• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Kelas Menengah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Kelas Menengah di Indonesia"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN INKLUSIF : FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMENGARUHI DAN DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN KELAS MENENGAH DI INDONESIA

DYAH HAPSARI AMALINA SHOLIHAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Kelas Menengah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Dyah Hapsari Amalina Sholihah

(4)

RINGKASAN

DYAH HAPSARI AMALINA SHOLIHAH. Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Kelas Menengah di Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan ALLA ASMARA.

Walaupun bukan isu baru, tema pertumbuhan inklusif hingga saat ini semakin menarik perhatian dan dianggap penting. Berbagai indikator yang mencirikan pertumbuhan inklusif terus dikembangkan, termasuk bagaimana metode mengukur pertumbuhan inklusif. Isu pertumbuhan inklusif semakin menarik dengan munculnya kelas menengah yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi telah inklusif. Meskipun ada indikasi bahwa pertumbuhan yang inklusif telah terjadi di Indonesia dengan adanya kebangkitan kelas menengah, tetapi kelas menengah tersebut masih didominasi oleh kelompok menengah bawah. Kelas menengah bawah, yaitu dengan pendapatan $2-$4 per kapita, mendominasi ekspansi dalam periode 2006 hingga 2009. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010, ekspansi terbesar terjadi pada kelompok pendapatan per kapita $4-$6 (mid middle class). Hal itu menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam pertumbuhan kelas menengah yang tentunya berlawanan dengan konsep pertumbuhan inklusif dimana pertumbuhan mampu menurunkan ketimpangan. Selain itu, persoalan kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT) yang telah lama dibahas di Indonesia sejauh ini masih luput dari pembahasan kelas menengah maupun pertumbuhan inklusif yang dilakukan oleh World Bank dan Asian Development Bank (ADB).

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis inklusifitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia, (2) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusif di Indonesia, (3) Menganalisis dampak pertumbuhan inklusif terhadap pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Untuk mengetahui ukuran pertumbuhan inklusif, digunakan pengukuran yang dirumuskan oleh Klasen (2010), dimana rumus pertumbuhan inklusif diadopsi dari konsep Poverty-Equivalent Growth Rate (PEGR). Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusif dalam hal menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta untuk menganalisis dampak pertumbuhan inklusif terhadap pertumbuhan kelas menengah digunakan metode regresi data panel statis. Pengolahan data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan software Excel dan Eviews 6.1.

(5)

terutama sejak tahun 2010. Melalui analisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusif, dihasilkan kesimpulan bahwa pendapatan perkapita, investasi pemerintah pada modal fisik, dan angka partisipasi sekolah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan. Ketimpangan memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan. Kontribusi sektor pertanian memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan. Inflasi dan Jumlah penduduk memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja. Pengangguran memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inklusifitas pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja. Pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskinan memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Sedangkan pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan ketimpangan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja memiliki dampak yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan kelas menengah di Indonesia.

Dengan adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia cenderung terjadi secara acak dan tidak konsisten, maka hendaknya pemerintah pusat maupun daerah lebih fokus terhadap pemerataan hasil-hasil pembangunan dan distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat program pembangunan yang langsung ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan yaitu kemiskinan, ketimpangan, dan kurangnya tenaga kerja. Contohnya : membangun sarana pendidikan dan transportasi umum untuk masyarakat miskin sehingga mempermudah akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, orientasi pembangunan di IBB tanpa mengabaikan atau mengurangi prioritas pembangunan di wilayah lain untuk masalah pembangunan yang sama, dan menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pemilik modal untuk meningkatkan kesempatan kerja terutama di sektor padat karya. Saran lain yang dapat diajukan berdasarkan uraian dalam penelitian yang menunjukkan bahwa propinsi yang memiliki pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskinan adalah propinsi yang juga memiliki pertumbuhan inklusif dalam indikator lainnya, yaitu fokus untuk mengarahkan pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan belanja pemerintah daerah untuk modal fisik dan menjalankan program yang dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan program wajib belajar 9 tahun. Sedangkan berkaitan dengan kelas menengah, untuk menciptakan kelas menengah yang tumbuh cepat dan kuat, diperlukan program-program pembangunan yang pro terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong sektor-sektor ekonomi yang padat karya (bukan padat modal). Pilihan lain bagi pemerintah adalah menstimulus terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor padat karya ke sektor padat modal dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

(6)

SUMMARY

DYAH HAPSARI AMALINA SHOLIHAH. Inclusive Growth : Factors that Influence and Impact on the Growth of The Middle Class. Supervised by M. PARULIAN HUTAGAOL and ALLA ASMARA.

Although not a new issue, the theme of inclusive growth up to now attract more attention and is considered important. Various indicators that characterize inclusive growth continues to be developed, including a method to measure how inclusive growth. The issue of inclusive growth increasingly attractive with the advent of the middle class that indicates that the economic growth that has occurred inclusive. Although there are indications that inclusive growth has occurred in Indonesia, with the revival of the middle class, but the middle class is still dominated by low-income households. Lower middle class, ie by income of $ 2 to $ 4 per capita, dominates the expansion in the period 2006 to 2009, while in 2009 and 2010, the largest expansion occurred in the group of per capita income is $ 4- $ 6 (mid middle class). It shows there is still a gap in the growth of the middle class. If the middle class gap indicates a disparity in the economy, then it will create economic disparity getting worse.

The issue of the gap is contrary to the concept of inclusive growth where growth is able to reduce inequality. In addition, the issue of the gap between Western Indonesia (IBB) and Eastern Indonesia (IBT), which has long been discussed in Indonesia so far been spared from the discussion of the middle class and inclusive growth by the World Bank and the Asian Development Bank (ADB). In relation to the middle class, the middle class with a discussion of inclusive growth that are theoretically related to each other tend to be discussed individually. While in terms of inclusiveness of growth, attention is given economists still centered on the assessment of the inclusiveness of economic growth. What is behind inclusiveness itself and how to achieve inclusive growth is still a question unanswered. To find out what is behind the inclusive growth and how to achieve it requires a separate study. It can begin by looking at the factors that can affect the component of inclusive growth. Referring back to the definition of inclusive growth as growth that is capable of reducing poverty, lowering inequality of income distribution and absorb more labor it is necessary to relearn the factors that affect these components.

The purpose of this study was (1) to analyze the inclusiveness of economic growth in Indonesia, (2) Analyze the factors that influence the growth of Indonesia's inclusive, (3) analyze the impact of inclusive growth of the growing middle class in Indonesia. To determine the size of inclusive growth, the measurement used was formulated by Klasen (2010), in which the formula was adopted from the concept of inclusive growth-Poverty Equivalent Growth Rate (PEGR). While to analyze the factors that influence the growth inclusive in terms of reducing poverty, lowering inequality of income distribution and increase employment, as well as to analyze the impact of inclusive growth to the growth of the middle class use a static panel data regression method. Processing of the data in the study performed using Excel and Eviews 6.1 software.

(7)

decrease, and not increase employment. This study also shows that inclusive growth in reducing poverty, lowering inequality, and increasing employment is not a consistent phenomenon in Indonesia. The phenomenon of inclusive growth in reducing poverty, lowering inequality, and increasing employment are more prevalent in Eastern Indonesia (IBT). Nevertheless, the percentage of the number of provinces in the IBT has decreased tendency especially since 2010. Through the analysis of the factors affecting inclusive growth, produced the conclusion that the per capita income, government investment in physical capital, and enrollment has a positive and significant effect on inclusiveness growth in reducing poverty. Inequality has a negative and significant impact on the inclusiveness of growth in reducing poverty. Contribution of the agricultural sector has a positive and significant impact on the inclusiveness of growth in reducing inequality. Inflation and the total population has a negative and significant effect on the inclusiveness of growth in reducing inequality. Economic growth has a positive and significant impact on the inclusiveness of growth in labor absorbing. Unemployment has a negative and significant impact on the inclusiveness of growth in labor absorbing. Inclusive growth in reducing poverty has a positive and significant impact on the growth of the middle class in Indonesia. While inclusive growth in reducing inequality and improving employment has a negative and significant impact on the growth of the middle class in Indonesia.

