• Tidak ada hasil yang ditemukan

RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA (STUDI KASUS DI KECAMATAN CICURUG, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA (STUDI KASUS DI KECAMATAN CICURUG, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA

(STUDI KASUS DI KECAMATAN CICURUG,

KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Bernadette Andreyanti Febriana Nim: 024114007

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA

(STUDI KASUS DI KECAMATAN CICURUG,

KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh:

Bernadette Andreyanti Febriana Nim: 024114007

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

MOTTO

(6)

Halaman Persembahan

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar

pustaka sebagaiman layaknya karya ilmiah.

Penulis

(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Bernadette Andreyanti Febriana

Nomor Mahasiswa : 024114007

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA

(STUDI KASUS DI KECAMATAN CICURUG,

KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 14 April 2010

Yang menyatakan

(9)

ABSTRAK

Andreyanti Febriana, Bernadette.2009, Ritual Sawer Dalam Pernikahan Adat Sunda, (Studi Kasus di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas tentang Ritual Sawer Dalam Pernikahan Adat Sunda, Studi Kasus di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual sawer

terlihat sekedar sebagai hiburan tetapi ternyata memiliki pesan-pesan yang sangat dalam dan penting untuk orang-orang yang hendak melangsungkan pernikahan.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks topografi, demografi, dan budaya Kota Sukabumi, (2) mendeskripsikan proses ritual sawer dalam tradisi pernikahan adat Sunda di daerah Sukabumi Jawa Barat, (3) mendeskripsikan makna dan fungsi proses ritual sawer di dalam tradisi pernikahan, di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Penelitian ini membahas tentang budaya yang terdapat dalam ritual sawer

penikahan adat Sunda. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah teori budaya, proses ritual, sawer, serta makna dan fungsi proses ritual. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik wawancara, teknik pengamatan, serta teknik perekaman dan pencatatan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru sawer, pengantin, orang tua pengantin, lengser, dan juga penonton serta masyarakat umum. Tempat penelitian adalah saat upacara pernikahan di daerah Sukabumi Jawa Barat.

Hasil penelitian mengenai ritual ini menunjukkan bahwa Proses Ritual Sawer

dalam Pernikahan Adat Sunda di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat antara lain persiapan ritual sawer yaitu, persiapan waktu, tempat, persiapan benda yang akan digunakan dalam ritual sawer dan persiapan penyelenggara atau orang-orang yang terlibat dalam ritual sawer. Pelaksanaan Ritual saweran, pelaksanaan ritual sawer dimulai dengan penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita (lengser). Kemudian acara ngabageakeun (penyambutan), lalu pemberian wejangan dari ayah pengantin wanita atau keluarga yang dituakan. Setelah itu ritual saweran, dan dilanjutkan dengan Nincak endog. Kemudian acara

Ngaleupaskeun Japati, kemudian Buka pintu, sungkem, setelah itu acara Meuleum

Harupat, Huap Lingkung, dan acara yang terakhir adalah Pabetot-betot bakakak.

(10)

pintu, (8) Makna dalam acara sungkem, (9) Makna dalam acara meuleum harupat,

(11)

ABSTRACT

Andreyanti Febriana, Bernadette. 2009, Sawer Ritual in Sundanese Wedding Custom-Ceremony. S-I Final Task. Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Literature Faculty, Sanata Dharma University.

This observation is about Sawer ritual in Sundanese wedding ceremony, a special study in Cicurug Subregency, Sukabumi Regency, West Java. It is chosen for the author was attracted to these rituals. These rituals sometimes looked like entertainments but actually they contain of valuable advices for those who are going to marry.

The purposes of these observation are describing (1) the topography, demography, and cultural aspects of Sukabumi, (2) sawer ritual in Sundanese wedding ceremony in Sukabumi, West Java, (3) the meaning and functions of sawer

ritual in wedding tradition of Cicurug Subregency, Sukabumi Regency, West Java. The framework of this observation are about the cultural theory, sawer ritual process, the meaning and functions of sawer ritual process. This observation also uses interviewing, observing, and recording ways for data raising. The interviewees are

juru sawer’, the bridal couple, the parents of the bridal couple, lengser, spectators,

and the public. The observation site is the Sukabumi Regency of West Java.

The results of this ritual observation show that the meaning and functions of Sundanese wedding custom-ceremony in Sukabumi contain of the preparation of

pre-sawer process (preparation of time, place, and properties), and the preparation of the

caretaker or people who will attend the sawer ritual. Saweran ritual starts with the picking up of the bride by lengser (delegates of the groom), the ngabageakeun (the welcoming ceremony), then the advice-giving ceremony by the parents of the groom. Later the nincak endog ceremony comes after the saweran itself. Ngaleupaskeun

japati, buka pintu, meuleum harupat, huap lingkung, and pabetot-betot bakakak are

the order of the ceremonies to finish the Sundanese wedding custom-ceremony in Sukabumi.

The meaning and functions of sawer ritual of Sundanese wedding ceremony in Sukabumi are about the meaning of (1) picking up of the bride by lengser, (2)

ngabageakeun ceremony, (3) wejangan ceremony, (4) saweran itself, (5) nincak

endog ceremony, (6) ngaleupaskeun japati ceremony, (7) buka pintu ceremony, (8)

sungkem ceremony, (9) meuleum harupat ceremony, (10) huap lingkung, and (11)

pabetot-betot bakakak ceremony at the end.

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Ritual Pernikahan Adat Sunda

Di Daerah Sukabumi Jawa Barat.

Sehubungan dengan tersusunnya skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sangat dalam kepada:

1. Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., selaku dosen pembimbing I, terima kasih

atas bimbingan, masukan, kesabaran, motivasi serta semangat yang selama ini

telah diberikan kepada penulis.

2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., selaku dosen pembimbing II, terima kasih atas

bimbingan, masukan, kesabaran, motivasi serta semangat yang selama ini

telah diberikan kepada penulis.

3. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dosen pembimbing akademis,

terima kasih atas bimbingan dan kemudahan selama penulis kuliah.

4. Seluruh dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang

telah mendidik penulis selama belajar di jurusan Sastra Indonesia.

5. Mbak Rusmiyati dan segenap staf sekretariat Fakultas Sastra Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta atas segala bantuannya.

6. Kedua orang tuaku, Bapak Andreas Suradi dan Ibu Anastasia Suwardi Artanti

(13)

Terima kasih untuk doa, pengorbanan, dan kasih sayang yang begitu besar

kepada penulis.

7. Bapak B. Tumidi dan Ibu Sugijatin terima kasih karena telah memberikan

semangat, memberikan tempat berteduh layaknya rumah sendiri dan selalu

menganggap penulis sebagai anak kandungnya sendiri.

8. Emilius “Kelik” Harri Admoko, terima kasih telah mendampingi,

membimbing, dan memberi semangat dari awal hingga saat ini, semoga

semua akan berjalan dengan indahnya.

9. Romo Markus Lukas, Pr dan Sr. Bernadette, SFS terima kasih atas segala

bantuannya. Tanpa bantuan yang diberikan penulis tidak akan mungkin dapat

menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Teman-teman di Prodi Sastra Indonesia terutama angkatan 2002, terima kasih

untuk bantuannya selama kita masih bersama.

11.Sapi, Simbe, dan Bobo, terima kasih atas saran, kritik, dan bantuan yang

diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman-teman kost di Petung 27, terima kasih karena terus menyemangati

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

13.Bapak Achmad Djuarsah, selaku tokoh budayawan Sukabumi, terima kasih

atas segala bantuan, informasi dan semangat yang telah bapak berikan kepada

(14)

14.Terima kasih untuk masyarakat Cicurug Sukabumi, Jawa Barat atas

bantuannya dalam memberikan informasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih

untuk segala bantuannya kepada penulis.

