• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

A. BUKU

Abdulkadir, Muhammad, 1999, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: Alumni.

__________, 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

__________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung.

Kasmir, 2002, Manajemen Perbankan, cetakan ketiga, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita, 1997, Analisis Kredit (Dilengkapi Telaah Khusus), Pionir Jaya, Bandung.

Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media, Jakarta.

Mantayborbir. S, Iman Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2001, Kajian Teori Dan Praktek Dalam Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Mascjchoen, Sri Soedewi, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung.

Rahman, Hasanuddin, 1998, Aspek2 Hukum Pemberian Kredit perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

(2)

Suyatno, Thomas, 1990, Dasar-Dasar Perkreditan, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia. Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2001, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(3)

A. Hukum Perikatan Memandang Perjanjian Kredit Bank

Membicarakan mengenai perjanjian kredit harus berpedoman kepada hukum

perikatan yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ke III

(tiga). Hal ini demikian karena hingga saat ini ketentuan khusus tentang

perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit belum ada. Jadi

dalam pembuatan perjanjian kredit, harus mengacu kepada ketentuan yang diatur

dalam buku ke III (tiga) tersebut.

Bila diperhatikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

mengatur mengenai perikatan, tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud

dengan perikatan. Dalam Pasal 1233 menyebutkan bahwa perikatan timbul dari

persetujuan atau undang-undang. Kemudian membagi perikatan yang timbul dari

undang lebih lanjut, yakni perikatan yang hanya terjadi karena

undang-undang semata dan perikatan yang timbul undang-undang-undang-undang karena perbuatan orang

(manusia). Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan orang

dibagi menjadi perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang

melawan hukum.

Menurut doktrin hukum perikatan tercakup kedalam hukum kekayaan, yakni

hak kekayaan relatif. Makna kekayaan relatif adalah hak-hak kekayaan yang bisa

ditujukan kepada orang-orang tertentu dan ia muncul dari/dalam perikatan.41

41

(4)

Subekti memberikan definisi bahwa suatu perikatan adalah suatu hubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak

menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban

untuk memenuhi tuntutan itu.42

1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara

penghuni pekarangan yang saling berdampingan.

Kontrak/perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Adapun yang

merupakan contoh perikatan yang tidak berdasarkan atas kontrak tetapi

berdasarkan atas undang-undang adalah sebagai berikut:

2. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak.

3. Perikatan karena adanya Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige

daad).

4. Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela (Zaakwaarneming),

sehingga perbuatan sukarela tersebut haruslah dituntaskan.

5. Perikatan yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.

6. Perikatan yang timbul dari perikatan wajar (naturlijke verbintenissen).43

Dalam hubungan dengan sumber perikatan tersebut, Mariam Darus

Badrulzaman menyatakan:

“Dari sumber-sumber yang disebutkan undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata), yang paling penting adalah Perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Maka andaikata pun undang-undang tidak menentukan perjanjian itu, sebagai sumber perikatan, kodrat perjanjian dan kebutuhan masyarakat sendiri menghendaki agar setiap orang memenuhi perjanjian. Dalam

42

Subekti, Hukum Perjajian, (Jakarta : Intermasa , 1994,), Hal. 1

43

(5)

hal ini kita mengenal ajaran Hugo de Groot, yang menyatakan bahwa asas hukum menentukan janji itu mengikat. (pacta sunt servanda).44

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan bahasa Belanda yakni

dari kata overeenkomst. Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan “suatu persetujuan

adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri satu orang

lain atau lebih”.

Menurut Subekti: Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji

kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.45

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Untuk mencapai tujuan perjanjian yang dibuat, maka untuk sahnya suatu

perjanjian undang-undang telah menentukan syarat-syaratnya. Pasal 1320 KUH

Perdata menyebutkan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat)

unsur:

2. Kecakapan untuk mebuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif yang

menyangkut mengenai subjek atau pihak-pihak dari perjanjian yang dibuat,

sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat

objektif yang menyangkut objek dari perjanjian yang dibuat.

Bentuk hubungan hukum antara bank nasabah debitur dalam dunia

perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit, yaitu setiap kredit yang telah

44

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 9-10

45

(6)

disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan

dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini:

Perjanjian kredit bank selalu merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, perjanjian yang bersifat mencantumkan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent, yang dimaksud dengan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent adalah fakta atau peristiwa yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu, setelah perjanjian ditandatangani perjanjian kredit oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya pula setelah ditandatngani perjanjian kredit oleh kedua belah pihak, belum menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik kredit atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah dipenuhinya seluruh syarat-syarat tangguh atau conditions precedent yang ditentukan dalam perjanjian kredit tersebut.46

Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-sehari, kata seimbang

(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di kedua

sisi berada dalam keadaan seimbang.

B. Hubungan Bank Dan Nasabah

47

a. Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan

melindungi harapan wajar yang muncul darinya.

Kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan dibawah ini

secara singkat:

b. Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya

memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.

c. Tujuan ketiga ialah to prevent certain kinds of harm.

d. Tujuan keempat dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara

kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.48

46

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, Hal 158

47

Herlien Budiono, Op.Cit, Hal. 304

(7)

Bahwa perjanjian adalah suatu proses yang bermula dari suatu janji

menuju kesepakatan (bebas) dari para pihak dan berakhir dengan pencapaian

tujuan yaitu perjanjian yang tercapai dalam semangat atau jiwa keseimbangan.

Dalam lingkup suasana hukum Indonesia tujuan dari kontrak yakni tercapainya

kepatutan sosial (sociale gezindheid) dan suatu keseimbangan selaras

(kemungkinan eksistensi materil (immateriele zijnsmogelijkheid). Perjanjian yang

dari sudut substansi atau maksud dan tujuannya ternyata bertentangan dengan

kesusilaan atau ketertiban umum batal demi hukum (nietig) dan pada prinsipnya

hal serupa akan berlaku berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan

undang-undang.

Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan

seimbang yang sebagai akibat darinya harus munculkan pengalihan kekayaan

secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks asas

kesimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan keadaan, melainkan lebih dari

itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian dimaksud. Dalam tercipta

atau terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat

perilaku para pihak sendiri atupun sebagi konsekwensi dari substansi (muatan isi)

perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.

Dalam perjanjian timbal balik kualitas dari prestasi yang diperjanjikan

timbal balik ditempatkan dalam konteks penilaian subjektif secara bertimbal balik

akan dijustifikasi oleh tertib hukum. Perjanjian harus segera ditolak, seketika

tampak bahwa kedudukan faktual salah satu pihak terhadap pihak lainnya adalah

lebih kuat dan kedudukan tidak seimbang ini dapat mempengaruhi cakupan

48

(8)

muatan isi maupun maksud dan tujuan perjanjian, Akibat ketidaksetaraan prestasi

dalam perjanjian bertimbal balik ialah ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih

kuat tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi atau dengan lainnya, dan

hal mana mengacaukan keseimbangan dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang

dirugikan akan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan

perjanjian.

Sepanjang prestasi yang dijanjikan bertimbal balik mengandaikan

kesetaraan, maka bila terjadi ketidakseimbangan, perhatian akan diberikan

terhadap kesetaraan yang terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk, dan

tidak pada hasil akhir dari prestasi yang ditawarkan secara timbal balik.49

Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining

Posisi tawar yang setara mengakibatkan para pihak berada dalam situasi

yang kurang lebih seimbang. Bila keadaannya seimbang, tidak ada seorang pun

akan merasa dirugikan. Namun demikian, tentu bisa terjadi situasi abnormal dan

muncul ketidakseimbangan. Hal ini dapat terjadi bila salah satu pihak yang lebih

kuat mengambil keuntungan dari situasi yang lebih menguntungkannya. Akan

tetapi situasi ini akan dapat diterima sepanjang tidak menguntungkan salah satu

pihak, yang oleh pihak lawan, karena posisi tawar yang rendah, terpaksa diterima.

Situasi demikian merupakan konsekwensi kebebasan yang dapat memuaskan

semua pihak sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan

peluang-peluangnya sendiri.

Menurut Ridwan Khairandy:

49

(9)

position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.50

Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 1:

menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam

rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lebih lanjut dikemukakan oleh

undang-undang tersebut bahwa fungsi utama perbankan adalah sebagai

penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Pengerahan dana dari masyarakat dan

penyalurannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit merupakan dua

fungsi utama bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi pemberian

kredit tidak mungkin ada tanpa ada fungsi pengerahan dana.

Berdasarkan kedua fungsi tersebut diatas, yaitu fungsi pengerahan dana

dan fungsi penyaluran dana, maka terlihat adanya 2 (dua) hubungan hukum antara

bank dan nasabah yaitu:

1. Hubungan hukum antara bank dan penyimpan dana; dan

2. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.51

Berkaitan dengan kedua hubungan hukum antara bank dan nasabah

tersebut di atas, terdapat aspek-aspek hukum yang sampai sekarang di Indonesia

masih menjadi masalah yang harus dipecahkan. Antara lain tetapi yang paling

utama, adalah yang menyangkut bentuk dan sifat dari masing-masing hubungan

hukum itu. Yang menyangkut bentuk dari masing-masing hubungan hukum itu,

50

Ridwan Khairandy,Op.cit, Hal. 1-2

51

(10)

ketentuan-ketentuan dari lembaga hukum apa yang harus diterapkan untuk

menyelesaikan sengketa itu.

Dalam hal ini penulis membatasi hanya membicarakan hubungan hukum

antara nasabah debitur dengan bank yang dituangkan dalam perjanjian kredit bank

yang dalam praktek pada umumnya memakai perjanjian standar (Standard

contract) atau perjanjian baku.

C. Bank Dan Perjanjian Kredit.

Berkaitan dengan perjanjian kredit bank, dijumpai juga adanya

permasalahan-permasalahan hukum yang bila dilihat dari kacamata

kepentingan bank sangat merugikan bank.

Beberapa permasalahan yang penting yang pada dewasa ini dihadapi

oleh bank dalam kaitannya dengan perjanjian kredit,

permasalahan-permasalahan itu adalah :

1. Tidak Dicantumkannya Klausul-Klausul Lingkungan Hidup Dapat

Membahayakan Bank Terhadap Gugatan Ganti Kerugian Dan Tuntutan

Pidana Karena Pencemaran Lingkungan

Ada 3 alasan mengapa bank harus menempuh kebijakan perkreditan

yang berwawasan lingkungan, alasan yang pertama adalah yang berkaitan

dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UULH. Menurut Pasal 6 ayat (1) UULH

tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga

mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) undang-undang

(11)

(1) itu (seperti juga dimaksudkan pada paal 5 dan pasal-pasal lainnya)

adalah “orang seorang”, “kelompok orang”, atau “badan hukum”. Maka

bank sebagai badan hukum52

2. Grosse Akta Perjanjian Kredit Notariele Schuldbrief Ex Pasal 224 HIR mempunyai kewajiban pula berperan serta

dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.

Pada akhir-akhir ini penuangan perjanjian kredit dalam bentuk akta

notaris telah pula menghadapi masalah hukum, yang oleh dunia perbankan

dirasakan sebagai pukulan berat. Adalah lazim bagi bank untuk membuat

perjanjian kredit dalam bentuk notaris, terutama untuk kredit-kredit yang

menurut pertimbangan masing-masin bank yang bersangkutan dinilai

sebagai kredit-kredit besar. Tujuan bank untuk membuat perjanjian

kreditnya dalam bentuk akta notaris adalah untuk dapat memanfaatkan

ketentuan Pasal 224 HIR, selama ini kalangan notaris dan perbankan

berpendapat bahwa grosse akta perjanjian kredit adalah notarielle

schuldbrief yang memenuhi ketentuan ex Pasal 224 HIR.

