• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Gastritis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Gastritis"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Definisi Gastritis

Diagnosis gastritis sering digunakan secara berlebihan, dan sering juga luput didiagnosis. Diagnosis gastritis sering dipakai secara berlebihan pada semua keluhan abdomen bagian atas yang bersifat sementara, tanpa adanya bukti yang valid, tetapi sering pula lupud karena sebagian besar pasien gastritis kronik bersifat asimptomatik. Gastritis didefinisikan sebagai peradangan mukosa lambung. Definisi tersebut merupakan diagnosis histologik. Peradangan dapat bersifat akut yang ditandai oleh infiltrasi neutrofil, atau bersifat kronik, ditandai oleh dominasi limfosit dan atau sel plasma yang disebabkan oleh metaplasia dan atrofi intestinal.

Gastritis dibagi menjadi dua yaitu: 1. Gastritis Akut

Gastritis akut adalah proses peradangan mukosa akut yang biasanya bersifat sementara. Peradangan bisa disertai perdarahan kedalam mukosa, dan pada kasus yang berat, juga disertai pelepasan mukosa superfisial(erosi mukosa). Penyakit bentuk erosi ini yang berat merupakan kausa penting perdarahan saluran cerna

2. Gastritis Kronis

Gastritis Kronik merupakan peradangan mukosa lambung kronik yang akhirnya menyebabkan atrofi mukosa dan metaplasia intestinal, biasanya tanpa disertai erosi. Perubahan epitel yang terjadi berupa displasia dan merupakan bibit untuk terjadinya karsinoma. Gastritis kronik diketahui sub kelompok kausa tersendiri dan gambaran histologinya bervariasi di berbagai tempat yang berbeda di dunia.

2.2 Anatomi Fisiologi Gaster 1. Anatomi Gaster

(2)

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Bagian superior lambung merupakan kelanjutan dari esofagus sedangkan bagian inferior berdekatan dengan duodenum yang merupakan bagian awal dar usus halus. Kapasitas normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenummelalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).

(3)

terbuka kepermukaan mukosa. Mukus juga disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang-cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).

2. Fisiologi Gaster

Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Prince, 2005).

(4)

yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).

2.3 Patogenesis Gastritis a. Gastritis Akut

Patogenesisnya masih belum difahami sepenuhnya karena mekanisme normal proteksi mukosa lambung belum seluruhnya diketahui. Gastritis akut sering disebabkan oleh hal-hal berikut :

1. Pemakaian obat anti inflamasi non steroid (NSAID) secara berlebihan terutama aspirin.

2. Konsumsi alkohol yang berlebihan 3. Perokok berat

4. Kemoterapi kanker 5. Uremia

6. Infeksi bakteri atau virus sistemik (misal salmonelosis atau infeksi CMV). 7. Setres berat (misal trauma, luka bakar, pembedahan)

8. Inskemia dan syok

(5)

10. Iradiasi dan pembekuan lambung

11. Trauma mekanis (misal inkubasi nasogastrik) 12. Gastrektomi distal

Salah satu atau beberapa pengaruh yang disebutkan diatas diperkirakan berkerja melalui mekanisme berikut ini: meningkatkan sekresi asam yang dibarengi difusi-balik, produksi buffer bikarbonat yang menurun, berkurangnya aliran darah, kerusakan lapisan mukus dan epitel. Tidak mengherankan bahwa kondisi tersebut bersifat sinergistik mengakibatkan kerusakan mukosa. Selain itu, cedera iskemik memperberat efek difusi-balik ion hidrogen. Gangguan-gangguan lain yang dapat merusak mukosa adalah regurgitasi asam empedu yang bersifat seperti larutan deterjen dan lisolesitik yang berasal dari duodenum proksimal serta kurangnya sistesis prostaglandin oleh mukosa. Perlu ditekankan bahwa cukup banyak pasien mengalami gastritis idiopatik tanpa penyebab yang jelas

b. Gastritis Kronis

Etiologi utama gastritis kronik adalah sebagai berikut : 1. Infeksi kronik H. Pylori

2. Imunologik (autoimun) menyebabkan anemia pernisiosa 3. Toksik, misalnya alkohol dan merokok

4. Pasca bedah, terutama setelah tindakan antrektomi yang diikuti gastroenterostomi dengan refluks sekresi duodenum yang mengandung empedu

