• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vektor Penyakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vektor Penyakit"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vektor Penyakit

Vektor adalah arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. (Depkes RI, 2010). Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal sebagai arthropodborne disease atau sering juga disebut sebagai vectorborne disease. Penyakit ini merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan dapat menimbulkan bahaya kematian (Chandra, 2007). Penularan penyakit oleh vektor dapat berlangsung dengan beberapa cara, yaitu:

1. Transmisi secara mekanis

Secara karakteristik, arthropoda sebagai vektor mekanis membawa agen penyakit dari manusia yang berasal dari tinja, darah, ulkus superficial, atau eksudat. Kontaminasi bisa terjadi pada permukaan tubuh arthropoda saja, tetapi bisa juga berasal dari agen yang ditelan dan kemudian dimuntahkan atau dikeluarkan melalui kotoran arthropoda. Agen penyakit ditularkan secara mekanis oleh arthropoda, misalnya penularan diare, tifoid, dan trakoma oleh lalat.

2. Transmisi secara biologis

(2)

Terdapat beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam pengendalian vektor menurut Chandra (2007), yaitu :

1. Pengendalian Lingkungan

Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthropoda karena hasilnya dapat bersifat permanen. Contoh, membersihkan tempat-tempat hidup vektor.

2. Pengendalian kimia

Pada pendekatan ini, dilakukan penggunaan beberapa golongan insektisida seperti golongan organoklorin, organofosfat, dan karbamat. Namun penggunaan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan.

3. Pengendalian biologi

Pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun. Contoh pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan.

2.2 Gambaran Umum tentang Lalat

(3)

Serangga dalam ordo diptera memiliki alat-alat mulut berbentuk pengisap dengan probosis yang beradaptasi untuk merobek (Sembel, 2009). Morfologi tubuh lalat pada dasarnya sama dengan ciri umum filum arthropoda lainnya, yakni terdiri dari 3 bagian utama yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Terdapat batas-batas jelas yang memisahkan bagian yang satu dari bagian yang lain. Lalat dikatakan termasuk ke dalam kelas Hexapoda dengan ciri memiliki 6 buah kaki (Hexa = 6 dan poda = kaki) pada thorax (Suprapto, 2003).

Pada saat ini dijumpai kurang lebih 60.000 – 100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001). Beberapa jenis lalat yang penting ditinjau dari sudut kesehatan masyarakat dan lingkungan yakni lalat rumah, lalat hijau, lalat kandang, lalat daging dan lalat kecil (Azwar, 1996).

2.2.1 Klasifikasi Lalat

Klasifikasi lalat adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Kelas : Hexapoda Ordo : Diptera

Famili : Muscidae, Challiporidae, Sarchopagidae, dll Genus : Musca, Chrysomya, Stomoxyx, dll.

(4)

2.2.2 Siklus Hidup Lalat

Lalat adalah insekta yang mengalami metamorfosa sempurna yang terdiri atas stadium telur, stadium larva, stadium kepompong, serta stadium dewasa (Azwar, 1996). Menurut Depkes RI (1991), perkembangan lalat memerlukan waktu antara 7-22 hari, tergantung dari suhu dan makanan yang tersedia.

Gambar 2.1. Siklus Hidup Lalat (Watson dkk dalam Hanidhar, 2007)

a. Stadium Telur

Lalat betina umumnya telah dapat menghasilkan telur pada usia 4-20 hari setelah dewasa. Telur yang dihasilkannya berbentuk oval, berwarna putih, berukuran sekitar 10 mm dan biasanya mengelompok, sebanyak 75 sampai 150 telur setiap kelompoknya. Telur ini biasanya diletakkan pada daerah yang terhindar dari sinar matahari dan tersedia cukup makanan. Jika tersedia panas yang dibutuhkan, maka dalam tempo 12 jam telur akan menetas dan menghasilkan tempayak (larva).

b. Larva atau tempayak

(5)

Tingkat I : Telur yang baru menetas, disebut instar I. Berukuran panjang 2 mm, berwarna putih, tidak bermata dan berkaki, amat aktif dan ganas terhadap makanan, setelah 1-4 hari melepas kulit dan menjadi instar II.

