• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembataran penahanan tersangka pengedar narkoba dalam proses penyidikan karena menghidap hiv/aids (study kasus dan analisa surat perintah polres tangerang no. pol: sprin.han/ 134-a/VIII/2009/ Narkoba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembataran penahanan tersangka pengedar narkoba dalam proses penyidikan karena menghidap hiv/aids (study kasus dan analisa surat perintah polres tangerang no. pol: sprin.han/ 134-a/VIII/2009/ Narkoba)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Merlie Endarwati

106043201341

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

v

Syukur alhamdulullah saya panjatkan kehadirat-Nya Allah SWT. Akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselasaikan oleh penuhs dengan kerja keras dan diiringi do'a, dan berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada penulis. Shalawat serta salara semoga tercuralikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membavva risalah kepada kebenaran untuk umat Islam khususnya.

Skripsi ini merupakan sebuah karya penulis dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga dan mendapatkan bantuan baik meteril maupun non materil.

Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga yang telah berjasa dan yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukurn U1N Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, MAg, selaku ketua program study Perbandingan Mazhab dan Hukum, serta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi MSi, selaku sekretaris program study Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Prof. Dr. Muhammad Abduh Malik dan bapak Burhanudin, SH. MH, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis.

(3)

vi

6. Suami tercinta Kahfi, SHI, yang telah memberi dukungan penuh dan tak henti-hentinya memberikan semangat, meluangkan waktu, mendoakan sehingga skripsi ini telah sampai pada titik akhir.

7. Terkhusus untiik Aim. Nenekku Hj. Nengsih, yang selalu mendoakan agar skripsi ini cepat selesai.

8. Buat ade-ade, icooon dan oniec, dan keluarga besar yang terus memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak dan ibu mertua, Jamhuri, SH, dan Juhairiah, yang selalu memberi semangat dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Untuk teman-teman seperjuangan PH 06 khususnya, Zakiah, Nul, Dj, Ahabba, C in, Lidya.

11.Pimpinan perpustakaan beserta stafhya yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk melakukan study pustaka.

12.Pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.

Jakarta, 7 April 2011

(4)

vii

HALAMANJUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTARISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review Studi Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Teknik Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : KETENTUAN UMTJM PENYIDIKAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan ... 13

B. Tujuan Penyidikan ... 18

C. Tahapan-tahapan dalam Penyidikan ... 19

D. Penghentian Penyidikan dan Penyidikan Lanjutan ... 25

(5)

viii

Narkoba ... 31

B. Tindak Pidana NARKOBA ... 33

C. Penerapan Hukum Tindak Pidana Narkoba ... 36

D. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan NARKOBA ... 38

E. Pengobatan dan Rehabilitasi bagi Pengguna NARKOBA ... 42

BAB IV : HASIL PENELITIAN A. Studi Kasus dan Analisa Surat Perintah POLRES Tangerang No. Pol. :Sprin. Han/134-a/VIII/20097Narkoba ... 47

BABV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

(6)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan pelindung bagi para individu agar tidak diperlakukan semena-mena oleh siapapun. Hukum juga merupakan pelindung bagi negara dan masyarakat, agar tidak ada seorangpun yang dapat berprilaku dengan semena-mena, dan melanggar ketentuan yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum publik merupakan salah satu jaminan pelindung yang juga merupakan alat pengatur hak dan kewajiban antara negara dan warga negara.

Tugas penertiban hukum pada masa yang akan datang tidak akan terlepas dalam penggunaan cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis. Rumusan pekerjaan polisi pada masa yang akan datang tidak akan terlepas dari masa yang paling utama, yaitu menjaga ketertiban.1

Sehubungan dengan hal tersebut, maka para aparat hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan dan kewenangannya, di mana mereka harus secara tegas memberikan sanksi hukum kepada pelanggar hukum, tetapi mereka juga harus memperhatikan hak-hak warga negara, bahwa hukum itu diciptakan untuk melindungi setiap orang dari tindakan-tindakan melawan hukum.

1

(7)

Secara umum, fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan. 1. Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul

adalah “penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat

penegak hukum”. 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana

yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hokum

Banyak yang mungkin tidak tahu akan hak tersangka yang terbilang

“istimewa”. Bukan masyarakat yang masih awam dengan persoalan hukum saja.

Bahkan tak sedikit penyidik Polri yang lupa ( atau mungkin kurang paham) akan hak-hak tersangka. Salah satu hak tersangka, yang menurut saya merupakan suatu

“keistimewaan” adalah Hak Ingkar. Hak untuk berbohong atau tidak mengakui

(8)

kejahatan. Pengalaman saya menjadi wartawan selama beberapa tahun menunjukkan bagaimana pengakuan seorang tersangka kerap kali menjadi langkah awal bagi penyidik Polri dalam mengumpulkan alat bukti kejahatan

Jika kita lihat dalam kehidupan sekarang ini banyak hal-hal yang sangat tidak lazim yang harus dialami oleh jutaan jiwa manusia, contohnya seperti maraknya tindak pidana NARKOBA yang berawal dari apakah itu karena ketidaksengajaan, pengaruh lingkungan, sekedar coba-coba ataupun memang sudah menjadi kebiasaan, yang mana hal itu berawal dari produsen yang memproduksinya, pengedar yang mengedarkannya, dan bahkan sampai terus meningkatnya para pengguna penyalahgunaan NARKOBA.

Sejumlah kasus NARKOBA belakangan ini tampak mengejutkan masyarakat, kejadiannya semula hanya terdapat di kota-kota besar, tetapi kini sudah merembet ke kota-kota kecil. Disamping itu selain para pelakunya dari warga sipil banyak juga dari kalangan militer.2

Sehubungan dengan itu untuk menanggulangi adanya penyalahgunaan NARKOBA di negara kita, pemerintah telah mempunyai perangkat hukum yang mengatur tentang kejahatan NARKOBA, yaitu berupa Undang-undang yang telah disahkan untuk penanggulangan kejahatan NARKOBA.3

namun, walaupun sudah adanya aturan khusus yang mengatur tentang kejahatan NARKOBA ini tetap saja maraknya penyalahgunaan NARKOBA telah

2Ibid., h. 3-4 3Ibid

(9)

sampai kepada titik yang menghawatirkan, jika kita teliti dari segi aspek hukum yang berlakunya, kenapa walaupun sudah banyak pelaku penyalahgunaan NARKOBA yang tertangkap dan dimusnahkan, tetapi tetap saja dengan mudah dan cepat obat-obatan terlarang tersebut dapat berproduksi lagi dan makin banyak pula, sebenarnya siapa yang patut disalahkan, apakah orang-orang yang memang tidak jera dengan peringatan itu atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

berdasarkan data yang telah dihimpun oleh BNN jumlah kasus NARKOBA meningkat pada tahun 2000 dari 3.478 menjadi 8.401 atau meningkat rata-rata 28,9% pertahun. Tidak lain halnya dengan meningkatnya jumlah tersangka tindak pidana NARKOBA dari 4.955 menjadi 11.315 kurang lebih atau meningkat rata-rata 28,6 % pertahun, dari hasil data tentang permasalahan NARKOBA di atas menunjukkan kasus kejahatan tindak pidana NARKOBA meningkat tajam.4