Kalangan perbankan berpendapat bahwa dengan adanya klausul

pengakuan hutang tersebut, maka grosse akta perjanjian kredit telah

identik dengan grosse surat hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

224 HIR, sehingga dengan demikian apabila debitur tidak melunasi

hutangnya (wanprestasi), bank berdasarkan grosse akta yang bertitel

eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,

dapat langsung memohon eksekusi kepada pengadilan untuk memaksa

debitur membayar hutangnya kepada bank, tanpa harus melakukan

52

(12)

gugatan perdata. Dengan cara yang demikian dalam praktek sangat

membantu penyelesaian kredit macet dan dapat berjalan lancar karena

pengadilan Negeri selalu mengabulkan permohonan eksekusi grosse akta

berdasarkan Pasal 224 HIR walaupun akadnya berupa grosse akta

perjanjian kredit.

3. Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Kredit Sebagai Alternatif Untuk

Menyelesaikan Kredit Macet

Adalah Shidarta P. Soerjadi, yang untuk pertama kalinya

menganjurkan kepada umum untuk memanfaatkan Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) untuk menyelesaikan sengketa antara bank

dan nasabah debitur dengan mencantumkan klausul arbitrase pada setiap

perjanjian kredit. “Kepada masyarakat perlu diberi penerangan”, demikian

disarankannya, “mengenai manfaat penyelesaian sengketa dibidang

perkreditan jpada arbitrase dan diharapakan kepada para pengusaha mulai

membiasakan diri mencantumkan klausula arbitrase pada setiap

pembuatan perjanjiannya, sehingga bila timbul sengketa dapat diminta

putusan dari BANI.53

Saran shidarta ini dikemukakan dalam simposium aspek-aspek masalah

perkreditan yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun

1981 yang lalu. Sayang sekali sampai sekarang saran yang sangat baik ini

tidak mendapat sambutan dari perbankan dan pengusaha. Dalam

perjanjian-perjanjian kredit yang baku yang dikeluarkan oleh bank-bank di

53

(13)

Indonesia sampai sekarang belum ada yang memuat klausul arbitrase

didalamnya.

4. Pelunasan Kredit Oleh Nasabah Debitur Sebelum Jangka Waktu Kredit

Dapat Merugikan Bank

Adalah sudah menjadi pengertian yang lazim dalam praktik

perbankan di Indonesia bahwa kecuali bila terjadi hal-hal yang

diisyaratkan didalam perjanjian kredit, misalnya nasabah debitur

melakukan pelanggaran atas syarat-syarat kredit yang dapat

diklasifikasikan sebagai even of default, maka bank sebelum berakhirnya

jangka waktu kredit tidak berhak untuk menarik kembali kredit itu,

seingga selama jangka waktu itu bank tidak berhak melarang nasabah

debitur untuk menggunakan kelonggaran tarik kreditnya. Dilihat dari

kepentingan nasabah debitur ini merupakan tujuan dari perlunya

ditetapkan jangka waktu kredit.

Apabila bank tidak berhak menarik kembali kredit itu selama

jangka waktu kredit masih berjalan. Maka bagaimanakah dengan hak

nasabah debitur untuk melunasi kredit sebelum jangka waktu kredit

berakhir. Kebiasaan dalam praktek perbankan yang berlaku di Indonesia

ialah bahwa sepanjang tidak diperjanjikan sebaliknya, nasabah debitur

dapat sewaktu-waktu membayar angsuran-angsuran kredit sebelum waktu

yang ditentukan didalam jadwal angsuran atau untuk melunasi seluruh

baki debet pinjaman sebelum jatuh tempo perjanjian kredit.

5. Tidak Lengkap Dan Jelasnya Rincian Klausul-Klausul Representations

(14)

Hanya baru beberapa tahun ini kita jumpai klausul Representations

and warranties didalam perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh

bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta nasional di Indonesia. Pada

perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank asing, terutama

bank-bank asing yang berasal dari negara-negara yang menganut sistem

common law. Klausul ini selalu dapat dijumpai. Pencantuman klausul ini

di dalam perjanjian kredit bank-bank asing di Indonesia atau pengaruh dari

perjanjian-perjanjian syndicated loan antara bank-bank pemerintah dan

swasta nasional tersebut dengan bank-bank luar negeri dan bahkan

pengaruh dari mempelajari perjanjian-perjanjian kredit bank-bank di luar

negeri.

D. Asas Kesetaraan di Dalam Perjanjian Kredit Bank

Proses pemberian kredit merupakan tahap yang harus dilalui oleh

nasabah selaku pemohon, dan petugas bank selaku penilai. Proses ini harus

selalu dilakukan sebelum nasabah mendapatkan persetujuan kredit.

Tahap yang umumnya dilalui oleh bank antara lain54

1. Pengajuan Kredit

:

Permohonan kredit dilakukan oleh nasabah atau calon ansabah dengan

tujuan mendapatkan kredit sesuai dengan yang dibutuhkan. Permohonan

ini harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pihak bank.

2. Analisis kredit

54

(15)

Analisis kredit adalah proses pengolahan informasi dasar yang telah

diperoleh menjadi informasi yang lengkap. Informasi yang lengkap terdiri

dari beberapa faktor, diantaranya peluang dan ancaman yang akan

mempengaruhi usaha serta kelancaran pembayaran kredit. Analisis kredit

juga dilengkapi dengan evaluasi atas kebutuhan modal yang dibutuhkan

nasabah.

3. Penetapan Struktur dan Jenis Kredit

a. Struktur kredit merupakan bagian dari ketentuan realisasi kredit yang

memerhatikan kebutuhan nasabah dan sumber pembayaran.

b. Jenis-jenis Kredit

Jenis-jenis kredit dapat dikelompokkan berdasarkan:

a. Penggunaannya, yaitu:

1) Kredit konsumtif, yang ditujukan ke nasabah yang memerlukan

dana untuk kebutuhan konsumsi.

2) Kredit produktif, yaitu jenis kredit yang digunakan untuk

keperluan produksi atau usahanya.

b. Keperluan Produksinya

1) Kredit modal kerja (KMK), yang ditujukan ke nasabah yang

kekurangan modal kerja untuk mengembangkan usahanya.