With the results of studies showing that economic growth in Indonesia tend to occur at random and inconsistent, then the central and local governments should focus more on equity for development results and the distribution of benefits of economic growth. This can be done by creating a development program that is directly targeted to address the growing problems of poverty, inequality, and lack of manpower. Examples: building educational facilities and public transport for the poor so that they facilitate access to economic resources, the development orientation in IBB without ignoring or reducing the development priorities in other areas for the construction of the same problems, and create an attractive investment climate for capital owners to improve employment opportunities, especially in labor-intensive sectors. Another suggestion which may be made based on the description in the research that shows that provinces that have inclusive growth in reducing poverty is a province that also have inclusive growth in other indicators, namely a focus to direct growth to reduce poverty. This can be done by increasing government spending for physical capital and running programs to improve school enrollment rate as the School Operational Assistance (BOS) and the 9-year compulsory education program. While associated with the middle class, to create a fast-growing middle class and strong, necessary development programs that pro-poverty. This can be done by encouraging the economic sectors that are labor intensive (not capital intensive). Another option for the government is to stimulate the transfer of labor-intensive sector to the capital-intensive sector by improving the quality of human resources.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PERTUMBUHAN INKLUSIF : FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMENGARUHI DAN DAMPAKNYA TERHADAP

PERTUMBUHAN KELAS MENENGAH DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Kelas Menengah di Indonesia

Nama : Dyah Hapsari Amalina Sholihah NIM : H151100211

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Ketua

Dr. Alla Asmara, SPt, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Fenomena pertumbuhan inklusif dan kelas menengah merupakan topik yang sangat menarik sehingga begitu banyak teori dan analisis ekonomi yang dilakukan dalam membahas masalah yang terjadi pada dua hal tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai topik ini dengan judul thesis yaitu “Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Kelas Menengah di Indonesia”. Selain itu, thesis ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Lebih dari segalanya, penulis ucapkan syukur atas kuasa Illahi Robbi untuk semua kemudahan dan karunia yang telah diberikan dalam hidup penulis. Dengan segenap ketulusan hati, penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih yang begitu besar kepada Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS dan Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si. selaku dosen pembimbing thesis yang telah membimbing dan memberikan banyak pelajaran bagi penulis dalam penyusunan thesis ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, MSi selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah banyak memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan thesis ini.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Ir. Kuswanto Sumo Atmojo MS dan Dyah Mumpuni Ciptaningtyas, sebagai orang tua penulis, orang tua terhebat yang tak pernah putus memberikan doa, semangat dan motivasi dengan penuh kasih sayang. Terimakasih untuk suami penulis, Roby, atas kesabaran dan pengertiannya yang luar biasa. Kepada adik penulis, Ifa, Iqbal, Wardah dan Alamsyah atas kasih sayang dan hiburan yang diberikan setiap saat bagi penulis. Terimakasih juga untuk teman-teman IE Reguler 4 atas dukungan dan kesediannya membantu dan menemani penulis selama proses belajar hingga penelitian.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

1 PENDAHULUAN

Error! Bookm ark not defined.

Latar Belakang

Er ror! Bookmark not defined.

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penulisan 8

Kegunaan Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Kelas Menengah 9

Definisi Kelas Menengah

Er ror! Bookmark not defined.

Peranan Kelas Menengah dalam Perekonomian 11

Pertumbuhan Inklusif

Er ror! Bookmark not defined.

Definisi Pertumbuhan Inklusif 12

Pengukuran Pertumbuhan Inklusif 15

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan 19

Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan 21 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja 23

Kelas Menengah dan Pertumbuhan Inklusif 23

Kerangka Pemikiran 24

Hipotesis Penelitian 25

3 METODE PENELITIAN 28

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Analisis 28

Mengukur Pertumbuhan Inklusif 28

Metode Estimasi Data Panel 31

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif 33 Analisis Dampak Pertumbuhan Inklusif terhadap Pertumbuhan Kelas

Menengah 34

Pemilihan Spesifikasi Model Terbaik 34

Uji Asumsi 36

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Inklusifitas Pertumbuhan Ekonomi 41

(14)

Fenomena Pertumbuhan Inklusif di Indonesia Bagian Barat dan

Timur 50

Kondisi Kemiskinan, Ketimpangan, dan Tenaga Kerja di Indonesia Bagian

Barat dan Timur 58

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif 62 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam

Mengurangi Kemiskinan 62

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam

Menurunkan Ketimpangan 65

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam

Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja 68

Analisis Dampak Pertumbuhan Inklusif terhadap Pertumbuhan Kelas

Menengah di Indonesia 71

5 KESIMPULAN 74

6 SARAN 75

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 79

(15)

DAFTAR TABEL

1 Estimasi Kelas Menegah di Indonesia 2

2 Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Kemiskinan dan Laju Perubahan PDRB ADHK 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2012 42 3 Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Ketimpangan dan Laju

Perubahan PDRB ADHK 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2012 45 4 Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

dan Laju Perubahan PDRB ADHK 33 Provinsi di Indonesia Tahun

2008-2012 48

5 Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Memengaruhi

Pertumbuhan Inklusif terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Model

Efek Tetap 62

6 Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif terhadap Penurunan Ketimpangan dengan

Model Efek Tetap 67

7 Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Memengaruhi

Pertumbuhan Inklusif terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dengan

Model Efek Tetap 70

8 Hasil Estimasi Model Dampak Pertumbuhan Inklusif terhadap

Pertumbuhan Kelas Menengah di Indonesia dengan Model Efek Tetap 71

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1999-2012 2

2 Ekspansi Kelas Menengah di Indonesia 4

3 Proporsi Pengeluaran Kelas Menengah terhadap Pengeluaran Total 5 4 Persentase Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 6 5 Distribusi Pendapatan dan Indentifikasi Kelas Menengah 10

6 Kurva Peluang Sosial 15

7 Lingkaran Setan Kemiskinan (vicious circle poverty) 20

8 Kerangka Pemikiran 26

9 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan di Wilayah Indonesia Bagian Barat

pada Tahun 2008-2012 51

10 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan di Wilayah Indonesia Bagian Timur

pada Tahun 2008-2012 52

11 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan di Wilayah Indonesia Bagian Barat

dan Timur pada Tahun 2008-2012 53

12 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Ketimpangan di Wilayah Indonesia Bagian Barat

pada Tahun 2008-2012 53

13 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Ketimpangan di Wilayah Indonesia Bagian Timur

(16)

14 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Menurunkan Ketimpangan di Wilayah Indonesia Bagian Barat

dan Timur pada Tahun 2008-2012 55

15 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja di Wilayah Indonesia

Bagian Barat pada Tahun 2008-2012 56

16 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja di Wilayah Indonesia

Bagian Timur pada Tahun 2008-2012 56

17 Persentase Jumlah Provinsi yang Pertumbuhan Ekonominya Inklusif dalam Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja di Wilayah Indonesia

Bagian Barat dan Timur pada Tahun 2008-2012 57

18 Rata-rata Persentase Penduduk Miskin di IBB dan IBT Tahun

2007-2012 58

19 Penurunan Persentase Penduduk Miskin di IBB dan IBT Tahun

2008-2012 59

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Regresi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan dengan Model Efek Tetap

(Fixed Effect) 81

2 Hasil Regresi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan dengan Model Efek Acak

(Random Effect) 82

3 Hasil Uji Hausman (Hausman Test) Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan

dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect) 83

4 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Ketimpangan dengan Model Efek Tetap (Fixed

Effect) 85

5 Hasil Regresi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Ketimpangan dengan Model Efek Acak

(Random Effect) 86

6 Hasil Uji Hausman (Hausman Test) Model Faktor-Faktor yang

Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Menurunkan Kemiskinan 87 7 Hasil Regresi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan

Inklusif dalam Penyerapan Tenaga Kerja dengan Model Efek Tetap

(Fixed Effect) 89

8 Hasil Regresi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Penyerapan Tenaga Menurunkan Ketimpangan dengan

Model Efek Acak (Random Effect) 90

9 Hasil Uji Hausman (Hausman Test) Model Faktor-Faktor yang

Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif dalam Penyerapan Tenaga Kerja 91 10 Hasil Regresi Model Pengaruh Pertumbuhan Inklusif terhadap

Pertumbuhan Kelas Menengah dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect)

(17)

11 Hasil Regresi Model Pengaruh Pertumbuhan Inklusif terhadap Pertumbuhan Kelas Menengah dengan Model Efek Acak (Random

Effect) 94

12 Hasil Uji Hausman (Hausman Test) Model Pengaruh Pertumbuhan

(18)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir sejak resesi besar-besaran Amerika Serikat dan Eropa (pada tahun 2008-2009), fenomena kebangkitan dan pertumbuhan kelas menengah di Asia menarik banyak perhatian, baik ekonom yang memusatkan pada sisi ekonomi maupun politikus yang mempertimbangkan implikasi politiknya. Besarnya populasi penduduk Asia dan pertumbuhan kelas menengahnya yang cepat menjadi faktor penting sebagai penggerak perekonomian, tidak hanya di Asia tapi juga seluruh dunia. Para pembuat kebijakan mempertimbangkan betapa besarnya peranan kelas menengah tersebut dalam menyeimbangkan perekonomian dunia di masa yang akan datang.

Kelas menengah di negara-negara berkembang di Asia cenderung menjadi pusat perhatian dibanding kelas menengah negara berkembang di kawasan Eropa, Amerika Latin, maupun Afrika, karena jumlahnya yang begitu besar dan pertumbuhannya yang relatif lebih cepat sejak tahun 1990 (ADB, 2010). Kebangkitan kelas menengah diindikasikan dari adanya pengeluaran konsumen di negara-negara berkembang Asia yang memperlihatkan pola yang stabil, bahkan meningkat, selama resesi terjadi (ADB, 2010). Kemunculan konsumen-konsumen tersebut menimbulkan ekspektasi besar untuk menjadi konsumen global berikutnya, menggantikan kelas menengah di Amerika Serikat dan Eropa. Tidak hanya itu, dalam kaitannya dengan proses penyeimbangan kembali perekonomian Asia, yaitu dari pertumbuhan konsumsi berbasis ekspor menjadi konsumsi domestik, maka proses ini akan bergantung pada bangkit dan meluasnya kelas menengah. Hal ini akan menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih stabil dan efisien untuk menurunkan kemiskinan.

Sebagai salah satu negara berkembang di Asia, kemunculan kelas menengah di Indonesia tidak luput dari perhatian. Kemunculan dan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia telah terlihat bahkan sejak periode akhir krisis ekonomi tahun 1999, dan terutama dalam beberapa tahun belakangan. Berdasarkan proporsinya terhadap total populasi, kelas menengah di Indonesia meningkat dari 25 persen pada tahun 1999 menjadi 43 persen pada tahun 2009 (SUSENAS, 1999 dan 2009). Sedangkan perhitungan yang dilakukan World Bank menunjukkan bahwa dalam tujuh tahun kelas menengah di Indonesia bertambah 50 juta orang. Estimasi kelas menengah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

(19)

Tabel 1 Estimasi Kelas Menengah di Indonesia

Sumber : The World Bank, Indonesia Economic Quarterly (2008 Again, March 2011), diolah. Kemunculan kelas menengah di Indonesia diduga disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1999-2012 Sumber : BPS (1999-2011), diolah

Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat hingga tahun 2012. Setelah terjadinya krisis yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen pada tahun 1998, Indonesia terus mencatat pertumbuhan positif rata-rata 5 persen sejak tahun 2000. Dalam kaitannya dengan kelas menengah, Birdsall (2007) berpendapat bahwa pertumbuhan inklusif (inclusive growth), merupakan pertumbuhan yang kondusif untuk meningkatkan ukuran dan kemampuan ekonomi kelas-menengah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diiringi dengan pertumbuhan kelas menengah secara signifikan menunjukkan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan pertumbuhan yang inklusif.

Berbagai konsep yang ditawarkan untuk merumuskan pertumbuhan inklusif memiliki pandangan masing-masing mengenai bagaimana seharusnya

0,8 4,9

3,5

4,4 4,9

5,1 5,7 5,5

6,3 6,4

4,6

6,2 6,5 6,81

0 1 2 3 4 5 6 7 8

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(%

)

Tahun

PERTUMBUHAN EKONOMI

INDONESIA 1999-2012

Kelas

Pendapatan per kapita per

hari 2003 (%) 2010 (%)

Bawah < $1,25 21,9 62,2 14,0 43,3

$1,25 - $2 40,3 29,3

Menengah

$2 - $4 32,1

37,7

38,5

56,5

$4 - $6 3,9 11,7

$6 - $10 1,3 5,0

$10 - $20 0,3

1,3

(20)

pertumbuhan dapat bekerja dalam perekonomian. Faktor-faktor seperti ketimpangan, kemiskinan, masalah sektoral dan tenaga kerja seringkali disebutkan dalam uraian mengenai berbagai konsep pertumbuhan inklusif. Pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai ukuran apakah pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan pertumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi disebut inklusif apabila pertumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Meskipun ada indikasi bahwa pertumbuhan yang inklusif telah terjadi di Indonesia dengan adanya kebangkitan kelas menengah, tetapi kelas menengah tersebut masih didominasi oleh kelompok menengah bawah. Hal itu menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam pertumbuhan kelas menengah. Jika kesenjangan kelas menengah menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi, maka hal itu akan menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin parah. Idealnya, pertumbuhan kelas menengah dapat lebih seimbang khususnya pada kelompok menengah dari kelas menengah dan hal ini dapat diupayakan dengan menciptakan pertumbuhan yang inklusif.

Persoalan kesenjangan yang terjadi pada kelas menengah tidak lepas dari adanya masalah kesenjangan dalam pembangunan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pembangunan di daerah-daerah yang bersifat pembangunan regional, pembangunan wilayah atas pembangunan kawasan, dalam skala apapun, adalah bagian terpadu dari pembangunan nasional yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Dengan begitu luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau dan kepulauan, persoalan kurangnya pemerataan pembangunan telah lama muncul terutama antara wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB) dengan Indonesia Bagian Timur (IBT). Pembangunan yang didominasi pada provinsi-provinsi yang termasuk dalam IBB, yaitu seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera, membuat kawasan IBT relatif masih jauh tertinggal baik dalam hal prasarana fisik, sosial, sumber daya (modal maupun manusia), maupun kelembagaan. Data BPS menunjukkan bahwa 82 persen PDB Indonesia dikuasai oleh provinsi-provinsi di IBB, sedangkan sisanya terdistribusi di seluruh provinsi pada IBT (BPS, 2008-2012). Data tersebut menunjukkan bahwa

(21)

itu sendiri dan bagaimana mencapai pertumbuhan yang inklusif hingga saat ini masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab. Untuk mencari tahu apa yang ada dibalik pertumbuhan inklusif dan bagaimana cara mencapainya membutuhkan studi tersendiri. Hal ini dapat dimulai dengan melihat faktor yang dapat mempengaruhi komponen pertumbuhan inklusif. Merujuk kembali pada definisi pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan yang mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan menyerap lebih banyak tenaga kerja maka perlu untuk dipelajari kembali faktor-faktor yang mempengaruhi tiga komponen tersebut.

Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir telah menghasilkan perubahan yang struktural dalam komposisi pendapatan penduduk Indonesia. Perubahan struktural ini ditandai dengan menurunnya jumlah penduduk miskin dan nyaris miskin yang disertai dengan ekspansi kelas menengah secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Ekspansi kelas menengah di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2 Ekspansi Kelas Menengah di Indonesia Tahun 2003-2010 Sumber : The World Bank, Indonesia Economic Quarterly (2008 Again, March 2011)

(22)

Ansori (2009) telah melakukan analisis yang menunjukkan bahwa kelas menengah baru yang muncul di Indonesia berhubungan erat dengan konsumsi komoditas yang sekaligus menjadi wujud keberadaan status sosial mereka. Data yang ada menunjukkan bahwa kelas menengah telah menguasai 75 persen dari total pengeluaran, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan porsi pengeluaran kelas menengah bawah cenderung menurun. Penurunan ini bukan karena pengeluaran konsumsi yang mengalami penurunan, melainkan karena jumlah masyarakat yang berada pada kelompok tersebut telah berhasil meningkatkan statusnya menjadi kelompok menengah. Jumlah kelas menengah yang besar merupakan pasar yang penting bagi sektor usaha untuk diperhatikan. Kekuatan konsumsi kelas menengah dapat mendorong ekspansi pasar sehingga memungkinkan adanya eksploitasi terhadap perluasan skala produksi ekonomi.

Ketika masyarakat mampu meningkatkan statusnya menjadi kelas menengah, maka tidak hanya konsumsi yang meningkat tetapi juga akan terjadi perubahan komposisi pengeluaran. Tetapi di Indonesia perubahan komposisi yang signifikan belum terjadi pada kelompok menengah bawah. Pada kelompok ini, pengeluaran masih didominasi oleh permintaan akan makanan. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan World Bank (2011), lebih dari 60 persen pengeluaran kelompok menengah bawah didominasi oleh pengeluaran untuk makanan. Dengan kondisi demikian maka jika terjadi guncangan pada harga bahan pangan, akibatnya akan mengganggu pola konsumsi rumah tangga.

Gambar 3 Proporsi Pengeluaran Kelas Menengah terhadap Pengeluaran Total Sumber : The World Bank, Indonesia Economic Quarterly (2008 Again, March 2011)

(23)

2010). Mereka umumnya kembali lagi menjadi miskin akibat kontraksi perekonomian yang sangat parah. Dimana ketika masa krisis terjadi inflasi yang sangat tinggi terutama pada bahan pangan dan kebutuhan pokok. Ekspansi kelas menengah dalam masa transisi rentan terhadap pergesekan antar kelas, khususnya dengan kondisi distribusi pendapatan yang cenderung memburuk.

Ekonom seringkali memusatkan perhatian pada pola konsumsi dan dampak yang ditimbulkan oleh kelas menengah dalam perekonomian. Ekspansi kelas menengah secara teoritis akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan survei rumah tangga per kapita, model pertumbuhan konsumsi, Ravallion (2010) menemukan bahwa ukuran kelas menengah, diukur secara absolut, memiliki koneksi penting untuk pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Dalam kasus Indonesia dimana kelas menengah masih didominasi kelompok menengah bawah, pengaruh ini masih tergolong kecil. Malah jika tidak dikelola dengan baik hingga tingkat pendapatan tertentu pengaruhnya bisa sebaliknya. Untuk itu, seharusnya perhatian juga diberikan bagi upaya untuk mempertahankan masyarakat kelas menengah agar tidak kembali masuk dalam kemiskinan.

Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia telah berada dalam jalur yang benar yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah orang miskin dan berkembangnya kelas menengah baru yang dapat menjadi pondasi penting bagi dinamisator perekonomian di masa mendatang. Pola tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Persentase Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Sumber : BPS 1999-2012, diolah.

Gambar 4 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami kecenderungan untuk terus meningkat, dan sebaliknya kemiskinan cenderung terus menurun. Jumlah kemiskinan yang terus menurun dengan meningkatnya kemampuan masyarakat untuk menaikkan statusnya dan masuk dalam kelompok kelas menengah menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan pertumbuhan yang inklusif. Namun demikian terdapat beberapa tantangan, yaitu bahwa sebagian besar ekspansi kelas menengah baru terjadi dalam kelompok bawah dari kelas menengah. Kelas menengah tersebut masih rentan terhadap goncangan.

0 5 10 15 20 25

1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

Per

sen

tase

Tahun

Persentase Kemiskinan vs Pertumbuhan Ekonomi

(24)

Ekspansi kelas menengah yang didominasi oleh kelas menengah bawah menunjukkan terjadinya kesenjangan dalam pertumbuhan kelas menengah, hal ini dapat berarti bahwa kesenjangan ekonomi juga terjadi seiring dengan meningkatnya kelas menengah. Persoalan kesenjangan yang terjadi pada kelas menengah tidak lepas dari adanya masalah kesenjangan dalam pembangunan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pembangunan yang didominasi pada provinsi-provinsi yang termasuk dalam IBB, membuat kawasan IBT relatif masih jauh tertinggal baik dalam hal prasarana fisik, sosial, sumber daya (modal maupun manusia), maupun kelembagaan. Soekirman (1991) telah mengidentifikasi secara umum berbagai kendala pembangunan di IBT yang dikelompokkan ke dalam beberapa masalah, antara lain : masalah penduduk dalam jumlah, komposisi, penyebaran dan kualitasnya; masalah prasarana ekonomi (komunikasi darat, laut, udara); masalah kehidupan pedesaan yang basis pertaniannya masih sangat tradisional; dan masalah kelembagaan (aparatur pemerintah, swasta/dunia usaha, organisasi masyarakat).

Dengan merujuk pada data BPS yang menunjukkan bahwa 82 persen PDB dikuasi oleh provinsi-provinsi di IBB, maka kesenjangan tidak hanya terjadi antar kelas ekonomi, tetapi juga antar wilayah di Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa kesenjangan ekonomi terjadi pada kelas menengah antar wilayah. Persoalan kesenjangan tersebut tentunya berlawanan dengan konsep pertumbuhan inklusif dimana pertumbuhan mampu menurunkan ketimpangan. Besarnya perhatian terhadap pertumbuhan inklusif, beragam definisi pertumbuhan inklusif, ciri dan metode pengukurannya justru menjadi fokus ekonom. Fokus yang besar terhadap hal-hal tersebut cenderung membuat makna pertumbuhan inklusif itu sendiri seolah dilupakan. Prasetyantoko, dkk (2012) menjelaskan bahwa pembangunan inklusif adalah pembangunan yang menempatkan faktor kualitas hidup manusia di atas segalanya, bukan pencapaian angka, indikator makro, dan pengukuran agregat semata. Hal ini berarti bahwa menjawab persoalan mengenai cara mencapai pertumbuhan inklusif seharusnya turut dipecahkan dalam analisis mengenai pertumbuhan inklusif.

Dalam kaitannya dengan kelas menengah, pembahasan mengenai kelas menengah dengan pertumbuhan inklusif yang secara teoritis saling berkaitan cenderung dibahas secara terpisah. Persoalan kesenjangan pembangunan antar wilayah IBB dengan IBT yang selama ini terus muncul pun masih luput dari pembahasan kelas menengah maupun pertumbuhan inklusif yang dilakukan oleh World Bank dan ADB. Jika munculnya kelas menengah di Indonesia menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi telah inklusif, maka tentunya persoalan ketimpangan antar wilayah telah mampu diselesaikan. Hal ini juga berarti bahwa fenomena pertumbuhan inklusif memunculkan kelas menengah yang tersebar di IBB dan IBT secara merata.

(25)

lebih banyak tenaga kerja, maka perlu untuk dipelajari kembali faktor-faktor yang mempengaruhi tiga komponen tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dijawab pada penelitian ini adalah :

1. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah inklusif?

2. Apakah pertumbuhan inklusif merupakan fenomena yang konsisten di Indonesia?

3. Bagaimana fenomena pertumbuhan inklusif di wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT) ?

4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif?