Tingkat II : Ukuran besarnya 2 kali instar I, sesudah satu sampai beberapa hari, kulit mengelupas dan keluar instar III.

Tingkat III : Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan waktu 3 sampai 9 hari.

Larva diletakkan pada tempat yang disukai dengan temperature 30-35 oC dan dalam waktu antara 4 sampai 7 hari akan berubah menjadi kepompong.

(a) (b)

Gambar 2.2. (a) Telur Lalat dan (b) Larva Lalat (Arkive, 2012) c. Kepompong

(6)

yang dibutuhkan sesuai yakni ± 35oC derajat celcius maka sekitar 3 hari, kepompong akan berubah menjadi bentuk dewasa.

d. Lalat dewasa

Sebelum terbang meninggalkan tempatnya, lalat memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk mengeringkan tubuh dan sayapnya. Kemudian setelah beristirahat selama lebih kurang 15 jam, ia memulai kehidupannya sebagai layaknya lalat dewasa. Usia lalat dewasa biasanya antara 2 sampai 4 minggu, tetapi dapat bertahan lebih lama jika udara dingin.

Gambar 2.3 (a) Kepompong dan (b) Lalat Dewasa (Arkive, 2012) 2.2.3 Tata Hidup Lalat

Menurut Depkes R1 (1995), tata hidup lalat adalah sebagai berikut : a.) Tempat perindukan

(7)

b.) Tempat peristirahatan

Pada waktu hinggap lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. Tanda-tanda ini merupakan hal yang penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Pada siang hari lalat tidak makan tetapi beristirahat di lantai, dinding, langit-langit, rumput-rumput dan tempat yang sejuk. Lalat juga menyukai tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat perkembangbiakannya, serta tempat yang terlindung dari angin dan matahari terik. Didalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listrik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 (lima) meter.

c) Jarak terbang

Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia, rata-rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempat berkembang biak.

d) Kebiasaan Makan

(8)

e) Lama hidup

Lama hidup lalat sangat bergantung pada makanan, air dan temperatur. Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu sedangkan pada musim dingin biasanya mencapai 70 hari.

f) Temperatur dan Kelembaban

Lalat mulai aktif beraktifitas pada suhu 15 oC dan aktifitas optimum pada temperatur 21 oC. Pada temperatur di bawah 10 oC lalat tidak aktif dan di atas 45 oC terjadi kematian pada lalat. Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Kelembaban berbanding terbalik dengan temperatur. Jumlah lalat pada musim hujan lebih banyak daripada musim panas. Lalat sangat sensitif terhadap angin yang kencang, sehingga kurang aktif untuk keluar mencari makanan pada waktu kecepatan angin tinggi.

g) Sinar

Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari tidak aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan. Efek sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban. Jumlah lalat akan meningkat pada temperatur 20ºC – 25ºC dan akan berkurang pada temperatur < 10ºC atau >49ºC serta kelembaban yang optimum 90%.

h) Warna dan Aroma

(9)

yang mana bau merupakan stimulus utama yang menuntun serangga dalam mencari makanannya, terutama bau yang menyengat. Organ kemoreseptor terletak pada antena, maka serangga dapat menemukan arah datangnya bau. 2.2.4 Lalat sebagai Vektor Penyakit

Kartikasari (2008) menyatakan bahwa dari berbagai kelas Hexapoda, ordo Diptera memiliki anggota yang paling banyak berkaitan dengan bidang kedokteran, kesehatan, dan veteriner. Ordo Diptera memiliki spesies yang dapat mengganggu kenyamanan hidup manusia, meyerang dan melukai hospesnya (manusia dan binatang) serta menularkan penyakit.

