• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Sidang Judicial Review Mahka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Sidang Judicial Review Mahka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Akhir Hukum Tentang Lembaga-Lembaga

Negara

Pelaksanaan Sidang

Judicial Review

Mahkamah

Agung yang Tertutup Menurut Peraturan

Perundang-Undangan

Disusun Oleh :

Nama : Mitha Claudia

NPM : 110110130317

Dosen : Dr. Hernadi Affandi, S.H. LL.M.

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jalan Dipati Ukur no. 35, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

(2)

LATAR BELAKANG

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu kekuasaan yang dimiliki suatu badan penyelenggara kehakiman untuk mengadili suatu tuntutan hukum yang diajukan. Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka. Dalam penjelasan UUD 1945pasal 24 dan 25 menguraikan :

“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari kekuasaan pemerintah.”.1

Kekuasaan kehakiman adalah ciri utama dari negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat, rule of law)2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum.

Apabila merujuk pada penjelasan UUD 1945 asli dan penjelasan UU No.14 Tahun 1970 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut mengenai kekuasaan kehakiman. Pertama, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara mengacu pada teori Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Kedua, kekuasaan kehakiman harus merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas). Dalam arti luas yaitu bukan berarti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan saja, tetapi harus bebas dari kekuasaan pihak lain di luar pemerintahan. Contohnya, pengaruh-pengaruh dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.3Ketriga, kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara, dikenal 2 lembaga peradilan yang menjadi badan puncak kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA ) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.4

1

Penjelasan UUD 1945 pasal 24 dan 25

2

Rosjidi Ranggawidjaja, Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara di Indonesia, Bandung:Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012.

3

Ibid.

4

(3)

Kedua lembaga ini, MA dan MK sama-sama memiliki wewenang untuk mengadakan judicial review terhadap UU. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 31 ayat 1 UU No 14 Tahun 1985). Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 10 ayat 1 butir a UU No 24 Tahun 2003).

Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer.5 Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang (the guardian of Indonesian law).6

Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ditentukan bahwa

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang -undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”

Dengan perkataan lain, oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas hanya diamanati dengan dua kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii) menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang.7Yang dijadikan batu penguji oleh Mahkamah Agung adalah undang-undang, bukan UUD. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengujian norma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah pengujian legalitas peraturan (judicial review on the legality of regulation).8

Seperti yang kita ketahui, salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain ( pasal 13 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ). Dalam hal judicial review, sidang pemeriksaan pengadilan harus menganut asas sidang terbuka untuk umum karena di undang-undang, sidang yang bersifat tertutup terbatas pada sidang perceraian, sidang anak dibawah umur, dan sidang tindakan asusila. Hal ini berarti secara implisit menyatakan judicial review mempunyai sifat terbuka dalam persidangan.

5

(4)

Tetapi, dalam kenyataannya banyak pihak yang tidak mengetahui Mahkamah Agung melakukan sidang judicial review mengenai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang secara tertutup. Hal ini menjadi masalah dikarenakan tertutupnya sidang membuat kesan persidangan tidak transparan karena pihak yang mengajukan judicial review tidak dapat melihat persidangan dan tidak mengetahui apakah ada kesalahan yang diperbuat hakim Mahkamah Agung dalam sidang. Terlebih lagi, materi judicial review berkaitan dengan peraturan perundang-undangan di bawah UU seperti peraturan pemerintah, peraturan daerah yang merupakan kebijakan pemerintah yang berdampak pada masyarakat. Dikarenakan sidang judicial review MA tertutup, maka upaya hukum dilakukan Muhammad Hafidz, Wahidin dan Solihin yaitu menggugat Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi dikarenakan merasa dalam praktik penyelenggara pemeriksaan kepastian hukum di pengadilan dilakukan secara tertutup. Sehingga indepedensi dan imparsialitas pengadilan terbelenggu dan hal ini bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.9

Sedangkan pihak Mahkamah Agung menegaskan tidak pernah menutup-nutupi proses persidangan uji materi (judicial review) peraturan perundangan di bawah undang-undang untuk publik. Hanya saja, selama ini proses HUM (Hak Uji Materiil) di MA lebih bersifat administratif, sehingga tidak memerlukan keterangan atau pemeriksaan dari para pihak yang terlibat.10

