• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG

BEKICOT (Achatina fulica) SEBAGAI PENGAWET

IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DAN IKAN LELE

(Clarias batrachus)

SKRIPSI

Oleh

100405009

SARI WAHYU WARYANI

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

(2)

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG

BEKICOT (Achatina fulica) SEBAGAI PENGAWET

IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DAN IKAN LELE

(Clarias batrachus)

SKRIPSI

Oleh

100405009

SARI WAHYU WARYANI

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul :

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG BEKICOT (Achatina fulica) SEBAGAI PENGAWET IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp) DAN IKAN LELE

(Clarias batrachus)

Yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada

Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, sejauh

yang saya ketahui bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah

dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di

lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi atau instansi

manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana

mestinya.

Medan, Februari 2015

(4)
(5)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis hadiahkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan skripsi

dengan judul “Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawet Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)” berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Hasil penelitian ini:

• Penelitian ini membantu pengolahan limbah cangkang bekicot (Achatina Fulica) sehingga mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.

• Penelitian ini memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang alternatif pengawet alami, yaitu kitosan.

• Penelitian ini pernah dipublikasikan dalam Jurnal Teknik Kimia USU dengan judul “Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Bekicot (Achatina Fulica) Sebagai Pengawetan Ikan Kembung (Rastrelliger Sp) dan Ikan Lele (Clarias Batrachus)”. Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat

pengarahan dan bimbingan dari dosen pembimbing penulis. Untuk itu secara khusus

penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada

ibu Farida Hanum, ST, MT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga

skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Februari 2015

Penulis,

(6)

DEDIKASI

Penulis mendedikasikan skripsi ini kepada :

1. Kedua orang tua penulis Ayahanda Anwar Achmad dan Ibunda Sri Mulyani

yang sangat banyak memberikan dukungan moril maupun bantuan materil

bagi penulis dalam segala hal.

2. Keluarga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini.

3. Ibu Farida, ST, MT. yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Staf Pengajar Fakultas Teknik Departemen Teknik Kimia Universitas

Sumatera Utara Medan.

5. Para pegawai administrasi Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara.

6. Partner penelitian, Rika Silvia yang telah bekerja sama dalam memberikan

pengarahan skripsi ini.

7. Kak Nila Sartika Simanjuntak, Kak Sri Widya Astuti, dan Kelvin Hadinatan

yang telah membantu mulai dari mengarahkan sebelum penelitian hingga

selesai penelitian dan penulisan skripsi.

8. Sahabat-sahabat terbaik di Teknik Kimia, khususnya semua stambuk 2010

(7)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Sari Wahyu Waryani

Nim : 100405009

Tempat/ tgl lahir : Medan, 14 Oktober 1992

Nama orang tua : Anwar Achmad

Alamat orang tua : Jl. Cempaka G. Teratai No.1 Medan

Helvetia 20125

Asal sekolah

SD Swasta PAB Medan tahun 1998 – 2004

SMP Negeri 40 Medan tahun 2004 – 2007

SMA Swasta Kartika I-2 Medan tahun 2007 - 2010 Beasiswa yang pernah diperoleh :

Bidik Misi 2010 – 2014 Pengalaman organisasi/ kerja :

Covalen Studi Grup (CSG) 2012-2013 sebagai anggota Bidang Dakwah

Himatek periode 2013 – 2014 sebagai anggota Bidang Bakat dan Minat

Asisten Lab. Proses Industri Kimia 2013 - 2015

Artikel yang telah dipublikasi dalam jurnal/ pertemuan ilmiah:

(8)

ABSTRAK

Penggunaan senyawa anti mikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Untuk itu dibutuhkan bahan sebagai anti mikroba yang alami supaya tidak membahayakan bagi kesehatan. Penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus) diuji efektivitasnya. Pada penelitian ini kitosan yang digunakan sebagai anti mikrobia diekstraksi dari cangkang rajungan bekicot (Achatina fullica). Kitin dan kitosan yang berhasil diekstraksi dikarakteristik hasilnya meliputi pengujian kadar air, kadar abu, dan Derajat Deasetilasi. Kitosan setelah dikarakteristik, digunakan sebagai anti mikrobia ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus). Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1% dengan konsentrasi kitosan bervariasi 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%. Lama waktu penyimpanan ikan bervariasi 0 jam, 10 jam, 15 jam, 20 jam, dan 25 jam. Hasil penelitian kitosan berbentuk serbuk, kadar air 5,07%, kadar abu 1,8% serta derajat deasetilasi yakni sebesar 75,13%. Berdasarkan hasil analisa, hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan maksimum pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele adalah 1,5% (Clarias batrachus) dan perlakuan dengan cara perendaman merupakan perlakuan yang terbaik. Penggunaan larutan kitosan pada ikan kembung (Rastrelliger sp) bertahan 20 jam sedangkan ikan lele (Clarias batrachus) bertahan 15 jam.

(9)

ABSTRACT

The use of appropriate anti-microbial compounds can extend the shelf life of a product as well as ensure the safety of the product. That requires a material that is naturally anti-microbial so as not harmful to health. The use of chitosan to inhibit microbial activity on mackerel (Rastrelliger sp) and catfish (Clarias batrachus) to test it's effectiveness. In this research chitosan that used as an anti-microbial extracted from the shells of snail (Achatina Fulica). Chitin and chitosan that were successfully extracted were characterized it's results includes moisture content testing, ash content, and Degrees of deacetylation. Characterized chitosan, were used as an anti-microbial mackerel (Rastrelliger sp) and catfish (Clarias batrachus). Chitosan was dissolved in 1% acetic acid with varying concentrations of chitosan as 1%, 1.5%, 2%, and 2.5%. The storage time of fish varies from 0 hours, 10 hours, 15 hours, 20 hours, and 25 hours. The results of research chitosan form as granules / powder, 5,07% moisture content, ash content 1,8% and the degree of deacetylation which amounted to 75,13%. Based on the analysis, the results showed that the maximum concentration of chitosan on mackerel (Rastrelliger sp) and catfish (Clarias batrachus) is 1,5% and treatment by means of immersion is the best treatment. The use of chitosan solution on mackerel (Rastrelliger sp) survived 20 hours while catfish (Clarias batrachus) survived 15 hours.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i

PENGESAHAN ii

PRAKATA iii

DEDIKASI iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS v

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

DAFTAR SINGKATAN xiv

DAFTAR SIMBOL xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN 3

1.4 MANFAAT PENELITIAN 4

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 CANGKANG BEKICOT (Achatina fulica) 5

2.2 KITIN DAN KITOSAN 6

2.3 PROSES ISOLASI KITIN DAN KITOSAN 8

2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KITOSAN 11

2.5 PEMBUSUKAN IKAN 12

2.5.1 Tanda-Tanda Kerusakan yang Terjadi Pada Ikan 13

2.5.2 Faktor Lain yang Berperan dalam Pembusukan (Perubahan yang

Bersifat Enzimatis, Mikrobiologis maupun Fisis) 13

2.5.3 Parameter Fisika Ikan Pada Kesegaran Ikan 14

(11)

2.5.4.1 Perubahan pre rigor mortis 16

2.5.4.2 Perubahan rigor mortis 16

2.5.4.3 Perubahan post rigor 17

2.5.5 Upaya Pengendalian Pertumbuhan Bakteri 18

2.6 PENGAWETAN IKAN 19

2.6.1 Bakteri 20

2.6.1.1 Pengertian Bakteri 20

2.6.1.2 Sumber Pencemar 21

2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri 21

2.6.3 Mekanisme Kerja Pengawet Atau Antimikroba 23

2.7 ANALISA EKONOMI 25

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 27

3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 27

3.2 BAHAN DAN PERALATAN 27

3.2.1 Bahan Penelitian 27

3.2.2 Peralatan Penelitian 27

3.3 PROSEDUR PENELITIAN 28

3.3.1 Persiapan Sampel 28

3.3.2 Pembuatan Kitin 28

3.3.2.1 Deproteinasi 28

3.3.2.2 Demineralisasi 28

3.3.3 Deasetilasi 28

3.3.4 Karakterisasi Kitosan 28

3.3.4.1 Analisa Kadar Air 28

3.3.4.2 Analisa Kadar Abu 29

3.3.4.3 Analisa Derajat Deasetilasi 29

3.3.5 Pemanfaatan Kitosan Sebagai Pengawetan Ikan 30

3.3.6 Analisa Ikan Segar 30

3.3.6.1 Analisa pH 30

3.3.6.2 AnalisaTotal Volatile Bases (TVB) 30

3.4 FLOWCHART PENELITIAN 31

(12)