Lalat dapat berperan sebagai vektor penyakit secara mekanis karena memiliki bulu-bulu halus disekujur tubuhnya dan suka berpindah-pindah dari suatu makanan (biasanya bahan organik yang membusuk ataupun kotoran) ke makanan lain, untuk makan dan bertelur (Levine, 1990). Service (1996) dalam Kardinan (2007) menyatakan bahwa lalat dapat menyebarkan sejumlah penyakit pada manusia melalui beberapa cara, yaitu melalui kaki, bulu-bulu halus dan bagian mulut karena mempunyai kebiasaan regurgitasi (memuntahkan) kembali makanan yang telah dimakan. Dapat disimpulkan bahwa penularan penyakit oleh lalat dapat terjadi melalui setiap bagian tubuhnya.

(10)

penyakit-penyakit infeksi alat pencernaan misalnya penyakit-penyakit amubiasis, penyakit-penyakit bakteri usus, cacing usus, dan infeksi virus.

Penularan penyakit yang disebabkan oleh lalat atau benda lain (air atau manusia) dapat digambarkan sebagai berikut :

(Herm dalam Suprapto 2003) Gambar 2.4. Bagan Penularan Penyakit oleh Lalat

Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa lalat dapat menjadi serangga perantara dalam penularan penyakit.

2.2.5 Karakteristik Lalat Rumah (Musca domestica) dan Lalat Hijau (Chrysomya megacephala)

Menurut Ariyani dkk (2007), lalat rumah dan lalat hijau adalah jenis lalat yang paling sering menghinggapi ikan asin selama proses penjemuran di udara terbuka. Lalat-lalat ini selain membawa kotoran dan bakteri, juga bertelur di atas ikan yang dihinggapi. Berikut karakteristik dari kedua jenis lalat di atas :

2.2.5.1 Lalat Rumah (Musca domestica)

Lalat rumah (Musca domestica) merupakan lalat yang paling umum dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia dan

aktivitas-Jari tangan

Lalat

Air Kotoran

(feaces) penderita atau

carier

Makanan, susu, sayur-mayur, ikan dan lain lain

(11)

aktivitas manusia serta jenis yang sangat penting bila dilihat dari segi kesehatan masyarakat (Sembel, 2009). Lalat ini bersifat kosmopolitan yang artinya dapat ditemukan di sebagian besar belahan bumi (Borror et al. 1992).

Gambar 2.5. Lalat Musca domestica dewasa (Isselee, 2010)

Sebagaimana umumnya tubuh insekta lainnya, tubuh Musca domestica dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen) (Hanidhar, 2007). Lalat ini berukuran medium, yaitu panjang 6-9 mm, berwarna abu-abu, dan mempunyai empat pita yang berupa garis memanjang pada permukaan toraks. Memiliki mata majemuk yang besar, pada bentuk jantan kedua mata majemuk agak berdekatan, tetapi bentuk betina lebih berjauhan (Sembel, 2009).

(12)

Berbagai macam mikroorganisme yang dapat ditularkan oleh Musca domestica adalah cacing-cacing usus yaitu Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, Oxyuris vermicularis dan Tenia saginata serta Tenia solium, protozoa-protozoa usus yaitu Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli, bakteri-bakteri usus misalnya Salmonella, Shigella dan Escheria coli, virus polio, Treponema pertenue penyebab frambusia dan juga Mycobacterium tuberculosa (Soedarto, 1990). Selain itu, stadium larva dari Musca domestica yang infektif dengan mikroorganisme penyebab penyakit misalnya dengan telur Ascaris, spora Anthrax dan Clostridium tetani, pada waktu menjadi serangga dewasa akan tetap infektif dengan mikroorganisme tersebut (Soedarto, 1990). Beberapa penyakit saluran pencernaan yang ditularkan oleh lalat rumah berdasarkan Depkes RI (1995), yakni disentri, diare, thypoid dan cholera.