5. Motorik dan mekanis, termasuk obstruksi, bezoar (isi lambung yang memadat) dan atonia lambung

6. Radiasi

7. Penyakit granulomatosa (misalnya penyakit crohn)

8. Lain – lain (amiloidosis, penyakit graft-versus-host, uremia) Infeksi helicobacter pylori dan gastritis cronik

Sejauh ini faktor etiologi terpenting grastitis cronik adalah infeksi kronik oleh basil h. pylori. Keterkaitan ini ditemukan pada tahun 1983,ketika bakteri tersebut diberi nama campylobakter pyiliridis. Sejak saat itu, studi-studi tentang Hapylori menghasilkan banyak pengetahuan tentang sifat bakteri ini dan perannya dalam patogenesis penyakit lambung. Genom lengkap bakteri ini telah berhasil diketahui. Terapi efektif dengan antibiotik merupakan trobosan baru dalam penanganan gastritis kronik dan penyakit tukak peptik.

(6)

asimptomatik dan berusia lebih dari 50 tahun. Prevalensi infeksi pada orang dewasa dipuerto rico melebihi 80%. Disini dan ditempat lain infeksi ini endemik, organisme ini cenderung didapat pada masa kanak dan menetap hingga puluhan tahun. Cara penularan H. pylori belum diketahui pasti diduga melalui penularan mulut ke mulut, oral fekal, dan lingkungan.

H. pylori adalah batang negativ-gram kurvi limier yang tidak membentuk spora dan berukuran sekitar 3,5x0,5 mm. Hapylori merupakan bagian dari genus bakteri yang telah beradaptasi terhadap lingkungan ekologik yang dihasilkan oleh mukus lambung yang sebenarnya bersifat letal bagi kebanyakan bakteri. Sifat khusus yang menyebabkannya subur antara lain sebagai berikut :

 Mortilitas (dengan flagella) sehingga bakteri ini dapat berenang di dalam mukus encer

 Pembentukan urease, yang menghasilkan amonia dan karbondioksida dari urea endogen yang nantinya fungsi sebagai buffer asam lambung disekitar organisme.

 Ekspresi adhesin bakteri, misalnya Bab A yang mengikat antigen golongan darah lewis B terflukosilasi. Protein ini meningkatkan perlekatan bakteri ke sel yang memiliki antigen golongan darah O

 Ekspresi toksin bakteri, misalnya cytotoksin associated gene A (CagA) dan vakuolatin sitotoksin gene A (VacA). Genom.

H. pylori terdiri dari 1,65 juta pasangan basa dan mengode sekitar 1.500 protein studi – studi molekular besar mengisyaratkan bahwa bakteri menyebabkan gastritis dengan cara merangsang pemnbentukan sitokin proinflamasi dan secra langsung merusak sel epitel (dibahas kemudian). Setelah pajanan H. Pylori yang pertama kali, perjalanan gastritis terbagi menjadi 2 pola : gastritis tipe – antrum yang ditandai oleh pembentukan asam yang tinggi serta peningkatan resiko terjadinya tukak duodenum, dan pan gastritis, yang diikuti oleh atrofi multi volkal (gastritis atrofik multi vokal) dengan sekresi asam lambung yang rendah dan resiko tinggi terjadinya denokarsinoma. Mekanisme yang mendasari perbedaan ini belum jelas, tetapi hubungan penjamu-mikroorganisme tampaknya memainkan peranan penting.

Telah dikembangkan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi H.Pylori. Pemeriksaan invasif terdiri dari uji serologi untuk antibodi, deteksi bakteri di feses dan uji napas urea. Uji invasif didasarkan pada identifikasi H. Pylori di jaringan biopsi lambung.

(7)

vaksin ini diharapkan mengeradikasi atau paling tidak mengurangi prevalensi infeksi H. Pylori di seluruh dunia.