Semoga karangan yang sederhana ini akan berguna dan bermanfaat untuk

karya-karya budaya daerah di Indonesia. Jika terdapat berbagai kelemahan dalam

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii

HALAMAN MOTTO iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2 Rumusan Masalah………... 3

1.3 Tujuan Penelitian………. 3

1.4 Manfaat Penelitian……… 4

1.5 Tinjauan Pustaka……….. 4

(16)

1.6.1. Budaya……… 5

1.6.2 Ritual……… 6

1.6.3 Makna dan Fungsi………. 6

1.6.4 Sawer………. 7

1.7 Metode……… 7

1.7.1 Wawancara……….. 8

1.7.2 Pengamatan (Observasi)………. 8

1.7.3 Perekaman dan Pencatatan……… 9

1.7.4 Lokasi dan Narasumber………. 9

1.7.5 Kepustakaan……….. 10

1.8 Sistematika Penyajian………..10

BAB II TOPOGRAFI, DEMOGRAFI DAN BUDAYA SUKABUMI 11 2.1 Pengantar……… 11

2.2 Topografi dan Demografi Kota Sukabumi………..11

2.2.1 Topografi……… 11

2.2.2 Demografi……….. 13

2.3 Budaya ………...……… 18

BAB III PROSES RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA DI DAERAH SUKABUMI JAWA BARAT

(17)

3.1 Pengertian………... 22

3.2 Persiapan Ritual Sawer……….. 24

3.2.1 Waktu……… 24

3.2.2 Tempat Pelaksanaan Ritual Sawer……… 25

3.2.3 Benda-Benda……… 25

3.2.4 Orang yang Menyawer………. 26

3.2.5 Pasangan Pengantin yang akan Disawer……….. 26

3.3 Pelaksanaan Ritual Saweran………. 27

3.3.1 Penjemputan oleh Lengser……… 27

3.3.2 Acara Ngabageakeun (Penyambutan)……….. 30

3.3.3 Pemberian Wejangan……… 31

3.3.4 Saweran……… 31

3.3.5 Nincak Endog(Injak Telur)………. 36

3.3.6 Ngaleupaskeun Japati……….. 37

3.3.7 Buka Pintu……… 41

3.3.8 Sungkem……… 49

3.3.9 Meuleum Harupat………. 52

3.3.10 Huap Lingkung……… 53

3.3.11 Pabetot-betot Bakakak……… 54

3.4 Makna………. 54

(18)

3.4.2 Makna Ngabageakeun (Penyambutan)……….. 55

3.4.3 Makna Pemberian Wejangan……….. 55

3.4.4 Makna Saweran……….. 56

3.4.5 Makna Nincak Endog(Injak Telur)………. 56

3.4.6 Makna Ngaleupaskeun Japati……… .. 57

3.4.7 Makna Buka Pintu………. 57

3.4.8 Makna Sungkem……… 58

3.4.9 Makna Meuleum Harupat………. 58

3.4.10 Makna Huap Lingkung………... .59

3.4.11 Makna Pabetot-betot Bakakak……….... 59

3.5 Fungsi……… 60

3.5.1 Fungsi Penjemputan oleh Lengser……… 60

3.5.2 Fungsi Ngabageakeun (Penyambutan)………. 61

3.5.3 Fungsi Pemberian Wejangan... 62

3.5.4 Fungsi Saweran………. 62

3.5.5 Fungsi Nincak Endog(Injak Telur)………. 63

3.5.6 Fungsi Ngaleupaskeun Japati………... 64

3.5.7 Fungsi Buka Pintu………. 64

3.5.8 Fungsi Sungkem……… 65

3.5.9 Fungsi Meuleum Harupat………. 66

(19)

3.5.11 Fungsi Makna Pabetot-betot Bakakak……… 68

BAB IV PENUTUP 69 4.1 Kesimpulan ……… 69

4.2 Saran………72

DAFTAR PUSTAKA

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : DAFTAR PERTANYAAN

LAMPIRAN 2 : DAFTAR NARA SUMBER

LAMPIRAN 3 : FOTO ACARA PENJEMPUTAN LENGSER

LAMPIRAN 4 : FOTO ACARA NGABAGEAKEUN (PENJEMPUTAN)

LAMPIRAN 5 : FOTO ACARA PEMBERIAN WEJANGAN

LAMPIRAN 6 : FOTO ACARA SAWERAN

LAMPIRAN 7 : FOTO ACARA INJAK TELUR

LAMPIRAN 8 : FOTO ACARA BUKA PINTU

LAMPIRAN 9 : FOTO ACARA SUNGKEM

LAMPIRAN 10 : FOTO ACARA MEULEUM HARUPAT

LAMPIRAN 11 : FOTO ACARA HUAP LINGKUNG

LAMPIRAN 12 : FOTO ACARA PABETOT-BETOT BAKAKAK

LAMPIRAN 13 : FOTO ACARA HIBURAN

LAMPIRAN 14 : FOTO JURU SAWER

LAMPIRAN 15 : SURAT KETERANGAN TELAH MELAKUKAN PENELITIAN

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman bahasa,

budaya dan adat istiadat.

Kata Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana yang mengupas kata budaya itu sebagai suatu perkembangan dari majaemuk budi-daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. (Koentjaraningrat, 1964:77)

Pernikahan merupakan bagian dari budaya, dalam sebuah tradisi pernikahan

terdapat ritual yang berdasarkan adat istiadat sesuai dengan daerah asal pengantin dan

dipercaya oleh masyarakatnya. Di dalam pernikahan adat Sunda, masyarakat akan

melakukan acara ritual pernikahan dengan adat Sunda. Secara antropologi-budaya

dapat dikatakan bahwa yang disebut suku Sunda adalah orang-orang yang secara

turun-temurun menggunakan bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan

sehari-hari dan berasal atau bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang sering

(22)

Dalam acara pernikahan adat Sunda, sawer merupakan salah satu ritual yang

dilakukan oleh penyawer atau orang yang dituakan di dalam masyarakat. Ritual ini

dipercaya sebagai permohonan atau doa kepada Tuhan dan para leluhur supaya

memberikan berkat dan restu untuk kedua pengantin, supaya berkat dan pernikahan

tersebut dapat langgeng sampai akhir hayat. Ritual sawer di sini dilakukan setelah

akad nikah dilangsungkan. Dalam acara pernikahan adat Sunda, kata nyawer berasal

dari kata awer. Ibarat seember air atau benda cair lainnya, benda ini bisa di

awer-awer (dipercikkan) dengan mudah. Jadi, secara fisik, arti nyawer yaitu

menyebar-nyebar. Akan tetapi nyawer memiliki makna yang mendalam bagi yang

melaksanakannya. Ritual nyawer dalam upacara adat Sunda mempunyai arti nebar

nasihat (Agoes, 2003:70).

Pertanyaan yang sering terbersit dalam pikiran orang-orang yang tidak

mengerti adalah apa gunanya ritual sawer itu? Lalu apa saja yang akan dan harus

dilakukan dalam ritual sawer itu? Pertanyaan itu sangat menarik perhatian sehingga

peneliti tertarik melakukan studi lapangan untuk mengamati, mengungkapkan, dan

memaparkan secara spesifik. Menurut para tetua adat, ritual sawer ini dilakukan

sebagai doa dan harapan agar kehidupan perkawinan pasangan pengantin yang

disawer selalu diberkati oleh Tuhan.

Dalam ritual sawer ini, para penyawer akan menyediakan sesaji untuk para

leluhur. Sesaji itu biasanya berupa makanan, minuman, uang, kunir, beras, dan

(23)

para leluhur akan memberikan restunya kepada pasangan pengantin.

Peneliti memilih topik “Ritual Sawer Dalam Pernikahan Adat Sunda, Studi

Kasus di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat” karena dua alasan.

Pertama, studi khusus tentang ritual sawer sampai saat ini belum pernah dilakukan

sehingga tidak banyak orang, bahkan masyarakat Sunda sendiri yang mengetahui

tentang ritual sawer. Kedua, dengan menyajikan topik ini, peneliti berharap dapat

lebih memahami tata cara ritual sawer dalam pernikahan adat Sunda di Kecamatan

Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, masalah-masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah topografi, demografi, dan budaya di Kecamatan Cicurug,

Kabupaten Sukabumi Jawa Barat?

1.2.2 Bagaimana proses ritual sawer dalam pernikahan adat Sunda di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat?

1.2.3 Bagaimana makna dan fungsi proses ritual sawer dalam pernikahan adat Sunda di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

(24)

ritual sawer dalam pernikahan adat Sunda di Kecamatan Cicurug, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat yang meliputi:

1.3.1 Mendeskripsikan topografi, demografi, dan sejarah Kota Sukabumi. 1.3.2 Mendeskripsikan proses ritual sawer dalam tradisi pernikahan adat Sunda

di Kecamatan Cicurug, Sukabumi.