2.2.5.2 Lalat Hijau (Chrysomya megacephala)

Lalat hijau adalah jenis lalat pengganggu yang umum di wilayah Asia Tenggara dan menyebar secara luas sampai ke Australia dan Oceania. Penyebaran yang luas agaknya dimungkinkan pula oleh daya adaptasinya yang tinggi (Kurahashi dalam Afrensi, 2007). Biasanya lalat ini berkembangbiak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan, termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah yang mengandung kotoran hewan (Kemenkes RI, 2012)

(13)

megacephala dewasa selain memiliki warna tubuh hijau kebiruan metalik, mengkilat, lalat ini memiliki ukuran kira-kira 1,5 kali lalat rumah. Sayapnya jernih dengan guratan venasi yang jelas, seluruh tubuh tertutup dengan bulu-bulu pendek diselingi dengan bulu-bulu keras dan jarang letaknya.Mempunyai abdomen berwarna hijau metalik). Lalat jantan memiliki sepasang mata yang cenderung bersatu atau holoptik sedangkan lalat betina memiliki sepasang mata yang sedikit terpisah antara satu dan lainnya atau dikoptik (Fardaniyah, 2007).

Gambar 2.7. Chrysomya megacephala (a) jantan (b) betina (Kartikasari, 2008) Kebiasaan lalat hijau yang mudah berpindah dan hinggap dari kotoran seperti sampah ataupun tinja ke berbagai jenis bahan makanan, membuat lalat ini berperan penting dalam penularan berbagai penyakit. Monzo dkk (1991) pernah melakukan penelitian mengenai peran lalat Chrysomya megacephala sebagai vektor mekanik penyakit kecacingan yang dilakukan di wilayah kumuh kota Manila, Filipina, yang menemukan 41,9% dari seluruh lalat C. megacephala yang tertangkap mengandung telur-telur cacing pada permukaan tubuhnya (Afrensi, 2007).

(14)

menjadi penyebab utama kerusakan produk ikan asin di delapan propinsi di Indonesia dan tiga propinsi di Thailand, akibat terjadinya infestasi larva lalat tersebut pada produk ikan asin selama penjemuran. Sedangkan besarnya kerugian akibat infestasi larva itu dapat mencapai 30% terutama pada musim hujan. Lalat hijau dapat menularkan penyakit myasis mata, tulang dan organ lain melalui luka (Afrensi, 2007).

2.2.6 Pengendalian Lalat

Pada dasarnya, tindakan pengendalian terhadap lalat dapat dilakukan secara tidak langsung dengan perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan dan secara langsung dengan cara fisik, kimia, dan biologi (Depkes RI, 1995).

a. Perbaikan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

(15)

b. Pengendalian secara Langsung 1.) Cara fisik

Cara pemberantasan secara fisik adalah cara yang mudah dan aman tetapi kurang efektif apabila lalat dalam kepadatan yang tinggi. Cara ini hanya cocok untuk digunakan pada skala kecil seperti dirumah sakit, kantor, hotel, supermarket dan pertokoan lainnya yang menjual daging, sayuran, serta buah-buahan .

(a) Perangkap Lalat (Fly Trap)

Lalat dalam jumlah yang besar/padat dapat ditangkap dengan alat ini. Perangkap ini dapat dibuat sendiri dan memanfaatkan umpan dari sisa-sisa atau sampah makanan di rumah tangga. Model perangkap ini terdiri dari konteiner plastik/kaleng, umpan, penutup kayu/plastik dengan celah kecil dan sangkar di atas penutup. Bahan-bahan tersebut dirangkai sedemikian rupa membentuk perangkap lalat. Lalat akan tertarik dengan bau umpan dan akan masuk serta terjebak di dalam perangkap. Alat ini harus ditempatkan di udara terbuka dibawah sinar cerah matahari, jauh dari keteduhan pepohonan.

(b) Umpan kertas lengket berbentuk pita/lembaran (Sticky tapes)

(16)

(c) Perangkap dan pembunuh elektronik (light trap with electrocutor)

Lalat yang tertarik pada cahaya akan terbunuh setelah kontak dengan jeruji yang bermuatan listrik. Sinar bias dan ultraviolet menarik lalat hijau (blow flies) tetapi tidak terlalu efektif untuk lalat rumah. Alat ini kadang digunakan di dapur rumah sakit dan restoran.

(d) Pemasangan kasa kawat/plastik

Biasanya kasa kawat/plastik dipasang pada pintu dan jendela serta lubang angin/ ventilasi.