5. Bagaimana dampak pertumbuhan inklusif terhadap pertumbuhan kelas menengah di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, tujuan diadakannya penelitian dan penulisan thesis ini adalah :

1) Menganalisis inklusifitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia

2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif di Indonesia

3) Menganalisis dampak pertumbuhan inklusif terhadap pertumbuhan kelas menengah di Indonesia

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan berguna untuk :

1) Memberikan pengetahuan mengenai cara mencapai pertumbuhan yang inklusif 2) Bahan pertimbangan untuk perumusan kebijakan pembangunan yang lebih fokus pada kelas menengah sehingga dapat memberi arahan lain bagi program pembangunan

(26)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelas Menengah

Masyarakat berpenghasilan biasanya diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: orang miskin, kelas menengah, dan kaya. Seperti halnya kemiskinan, istilah kelas menengah didefinisikan berbeda-beda antar negara tergantung pada tingkat pertumbuhannya masing-masing (Ravallion, 2010). Setiap kategori memiliki hubungan tertentu dengan kinerja ekonomi, dan masing-masing ditangkap oleh teori yang berbeda.

Definisi Kelas Menengah

Tidak seperti kemiskinan atau masyarakat miskin yang dapat didefinisikan secara absolut, misalnya berdasarkan standar pemenuhan kebutuhan kalori, tidak ada definisi standar untuk kelas menengah. Kelas menengah tidak mudah didefinisikan karena adanya perbedaan setiap kelompok atau karakteristik unik dalam masyarakat yang memiliki atribut atau nilai-nilai yang sangat berbeda dari kelas sosial lainnya.

Menurut Bank Dunia (2011), ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan kelas menengah berdasarkan pengeluaran atau pendapatannya. Pertama yaitu pendekatan absolut, dimana kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok yang pendapatannya atau pengeluaran per kapitanya berada dalam batas bawah dan batas atas tertentu. Pendekatan ini kurang lebih sama mengikuti pendefinisian kelompok penduduk miskin. Pendekatan kedua yaitu pendekatan relatif. Pendekatan ini sama dengan pendekatan absolut dengan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai ukuran, tetapi dilihat porsinya terhadap kelompok lain. Dan yang terakhir adalah pendekatan hybrid, yaitu kombinasi dari pendekatan absolut dan relatif. Ketiga pendekatan digunakan tergantung pada kebutuhan.

Berdasarkan distribusi pendapatan masyarakat, Atkinson dan Brandollini (2011) menggambarkan kurva untuk mengidentifikasi mengenai kelas menengah. Berdasarkan kurva tersebut, kelas menengah didefinisikan sebagai masyarakat yang pendapatannya antara 20 sampai 80 persentil, yaitu ditunjukkan oleh y1 dan y2 di sisi kanan kuadran.

(27)

Gambar 5 Distribusi pendapatan dan identifikasi kelas menengah Sumber : Atkinson dan Brandollini (2011)

Birdsall (2007) telah menggunakan definisi lain yang menggabungkan pendekatan absolut dan relatif. Menurutnya, kelas menengah meliputi individu yang mengkonsumsi setara dengan $10 atau lebih per hari, tetapi yang jauh di bawah persentil ke-90 dalam distribusi pendapatan. Dengan batasan tersebut, kelas menengah tidak termasuk kelompok miskin pada kondisi ekonomi apapun dan secara relatif tidak termasuk kelompok kaya di masyarakatnya.

Kelas menengah juga dapat didefinisikan berdasarkan beberapa kriteria yang melekat padanya. Chunling (2011) menggunakan empat kriteria dalam menentukan kelas menengah di Maindlan, Cina. Kriteria pertama adalah pendapatan, dimana kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki pendapatan yang tinggi dan stabil. Kriteria selanjutnya yaitu pekerjaan, bahwa kelas menengah haruslah memiliki pekerjaan yang profesional. Kriteria ketiga yaitu pendidikan, kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Dan terakhir yaitu kriteria konsumsi, dimana kelas menengah merupakan masyarakat yang mampu membelanjakan pendapatannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan primer tetapi juga memperhatikan kualitas dari pemenuhan kebutuhan. Dari empat kriteria tersebut, yang utama digunakan adalah kriteria pendapatan.

Definisi di atas semua didasarkan pada pengeluaran konsumsi atau pendapatan. Namun, kelas menengah juga dapat didefinisikan dengan cara lain. Secara historis, di Eropa, kelas menengah merupakan kelompok yang berada di antara kaum tani dan kaum bangsawan. Sosiolog biasanya mendefinisikan kelas menengah Barat berdasarkan pendidikan dan pekerjaan.

(28)

Peranan Kelas Menengah dalam Perekonomian

Peningkatan fokus pada kelas menengah baru-baru ini menghasilkan saran-saran untuk menggeser orientasi kebijakan dari beberapa isu-isu pembangunan. Misalnya, pendekatan kelas menengah sentris disarankan untuk memberikan dampak yang lebih besar dari kebijakan khusus yang ditujukan untuk masyarakat miskin dalam mendorong pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan (Birdsall 2007 dan 2010).

Ismail (1995) menjelaskan bahwa memperbaiki distribusi pendapatan bisa dicapai dengan meningkatkan pendapatan kelompok miskin secara langsung. Strategi ini akan berhasil jika kenaikan pendapatan kelompok miskin lebih besar daripada kenaikan pendapatan rata-rata penduduk, dan jika kenaikan pendapatan kelompok kaya lebih rendah daripada kenaikan pendapatan rata-rata penduduk. Pengalaman menunjukkan bahwa kelompok menengah umumnya mampu menarik manfaat secara kontinyu proses pembangunan; karena itu kebijakan yang secara spesifik diarahkan untuk menaikkan pendapatan kelompok miskin dapat dipandang sebagai dasar untuk memperbaiki distribusi pendapatan. Jadi kebijakan anti kemiskinan secara otomatis meliputi strategi pemerataan.

Ekonom seringkali menekankan pentingnya memiliki kelas menengah untuk pertumbuhan ekonomi karena dampak konsumsinya ataupun kemungkinan akumulasi modal manusia yang besar, hal yang sama pentingnya dengan politik dan demokrasi yang stabil (Atkinson dan Brandollini, 2011). Bahkan, dengan menggunakan survei rumah tangga per kapita, model pertumbuhan konsumsi, Ravallion (2010) menemukan bahwa ukuran kelas menengah, diukur secara absolut, memiliki koneksi penting untuk pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.

Hasil analisis yang dilakukan Ansori (2009) mengenai kelas menengah di Indonesia menunjukkan bahwa kelas menengah memiliki korelasi yang kuat dengan konsumsi komoditas dan peningkatan preferensi sosial. Hal ini terwujud dalam bentuk pasar yang semakin terbuka dalam era globalisasi perekonomian Indonesia. Munculnya kelas menengah telah menciptakan budaya baru khususnya dalam pola konsumsi dan menumbuhkan adanya kelas sosial yang terbentuk di masyarakat.

Analisis yang dilakukan ADB (2010) mengenai kelas menengah di Asia memberikan kesimpulan bahwa kelas menengah memiliki implikasi-implikasi terhadap perekonomian. Adanya kelas menengah akan menciptakan ekspansi pasar untuk barang tahan lama. Lebih lanjut, kelas menengah juga mampu mengembangkan inovasi dan kegiatan ekonomi kreatif. Bangkitnya kelas menengah akan memengaruhi perumusan kebijakan ekonomi dengan meningkatnya akuntabilitas publik pada kelas ini. Pada akhirnya, kelas menengah dapat meningkatkan produktivitas dan mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Peranan kelas menengah dalam konsolidasi dan penggunaan demokrasi politik terlihat berbeda-beda sesuai dengan jumlah faktor yang memengaruhi tingkat pembangunan ekonomi suatu negara dan model pembangunan yang dianutnya. Pengalaman di Asia Timur menunjukkan bahwa pertumbuhan kelas menengah dapat menjadi faktor yang mendukung kemunculan dan konsolidasi

(29)

pada sektor publik. Chunling (2011) menjelaskan bahwa kelas menengah tersebut memiliki kaitan yang erat dengan pemerintahan sehingga posisinya cenderung stabil dan kuat. Mereka mampu memengaruhi pembuatan kebijakan dan membangun opini publik.