Meningkatnya jumlah tersangka setiap tahunnya disebabkan oleh makin meluasnya perdagangan peredaran gelap NARKOBA. Bahkan Indonesia saat ini telah dijadikan tempat produksi, walaupun para penegak hukum sebagai pihak yang terkait sudah berusaha menanggulangi permasalahan tersebut, dengan makin banyaknya para pelaku yang ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara baik si

4

(10)

pemakai ataupun pengedar tapi tetap saja mereka makin banyak pula kejahatan dalam NARKOBA.5

Meningkatnya penggunaan zat ini sudah diluar batas. Angka orang yang ketagihan NARKOBA makin bertambah, permintaan terhadap NARKOBA di black market pun kian besar. Angka kriminalitas yang timbul dari berbagai pengaruh dan dorongan dari penjahat-penjahat NARKOBA terhadap seseorang yang belum kenal dengan NARKOBA untuk mengkonsumsinya semakin merajalela.6

berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul:

Pembantaran Penahanan Tersangka (Pengedar NARKOBA) karena mengidap HIV/AIDS dalam Proses Penyidikan (Study Kasus dan Analisa Surat Perintah POLRES Tangerang No. Pol.: Sprin. Han/ 134-a/ VIII/ 2009/ Narkoba) . ”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Batasan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah, pembahasan mengenai proses penyidikan ini sangat luas seperti adanya penggeledahan dan penyitaan, namun di sini penulis membatasi pembahasannya tentang penghentian penyidikan.

Rumusan Masalah

6

(11)

Sedangkan dalam perumusan masalahnya dapat dirinci sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi alasan dikeluarkannya surat pembantaran penahanan oleh pihak penyidik?

b. Apakah prosedur dikeluarkannya surat pembantaran penahanan tersebut telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku yaitu KUHAP?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar hukum apa yang dipakai dalam pembantaran penahan serta alasan yang memenuhinya sehingga terjadi pembantaran penahanan oleh penyidik.

b. Untuk mengetahui surat pembantaran penahanan tersebut sesuai atau tidak dengan KUHAP serta bertentangan tidak dengan aturan yang telah ditetapkan. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

(12)

b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui tentang fenomena yang ada di lingkungan masyarakat terutama tentang masalah proses penanganan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang sehingga masyarakat memahami dan mengerti jika dalam hal tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum atau belum.

D. Studi Terdahulu

Berdasarkan penulusuran yang penulis lakukan pada tanggal 30 Mei 2011, skripsi yang dijadikan awal acuan adalah skripsi yang berjudul ” kekerasan

dalam penyidikan menurut hukum positif (KUHP) dan hukum Islam”, yang ditulis

oleh Miftah Faridh jurusan perbandingan hukum tahun 2008. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang para penegak hukum (penyidik) tidak boleh melakukan tindakan kekerasan dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka selama proses penyidikan.

(13)

E. Metode Penelitian

Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategi yang utama dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.7 untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:

Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Maksudnya adalah suatu pendekatan yang dilihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku dan teori-teori hukum berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.8 Dan pemaparannya menggunakan deskriptif yang menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh dari lapangan.9 Dan metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti atau orang-orang yang berkompeten di bidangnya.10

Jenis Penelitian

a. Kepustakaan ( library reseach) atau studi dokumen yang merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif atau sosiologis) yang

7

Bambamg Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), h. 27-28 8

Ibid., h. 55. 9

Suharsimi Ari Kunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), Cet. Ke-II, H. 309.

10

(14)

meliputi studi bahan-bahan hukum primer dan sekunder.11 Dengan cara mengkaji undang-undang, buku-buku, lieratur-literatur lainnya yang ada relevansinya.

b. Penelitian lapangan (field reseach) yang itu penelitian yang dilakukan langsung kelapangan yaitu dengan melakukan wawancara langsung dan observasi langsung untuk mendapatkan data-data dari para pihak yang berkaitan dalam penelitian ini.

Data Penelitian a. Sumber Data

Sumber data yang peneliti lakukan adalah: Data Primer

Data primer penelitian adalah berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan yaitu surat peritah pembantaran penahanan POLRES Tangerang No. Pol. : Sprin. Han/ 134-a/ VIII/ 2009/ Narkoba.

Data sekunder

Data-data pendukung yang diperolah dari literatur-literatur atau dokumen-dokumen, antara lain: KUHP dan buku-buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

11

(15)

Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang diperoleh oleh penulis adalah menggunakan pengolahan data secara kualitatif.12

Metode Analisa Data

Metode analisa data dalam penelitian lapangan yang dilakukan penulis adalah kajian isi (content analysis). Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola. Data yang diperoleh dianalisis dengan tiga kegiatan yaitu reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan.13 Kajian isi adalah teknik apapun yang dilakukan yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik, pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.14 Setelah itu hasil wawancara dituangkan ke dalam tulisan untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis, sehingga memperoleh kesimpulan tentang topik yang sedang dibahas.

F. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kebulatan

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-3, h. 11-13 13

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 6 14

(16)

dari masalah yang sedang diteliti. Untuk mempermudah dalam mempertimbangkan penulisan skripsi ini, saya membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu:

BAB I Pendahuluan, akan diberikan gambaran secara obyektif untuk dapat melanjutkan kemateri selanjutnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah serta menjelaskan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilengkapi dengan review studi terdahulu, metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisannya.

BAB II Dalam bab ini dijelaskan tentang pengertian dan dasar hukum penyidikan, tujuan dari penyidikan, proses dalam penyidikan, penghentian penyidikan dan penyidikan lanjutan, fungsi serta peranan penyidikan dalam aturan hukum positif.

BAB III Menjelaskan tentang pengertian NARKOBA dan tahap-tahap pengggunaan NARKOBA, apa saja yang menjadi tindak pidana NARKOBA, bagaimana penerapan hukumnya, dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penyalahgunaan NARKOBA, dan bagaimana pengobatan dan rehabilitasi bagi pengguna NARKOBA.

(17)
(18)

13

PENYIDIKAN SECARA UMUM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyidikan

Penyidikan adalah suatu istilah yang berasal dari kata sidik yang berarti periksa, dan menyidik berarti memeriksa, menyelidiki, mengamat-mengamati.1 Dalam bahasa Belanda osporing dan investigation (inggris) yang berarti pemeriksaan atau pengusutan.2 Jadi pengertian dari penyidikan adalah pemeriksaan.

KUHAP mendefinisikan penyidikan sebagaimana tercantum dalam bab 1 pasal 1 butir 2 jo Undang-undang tentang kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 1 butir 10 m, adalah sebagai berikut: “ penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang membuat terang tindak pidana yang terpidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya ”.3 Dari pengertian tersebut dapat dilihat empat unsur materi yang harus diperhatikan oleh penyidik dalam mengambil tindakan penyidikan. Keempat unsur tersebut adalah:

1

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 932.