3.4.2 Pembuatan Kitin 32

3.4.2.1 Deproteinasi 32

3.4.2.2 Demineralisasi 33

3.4.3 Deasetilasi 34

3.4.4 Karakterisasi Kitosan 35

3.4.3.1 Analisa Kadar Air 35 3.4.3.2 Analisa Kadar Abu 35 3.4.5 Proses Pengawetan Ikan 36

3.4.6 Analisa Ikan Segar 36

3.4.6.1 Analisa pH 36

3.4.6.2 AnalisaTotal Volatile Bases (TVB) 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 38

4.1 KARAKTERISASI KITOSAN 38

4.2 KARAKTERISASI IKAN HASIL PENGAWETAN 39

4.2.1 Analisa TVB (Total Volatile Base) 39 4.2.1.1 Perubahan TVB pada Ikan Kembung 40 4.2.1.2 Perubahan TVB pada Ikan Lele 42

4.2.2 Derajat Keasaman (pH) 43

4.2.2.1 Perubahan pH pada Ikan Kembung 44 4.2.2.2 Perubahan pH pada Ikan Lele 45

4.2.3 Uji Organoleptik 46

4.2.3.1 Perubahan organoleptik pada Ikan Kembung 47 4.2.3.2 Perubahan organoleptik pada Ikan Lele 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 50

5.1 KESIMPULAN 50

5.2 SARAN 50

DAFTAR PUSTAKA 51

(13)

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Bekicot (Achatina fulica) 6

Gambar 2.2 Struktur Kimia Kitin 6

Gambar 2.3 Struktur Kimia Kitosan 7

Gambar 2.4 Reaksi Deproteinasi 9

Gambar 2.5 Reaksi Demineralisasi 9

Gambar 2.6 Reaksi Deasetilisasi Kitin Menjadi Kitosan 10

Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Sampel 31

Gambar 3.2 Flowchart Deproteinasi 32

Gambar 3.3 Flowchart Demineralisasi 33

Gambar 3.4 Flowchart Deasetilasi 34

Gambar 3.5 Flowchart Analisa Kadar Air 35

Gambar 3.6 Flowchart Analisa Kadar Abu 35

Gambar 3.7 Flowchart Proses Pengawetan Ikan 36

Gambar 3.8 Flowchart Analisa pH pada ikan segar 36

Gambar 3.9 Flowchart Analisa Total Volatile Bases (TVB) pada Ikan Segar 37 Gambar 4.1 Perubahan nilai TVB pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dengan

Direndam dan Disemprot 40

Gambar 4.2 Perubahan nilai TVB pada ikan lele (Clarias batrachus) dengan

Direndam dan Disemprot 42

Gambar 4.3 Perubahan nilai pH pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dengan

Direndam dan Disemprot 44

Gambar 4.4 Perubahan nilai pH pada ikan lele (Clarias batrachus) dengan

Direndam dan Disemprot 45

Gambar 4.5 Perubahan nilai organoleptik pada ikan kembung (Rastrelliger sp) dengan Direndam dan Disemprot 47

(14)

DAFTAR

TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Penelitian - Penelitian Sebelumnya 2

Tabel 2.1 Beberapa Organisme yang Mengandung Kitin 5

Tabel 2.2 Syarat – Syarat Kitosan komersil 8

Tabel 2.3 Kriteria Ikan Segar dan Ikan busuk 15

Tabel 4.1 Perbandingan Parameter Standar Mutu Kitosan dengan Hasil

Penelitian 38

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN 56

1.1 Contoh Lembar Penilaian Organoleptik Ikan Segar 56

1.2 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Kembung) Sebelum

Pengawetan 58

1.3 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Lele) Sebelum Pengawetan 61

1.4 Data Analisa pH dan TVB pada Ikan Segar Sebelum Pengawetan 63

1.5 Data Analisa pH dan TVB pada Ikan Segar 64

1.6 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Kembung) dengan

Perlakuan Direndam 65

1.7 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Kembung) dengan

Perlakuan Disemprot 68

1.8 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Lele) dengan Perlakuan

Direndam 71

1.9 Data Penilaian Organoleptik Ikan Segar (Ikan Lele) dengan Perlakuan

Disemprot 74

1.10 Hasil Uji Analisa FT-IR 77

1.11 Perhitungan Derajat Deasetilasi Kitosan dari Cangkang Bekicot 78

LAMPIRAN 2 CONTOH PERHITUNGAN

2.1 Kadar Air 79

2.2 Kadar Abu 79

2.3 Derajat Deasetilasi 79

2.4 Analisa TVB-N 80

LAMPIRAN 3 DOKUMENTASI

3.1 Persiapan Sampel 81

3.2 Pembuatan Kitin 81

3.3 Karakterisasi Kitosan 82

(16)

DAFTAR SINGKATAN

SK Surat Keputusan

Menkes Menteri Kesehatan

RI Republik Indonesia

FDA Food and Drugs Administration

TVB-N Total Volatile Base - Nitrogen

pH Power of Hydrogen

ATP Adenosin Trifosfat

RNA RiboseNucleic Acid

DNA Deoxyribo Nucleic Acid

FT-IR Fourier Transform – InfraRedSpectroscopy

(17)

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Dimensi

B Berat sampel Gram

B1 Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan Gram

B2 Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan Gram

VHCl Titrasi sampel ml

Vblanko Titrasi blanko ml

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ikan merupakan produk pangan yang sangat mudah rusak. Pembusukan ikan

terjadi setelah ikan ditangkap atau mati. Pada kondisi suhu tropik, ikan membusuk

dalam waktu 12-20 jam tergantung spesies, alat atau cara penangkapan. Pendinginan

akan memperpanjang masa simpan ikan. Pada suhu 15-20oC, ikan dapat disimpan

hingga sekitar 2 hari, pada suhu 5oC tahan selama 5-6 hari, sedangkan pada suhu 0oC

dapat mencapai 9-14 hari, tergantung spesies ikan [1].

Penggunaan formalin sebagai pengawet bahan pangan diduga karena tingkat

kesadaran produsennya akan kesehatan masyarakat masih sangat rendah, disamping

mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai bahaya bahan kimia

terlarang tersebut. Formalin sangat mudah dijumpai di pasar bebas dengan harga

yang murah. Baik formalin maupun boraks merupakan bahan kimia yang sangat

berbahaya bagi kesehatan manusia [48]. Salah satu alternatif pengganti formalin

sebagai pengawet makanan adalah penggunaan kitosan yang lebih aman dan tidak

berefek negatif terhadap kesehatan tubuh. Kitosan dapat berfungsi sebagai bahan

pengawet karena mempunyai sifat anti bakteri [2;49].

Sesuai SK Menkes RI No. 722 th 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan,

yang dimaksud bahan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah

atau menghambat fermentasi pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang

disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut Food and Drugs Administration (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin

dikonsumsi dalam produk makanan atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam

makanan dari penggunaan pengawet [3].