(e) Membuat pintu dua lapis

Daun pintu pertama ke arah luar dan lapisan kedua merupakan pintu kasa yang dapat membuka dan menutup sendiri.

2) Cara kimia

Pemberantasan lalat dengan insektisida harus dilakukan hanya untuk periode yang singkat apabila sangat diperlukan karena dapat terjadi resitensi serangga sasaran. Aplikasi yang efektif dari insektisida dapat secara sementara memberantas lalat dengan cepat. Biasanya pengendalian secara kimia dilakukan apabila terjadi KLB kolera, disentri atau trachoma. Penggunaan pestisida ini dapat dilakukan melalui cara umpan (baits), penyemprotan dengan efek residu (residual spraying) dan pengasapan (space spraying). 3) Cara Biologi

(17)

2.3 Insektisida

Insektisida merupakan bagian dari pestisida. Pest berarti hama, sedangkan cide berarti membunuh, maka secara harfiah pestisida berarti pembunuh hama. Menurut The United States Environmental Pesticide Control Act, pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang mengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia atau binatang (Djojosumarto, 2008).

Jadi, insektisida dapat diartikan sebagai pestisida yang digunakan untuk mengendalikan atau membunuh serangga. Beberapa golongan pestisida lain berdasarkan jenis jasad pengganggunya adalah herbisida (untuk gulma/tanaman pengganggu), fungisida (untuk fungi/cendawan), bakterisida (untuk bakteri/virus), nematisida (untuk cacing), akarisida (untuk tungau), rodentisida (untuk tikus), dan jenis pestisida lainnya (Wudianto, 1990).

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam makan kimia, konsentrsai dan jumlah (dosis) insektisida (Gandahusada, 2000). Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut (Djojosumarto, 2008):

1. Racun Lambung (Stomach Poison)

(18)

2. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan langsung atau kontak dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut.

3. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau mengahsilkan gas.

Menurut Djojosumarto (2008), cara kerja insektisida di antaranya adalah sebagai repellent (penolak).

2.3.1 Repellent

Menurut Sudarmo (2001) repellent adalah zat yang berfungsi sebagai penolak atau penghalau serangga atau hama yang lainnya. Contohnya, minyak sereh untuk penolak nyamuk.

(19)

Salah satu contoh repellent adalah DEET (N,N-diethyl-m-toluamide). Repellent ini tidak berbau tetapi menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka atau jaringan membranous. Selain itu, ia juga dapat merusakkan benda-benda yang terbuat dari plastik dan bahan sintetik lainnya. Contoh lain dari repellent adalah ethyl hexanediol yang mempunyai sifat seperti DEET, akan tetapi efeknya tidak berlangsung lama. Repellent digunakan dalam berbagai bentuk, misalnya berbentuk cairan, pasta atau semprotan yang ditujukan pada pakaian (Soedarto, 1990).

2.3.2 Dampak Penggunaan Insektisida Sintetis Terhadap Kesehatan

Penggunaan insektisida dapat mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan manusia, misalnya : (a) terdapat residu pestisida pada produk pertanian; (b) bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan. Manusia sebagai makhluk hidup yang letaknya paling ujung dari rantai makanan dapat memperoleh efek biomagnifikasi yang paling besar. Dampak ini ditimbulkan oleh pestisida golongan organoklorin; (c) keracunan pestisida, yang sering terjadi pada pekerja dengan pestisida (Adriyani, 2006).

Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan insektisida yang mengenai dan/atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu. Keracunan dapat terjadi baik secara akut maupun kronis (Raini, 2007).

2.3.2.1 Dampak Akut terhadap Kesehatan

(20)

lokal maupun sistemik. Efek akut lokal bila efeknya hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan insektisida, misalnya berupa iritasi dan maslah kulit. Efek akut sistemik muncul bila insektisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Darah akan membawa pestisida ke seluruh bagian tubuh dan mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, perut, hati, lambung, otot, usus, otak dan syaraf.

