• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR

ANTERA KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq.) DENGAN

PERLAKUAN CEKAMAN SUHU DAN MEDIA STARVASI

ANDI RAEHANA MUCHLIS

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ANDI RAEHANA MUCHLIS. Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan SUMARYONO.

Kultur haploid melalui proses androgenesis merupakan teknik untuk menghasilkan galur murni secara cepat sebagai calon tetua dalam memproduksi benih hibrida unggul. Upaya pengembangan teknik ini belum dilaporkan berhasil pada tanaman kelapa sawit. Pemberian cekaman suhu rendah sebagai praperlakuan, yang dilanjutkan dengan perlakuan kombinasi media starvasi dan suhu, diharapkan dapat menginduksi pembelahan sporofitik untuk androgenesis pada kelapa sawit. Kuncup bunga kelapa sawit yang digunakan pada penelitian ini berasal dari ujung spikelet yang terletak di tengah malai dengan spata setengah terbuka. Antera dari kuncup bunga ini mengandung populasi mikrospora yang didominasi stadia uninukleat akhir. Praperlakuan perendaman spikelet dalam media starvasi (media B) pada suhu dingin (4-9°C) selama 1 hari kemudian anteranya dikultur pada media Y3 sistem media dua lapis dapat menginduksi pembelahan sporofitik menjadi mikrospora multiselular 4-5 sel sebesar 0.9% pada 2 minggu setelah kultur (MSK). Persentase mikrospora multiselular lebih dapat diinduksi lagi menjadi 2.1%, bila setelah praperlakuan suhu dingin selama 1 hari dilanjutkan dengan perlakuan kultur antera dengan cekaman kombinasi media B sistem media dua lapis dan suhu 25-28°C selama 7 hari, kemudian disubkultur ke media Y3 sistem media dua lapis pada suhu 25-28°C selama 1 MSK. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tahap awal untuk induksi androgenesis dalam upaya pengembangan teknologi haploid pada kelapa sawit.

(6)

ABSTRACT

ANDI RAEHANA MUCHLIS. Induction of Sporophytic Division in Anther Culture of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) with Temperature Shock and Starvation Medium Treatments. Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and SUMARYONO.

Haploid culture via androgenesis is a rapid technique to produce pure lines as parental candidates in producing superior hybrid varieties. This technique has not been reported successful in oil palm plant. Cold shock pretreatment followed by combination of starvation medium and temperature treatment, is expected to induce sporophytic division for androgenesis induction in oil palm. The flower buds of oil palm, used in this experiment were derived from the upper part of spikelet located at the middle part of the inflorescence with a half part of spatha was opened. The anthers from this buds contained population of microspores mostly in late uninucleate. Spikelet immersion pretreatment on starvation medium (B medium) in cold temperature (4-9°C) for 1 day then continued by culturing the anthers in double-layer Y3 medium, was able to induce sporophytic division of microspore with 4-5 cells as much as 0.9% after 2 weeks of culture. The percentage of multicellular microspores could be increased up to 2.1%, when after 1 day of pretreatment at cold temperature the anthers were cultured in double-layer B medium at 25-28°C for 7 days, then were subcultured in double-double-layer Y3 medium at 25-28°C for 1 week after culture. The results of this research could be used as the first step for induction of androgenesis in developing haploid technology in oil palm.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Biologi

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR

ANTERA KELAPA SAWIT (

Elaeis guineensis

Jacq.) DENGAN

PERLAKUAN CEKAMAN SUHU DAN MEDIA STARVASI

ANDI RAEHANA MUCHLIS

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada suri tauladan terbaik Rasulullah sallahu’alaihiwasallam, para keluarganya dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau sampai hari akhir.

Karya ilmiah berjudul “Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi” ini dalam pelaksanaanya penulis banyak dibantu dan dibimbing oleh berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan fasilitas, pendanaan penelitian, masukan, arahan, dan juga motivasi dalam penyusunan karya ilmiah ini.

2. Ir. Sumaryono, M.Sc. yang dengan sabar telah membimbing, mengarahkan dan menyediakan bahan penelitian dari kebun koleksi Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor.

3. Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran terkait karya ilmiah ini.