Adapun beberapa hasil penelitian kitosan, dan aplikasinya dapat dilihat pada

(19)

Tabel 1.1 Penelitian – Penelitian Sebelumnya

Referensi/Judul Hasil

Mahatmanti, dkk., 2011/Sintesis kitosan dan pemanfaatannya sebagai anti mikrobia ikan segar. [1]

1. Kitosan dapat dimanfaatkan sebagai anti mikrobia ikan segar. 2. Hasil uji mikroba menunjukkan

bahwa perlakuan dengan menggunakan larutan kitosan 1% pada ikan nila selama 10 jam (A1B1) yaitu sebesar 38.104 Sel/

mL adalah kondisi paling optimum. Swastawati, dkk., 2008/Pemanfaatan limbah

kulit udang menjadi “edible coating” untuk mengurangi pencemaran lingkungan. [4]

1. Kitosan mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengawet alami pada ikan layang pindang.

2. Pemanfaatan kulit udang menjadi “edible coating” kitosan bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus.

Sedjati, dkk., 2007/Studi penggunaan khitosan sebagai anti bakteri pada ikan teri (stolephorus heterolobus) asin kering selama penyimpanan suhu kamar. [5]

1. Larutan khitosan pada proses pengolahan ikan teri asin kering terbukti berfungsi sebagai anti bakteri.

2. Konsentrasi khitosan yang efektif untuk menekan pertumbuhan bakteri secara signifikan pada ikan teri asin kering selama penyimpanan suhu kamar, yaitu 0,5%.

Kusumaningsih, dkk., 2004/Pembuatan Kitosan dari Kitin Cangkang Bekicot (Achatina fulica). [24]

Hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kitin cangkang bekicot yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kitosan dengan kadar rendemen kitosan sebesar 6,95%.

Alak, 2012/The Effect of Chitosan Prepared in Different Solvents on the Quality Parameters of Brown Trout Fillets (Salmo trutta fario). [7]

(20)

Cangkang bekicot (Achatina fullica) mengandung zat kitin sekitar 70% - 80% sedangkan dalam udang terdapat kitin sebanyak 15% - 20% dan rajungan 20% - 30%

[8].

Adanya penemuan formalin sebagai bahan pengawet pada ikan menimbulkan

citra yang buruk pada produk tersebut. Formalin ini selain digunakan sebagai bahan

pengawet juga untuk menghindari adanya belatung. Formalin ini tentu akan

merugikan konsumen karena berbahaya dan bersifat karsinogenik. Hal ini juga

merugikan produsen yang tidak menggunakan formalin karena konsumen jadi

enggan untuk membeli ikan. Kitosan sebagai bahan pengawet alami juga diketahui

dapat menghindari adanya belatung dan lalat pada ikan [9].

Oleh karena itu, peneliti memilih cangkang bekicot (Achatina fullica)

mengandung zat kitin lebih tinggi, dan kitosan diharapkan mampu memberikan

solusi bagi para pengolah ikan sehingga ikan yang mereka hasilkan akan lebih awet

dan aman untuk dikonsumsi.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sejauh mana proses pengawetan

ikan dengan pemanfaatan kitosan dari cangkang bekicot (Achatina fullica).

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kitosan sebagai alternatif pengawet yang alami sehingga tidak

membahayakan bagi kesehatan serta tidak merusak kualitas produk.

2. Mengetahui kondisi yang optimal pada konsentrasi kitosan dan waktu

penyimpanan sebagai pengawet yang dapat memperpanjang masa simpan ikan

segar.

3. Mengetahui bagaimana cara pemberian larutan kitosan terbaik sebagai

(21)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan limbah cangkang bekicot

menjadi bahan baku pembuatan kitosan dan aplikasinya dalam pengawetan ikan.

2. Memperoleh informasi mengenai pengaruh konsentrasi kitosan khususnya

terhadap proses pengawetan ikan.

3. Memberikan informasi bagi industri pengekspor ikan yang ingin menggunakan

kitosan sebagai pengawet.

4. Memberikan alternatif pengawet yang lebih alami atau lebih aman bagi

kesehatan.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Proses Industri Kimia,

Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penelitian ini direncanakan memiliki ruang lingkup dan batasan sebagai

berikut:

1. Persiapan sampel yaitu cangkang bekicot.

2. Pembuatan Kitin.

3. Deasetilasi kitin menjadi kitosan.

4. Karakterisasi kitosan

5. Proses pengawetan ikan dengan kitosan [10]

Reaksi dilangsungkan dengan memvariasikan beberapa variabel seperti berikut :

- Konsentrasi kitosan : 1%; 1,5%; 2% dan 2,5%

- Waktu Penyimpanan : 10 jam, 15 jam, 20 jam dan 25 jam

- Cara pemberian larutan pengawetan ikan : direndam dan disemprot

- Jenis ikan yang diawetkan adalah ikan kembung (Rastrelliger sp) dan ikan lele (Clarias batrachus).

Analisis yang dilakukan pada kitosan adalah :

1. Analisa uji FTIR 3. Analisa kadar abu

2. Analisa kadar air 4. Derajat Deasetilasi

Analisis yang dilakukan pada ikan adalah :

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CANGKANG BEKICOT (Achatina fulica)

Bekicot (Achatina fullica) merupakan hama bagi persawahan yang sering dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak, seperti itik. Bekicot menurut

jenisnya dapat dibedakan menjadi empat yakni; Achatina variegata, Achatina fullica, Helix pomatia dan Helix aspersa sedangkan dua jenis terakhir tidak ditemukan di Indonesia. Di Indonesia potensi bekicot rata - rata meningkat sebesar 7,4 persen per

tahun. Selain digunakan sebagai pakan ternak cangkangnya dapat digunakan sebagai

hiasan seperti gantungan kunci, tetapi tidak jarang cangkang bekicot di buang begitu

saja dan dibiarkan membusuk yang akhirnya akan menimbulkan dampak negatif bagi

lingkungan. Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang bekicot agar

memiliki nilai dan daya guna limbah cangkang bekicot menjadi produk yang bernilai

ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan [11].

Berikut akan dijelaskan beberapa organisme yang mengandung kitin, dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Beberapa organisme yang mengandung kitin [8],[12].

Organisme Kitin (%) Organisme Kitin (%)

Snail 70-80 Pieris (butterfly) 64.0

Cancer (crab) 72.1 Bombyx (silk worm) 44.2

Carcinus (crab) 64.2 Galleria (wax worm) 33.7

Paralithodes (king crab) 35.0 Mollusks:

Callinectes (blue crab) 14.0 clam 6.1

Crangon and Pandalus (shrimp) 17–40 shell oysters 3.6

Alaska shrimp 28.0 squid pen 41.0

Nephro (lobster) 69.8 krill, deproteinized shells 40.2

Homarus (lobster) 60–75 Fungi:

Lepas (goose barnacle) 58.3 Aspergillus niger 42.0

Insects: Penicillium notatum 18.5

Periplaneta (cockroach) 2.0 Penicillium chrysogenum 20.1

Blatella (cockroach) 18.4 Saccharomyces cerevisiae 2.9

Coleoptera (ladybird) 27–35 Mucor rouxii 44.5

(23)

Adapun anatomi bekicot (Achatina fulica), dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Anatomi Bekicot (Achatina fulica) [13]

2.2 KITIN DAN KITOSAN

Kata kitin berasal dari bahasa Yunani, khiton yang berarti baju dari besi karena

sesuai dengan fungsinya sebagai jaket pelindung untuk hewan-hewan golongan

invertebrata. Kitin merupakan bagian konstituen organik yang sangat penting pada

kerangka hewan golongan arthropoda, molusca, nematoda, crustasea, beberapa kelas

serangga dan jamur [14].

Kitin merupakan senyawa penyusun rangka, terdiri atas satuan Asetil

Glukosamin yang berikatan (1 4) beta, seperti yang terlihat pada berikut :

Gambar 2.2 Struktur Kimia Kitin [16]

Menurut Cahyaningrum [15], kitin berbentuk kristal berwarna putih, tidak

(24)

encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya yang bersifat polikationik. Kitin

merupakan polimer (1 4) -2-asetamido-2-deoksi-ß-Dglukosamin yang dapat

dicerna oleh manusia, sedangkan kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus

asetilnya dengan menggunakan basa kuat. Kitosan memiliki lebih banyak kandungan

nitrogen dari pada kitin. Gugus amina dan hidroksil di dalam kitosan menjadikan

kitosan bersifat lebih aktif dan bersifat polikationik. Sifat tersebut dapat

dimanfaatkan sebagai koagulan logam berat [16].