2) Kredit investasi, yang ditujukan ke nasabah yang membutuhkan

(16)

4. Jangka Waktu

1) Kredit jangka pendek, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka waktu

hingga satu tahun atau tidak lebih dari satu tahun.

2) Kredit jangka menengah, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka

waktu antara satu hingga tiga tahun.

3) Kredit jangka panjang, yaitu jenis kredit yang mempunyai jangka waktu

lebih dari tiga tahun.

5. Cara Penggunaan

1) Kredit rekening koran bebas, yaitu jenis kredit dimana debitur

menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan

pemakaian tidak dibatasi namun disesuaikan dengan maksimum kredit

yang diberikan.

2) Kredit rekening koran terbatas, yaitu jenis kredit dimana debitur

menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran, namun

terdapat pembatasan dalam pemakaiannya. Nasabah tidak

diperkenankan melakukan penarikan uang sekaligus.

3) Kredit rekening koran aflopend, yaitu jenis kredit dimana penarikan

dilakukan sekaligus pada waktu penarikan pertama, dan

pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur.

4) Kredit revolving, yaitu jenis kredit dengan penarikan yang sama

dengan rekening koran bebas, namun dibedakan menurut cara

(17)

6. Pelaksanaan Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian

piutang (perjanjian pinjam mengganti). Sedang perjanjian

hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau

perjanjian kredit. Kiranya uraian masalah ini cukup jelas jika arti

pendahuluan pada perjanjian kredit dibedakan dengan arti pelaksanaan

perjanjian hutang piutang. 55

Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH

Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan

dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti

ditegaskan bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus

maupun yang tidak dikenal dengan nama khusus ataupun yang tidak

dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan

umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUH Perdata. Dengan

demikian setiap orang dapat membuat perjanjian kredit dengan

syarat-syarat yang ditertapkan sendiri, juga tidak menyimpang dari ketentuan

yang tercantum dakam KUH Perdata.

56

55

Hartono Soerja Pratiknyo, Kredit Perbankan Di Indonesia, Yogyakarta, 2000, Hal 29

56

Retno Wulan Sutantio, Op.Cit, Hal 22

Dalam praktek perbankan guna mengamankan pemberian kredit

atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan dalam bentuk

tertulis dan dalam perjanjian baku (standard contract). Perjanjian kredit

(18)

Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard contract),

dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah

dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir atau blanko, tetapi tidak

terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Calon nasabah debitur

hanya membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi

perjanjian tersebut, tidak memberi kesempatan kepada calon debitur untuk

membicarakan lebih lanjut tentang isi atau klausula-klausula yang

diajukan oleh pihak bank. Pada perjanjian ini kedudukan calon debitur

sangat lemah, sehingga menerima saja segala syarat-syarat yang diajukan

oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan

mendapat kredit yang dimaksud.57

Sebenarnya jika dilihat dari situasi di mana perjanjian kredit itu

disusun secara sepihak oleh perbankan adalah tidak logis karena

kepentingan debitur tidak dilindungi oleh perjanjian itu. Bahkan yang

nyata-nyata tampak ialah sejauh mana kepentingan debitur (peminjam)

dilindungi karena debitur tidak mempunyai hak untuk mengubah atau

memodifikasi perjanjian baku itu. Perjanjian ini dapat disebut sebagai

perjanjian paksaan atau all size contract atau take it or leave it contract.

58

Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak

seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah merupakan salah

satu faktor lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Salah satu

latar belakang dari lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

57

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 265

58

(19)

adalah agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan

produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa dalam perjanjian baku

(standart Contract) tertap harus ada suatu keseimbangan antara para

pihak, sehingga pemuatan klausul dalam suatu perjanjian tidak boleh

diletakkan atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,

atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Larangan demikian

tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999

(20)

KREDIT PERBANKAN

A. Kesetaraan Antara Kreditur Dan Debitur Dalam Kredit Perbankan

Proses pemberian kredit merupakan tahap yang harus dilalui oleh

nasabah selaku pemohon, dan petugas bank selaku penilai. Proses ini harus

selalu dilakukan sebelum nasabah mendapatkan persetujuan kredit.

Untuk memahami isi dari perjanjian kredit Bank dalam

mewujudkan kesetaraan antara kreditur dan debitur secara yuridis,

sebagai ditentukan dalam perundang-undangan maka ada tahapan yang

umumnya dilalui oleh bank antara lain59

1. Pengajuan Kredit

:

Permohonan kredit dilakukan oleh nasabah atau calon nasabah

dengan tujuan mendapatkan kredit sesuai dengan yang dibutuhkan.

Permohonan ini harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada

pihak bank.

2. Analisis kredit

Analisis kredit adalah proses pengolahan informasi dasar yang

telah diperoleh menjadi informasi yang lengkap. Informasi yang

lengkap terdiri dari beberapa faktor, diantaranya peluang dan ancaman

yang akan mempengaruhi usaha serta kelancaran pembayaran kredit.

59

(21)

Analisis kredit juga dilengkapi dengan evaluasi atas kebutuhan modal

yang dibutuhkan nasabah.

3. Penetapan Struktur dan Jenis Kredit

4. Penetapan Struktur kredit

Struktur kredit merupakan bagian dari ketentuan realisasi kredit

yang memerhatikan kebutuhan nasabah dan sumber pembayaran.

5. Jenis-jenis kredit

Jenis-jenis kredit dapat dikelompokkan berdasarkan:

a) Penggunaannya, yaitu:

1) Kredit konsumtif, yang ditujukan ke nasabah yang memerlukan

dana untuk kebutuhan konsumsi.

2) Kredit produktif, yaitu jenis kredit yang digunakan untuk

keperluan produksi atau usahanya.

b) Keperluan Produksinya

1) Kredit modal kerja (KMK), yang ditujukan ke nasabah yang

kekurangan modal kerja untuk mengembangkan usahanya

2) Kredit investasi, yang ditujukan ke nasabah yang membutuhkan

barang modal untuk pertumbuhan usahanya.

c) Jangka Waktu

1) Kredit jangka pendek, yaitu jenis kredit yang mempunyai

jangka waktu hingga satu tahun atau tidak lebih dari satu tahun.