1.3.3 Mendeskripsikan makna dan fungsi proses ritual sawer dalam tradisi pernikahan adat Sunda di Kecamatan Cicurug, Sukabumi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dalam bidang topografi, demografi, dan budaya, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai topografi, demografi, dan budaya, termasuk

adanya ritual-ritual khusus yang terjadi dalam sebuah tradisi pernikahan.

1.4.2 Untuk masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang ritual sawer dalam upacara pernikahan adat Sunda.

1.4.2 Menjelaskan makna dan fungsi ritual sawer dalam pernikahan adat Sunda.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini membahas tentang Ritual Sawer Dalam Pernikahan Adat Sunda,

Studi Kasus di Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Hingga saat ini

penulis belum menemukan buku yang membahas tentang Ritual Pernikahan Adat

(25)

Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Sunda, karangan Artati Agoes yang

diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003.

Selain itu juga terdapat buku yang berisikan urutan tatacara penikahan adat

Sunda peneliti ambil dari, buku Modana karangan R.H. Uton Muchtar dan Ki

Umbara (1987) buku ini membahas tentang pernikahan Sunda berserta dengan acara

dan kidung-kidung yang digunakan dan ditulis dalam bahasa Sunda.

1.6 Kerangka Pemikiran 1.6.1 Budaya

Landasan teori merupakan kerangka dasar pemikiran yang akan dipakai untuk

memecahkan permasalahan yang akan diteliti. Dalam tugas akhir ini peneliti akan

membahas tentang budaya yang terdapat dalam ritual Sawer dalam penikahan adat

Sunda.

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja (Soelaeman, 1992:12).

(26)

membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. (Koentjaraningrat, 1964:77)

1.6.2 Ritual

Menurut KBBI (1988:751) ritual berarti ihwal yang berkenaan dengan ritus.

Ritus itu sendiri menurut mereka adalah tatacara dalam upacara keagamaan.

Ritual-ritual yang ada dalam pernikahan adat Sunda ini dilakukan secara lisan, dari mulut ke

mulut atau disertai contah/gerak, dan alat pembantu pengingat. Masyarakat percaya

apabila ritual ini dilakukan maka pengantin akan mendapatkan restu dan berkat dari

para leluhur. Oleh karena itu ritual disebut sebagai “takhayul” karena dalam ritual ini

masyarakat masih percaya pada kekuatan-kekuatan gaib yang menyertainya.

1.6.3 Makna dan Fungsi

Menurut KUBI (2003:737) makna adalah arti atau maksud (suatu kata):

mengetahui lafal dan maknanya. Dalam pernikahan adat Sunda setiap acaranya

memiliki makna-makna tersendiri, seperti dalam acara sungkem, makna yang

terkandung dalam acara ini adalah seorang anak harus berbakti kepada orangtuanya

dan saat akan melangsungkan pernikahan makan ada baiknya bila meminta restu

(27)

Fungsi ialah pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna

antara sesuatu hal dengan tujuan yang tertentu atau pemakaian yang menerangkan

hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang

terintegrasi (Koentjaraningrat, 1986:213).

1.6.4 Sawer

Sawer adalah meminta uang kepada penonton (KUBI, 2003:1041). Sawer

kemudian menjadi nyawer dalam bahasa Sunda. Dalam acara pernikahan adat Sunda,

kata nyawer yang berasal dari kata awer, ibarat seember atau benda cair, benda ini

bisa di awer-awer (tebar-tebar) dengan mudah. Jadi, secara fisik, arti nyawer yaitu

menyebar-nyebar. Akan tetapi nyawer memiliki makna yang mendalam bagi yang

melaksanakannya dan ritual ini dalam upacara adat Sunda memiliki arti nebar nasihat

(Agoes, 2003:70).

1.7 Metode

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh

peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah. Dalam bagian ini akan dijelaskan

langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti dalam menganalisis proses ritual

Sawer dalam upacara pernikahan adat Sunda.

Dalam proses pengumpulan data lapangan, teknik-teknik wawancara,

(28)

data sastra lisan dari tempat penelitian. Proses ini dilakukan untuk memperoleh

data-data yang dibutuhkan oleh peneliti.

1.7.1 Wawancara

Wawacara adalah suatu proses tanya jawab lisan, yaitu dua orang atau lebih

berhadap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka yang lain dan

mendengarkan dengan telinga sendiri (Hadi, 1979:192). Wawancara ini terdiri

dari dua tahap. Tahap pertama ‘wawancara bebas’ yang memberikan kebebasan

seluas-luasnya kepada informan untuk berbicara. Tahap kedua ‘wawancara

terarah’ yaitu mengajukan pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya untuk

mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam. Wawancara digunakan

penulis untuk menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan acara ritual sawer

dan tentang budaya Kota Sukabumi.

1.7.2 Pengamatan (Observasi)

(29)

Observasi dilakukan untuk mengamati ritual sawer yang berlangsung, agar

peneliti dapat lebih memahami dan mengabadikannya dalam bentuk foto yang

akan dilampirkan dalam tugas akhir ini.

1.7.3 Perekaman dan Pencatatan.

Teknik ini perlu digunakan untuk mendapatkan data utama penelitian. Teknik pencatatan bisa dipergunakan untuk mentranskripsikan hasil rekaman menjadi bahan tertulis dan mencatat berbagai aspek yang berkaitan dengan suasana penceritaan dan informasi-informasi lain yang dipandang perlu selama melakukan wawancara dan pengamatan. (Taum,2002:88).

Penulis mencatat hasil wawancara untuk digunakan sebagai salah satu sumber

dalam penulisan tugas akhir ini. Berdasarkan wawancara peneliti akan

mendapat data-data yang bias digunakan dalam penulisan tugas akhir ini.

1.7.4 Lokasi dan Narasumber

Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi,

Propinsi Jawa Barat, serta mengambil data-data dari narasumber di lokasi

penelitian yang dianggap berkompeten dan mengetahui tentang ritual Sawer

dalam pernikahan adat Sunda. Narasumber utama penulis adalah Bapak

Achmad Djuarsah, selaku tokoh kebudayaan di daerah Sukabumi sekaligus

(30)

1.7.5 Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, rapat, dan sebagainya

(Arikunto, 1993:234). Sedangkan menurut Taum (2002,86), studi pustaka dapat

berupa buku-buku di perpustakaan atau koleksi pribadi dan teman mengenai

kolektif suatu suku bangsa yang akan menjadi sasaran studi. Teknik ini

dipergunakan untuk mendapatkan data yang akurat dengan cara menelaah

pustaka-pusataka yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakannya untuk memperoleh

pengertian-pengertian tentang budaya, sawer, ritual, dan sebagainya.

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, dan metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II berisi

tentang topografi, demografi dan sejarah Kota Sukabumi, Bab III merupakan

penggambaran makna dan fungsi proses ritual sawer dalam pernikahan adat di daerah

Sukabumi, dan Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

(31)

BAB II

TOPOGRAFI, DEMOGRAFI DAN BUDAYA SUKABUMI

2.1 Pengantar

Untuk lebih mengetahui tentang kota Sukabumi maka penulis akan sedikit

menjabarkan mengenai sejarah kota Sukabumi yang akan mencakup topografi dan

demografi kota Sukabumi untuk mengetahui letak Kota Sukabumi dan asal muasal

terbentuknya kota Sukabumi.

2.2 Topografi dan Demografi Kota Sukabumi 2.2.1 Topografi

Topografi adalah perpetaan, segala sesuatu mengenai pembuatan peta

(KUBI, 2003:1292)

Topografi adalah Topografi adalah studi tentang bentuk permukaan bumi

dan objek lain seperti planet, satelit alami (bulan, dll), dan asteroid. Dalam

pengertian lebih luas, topografi tidak hanya mengenai bentuk permukaan saja,

tetapi juga pengaruh manusia terhadap lingkungan dan bahkan kebudayaan local.

Topografi umumnya menyuguhkan relief permukaan, model tiga dimensi dan

identifikasi jenis lahan.

(32)

berlanjut hingga Romawi Kuno, sebagai detail suatu tempat. Kata itu datang dari

kata Yunani, topos yang berarti tempat dan graphia yang berarti tulisan.

Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106° 45’ 50’’ Bujur Timur dan 106° 45’ 10’’ Bujur Timur, 6° 49’ 29’’ Lintang Selatan dan 6° 50’ 44’’ Lintang Selatan, terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya 584 m di atas permukaan laut, dengan suhu maksimum 29°C yang berjarak 120 km dari ibukota negara (Jakarta) dan 96 km dari ibukota propinsi (Bandung) dengan luas wilayah 4.800,231 ha. Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Sukabumi sebagian besar didominasi oleh tanah latosal dan podsolik yang terutama tersebar pada wilayah bagian selatan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Sedangkan jenis tanah andosol dan regosol umumnya terdapat di daerah pegunungan terutama daerah Gunung Salak dan Gunung Gede, dan pada daerah pantai dan tanah aluvial umumnya terdapat di daerah

lembah dan daerah sungai. http://www.kabupatensukabumi.go.id/trial/index.php?option=com_content

&view=article&id=50&Itemid=28&lang=en

Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi wilayah lahan kering yang luas,

saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan.

Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (oldeman)

dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan 144 hari.

Suhu udara berkisar antara 20°C - 30 ° C dengan kelembaban udara 85 - 89

persen. Curah hujan antara 3.000 - 4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara,

sedangkan curah hujan antara 2.000 - 3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah

sampai selatan Kabupaten Sukabumi (sumber : bapak Iyus Mulyana, Kepala

(33)

Wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai bentuk lahan yang bervariasi dari datar sampai gunung adalah : datar (lereng 0-2%) sekitar 9,4 %; berombak sampai bergelombang (lereng 2-15%) sekitar 22% ; bergelombang sampai berbukit (lereng 15 - 40%) sekitar 42,7%; dan berbukit sampai bergunung (lereng > 40 %) sekitar 25,9 %. Ketinggian dari permukaan laut Wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 0 - 2.958 m. Daerah datar umumnya terdapat pada daerah pantai dan daerah kaki gunung yang sebagian besar merupakan daerah pesawahan. Sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 300 - 1.000 m dari permukaan laut. http://www.kabupatensukabumi.go.id/trial/index.php?option=com_conten t&view=article&id=50&Itemid=28&lang=en

2.2.2 Demografi

Demografi adalah ilmu kependudukan; ilmu tentang susunan dan

pertumbuhan penduduk; ilmu yang memberi uraian atau lukisan berupa statistic

mengenai suatu bangsa dilihat dari sudut sosial dan politik. (KUBI,2003:278)

Demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan

manusia. Meliputi didalamnya ukuran, stuktur dan distribusi penduduk, serta

bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian,

migrasi, penuaan. Analisis kependudukan dapat merujuk masyarakat secara

keseluruhan atau kelompok tertentu yang didasarkan kriteria seperti pendidikan,

kewarganegaraan, agama atau etnisitas tertentu.

Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 adalah

2.391.736 jiwa yang terdiri dari 1.192.038 orang laki-laki dan 1.199.698 orang

(34)

Kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Ciemas (183 jiwa/km²) dan

tertinggi di Kecamatan Sukabumi (2.447 jiwa/km²). Pemukiman padat penduduk

umumnya terdapat di pusat-pusat kecamatan yang berkarakteristik perkotaan dan

di sepanjang jalan raya. Memiliki penduduk sampai akhir tahun 2002 tercatat

269.142 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 50 jiwa/km² yang tersebar

(BPS,2007:46).

Dalam pendidikan, di Sukabumi telah berdiri perguruan tinggi yaitu

Politeknik Sukabumi, Universitas Muhammadiah Sukabumi (UMMI), Sekolah

Tinggi Teknologi Nusa Putra, Lembaga Pendidikan Informatika Nusa Putra,

Lembaga Pendidikan Film dan Televisi Nusa Putra. Selain itu, telah berdiri

sekolah unggulan SMKN2 Sukabumi (dahulu SMEA NEGERI Sukabumi).

Di samping itu, Sukabumi adalah pusat kegiatan wilayah Jawa Barat

Selatan (Sukabumi, Cianjur). Sukabumi memiliki pusat perbelanjaan beasr yaitu

Mayyofield Mall Sukabumi, Sukabumi Indah Plaza (Giant), Ramayana Plaza,

Yogya Plaza, Capitol Plaza, dan Sukabumi Shopping Center.

Kabupaten Sukabumi terletak lebih kurang 120 km dari Jakarta atau

sekitar dua setengah jam perjalanan dengan mobil pribadi. Tempat ini sangat

mudah dicapai dari Jakarta, Bogor dan Bandung. Sukabumi memiliki wisata yang

beraneka ragam, mulai dari wisata laut, pantai sampai wisata gunung. Beberapa

obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan, yaitu: Wisata Pantai,

(35)

Cipelang, Wana Wisata Gua Buniayu.

Jumlah penduduk Sukabumi pada tahun 2003 sebanyak 2.178.850 jiwa

dan pada tahun 2004 meningkat sebanyak 51.561 jiwa sehingga menjadi

2.230.411 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2003 hingga 2004 adalah

sebesar 2,37 persen di mana laju pertumbuhan penduduk laki-laki lebih besar

dibandingkan laju pertumbuhan penduduk perempuan, yaitu 1.144.663 jiwa untuk

laki-laki dan 1.085.748 jiwa untuk laki-laki. (BPS,2007:45)

Pada tahun 2004 rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Sukabumi

mencapai 540 jiwa/km² (5,40 jiwa/Ha). Pada umumnya Kecamatan di wilayah

utara kepadatan penduduknya lebih tinggi daripada kecamatan di wilayah selatan.

Hal ini berhubungan dengan kondisi alam di mana wilayah utara lebih subur

daripada wilayah selatan. Selain itu, fasilitas umum lebih tersedia sehingga

mendorong terjadinya urbanisasi ke wilayah utara. Apabila dirinci menurut

kecamatan, maka Kecamatan Cisaat merupakan kecamatan terpadat di mana

kepadatan penduduknya mencapai 5.786 per km², sedangkan yang terendah

adalah Kecamatan Cibitung dengan kepadatan penduduk 160 per km².

Wilayah Kota Sukabumi seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi yakni: di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaat dan Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan dengan Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, sebelah timur dengan

(36)

Sukabumi terdiri dari 45 kecamatan, yaitu Kecamatan Bantargadung,

Kecamatan Bojonggenteng, Kecamatan Caringin, Kecamatan Cibadak,

Kecamatan Cibitung, Kecamatan Cicantayan, Kecamatan Cicurug, Kecamatan

Cidadap, Kecamatan Cidahu, Kecamatan Cidolog, Kecamatan Ciemas,

Kecamatan Cikakak, Kecamatan Cikembar, Kecamatan Cikidang, Kecamatan

Ciracap, Kecamatan Cireunghas, Kecamatan Cisaat, Kecamatan Cisolok,

Kecamatan Curugkembar, Kecamatan Gegerbitung, Kecamatan Gunungguruh,

Kecamatan Jampangkulon, Kecamatan Jampangtengah, Kecamatan

Kabandungan, Kecamatan Kadudampit, Kecamatan Kalapanunggal, Kecamatan

Kalibunder, Kecamatan Kebonpedes, Kecamatan Lengkong, Kecamatan Nagrak,

Kecamatan Nyalindung, Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Palabuhanratu,

Kecamatan Parakansalak, Kecamatan Parungkuda, Kecamatan Purabaya,

Kecamatan Sagaranten, Kecamatan Simpenan, Kecamatan Sukabumi, Kecamatan

Sukalarang, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Surade, Kecamatan Tegalbuleud,

Kecamatan Waluran, dan yang terakhir adalah Kecamatan Warungkiara (sumber :

bapak Iyus Mulyana, Kepala UPTD Cicurug).

Penelitian ini mengambil studi kasus di Kecamatan Cicurug. Cicurug

diambil dari kata Ci dan Curug. Ci berasal dari kata cai, yang artinya adalah air.