Pertumbuhan Inklusif (Inclusive Growth)

Definisi Pertumbuhan Inklusif

Pertumbuhan merupakan syarat penting bagi terciptanya pertumbuhan inklusif. Klasen (ADB, 2010) menyatakan bahwa penting untuk menentukan episode ekonomi seperti apa yang memiliki karakteristik sebagai pertumbuhan yang inklusif. Ada dua kemungkinan untuk hal tersebut, yang pertama melihat melalui proses. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah pertumbuhan yang meluas antar sektor atau intensif terhadap tenaga kerja. Dengan begitu pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang melibatkan partisipasi semua pihak tanpa diskriminasi dan mampu melibatkan seluruh sektor ekonomi. Fokus kedua yaitu pada hasil dari proses pertumbuhan. Dalam hal ini, konsep pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep pertumbuhan yang pro poor. Dengan kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan

yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak diuntungkan” dalam

perekonomian. Berdasarkan kedua fokus tersebut, pertumbuhan inklusif dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan yang tidak mendiskriminasikan dan mampu menjamin pemerataan akses pertumbuhan sekaligus sebagai pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan (mengurangi disparitas antar kelompok).

Studi literatur yang dilakukan Suryanarayana (2007) mengenai konsep pertumbuhan inklusif memberikan beberapa interpretasi sebagai berikut :

 Pertumbuhan inklusif menurut Bank Dunia adalah pertumbuhan yang fokus pada perluasan skala ekonomi, memperluas akses terhadap aset perekonomian dan berhasil memperluas pasar serta menciptakan pemerataan peluang untuk generasi selanjutnya.

 Syarat penting untuk terciptanya pertumbuhan inklusif adalah bahwa disparitas pendapatan antara pekerja di sektor pertanian dan non-pertanian seharusnya tidak terlalu besar (Sen 2007)

 Besley et al (2007) menggunakan elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan untuk mengukur inklusifitas proses pertumbuhan terhadap kemiskinan

 UNDP memberikan definisi mengenai pertumbuhan inklusif berdasarkan sisi produksi dan pendapatan GDP (Gross Domestic Product), yaitu proses dan hasil pertumbuhan dimana semua pihak dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat yang sama dari pertumbuhan tersebut. Dengan demikian pertumbuhan inklusif merepresentasikan pemerataan.

(30)

mendorong perbaikan distribusi pendapatan, yang memiliki ketergantungan pada efisiensi dan konservasi penggunaan sumber daya. Konsekuensinya, pilihan prioritas sektoral adalah pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tetap memprioritaskan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya.

Lebih lanjut Rusastra juga menyatakan bahwa pembangunan dan pertumbuhan inklusif secara nasional membutuhkan beberapa upaya, yaitu: (1) stabilisasi indikator makroekonomi, didukung oleh keberpihakan kebijakan fiskal dan sistem insentif untuk pembangunan pertanian; (2) peningkatan kapasitas produksi, didukung oleh pengembangan infrastruktur dan pelestarian sumber daya alam dalam perspektif menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang; (3) sinergi dan integrasi program pemberdayaan kelompok miskin, pembangunan inklusif perdesaan, dan pertumbuhan inklusif di tingkat nasional; dan (4) peningkatan kapasitas dan akses penduduk miskin, proteksi penguasaan aset produktif, dan percepatan peningkatan pendapatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang mampu mensinergikan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan.

Pengertian pertumbuhan inklusif yang berhubungan dekat dengan konsep kemiskinan didukung oleh Habito (2009). Menurut kesimpulannya, pertumbuhan inklusif didefinisikan sebagai pertumbuhan GDP yang dapat menurunkan kemiskinan. Habito juga menjelaskan bahwa struktur perekonomian dan komposisi sektoral dalam pertumbuhan ekonomi telah diyakini sebagai faktor penting untuk mencapai pertumbuhan inklusif, dengan pernyataan umum bahwa pertumbuhan yang lebih kuat pada struktur pertanian akan mempercepat penurunan kemiskinan. Penekanan pada sektor pertanian ini wajar bila mengingat bahwa peran sektor pertanian terutama dalam penyerapan tenaga kerja di negara berkembang sangat besar. Selain fokus akan kondisi sektor perekonomian, Habito memandang investasi pada fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan sangat penting untuk mencapai pertumbuhan inklusif.

Min Tang (2008) memberikan perhatian terhadap persoalan kemiskinan dalam kaitannya dengan pertumbuhan inklusif dengan berangkat dari persoalan distribusi pendapatan. Ia mengamati bahwa selama beberapa dekade, banyak negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sementara itu, distribusi pendapatan semakin memburuk dengan derajat yang berbeda-beda antar negara. Beragam ukuran dan elemen dinyatakan turut memengaruhi apakah pertumbuhan dapat dikatakan inklusif. Ukuran yang paling penting adalah apakah pertumbuhan memiliki dampak terhadap peningkatan kesejahteraan orang miskin. Orang miskin, yang merupakan pihak dengan posisi paling tidak menguntungkan dalam pembangunan, memiliki kesulitan untuk memperoleh manfaat dari hasil pembangunan. Karena itu, meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin merupakan prioritas utama dalam agenda pertumbuhan ekonomi, tetapi terbukti sangat sulit untuk dicapai. Pertumbuhan inklusif sangat sering disamakan dengan inklusifitas pro poor, dengan demikian pertumbuhan yang tidak pro poor sudah pasti tidak inklusif (Kakwani, Khander, dan Son, 2004; dalam Min Tang, 2008).

(31)

sumberdaya ekonomi bagi seluruh pelaku ekonomi, termasuk kelompok yang kurang diuntungkan, adalah syarat penting tetapi belum cukup untuk menurunkan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan telah meningkat, tetapi hal ini bukan berarti bahwa orang kaya semakin kaya sedangkan orang miskin semakin miskin. Melainkan kekayaan orang kaya meningkat jauh lebih cepat dari pada orang miskin. Dengan melihat pada persoalan ketimpangan yang terjadi, Ali memberi kesimpulan bahwa faktor kunci yang bertanggungjawab atas peningkatan ketimpangan terlihat beragam dalam pertumbuhan. Tiga dimensi dalam perbedaan pertumbuhan terutama berkenaan dengan perbedaan pengukuran ketimpangan di berbagai bagian daerah. Yang pertama, pertumbuhan telah berbeda antar daerah di suatu negara (misalnya antar provinsi). Kedua, pertumbuhan berbeda antar kota dan desa. Dan yang terakhir, pertumbuhan berbeda antar rumah tangga, sehingga pendapatan masyarakat kelas atas tumbuh lebih cepat dari pada masyarakat kelas menengah atau dibawahnya.

Faktor-faktor seperti ketimpangan, kemiskinan, masalah sektoral dan tenaga kerja seringkali disebutkan dalam uraian mengenai berbagai konsep pertumbuhan inklusif. Ianchovichina dan Lundstrom (2009) memberikan pendapat yang sedikit berbeda, dimana keduanya memperhatikan kembali persoalan ukuran pertumbuhan. Ianchovichina dan Lundstrom menyatakan bahwa pertumbuhan inklusif berkaitan dengan memperbesar ukuran perekonomian dan bukan hanya fokus pada masalah distribusi sumber daya.

Pertumbuhan inklusif seringkali dikaitkan pula dengan pertumbuhan berkelanjutan. Konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlajutanpun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal (1998), konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi : Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang . Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Karena adanya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” (ADB, 1990). Dengan melihat komponen antar waktu yang menjadi indikator pertumbuhan berkelanjutan, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang inklusif namun pertumbuhan inklusif belum tentu berkelanjutan.