2

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 118.

3

(19)

1. Tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang.

2. Untuk mencari serta mengumpulkan bukti.

3. Bukti-bukti ini digunakan untuk membuat terang tindakan pidana yang telah terjadi.

4. Guna menemukan tersangka.

Adapun definisi penyidik itu sendiri dalam KUHAP pasal 1 butir 1 adalah

“ pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil yang

diberikan kewenangan, khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.4

Penyelidikan sangat erat kaitannya dengan penyidikan, sehingga perlu diketahui pengertian dan perbedaannya dengan penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan. Penyidikan merupakan tindakan yang mendahului tindakan atas tindakan lain yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan surat, pemanggilan tersangka, pemeriksaan dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.5

Dalam pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan didefinisikan sebagai

“serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan

4

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-XII, h. 229

5

(20)

penyidikan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang”.6 Sedangkan penyelidik didefinisikan dalam pasal 1 butir 4 adalah: penyelidik sebagai pejabat Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Jadi penyelidikan dilakukan untuk menentukan apakah peristiwa hukum yang sedang diselidiki termasuk tindak pidana atau bukan. Kalau merupakan tindak pidana, penyelidikan tersebut dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan. Wewenang untuk melakukan penyelidikan hanya diberikan kepada Polisi Republik Indonesia (POLRI), sementara penyidikan dilakukan selain oleh POLRI juga dapat dilakukan oleh pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Pengaturan tentang kepangkatan untuk menjadi penyidik, dalam peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 2 butir 1 dinyatakan bahwa penyidik adalah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Polisi.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (golongan II/B).7

6

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 230.

7

(21)

Selanjutnya pasal 2 ayat 2 PP No. 27 tahun1983 menentukan bila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat pembantu Letnan dua Polisi, maka yang menjadi penyidik adalah komandan sektor kepolisian yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua polisi.

Sedangkan penyidik PNS tertentu diangkat oleh Menteri Kehakiman atau usul dari departemen yang membawahi PNS tersebut. Menteri sebelum melakukan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kapolri. Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri berdasarkan pasal 2 ayat 5 dan ayat 6 PP No. 27 tahun 1983.8

Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik mempunyai wewenang yang didasarkan kepada suatu peraturan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 KUHAP telah mengatur tentang kewenangan penyidik sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan menerima tanda pengenal dari tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaa. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

8

(22)

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memangil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan para ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan tersangka.

i. Mengadakan pemberhentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.9

Djoko Prakoso, SH, menyatakan dalam bukunya bahwa penjelasan pasal 7 huruf j mengenai maksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyidikan, dengan syarat:

a. Tidak bertentangan dengan aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam tindakan jabatan.

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia.10

KUHAP menjelaskan pasal 7 butir d mengenai penahanan, pada pasal 21 ayat (1) yang berbunyi:

9

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 236.

10

(23)

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seseorang

tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana” 11

. B. Tujuan Penyidikan

Berdasarkan pengertian penyidikan dalam KUHAP bab I pasal I butir 2, dapat diketahui bahwa tujuan penyidikan adalah untuk mencari atau mengumpulkan bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai bukti sehingga dengan bukti tersebut dapat ditemukan tersangka pelaku tindak pidana yang telah terjadi. Jadi tujuan dilakukannya penyidikan adalah untuk menemukan pelaku tindak pidana yang telah terjadi dengan berdasarkan bukti-bukti.12

Sejalan dengan itu Mulyanah W. Kusumah berpendapat dalam bukunya bahwa tujuan penyidikan adalah untuk menunjukkan siapa yang melakukan dan member pembuktian mengenai kesalahan yang telah dilakukannya. Untuk mengetahui tujuan tersebut, penyidik secara cermat dan teliti, menghimpun keterangan-keterangan sehubungan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Keterangan-keterangan tersebut berupa:13

M. Karyadi dan Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1988), Cet. ke-III, h. 14.

13

(24)

2. Identitas korban.

3. Tempat yang pasti di mana kejahatan itu dilakukan. 4. Bagaimana kejahatan itu dilakukan.

5. Waktu terjadi kejahatan.

6. Apa yang menjadi motif, tujuan serta niat. C. Tahap-tahap dalam Penyidikan

Persyaratan minimum untuk dapat dilakukan peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana (pasal 106 KUHAP), dan untuk mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana dapat diketahui melalui empat cara, yaitu:14

1. Karena pelaku tindak pidana itu tertangkap tangan. (pasal 1 butir 19 KUHAP).

2. Karena adanya laporan (pasal 1 butir 24 KUHAP). 3. Karena adanya pengaduan (pasal 1 butir 25 KUHAP).

4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, mendengar dari radio atau orang bercerita.

Setelah menerima laporan atau pengaduan atau mengetahui secara langsung tentang suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik harus segera melakukan proses penyidikan, dan penyidikan dapat pula dilakukan berdasarkan berita acara hasil pelaksanaan penyelidikan. Adapun tahap-tahap dalam penyidikan adalah:

14

(25)

1. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.(pasal 106 KUHAP). 2. Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang

ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai. (pasal 111 ayat 3 KUHAP) 3. Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang

yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. (pasal 111 ayat 1 KUHAP).

4. Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. (pasal 111 ayat 2 KUHAP).

(26)

6. Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. (pasal 116 ayat 1 KUHAP).

7. Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai. Akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. (pasal 121 KUHAP).

8. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34. (pasal 125 KUHAP).

9. Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita. (pasal 128 KUHAP).

10.Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.

Usaha untuk menyeragamkan cara penyidikan kriminalitas yang harus dilakukan oleh anggota POLRI telah jalankan dengan dikeluarkannya buku

petunjuk “dasar-dasar pokok penyidikan kejahatan” yang disusun oleh Direktorat

(27)

mendapatkan keterangan dalam proses penyidikan dengan singkat dalam cara-cara mendapatkan keterangan, antara lain sebagai berikut:

1. Introduksi atau pengantar

Pada umumnya sebelum melakukan tiap-tiap usaha pengumpulan bahan-bahan terlebih dahulu perlu diterapkan:

a. Keterangan-keterangan apakah yang diperlukan untuk memecahkan persoalan dasar dan karenanya di sini perlu dicari.

b. Dimanakah bahan-bahan tersebut harus di ambil.

c. Kegiatan bagaimanakah yang harus dilakukan untuk mencari dsn memperoleh bahan-bahan tersebut.

2. Interview atau interogasi

Berhasilnya penyidikan kejahatan dalam garis besarnya tergantung dari banyaknya pertanyaan kepada para pelapor, pengadu, informan, saksi, tersangka, dan orang-orang lain yang dijumpai selama berlangsungnya penyidikan.

3. Informan

Informan adalah orang yang member informasi dan keterangan. Dahulu, ia disebut spion atau mata-mata. Baik informan maupun spion adalah orang-orang yang tidak terikat, secara rahasia melihat, mendengarkan, dan menyelidiki apa yang diperbuat oleh seseorang.

