obat; E: Satwa sebagai media kesenian dan hiburan; F: Satwa untuk kegiatan pertanian; G: Satwa yang memiliki nilai makna; Pet: Peliharaan bukan ternak

(42)

Lampiran 2 Daftar jenis satwa berkhasiat obat oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar No. Kelas

Jenis Nama ilmiah Famili Bagian yang digunakan/manfaat/ cara pengolahan

Mamalia

1. Monyet ekor

panjang

Macaca fascicularis Cercopithecidae

1. daging/ gatal, koreng, panas/ dimasak

2. otak/ kecerdasan, pernapasan, darah tinggi/ dimakan mentah atau dimasak

3. Mencit Mus musculus Muridae Seluruh tubuh/ sakit pinggang, penghangat, stamina/ dimakan mentah

4. Landak jawa Hystrix javanica Hystricidae Podot landak/ obat pemulih pasca melahirkan/ dibuat dodol jahe

5. Marmut Marmota sp. Sciuridae Darah/ obat asma dan tipus/ diminum mentah

6. Kambing Capra hircus Bovidae Empedu/ antibodi/ dimakan mentah

7. Kerbau Bubalus bubalis Bovidae Empedu/ antibodi/ dimakan mentah

8. Kijang Muntiacus muntjak Cervidae 1. janin/ antibodi/ dibuat arak

2. kulit/ obat kulit/ dibakar, dioleskan minyak kelapa

3. Kalong Pteropus sp. Pteropodidae Daging/ obat asma/ dibakar

4. Trenggiling Manis javanica

Manidae 1. darah/ obat kaki pecah-pecah/ dioleskan darah segar

2. daging/ obat pegal linu/ dimasak

3. sisik/ kecantikan/ dibakar

1. feses/ obat jantung dan lambung/ dikeringkan

2. feses/ obat mata/ air rendaman buah aren tua dari feses musang diteteskan ke mata

5. Muka Nycticebus javanicus Lorisidae Darah/ penghangat tubuh/ diminum mentah

6. Sero Aonyx cinerea Mustelidae Daging/ obat asma/ dimasak

7. Kelinci Lepus nigricollis Leporidae Daging/ obat panas/ dimasak

Aves

1. kuning telur/ stamina/ dicampur madu, air dan kunyit; diminum

2. tembolok/ obat maag/ rebusan 3 gelas jamur kuping dan tembolok kering dibuat jadi

1 gelas

3. Walet Aerodramus

fuciphagus

Apopidae 1. sarang dari air liur / stamina/ dimasak atau dimakan mentah

2. anakan/ stamina, kurang gizi/ dimasak

4. Bentet

kelabu

Lanius schach Laniidae Lidah/ lancarkan bicara pada anak/ dibakar dan dimakan

Gambar

Tabel 2 Daftar satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
Tabel 3 Jumlah satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
Tabel 5  Jenis ritual dan hajatan dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
Tabel 6  Daftar jenis satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

(3) mengetahui pertentangan atau kendala yang ada dalam pengambilan keputusan didalam rumah tangga masyarakat lokal antara pelestarian hutan dengan usaha. memenuhi

Ikatan yang sangat kuat yang sudah terbangun sejak leluhur (Kasepuhan) maka hubungan Incu-putu antar ketiga Kasepuhan yang ada di desa Sirnaresmi ini, yakni

Pokok masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah Skripsi ini membahas tentang Akulturasi Budaya Lokal dengan Budaya Islam dalam adalah bagaimana

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks topografi, demografi, dan budaya Kota Sukabumi, (2) mendeskripsikan proses ritual sawer dalam tradisi pernikahan

STUDI ETNOMATEMATIKA: MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL BUDAYA DAN MATEMATIKA PADA RITUAL NUTU NGANYARAN.. MASYARAKAT KASEPUHAN

Jenis tanaman tingkat (fase) pertumbuhan pohon yang mendominasi kebun talun di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Sukabumi adalah jenis Aren (Arenga

Kritik terhadap ruang publik yang terencana secara formal dan tampil sebagai obyek mandiri (ruang dan bentuk). Ruang dan bentuk semacam ini biasanya dirancang

Dalam rangka upaya meningkatkan pengetahuan sanitasi dan perilaku kesehatan di Indonesia, pelestarian budaya, dan guna mendukung program pendidikan oleh pemerintah