IDENTIFIKASI MASALAH

Agar memudahkan penulis menganalisa permasalahan ini, maka dilakukan pembatasan masalah yang diteliti. Penulis mencoba melakukan peninjauan dan analisa mengenai :

1. Analisa mengenai dasar hukum sifat proses beracara di Mahkamah Agung

2. Analisa aspek-aspek yang menjadi permasalahan dalam sidang judicial review Mahkamah Agung berdasarkan UUD, UU, Peraturan Terkait.

9

Andi Saputra,Sidang Judicial Review Tertutup untuk Umum, MA Digugat ke MK,

http://news.detik.com/read/2015/03/12/110003/2856640/10/1/sidang-judicial-review-tertutup-untuk-umum-ma-digugat-ke-mk,diakses 03 Juni 2015, jam 22.06 WIB.

10

Agus Sabhani, Sidang HUM Terbuka atau Tertutup? Ini Argumentasi MA,

(5)

PEMBAHASAN

1. Dasar Hukum Sifat Proses Beracara di Mahkamah Agung

Hal ini terkait mengenai tidak terbukanya mekanisme proses beracara dalam perkara uji materiil (judicial review) di Mahkamah Agung. Dalam UU Mahkamah Agung, tidak menjelaskan secara rinci mengenai proses beracara judicial review. Hal ini menimbulkan kritik dari beberapa kalangan yang menilai bahwa prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung memiliki persoalan terkait dengan keterbukaan penanganan perkara, pelaksanaan persidangan, dan akses permohonan.11 Salah satu yang mengkritik prosedur tersebut adalah Komnas Perempuan yang menuntut adanya proses pemeriksaan permohonan uji materil oleh Mahkamah Agung yang terbuka dan akuntabel.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian. Pengaturan mengenai prosedur pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang disinggung dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Hal ini diatur dalam pasal 31A yang disisipkan diantara pasal 31 dan pasal 32.12Dalam pasal 31A diatur mengenai prosedur administrasi permohonan pengujian peraturan perundang-undangan, subjek mengenai subjek Pemohon, kemudian waktu dimulainya pemeriksaan bukan waktu proses pemeriksaan, kemudian amar putusan, dan pemuatan putusan dalam Berita Negara.13 Tidak dijelaskan mengenai ketentuan proses beracara dalam persidangan seperti pemeriksaan peraturan perundang-undangan yang dipermasalahkan di persidangan, penjelasan dari pemohon dan termohon mengenai

11

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 30/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung [Pasal 31A ayat (4)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kamis, 7 Mei 2015 Pukul 10.43 – 11.43 WIB

12

UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

13

(6)

permasalahan peraturan perundang-undangan yang diuji, sanksi apabila ada kesalahan dalam pemeriksaan peraturan perundang-undangan di persidangan dalam berbagai aspek.

Dalam hal ini, proses beracara dalam proses persidangan judicial review diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 mengenai Hak Uji Materiil.14hal ini bertujuan untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 31A ayat (7) UU MA, Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, pada tahun 2011, Perma No 1 Tahun 2004 digantikan dengan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Perma 1/2011) tertanggal 30 Mei 2011.15 Dengan demikian, pada saat ini, dalam melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, MA mengacu pada mekanisme yang diatur dalam Perma tersebut. Tetapi tidak dijelaskan secara tertulis apakah proses persidangan di Mahkamah Agung yang berlangsung menggunakan sistem terbuka atau sistem tertutup. Pasal 5 ayat (2) Perma hanya menyebutkan bahwa majelis hakim agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang HUM tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tetapi, apabila dianalisa secara tersirat dalam pasal 5 Perma No 1 Tahun 2004 maka dapat disimpulkan proses persidangan dilakukan secara tertutup.16 Dalam BAB III tentang Pemeriksaan Dalam Persidangan hanya ada 1 pasal yang mengatur proses sidang judicial review tetapi secara tertutup17, yaitu sebagai berikut :

1. Ketua bidang tata usaha negara atas nama Ketua MA menetapkan majelis hakim agung yang akan memeriksa dan memutus permohon keberatan tentang hak uji materiil tersebut. 2. Majelis hakim agung memeriksa dan memutus permohonan hak uji materiil dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

14

Agus Sabhani, op.cit, diakses tanggal 6 Juni 2015 jam 21.34 WIB.