2.3.2.2 Dampak Kronis terhadap Kesehatan

Dampak kronis dari insektisida terjadi bila efek keracunan pada kesehatan membutuhkan waktu untuk muncul atau berkembang. Efek jangka panjang ini dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah terpapar insektisida. Dampak kronis insektisida dapat terjadi pada :

a. Sistem syaraf

Bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi sistem syaraf disebut neurotoksin. Beberapa gejala dari penyakit pada otak yang disebabkan insektisida adalah masalah ingatan yang gawat, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian kelumpuhan, kehilangan kesadaran dan koma.

b. Hati atau Liver

Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi menetralkan bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri seringkali dirusak oleh pestisida.

c. Sistem Kekebalan

(21)

berbeda untuk derajat penggunaan pestisida yang berbeda pula. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh kita menjadi lebih mudah terkena infeksi. d. Keseimbangan Hormon

Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa insektisida mempengaruhi produksi hormon dalam tubuh, salah satunya hormon reproduksi. Hal ini menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Selain itu juga dapat meyebabkan pelebaran tiroid yang akhirnya menjadi kanker tiroid. (Quijano, 1999).

2.4 Insektisida Nabati

(22)

2.4.1 Cara Pembuatan Insektisida Nabati

Menurut Kardinan dalam Naria (2005), pembuatan insektisida nabati secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara sederhana dan secara laboratorium. Teknik untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan anatara lain sebagai berikut :

1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta.

2. Rendaman untuk produk ekstrak

3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai dengan perlakuan khusus oleh tenaga terampil dan dengan peralatan khusus.

2.4.2 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati

Penggunaan Insektisida nabati memiliki keunggulan antara lain :

1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap aman daripada insektisida sintetis/kimia.

2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.

3. Dapat dibuat sendiri dengan cara sederhana

4. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida

(23)

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida sintetis. Hal ini disebabkan oleh sifat insektisida nabati yang mudah terurai di alam sehingga harus lebih sering diaplikasikan.

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi.

3. Tanaman insektisida yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang berbeda, umur tanaman berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, dan waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.

2.5 Gambaran Umum tentang Tanaman Cengkeh (Syzigium aromaticum)

Cengkeh (Syzigium aromaticum (L) Merr dan Perry) merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku, terdapat sekitar 3000 jenis yang tumbuh dan tersebar di daerah tropik dan subtropik. Pada abad ke delapan, cengkeh termasuk tanaman rempah yang harganya sangat mahal di daratan Eropa. Penggunaan utama pada waktu itu adalah sebagai bahan rempah, pembuatan kue, campuran makanan, obat-obatan, mengharumkan makanan seperti daging dan ikan, disamping untuk bahan parfum (Dhalimi, 1997). Menurut WHO dalam Fitryan (2011), cengkeh termasuk tanaman obat yang paling banyak dipakai di dunia (dalam bentuk balsam, minyak cengkeh, dan sebagainya).

2.5.1 Morfologi Tanaman Cengkeh

(24)

miring ke atas dengan sudut ± 45 pada pangkalnya. Daun letaknya berhadapan dengan ukuran panjang yang bervariasi antara 7-13 cm dan lebar 3-6 cm. Pada umumnya daun berbentuk lonjong yang pangkal daunnya runcing dengan ujung daun meruncing. Cengkeh mempunyai sistem pembuangaan terminal, berbentuk tandan yang terdiri atas 5-25 bunga dan bersifat hermaprodit. Buah matang berwarna ungu merah kehitaman dengan daging buah relatif tebal, buah dan biji berbentuk bulat telur sampai lonjong.

Brinkgreve (1993), membedakan tipe cengkeh di Sumatra menjadi 4 (empat) kelompok yaitu cengkeh bergagang panjang, cengkeh bergagang pendek, cengkeh bergagang menengah dan cengkeh setro, yaitu cengkeh yang berbunga kecil (Hadipoentyanti, 1997).