Adapun struktur kimia kitosan, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.3 Struktur Kimia Kitosan [16]

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat,

H2SO4, tetapi sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan 0,5% H3PO4. Kitosan juga tidak

larut dalam beberapa pelarut organik seperti alkohol, tetapi kitosan larut dengan baik

dalam asam format berkonsentrasi (0,2-100) %. Kitosan tidak beracun dan memiliki

berat molekul sekitar 1,2 x 105 gram/mol, bergantung pada degradasi yang terjadi

selama proses deasetilasi.

Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam beragam industri, antara lain sebagai

agen penstabil rasa dalam industri makanan, bahan aditif untuk shampo dan

kosmetik, bahan anti bakteri, adsorben untuk penghilang logam berat dan pemurnian

air. Kitosan memiliki gugus amina, adanya unsur N menjadikan kitosan bersifat

sangat reaktif dan bersifat basa [17].

Kitosan adalah senyawa biopolimer yang diturunkan dari kitin, yaitu senyawa

dengan struktur homopolimer P-(1-4) Nacetyl- D-glucosamine. Kitin terdapat secara

luas pada hewan-hewan invetebrata di laut, serangga, jamur dan juga ragi. Umumnya

cangkang dari hewan laut mengandung 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat

dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Kitin terdapat pada hampir semua hewan laut

(25)

Kitin dan kitosan mempunyai struktur kimia yang sama. Kitin terdiri dari rantai

lurus asetil-glukosamin, sedangkan kitosan diperoleh melalui pemutusan gugus asetil

(CH3-CO). Proses pemutusan ini disebut dengan deasetilasi. Perbedaan utama antara

kitin dengan kitosan adalah kadungan asetil dari polimernya. Kitosan adalah turunan

kitin yang paling banyak kegunaannya [18].

Kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat

unik. Penampilan fungsional kitosan ditentukan oleh sifat dan kimiawinya. Seperti

halnya dengan polisakarida lain, kitosan memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat

yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif. Sifat

fleksibilitas kitosan membantu daya gunanya di dalam berbagai produk. Sifat

reologis ini juga menjadikannya sensitif terhadap perubahan pH dan kekuatan ion

[19]. Adapun syarat-syarat kitosan yang telah disesuaikan untuk kitosan, dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Syarat – syarat kitosan komersil (Protan Laboratories) dalam [20]

Parameter Nilai

Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk

Kadar air ≤ 10%

Kadar abu ≤ 2%

Kadar nitrogen ≤ 5%

Warna Larutan Jernih

Derajat deasetilasi ≥ 70%

Viskositas (cps)

Rendah

Sedang

Tinggi

Ekstra tinggi

< 200 cps

200 – 799 cps

800 – 2000 cps

> 2000 cps

2.3 PROSES ISOLASI KITIN DAN KITOSAN

Isolasi kitin dilakukan secara bertahap. Tahap awal dimulai dengan pemisahan

protein dengan larutan basa, yang disebut dengan tahap deproteinasi. Deproteinasi

(26)

prosesnya tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan, diperkirakan

reaksinya sebagai berikut [21].

Gambar 2.4 Reaksi Deproteinasi [21]

Tahap kedua yaitu demineralisasi. Tahap demineralisasi bertujuan untuk

memisahkan mineral organik yang terikat pada bahan dasar, yaitu CaCO3 sebagai

mineral utama dan Ca(PO4)2 dalam jumlah minor. Proses pemisahan diperkirakan

terjadi menurut reaksi berikut [21].

(27)

Tranformasi kitin menjadi kitosan disebut tahap deasetilasi, yaitu dengan

memberikan perlakuan dengan basa berkonsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi

bertujuan untuk memutuskan gugus asetil yang terikat pada nitrogen dalam struktur

senyawa kitin untuk memperbesar persentase gugus amina pada kitosan, adapun

reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut [21].

(28)

2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI KITOSAN

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengolahan karakteristik fisikokimia

kitosan adalah :

1. Suhu deasetilasi

Suhu yang lebih tinggi cenderung meningkatkan derajat deasetilasi tetapi

mengurangi molekul ukuran. Ada hubungan substansial linier antara temperatur

(diplot sepanjang absis sebagai 1/T dalam K) dan tingkat deasetilasi (diplot

logaritmis sepanjang ordinat).

2. Waktu deasetilasi dan Konsentrasi Alkali

Wu dan Bough menyatakan deasetilasi yang berlangsung cepat sekitar 68%

selama 1 jam yang pertama dalam 50% larutan NaOH pada suhu 100oC. Namun,

reaksi berlangsung secara bertahap setelah mencapai sekitar 78% dalam 5 jam.

Dengan demikian, perlakuan alkali di atas 2 jam deasetilasi kitin secara signifikan

dapat merusak rantai molekul. Dalam sebuah studi konsentrasi dengan 35, 40, dan

50% NaOH sebagai konsentrasi alkali menurun, tingkat penurunan baik viskositas

dan distribusi berat molekul juga melambat. Dahan et al, menyinggung bahwa

kitosan deasetilasi selama 5 menit dengan 50% NaOH pada 145-150oC memiliki

viskositas yang lebih tinggi (1,7-16,4 kali lipat) dan berat molekul (1,1-1,8 kali lipat)

daripada kitosan deasetilasi selama 15 menit. Demikian pula, penurunan viskositas

dengan peningkatan waktu reaksi ditunjukkan dan dikonfirmasi.

3. Pengaruh Kondisi Pengolahan Aplikasi Isolasi Kitin

Kondisi pengolahan aplikasi isolasi kitosan terutama mempengaruhi viskositas

produk daripada properti lainnya. Madhavan Nair (1974) melaporkan bahwa

penggunaan HCl pada konsentrasi di atas 1,25 N terpengaruh viskositas produk

kitosan akhir. Selain itu, kitosan viskositas cenderung menurun dengan

meningkatnya waktu demineralisasi. Di sisi lain, Bough et al. menemukan bahwa

dengan deproteinisasi 3% NaOH, dan pemutusan langkah demineralisasi dalam

persiapan kitin, menurunkan viskositas sampel kitosan. Dimana Moorjani et al,

menunjukkan bahwa tidak diinginkan untuk pemutih pada setiap tahap sejak

(29)

4. Atmosfir

Banyak ilmuwan telah sepakat bahwa akses bebas oksigen ke kitin selama

deasetilasi memiliki efek merendahkan besar pada kitosan. Deasetilasi di hadapan

nitrogen yang dihasilkan kitosan viskositas yang lebih tinggi dan distribusi berat

molekul daripada di udara. Namun, sedikit perbedaan dalam komposisi nitrogen dan

abu diamati.

5. Perbandingan dari Kitin untuk Larutan Alkali

Moorjani et al. menekankan bahwa perbandingan antara padatan kitin dengan

larutan alkali memainkan peran penting dalam menentukan kualitas kitosan,

berdasarkan penentuan viskositas. Melaporkan perbandingan antara padatan kitin

dengan larutan alkali berkisar dari 1:10 sampai 1:100 secara basah, dan 1:4 secara

kering atau ketika pemanasan kering digunakan.

6. Ukuran Partikel

Ukuran partikel kitosan produksi telah memicu laporan kontroversial di

efeknya pada kualitas kitosan. Beberapa setuju bahwa ukuran partikel kecil lebih

baik daripada ukuran partikel besar. Menurut Bough et al, ukuran partikel (1 mm)

hasil yang lebih kecil dalam produk kitosan dari kedua viskositas yang lebih tinggi

dan berat molekul daripada ukuran partikel yang lebih besar (di atas 2-6,4 mm).

Ukuran partikel yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama

pembengkakan sehingga tingkat deasetilasi lebih lambat. Namun, Lusena dan Rose

menunjukkan bahwa ukuran partikel kitin dalam kisaran 20-80 mesh (0,841-0,177

mm) tidak berpengaruh pada tingkat deasetilasi dan viskositas solusi kitosan [22].