(28)

Pembuntutan yaitu tanpa diketahui, membuntuti atau mengikuti orang untuk mengetahui apa yang diperbuat orang itu. Membayangi sama saja dengan membuntuti, tetapi dalam arti yang lebih luas, bukan hanya sekedar mengikuti orang itu, akan tetapi sering-sering siang dan malam, terkadang berminggu-minggu, tanpa diketahui untuk meninjau tingkah laku seseorang.

5. Penyusupan

Penyusupan adalah suatu operasi penyidikan yang sifatnya tertutup dan dirahasiakan. Kegiatan-kegiatan penyusupan semuanya disamarkan sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang melakukan dan segala kegiatannya tidak boleh menimbulkan kecurigaan pada orang atau obyek yang disusupi.15

R. Soesilo menyatakan dalam bukunya, bahwa suatu sistem atau petunjuk umum dipakai dalam penyidikan adalah menggunakan sistem tujuh kah, yaitu berusaha untuk mencari jawaban atas tujuh macam pertanyaan, sebagai berikut: 1. Apakah yang terjadi? (kejahatan atau pelanggaran)

2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan? (tempatnya) 3. Kapankah perbuatan itu dilakukan? (waktunya)

4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan? (alat yang digunakan) 5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan? (cara-caranya)

6. Sebab apakah perbuatan itu dilakukan? (motif dan niatnya) 7. Siapakah yang melakukan perbuatan itu? (pelakunya)

15

(29)

Dalam praktiknya tidaklah semua pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab, bahkan kejahatan dapat dibuat terang, misalnya ada suatu kejahatan dapat dibuat terang terang tetapi soal mengapa dilakukan (kah no. 6) atau soal kapan dilakukan (kah no. 3) tidak dapat diketahui, demikian pula soal-soal lainnya sukar dijawab, akan tetapi yang terpenting dan mutlak harus dijawab adalah soal peristiwa apa yang dilakukan (kah no. 1) dan siapa pelakunya (kah no. 7) walaupun demikian harus diusahakan dengan sekuat tenaga tenaga agar ketujuh pertanyaan tersebut dapat dijawab, sebab untuk dapat ditentukan jawaban (kah no. 7).

Sebelum melimpahkan berkas acaranya kepada jaksa atau penuntut umum, secara objektif penyidik menilai keterangan-keterangan yang diperoleh dari tersangka, saksi, saksi ahli, dan alat-alat pembuktian lainnya yang telah diperoleh dicatat dalam berita acara seteliti-setelitinya, sesuai dengan kata dan maksud yang digunakan oleh tersangka.

(30)

Dengan adanya penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, berarti tugas penyidikan telah selesai.

Penyidik dalam melakukan tugasnya diharapkan mempunyai pandangan yang objektif dan tidak berat sebelah, sehingga akan diperoleh suatu kebenaran penyidikan, penyidik harus menjujung tinggi norma-norma keagamaan. priikemanusiaan, kesusilaan, dan taat berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

D. Penghentian Penyidikan dan penyidikan lanjutan.

Penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat terang peristiwa itu dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti, atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.16

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) huruf I yaitu seorang penyidik berhak melakukan penghentian penyidikan, setelah mempelajari dan meneliti peristiwa tersebut ada dua kemungkinan sifat dalam penyidikan, yakni meneruskan atau menghentikan penyidikan.17 Mengenai penghentian penyidikan ini telah diatur dalam KUHAP pasal 109 ayat 218, yaitu penyidikan dihentikan jika:

16

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 311.

17

R. Soesilo, Kriminalistik Ilmu Penyidikan Kejahatan, h. 28 18

(31)

1. Tidak terdapat cukup bukti.

Untuk dapat mengetahui bahwa dalam suatu penyidikan tidak terdapat cukup bukti, maka harus diketahui kapankah suatu penyidikan dipandang sudah cukup bukti. Untuk dipandang cukup bukti, ialah tersedianya minimal dua alat bukti yang sah bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan tersangkalah yang melakukan tindak pidana tersebut. Bahkan menurut ketentuan pasal 183 KUHAP minimal alat bukti tersebut harus ditambah berdasarkan dengan keyakinan hakim akan kebenaran tindak pidana tersebut, dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.19

2. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Apabila dari hasil penyidikan ternyata bahwa peristiwa tersebut yang semula tindak pidana, ternyata bukan tindak pidana, umpamanya ternyata perkara tersebut merupakan merupakan lingkup hubungan keperdataan. Dalam hal penyidikan menurut undang-undang penyidik diberikan wewenang untuk menyidik suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana.20

3. Penyidikan dihentikan demi hukum.

Adalah sama dengan alas an penghentian penuntutan demi hukum, alas an-alasan penghentian penyidikan demi hukum, didasarkan bahwa penyidikannya diteruskan tetapi atas hasil penyidikan itu tidak dapat dilakukan penuntutan,

19

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, h. 312.

20

(32)

karena kewenangan penuntut umum telah gugur atau tidak memenuhi syarat penuntutan, karena alas an penghentian penyidikan adalah:

a. Adanya pencabutan pengaduan, dalam hal tindak pidana itu adalah tindak pidana aduan. (pasal 75 KUHP).

b. Nebis in idem, sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 KUHP, merupakan asas yang berlaku secara umum di bidang hukum pidana, yang dimaksudkan untuk memberikan adanya kepastian hukum. Yaitu orang tidak dapat dituntut yang kedua kalinya lantaran perbuatan yang sama yang dudah diputus oleh hakim.

c. Karena tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP), hak untuk melakukan tuntutan pidana hapus karena meninggalnya tersangka.

d. Kadaruwalsa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 KUHP. Tenggang waktu kadaluarsa diatur dalam pasal 78 KUHP yaitu:

1) Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;

2) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

(33)

4) Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.21

Namun jika berdasarkan bukti yang ada penyidikan tersebut dapat diteruskan maka penyidik melanjutkan pemeriksaan dan mengambil tindakan yang diperlukan.22 Karena disebutkan dalam undang-undang KUHP dalam pasal 29 ayat (1) huruf a bahwa Dikecualikan dari jangka waktu penahanan guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Dengan ketentuan pasal tersebut, dikenal suatu istilah dalam bahasa hukum yaitu pembantaran penahanan adalah penahanan yang dilakukan terhadap tersangka yang sakit atau perlu dirawat inap di rumah sakit, dengan ketentuan jangka waktu tertenu menjalani rawat inap tidak dihitung sebagai masa penahanan.23

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, apabila dari pihak keluarga tersangka merasa keberatan atas tindakan penyidik karena adanya gangguan secara fisik

21

Ibid., h. 315-316 22

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta:Djambatan, 1989), h. 65.

23

(34)

atau mental atau tersangka tidak mampu untuk menjalani proses penyidikan, berdasarkan pasal 123 KUHAP menjelaskan, bahwa:

1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.

2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.

3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.

4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.