4. Kedua orang tua saya, Muchlis Mappangaja dan Andi Siti Latifah atas kasih sayang, doa, motivasi, dan pengorbanan yang tiada henti-hentinya.

5. Kakak dan adik: Andi Muthmainnah Muchlis, Andi Naimah Muchlis, Andi Rizka Fitrah Muchlis, Andi Mi’rajusysyakur Muchlis, Andi Fathur Ridha Muchlis, Andi Ma’gattang Ghafur Muchlis, Andi Farha Medina Muchlis, Andi Muhammad Farouq Muchlis, atas doa, motivasi, dan inspirasinya. 6. Soraya V, Khoerani, Nur’aini Y, Dyah S, dan sahabat-sahabat An Nahla atas

doa, bantuan, semangat dan motivasi yang diberikan.

7. Teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 45, atas kebersamaan dan kesenangan selama ini.

8. Pak Imron, teh Nia Dahniar, teh Sarah, pak Asep, pak Mulya, pak Hasan, pak Yanto, mba Pepi, pak Edi, pak Agus, Ibu Retno, Ibu Eti, para staf Departemen Biologi dan semua pihak yang telah membantu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

BAHAN DAN METODE 2

Alat dan Bahan 2

Metode 2

HASIL 3

PEMBAHASAN 7

SIMPULAN 9

DAFTAR PUSTAKA 9

LAMPIRAN 11

(14)

DAFTAR TABEL

1 Persentase perkembangan mikrospora pada periode praperlakuan

perendaman spikelet di suhu dingin (4-9°C) dalam media B 5

DAFTAR GAMBAR

1 Bunga jantan kelapa sawit 4

2 Stadia mikrospora kelapa sawit 4

3 Perkembangan mikrospora hasil praperlakuan 5

4 Persentase perkembangan mikrospora pada perlakuan kombinasi

cekaman media dan suhu 6

5 Perkembangan mikrospora multiselular (6-8 sel) hasil perlakuan

kombinasi cekaman media B dan suhu 25-28°C selama 1 MSK 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persentase perkembangan mikrospora pada kombinasi cekaman media

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bibit atau benih unggul sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Bibit unggul kelapa sawit adalah varietas hibrida tipe tenera, hasil persilangan tetua tipe dura dengan tipe pisifera. Pengadaan dan penyediaan bibit hibrida unggul dalam jumlah yang cukup menjadi salah satu kendala dalam program perluasan areal maupun peremajaan pertanaman kelapa sawit karena keterbatasan sumber tetua galur murni.

Galur murni dapat diperoleh melalui penyerbukan sendiri terkendali, namun memerlukan 5-7 generasi dengan satu generasi pada kelapa sawit membutuhkan waktu 3-4 tahun. Oleh karena itu diperlukan introduksi teknologi untuk menghasilkan galur murni dalam waktu yang relatif singkat. Kultur haploid melalui proses androgenesis merupakan teknik cepat untuk menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda (galur murni) hanya dalam satu generasi (Ferrie et al. 1994; Collin dan Edwards 1998).

Dasar proses androgenesis adalah perkembangan embrio dari mikrospora, yang diinisiasi melalui perubahan jalur perkembangan mikrospora dari gametofitik ke arah sporofitik. Perubahan jalur perkembangan tersebut dapat diinduksi dengan mengaplikasikan perlakuan cekaman. Beberapa contoh perlakuan cekaman adalah perlakuan suhu 35oC (Dumas de Vaulx et al. 1981) atau suhu 9oC (Supena et al. 2006) masing-masing selama satu minggu pada kultur antera cabai, serta kombinasi suhu 33oC dan medium starvasi sumber karbon dengan manitol pada Nicotiana tabacum (Touraev & Herbele-Bors 2003).

Praperlakuan sumber eksplan sebelum kultur pada kultur antera maupun kultur isolasi mikrospora juga dapat menginduksi pembelahan sporofitik dan androgenesis. Praperlakuan tersebut diantaranya adalah suhu 15-18oC selama 7 hari pada malai Triticum aestivum (Hu et al. 1995), suhu 4oC selama 1 hari pada kuncup bunga cabai (Supena et al. 2006), dan suhu 38oC selama 6 hari pada malai bunga jantan Cocos nucifera (Perera et al. 2008). Sedangkan praperlakuan suhu 4-9oC selama 7 hari pada kuncup bunga kedelai, baru terbukti dapat menginduksi tahap awal pembelahan sporofitik (Budiana 2010).