Gastritis Autoimun

Sebanyak 10% kasus gastritis kronik merupakan gastritis autoimun. Penyakit ini terjadi karena adanya autoantibodi terhadap komponen sel parietal kelenjar lambung, termasuk antibodi terhadap enzim penghasil asam H+ - K+ ATPase, reseptor gastrin dan faktor intrinsik. Kerusakan kelenjar dan atrofi mukosa menyebabkan berkurangnya produksi asam. Untuk kasus yang berat, kemampuan pembentukan faktor intrinsik ini menghilang. Sehingga timbul anemia pernisiosa. Bentuk gastritis yang tidak lazim ini dijumpai pada penyakit autoimun lain, seperti tiroiditis hashimoto, penyakit addison, dan diabetes tipe 1. Pasien gastritis autoimun memiliki resiko yang lebih tinggi terkena karsinoma lambung dan tumor endokrin (tumor karsinoid)

2.4 Morfologi Gatritis a. Gastritis Akut

Pada bentuk teringan gastritis akut, laminan propria hanya memperlihatkan edema yang moderat dan kongesti ringan pembuluh darah. Epitel permukaan masih tetap utuh dengan beberapa neutrofil yang tersebar diantara sel epitel permukaan atau didalam lapisan epitel dan lumen kelenjar mukosa. Adanya neutrofil di atas membran basal (di dalam ruang epitel) merupakan hal yang abnormal dan menandakan peradangan aktif. Pada perusakan mukosa yang lebih berat, dapat terjadi erosi dan perdarahan. “Erosi” adalah hilangnya epitel permukaan sehingga terbentuk defek mukosa yang tidak sampai melewati muskularis mukosa. Defek ini disertai oleh infiltrat peradangan akut hebat dan keluarnya eksudat purulen yang mengandung fibrin ke dalam lumen. Dapat terjadi perdarahan spontan yang menyebabkan terbentuknya titik-titik hitam pada mukosa hiperemik atau mukosa yang mengalami erosi. Erosi dan perdarahan yang ditemukan bersamaan disebut gastritis hemoraghik erosif akut.Dapat terjadi erosi m ukosa lambung yang luas, tetapi kelainannya bersifat superfisial dan jarang mengenai seluruh ketebalan mukosa. Lesi ini merupakan satu tahap perjalanan penyakit yang juga terjadi pada stress ulcers.

b. Gastritis Kronik

(8)

antrum atau mukosa antrum dan korpus fundus (pan gastritis). Mukosa biasanya memerah dah memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan tekstur normal. Infiltrat peradangan dapat menyebabkan lipatan rugae mukosa menebal sehingga mirip dengan gambaran awal lesi infiltatif. Sebaliknya, pada penyakit atrofik kronik, mukosa menjadi tipis dan datar. Apapun kausa dan lokasinya, perubahan histologiknya serupa. Peradangan aktif di tandai oleh adanya neutrofil di lapisan epitel permukaan dan kelenjar. Peradangan aktif mungkin menonjol atau malah tidak ada. Beberapa gambaran histologik yang khas lainnya adalah sebagai berikut :

 Perubahan regeneratif. Respon proliferatif terhadap cedera epitel merupakan gambaran yang selaluu di jumpai pada gastritis kronik. Di bagian leher kelenjar lambung terjadi peningkatan gambaran mitotik. Di sel-sel permukaan, vakuola-vakuola yang mengandung mukus menjadi berkurang atau menghilang. Jika perubahan regeneratif berlangsung hebat, terutama jika di barengi oleh peradangan aktif, perubahan regeneratif tersebut mungkin menjadi sulit dibedakan dari displasia.

 Mmetaplasia. Mukosa antrum, korpus dan fundus dapat diganti sebagian oleh sel absorptif kolumnar metaplastik dan sel goblet dengan morfologi seperti di infus (metaplasia intestinal), baik di sepanjang epitel permukaan maupun di kelenjar yang rudimenter.

 Atrofi. Atrofi di tandai oleh kehilangan struktur kelenjar yang bermakna. Gambaran khusus pada gastritis atrofik autoimun atau gastritis kronik yang di terapi dengan inhibitor sekresi asam adalah hiperplasia sel G penghasil gastrin di mukosa antrum.

 Displasia. Pada gastritis kronik yang berlangsung lama, epitel mengalami perubahan sitologik, termasuk variasi dalam ukuran, bentuk, dan orientasi sel epitel serta pembesaran dan atipia nukleus.