Sedangkan Curug artinya adalah mengalir atau terjun jadi Cicurug adalah air

yang mengalir atau terjun. Kecamatan Cicurug merupakan suatu daerah yang

(37)

letaknya sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah timur

berbatasan dengan Kecamatan Nagrak. Sebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Parungkuda, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cidahu dan

Gunung Salak. Karena letak Kecamatan Cicurug berada dilereng Gunung Salak

maka terdapat banyak sumber mata air. Sehingga saat ini banyak pengusaha yang

membuka pabrik pengolahan air mineral di Kecamatan Cicurug, diantaranya

adalah Aqua, 2 Tang, dan sebagainya. Sehingga memperbaiki kehidupan ekonomi

masyarakat sekitarnya. (sumber Ibu Artanti : Guru SD Cicurug).

Jumlah penduduk Kecamatan Cicurug pada Tahun 2009 berjumlah

111.713 jiwa berdasarkan data kependudukan Kecamatan Cicurug menurut

kelompok umur 0 Tahun-60 Tahun keatas. Mayoritas penduduk Kecamatan

Cicurug pemeluk agama Islam yaitu sebanyak 99,64 persen, diikuti penganut

Kristen Protestan 0,14 persen, Kristen Katolik 0,13 persen, Hindu 0,17 persen,

Budha 0,2 persen dan pemeluk agama lain sebesar 0,1 persen. Hal inilah yang

menyebabkan kebudayaan Sunda sangatlah lekat dengan ajaran agama Islam.

Pembangunan agama merupakan upaya mewujudkan agenda meningkatkan

kesejahteraan rakyat melalui peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman

agama serta kehidupan beragama. Selain itu, pembangunan agama juga mencakup

dimensi peningkatan kerukunan hidup umat beragama, yang mendukung

peningkatan saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat. Dimensi

(38)

memiliki kesadran mengenai realitas kerukunan dan memahami makna

kemajemukan sosial, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh

toleransi, tenggang rasa, dan harmonis (sumber : bapak Iyus Mulyana, Kepala

UPTD Cicurug).

2.3 Budaya

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja (Soelaeman, 1992:12).

Kata Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana yang mengupas kata budaya itu sebagai suatu perkembangan dari majaemuk budi-daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. (Koentjaraningrat, 1964:77)

Di Sukabumi terdapat berbagai macam kebudayaan dan juga kesenian

daerah, antara lain adalah

Kuda Lumping, adalah jenis kesenian di kecamatan Surade. Permainannya

(39)

diiringi seperangkat kendang pencak dengan mempertunjukan beberapa aksi

seseroan, mengupas kelapa dengan gigi, memakan pecahan beling, memakan

gabah padi serta atraksi lainya.

Kesenian Topeng, salah satu kesenian yang berada di kampung adat

Ciptarasa, kecamatan Cisolok. Merupakan salah satu jenis kesenian teater rakyat

yang menggunakan topeng sebagai alat dalam membawakan alur cerita penuh

humor.

Kesenian Gondang Buhun, kesenian ini masih hidup di kalangan

masyarakat desa Gunung Bentang, kecamatan Sagaranten. Zaman dahulu acara

ini biasa digelar pada acara menumbuk padi secara gotong royong oleh pra kaum

Ibu tani dengan menggunakan alat berupa lesung dan halu.

Kesenian Parebut Seeng, kesenian ini terdapat di kecamatan Cicurug.

Kemunculan kesenian ini berawal dari dua kelompok perguruan silat Cimande,

dengan iringan kendang pencak silat tepak padungdung, kegiatan parebutan

seeng berlangsung seru.

Kesenian Gekbreng, adalah seni teater rakyat yang masih hudup di

kecamatan Geger Bitung. Cerita yang diperagakan pada saat pagelaran dimulai

dari pengungkapan rasa suka dan duka kehidupan seniman, dilakukan secara

spontanitas. Cerita yang dbawakan sesuai dengan situasi serta tuntutan

(40)

Kesenian Angklung Buncis, berada di desa Gunung Bentang, kecamatan

Sigaranten. Angklung buncis secara tradisional dilaksanakan pada saat

masyarakat melaksanakan kegiatan upacara menanam padi di sawah dengan

bunyi angklung lagu buncis yang khas menurut tradisinya. Lagu-lagu yang biasa

dibawakan antara lain lagu Buncis, Bancet, Rawa, Engko, Buncis Balak, Manuk

Gunung, dan Oray Orayan disertai gerakan lucu dari pelakunya.

Kesenian Dog Dog Lojor, seni musik tradisional yang menggunakan dog

dog panjang terbuat dari bambu berpadu serasi dengan dentang angklung besar.

Seni ini biasanya digelar mengiring kegiatan mengangkut padi dari lantai ke

lumbung padi di kampung adat Ciptarasa , kecamatan Cisolok.

Kesenian Jipeng, seni tradisional di kampung adat Ciptarasa, kecamatan

Cisolok. Digelar untuk menghibur masyarakat kampung adat yang ingin

menyaksikan upacara adat serah tahun. Jipeng menyuguhkan lagu-lagu diiringi

tanji, clarinet, saxophone, dan drum. Peralatan musik tersebut merupakan

peninggalan penjajah.

Kesenian Teater Uyeng, merupakan bentuk teater rakyat yang berasal dari

Sukabumi. Pembeda dengan teater rakyat lainya ialah kehadiran tokoh sakral Raja

Uyeng di panggung pertunjukan. Kini teater Uyeng disajikan dengan bentuk

hiburan, namun masih mempertahankan idiom Uyeng lama.

Degungan, merupakan kesenian dalam bentuk lagu-lagu daerah yang

(41)

Pencak Silat, merupakan kesenian bela diri. Perpaduan antara olahraga

dan seni bela diri.

Retimpringan (Rebana), merupakan lagu-lagu bernafaskan agama Islam

yang dinyanyikan sekaligus memainkan alat musik rebana.

Tari Jaipongan, merupakan tarian khas daerah Sunda.

Ritual sawer pernikahan, merupakan salah satu tradisi adat yang ada di

daerah Sukabumi. Ritual ini merupakan doa orang tua kepada anaknya yang akan

melangsungkan upacara pernikahan agar pernikahan anaknya diberkahi oleh

Yang Maha Kuasa. Ritual ini akan menggunakan tembang-tembang dalam bahasa

Sunda, yang ditembangkan oleh juru sawer. (sumber bapak Achmad Djuarsah :

tokoh budayawan Sukabumi).

Di antara semua ritual dan kesenian tersebut, penulis mengambil ritual

sawer pernikahan untuk diteliti lebih lanjut karena penulis baru menemukan

sedikit sekali buku yang membahas tentang ritual adat ini dan penulis merasa

sangat tertarik untuk menelitinya lebih lanjut karena ritual ini memiliki suatu seni

tersendiri, yaitu dari tembang-tembang yang dilantunkan. Tembang tersebut

sangat sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam bagi pengantin, dan

(42)

BAB III

PROSES RITUAL SAWER DALAM PERNIKAHAN ADAT SUNDA DI KECAMATAN CICURUG, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

MAKNA DAN FUNGSI

3.1 Pengertian

Sawer merupakan salah satu ritual dalam rangkaian tatacara pernikahan dalam

adat Sunda. Sunda sebenarnya masih merupakan di dalam Pulau Jawa, tetapi berbeda

halnya dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Yogyakarta yang masyarakatnya

disebut dengan orang Jawa. Masyarakat Sunda biasanya menyebut dirinya dengan

orang Sunda. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa biasanya menggunakan bahasa

Jawa, sedangkan masyarakat Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun

menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari dan tinggal di daerah Jawa

Barat.

Ritual yang serupa dengan ritual sawer juga ada di daerah Cina dan Asia

Tenggara, ritual itu bernama “tabur beras”. Ritual itu mempunyai kaitan dengan

kepercayaan mereka terhadap Dewi Padi. Menurut kepercayaan mereka, pada suatu

waktu Yang dan Yin hendak mendirikan sebuah istana baru di langit kesembilan.

Dewi-dewi pun diperintahkan mengangkut bahan-bahan. Semua dewi bekerja tetapi

(43)

menjelma menjadi sebutir telur. Yang lalu menyuruh naga untuk mengeraminya

hingga kemudian menetaskan seorang gadis yang cantik bernama Lo Yien (Dewi

Padi). Gadis itu dijadikan anak angkat oleh Yang dan Yin.

Ketika gadis itu menginjak remaja dan tampak kecantikannya, Yang pun

tergoda akan kecantikannya sehingga terjadi pertengkaran di antara Yang dan Yin.