(16)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh praperlakuan suhu dingin terhadap malai bunga jantan kelapa sawit dan perlakuan cekaman kombinasi media starvasi sumber karbon dan suhu inkubasi untuk induksi pembelahan sporofitik pada kultur antera kelapa sawit dalam sistem media dua lapis.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Bahan tanaman yang digunakan adalah malai bunga jantan kelapa sawit dengan spata setengah terbuka dari tanaman tipe tenera berumur 3-7 tahun yang diperoleh dari kebun koleksi Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor. Bahan kimia yang digunakan diantaranya komponen media B (Touraev & Herberle-Bors 2003) dan media Y3 (Teixeira et al. 1995), maltosa, arang aktif, agar gelrite, Plant Preservative Mixture (PPMTM), dan pewarna 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah laminar air flow cabinet dan mikroskop fluoresens dengan UV filter.

Metode

1. Teknik Kultur

Pembuatan Media. Media B dan media Y3 dengan modifikasi sumber karbon berupa maltosa 2%, dibuat dalam bentuk media cair dan sistem media dua lapis. Sistem media dua lapis, yaitu lapisan bawah berupa media padat dan lapisan atas berupa media cair. Untuk media padat ditambahkan arang aktif 10 g/l, dan agar gelrite 2 g/l (Supena et al. 2006). Percobaan menggunakan cawan petri berdiameter 6 cm yang diisi 3 ml media padat di bagian bawah dan menjelang kultur ditambahkan 3 ml media cair serta diberi PPMTM 0.1% (v/v) sebagai biosida (Paul et al. 2001).

Kultur Antera. Kuncup bunga dengan populasi mikrospora didominasi stadia uninukleat akhir didesinfeksi selama satu menit dengan alkohol 70%, kemudian dibilas dua kali dalam aquades steril. Kuncup bunga selanjutnya didesinfeksi dalam NaOCl 2% dengan penambahan Tween-20 0.05% (v/v) selama 10 menit, kemudian dibilas tiga kali dalam akuades steril masing-masing 1, 5, 10 menit. Kuncup dan kelopak bunga dibuka menggunakan pinset, kemudian antera dilepaskan dari filamen.

(17)

3

2. Percobaan

Praperlakuan Suhu Dingin pada Media Starvasi. Percobaan praperlakuan dilakukan dengan cara “perendaman” pangkal spikelet target pada media starvasi (media B) cair dan diinkubasi pada suhu dingin (4-9oC) selama periode 0 (kontrol), 1, 3, dan 7 hari. Kemudian dilakukan kultur antera dengan menggunakan media Y3 dengan modifikasi sumber karbon berupa maltosa 2% dalam sistem media dua lapis, selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu 25-28oC dalam keadaan gelap.

Perlakuan Kombinasi Cekaman Media Starvasi dan Suhu. Setelah diperoleh hasil terbaik yang dapat menginduksi pembelahan sporofitik dari praperlakuan, dilakukan percobaan lanjutan yaitu perlakuan kultur berupa kombinasi cekaman media starvasi dan suhu inkubasi. Cekaman media starvasi adalah starvasi sumber karbon berupa media B, dengan media Y3 sebagai kontrol dalam sistem dua lapis, sedangkan cekaman suhu terdiri dari 4-9oC (dingin), 25-28oC (kontrol), dan 30-33oC (panas). Percobaan tersebut diinkubasi selama 7 hari kemudian antera disubkulturkan pada media Y3 dan diinkubasi pada suhu 25-28oC dalam keadaan gelap.