2.5 Gambaran Klinis Gastritis a. Gastritis Akut

Gambaran klinis gastritis akut dapat sama sekali bersifat asimtomatik; menyebabkan nyeri epigastrium, mual, dan muntah dengan derajat yang bervariasi atau bermanifestasi sebagai perdarahan hebat, hematemisis berat, melena, dan berpotensi menyebabkan kemnatian akibat perdarahan, semuanya bergantung pada beratnya perubahan anatomis yang terjadi. Secara keseluruhan, gastritis akut merupakan salah satu kausa utama perdarahan masif, misalnya pada pecandu alkohol pada keadaan tertentu, penyakit ini cukup sering terjadi. Hampir 25% orang yang mengkonsumsi aspirin setiap hari untuk atritis rematoid mengalami gastritis akut, banyak yang disertai perdarahan b. Gastritis Kronis

(9)

kerusakan sel parietal dan atrofi mukosa korpus dan fundus. Namun, karena sel parietal tidak pernah hancur total, pasien-pasien ini tidak mengalami aklorhidria atau anemia termisiosa. Kadar gastrin serum biasanya dalam kisaran normal atau hanya sedikit meningkat.

Saat terjadi kerusakan berat sel parietal pada gastritis autoimun, biasanya terjadi hipoklorhidria atau aklorhidria serta hipergastrinemia. Di dalam darah mungkin terdeteksi autoantibodi terhadap berbagai antigen sel parietal. Sebagian kecil pasien (10%) mungkin mengalami anemia permisiosa setelah beberapa tahun. Anemia permisiosa telah sering dilaporkan terjadi dalam satu keluarga, pada anggota keluarga asimptomatik dari pasien dengan anemia permisiosa sering ditemukan autoantibodi terhadap lambung. Pola distribusi penyakit ini menunjukkan bahwa pewaris gastritis autoimun bersifat dominan autosomal.

Yang paling penting adalah hubungan gastritis kronik dengan timbulnya tukak peptik dan karsinoma lambung. Sebagian besar pasin tukak peptik, baik di duodenum maupun di lambung, mengalami infeksi H. Pyllori. H. Pyllori diduga berperan dalam patogenesis karsinoma dan limfoma lambung. Resiko jangka panjang kanker lambung pada pasien dengan gastritis autoimun adalah 2% - 4%, yang jelas lebih tinggi daripada resiko populasi normal.

2.6 Kompikasi Gastritis a. Gastritis Akut

a. Perdarahan saluran cerna bagaian atas, yang merupakan kedaruratan medis; terkadang perdarahan yang terjadi cukup banyak sehingga dapat menyebabakan kematian.

b. Ulkus, jika prosesnya hebat.

c. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat b. Gastritis Kronis

a. Anemia Pernisiosa b. Ulkus Peptikum c. Keganasan lambung 2.7 Pengkajian Gastritis

a. Gastritis Akut

(10)

seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis yang menimbulkan manifestasi kecemasan secara individu.

Perawat perlu mengkaji faktor predisposisi dan penyebab, seperti kebiasaan mengkonsumsi makan berbumbu, serta minuman yang mengandung kafein dan alkohol (merupakan agen-agen penyebab iritasi mukosa lambung). Makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam 24jam terakhir harus di dokumentasikan, khususnya pada pasien yang mengkonsumsi aspirin dengan alkohol

Riwayat penggunaan obat-obat sebelumnya, khususnya pada pasien yang menderita penyakit peradangan sendi yang menggunakan OAINS dan pasca intervensi kemotrapi. Riwayat penurunan imunitas seperti kanker, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan saraf pusat, bisa menjadi faktor penyebab gastritis akut.

Pengkajian riwayat sanitasi lingkungan, pengguanaan air minum, dan cara pengolahan makanan perlu ditanaykan untuk mengkaji kemungkinan infeksi H.pylori. pada pemeriksaan fisik biasanya tidak didapatkan tanda spesifik, biasanya hanaya didapatkan kelauhan nyeri tekan an ketuk pada abdomen kuadran kiri atas.

(11)

b. Gastritis Kronis

Pada anamnesis, perawat menanyakan tentang keluan yang di rasakan pasien. Ada beberapa penekanan penting yang perlu di lakukan perawat pada saat anamnesis, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah pasien mengalami nyeri pada uluhati, apabila ada lakukan pengkajian nyeri dengan pendekatan PQRST

2. Apakah pasien mengeluh tidak nafsu makan, mual atau muntah?

3. Bagaimana keluhan terjadi. Pada waktu kapan saja? Sebelum atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu atau alcohol.