Alam menjadi sakit, begitupun manusia, padahal semula manusia tidak pernah sakit

dan mengenal makan. Yin pun cemburu kepada Lo Yien. Lo Yien diberinya buah

ajaib yang ketika dimakan menyebabkan Lo Yien langsung meninggal. Ia pun lalu

dikuburkan. Beberapa waktu kemudian keluarlah dari kuburnya tanaman padi, pulut,

dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Manusia pun mulai merasa lapar. Yang dan Yin

menyuruh pembantunya untuk menurunkan beras ke bumi dalam keadaan sudah

masak dan siap dimakan. Namun karena ulah laki-laki yang serba ingin tahu

timbullah kesukaran sehingga padi itu harus ditanam, ditumbuk, dan dimasak. Dari

sinilah pemujaan terhadap Dewi Padi berawal. Pemujaannya antara lain pada musim

menanam padi, mengetam, dan saat menyimpan padi di lumbung, pada hari-hari

tertentu, dan termasuk upacara menabur beras kuning atau sawer dalam upacara

perkawinan (http://inohonggarut.blogspot.com/2008_archive.html)

Adat Sunda sangat kental oleh agama Islam, karena agama Islam telah lama

dipeluk oleh sebagian besar orang Sunda. Demikian juga pengaruhnya dalam upacara

pernikahan adat Sunda. Hal itu menyebabkan sulitnya memisahkan adat Sunda dan

(44)

Ritual sawer yang terdapat dalam pernikahan adat Sunda pun tidak lepas dari

pengaruh agama Islam. Setelah menikah, sepasang mempelai biasanya akan

menjalani saweran, ritual sawer konon memiliki sejarah tersendiri. Sejak agama

Islam masuk ke tanah Sunda, pasangan muda-mudi yang menikah selalu

melangsungkan pernikahannya di masjid. Agar kesucian suasana masjid itu tetap

terpelihara hingga saat kedua mempelai itu pulang ke rumah, maka kedua mempelai

itu harus disawer lebih dulu di halaman rumahnya. Proses ritual sawer dan tujuannya

akan dijelaskan dalam uraian-uraian berikut.

3.2 Persiapan Ritual Sawer

Persiapan ritual sawer adalah persiapan waktu, tempat, persiapan benda yang

akan digunakan dalam ritual sawer dan persiapan penyelenggara atau orang-orang

yang terlibat dalam ritual sawer. Persiapan itu akan dijelaskan di bawah ini.

3.2.1 Waktu

Ritual sawer akan dilakukan langsung setelah akad nikah dilaksanakan

sehingga persiapannya merupakan bagian dari persiapan acara pernikahan itu sendiri.

Perihal waktu melangsungkan sawer biasanya telah diperbincangkan beberapa bulan

sebelumnya terlebih dahulu oleh kedua pihak orangtua dari pengantin.

(45)

3.2.2 Tempat Pelaksanaan Ritual Sawer

Tempat diadakannya ritual sawer biasanya tergantung di mana akad nikah dan

pesta akan dilakukan. Apabila akad nikah dan pesta dilakukan di rumah maka ritual

sawer juga akan dilakukan di rumah. Demikian juga bila akad nikah dan pesta

diadakan di gedung atau tempat tertentu maka ritual sawer pun diadakan di gedung

atau tempat tersebut. Karena hal itu maka biasanya persiapan tempat akan dilakukan

bersamaan dengan persiapan-persiapan akad nikah dan pesta. Tempat sawer biasanya

di halaman rumah di mana akan diadakan pesta. Di tempat tersebut akan disediakan

dua buah tempat duduk untuk pasangan pengantin dan di sekelilingnya akan

disediakan kursi-kursi untuk para tamu yang ingin mengikuti ritual sawer secara

langsung.

3.2.3 Benda-Benda

Persiapan benda-benda yang akan digunakan dalam ritual ini adalah payung

besar yang telah dihias indah untuk menaungi pasangan pengantin yang akan

disawer, tiga pasang kursi untuk pasangan pengantin yang akan disawer dan orangtua

pengantin, dan bokor untuk tempat benda-benda yang akan disawerkan kepada

pasangan mempelai. Benda-benda yang akan disawerkan berupa biji-bijian (kacang

tanah, jagung), beras, kunyit yang diiris-iris, uang logam, permen, dan perlengkapan

makan sirih (daun sirih, kapur sirih, jambe, tembakau). Selain itu juga perlu

(46)

cobek, papan yang dibungkus kain putih, kendi untuk acara nincak endog, ayam

bakakak yaitu ayam yang telah dipanggang untuk acara pabetot-betot bakakak,

sebelas nasi punar yang dibentuk bulat-bulat kecil untuk acara huap lingkung dan

sepasang merpati putih untuk dilepaskan dalam acara ngaleupaskeun japati.

3.2.4 Orang yang Menyawer

Orang yang menyawer biasanya adalah orang yang dituakan dan dianggap

bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Persiapan yang akan

dilakukan penyawer adalah berdoa secara pribadi kepada Tuhan, memohon izin untuk

melakukan ritual sawer agar berjalan lancar. Mempersiapkan doa-doa dan nasihat

berupa pantun-pantun yang indah dalam bahasa Sunda yang akan ditembangkan

selama ritual saweran.

3.2.4 Pasangan Pengantin yang Akan Disawer

Pasangan pengantin yang akan disawer karena sebelumnya sudah melakukan

acara siraman dan ijab kabul di masjid atau pemberkatan nikah di gereja maka tidak

memerlukan persiapan-persiapan khusus. Sawer dilakukan di depan rumah agar

kesucian suasana masjid atau gereja itu tetap terjaga hingga saat kedua mempelai itu

(47)

3.3 Pelaksanaan Ritual Saweran

Pelaksanaan ritual sawer dimulai dengan penjemputan calon pengantin pria,

oleh utusan dari pihak wanita (lengser). Kemudian acara ngabageakeun

(penyambutan), lalu pemberian wejangan dari ayah pengantin wanita atau keluarga

yang dituakan. Setelah itu ritual saweran, dan dilanjutkan dengan nincak endog.

Kemudian acara ngaleupaskeun japati, kemudian buka pintu, setelah itu acara

meuleum harupat, huap lingkung, dan acara yang terakhir adalah pabetot-betot

bakakak.

3.3.1 Penjemputan oleh Lengser

Calon pengantin yang datang akan dijemput oleh pria tua yang disebut

lengser. Lengser adalah tokoh atau pemimpin yang dihormati dalam acara

pernikahan. Lengser akan menembangkan nasihat-nasihat untuk pasangan pengantin

agar acara dapat berlangsung dengan lancar.

Lengser akan menembangkan sebuah kidung sesaat sebelum menjemput

pengantin. Kidung itu adalah seperti ini

Lengser midang

Kuring rek midang, mangsa poe iengras caang

Kuring rek midang, dangdan ti kamari dangdan

(48)

Kuring unjukan, kudu ngalur karuyaan

Kuring rek midang, mangsa poe bingras caang

Kuring rek midang, pikeun ngatur kariaan

Kuring unjukan, boga pancen ti junjunan

Hayu urung papo, poe nu pinuh kabagjan

Prolog

Hadirin nu ku sim kuring dipihormati,

cunduk waktu nu geus tangtu datang

mangsa nu utama nitih wanci nu mustari.

Manuso mo bisa ngahalang-halang,

aya mangsa datang aya mangsa mulang.

Nasihat Lengser

Sujud syukur ka nu Agung

Ka Allah rabul Izati

Wireh tos cunduk ka waktu

Ningnang mangsa nu utama

Nitih wanci nu mustari

Laksana panesa ati

Acara pangjurung laku

Pangjajap rasa kamelang

Amit ampunnya paraluh

Bilih manawa manawi

Manawi ku teu katampi

Neda jembar hampurana

(49)

Dalam bahasa Indonesia: Keberangkatan Lengser

Saya mau berangkat, saat hari sangat cerah Saya mau berangkat, berdandan dari kemarin

Saya mau berangkat, karena tugas dari pimpinan Saya mau tampilkan, dan mengatur perayaan

Saya mau berangkat, saat hari sangat cerah Saya mau berangkat, untuk mengatur perayaan

Saya mau tampilkan, karena tugas dari pimpinan Mari kita jemput, hari yang penuh kebahagiaan

Prolog

Hadirin yang saya hormati, waktu yang telah ditentukan

masa yang utama dan pertama saat yang tepat. Manusia tidak bisa menentukan

kapan waktu yang tepat untuk datang dan pergi.