2.5 PEMBUSUKAN IKAN

Pembusukan ikan segar dan tinggi rusaknya terutama disebabkan oleh

sejumlah besar non-protein nitrogen (seperti asam amino bebas), basa volatil

nitrogen (ammonia, creatine, taurine, uric acid, carnosine dan histamine) yang mendukung pertumbuhan bakteri. Ikan juga memiliki suatu netral pH untuk sedikit

asam dan kelembaban tinggi konten yang mendukung pertumbuhan berbagai

mikroba ditambah dengan poikilothermic alam mereka. Pembusukan ikan dasarnya dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu : mikroba, enzim atau pembusukan

(30)

sebagai penyebab utama kerusakan ikan. Mikroflora awal pada permukaan ikan

secara langsung berkaitan dengan lingkungan perairan sekitarnya sementara flora

bakteri dalam saluran pencernaan sesuai dengan jenis kondisi ikan [23].

2.5.1 Tanda-Tanda Kerusakan yang Terjadi Pada Ikan

Kerusakan pada ikan terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri

pembusuk. Tanda-tanda kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pada

ikan yang belum diolah meliputi :

a. Pembentukan lendir pada permukaan ikan.

b. Bau busuk karena terbentuknya amonia, H2S dan senyawa – senyawa berbau

busuk lainnya.

c. Perubahan warna, yaitu warna kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat.

d. Peruhahan tekstur, yaitu daging ikan akan berkurang kekenyalannya.

e. Ketengikan karena terjadi pemecahan dan oksidasi lemak ikan [6].

2.5.2 Faktor Lain yang Berperan dalam Pembusukan (Perubahan yang Bersifat

Enzimatis, Mikrobiologis maupun Fisis)

a. Enzimatis

Di dalam tubuh ikan terutama alat pencernaan terdapat beberapa enzim.

Selama ikan masih hidup enzim masih bisa diatur kegiatannya sesuai dengan

fungsinya masing-masing. Pada ikan yang mati fungsi enzim tidak bekerja lagi,

sehingga akan terjadi peristiwa otolisis yaitu perubahan di dalam tubuh ikan yang

disebabkan oleh aktifitas enzim. Pada suasana agak asam dan suhu 37˚C enzim aktif

sekali bekerja.

b. Mikrobiologis

Pembusukan olah mikrobiologis ini disebabkan karena kesalahan pengolahan

dan penanganan yang mengakibatkan luka mekanis pada ikan sehingga

memungkinkan bakteri lebih mudah masuk ke dalam tubuh ikan.

c. Fisis

Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam penyimpanan pada suhu kamar

(31)

d. Peristiwa Oksidasi Lemak

Daging ikan umumnya mengandung lemak berkisar antara 10-20% dioksidasi

oleh oksigen dari udara akibatnya ikan menjadi bau dan tengik [6].

2.5.3 Parameter Fisika Ikan Pada Kesegaran Ikan

Dalam menentukan kesegaran ikan ada beberapa parameter, yaitu :

1. Tampak Luar

Ikan yang masih segar mempunyai kenampakan cerah, tidak suram. Keadaan

ini terjadi karena belum banyak perubahan biokimia yang terjadi.

2. Kelenturan daging

Ikan segar dagingnya cukup lentur. Apabila daging ikan dibengkokkan, maka

setelah dilepas segera akan kembali lagi ke bentuknya semula.

3. Keadaan Mata

Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan

kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya.

4. Keadaan daging

Keadaan daging menentukan sekali kualitasnya. Ikan yang masih baik

kesegarannya, dagingnya kenyal jika ditekan dengan jari maka bekasnya akan segera

kembali. Pada permukaan tubuhnya belum terdapat lendir yang menyebabkan

kenampakan ikan menjadi suram atau kusam dan tidak menarik.

5. Keadaan insang dan sisik

Warna insang dapat digunakan sebagai tanda apakah ikan masih keadaan segar

atau tidak segar lagi. Pada ikan yang masih segar, warna insangnya masih cerah.

Sebaliknya, ikan yang sudah tidak segar warna insangnya menjadi coklat gelap. Sisik

ikan juga merupakan tanda kesegaran ikan. Jika ikan bersisik, maka pada ikan yang

(32)

Berikut akan dijelaskan kriteria-kriteria ikan segar dan ikan busuk, dapat

[image:32.595.115.518.140.751.2]

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Kriteria Ikan Segar dan Ikan Busuk [30]

Parameter Ikan Segar Ikan Busuk

Mata Cemerlang, kornea bening, pupil hitam, mata cembung

Redup, tenggelam, pupil mata kelabu, tertutup lendir Insang Warna merah sampai merah tua,

cemerlang, tidak berbau

Warna pucat atau gelap, keabuan atau berlendir, bau busuk atau kotor

Lendir

Terdapat lendir alami menutupi ikan yang baunya khas menurut jenis ikan, rupa lendir cemerlang seperti lendir ikan hidup, bening

Berubah kekuningan dengan bau tidak enak atau

lendirnya sudah menghilang, berwarna putih

susu atau lendir pekat Kulit Cemerlang, belum pudar, warna

asli kontras

Rada pudar, bila pengesan mata kurang baik maka kulitnya retak dan mengering

Sisik Melekat kuat, mengilap dengan tanda warna khusus tertutup lendir yang jernih

Banyak yang lepas, tanda warna khusus memudar dan lambat laun menghilang Daging Sayatan daging cerah dan elastis,

bila ditekan tidak ada bekas jari

Lunak, tekstur berubah, bila ditekan ada bekasnya, daging telah kehilangan elastisitasnya

Rongga Perut Bersih dan bebas dari bau yang menusuk, tekstur dinding perut kompak, elastis tanpa ada diskolorisasi dengan bau segar yang karakteristik

Lunak, tekstur berubah, bila ditekan ada bekasnya, daging telah kehilangan elastisitasnya

Darah Darah sepanjang tulang belakang segar, merah, konsistensi normal

Darah sepanjang tulang belakang berwarna gelap, sering diikuti bau

Sayatan Bila ikan dibelah, daging melekat kuat pada tulang terutama pada rusuknya

Bila dibelah, daging mudah dilepas, otot lisis telah berjalan, tulang rusuk menonjol keluar

Bau Segar dan menyenangkan seperti air laut atau rumput laut, tidak ada bau yang tidak enak

Mulai dengan bau yang tidak enak, makin kuat menusuk lalu timbul bau busuk yang khusus dan menusuk hidung

Kondisi Bebas dari parasit apapun, tanpa luka atau kerusakan pada bagian ikan

Banyak terdapat parasit, badannya banyak luka atau patah

(33)

2.5.4 Kemunduran Mutu Ikan

Peristiwa post mortem adalah salah satu indikasi kemunduran mutu pada ikan. Ikan akan mengalami pengkerutan pada bagian daging akibat tidak adanya rangka

yang mampu menyangga bagian daging serta kontraksi otot yang terjadi pada daging.

Proses perubahan pada fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.

Penurunan tingkat kesegaran ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik,

kimia dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah

ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi [31].

2.5.4.1 Perubahan pre rigor mortis

Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di sekeliling tubuh ikan. Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, dan

secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi

darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen

didalam jaringan [31].

2.5.4.2 Perubahan rigor mortis

Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin

pada awal fase rigor. Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti

oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan

menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi

pada proses glikolisis.

Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada

daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah

(34)

pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan

basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase

rigor mortis berakhir [31].

2.5.4.3 Perubahan post rigor

Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap.

Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi

autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian

daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Proses penguraian

jaringan secara enzimatis (autolisis) ini berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati.

Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim katepsin (dalam daging),

enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari

mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan

protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan.

Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat

rendah. Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Protein dipecah

menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana yang menyebabkan peningkatan

dehidrasi protein. Protein terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton,

polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada

proses autolisis yang menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Penguraian

protein dan lemak karena proses autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan

penampakan ikan.

Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri

pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh

bakteri. Pertumbuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga

berjalan semakin cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan

bakteri lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim. Penguraian oleh

bakteri berlangsung secara intensif setelah fase rigor mortis berakhir, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan.

Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino,

seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asam -asam amino

(35)

Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea

dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator

pembusukan. Jenis bakteri yang umum ditemukan pada ikan antara lain

Pseudomona, Achrombacter dan Flavobacterium.

Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi lemak

sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna

daging ke arah coklat kusam. Aroma tengik ini dapat menurunkan mutu dan daya

jualnya [31].

2.5.5 Upaya Pengendalian Pertumbuhan Bakteri

Pengawetan pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk mengurangi

atau menghilangkan bakteri yang tergolong patogen dan penghasil racun pada bahan

makanan, ada empat macam metode utama dalam pengawetan bahan pangan

terhadap kebusukan karena kerja mikroorganisme, yaitu:

a. Perusakan mikroorganisme dengan panas atau radiasi ion dan perlindungan dari

perencanaan selanjutnya dengan pengemasan secara efektif.

b. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan berkadar air

normal dengan pendinginan, penambahan bahan pengawet kimia (termasuk

pengasapan dan perendaman dalam larutan garam) atau antibiotika, pengasaman,

penyimpanan dengan gas dan lain-lain.

c. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dengan mengurangi kadar air,

dengan demikian juga penurunan aktivitas air dengan cara pengeringan,

pembekuan (suhu rendah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme),

pemberian garam, gula, pengentalan dan lain-lain.

d. Menghilangkan mikroorganisme, misalnya penyaringan secara steril.

Pengawet ada dua yaitu pengawet kimia dan pengawet alami yang berfungsi

membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroorganisme

pembusuk bakteri dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses

pembusukan, fermentasi, pengasaman atau kerusakan komponen lain dari bahan

pangan.

1. Pengawet Kimia

(36)

• Asam benzoat dan garamnya

• Asam sorbat 2. Pengawet Alami

• Buah picung

• Lengkuas

• Kunyit

• Gambir

• Kitosan

• Biji kepayang [6]

2.6 PENGAWETAN IKAN

Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai

industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu. Baik buruknya penanganan

ikan segar akan mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai

bahan mentah untuk proses pengolahan lebih lanjut.

Dengan kandungan air cukup tinggi tubuh ikan merupakan media yang cocok

untuk kehidupan bakteri pembusuk atau mikroorganisme yang lain, sehingga ikan

sangat cepat mengalami proses pembusukan. Kondisi ini sangat merugikan karena

dengan kondisi demikian banyak ikan tidak dapat dimanfaatkan dan terpaksa harus

dibuang, terutama pada saat produksi melimpah. Oleh karena itu, untuk mencegah

proses pembusukan perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan

yang cepat dan cermat agar sebagian ikan yang diproduksi dapat dimanfaatkan.

Pengawetan merupakan usaha manusia untuk mempertinggi daya tahan dan

daya simpan ikan dengan tujuan agar kualitas ikan dapat dipertahankan tetap dalam

kondisi baik.

Cara-cara pengawetan dan pengolahan pada pascapanen perikanan dilakukan

berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

1. Tubuh ikan mengandung protein dan air cukup tinggi, sehingga merupakan media

yang baik bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan mikroorganisme yang lain.

2. Produksi ikan bersifat musiman, terutama ikan laut. Dengan kondisi demikian

pada suatu saat produksi ikan sangat melimpah sedangkan pada saat lain sangat

(37)

mampu memproses ikan dengan cepat dan cermat terutama pada saat produksi

sedang melimpah.

3. Kebutuhan manusia akan ikan tidak pernah mengenal musim. Setiap saat manusia

dapat membutuhkan ikan. Dengan dikembangkannya cara-cara pengawetan dan

pengolahan yang cepat dan cermat, daya tahan dan daya simpan ikan dapat lebih

lama sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia setiap saat.

Proses pengolahan dan pengawetan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara

seperti :

a. Menggunakan suhu tinggi.

b. Menggunakan suhu rendah.

c. Mengurangi kadar air.

d. Menggunakan zat antiseptik [32].

2.6.1 Bakteri

2.6.1.1 Pengertian Bakteri

Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata,

tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan nampak. Bahan –

bahan makanan yang biasanya mudah tercemar bakteri antara lain meliputi kue – kue

yang mengandung saus, susu, daging cincang dan daging panggang, ikan, unggas

yang diperdagangkan. Bakteri merupakan salah satu kelompok jasad renik yang

sangat penting yang berhubungan dengan bahan pangan, jenis bakteri beraneka

ragam, terdapat secara kosmopolit yaitu secara luas di alam bebas, dan berhubungan

dengan air, udara, tanah, hewan dan tumbuh - tumbuhan. Sebagian bakteri dalam

bahan pangan dapat menguntungkan, misalnya untuk kelangsungan proses

fermentasi, sedangkan sebagian lainnya dapat merugikan karena dapat menyebabkan

gangguan kesehatan (patogenik) [6].

2.6.1.2 Sumber Pencemar

Bakteri merupakan kelompok organisme yang sangat omnivora (memakan

segalanya). Mereka mampu melaksanakan proses-proses metabolisme dengan

memanfatkan segala macam sumber bahan makanan, mulai substrat anorganik

(38)

secara amitosis dengan membelah menjadi dua bagian (pembelahan biner). Waktu di

antara dua pembelahan sel disebut generation time dan inti berlainan untuk tiap jenis

bakteri, bervariasi antara 20 menit sampai 15 jam. Bakteri dalam bahan makanan

yang perlu diperhatikan adalah :

a. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit disebut pathogen atau bakteri penyakit

atau “food borne illness”.

b. Bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan bahan makanan.

c. Bakteri yang digunakan untuk produksi makanan [6]

2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri

Pertumbuhan bakteri pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan setiap

bakteri membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda, oleh karena itu jenis dan

jumlah bakeri yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan

juga berbeda, tergantung dari jenis pangan tersebut. Beberapa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan bakteri meliputi :

a. Kandungan gizi

Seperti halnya makhluk hidup lainnya, bakteri juga membutuhkan zat gizi

untuk pertumbuhannya, bahan makanan yang akan menjadi sumber energi dan

menyediakan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan sel.

b. Waktu

Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda, tergantung dari

spesies dan lingkungannya, tapi untuk kebanyakan bakteri berkisar antara 10 - 60

menit.

c. Suhu

Suhu merupakan faktor fisika yang sangat penting pengaruhnya terhadap

pertumbuhan dan kegiatan bakteri. Berdasarkan pada kisaran suhu pertumbuhannya,

bakteri dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1) Psikrofil

Suhu pertumbuhan minimum -5 oC – 0 oC, pertumbuhan optimum 5 oC – 15

o

C, suhu maksimum 15 oC – 20 oC.

2) Mesofil

(39)

3) Termofil

Suhu pertumbuhan minimum 25 oC – 45 oC, pertumbuhan optimal 45 oC – 55

o

C, suhu pertumbuhan maksimumnya 60 oC- 80 oC.

d. Nilai pH

Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH netral sekitar pH 5,0-8,0. Pada

pH dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik.

e. Aktivitas air

Aktivitas air menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang dapat digunakan oleh

bakteri untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai kebutuhan aktivitas air yang

berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Aktivitas air berperan dalam metabolik dalam

sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi.

f. Ketersediaan oksigen

Bakteri mempunyai kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untuk

pertumbuhannya. Beberapa kelompok bakteri dapat dibedakan sabagai berikut:

1) Organisme aerobik, dimana tersedianya oksigen dan penggunaannya

dibutuhkan untuk pertumbuhan.

2) Organisme anaerobik, tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen ini dan

bahkan oksigen ini dapat merupakan racun bagi organisme tersebut.

3) Organisme anaerobik fakultatif, dimana oksigen akan digunakan apabila

tersedianya, apabila oksigen tidak tersedia organisme akan tetap tumbuh dalam

keadaan anaerobik.

4) Organisme mikro aerofilik, yaitu mikroorganisme yang lebih dapat tumbuh

pada kadar oksigen yang lebih rendah daripada kadar oksigen dalam atmosfer.

Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau

menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya

terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kerusakan tersebut dapat

disebabkan oleh fungi, bakteri dan mikroba lainnya. Pertumbuhan bakteri dicegah

atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan [6].