5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat mengabulkan pennintaan dengan atau tanpa syarat.24

E. Fungsi dan Peranan Penyidikan

Dapat dipahami bahwa penyidikan mempunyai fungsi serta peranan yang sangat penting dalam proses peradilan. Penyidikan merupakan proses pendahuluan dalam pemeriksaan tindak pidana yang menentukan tahap pemeriksaan selanjutnya dalam keseluruhan proses peradilan pidana. Penyidikan

24 KUHAP dan KUHP

(35)

dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti ini dapat ditemukan tersangka yang akan diadili dimuka sidang. Untuk kemudian diberi sanksi sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang.

Pada setiap penyidikan sejumlah masalah, seperti belum jelasnya kualifikasi perbuatan pidananya, dilakukan oleh siapa, melanggar pasal berapa, dan dimana dilakukannya perbuatan pidana tersebut akan ditentukan oleh bukti-bukti yang ada. Penyidikan juga merupakan proses untuk memperoleh kepastian dari penuntut umum, tentang apakah dapat dilaksanakannya penuntutan atau tidak. Pelaksanaan penuntutan terhadap tersangka dapat dilakukan jika berita acara yang dibuat oleh penyidik telah memenuhi syarat.25

Dalam penyidikan maka kebenaran yang mutlak 100% tidak ada dapat dicapai, karena ini hanya Tuhanlah yang mengetahuinya, tetapi fakta-fakta bukti dapat ditemukan sebanyak-banyaknya, sehingga dapat mendekati kebenaran itu yang meyakinkan, bahwa ada suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan dan siapakah orang yang melakukannya.26

25

R. Soesilo, Kriminalistik Ilmu Penyidikan Kejahatan, h. 21

26Ibid.,

(36)

31 BAB III

KETENTUAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOBA

1) NARKOBA Menurut Hukum Positif

A. Pengertian NARKOBA dan Tahap-tahap Penyalahgunaan NARKOBA Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa NARKOBA merupakan suatu zat atau substansi yang dapat menimbulkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya.1 Proses terjadinya ketergantungan dapat secara bertahap terjadi pada manusia.2

Adapun tahap-tahap penyalahgunaan NARKOBA yaitu merupakan proses ketergantungan yang dapat secara bertahap yaitu sebagai berikut:

a) Tahap Pengenalan Awal

Pada tahap ini terjadi konsumsi narkoba untuk pertama kalinya oleh seseorang baik secara sengaja karena alasan medis atau karena ketidaktahuan secara tidak seengaja mengkonsumsi NARKOBA, misalkan minumannya dicampur oleh orang lain. Pada umumnya orang tersebut belum merasakan reaksi enak dari narkoba karena memang tidak ada niat/maksud untuk mendapatkan atau mengetahui reaksi dari NARKOBA yang terkonsumsi tadi.

b) Tahap Rekreasional

1

Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 73.

2 Pengawasan Serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat Dalam Penanggulangan dan

(37)

Pada tahap ini seseorang telah sengaja untuk coba-coba atau iseng ingin mengetahui dari reaksi NARKOBA. Biasanya mereka akan merasakan reaksi halusinasi dan eforia sesuai yang diharapkan, sehingga secara psikologis mendorong orang tersebut mengulanginya lagi, karena menurut hasil penelitian 99% persen yang mulanya coba-coba akan ketergantungan.

c) Tahap Habitual/Kebiasaan

Pada tahap ini pengguna sudah mengkonsumsi secara teratur misalnya seminggu sekali atau dua hari sekali. Pada tahap inipun telah terjadi toleransi, yaitu mereka harus meningkatkan dosis pemakaian guna menghasilkan efek atau reaksi yang diharapkan. Konsumsi NARKOBA sudah menjadi kebiasaan dan 99% orang yang telah memasuki tahap ini akan menjadi ketergantungan. d) Tahap Adiksi/Ketagihan

Tahap ini dipastikan 100% akan menjadi ketergantungan baik secara fisik, psikologis dan sosial. Penggunaan narkoba akan dilakukan setiap hari dan kalau tidak menggunakan maka semua aktivitas atau pekerjaan rutin menjadi terganggu. Mereka sudah tidak bisa hidup tanpa NARKOBA.

e) Tahap Dependensi/Ketergantungan

(38)

intensif beberapa kali sehari, karena begitu reaksi obat/narkoba sudah habis akan terjadi gejala putus obat (sakau) seperti amat sakit yang taktertahan serta tidak bisa diatasi kecuali dengan NARKOBA.3

B. Tindak Pidana NARKOBA

Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa seluruh tindak pidana dalam undang-undang merupakan kejahatan. Alasannya, NARKOBA itu digunakan hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan.4 maka apabila ada kepentingan-kepentingan diluar kepentingan-kepentingan dua hal tersebut sudah dikategorikan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian NARKOBA tersebut secara tidak sah dan sangat membahayakan jiwa manusia.5

Dalam undang-undang juga mengenal ancaman pidana minimal, namun ancaman pidana minimal dimaksudkan hanya untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya.6 Ancaman pidana minimal hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya:

5M. Ridho Ma’ruf, Narkotika, Masalah dan Bahayanya

, (Jakarta: CV. Marga Jaya, 1976), h. 34.

6

(39)

3) Dilakukan oleh korporasi7

Ketentuan di atas berlaku dalam undang-undang narkotika sedangkan dalam undang-undang psikotropika ancaman pidana minimal justru dikenakan pada perbuatan pokoknya. 8

Dalam undang-undang narkotika ada empat pasal yang mengatur tentang hukuman minimal yaitu pasal 78, pasal 80, pasal 81, dan pasal 82. Sedangkan dalam undang-undang psikotropika hanya terdapat satu pasal yaitu pasal 59. 9

Dan mengenai pengelompokkan kejahatan dibidang NARKOBA dari segi bentuk perbuatannya adalah:

1) Kejahatan yang menyangkut memproduksi, bukan hanya perbuatan memproduksi saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu, seperti mengolah, merakit, dan menyediakan NARKOBA untuk semua golongan. 2) Kejahatan yang menyangkut jual beli, bukan hanya jual beli dalam arti

sempit melainkan termasuk pula perbuatan ekspor dan impor dan tukar menukar barang.10

3) Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito, dalam arti luas kejahatan ini berarti perbuatan seperti membawa dan mengirim.

4) Kejahatan yang menyangkut penguasaan, dalam penguasaan ini seperti memelihara atau memiliki untuk dimiliki atau untuk persediaan.11

7Ibid

., h. 155.

8Hukum Narkoba Indonesia

, h. 199.

9Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,

h. 133.

10 Hukum Narkoba Indonesia,

(40)

5) Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan NARKOBA, penyalahgunaan ini dibedakan menjadi dua yaitu untuk orang lain dan diri sendiri dan keduanya mempunyai aturan hukuman yang berbeda dalam undang-undang narkotika, sedangkan dalam undang-undang psikotropika tidak diatur khusus tentang penyalahgunaan NARKOBA.

6) Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu, bahwa dalam aturan sub bab yang lalu, baik pecandu ataupun dari pihak keluarga harus melaporkan apabila ada yang kecanduan NARKOBA.12

7) Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi, bagi pabrik obat harus mencantumkan label narkotika ataupun psikotropika apabila menggunakan bahan tersebut.

8) Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan, yaitu kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan dalam penyidikan, penuntutan yaitu mempersulit jalannya pemeriksaan.

9) Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, yaitu seseorang yang akan menyampaikan keterangan terkait kasus narkoba harus diambil sumpah agar tidak memberikan keterangan palsu.

10)Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga, yaitu lembaga-lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan kegiatan

11Ibid.

, h. 204.

12Ibid.

(41)

narkotika ataupun psikotropika dan ternyata tidak melaksanakannya sesuai dengan tujuan.13

C. Penerapan Hukum Tindak Pidana NARKOBA

Penerapan hukum NARKOBA dalam hukum positif di Indonesia di atur dalam undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika.14 Dan mengenai peredaran gelap narkotika diatur dalam bab V Undang-undang No. 22 tahun 1997 pasal 32, 33 (ayat 1,2, dan 3), 34, 35 (ayat 1 dan 2), 36 (ayat 1, 2, 3 dan 4), pasal 37, 38, 39 (ayat 1, 2, 3, 4 dan 5) dan pasal 40.15 Sedangkan mengenai peredaran psikotropika diatur dalam bab IV undang-undang No. 5 tahun 1997 yaitu dalam pasal 8, 9 (ayat 1 dan 2), 10, 11, 12 (ayat 1, 2 dan 3), 13, 14 (ayat 1, 2, 3, 4 dan 5) dan pasal 5.16

Lalu sanksi hukuman bagi pengedar NARKOBA dalam undang-undang narkotika diatur dalam bab XII yaitu pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87, 96, 97, 98, 99 dan 100.17 Sedangkan dalam undang-undang psikotropika diatur dalam bab XIV yaitu pasal 59–72.18 Dan penjatuhan hukuman bagi pengedar NARKOBA pidana minimal 2-5 tahun, sedangkan pidana maksimal adalah hukuman mati.19

13Ibid.

, h. 209-210.

14

Zulkarnaen Nasution, Kompilasi Perundang-undangan tentang Narkoba, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 226.

15UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,

(Jakarta: Sinar Grafika, 1999), h. 74.

16

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian Sosiologi Hukum), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 113-114.

17Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional

(42)

Sedangkan sanksi hukuman bagi pemakai (pecandu) NARKOBA menurut hukum positif di Indonesia berdasarkan kepada dua ketentuan yaitu undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan undang-undang-undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Jika pecandu mgnggunakan narkotika dan sejenisnya maka terkena sanksi hukuman penjara 4 atau 2 atau 1 tahun tergantung jenis pemakaian golongan narkotika yaitu pasal 84 undang-undang No. 22 tahun 1997.

Dan jika pecandu NARKOBA menggunakan psikotropika dan sejenisnya selain untuk kepentingan kesehatan dan / ilmu pengetahuan maka diancam dengan hukuman yang disamakan dengan para pengedar NARKOBA yaitu pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- dan paling banyak Rp 750.000.000,- sebagaimana dalam pasal 59 ayat 1 undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam undang-undang No. 22 tahun 1997tentang narkotika itu terfokus pada penyalahgunaan dan peredaran narkotikanya (yang mulai dari menanam, memproduksi, menyalurkan, lalulintas, pengadaan, sampai kepada pemakainya, termasuk pemakai pribadi secara illegal), bukan terletak pada kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana narkotika itu sendiri.20

Dari pemberlakuan hukuman mati bagi para pengedar narkoba diharapkan dapat menekan angka peredaran narkoba semaksimal mungkin yang mana kian hari kian meluas keberbagai kalangan masyarakat.

20Ibid

(43)

D. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan NARKOBA a. Faktor Pribadi

Menurut pendapat ahli jiwa, berbagai tipe kepribadian yang rawan terhadap penyalahgunaan NARKOBA yaitu antara lain:

1) Pribadi yang mudah prustasi, seorang akan mudah prustasi apabila keinginannya tidak segera terpenuhi.

2) Kecenderungan untuk melanggar. 3) Pribadi yang sulit bergaul.

4) Pribadi yang ingin dianggap hebat, dalam hal zat-zat tersebut (NARKOBA) dapat memberikan rasa superior.

5) Ingin selalu mencoba-coba. 6) Kepribadian yang mudah bosan.

Melihat keadaan yang demikian, sering menimbulkan seseorang pada pikirannya bahwa hal ini terjadi karena mereka tidak menyadari akan bahaya yang terjadi pada dirinya.

b. Faktor Lingkungan Keluarga

(44)

Jika dalam keluarga sering terjadi pertengkaran maka akibatnya menipisnya rasa social dan kemanusiaan. Dengan demikian anak akan mengalami kesukaran-kesukaran dalam menyesuaikan dirinya dalam lingkungan keluarganya, sehingga sering menimbulkan dalam menginjak usia keluarga.

Kenakalan remaja banyak disebabkan oleh keadaan keluarga, beberapa diantaranya disebabkan oleh:

1) Kurangnya perhatian dari orang tua dalam keluarga 2) Ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga

3) Sikap orang tua yang terlalu kasar 4) Sikap orang tua yang masa bodoh

5) Sikap orang tua yang terlalu memanjakan anaknya 6) Tidak ada komunikasi yang terbuka

7) Tidak ada kedamaian

8) Tidak ada kecukupan nafkah keluarga21 c. Faktor Sosial

Pada garis besarnya, faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan penyalahgunaan NARKOBA bagi para remaja antara lain: 1) Kurangnya penyaluran bakat dan tenaga para remaja secara teratur,

terarah, terhadap kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.

21

(45)

2) Menurunnya wibawa orang tua, guru, pemuka masyarakat dan para penegak hukum

3) Adanya kemelorotan moral, mental, dan iman dari orang dewasa. 4) Adanya kelemahan dari aparatur Negara dalam hal pengawasan

barang-barang terlarang. d. Faktor Pengaruh Budaya Luar

Bersamaan masa globalisasi dan modernisasi yang kini sedang melanda dunia, bersamaan itu pula pengaruh-pengaruh dari budaya asing masuk ke Indonesia. Diantara implikasi dari pengaruh tersebut adalah budaya pengguna NARKOBA, yang di luar negeri mungkin pemakaian NARKOBA sudah dianggap biasa namun di Indonesia hal tersebut diharamkan. Karena begitu kuatnya pengaruh dari budaya luar, dan dengan adanya anggapan bahwa budaya luar itu lebih kuat maka budaya luar tersebut lebih mudah masuk ke Indonesia.

e. Faktor Ekonomi

Menurut Dr. Sunyoto Usman, merebaknya peredaran gelap NARKOBA diseluruh lapisan masyarakat yang semakin meluas adalah karena:

(46)

keuntungan yang sangat besar sekali sehingga menggiurkan dari segi bisnis.