(32)

menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Pengukuran Pertumbuhan Inklusif

Dengan mendefinisikan pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan yang mampu meningkatkan fungsi peluang sosial (social opportunity function), Ali dan Son (2007) telah merumuskan salah satu pendekatan untuk mengukur pertumbuhan inklusif. Dalam konteks ini, pertumbuhan inklusif tergantung pada dua faktor : (i) rata-rata kesempatan yang tersedia untuk penduduk, dan (ii) bagaimana peluang dibagi di antara populasi.

Menurut Ali dan Son (2007), fungsi peluang sosial memberikan bobot yang lebih besar kepada peluang yang dinikmati oleh orang miskin: semakin miskin, maka bobotnya semakin besar. Skema pembobotan akan memastikan bahwa peluang yang diciptakan untuk orang miskin lebih penting daripada yang dibuat untuk mereka yang tidak miskin, yaitu jika kesempatan yang dinikmati oleh seseorang dipindahkan kepada orang miskin dalam masyarakat, maka peluang sosial harus meningkat, sehingga membuat pertumbuhan menjadi lebih inklusif. Pertumbuhan dikatakan inklusif jika peluang sosial dapat tersebar pada seluruh populasi. Bagaimana peluang dapat tersebar dalam masyarakat menurut Ali dan Son (2007) dapat digambarkan dalam kurva yang disebut sebagai kurva peluang : semakin tinggi kurva, semakin besar fungsi peluang sosial. Dengan demikian pertumbuhan akan inklusif jika kurva peluang bergeser ke atas pada semua titik. Jika kurva peluang secara keseluruhan bergeser ke atas, maka artinya setiap orang dalam masyarakat, termasuk orang miskin, menikmati peningkatan peluang dan karenanya bisa disebut suatu proses pertumbuhan yang inklusif.

Kemiringan pada kurva peluang sosial menunjukkan bagaimana peluang didistribusikan dalam masyarakat. Jika kurva peluang memiliki kemiringan negatif, maka dapat dikatakan bahwa kesempatan yang tersedia untuk orang miskin lebih daripada yang tersedia untuk yang tidak miskin (yaitu, peluang didistribusikan secara merata). Demikian pula, jika kurva memilki kemiringan positif, maka artinya peluang didistribusikan secara tidak adil (antipoor). Kurva ini dapat dilihat pada gambar berikut :

(33)

Gambar 6 menggambarkan dua peluang kurva dengan rata-rata (ӯ) yang sama: satu kurva memiliki kemiringan positif (AB) dan lainnya adalah negatif (CB). Kurva menunjukkan pemerataan peluang, yang berarti bahwa orang miskin di ujung bawah distribusi memiliki peluang lebih besar daripada tidak miskin di ujung atas. Kurva dengan kemiringan positif yaitu AB, menunjukkan sebaliknya: orang miskin menikmati peluang yang kurang daripada yang tidak miskin.

Salah satu bentuk sederhana fungsi peluang sosial yang diajukan Ali dan Son (2007) dapat diperoleh dengan menghitung indeks dari daerah di bawah kurva peluang seperti yang dinyatakan pada persamaan berikut ini :

(2.1) Persamaan 2.1 dinamakan dengan index peluang (OI, Opportunity Index).

Semakin besar ӯ*, maka akan semakin besar peluang yang tersedia untuk populasi.

Dengan demikian tujuan utama model yang dibangun disini adalah untuk

memaksimumkan nilai ӯ*. Jika setiap orang dalam populasi menikmati kesempatan

yang sama, maka dapat ditunjukkan bahwa ӯ* akan sama dengan ӯ. Dengan demikian, penyimpangan ӯ* dari ӯ memberikan indikasi tentang bagaimana peluang tersebar di seluruh populasi. Jika ӯ* lebih besar dari ӯ, maka peluang terdistribusi secara merata (pro-poor). Demikian pula, jika ӯ* kurang dari ӯ, maka peluang yang tidak adil didistribusikan (antipoor). Berdasarkan uraian tersebut, maka indeks pemerataan peluang (EIO, Equity Index of Opportunity) dirumuskan sebagai berikut :

(9)

(2.2)

yang berarti bahwa peluang secara adil (tidak adil) didistribusikan jika φ

adalah lebih besar (kurang) dari 1. Dari (2.2), ditentukan bahwa :

(2.3) yang menunjukkan bahwa OI merupakan produk EIO dan tingkat rata-rata peluang yang tersedia bagi populasi. Untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif,

maka ӯ* harus ditingkatkan, hal ini dapat dicapai denganμ (i) meningkatkan tingkat peluang ӯ, (ii) meningkatkan indeks ekuitas peluang φ, atau (iii) meningkatkan

keduanya. Untuk memahami dinamika pertumbuhan inklusif, maka Ali dan Son (2007) mengajukan rumusan berikut :

(2.4)

Dimana dӯ* mengukur perubahan derajat inklusifitas pertumbuhan. Pertumbuhan menjadi lebih inklusif ketika dӯ*>0. ψagian pertama di sebelah kanan persamaan (4) adalah kontribusi yang diberikan oleh kenaikan rata-rata peluang sosial terhadap inklusifitas pertumbuhan ketika peluang relatif tidak berubah; bagian kedua dari persamaan menunjukkan kontribusi perubahan distribusi ketika peluang rata-rata tidak berubah.

(34)

Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Ianchovichina dan Lundstrom (2009), yang mengadopsi kerangka Hausmann, Rodrik, and Velasco (HRV) (2005).

Kerangka HRV hanyalah satu di antara banyak pendekatan untuk analisis pertumbuhan yang inklusif. Hal ini sangat relevan dalam kasus di mana tingkat pendapatan rendah, pertumbuhan lambat dan investasi rendah. Dengan latar belakang demikian, kerangka HRV merupakan kerangka kerja yang tepat untuk mempelajari isu-isu pertumbuhan inklusif karena pertumbuhan adalah pendorong utama pengurangan kemiskinan. Menurut pendekatan ini, jika seseorang mendefinisikan pendapatan dari setiap individu i sebagai:

(2.5) dimana wj adalah harga, Ej adalah sumbangan dari masing-masing faktor j

perekonomian, dan ij - bagian dari faktor j yang dimiliki oleh individu i. Kemudian, dengan membagi setiap sisi dengan pendapatan total dan menjumlahkan seluruh kelompok tertentu individu, misalnya kelompok miskin, diperoleh:

(2.6)

dimana P adalah bagian dari pendapatan yang diterima oleh kelompok

kepentingan, j adalah bagian dari faktor i di total pendapatan, dan Pj adalah bagian dari faktor j yang dimiliki oleh kelompok. Identitas ini menunjukkan variabel yang memengaruhi bagian pendapatan dari kelompok yang menjadi fokus. Dalam pendekatan yang digunakan Ianchovichina dan Lundstrom (2009), Instrumen utama untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif yaitu pekerjaan yang produktif. Oleh karena itu, pertumbuhan yang inklusif tidak hanya tentang pertumbuhan lapangan kerja, tetapi juga tentang pertumbuhan produktivitas. Kemampuan individu untuk dapat dipekerjakan secara produktif tergantung pada peluang untuk memanfaatkan sepenuhnya sumber daya yang tersedia karena ekonomi berkembang dari waktu ke waktu.

Alternatif lain untuk mengukur pertumbuhan inklusif dirumuskan oleh Klasen (2010). Menurutnya, pendekatan yang sederhana untuk memeriksa pertumbuhan yang inklusif diperlukan. Dalam merumuskan metode pengukuran untuk pertumbuhan inklusif, Klasen mengadaptasi metode dari penelitian-penelitian pro-poor growth. Secara khusus, adaptasi dilakukan dari penelitian

Kakwani dan Son (β008) mengenai konsep “poverty-equivalent growth rate” yang mendefinisikan pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan untuk kelompok kurang beruntung.

Manfaat pertumbuhan bisa dihitung dengan menggunakan metode PEGR yang merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin. Dalam penghitungan PEGR sendiri, terdapat 2 metode, yaitu dengan menggunakan teknik analisis secara ex ante dan post ante.