2.6.3 Mekanisme Kerja Pengawet Atau Antimikroba

Mekanisme zat antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan

(40)

1. Merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat

pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh.

2. Mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran

nutrient dari dalam sel, misalnya yang disebabkan oleh senyawa fenolik.

3. Menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol.

4. Menghambat kerja enzim di dalam sel.

Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu

senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan pangan.

Semakin kuat penghambatannya semakin efektif digunakan. Kerusakan yag

ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap) atau

mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu komponen akan

bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi dan kultur yang

digunakan.

Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Gangguan pada senyawa penyusun dinding sel.

2. Peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan

komponen penyusun sel.

3. Penginaktivasi enzim.

4. Destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.

a. Menggangu pembentukan dinding sel

Mekanisme ini disebabkan karena adanya akumulasi komponen lipofilat yang

terdapat pada dinding atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan

komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antimikroba

dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi rendah molekul-molekul

phenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tak terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan dapat larut

pada fase lipid dari membran bakteri.

Beberapa laporan juga meyebutkan bahwa efek penghambatan senyawa

antimikroba lebih efektif terhadap bakteri Gram positif daripada dengan bakteri gram

negatif. Hal ini disebabkan perbedaan komponen penyusun dinding sel kedua

(41)

lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat, sedangkan bakteri gram

negatif komponen dinding selnya mengandung 5 - 20 % peptidoglikan selebihnya

terdiri dari protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein.

b. Bereaksi dengan membran sel

Komponen bioaktif dapat mengganggu dan mempengaruhi integritas membran

sitoplasma, yang dapat mengakibatkan kebocoran materi intraseluler, seperti

senyawa phenol dapat mengakibatkan lisis sel dan meyebabkan deaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat, dan menghambat

ikatan ATP-ase pada membran sel.

c. Menginaktivasi enzim

Mekanisme yang terjadi menunjukkan bahwa kerja enzim akan terganggu

dalam mempertahankan kelangsungan aktivitas mikroba sehingga mengakibatkan

enzim memerlukan energi yang besar untuk mempertahankan kelangsungan

aktivitasnya. Akibatnya energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan menjadi

berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat atau jika kondisi ini

berlangsung lama akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba terhenti (inaktif).

Efek senyawa antimikroba dapat menghambat kerja enzim jika mempunyai spesifitas

yang sama antara ikatan komplek yang menyusun struktur enzim dengan komponen

senyawa antimikroba.

d. Menginaktivasi fungsi material genetik

Komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan asam nukleat (RNA dan

DNA), menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan

menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga terganggunya proses

pembelahan sel untuk pembiakan [33].

2.7 ANALISA EKONOMI

Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri

kimia antara lain sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab,

pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, bidang farmasi, pelarut lemak,

dan pengawet makanan. Kitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa dan

(42)

bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu

menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.

Produksi kitosan dengan bahan baku Cangkang bekicot dilakukan dengan

tahapan sebagai beikut:

1. Persiapan sampel yaitu cangkang bekicot.

2. Ekstraksi Kitin (Demineralisasi, Deproteinasi)

3. Deasetilasi kitin menjadi kitosan

4. Karakterisasi kitosan

Kitosan yang di dapat kemudian diaplikasikan sebagai bahan pengawet ikan.

Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan

proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat

memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan.

Berikut merupakan rincian biaya pembuatan larutan pengawet kitosan yang

telah dilakukan selama penelitian dengan basis bahan baku cangkang 50 gr dan

diperkirakan akan menghasilkan kitosan 10 gr..

Biaya ekstraksi kitin Rp 7.000,-

Deasetilasi Rp 12.000,-

Analisa Rp 75.000,-

Rp 94.000,-

Dari rincian biaya yang telah dilakukan di atas maka total biaya yang

diperlukan untuk produksi kitosan dengan bahan baku cangkang bekicot adalah Rp

94.000,-.

Harga kitosan di pasaran, khususnya kota medan sekitar 550.000,-/kg. Dengan

demikian kitosan untuk 1 gr memiliki harga 550/g. Oleh karena itu, hasil ekstraksi

cangkang bekicot sebanyak 50 gr memperoleh kitosan sebesar 10 gr, sehingga harga

jual hasil ekstraksi cangkang bekicot sebesar 5.500,-. Jika dibandingkan harga

penjualan kitosan dengan biaya pengeluaran untuk menghasilkan kitosan belum

mendapatkan keuntungan. Hal ini disebabkan pembuatan kitosan ini masih dalam

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Proses Industri Kimia Departemen

Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini

dilakukan selama lebih kurang 3 bulan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN

3.2.1 Bahan Penelitian

Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain:

1. Cangkang Bekicot (Achatina fulica) sebagai bahan pembuatan kitosan.

2. Ikan Kembung (Rastrelliger sp) dan Ikan Lele (Clarias batrachus) sebagai bahan yang digunakan dalam pengawetan.

3. Natrium Hidroksida (NaOH)

4. Asam Klorida (HCl)

5. Asam Asetat (CH3COOH)

6. Aquadest (H2O)

7. Trichloroacetic Acid (TCA) 8. Asam Borat (H3BO3)

9. Kalium Karbonat (K2CO3)

3.2.2 Peralatan Penelitian

Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain:

1. Stirrer 9. Hot Plate 17. Termometer

2. Erlenmeyer 10. FTIR

3. Beaker Glass 11. Ayakan 50 mesh

4. Gelas Ukur 12. Cawan conway

5. Labu leher tiga 13. Cawan porselen

6. Ball Mill 14. furnace

7. Oven 15. Desikator

(44)

3.3 PROSEDUR PENELITIAN

3.3.1 Persiapan Sampel

Cangkang bekicot dicuci dengan air hingga bersih, kemudian dikeringkan di

bawah sinar matahari. Cangkang yang telah bersih dihaluskan untuk mendapatkan

ukuran maksimum dari ayakan 50 mesh [24].

3.3.2 Pembuatan Kitin

3.3.2.1 Deproteinasi

Ke dalam labu alas bulat 250 ml yang berisi serbuk cangkang bekicot

ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 10:1 (v/b), kemudian

dipanaskan sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 2 jam pada temperatur

65 oC. Setelah dingin, disaring dan dinetralkan dengan aquadest. Padatan yang diperoleh dikeringkan dalam oven 60 oC hingga kering [24].

3.3.2.2 Demineralisasi

Serbuk cangkang bekicot hasil deproteinasi ditambah larutan HCl 1 N dengan

perbandingan 15:1 (v/b) dalam labu alas bulat 500 ml dan direfluks pada suhu 40 oC

selama 30 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin, disaring dan padatan

dinetralkan dengan aquadest, kemudian dikeringkan dalam oven 60 oC [24].

3.3.3 Deasetilasi

Menambahkan NaOH 60% dengan perbandingan 20:1 (v/b) dan merefluksnya

pada suhu 100 – 140 oC selama 1 jam. Setelah dingin disaring dan padatan yang

diperoleh dinetralkan dengan akuades. Padatan kemudian dikeringkan dalam oven

pada suhu 80 oC selama 24 jam dan kitosan siap dianalisis. Kitosan yang diperoleh

diidentifikasi menggunakan instrumen spektrofotometer inframerah [24].

3.3.4 Karakterisasi Kitosan

3.3.4.1 Analisa Kadar Air

Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan

sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan

(45)

selama 30 menit dalam desikator, setelah dingin beratnya ditimbang. Sampel

sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan kemudian dikeringkan

dalam oven selama 6 jam pada suhu 100 oC sampai 102 oC. Cawan kemudian

didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali

[5]. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus:

Kadar air (%) = �1−�2

� x 100 % [25] Dimana : B = Berat sampel (gram)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (gram)

B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (gram)

3.3.4.2 Analisa Kadar Abu

Cawan kosong dipanaskan dalam oven didinginkan dalam desikator selama 30

menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dan diletakkan

dalam cawan, kemudian dimasukkan dalam furnace. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu pada suhu 450 oC dan pada suhu 550 oC, pengabuan dilakukan sekitar 2-3

jam. Cawan kemudian didiinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan kemudian

ditimbang [5]. Persentase kadar abu dapat dihitung dengan rumus:

Kadar abu (%) = ����� ��� (�)

����� ������ (�) x 100 % [25]

3.3.4.3 Analisa Derajat Deasetilasi

Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh

spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0) dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur

dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus:

� =��� ��

� � 100% [26]

Keterangan �0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak

tertinggi dengan panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1.