2) Kredit jangka menengah, yaitu jenis kredit yang mempunyai

(22)

3) Kredit jangka panjang, yaitu jenis kredit yang mempunyai

jangka waktu lebih dari tiga tahun.

d) Cara Penggunaan :

1) Kredit rekening koran bebas, yaitu jenis kredit dimana debitur

menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan

pemakaian tidak dibatasi namun disesuaikan dengan

maksimum kredit yang diberikan.

2) Kredit rekening koran terbatas, yaitu jenis kredit dimana

debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening

koran, namun terdapat pembatasan dalam pemakaiannya.

Nasabah tidak diperkenankan melakukan penarikan uang

sekaligus.

3) Kredit rekening koran aflopend, yaitu jenis kredit dimana

penarikan dilakukan sekaligus pada waktu penarikan pertama,

dan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur.

4) Kredit revolving, yaitu jenis kredit dengan penarikan yang

sama dengan rekening koran bebas, namun dibedakan menurut

cara pemakaiannya.

6. Pelaksanaan Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum

de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului

perjanjian hutang-piutang (perjanjian pinjam mengganti). Sedang

perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian

(23)

jelas jika arti pendahuluan pada perjanjian kredit dibedakan dengan arti

pelaksanaan perjanjian hutang piutang. 60

Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam

KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh

bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam

hukum perdata, seperti ditegaskan bahwa semua perjanjian baik yang

mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan nama

khusus ataupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk

pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II

KUH Perdata. Dengan demikian setiap orang dapat membuat

perjanjian kredit dengan syarat-syarat yang ditertapkan sendiri, juga

tidak menyimpang dari ketentuan yang tercantum dakam KUH

Perdata.

61

Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard

contract), dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut

telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir atau blanko,

tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Calon Dalam praktek perbankan guna mengamankan pemberian

kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kreditnya dituangkan

dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standard contract).

Perjanjian kredit bank dapat dibuat secara di bawah tangan atau

notariil.

60

Hartono Soerja Pratiknyo, Kredit Perbankan Di Indonesia, Yogyakarta, 2000, Hal 29

61

Retno Wulan Sutantio, Upaya Hukum Dalam Penagihan Kredit Macet dan Eksekusi

Jaminan, , (Jakarta: Pustaka Peradilan , Jilid 1, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial, Mahkamah

(24)

nasabah debitur hanya membubuhkan tandatangannya saja apabila

bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberi kesempatan

kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut tentang isi atau

klausula-klausula yang diajukan oleh pihak bank. Pada perjanjian ini

kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja segala

syarat-syarat yang diajukan oleh pihak bank, karena jika tidak

demikian calon debitur tidak akan mendapat kredit yang dimaksud.62

Sebenarnya jika dilihat dari situasi di mana perjanjian kredit

itu disusun secara sepihak oleh perbankan adalah tidak logis karena

kepentingan debitur tidak dilindungi oleh perjanjian itu. Bahkan yang

nyata-nyata tampak ialah sejauh mana kepentingan debitur

(peminjam) dilindungi karena debitur tidak mempunyai hak untuk

mengubah atau memodifikasi perjanjian baku itu. Perjanjian ini dapat

disebut sebagai perjanjian paksaan atau all size contract atau take it or

leave it contract.

63

62

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 265

63

H. Budi Untung, Kredit Perbankan Di Indonesia, Yogyakarta, 2000, Hal 35-36.

Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi

tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah

merupakan salah satu faktor lahirnya Undang-Undang Perlindungan

Konsumen. Salah satu latar belakang dari lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen adalah agar terdapat suatu perjanjian yang

seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan asas kesetaraan

(25)

Uraian tersebut menggambarkan bahwa dalam perjanjian baku

(standart Contract) tertap harus ada suatu keseimbangan antara para

pihak, sehingga pemuatan klausul dalam suatu perjanjian tidak boleh

diletakkan atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara

jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Larangan

demikian tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. Perlindungan Atas Hukum Antara Kepentingan Kreditur Dan Debitur Dalam Perjanjian Kredit Perbankan

Sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang

memberikan perlindungan bagi nasabah selaku konsumen tidak hanya

melalui UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan

perundang-undangan di bidang perbankan. Karena bank merupakan lembaga

keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung

dari masyarakat, maka dalam melaksanakan aktivitasnya bank harus

melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan bank, yaitu prinsip kepercayaan

(fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip

kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know

your costumer principle).

Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank

harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai

alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat

(26)

pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada

perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi

nasabah.

Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum khususnya bagi

nasabah deposan sebagaima tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang

disimpan dalam bank yang bersangkutan. Amanat Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan. Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin

simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas

sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di

bidang perbankan, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah

dengan bank. Hal ini telah diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang

Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang

Mediasi Perbankan.

Dalam Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian

Pengaduan Nasabah, Pengaduan didefinisikan sebagai ungkapan

ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian

finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank.

Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, maka bank wajib

(27)

pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan

penanganan dan penyelesaian pengaduan.

Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud

diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP

tertanggal 18 Juli 2005, antara lain sebagai berikut:

a. Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup

kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan

atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk

yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain

yang menjadi Nasabah Bank tersebut.

b. Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk

mengajukan pengaduan.

c. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang

bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat kuasa

khusus dari Nasabah.

Dalam Pasal 10 PBI No. 7/7/PBI/2005 disebutkan bahwa bank

wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja

setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis, kecuali terdapat kondisi

tertentu yang menyebabkan bank dapat memperpanjang jangka waktu.

yaitu:

a) Kantor Bank yang menerima Pengaduan tidak sama dengan Kantor

Bank tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat

(28)

b) Transaksi Keuangan yang diadukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan

Nasabah memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen

Bank

c) Terdapat hal-hal lain yang berada diluar kendali bank, seperti adanya

keterlibatan pihak ketiga diluar Bank dalam Transaksi Keuangan yang

dilakukan Nasabah. Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh

bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tertanggal 20

Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak selalu

dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani dapat

mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat

pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu

dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa

perbankan.

d) Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang

melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa

guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela

terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan

Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan sebagaimana

telah disebut dalam ketentuan Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni:

a. Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi

(29)

b. Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk

selambat-lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan

untuk sementara dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Proses beracara dalam Mediasi Perbankan secara teknis diatur

dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.