3. Teknik Pengamatan Perkembangan Mikrospora dalam Antera

Kuncup bunga kelapa sawit yang digunakan diperoleh dari malai dengan spata setengah terbuka, pada spikelet di bagian tengah dan posisi bunga pada spikeletnya di bagian ujung (Purnamasari 2012). Untuk mengetahui stadia perkembangan mikrospora baik dari hasil percobaan praperlakuan maupun perlakuan, dilakukan pengamatan mikrospora pada antera dengan teknik squash, menggunakan pewarnaan DAPI dan diamati di bawah mikroskop fluoresens dengan filter UV. Pengamatan perkembangan mikrospora dalam antera sebelum kultur maupun pada umur kultur tertentu sesuai kebutuhan pengamatan, dilakukan dengan menghitung masing-masing stadia perkembangan mikrospora. Pengamatan dilakukan dalam 3 ulangan, masing-masing diamati pada 5 bidang pandang.

HASIL

(18)

4

Gambar 1 Bunga jantan kelapa sawit, (A) Malai jantan dengan spata setengah terbuka yang telah dibuka spatanya, (B) Spikelet, (C) Kuncup bunga jantan kelapa sawit, (D) Kuncup bunga kelapa sawit yang telah dibuka kelopaknya memiliki 6 buah anter. U= ujung, T= tengah, P= pangkal. Garis skala= 1 cm untuk A-B, garis skala= 1 mm untuk C-D.

Gambar 2 Stadia mikrospora kelapa sawit. (A) Uninukleat akhir, (B) Binukleat awal, (C) Binukleat akhir, (D) Mikrospora tanpa inti. Garis skala= 10µm untuk A-D.

Perkembangan Mikrospora Hasil Praperlakuan Spikelet pada Suhu Dingin dalam Media Starvasi. Populasi mikrospora dalam antera secara umum mengalami peningkatan persentase mikrospora fase binukleat awal dan akhir, serta fase polen matang pada praperlakuan suhu dingin di media B. Sebaliknya terjadi penurunan persentase mikrospora fase uninukleat akhir, segera setelah selesai praperlakuan atau pada awal kultur (Tabel 1). Pemberian praperlakuan spikelet di suhu dingin dalam media B selama 1, 3, dan 7 hari menghasilkan lebih banyak mikrospora berinti tiga (1V+2G, 2V+1G, dan 3V) (Gambar 3A-C).

Selain diperoleh mikrospora fase tiga inti, praperlakuan juga menyebabkan ditemukannya mikrospora multiselular dengan 4-5 sel (Gambar 3D). Mikrospora multiselular tersebut ditemukan pada praperlakuan spikelet di suhu dingin dalam media B selama 1 hari pada umur kultur 2 MSK dengan persentase 0.9% (Tabel 1). Dalam populasi mikrospora juga terjadi peningkatan mikrospora yang mati (tanpa inti) secara bertahap sejak awal kultur (0 MSK), dengan rata-rata telah mencapai 53% pada umur kultur 5 MSK (Tabel 1).

(19)

5 yaitu perlakuan kultur berupa kombinasi cekaman media B dan cekaman suhu inkubasi (4-9°C, 25-28°C, dan 30-32°C).

Tabel 1 Persentase perkembangan mikrospora pada periode praperlakuan perendaman spikelet di suhu dingin (4-9°C) dalam media B

Pra-

Gambar 3 Perkembangan mikrospora hasil praperlakuan. (A) Fase tiga inti yang terdiri dari satu inti vegetatif dan dua inti generatif (1V+2G), (B) Fase tiga inti 2V+1G, (C) Fase tiga inti yang terdiri dari tiga inti vegetatif, (D) Mikrospora fase multiselular (4-5 sel). Garis skala= 10µm untuk A-D.

(20)

6

dengan ditemukannya mikrospora fase tiga inti dengan setidaknya mengandung dua inti vegetatif (2V+1G dan 3V) (Gambar 4A dan 4B).

Pemberian praperlakuan dilanjutkan dengan perlakuan cekaman media B di suhu 25-28°C selama 1 MSK, merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan mikrospora berinti lebih dari tiga sebesar 2.1% (Gambar 4C dan Gambar 5). Persentase tersebut lebih besar dibandingkan kultur antera dengan hanya melakukan praperlakuan saja. Kultur pada media kontrol (media Y3) di suhu inkubasi yang sama pada 1 MSK, juga menghasilkan mikrospora berinti lebih dari tiga namun persentasenya lebih rendah yaitu 0.7% (Gambar 4C).