P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang

gelombang 1655cm-1 atau 3450 cm-1.

Perbandingan absorbansi pada 1655 cm-1 dengan absorbansi 3450 cm-1

(46)

absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung

dengan rumus:

% N - deasetilasi = �1− � 1655 � 1

�3450 � 1,33� x 100% [26] Keterangan :

A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1

A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1

1,33 = Konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna.

3.3.5 Pemanfaatan Kitosan Sebagai Pengawet Ikan

Untuk mencari optimalisasi kitosan sebagai bahan pengawet ikan dengan cara

melarutkan kitosan (w/v) kedalam asam asetat 1% (v/v). Sampel ikan masing-masing

direndam atau disemprot dalam larutan kitosan dengan konsentrasi yang bervariasi

dengan perbandingan 1 kg ikan/1 L larutan kitosan, lalu didiamkan pada suhu

ruangan [1].

3.3.6 Analisa Ikan Segar

3.3.6.1 Analisa pH

Penentuan pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sampel yang

telah dirajang kecil-kecil sebanyak 10 g ditimbang dan dihomogenkan (diblender)

dengan 20 mL aquades selama 1 menit. Dituangkan ke dalam beaker glass 100 ml, kemudian diukur pHnya [27].

3.3.6.2 Analisa Total Volatile Bases (TVB)

Uji TVB-N dilakukan berdasarkan SNI-01-4495-1998. Sampel ikan yang telah

dihaluskan ditimbang sebanyak 2 g. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam blender

dan ditambah 75 ml larutan TCA 7% dan dihaluskan kembali selama 1 menit.

Selanjutnya sampel disaring dan diuji kadar TVB-Nnya. 1 ml (H3BO3) 1%

dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway, kemudian filtrat sampel

dimasukkan ke bagian luar cawan conway. Selanjutnya, cawan conway ditutup, lalu

ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh pada bagian luar. Bagi blanko, filtrat diganti

dengan larutan TCA 5%. Inkubasi sampel pada suhu 35oC selama 2 jam. Setelah

(47)

dengan HCl 0,02 N sampai berwarna merah muda seperti pada blanko. Hasil titrasi

dicatat dan dimasukkan dengan perhitungan [28].

TVB (mgN%) = (VSampel- Vblanko) x N HCl x 14,007 x 100 [28]

Berat sampel

Dimana:

VSampel = titrasi sampel (ml)

Vblanko = titrasi blanko (ml)

N HCl = normalitas HCl

14,007 = berat atom nitrogen

3.4 FLOWCHART PENELITIAN

[image:47.595.132.477.120.583.2]

3.4.1 Persiapan Sampel

Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Sampel

Cangkang Bekicot dicuci bersih dengan air hingga bersih

Lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 8-12 jam

Selesai Mulai

(48)

3.4.2 Pembuatan Kitin

[image:48.595.113.516.101.617.2]

3.4.2.1 Deproteinasi

Gambar 3.2 Flowchart Deproteinasi

Mulai

Masukkan 50 gram serbuk cangkang bekicot

dan NaOH 3,5% dalam labu alas bulat dengan

perbandingan 1 : 10

Campuran dipanaskan dan diaduk pada suhu 65 oC selama 2 jam

Saring slurry dengan kertas saring Whatman No.1

Endapan yang diperoleh dicuci dengan aquadest hingga pH netral

Keringkan endapan dalam oven pada suhu

60 oC hingga kering

Selesai

(49)
[image:49.595.91.511.92.563.2]

3.4.2.2 Demineralisasi

Gambar 3.3 Flowchart Demineralisasi

Endapan yang diperoleh dicuci dengan aquadest hingga pH netral

Keringkan dalam oven pada suhu

60 oC hingga kering

Selesai Mulai

Serbuk cangkang bekicot hasil deproteinasi dan

HCl 1 N dalam labu alas bulat dengan

perbandingan 1 : 15

Campuran dipanaskan dan diaduk pada suhu 40 oC selama 30 menit

Saring slurry dengan kertas saring Whatman No.1

(50)

3.4.3 Deasetilasi

Gambar 3.4 Flowchart Deasetilasi

Mulai

Masukkan 10 gram kitin dan NaOH 60% ke

dalam labu alas bulat dengan perbandingan 1 : 20

Campuran dipanaskan dan diaduk pada suhu 140 oC selama 1 jam

Endapan yang diperoleh dicuci dengan aquadest

hingga pH netral

Kitosan dikeringkan di dalam oven pada suhu 80

o

C hingga kering

Apakah berat sudah konstan?

Ya

Tidak

Selesai

Saring slurry dengan kertas saring Whatman No.1

(51)

3.4.4 Karakterisasi Kitosan

3.4.4.1 Analisa Kadar Air

Gambar 3.5 Flowchart Analisa Kadar Air

3.4.4.2 Analisa Kadar Abu

Gambar 3.6 Flowchart Analisa Kadar Abu

Mulai

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram

Sampel diletakkan di cawan porselin

Dikeringkan dengan oven pada suhu 100-102

o

C selama 6 jam.

Didinginkan dalam desikator selama 30 menit

Diulangi hingga berat konstan

Selesai

Mulai

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram

Sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin

Sampel dipanaskan dalam furnace hingga suhu 450-550 oC selama 2-3 jam

(52)

3.4.5 Proses Pengawetan Ikan

Gambar 3.7 Flowchart Proses Pengawetan Ikan

3.4.6 Analisa Ikan Segar

3.4.6.1 Analisa pH

Gambar 3.8 Flowchart Analisa pH pada Ikan Segar

Mulai

Kitosan (w/v) dilarutkan kedalam asam

asetat 1% (v/v)

Sampel ikan kemudian ditimbang

Sampel ikan direndam atau disemprot dalam larutan kitosan 0,5%, 1,5% dan 2,5% dengan perbandingan 1:1 lalu didiamkan selama

beberapa 5 jam, 10 jam dan 15 jam pada suhu ruangan

Selesai

Mulai

Sampel ikan dirajang kecil-kecil lalu ditimbang sebanyak 10gram

Lalu diblender dengan menambahkan 20 ml aquades selama 1 menit

Ditua

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian – Penelitian Sebelumnya
Tabel 2.1 Beberapa organisme yang mengandung kitin [8],[12].
Gambar 2.1 Anatomi Bekicot (Achatina fulica) [13]
Gambar 2.3 Struktur Kimia Kitosan [16]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetanui pengaruh berbagai tingkat energi terhadap konsumsi makanan harian maksimum benih ikan lele (Clarias batraehus

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh substitusi tepung tulang ikan lele (Clarias batrachus) pada pembuatan biskuit terhadap kadar kalsium, tingkat kekerasan biskuit

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh penambahan tepung tulang ikan lele (Clarias batrachus) pada pembuatan

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TULANG IKAN LELE (Clarias Batrachus) PADA PEMBUATAN MIE BASAH TERHADAP KADAR KALSIUM,.. ELASTISITAS DAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi parasit dan mengetahui pengaruh tingkat prevalensi parasit yang ditemukan pada ikan lele (Clarias batrachus) di wilayah yang

Oleh karena itu, tingkat kelangsungan hidup Ikan lele (Clarias batrachus) lebih kuat ketahanan tubuhnya dalam merespon arus listrik dibandingkan ikan lemon

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kerusakan pada lamela insang ikan lele ( Clarias batrachus ) berupa edema, hiperplasia, dan fusi lamela meningkat

Oleh karena itu penelitian dengan judul “Potensi Pakan X terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Lele Clarias batrachus dalam Pelestarian Sumber Daya Alam Hewani” menjadi sangat perlu untuk