4. Bagaimana cara pasien untuk menurunkan keluhan? Minta pertolongan kesehatan atau berupaya untuk mengobati sendiri.

5. Apakah keluhan yang ada berhubungan dengan ansietas, depresi, setres, alergi, makan dan minum terlalu banyak, atau makan terlalu cepat?

6. Bagaimana keluhan berkurang atau bisa hilang? Apakah dengan obat-obatan atau sembuh dengan sendirinya.

7. Adakah riwayat penyakit lambung atau pembedahan lambung sebelumnya?

8. Bagaimana riwayat diet? Apa saja makanan yang di konsumsi selama 72 jam terakhir.

9. Apakah ada orang lain di lingkungan pasien yang mempunyai gelajah yang serupa? 10. Apakah pasien memuntahkan darah?

11. Sejak kapan pasien merasa terlihat pucat?

Perawat perlu mengkaji factor predisposisi penyebab, seperti kebiasaan mengonsumsi makanan berbumbu dan minuman dengan kandungan kafein dan alcohol. Hal tersebut merupakan agen-agen yang menyebabkan iritasi muosa lambung. Makanan dan minuman dalam 24 jam terakhir harus di dokumentasikan, khususnya pada pasien yang mengonsumsi aspirin dengan alcohol.

Pengkajian riwayat penggunaan obat, khususnya pada pasien yang menderita penyakit peradangan sendi terhadap penggunaan OAINS dan pasien pasca intervensi kemoterapi, riwayat adanya penurunan imunitas seperti kanker, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal napas, gagal ginjal dan kerusakan susunan saraf pusat dapat menjadi factor penyebab gastritis akut.

(12)

Pada gastritis autoimun didapatkan berbagai manifestasi yang berhubungan dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi defisiensi kobalamin akan mempengaruhi kondisi fungsi hematologi, gastrointestinal, dan sistem saraf. Manifestasi pada gastrointestinal dapat berupa ulkus lidah, anoreksia, penurunan berat badan, diare dan malabsorbsi yang dihubungkan dengan perubahan megaloblastik. Manifestasi neurologis terjadi akibat adanya demielinisasi, degenerasi akson, dan kematian neural dengan memberikan pengaruh pada saraf perifer, posterior, dan lateral dari kolum spina dan serebrum. Tanda dan gejala yang muncul berupa parastesia, kelemahan, dan ataksia. Perubahan yang lebih berat berupa perubahan mental dan psikosis.

Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan nyeri tekan abdomen, dehidrasi (perubahan turgor kulit membrane mukosa kering), dan bukti adanya gangguan sistemik dari sekunder anemia pernisiosa.

Pengkajian diagnostic perlu dilakukan apabaila keluhan memanjang dan resisten terhadap program pengobatan medis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi biopsy mukosa lambung. Secara patologi anatomi, gastritis kronis vundus dapat dibagi menjadi gastritis superficial, gastritis atrofi dan atrofi lambung. Jenis gastritis disebut gastritis superfisialis apabila kelainannya hanya terbatas pada epitel mukosa superficial. Sel-sel mukosa lambung tidak terkena, kelainannya biasanya berupa peradangan kronik.

Pemeriksaan lainnya yang mendukung adalah dengan pemeriksaan endoskopi untuk visualisasi langsung dan biopsy kondisi arsitektur mikrovaskular subepitelium dan mikrostruktur dan permukaan mukosa. Pada gastritis atrofi, terdapat kerusakan sebagian sel-sel kelenjar fundus. Atrofi lambung ditandai dengan kerusakan yang berat pada sel-sel kelenjar fundus sebagian besar kelenjar fundus menghilang dan diganti oleh sel-sel usus dan mukosa. Pada pemeriksaan gastroskopi, perubahan-perubahan yang terjadi sering tidak begitu tampak. Setelah terjadi kerusakan berat, mislanya atrofi lambung, baru akan melihat atrofi mukosa. Pada fundus dan korpus, hamper tidak tampak lagi rugae. Mukosa pucat dan pembuluh darah submukosa kelihatan.