8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

1. Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi

perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau

Perwakilan Nasabah

2. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan

penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib

memenuhi panggilan Bank Indonesia. Syarat-syarat Pengajuan

Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8

PBI No. 8/5/PBI/2006)

3. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung

yang memadai;

4. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada

Bank;

5. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum

pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau

belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga

(30)

6. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

7. Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi

perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan

8. Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam

puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian

Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan

Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to

mediate) yang memuat:

a. Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif

penyelesaian Sengketa; dan

b. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak bank

wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah

ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Pemaparan di atas merupakan sebagian dari peraturan

perundang-undangan yang dapat dijadikan sarana perlindungan bagi nasabah

selaku konsumen di bidang perbankan. Demi optimalnya peraturan

perundang-undang dimaksud, maka diperlukan adanya kerja sama

(31)

lembaga penyelesaian sengketa sesuai dengan kapasitas dan

kewenangan masing-masing.64

UUPK bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang

perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK

pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang

materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal

202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan

Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi

payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak

menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan

lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap

konsumen.

Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di

bidang perbankan menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan

antara para pihak seringkali tidak seimbang. Perjanjian

kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang

seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan

efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang

mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam hal ini adalah

pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima

64

(32)

atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or

leave it).

Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian

kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan,

karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur

kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya

masing-masing.

Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank

untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian

kredit/pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan terhadap

nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir

sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain

pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam mengatasi

perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai apakah

upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai

dengan yang disepakati dan tidak melanggar ketentuan

perundang-undangan.

Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah

karena:

1. Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak.

2. Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan

kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya,

3. Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, Ada unsur

(33)

Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi.

Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UUPK untuk

memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku,

yaitu sebagai berikut:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atauperjanjian apabil menyatakan

pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku

usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli

konsumen; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa

yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari

konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak

langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan

dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur

perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan

jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha

untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan

konsumen yang menjadi obyek jual-beli jasa;menyatakan tunduknya

konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,

lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku

usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

(34)

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.

d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat

dan sering terjadi dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh

bank adalah ketentuan pada ayat (1) huruf g, yakni bahwa bank

menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya.

Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam

UUPK, akan tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi

pelanggaran sehingga akan merugikan kepentingan nasabah. Hal-hal yang

harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak

meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus

(35)

a. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan

adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian.

b. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan

perjanjian kredit/pembiayaan.

c. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.

d. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui

isi perjanjian. Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan

nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai

kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening di bank maka

diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi

nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan

di kemudian hari.65

65

(36)

A. Kesimpulan

1. Perjanjian kredit bank berpedoman kepada hukum perikatan yang diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ke III (tiga). Hal ini

karena hingga saat ini ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang

mengatur tentang perjanjian kredit belum ada. Jadi perikatan timbul dari

persetujuan atau undang-undang. Kesetaraan antara kreditur dan debitur

dapat dilihat dari perjanjian-perjanjian kredit bank di Indonesia yang

dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau dibuat dengan klausul-klausul

baku. Pada dasarnya pihak yang lain atau debitur tidak mempunyai

peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan klausul yang sudah

baku.

2. Perlindungan atas hukum antara kepentingan kreditur dan debitur dalam

perjanjian kredit bank merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh

diabaikan begitu saja. Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan

unsur yang sangat berperan. Dunia perbankan bersandar pada kepercayaan

dari pihak masyarakat atau nasabah. Fokus persoalan perlindungan

nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta

ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dan

nasabahnya, hubungan hukum yang terjadi antara bank dan nasabah dapat

terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta

(37)

pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi

konsumen, tetapi tidak melemahkan kedudukan posisi bank.

b. Saran

1. Agar ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang mengatur tentang

perjanjian kredit dapat diundang-undangkan sebagai pedoman perjanjian

kredit bank bagi masyarakat Indonesia khususnya kesetaraan dalam perjanjian

kredit perbankan.

2. Agar hak-hak konsumen khususnya dalam perjanjian kredit bank dapat

terpenuhi, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani

(38)

A. Pengertian Perjanjian Kredit

Fungsi perbankan selain menghimpun dana masyarakat juga menyalurkan

dana masyarakat dalam bentuk pemberian kredit. Undang-undang perbankan

yang diubah tidak mengkonstruksikan hubungan hukum pemberian kredit dan

nasabah peminjam dana tersebut. Hanya dapat mengetahui bahwa pemberian

kredit itu adanya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

uang antara bank sebagai kreditur dan pihak lain nasabah peminjam dana sebagai

debitur dalam jangka waktu tertentu yang telah disetujui atau disepakati bersama

dan akan melunasi utangnya tersebut dengan sejumlah bunga, imbalan atau

pembagian hasil keuntungan. Timbul pertanyaan apakah dengan sendirinya

perjanjian kredit ini tunduk pada pengaturan pinjam meminjam yang terdapat

dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Bebarapa Pakar Hukum berpendapat demikian, perjanjian kredit pada

hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

R. Subekti berpendapat bahwa :

“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semua

itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam

sebagaimana diatur dalam kitab Undang hukum Perdata Pasal 1754 sampai

(39)

Hal yang sama dikemukan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa:

“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1754. Perjanjian Pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda benda yang menghabiskan jika verbriiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”. Akan tetapi pendapat ini disangkal oleh pakar hukum lainnya.