(a) (b)

(25)

2.5.2 Klasifikasi Tanaman Cengkeh

Adapun klasifikasi tanaman cengkeh adalah sebagai berikut : Devisi : Spermatophyta

Sub devisi : Angiospermae Klasis : Dicotyledoneae Sub klasis : Dialypetales Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae

Marga : Eugenia/Syzygium Jenis : Eugenia aromaticum L.

Syzigium aromaticum (L) Merr. & Perry.

Nama daerah untuk cengkeh di Indonesia antara lain bungeu lawang (Gayo), dingke (Karo), bunga lasang (Toba), sake (Nias), Cangkih (Lampung), Cengkeh (Sunda, Jawa), wunga lawang (Bali), pualawane (Ambon), buwalawa (Ternate). Nama asing cengkeh ini yaitu clove (Rahmayati & Lutony, 2002).

2.5.3 Manfaat Tanaman Cengkeh

Tanaman cengkeh adalah tanaman rempah, dimana bagian utama tanaman cengkeh yang paling komersial adalah bunga cengkeh yang sebagian besar digunakan dalam industri rokok yaitu berkisar 80-90%. Sementara itu, untuk daun cengkeh belum termanfaatkan secara maksimal dan masih dianggap limbah yang kurang berguna (Nurdjannah dalam Nuryoto, 2011).

(26)

Bergamot, Caraway, Cassie, dan pewangi sabun), dan bahan untuk pembuatan vanillin sintetis yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman (Rahmayati & Lutony, 2002).

Tanaman cengkeh sejak lama digunakan untuk tujuan pengobatan dan telah diketahui dengan baik di negara-negara Barat sebagai bahan anestesi gigi (Tamaru et al., 1998 dalam Nurhasanah, 2002). Dalam beragam pengobatan herbal, cengkih bisa membantu dalam proses penyembuhan beragam penyakit, diantaranya menghilangkan mual, mengatasi infeksi pernapasan, mengusir aroma yang tidak sedap pada mulut, mengatasi noda jerawat, menyembuhkan luka berdarah, terbakar, dan bernanah (Mukhlason, 2011).

Berbagai hasil penelitian terhadap cengkeh menunjukkan bahwa tanaman ini dapat digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, dan insektisida (Asman dkk, 1997).

2.5.4 Kandungan Kimia Tanaman Cengkeh

Komponen utama dari tanaman cengkeh adalah eugenol yang merupakan sejenis minyak atsiri yang dapat ditemukan pada bagian-bagian tertentu dari tanaman cengkeh yaitu dari bunga, gagang/tangkai bunga, dan daun cengkeh. Menurut Guenther, kadar eugenol pada tanaman cengkeh dapat mencapai 70-90 % (Rahmayati dkk, 2002).

(27)

alaminya dari minyak cengkeh. Terdapat pula pada pala, kulit manis, dan salam. Eugenol sedikit larut dalam air namun mudah larut pada pelarut organik. Selain minyak atsiri, tanaman cengkeh juga mengandung sejumlah senyawa kimia seperti eugenin, asam oleanolat, asam galatanat, dan vanillin (GD, 2011).

Clove leaf oil merupakan minyak asiri yang didapat dari daun cengkeh. Seperti halnya minyak cengkeh yang berasal dari bunga dan gagang, sifat minyak cengkeh pada dasarnya sama, hanya saja kandungan eugenol nya relatif rendah. Selain itu, minyak daun cengkeh juga memiliki bau yang tidak seharum clove oil atau minyak bunga cengkeh (Rahmayati dkk, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), produk cengkeh daun, gagang dan bunga dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni bakteri dan nematoda. Produk cengkeh bisa digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, dan insektisida (Asman dkk, 1997).

2.6 Gambaran Umum tentang Ikan asin 2.6.1 Pengertian Ikan Asin

(28)

diawetkan menjadi ikan asin diantaranya adalah ikan kepala batu, ikan belah, ikan tongkol, ikan kembung, ikan layang, ikan teri, ikan lidah, ikan selar, ikan pari dan udang.

2.6.2 Pengolahan Ikan Asin

Proses pembuatan ikan asin kering pada dasarnya mencakup dua proses utama, yakni proses penggaraman dan proses pengeringan.