(13)

2.8 Pengkajian Penatalaksanaan Medis Gastritis a. Gastritis Akut

Gastritis akut biasanya mereda bila agen gaen penyebabnya dapat dihilangkan. Intervensi medis yang dilakukan apabila keluhan tetap tidak hilang dengan menghindari agen penyebab adalah dengan terapi farmakologis, meliputi terapi cairan dan obat (Wehbi 2008)

1. Terapi cairan, hal ini diberikan pada fase akut untuk hidrasi pasca muntah yang berlebihan

2. Terapi obat

Prinsip pemberian terapi adalah sebagai berikut

a. Tidak ada obat spesifik untuk menyembuhkan kecuali pada infeksi H.phylori b. Pemberian terapi sesuai dengan faktor penyebab yang diketahui, seperti pada

tuberkulosis maka akan mendapatkan OAT(Obat Anti Tuberkulosa) yang disesuaikan dengan protokol pemberian dari Depkes RI.

c. Pemberian obat farmakologis disesuaikan dengan kondisi dan toleransi pasien. Obat-obat farmakologis antara lain:

1. Antasida

Digunakan untuk profilaksis secara umum. Antasida mengandung almunium dan magnesium yang dapat membantu penurunan keluhan gastritis dengan menetralkan asam lambung.

2. Penghambat H2 agen ini mempunyai organisme sebagai penghambat reseptor histamin. Histamin dipercaya mempunyai peran penting dalam sekresi asam lambung. Penghambat h2 secara efektif akan menekan pengeluaran asam lambung dan stimulasi pengeluaran asam oleh makanan dari sistem saraf. Beberapa obat dari agen ini meliputi Cimetidin, Ranitidin, Famotidin, Nizatidin

b. Gastritis Kronis

(14)

2.9 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien dengan Gastritis a. Gastritis Akut

Diagnosa keperawatan Intervensi

1.) Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung

1. Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasive

2. Lakukan manajemen nyeri

 Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul

 Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam saat nyeri muncul

 Ajarkan tehnik distraksi pada saat nyeri

 Manajemen lingkungan: lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan istirahatkan pasien

 Lakukan manajemen sentuhan

3. Tingkatkan pengetahuan pasien tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung 4. Tindakan kolaborasi

 Pemakaian penghambat H2

 Antasida 2.) Risiko ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan

ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamanan lambung dan intestinal

1. Kaji pengetahuan pasien tentang intake nutrisi

2. Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda-tanda kepenuhan gaster, regurgitasi dan diare.

3. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semi kental atau makanan halus) atau makanan selang sesuai indikasi

(15)

menghindari paparan dari agen iritasi 5. Berikan diet secara rutin

6. Berikan nutrisi parenteral 3.) Risiko ketidaksembangan

cairan dan elektrolit

berhubungan dengan

keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan

1. Monitor status cairan (turgor kulit, membrane mukosa, dan output urine) 2. Kaji sumber kehilangan cairan 3. Pengukuran tekanan darah

4. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaphoresis secara teratur 5. Tindakan kolaborasi: pertahankan

pemberian cairan secara intravena 4.) Kecemasan berhubungan

dengan adanya nyeri dan muntah darah

1. Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan pasien sebelumnya , dan suasana yang tepat

2. Jelaskan tentang proses terjadinya gastritis akut sampai menimbulkan keluhan pada pasien

3. Bantu pasien mengidentifikasi agen irtan

4. Hindari dan beri daftar agen-agen iritan yang menjadi predisposisi timbulnya keluhan

5. Tekankan pentingnya mempertahankan intake nutrisi yang mengandung protein dan kalori yang tingg, serta intake cairan yang cukup setiap hari 5.) Kurang pengetahuan

berhubungan dengan

ketidakadekuatan informasi penatalaksanaan diet dan factor pencetus iritan pada mukosa lambung

1. Monitor respon fisik seperti : kelelahan, perubahan tanda vital, serta gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuian respon verbal dan nonoverbal selama komunikasi

2. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya

(16)

mendiskusikan perasaan atau konsentrasinya, serta harapan masa depan

4. Anjurkan aktivitas pengalhan perhatian sesuai kemampuan ndividu, seperti: menulis, menonton tv, dan ketermpilan tangan

Evaluasi

Hasl yang diharapkan pada pasien gastritis akut setelah mendapatkan intervens keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Nyeri epigastrium berkurang atau teradaptasi 2. Ketdakseimbangan cairan dan elektrolit tiak terjadi 3. Informasi terpenuhi

4. Tingkat kecemasan berkurang b. Gastritis kronik

Diagnosis keperawatan yang lazim pada pasien dengan gastritis kronis adalah sebagai berikut:

1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung

2. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan.