Nasihat Lengser

Sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha esa Ke Allah yang maha kuasa

(50)

Bagaikan permata hati Acara pendorong jalan Penghantar rasa was-was Mohon maaf ya hadirin Bila ada suatu hal

Yang mungkin tidak diterima Mohon maaf yang sebesar-besarnya Mari kita lanjutkan

3.3.2 Acara Ngabageakeun (Penyambutan)

Pengantin pria dijemput oleh ibu calon pengantin wanita. Penyambutan

dilakukan dengan melakukan pengalungan bunga melati pada calon pengantin pria.

Pengantin pria kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk

masuk menuju pelaminan untuk melakukan akad nikah. Petugas KUA, para saksi,

dan pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput

pengantin wanita di kamarnya. Pengantin wanita lalu duduk di sebelah kiri pengantin

pria dan dikerudungi dengan tiung panjang yang menyimbolkan penyatuan dua insan

yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani

surat nikah. Apabila pengantin beragama non-muslim maka terlebih dulu diadakan

pemberkatan pernikahan di tempat ibadah masing-masing.

Apabila acara akad nikah atau pemberkatan nikah telah dilangsungkan

sebelumnya maka saat pengantin tiba di tempat resepsi pengantin akan dijemput oleh

(51)

pihak wanita dan dilanjutkan dengan acara-acara seterusnya. Pada zaman dulu

pernikahan adat Sunda bisa berlangsung selama setengah atau bahkan sebulan.

Sebagai undangan atau pengumuman kepada masyarakat di sekeliling rumah bahwa

akan diadakan pesta pernikahan, selama berhari-hari para remaja putra dan putri

melakukan ngagondang yaitu memukulkan alat penumbuk padi pada lesung sambil

bersama-sama melantunkan lagu-lagu tradisional Sunda.

3.3.3 Pemberian Wejangan

Wejangan diberikan oleh ayah pengantin wanita; memberikan nasihat-nasihat

kepada calon pengantin supaya bisa membentuk keluarga baru yang rukun dan dapat

menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan baik dan menjaga hubungan

pernikahan agar tetap harmonis.

3.3.4 Saweran

Nyawer memiliki makna menebar nasihat. Karena sepasang pengantin akan

mengarungi kehidupan baru, orang tua bertanggung jawab untuk memberikan bekal

lahir batin kepada kedua mempelai. Dahulu saweran biasanya dilakukan oleh orang

tua kandung pengantin tetapi saat ini lebih sering dilakukan oleh tukang sawer karena

tidak semua orang dapat menyanyikan kidung-kidung sawer. Pada masa penjajahan

Belanda, berbicara di depan umum sangat dilarang karena khawatir akan mengarah

(52)

menjadi sebab digunakannya model pantun dalam saweran sejak zaman dahulu yang

terus berlanjut hingga saat ini.

Sawer diberikan secara puitis dan dilantunkan dengan tembang-tembang

kidung yang indah. Kedua pengantin duduk di kursi yang telah disediakan dan di

belakang kedua kursi tersebut ada salah satu kerabat pengantin yang memegang

payung besar yang telah dihiasi. Kepada kedua pengantin akan dinyanyikan pantun

sawer yang oleh penyawer. Pantun yang dilantunkan tersebut berisi petuah-petuah

dari kedua orang tua pengantin. Setelah dinyanyikan pantun-pantun tersebut maka

kedua orang tua pengantin akan menyawer pengantin dengan taburan biji-bijian

(kacang tanah dan jagung), beras kuning dan kunyit, beberapa macam bunga, uang

logam, permen, dan perlengkapan makan sirih ke atas payung.

Benda-benda yang disawerkan pun memiliki makna tersendiri. Biji-bijian

(kacang tanah dan jagung) bermakna agar nantinya pasangan pengantin

berkecukupan dalam bidang pangan. Beras kuning atau kunyit juga bermakna agar

pengantin selalu berkecukupan dalam hal pangan; bunga melambangkan kebahagiaan

di masa datang; uang logam bermakna agar pengantin selalu berkecukupan dalam hal

materi. Permen dan perlengkapan makan sirih bermakna asam manis dan pahitnya

kehidupan berkeluarga bergantung pada bagaimana kita menyikapi dan

menyelesaikan masalah yang ada. Para tamu biasanya akan memperebutkan hasil

sawer karena dipercaya akan membawa berkah dan dapat pula mengikuti jejak dalam

(53)

Peneliti akan melampirkan tembang-tembang atau kidung sawer yang akan

dinyanyikan oleh tukang sawer dalam bahasa Sunda beserta dengan terjemahannya

dalam bahasa Indonesia:

SAWER PANGANTEN

JEMPLANG KARANG (ASMARANDANA)

1. Neda geung panghaksami 1. Mohon maaf yang sebesar-besarnya

Ka sadaya pamiarsa Pada semua pemirsa

2. Nitih wanci nu mustari 2. Telah datang waktu yang tepat

Ningnang mangsa nu utama Pada saat yang utama

Hidep duaan ngarendeng Kalian berdua duduk berdampingan

Sanggeus rengse dirahpalan Setelah selesai dimohonkan doa

(54)

Nu nembak na lelembutan Bertiup dengan penuh kelembutan

Muga ngoyagkeun panganten Semoga menyentuh hati pengantin

Ngoyagkeun sanubarina Menyentuh hati sanubari

3. Rehna kedah katedunan 3. Atas terkabulnya keinginan lama

kana subaya turunan yang bertahun-tahun terpendam

5. Rarepeh pamegat istri 5. Semoga laki-laki dan perempuan ini

hiap ujang hiap nyai dapat menerima nasihat

muga pituah katampi yang keluar

(55)

6. Dangukeun ieu piwulang 6. Dengarkan pengalaman ini

8. Sarehna enggeus lugina 8. Karena sudah bahagia

najan dek ka mana-mana dan tidak kemana-mana

tumaninah geus laksana serta semua sudah terlaksana

mung kantun kanggo saratna hanya tinggal memenuhi syaratnya

9. Estuning malang mulintang 9. Sebenarnya malang-melintang

raos ngeunah ngagandeuang terasa tidak enak

tanda teu aya karingrang semua mengandung tanda

geus hamo aya kareunang tidak ada rasa cemas

10. Ngan bangga kanggo meulina 10. Hanya bangga karena memberi

muga masing ariatna semoga semua syarat

ku loba halanganana yang banyak halangannya

nu ngagoda ngarancana tidak menghalangi rencananya

11. Bisina tacan kaharti 11. Siapa tahu

tengetkeun masing rastiti semua belum mengerti

ucap lampah ati-ati hati-hati dalam bertingkah laku

kudu silih beuli ati dan berkata-kata

12. Lampah ulah pasalia 12. Berjalan dalam keluarga

sing ngalap hayang waluya jangan sendiri-sendiri

upama pakiya-kiya seandainya sendiri-sendiri

ahirna matak pasea akan menimbulkan pertengkaran

13. Ulah sok baeud camerut 13. Jangan bermuka asam

taya bayana nu runtut tidak ada keinginan berusaha

rejeki nuturkeun nungtut karena rejeki itu mengikuti

(56)

14. Pacuan rek silih unghak 14. Harta benda tidak akan hilang

campelak tekad teu layak pikirkan dahulu sebelum bicara

sagala sing asak ngayak hindari ucapan dan sikap

singkahan kecap nu nyugak yang menyakiti orang lain

15. Reujeung ulah teu payaan 15. Jangan suka memperbesar masalah

ngegedekeun papaduan baik dalam keluarga

nungtun kana pepegatan menimbulkan perceraian

(dalam bahasa Indonesia) (Muchtar, 1987:133)

3.3.5 Nincak Endog (Injak Telur)

Telur dianggap sebagai lambang segala awal kehidupan, maka kedua orang

tua senantiasa menjaganya jangan sampai pecah. Bagi seorang gadis, buah

keperawanan haruslah dijaga. Saat ia berhasil mendapatkan pasangan yang tepat, baru

hal yang sangat berharga itu dipasrahkan secara utuh. Nincak endog melambangkan

pada saat pengantin pria menginjak telur sampai pecah, itulah simbol pengantin

wanita mempersembahkan keperawanannya pada mempelai pria. Kemudian

mempelai wanita akan berjongkok dan membersihkan kaki sang suami dengan air

(57)

kesetiaan seorang istri terhadap suaminya dalam setiap keadaan, suka dan duka. Pada

saat yang bersamaan ibu jari pengantin pria ditekankan ke ubun-ubun pengantin

wanita, sebagai simbol keseimbangan dan keharmonisan hidup.