Gambar 4 Persentase perkembangan mikrospora pada perlakuan kombinasi cekaman media dan suhu inkubasi. (A) Mikrospora fase tiga inti (2V+1G ), (B) Mikrospora fase tiga inti vegetatif, (C) Mikrospora fase lebih dari tiga inti. B= Media B, Y= Media Y. 4, 25, 30= Suhu inkubasi 4-9, 25-28, 30-33 (°C). MSK= minggu setelah kultur.

A

B

(21)

7

Perlakuan suhu 30-32°C pada media B maupun media Y3 walaupun mampu menghasilkan mikrospora hingga fase tiga inti (2V+1G, 3V) namun persentasenya lebih kecil, dan cenderung lebih menyebabkan mikrospora tanpa inti yang cukup tinggi dibandingkan perlakuan lainnya sejak 0 MSK (Lampiran 1).

PEMBAHASAN

Penelitian ini dapat mengkonfirmasi bahwa ciri morfologi bunga jantan kelapa sawit dapat digunakan untuk mengetahui dan menduga stadia mikrospora. Hasil yang disajikan pada gambar 1 dan tabel 1 sesuai dengan yang dilaporkan Purnamasari et al. (2012), bahwa untuk mendapatkan stadia mikrospora yang didominasi fase uninukleat akhir dapat diperoleh dari kuncup bunga bagian ujung dari spikelet posisi di tengah malai, dengan malai spata setengah terbuka. Penggunaan penciri morfologi untuk mengetahui stadia mikrospora juga telah dilaporkan untuk tanaman lainnya, seperti warna ungu pada ujung antera tanaman Capsicum annuum (Supena et al. 2006), rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga pada tanaman kedelai (Budiana 2010), ukuran kuncup bunga pada tanaman Nicotiana tabaccum (Wahida 2010), dan kuncup bunga jantan yang terletak di pangkal spikelet pada malai tiga minggu sebelum spatanya terbuka untuk tanaman Cocos nucifera (Perera et al. 2008).

Stadia mikrospora yang tepat sangat penting dalam kultur antera maupun kultur isolasi mikrospora untuk induksi androgenesis. Stadia mikrospora yang responsif adalah stadia uninukleat akhir sampai stadia binukleat awal, seperti yang telah dilaporkan pada tanaman Cocos nucifera (Perera et al. 2008), Capsicum annuum (Supena et al. 2006), dan Brassica napus (Custers et al. 1994). Pada fase ini inti sel dalam kondisi labil yaitu peralihan dari fase G1 ke fase sintesis DNA, sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses pembelokan arah perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk induksi androgenesis (Indrianto et al. 2001).

(22)

8

manitol. Manitol digunakan sebagai penyeimbang osmosis pada kultur antera. Menurut Hoekstra et al. (1997) praperlakuan suhu dingin pada media yang mengandung manitol ini mampu meningkatkan kadar hormon ABA pada sel, sehingga fase mRNA terhambat dan membelokkan arah perkembangan gametofitik ke arah pembelahan sporofitik.

Pembelokan arah gametofitik ke arah sporofitik pada mikrospora merupakan tahap awal proses androgenesis. Pada penelitian ini praperlakuan perendaman spikelet di suhu dingin dalam media B pada kultur antera tanaman kelapa sawit, meskipun telah mampu menginduksi pembelah sporofitik, namun presentasenya masih sangat kecil. Perkembangan mikrospora masih didominasi perkembangan gametofitik, dilihat dari persentase mikrospora fase binukleat akhir, fase polen matang, dan fase tiga inti (1V+2G) yang cukup besar (Tabel 1).