3. Ketidakseimbangan nutrisi b.d intake nutrisi tidak adekuat sekunder akibat mual, muntah, dan anoreksia

4. Kurang pengetahuan b.d penatalaksanaan diet dan proses penyakit 5. Kecemasan b.d kondisi penyakit dan program pengobatan.

Rencana Keperawatan

Prioritas intervensi dilakukan untuk menurunkan respon nyeri epigastrium, penurunan risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, pemenuhan intake nutrisi harian, dan penurunan respons kecemasan.

Diagnosa Keperawatan Intervensi

Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa lambung

1. Kaji skala nyeri 0-4

(17)

dan non invasive.

3. Lakukan manajemen nyeri - Istirahatkan pasien.

- Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.

- Manajemen pemberian diet dan menghindari agen iritan mukosa lambung.

4. Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan menghubungkan beberapa lama nyeri akan berlangsung. 5. Tindakan kolaborasi

- Pemakaian penghambat H2 (seperti cimetidin/ ranitidine).

- Antasida. Risiko ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan dari muntah yang berlebihan

1. Monitor status cairan ()turgor kulit, membrane mukosa, dan keluaran urin). 2. Kaji sumber kehilangan cairan.

3. Pengukuran tekanan darah. 4. Manajemen pemberian cairan. Resiko ketidakseimbangan nutrisi

berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat sekunder akibat mual, muntah, anoreksia

1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual atau muntah dan diare.

2. Fasilitasi pasien memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi). 3. Pantau intake dan output, anjurkan untuk

timbang berat badan secara periodic (seminggu sekali).

4. Lakukan dan anjurkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah intervensi atau pemeriksaan per oral.

5. Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari paparan dare agen iritan.

(18)

yang tepat.

7. Kolaborasi untuk pemberian anti muntah.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan penatalaksanaan diet dan dan proses penyakit

1. Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan pasien sebelumnya dan suasana yang tepat). 2. Jelaskan tentang proses terjadinya

gastritis kronis sampai menimbulkan keluhan pada pasien.

3. Hindari dan beri daftar agen-agen iritan yang menjadi pedisposisi timbulnya keluhan.

4. Bantu pasien mengidentifikasi agen iritan.

5. Jelaskan pentingnya obat-obatan dan vitamin B12.

Kecemasan berhubungan dengan adanya nyeri, muntah darah

1. Monitor respon fisik, seperti kelemahan, perubahan tanda vital, dan pergerakan yang berulang-ulang. Catat kesesuaian respon verbal dan non verbal selama komunikasi.

2. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.

3. Catat reaksi dari pasien/keluarga.berikan kesempatan untuk mendiskusikan perasaannya, konsentrasinya, dan harapan masa depan.

(19)

tangan.

EVALUASI

Kriteria evaluasi yang diharapkan pada pasien gastritis kronis setelah mendapat intervensi keperawatan adalah sebagai berikut :

1. Nyeri epigastrium berkurang atau teradaptasi.

2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tidak terjadi. 3. Intake nutrisi harian terpenuhi.

4. Mematuhi program pengobatan dengan memilih makanan dan minuman yang bukan bersifat iritan, serta menggunakan obat-obatan sesuai resep.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila terlalu pekat atau lebih, maka alkali bebas tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak akan terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan iritasi pada

Lapisan mukus ini melapisi permukaan mukosa dengan tebal 2-3 kali tinggi sel epitel permukaan. Cairan yang mengandung asam dan pepsin keluar dari kelenjar lambung

Zat ini dapat membentuk sebuah lapisan pelindung pada permukaan kulit yang akan melindungi kulit atau mukosa dari iritasi, dalam hal ini asam sulfat

Gout adalah radang sendi yang merupakan akibat dari deposit kristal asam urat (monosodium urate) di jaringan dan cairan dalam tubuh3. Proses ini disebabkan karena peningkatan

Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh (1) sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk

Peradangan akan menyebabkan terjadinya hiperemis atau peningkatan vaskularisasi, sehingga mukosa lambung berwarna merah dan menebal yang lama – kelamaan menyebabkan atropi

Pada OMSK tipe benigna, cairan yang keluar mukopus ya ng tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran

Tiga mekanisme utama yang menyebabkan kerusakan saluran napas pada kasus inhalasi asap adalah kerusakan jaringan akibat suhu tinggi, asfiksi, dan iritasi