Metode penghitungan PEGR dengan menggunakan teknik analisis secara ex-ante diterapkan berdasarkan asumsi bahwa perubahan ketidakmerataan pendapatan hanya berlangsung dengan cara terjadi pergeseran secara proporsional dan konstan di semua titik pada kurva Lorenz. Padahal pergeseran kurva Lorenz dapat disebabkan banyak hal, sehingga metode penghitungan PEGR secara ex-ante ini tidak mungkin untuk dilakukan.

(35)

dengan cara membandingkan keadaan kemiskinan, distribusi pendapatan (kurva Lorenz) dan rata-rata pendapatan penduduk pada awal periode dengan keadaan pada akhir periode. Misalkan ukuran kemiskinan merupakan fungsi dari garis kemiskinan z, rata-rata pendapatan , dan kurva δorenz L(p), yang dituliskan sebagai berikut:

P = P (z, µ, L(p)) (2.7)

Jika ukuran kemiskinan yang digunakan adalah :

(2.8)

α = 0, 1, β dan yi = pendapatan penduduk ke-i dan q = jumlah penduduk miskin. Maka perubahan persentase penduduk miskin pada periode 1 dan periode 2 dapat dituliskan sebagai berikut :

(2.9) Nilai P12 ini masih mengandung komponen pertumbuhan dan komponen distribusi.

Misalkan

μ

1 dan

μ

2 merupakan rata-rata pendapatan penduduk pada periode 1 dan periode 2, maka pertumbuhan pendapatan penduduk ( ) dapat dirumuskan sebagai berikut:

= Ln (μ2) –Ln (μ1) (2.10)

Total elastisitas kemiskinan ( ) dapat didekomposisi menjadi elastisitas kemiskinan yang berkaitan dengan pertumbuhan ( ) dan elastisitas kemiskinan

yang berkaitan dengan ketidakmerataan ( ). Persamaan untuk total elastisitas ( )

sebagai berikut:

= ( Ln [P(z, μ2, L2 (p)] – Ln [P (z, μ1, L1 (p)])/ (2.11)

dan

= + (2.12)

dimana elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan dirumuskan sebagai berikut :

=

(2.13) dan elastisitas kemiskinan terhadap ketidakmerataan dirumuskan sebagai berikut :

(2.14) Berdasarkan rumusan (2.11) hingga rumusan (2.14) tersebut, maka nilai PEGR dapat dirumuskan sebagai berikut :

PEGR = * = ( / ) (2.15)

Nilai PEGR dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(36)

2. Jika * > berarti pertumbuhan bersifat pro poor growth, penduduk miskin lebih banyak menerima manfaat dari pertumbuhan.

3. Jika 0 < * < artinya pertumbuhan belum bersifat pro poor growth, manfaat pertumbuhan lebih banyak diterima penduduk tidak miskin (ketidakmerataan meningkat) tetapi masih terjadi pengurangan Kemiskinan.

4. Jika * < 0 berarti pertumbuhan bersifat anti pro poor growth atau manfaat pertumbuhan yang dinikmati penduduk tidak miskin, kemiskinan meningkat. Dengan mengadopsi uraian mengenai konsep PEGR, maka pertumbuhan inklusif dapat diukur dengan rumusan berikut :

IGij =

* Ēj (2.16)

Dimana :

IGij = Koefisien pertumbuhan inklusif

Eij = Pertumbuhan kelompok i dalam kaitannya dengan indikator j Ej = Pertumbuhan indikator j

Dalam hal ini i mengacu pada kelompok kurang beruntung tertentu dan j mengacu pada indikator yang bersangkutan (misalnya, pertumbuhan pendapatan atau ekspansi dalam pendidikan).

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan

Seseorang dapat dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan apabila pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan rata-rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (Todaro, 2007). Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan.

Penyebab kemiskinan suatu wilayah dijelaskan dalam konsep Teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi yang berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya (Gambar 7). Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1943) yang mengatakan bahwa μ “a poor

(37)
[image:37.595.55.496.99.436.2]

Gambar 7 Lingkaran Setan Kemiskinan (vicious circle poverty) Sumber : Todaro (2000)

Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian McDowell (1995). Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja, struktur industri dan interaksi. Model kemiskinan ini juga menggunakan model regresi logistik dan semua variabel bebas signifikan pada taraf nyata satu persen.

Di Indonesia, analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan regional telah dilakukan oleh Saleh (2002). Dengan menggunakan data provinsi di Indonesia pada tahun 1996 dan 1999, analisis tersebut dilakukan menggunakan dua model masing-masing untuk data panel dan data cross-section. Variabel-variabel penjelas dalam penelitian ini pada umumnya berasal dari model penelitian Levernier, et al (2002) dan model Ravallion dan Wodon (1999). Variabel - variabel yang digunakan adalah:

a. YPC adalah tingkat pendapatan per kapita per provinsi (dalam puluhan ribu rupiah).

b. IMP adalah pengeluaran pemerintah untuk investasi sumber daya manusia perkapita per provinsi (dalam ribu rupiah), (penjumlahan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan, kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; sektor kesehatan, kesejahteraan, peranaan wanita, anak, dan remaja; sektor tenaga kerja; dan sektor ilmu pengetahuan dan teknologi). c. IFP adalah pengeluaran pemerintah untuk investasi fisik per kapita per provinsi

(dalam ribuan rupiah), (merupakan pengurangan total pengeluaran pembangunan terhadap IMPC).

d. HH adalah angka harapan hidup (dalam tahun).

e. MH adalah angka melek huruf persentase dari total penduduk. f. RS adalah rata-rata lama bersekolah penduduk (dalam tahun).

(38)

h. GEI adalah indeks partisipasi wanita dalam ekonomi dan politik atau gender empowerment index atau lebih tepat disitilahkan women empowerment index. i. RG adalah rasio Gini (dalam persen).

j. PNH adalah rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap fasilitas kesehatan (dalam persen).

k. PNW adalah rasio populasi rumah tangga yang tidak mendapat akses terhadap air bersih.

l. DT adalah variabel boneka untuk waktu (dummy variable time) yang mencerminkan sebelum dan sesudah terjadinya krisis. Nilai 0 untuk tahun 1996 dan nilai 1 untuk tahun 1999.

Analisis Saleh (2002) menghasilkan kesimpulan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan per provinsi di Indonesia adalah indeks pembangunan manusia (terdiri dari pendapatan perkapita, angka harapan hidup, rata-rata bersekolah), investasi fisik pemerintah daerah, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat partisipasi ekonomi dan politik perempuan, populasi penduduk tanpa akses terhadap fasilitas kesehatan

Gambar

Tabel 1 Estimasi Kelas Menengah di Indonesia
Gambar 2 Ekspansi Kelas Menengah di Indonesia Tahun 2003-2010
Gambar 3 Proporsi Pengeluaran Kelas Menengah terhadap Pengeluaran Total
Gambar 4 Persentase Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Hal tersebut dapat dilihat dari be- berapa novel fantasi populer yang ditu- jukan untuk pembaca muda dan remaja, yang menggunakan ilustrasi baik se- bagai sampul depan, maupun

Widyorini (2005) menyebutkan bahwa mekanisme proses repolimerisasi selama proses pembentukan binderless composite dapat diringkas sebagai berikut: (1) degradasi dari

Kecamatan Tegalombo khas dengan tradisi Badut Sinampurno. Tradisi ini merupakan upacara adat yang dilaksanakan untuk tolak bala. Biasanya upacara ini dilaksanakan

Agar dapat dikonsuksi dengan mudah oleh penderita diabetes maka buah pare ini dimodifikasi menjadi kerupuk. Bukan hanya diperuntukkan bagi penderita diabetes saja

materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa

• Sebagian besar kegiatan manusia berhubungan dengan memori (ingatan) manusia, seperti saat manusia selalu mengingat semua yang terjadi, memori manusia berisi semua pengetahuan dari

Dengan adanya produk olahan dari wortel dan bayam berupa batagor pelangi ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternative bagi masyarakat sebagai produk