Praperlakuan suhu dingin pada spikelet di media B yang dilanjutkan dengan perlakuan kombinasi cekaman media starvasi dan suhu inkubasi pada penelitian ini, mampu meningkatkan induksi pembelahan sporofitik dibandingkan dengan hanya praperlakuan saja. Peningkatan pembelahan sporofitik tersebut ditandai dengan ditemukannya mikrospora yang membelah secara simetris dengan tiga inti (2V+1G dan 3V) dalam persentase yang lebih besar dibandingkan hanya melakukan praperlakuan. Praperlakuan yang diikuti dengan perlakuan kombinasi cekaman media B dan suhu dingin (4-9°C) baik untuk menginduksi pembentukan mikrospora dengan tiga inti (2V+1G) (Gambar 4A). Adapun mikrospora dengan tiga inti (3V) terinduksi baik pada kombinasi cekaman media B dan suhu tinggi (30-32°C) (Gambar 4B). Hasil positif dalam menginduksi pembelahan sporofitik dari rangkaian perlakuan ini, lebih dapat dilihat dari kombinasi cekaman media B dan suhu inkubasi 25-28°C selama tujuh hari pada awal kultur dan disubkultur pada media Y3 dalam suhu 25-28°C pada kondisi gelap. Rangkaian perlakuan ini mampu lebih menginduksi pembentukan mikrospora multiselular (6-8 sel) hingga 2.1% pada 1 MSK (Gambar 4C dan Gambar 5).

Perlakuan media B yang dikombinasikan dengan cekaman suhu tinggi pada kultur antera kelapa sawit ternyata tidak cocok digunakan untuk menginduksi pembelahan sporofitik, karena tingkat kematian sel mikrospora yang tinggi (Lampiran 1). Hal ini berbeda dengan tanaman seperti Nicotiana tabaccum (Touraev dan Herberle-Bross 2003) bahwa kombinasi media starvasi dan suhu tinggi mampu mendukung untuk membelokkan arah perkembangan gametofitik ke arah sporofitik yang berlanjut ke androgenesis.

(23)

9

SIMPULAN

Praperlakuan perendaman spikelet kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dalam media B di suhu dingin (4-9°C) selama satu hari dapat menginduksi pembelahan sporofitik sampai stadia multiselular 4-5 sel sebesar 0.9% pada umur 2 MSK dalam media Y3 kultur antera sistem media dua lapis. Persentase induksi mikrospora multiselular ini lebih dapat ditingkatkan menjadi 2.1% dengan melakukan perlakuan cekaman kombinasi media starvasi (media B) dan suhu 25-28°C selama 7 hari kemudian disubkultur pada media Y3 dan diinkubasi pada suhu 25-28°C selama 1 MSK. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tahap awal untuk induksi androgenesis dalam upaya pengembangan teknologi haploid pada kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik mikrospora kedelai melalui kultur antera pada sistem media dua lapis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Custers JBM, Cordewener JHG, Niillen Y, Dons HJM, Campagne MMVL. 1994. Temperature controls both gametophytic and sporophytic development in microspore cultures of Brassica napus. Plant Cell Rep. 13: 267-271.

Collin HA, Edwards S. 1998. Plant Cell Culture. Singapore (SG): Springer-verlag. hlm 59-60.

Dumas de Vaulx, Chambonnet D, Pochard E. 1981. Culture in vitro d’antheres de piment (Capsicum annuum L.): amelioration des taux d’obtention de plantes chez differents genotypes par des traitments a + 35oC. Agronomie. 859-864. Dunwell JM, Mike JW, Stephen N, Sri W, Andrew CS, Devi M, Yuzer A, Adam

EC, Caroline SF, Brian PF, Peter DSC. 2010. Production of haploid and double haploid in oil palm. BMC Plant Biol. 10: 218-243.

Ferrie AMR, Palmer CE, Keller WA. 1994. Biotechnological application of haploid. Di dalam: Shargool PD, Ngo TT, editor. Biotechnological Application of Plant Culture. Boca Raton (US): CRC Press. hlm 77-109. Hu TC, Ziauddin A, Simion E, Kasha KJ. 1995. Isolated microspore culture of

wheat (Triticum aetivum L.) in a defined media. In Vitro Cell Dev Biol. 79-83.

Hoekstra S, Bergen van S, Brouwershaven van IR, Schilperoort RA, Wang M. 1997. Androgenesis in Hordeum vulgare L.: effects of mannitol, calcium and abscisic acid on anther pretreatment. Plant Sci. 126: 211-218.