2) Jaringan itu sebenarnya tertutup, yang tidak mudah dimasuki orang baru.sehingga jaringan bisnis NARKOBA itu jaringan yang rapih dengan pasar yang jelas

3) Dalam bisnis bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk pihak keamanan. Sehingga sulit untuk ditembus. Seperti sebagai networking, jaringan yang sangat ruwet, ditutup di sini keluar di sana dan seterusnya. Model-model bisnis seperti ini yang di back up dengan modal yang kuat. Sehingga apabila dimusnahkan akan dengan cepat diproduksi dengan jumlah yang besar pula.22

f. Faktor Subversif

undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika menyatakan bahwa Narkotika dan Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan saja, sedangkan pengadaan, pengedaran dan pemakaiannya diatur dalam hal ini oleh Departemen Kesehatan. Dengan demikian, pemerintah adalah memegang hak monopoli NARKOBA di Negara ini.

22 Penyuluhan tentang Bahaya Narkoba” oleh Dekan FISIPOL UGM Yogyakarta, diakses

(47)

E. Pengobatan dan Rehabilitasi bagi Pengguna NARKOBA

Dalam pengobatan bagi pengguna NARKOBA, untuk kepentingan pengobatan atau perawatan seseorang yang kemungkinan dapat memiliki narkotika ataupun psikotropika namun dalam hal ini yang bersangkutan harus memiliki bukti yang sah atas penguasaan barang tersebut.23 Dalam undang-undang narkotika tidak diberikan penjelasan bukti apa yang harus diberikan oleh si pasien. Dibandingkan dalam undang-undang psikotropika, bukti yang harus dimiliki oleh pasien adalah berupa copy (salinan) resep atau surat keterangan dari dokter.24 penjelasan dari undang-undang psikotropika pasal 36 ayat (2).

Dalam undang-undang psikotropika tidak dikenal istilah pecandu psikotropika, tetapi dalam undang-undang narkotika ada istilah pecandu narkotika (pasal 45).25 Para pecandu harus mengikuti atau menjalani pengobatan atau perawatan. Arti pecandu memang tidak dijelaskan dalam undang-undang, namun secara umum dapat diartikan sebagai orang yang secara tidak sah mengkonsumsi narkoba secara terus menerus dan sulit untuk menghentikannya.26 Walaupun istilah pecandu psikotropika tidak dikenal dalam undang-undang, namun dalam pasal 37 ayat (1) yang menetapkan bahwa pengguna psikotropika yang menderita sindrom ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan atau perawatan..

23

Andi Hamzah dan RM. Surahman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 17.

(48)

Hanya saja perbedaan dalam undang-undang narkotika pasal 45 sifatnya mutlak, bahwa pecandu narkotika tidak dapat menolak untuk menjalani pengobatan dan perawatan. Sedangkan dalam undang-undang psikotropika pasal 37 sifatnya relative, karena yang bersangkutan sifatnya ikut serta dalam pengobatan dan perawatan, bukan peran utamanya sipecandu tersebut.27

Sama halnya dalam undang-undang narkotika dan psikotropika dilakukan pengobatan dan perawatan melalui fasilitas rehabilitasi.

Untuk membantu pemerintah dalam hal menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan NARKOBA khususnya pecandu, diperlukan keikutsertaan orang tua/wali guna meningkatkan pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu orang tua/wali dari anak yang menjadi pecandu yang belum cukup umur berkewajiban melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah agar anak tersebut mendapatkan pengobatan dan perawatan. Sedangkan pecandu yang telah dewasa berkewajiban melaporkan diri,28 maksud dan tujuan yang dijelaskan dalam pasal 46 undang-undang narkotika ini bagus agar pecandu dapatdiobati dan sembuh kembali. Namun dilain pihak, memang para pecandu ini akan berhadapan dengan hukum namun lebih baik diikuti, karena memang hal ini demi kepentingan kesehatan kita semua agar tidak memiliki jiwa dan raga yang rusak.

27Kompilasi Perundang-undangan tentang Narkotika

, h. 223.

28

(49)

Namun dalam undang-undang psikotropika tidak ada ketentuan seperti dalam undang-undang narkotika pecandu atau orangtua pecandu tidak diwajib lapor.

Adapun dalam permasalahan rehabilitasi sama saja dalam undang-undang narkotika pasal 48 dan pasal 49 serta dalam undang-undang psikotropika pasal 38 dan pasal 39.29

Pengobatan dan perawatan bagi pecandudilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi dilakukan guna memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan social penderita yang bersangkutan yang mungkin telah berkurang ataupun hilang setelah ia menjadi pecandu.30

Ada dua macam rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. Rehabilitasi medis dilakukan di rumah sakit baik diselenggarakan oleh pemerintah taupun oleh pihak swasta yang ditunjuk oleh menteri kesehatan. Selain pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis, adapula yang disebut rehabilitasi social yaitu yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan, dan tradisional.31 Dan walaupun sipecandu telah sembuh dari ketergantungan, secara fisik dan psikis, namun rehabilitasi sosial tetap saja dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat yang diberi wewenang. Dalam pasal 50 undang-undang narkotika rehabilitasi social harus ditunjuk oleh menteri sosial.

29Ibid

., h. 101.

30Sumarno Ma’sum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat,

(Jakarta: CV. Haji Mas Agung, tth), Cet. Ke-1, h. 5.

31

(50)

Dalam peraturan undang-undang narkotika dan psikotropika permasalahan peembinaan dan pengawasan sama saja apa saja yang harus dilakukan, dan yang melakukan pembinaan dan pengawasan adalah pemerintah, karena pemerintah mempunyai aparat, fasilitas ataupun dana yang cukup dibandingkan swasta, sehingga lebih mampu untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.32

Dan mengenai hal-hal mengenai pembinaan, dalam undang-undang psikotropika pasal 46 adalah tentang arah-arah pembinaan sedangkan dalam undang-undang narkotika pasal 52 ayat (2) berupa langkah-langkah pembinaan terhadap kegiatan yang berhubungan dengan narkotika, adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi kesediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan dan

pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

3. Mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

4. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi dibidang narkotikaguna kepentingan dibidang pelayanan kesehatan.

5. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun masyarakat.33

32M. Ridho Ma’ruf, Narkotika Masalah dan Bahayanya

, (Jakarta: CV Marga Jaya, 1976), h. 34.

33Pendidikan Pencegahan Penyaalahgunaaan Narkotika

(51)

Dalam rangka pembinaan tersebut, pemerintah mengupayakan kerjasama bilatelar, regional dan multilateral dengan Negara lain, dan badan internasional guna meencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap NARKOBA sesuai dengan kepentingan nasional.34

Selain itu pemerintah juga berwenang untuk membentuk suatu badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggungjawab langsung terhadap presiden. Badan tersebut mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Berbeda dengan undang-undang psikotropika tidak terdapat ketentuan untuk membentuk badan koordinasi psikotropika, padahal badan ini juga diperlukan karena tidak kalah penting deengan narkotika.35

Dalam undang-undang psikotropika pasal 50 ayat (1) pengawasan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Sedangkan dalam pasal 55 ayat (1) undang-undang narkotika pengawasan hanya dilakukan oleh pemerintah saja.