Menurut Hartono Soerja Pratiknyo:

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang

piutang (perjanjian pinjam mengganti). Sedang perjanjian hutang piutang

merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Jadi

arti pendahuluan pada perjanjian kredit dibedakan dengan arti pelaksanaan

perjanjian hutang piutang.32

32

Hartono Soerja Pratiknyo, Hutang Piutang, (Yogyakarta : Mustika, 1989), Hal. 3

Ada beberapa perbedaan yang lain antara perjanjian kredit dan perjanjian

hutang piutang, yaitu terletak pada sifat perjanjian tersebut. Perjanjian kredit

bersifat konsensuil sedand perjanjian hutang piutang bersifat riil. Riil berarti

bahwa perjanjian baru ada setelah uang yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit

diserahkan secara nyata pada debitur.

I. Jenis Perjanjian Kredit

Secara Yuridis ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang

(40)

1) Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah

perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya

diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa Notaris.

Lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta

membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat

pembuktian dalam perkara perdata.

2) Perjanjian/pengikatan kredit yang dbuat oleh dan di hadapan Notaris (notariil)

atau akta otentik

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notariil (otentik) adalah

perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat

oleh atau dihadapan Notaris.

Adapun akte otentik adalah suatu akte undang-undang, dibuat oleh atau

di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana

akte dibuat.

Mengenai akta perjanjian notariil/otentik ini, ada beberapa hal yang perlu

diketahui, yaitu:

a) Kekuatan Pembuktian

Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian:

Pertama:

Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah

menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi (kekuatan pembuktian

(41)

Kedua:

Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa

sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan

pembuktian material atau yang kita namakan kekuatan pembuktian

mengikat);

Ketiga:

Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi

juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua

belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (Notaris)

dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan

pembuktian keluar).

b) Grosse Akta Pengakuan Hutang

Kelebihan lain daripada akta perjanjian kredit/pengakuan hutang

yang dibuat secara notariil (otentik) adalah dapat dimintakan Grosse akta

pengakuan Hutang tersebut. Grosse akta pengakuan hutang ini mempunyai

kekuatan eksekutorial, artnya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh

bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses

gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.

c) Ketergatungan terhadap Notaris

Ada yang perlu di ingat bahwa Notaris sebagai pejabat umum tetap

juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan

perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau di hadapan Notaris, tetap

dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan

(42)

Kemungkinan terjadi kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian

kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara notariil tetaplah ada. Dengan

demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada

Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan

dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam

hubungan itu bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk

berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh

bank. Di samping itu, Account Officer tetap mengharapkan legal opinion

Notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam

hal ini dapat berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal

asset suatu pelepasan kredit.

II. Bentuk Perjanjian Kredit dan Permasalahannya

Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya

menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan

dengan itu, memang dalam prakteknya bentuk perjanjiannya telah

disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya

mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian

itu biasa disebut perjanjian baku (standard contract), di mana dalam

perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau

menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar

menawar.

(43)

B. Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit

Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-sehari, kata seimbang

(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di

kedua sisi berada dalam keadaan seimbang.33

a. Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan

melindungi harapan wajar yang muncul darinya.

Kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan dibawah ini

secara singkat:

b. Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya

memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.

c. Tujuan ketiga ialah to prevent certain kinds of harm.

d. Tujuan keempat dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara

kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.34

Bahwa perjanjian adalah suatu proses yang bermula dari suatu janji

menuju kesepakatan (bebas) dari para pihak dan berakhir dengan

pencapaian tujuan yaitu perjanjian yang tercapai dalam semangat atau jiwa

keseimbangan. Dalam lingkup suasana hukum Indonesia tujuan dari

kontrak yakni tercapainya kepatutan sosial (sociale gezindheid) dan suatu

keseimbangan selaras (kemungkinan eksistensi materil (immateriele

zijnsmogelijkheid). Perjanjian yang dari sudut substansi atau maksud dan

tujuannya ternyata bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum

33

Herlien Budiono, Azas keseimbangan bagi hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 304

34

(44)

batal demi hukum (nietig) dan pada prinsipnya hal serupa akan berlaku

berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang.

Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu

keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus munculkan

pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan,

dalam konteks asas kesimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan

keadaan, melainkan lebih dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal

perjanjian dimaksud. Dalam tercipta atau terbentuknya perjanjian,

ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat perilaku para pihak sendiri

atupun sebagi konsekwensi dari substansi (muatan isi) perjanjian atau

pelaksanaan perjanjian.

Posisi tawar yang setara mengakibatkan para pihak berada dalam

situasi yang kurang lebih seimbang. Bila keadaannya seimbang, tidak ada

seorang pun akan merasa dirugikan. Namun demikian, tentu bisa terjadi

situasi abnormal dan muncul ketidakseimbangan. Hal ini dapat terjadi bila

salah satu pihak yang lebih kuat mengambil keuntungan dari situasi yang

lebih menguntungkannya. Akan tetapi situasi ini akan dapat diterima

sepanjang tidak menguntungkan salah satu pihak, yang oleh pihak lawan,

karena posisi tawar yang rendah, terpaksa diterima. Situasi demikian

merupakan konsekwensi kebebasan yang dapat memuaskan semua pihak

sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan

peluang-peluangnya sendiri.

Menurut Ridwan Khairandy:

(45)

asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.35

Kemudian pada abad dua puluh timbul berbagai kritik dan

keberatan terhadap kebebasan berkontrak baik yang berkaitan dngan

akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang

melekat didalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya

bergeser kearah paradigma kepatutan. Dengan demikian, walaupun

kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak

baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul

seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad sembilan belas.

Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan kebebasan tanpa

batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan

berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan.

Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya

dipengaruhi oleh dua faktor, yakni:

1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana iktikad baik tidak

hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat

dibuatnya kontrak.

2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van

omstandigheden atau undue inflence).

35

(46)

Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para

pihak memilki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power

tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi

unconscionable.36

Bargaining power yang tidakseimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak tang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.

Di samping itu meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan

para pihak itu ada, namun dalam pelaksanaan yang tercapai suatu hasil

yang tidak seimbang dan tidak sesuai (tidak patut dan adil,

ongelijkwaardigheid van resultaat).

Dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersurat

di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, hanya dalam keadaan in concreto ada

keseimbangan dan keserasian maka tercapailah kesepakatan/konsensus

yang sah antara para pihak. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka Pasal

1338 KUH Perdata tidak berlaku mutlak (kebebasan untuk mengambil

putusan tidak ada bagi salah satu pihak).

Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan:

37

Mengenai bagaimana seharusnya mengukur ada atau tidaknya

bargaining power yang seimbang diantara para pihak dalam suatu

perjanjian, contoh kasus yang lemah terjadi dalam pengadilan Indonesia

adalah antara lain saran Z. Asikin Kusumah Atmadja yang telah

36

Ibid, Hal. 185

37

(47)

menyarankan acuan sebagaimana dikemukakan dalam catatan yang

diberikan olehnya mengenai putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret

1987 No. 3431 K/Pdt/1985 yang telah disebutkan di muka.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini:

Dari pengalaman saya hampir 30 tahun bekerja sebagai pejabat bank, yang sebagian besar dari waktunya itu berkaitan dengan pemberian, pengamanan dan penagihan kredit bank, serta dari pendengaran terhadap kejadian-kejadian dan pendapat-pendapat di dalam masyarakat, ada kesan bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Dari pengalaman saya sebagai pejabat bank yang banyak menangani urusan perkreditan bank itu dan dari hasil pembicaraan/diskusi, banyak pejabat-pejabat senior bank-bank Indonesia, bahwa kesan ini sangat keliru. Sering sekali bahwa bank justru berada di posisi lemah bila berhadapan dengan debitur. Posisi bank dapat berbeda pada saat kredit akan diberikan (pada saat para pihak melakukan negosiasi untuk memasuki perjanjian kredit) dibandingkan dengan saat kredit telah digunakan oleh nasabah debitur. Posisi bank juga tergantung kepada golongan nasabah debitur yang menikmati kredit.38

Dari putusan-putusan pengadilan, yaitu mengenai klausul-klausul

dalam perjanjian kredit yang memberatkan nasabah debitur, dapat

diketahui bahwa bank sering dikalahkan oleh pengadilan hanya oleh

karena pengadilan ingin melindungi pihak nasabah debitur yang dianggap

konsumen lemah. Sikap pengadilan tersebut bukan keliru bila hanya

dilihat dari kacamata kepentingan nasabah debitur saja, tetapi tidak

demikian halnya bila pengadilan memperhatikan pula kewajibannya untuk

melindungi kepentingan pihak lainnya didalam perjanjian kredit, yaitu

bank yang terutama bekerja dengan uang simpanan masyarakat, yang pada

umumnya juga merupakan konsumen-konsumen lemah yang perlu

dilindungi. Apabila banyak kredit bank tidak dibayar kembali karena

38

(48)

sarana hukum tidak cukup untuk dapat melindungi kepentingan bank

terhadap nasabah-nasabah debitur yang beritikad baik, maka tidak

mustahil bank-bank akan menjadi tidak likuid, yang pada gilirannya pasti

merugikan nasabah-nasabah penyimpan dana yang perlu dilindungai

kepentingannya. Di samping itu pengadilan berkewajiban pula

memperhatikan penerapan asas yang menetukan bahwa “orang yang

berhutang harus mengembalikan utangnya”. Sering pengadilan tidak

memberikan pemecahan mengenai pengembalian kredit bank yang telah

digunakan oleh nasabah debitur dan macet, yang sering kemacetan itu

justru sebagai akibat penyalahgunaan kredit oleh nasabah debitur.

Menurut KUH Perdata, perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik, sedangkan itikad baik itu tidak saja bekerja setelah perjanjian

dibuat tetapi juga telah mulai bekerja sewaktu pihak-pihak akan

memasuki atau menghadapi untuk memasuki perjanjian, maka pembuatan

perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan

adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam membuat dan

melaksanakan perjanjian itu adalah antara dua mitra janji dan bukan dua

lawan janji. Terutama pada pembuatan perjanjian kredit bank, asas

kemitraan itu sangat diperlukan. Landasan asas pada pembuatan perjanjian

kredit bukan saja karena bekerjanya asas itikad baik, tetapi juga karena

bagi bank nasabah debitur adalah sesungguhnya mitra usaha bank. Oleh

karena itu bank dan nasabah debitur harus saling menjadi mitra, maka

dalam perjanjian di antara mereka tidak boleh ada yang lebih kuat

(49)

C. Akta Perjanjian Kredit

Setiap kredit di perbankan yang telah disetujui dan disepakati antara

pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit

(akad kredit), secara tertulis.39

39

Muhammad Djumhana, Op.cit, Hal. 507

Perjanjian Kredit yang dibuat secara Notariil (otentik) adalah perjanjian

pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau

dihadapan Notaris. Yang perlu diingat yaitu bahwa Notaris sebagai pejabat

umum tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam

mengadakan perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau di hadapan

Notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek dan

kelengkapan yang diperlukan.

Kemungkinan terjadinya kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian

kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara Notariil tetaplah ada. Dengan

demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada

Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam

pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam hubungan itu

bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada

model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Di samping itu,

Account Officer tetap mengharapkan legal opinion dari Notaris setiap akan

mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam hal ini dapat berperan

sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal asset suatu pelepasan

Referensi

Dokumen terkait

DIKLAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SERTIFIKASI JP2UPD 08 2005 360 S-1 IAIN RADEN PATAH PALEMBANG MAGISTER MANAJEMEN STIE NEGARA BELITANG OKU SUMSEL 1992 2014 S-1 S-2 48 THN DARI

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kemudahan, kesabaran, kekuatan serta

Kebutuhan air bersih perlu dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu agar air tersebut layak dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat PDAM Tirta Patriot Kota Bekasi adalah salah

Dalam tahapan ini tidak ada observasi untuk mengamati pertunjukan musik Melayu, karena data tersebut diperoleh melalui studi dokumentasi. Adapun observasi dilakukan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Operasional

Universitas Negeri

Universitas Negeri

memberikan manfaat diantaranya ajang silaturrahmi, menambah pengetahuan mengenai tradisi sendiri, pesta rakyat dan walaupun masih ada yang menganggap tradisi ini