Indrianto A, Barinova I, Touraev A, Bors EH. 2001. Tracking individual wheat microspores in vitro: identification of embryogenic microspores and body axis formation in embryo. Planta. 212: 163-174.

(24)

10

Perera PIP, Houcher V, Verdeil JL, Bandupriya HDD, Yakandawala DMD, Weerakoon LK. 2008. Androgenic potential in coconut (Cocos nucifera L.). Plant Cell Tiss Org Cult. 92: 293-302.

Purnamasari I, Sumaryono, Supena EDJ. 2012. Perkembangan mikrospora dalam kultur antera dan viabilitas polen kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Di dalam: Suryani A, Syamsu K, Saputra D, Suparman KS, Sulaeman I, Sukmawati Y, editor. Akselerasi Inovasi Industri Kelapa Sawit untuk Meningkatkan Daya Saing Global. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres MAKSI; 26 Jan 2012; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): MAKSI. hlm 111-118.

Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Successful development of shed-microspore culture protocol for doubled haploid production in Indonesian hot peppers (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep. 25:1-10.

Teixeira JB, Stindahl MR, Nakamura T, Kirby EG. 1995. Establishment of oil palm cell suspension and plant regeneration. Plant Cell Tiss Org Cult. 40: 105-111.

Tirtoboma. 1998. Culturability of oil palm microspore cells in relation to anther maturity. Di dalam: Tahardi JS, Darmono TW, Siswanto, Santoso D, Nataatmadja R, editor. Oil Palm Improvement through Biotechnology. Prosiding Workshop BTIG; 16–17 Apr 1997; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Biotec Res Unit for Estate Crops. hlm 42-47.

Touraev A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1997. Initiation of microspore embryogenesis by stress. Plant Sci. 2:297-302.

Touraev A, Herbele-Bors E. 2003. Anther and microspore culture in tobacco. Di Dalam: Maluszynki M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor. Double Haploid Production in Crop Plant. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publisher. hlm 223-228.

(25)

11

LAMPIRAN

Lampiran 1 Persentase perkembangan mikrospora pada kombinasi cekaman media dan suhu Keterangan: B= Media B, Y= Media Y, 4, 25, 30= Suhu inkubasi 4-9, 25-28, 30-33 (°C), LU= Uninukleat akhir, EB=

(26)

12

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 4 Juli 1990 dari pasangan Bapak Muchlis Mappangaja dan Ibu Andi Siti Lathifah. Penulis merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Palopo dan masuk perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor Departemen Biologi melalui jalur USMI.

Gambar

Gambar 2  Stadia mikrospora kelapa sawit. (A) Uninukleat akhir, (B) Binukleat
Tabel 1 Persentase perkembangan mikrospora pada periode praperlakuan
Gambar 4  Persentase perkembangan mikrospora pada perlakuan kombinasi cekaman media dan suhu inkubasi

Referensi

Dokumen terkait

Antara yang jelas dapat diperhatikan adalah amalan-amalan berikut yang kini mula menjadi norma dalam kalangan masyarakat Islam di Malaysia iaitu, amalan menyalakan api

mei atau juli 2015 wisuda kerja di jkt. bergabung di

Kerjakan soal analisis korelasi product moment dan analisis variansi 1 jalur berikut secara individual2. Jawaban dikerjakan di kertas

Beberapa mikroorganisme menghasilkan biosurfaktan hanya ketika ditumbuhkan pada hidrokarbon, sementara yang lainnya membutuhkan substrat yang larut dalam air seperti

The construction of the nontrivial maneuver employs the nilpotent approximation of the orig- inally nonnilpotent robot dynamics, and is based on an iterative steering algorithm..

Sedangkan sub masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kemampuan guru merancang pembelajaran pada materi volume bangun ruang kubus dan balok dengan

model direct instruction berbantuan animasi energy2d , siswa dapat mengganti konsepsi awal yang salah menjadi konsepsi yang benar dengan bantuan animasi

Penawaran publik sekuritas yang dibuat di Amerika Serikat akan dilakukan melalui prospektus yang diperoleh dari Perusahaan dan berisi keterangan rinci mengenai