2.6.2.1 Penggaraman

Penggaraman merupakan cara pengawetan ikan yang banyak dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Proses ini menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan.

Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya caian dari tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Bersamaan dengan keluarnya cairan dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Proses pertukaran garam dan cairan tersebut akan terhenti sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi garam di dalam tubuh ikan dengan konsentrasi garam di luar tubuh ikan.

Secara umum, proses penggaraman ini dapat dilakukan dengan empat cara, yakni penggaraman kering (dry salting), penggaraman basah (wet salting), dan pelumuran garam (kench salting) dan penggaraman diikuti proses perebusan.

a. Penggaraman Kering (dry salting)

(29)

sehingga Kristal garam berubah menjadi larutan garam yang dapat merendam seluruh lapisan ikan.

b. Penggaraman Basah (Wet Salting)

Pada proses penggaraman basah, digunakan larutan garam untuk merendam ikan. Larutan garam akan mengisap cairan tubuh ikan dan ion-ion garam tersebut akan masuk ke dalam tubuh ikan.

c. Kench Salting

Metode ini menggunakan bak kering. Prosesnya hampir mirip dengan penggaraman kering dimana ikan ditumpuk dengan menggunakan keranjang. d. Penggaraman Diikuti Proses Perebusan

Dalam hal ini, proses pembusukan ikan dicegah dengan cara merebusnya dalam larutan garam jenuh.

2.6.2.2 Penjemuran

(30)
(31)

2.6 Kerangka Konsep

2.7 Hipotesa Penelitian

Ho : tidak ada perbedaan jumlah lalat yang hinggap pada ikan dengan perlakuan ekstrak daun cengkeh (Syzigium aromaticum) pada berbagai konsentrasi.

Ha : ada perbedaan jumlah lalat yang hinggap pada ikan dengan perlakuan ekstrak daun cengkeh (Syzigium aromaticum) pada berbagai konsentrasi.

Jumlah lalat yang hinggap pada saat penjemuran

ikan asin Ekstrak daun

cengkeh

Suhu Kontrol

Konsentrasi 2,5 %

Konsentrasi 5 %

Konsentrasi 7,5 %

Konsentrasi 10 %

Konsentrasi 12,5 %

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Hidup Lalat (Watson dkk dalam Hanidhar, 2007)
Gambar 2.2. (a) Telur Lalat dan (b) Larva Lalat (Arkive, 2012)
Gambar 2.3 (a) Kepompong dan (b)  Lalat Dewasa (Arkive, 2012)
Gambar 2.4. Bagan Penularan Penyakit oleh Lalat
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan komodifikasi rerajahan di Kecamatan Tabanan, maka dimensi westernisasi dari globalisasi tersebut lebih merupakan prinsip-prinsip kewirausahaan yang diterapkan tukang

Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa dengan menerapkan model pembelajaran

Karena itu, sumber pustaka yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai pendidikan terkait perintah shalat baik itu buku, jurnal, laporan ilmiah, surat kabar, penelitian

diberikan pada saat ia berpisah rumah dengan orang tuanya. 2) Harta yang dibawa wanita, pemberian orang tuanya disebut “pauseang”. Biasanya wanita yang mau kawin membawa

Pembelajaran bahasa Indonesia bagi pembelajar asal Patani yang berbahasa ibu bahasa Melayu mempunyai sedikit kendala pada segi pengucapan kosakata dalam bahasa

Setelah masing-masing variasi ditampilkan dalam bentuk grafik, berikut ini adalah grafik untuk semua variasi percobaan pitch angle 10 o , 20 o ,30 o yang ditampilkan pada

Sebelum pelaksanaan tindakan, team-teaching secara kolaboratif menyiapkan Perangkat Pembelajaran dan bahan lainnya yang terdiri dari, Rencana Pembelajaran (RP), Lembar

Dari kajian literatur di dapat bahwa beberapa kualitas elemen lansekap yang dapat mengakomodasi akifitas anak di sekolah dasar untuk mendukung perkembangan fisik,