Dan dalam hal ini Menteri Kesehatan bertanggung jawab penuh atas semua kegiatan dalam mengawasi dan mengendalikan masalah ekspor dan impor obat, medis, farmasi dan lembaga rehabilitasi medis (pasal 56 ayat (1) undang-undang narkotika).36

34 Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya

, 35.

35 Ibid

., h. 56.

36Kompilasi Perundang-undangan tentang Narkoba

(52)

47 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Study Kasus dan Analisa Surat Perintah POLRES Tangerang No. Pol. : Sprin. Han/ 134-a/ VIII/ 2009/ Narkoba

1. Kronologis Perkara

(53)

saudara Arman Ibrahim menghubungi saya kemudian bertemu di Pesing Jakarta Barat dan setelah bertemu saya pergi bersama saudara Arman menemui seorang laki-laki yang tidak saya kenal lalu memberikan dua bungkus kardus yang tidak saya ketahui isinya untuk saya simpan di rumah saya, sesampainya saya di rumah saya baru ketahui kardus itu berisi narkotika jenis daun ganja sebanyak 40 bungkus yang dilakban warna cokelat, kemudian saudara Arman menghubungi saya untuk mengirim narkotika jenis daun ganja sebanyak 9 bungkus yang dilakban warna cokelat. Hingga narkotika jenis daun ganja tersisa 31 bungkus yang dilakban warna cokelat kedapatan pada tersangka sewaktu ditangkap.

2. Isi Surat Perintah

Surat Pembantaran Penahanan No. Pol. : Sprin.Han/134-a/VIII/2009/Narkoba yang dalam isinya adalah mengenai perkembangan kondisi kesehatan tersangka bahwa berdasarkan keterangan dokter di rawat inap (opname) rumah sakit di luar tahanan, maka perlu dikeluarkan surat perintah ini.

Berdasarkan :

1. Pasal 17 ayat (1) huruf d, pasal 11, pasal 20, pasal 21, pasal 22, pasal 24 ayat (1) KUHAP.

2. UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(54)

4. Laporan polisi No. Pol. : SP. Han/134/VIII/2009/Nkb. Tgl 18 Agustus 2009.

5. Surat perintah penahanan No. Pol.: SP.Han/134/VIII/2009/Nkb, Tgl 18 Agustus 2009.

6. Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: B-515/0.6.11/Eo.1/9/2009/Narkoba, Tgl 02 September 2009.

Selanjutnya diperintahkan kepada:

1. ACH. SUGANDI BRIPTU PENYIDIK

2. M. RISDIANTO BRIPKA PENYIDIK PEMBANTU 3. PURWANTI BRIPKA PENYIDIK PEMBANTU 4. HERI DWI S BRIGADIR PENYIDIK PEMBANTU 5. M. SYAHRONI BRIPTU PENYIDIK PEMBANTU 6. CRISTIAN EKA. P BRIPTU PENYIDIK PEMBANTU Untuk melakukan pembantaran penahanan terhadap tersangka:

Nama : HARUN AL-RASYID Als GERET Bin. H. Nurhasan Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tgl lahir : Tangerang, 10 Juni 1982 Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

(55)

Selama yang bersangkutan dirawat di rumah sakit kepolisian pusat R.S. Sukanto (Kramat Jati) Jakarta, Mulai tanggal 25 agustus s/d sembuh. Mengawasi dan mengamankan tersangka selama rawat inap di RS.

SUKANTO (Kramat Jati) Jakarta serta berkoordinasi dengan dokter yang merawatnya dan memantau perkembangan kondisi kesehatan tersangka. Segera melaporkan pelaksanaan dan berita acara pembantaran penahanan. Dikeluarkan di Tangerang tanggal 25 Agustus 2009 dan ditanda tangani

a/n KAPOLRES METRO TANGERANG KABUPATEN KASAT NARKOBA selaku penyidik yaitu Rusdi Raumin sebagai KOMISARIS POLISI. Hari selasa tanggal 25 Agustus 2009 surat perintah ini telah diserahkan oleh penyidik dan telah diterima tersangka dan tembusannya kepada keluarga yaitu yang menerima HARUN AL RASYID Als GARET Bin H. Nurhasan (tersangka), Hikmawati (keluarga tersangka), ACH. SUGANDI yang menyerahkan.

3. Analisis Surat Perintah

Berdasarkan isi surat perintah di atas, bahwa dalam isi surat perintah tersebut :

Pertama, mengenai yang menjadi dasar dikeluarkannya surat perintah tersebut karena tersangka mengidap HIV DAN AIDS adalah:

(56)

Pasal 11 ” Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”.

Pasal 20

Ayat (1) ” untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik

pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal

11 berwenang melakukan penahanan”.

Ayat (2) ” untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang

melakukan penahanan atau penahanan lanjutan”.

Ayat (3) ” untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan

dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan”.

Pasal 21

Ayat (1) “ Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

Ayat (2) “ Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik

(57)

alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang

dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan”.

Ayat (3) “ Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan

lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

harus diberikan kepada keluarganya ”.

Ayat (4) “ Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap

tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

(58)

(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3086) ”.

Pasal 22

(1) Jenis penahanan dapat berupa : a. penahanan rumah tahanan negara; b. penahanan rumah;

c. penahanan kota.

(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. (4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan.

(59)

Pasal 24

(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.1

Dalam pasal-pasal diatas mengenai hal-hal yang menyangkut dengan kewenangan penyidik telah sesuai dengan aturan KUHAP, namun ada baiknya ditambahkan lebih spesifik mengenai hal-hal tentang pembantaran penahanan yaitu mencantumkan pasal 29 ayat (1) huruf a bahwa Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Serta pasal mengenai dikeluarkannya penangguhan penahanan tersebut yaitu pasal 123 KUHAP menjelaskan, bahwa:

1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.

1

Gambar

Grafika, 1994), h. 17.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Indikator pertumbuhan yang diamati dalam penelitian ini adalah pertambahan diameter batang dan tinggi tanaman jarak pagar dengan 2 faktor perlakuan yaitu umur

Telah dipertahankan Dewan Penguji Tugas Akhir Program Diploma III Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

Hubungan Antara persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Transaksional Dan Transformasional Dengan Stress Kerja Pada Perawat RSU PKU Muhammdiyah Yogyakarta.. Skripsi

Berdasarkan hasil perhitungan nilai MRD untuk seluruh parameter, diperoleh parameter bilangan peroksida ordo reaksi nol pada suhu 30 o C, bilangan peroksida ordo

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari Corporate Social Responsibility (CSR) dan koneksi politik terhadap kinerja keuangan dari perusahaan

Altruisme merupakan perilaku yang ditunjukkan kepada orang lain dan memberikan manfaat yang positif bagi individu yang dikenai perbuatan tersebut. Altruisme yang tampak

Diajukan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Sebutan. Ahli Madya