3.3.6 Ngaleupaskeun Japati

Bagi masyarakat Sunda merpati adalah binatang yang selalu hidup rukun,

jarang bertengkar, apalagi saling mencakar. Selama ini merpati dikenal sebagai

lambang pemberi kabar, kejujuran, dan pembawa kedamaian.

Kabar inilah yang ingin disebarkan oleh kedua orang tua mempelai bahwa dua

sejoli tersebut sudah menikah dan sepakat untuk memasuki mahligai rumah tangga.

Bersama iringan doa yang khusuk, ibu pengantin pria melepaskan merpati jantan dan

ibu pengantin wanita melepaskan merpati betina. Sebelum merpati dilepaskan ibu

pengantin wanita akan mengucapkan doa yang dilagukan tetapi karena tidak semua

orang bisa melantunkannya maka biasanya akan diwakilkan oleh juru sawer.

Nyai eulis anaking

pupunden Ema jeung Bapa

salapan bulan Ema ngakandung

dikukuntit ku karisi

dirancana ku karempan

sieun kitu sieun kieu

kakandungan kuma onam.

Beurat burayang-bureuyeung

(58)

mapan dina pangharepan

nu dikandung mulus tur rahayu.

Geulis

dua poe dua peuting Ema nandonkeun nyawa

rek ngalahirkeun Nyai (Eulis)

teu daek brol

pati Ema sasat guwang-gawing

ngagantung dina rambut salambar

matak ketir baluas kadieunakeun.

Alhamdulillah

murahna Allah subhanahu wataala

putra Ema medal, salamet.

Dirorok didama-dama

dijaring diaping beurangna peutingna

ditanggeuy dieugeuh-eugeuh

diatik diwaris harti

23 taun ayeuna (Yuswa panganten Istri)

cunduk dawuhna datang mangsana

wet kudu papisah

nalangsa galo jeung bungah.

Teu panasaran

da aya nu neruskeun nyaah

neruskeun bela

Nya Kang Agus (Jenengan panganten pameget)

panutan Nyai

Ema, bapa, jumurung pisan

suka li’lah sadrah pisan

(59)

tarawekal malotekar

lulus mulus sauyunan

silih belaan duaan

silih asih silih asuh

deudeuh silih pikanyaah

lambat lambut runtut raut

jatnika lahir batin

rumangkep nepi ka pati

Cangreud dina sanubari

agem agama tatapakan

darigama pananggeuyna

enggoning hirup

Insya Allah rachmat salamet

bral anaking buah ati, beubeulahan nyawa

perlambangna japati leupas tina kurung…..

Ya Allah nyanggakeun…..

(Muchtar, 1987:141)

dalam bahasa Indonesia:

Anakku yang cantik pujaan ibu dan bapak 9 bulan ibu mengandung diikuti perasaan tidak tenang rasa was-was takut ini itu terjadi pada kandungan Kubawa kemana-mana walau berat terasa nafas sesak

(60)

yang dihadapi

harapan sehat dan lancar dalam kelahiran

Anakku 2 hari 2 malam

ibu bertaruh nyawa untuk melahirkanmu nyawa terasa akan lepas

dari diri ini

hidup bagai tergantung pada sehelai rambut tidak ada rasa tenang gelisah selalu

menghadapi kelahiranmu

Alhamdulillah

atas nama Allah Subhanahu wataala anakku lahir dengan selamat

Kurawat dengan penuh kasih sayang kulindungi kudampingi

siang malam ku cinta setiap saat

bagai harta warisan tak ternilai

23 tahun sudah umurmu anakku (usia pengantin perempuan) muncul perintah datang waktunya

(61)

yang menjadi teladanmu

Ibu bapak sangat bahagia

pergilah dalam ketakwaan dan tawakal dalam usaha yang mulus

bekerja samalah saling membela mengasihi dan menghormati bersatulah lahir batin

perlahan-lahan sampai mati

Terikat dalam hati sanubari jalankan perintah agama

sebagai pengikat perjalanan hidup Insya Allah berkat keselamatan menyertaimu anakku

belahan hatiku (melepas burung merpati dari sarangnya) Ya Allah kuserahkan pada-Mu

Amin

(Muchtar, 1987:141)

3.3.7 Buka Pintu

Bagi siapapun yang ingin bertamu ke rumah orang tentu harus mengetuk pintu

atau memberi salam terlebih dahulu. Hal inilah yang kemudian diterapkan dalam

Ritual Pernikahan Adat Sunda. Sebenarnya ritual Buka Pintu bukan asli dari daerah

Sunda. Acara ini diperkenalkan pertama kali pada masyarakat Sunda oleh Pangeran

Hidayatullah ketika ia dibuang penjajah Belanda ke daerah Cianjur.

(62)

termasuk di antaranya RAA Kusumahningrat, seniman Cianjur yang tersohor pada

masa itu. Salah satu upacara adat itu adalah upacara Buka Pintu, setelah sebelumnya

dilengkapi dengan pepantunan bahasa Sunda yang kemudian ditembangkan dalam

nada-nada khas Pasundan. Mungkin karena itulah istilah upacara ini tidak

menggunakan bahasa Sunda, yaitu Muka Panto, tetapi tetap dalam bahasa Indonesia

yaitu Buka Pintu (Agoes Artati, 2003:4). Upacara Buka Pintu itu kini secara

turun-temurun menjadi bagian ritual upacara Pernikahan Adat Sunda.

Sebelum memasuki rumah keluarga pengantin wanita, sebelumnya pengantin

pria harus mengetuk pintu tiga kali. Dari dalam rumah pengantin wanita tidak

langsung membukakan pintu. Ia perlu memastikan apakah yang mengetuk pintu itu

benar-benar pria yang baru saja menikahinya. Hal ini bermakna agar kita tidak

sembarangan membuka pintu kepada orang yang datang bertamu karena kita tidak

tahu apakah benar yang datang itu suami, saudara maupun teman kita, atau justru

orang yang berniat jahat yang sedang ada di luar rumah kita.

Saat pengantin pria melangkahkan kakinya memasuki rumah, pengantin

wanita akan segera menyambutnya dengan munjungan, yaitu jabat tangan khas Tanah

Pasundan. Caranya dengan menyatukan kedua telapak tangan yang kemudian kedua

ujung jarinya ditempelkan di hidung. Pengantin wanita kemudian menunduk dan

menyentuhkan sebagian ujung jarinya pada ujung jari pengantin pria yang

mengandung maksud agar suami mampu bersikap lebih santun. Dialog ini biasanya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian kekerasan menggunakan microhardness tester MATSUZAWA tipe MMT-X7 pada permukaan AlSiCu yang tanpa nitridasi maupun yang dinitridasi untuk berbagai

Maka, kajian ini dijalankan untuk mengenal pasti kaedah Pembelajaran Informal yang paling dominan yang diamalkan dalam kalangan guru bukan opsyen mata pelajaran

Semakin tinggi toleransi risiko semakin kecil kemungkinan memilih asset berisiko rendah, atau semakin tinggi toleransi risiko semakin besar memilih asset yang berisiko lebih

Dimana dalam laporan yang diterbitkan oleh ACFE (2016), bahwa lebih dari 29 % tindak kecurangan dapat terjadi jika perusahaan memiliki kontrol internal yang

Kepada Peserta Lelang yang keberatan atas pengumuman pemenang lelang ini, dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi LPSE kepada Panitia Pengadaan dalam

Penyelidikan yang dijalankan di Sungai Pinang yang terletak dalam daerah Balik Pulau, Pulau Pinang melibatkan kajian antropogen yang bertumpu di bahagian hulu dan

PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA. MELALUI

Salah satu alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk mengambil keputusan yang tepat adalah dengan mengunakan informasi akuntansi, misalnya informasi akuntansi diferensial