15

Syahuri, Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,2014, hal. 31

16

Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004

17

Andi Saputra, Ini 2 Ayat Pembenar Sidang Judicial Review di MA Tertutup untuk Umum,

(7)

2. Aspek yang Menjadi Permasalahan Dalam Sidang Judicial Review Mahkamah Agung

Ada 2 aspek yang menjadi permasalahan utama dalam sidang judicial review Mahkamah Agung.

1) Proses Pemeriksaan Permohonan Tidak Melibatkan Para Pihak Secara Langsung Dalam Persidangan.

Pemohon maupun Termohon hanya berhubungan secara tertulis atau surat dengan Mahkamah Agung pada saat pengajuan permohonan oleh Pemohon dan penyampaian jawaban oleh Termohon. Majelis hakim tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai permohonan maupun jawaban dari Termohon atau pembentuk peraturan perundang-undangan terkait pertimbangannya dalam memutus perkara tersebut hanya berdasarkan pada dokumen yang disampaikan oleh para pihak.18

Dalam analisa saya, ketertutupan MA dalam pemeriksaan permohonan judicial review dalam persidangan tidak sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU RI No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (1) mengenai asas “sidang yang terbuka untuk umum”. Apabila sidang judicial review diadakan secara tertutup, hal ini melanggar pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dimana pihak pemohon maupun termohon berhak menyaksikan jalannya pemeriksaan sidang judicial review yang berguna untuk melihat transparansi pemeriksaan dan pengambilan putusan hakim sehingga tidak bersifat sepihak saja tanpa mempertanyakan pendapat pemohon dan termohon. Menurut Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, apabila masyarakat tidak pernah mengetahui proses uji materi sama saja telah menciderai hak masyarakat untuk memperoleh informasi dan melanggar asas tranparansi dan akuntabilitas yang selama ini digaungkan MA sendiri.19Masyarakat yang mengajukan judicial review tentunya berharap bisa mendapatkan transparansi proses pemeriksaan di persidangan dan tidak hanya menetapkan majelis hakim hakim agung yang akan memeriksa dan memutus permohon keberatan tentang hak uji materiil tersebut.

18

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,op.cit

19

(8)

Dalam persidangan juga dijelaskan majelis hakim tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai permohonan maupun jawaban dari Termohon atau pembentuk peraturan perundang-undangan terkait pertimbangannya dalam memutus perkara tersebut hanya berdasarkan pada dokumen yang disampaikan oleh para pihak. Hakim memiliki wewenang memutus hak uji materiil, tetapi dalam memeriksa peraturan perundang-undangan yang diujikan, tidak serta merta dilakukan hakim sendiri dalam mengambil pertimbangan. Hakim harus melibatkan termohon dan pemohon sebagai pertimbangan dalam memeriksa, tidak bisa dinyatakan bahwa hakim menentukan secara mutlak memeriksa judicial review tanpa terlibatnya kesaksian dan pendapat pemohon dan termohon di persidangan. apabila

Selain melanggar UU Kekuasaan Kehakiman, pemeriksaan permohonan yang tidak melibatkan pihak secara langsung dalam persidangan bertentangan dengan pasal 24 ayat (1)

UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 24 ayat (1) dijelaskan “kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.20Secara tersirat, kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan yang berguna menegakkan hukum dan keadilan yang berhak diperoleh masyarakat yang berkeberatan dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah (baik pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah). Objek judicial review Mahkamah Agung adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang notabene merupakan kebijakan pemerintah yang dibuat aturan perundang-undangan untuk legalitasnya. Perlu kita ketahui, banyak sekali peraturan pemerintah dan peraturan daerah yang tidak berpihak pada rakyat namun berpihak pada pihak tertentu dan tidak sesuai dengan undang-undang yang mengatur dan menjadi landasan peraturan pemerintah tersebut. Sehingga demi mencari jalan keluar demi keadilan masyarakat yang dirugikan karena peraturan tersebut diajukanlah judicial review ke Mahkamah Agung. Pemohon tentunya berharap putusan judicial review peraturan perundang-undangan diambil dengan seadil-adilnya. Namun, apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan hanya bersifat administratif dan jalannya sidang tidak melibatkan termohon dan pemohon dalam pemberian pendapat dan menjadikan acuan bagi hakim dan hakim Agung untuk mengambil putusan, maka judicial review sama saja dianggap tidak sah karena pertimbangan pengambilan putusan hanya berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh para pihak tanpa melibatkan para pihak bersaksi dan mengutarakan pendapatnya di persidangan.

20

(9)

2) Penyelenggaraan Sidang Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang Dilakukan secara Tertutup

Ada perbedaan pendapat mengenai Penyelenggaraan sidang pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara tertutup oleh beberapa pihak. Mahkamah Agung selaku badan peradilan yang mempunyai wewenang menguji secara materiil terhadap peraturan-perundang di bawah undang-undang21 menyatakan pelaksanaan judicial review dilakukan secara tertutup karena judicial review bersifat administratif saja.Hal ini dinyatakan berdasarkan pernyataan Mahkamah Agung (MA) yang menegaskan tidak pernah menutup-nutupi proses persidangan uji materi (judicial review )peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk publik. Hanya saja, selama ini proses Hak Uji Materiil di MA lebih bersifat administratif, sehingga tidak memerlukan keterangan atau pemeriksaan dari para pihak yang terlibat.22Mahkamah Agung menggunakan dasar Perma Nomor 1 Tahun 2011 mengenai Hak uji Materiil. Apabila dianalisa secara eksplisit, dapat disimpulkan ada dua ayat pembenar sidang judicial review dilakukan secara tertutup.23

Pendapat berbeda menyatakan bahwa proses persidangan judicial review yang tertutup ini dinilai cacat hukum dikarenakan menurut Pasal 13 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan asas keterbukaan dalam sidang.24 Sehingga dapat disimpulkan, semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain. Dan di ayat 3 diatur putusan batal demi hukum jika melanggar prinsip terbuka untuk umum tersebut.

Mereka menganggap dengan prosedur persidangan yang bersifat tertutup maka bertentangan dengan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan putusan yang berlaku dapat batal demi hukum karena melanggar ketentuan UU yang terkait. Mereka mempunyai latar belakang mengenai sidang judicial review harus bersifat terbuka. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang dibahas merupakan peraturan yang berasal dari kebijakan pemerintah dan penerapannya berdampak pada rakyat. Hal ini menyebabkan

21

UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, op.cit.

22

Agus Sabhani, op.cit, diakses tanggal 5 Juni 2015 jam 14.49 WIB

23

Andi Saputra,op.cit, diakses tanggal 6 Juni 2015 jam 22.40 WIB

24

(10)

dalam persidangan rakyat selaku pemohon dapat menyampaikan hal-hal yang dapat menjadi salah satu petunjuk bagi hakim dan hakim agung dalam mengambil putusan beserta termohon, yaitu pembuat peraturan perundang-undangan juga harus dihadirkan agar ada titik temu dan putusan tidak bersifat satu pihak (hanya melihat peraturan perundang-undangan tanpa pertimbangan dari pihak pemohon dan termohon yang memberi kesaksian dalam persidangan).

Menurut analisa saya, persidangan judicial review yang dilakukan secara tertutup melanggar UUD 1945 dan UU No 48 Tahun 2004. Walaupun dalam PERMA sebagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 dan UU MA mengatur mekanisme hak uji materiil dinyatakan secara eksplisit bahwa sidang judicial review bersifat tertutup dan bersifat administratif. Namun dalam UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa sidang harus bersifat terbuka25 kecuali UU menentukan lain, dan dalam UU MA tidak diatur bahwa persidangan judicial review MA bersifat tertutup sehingga mengacu pada UU di atasnya yaitu UU Kekuasaan Kehakiman, sidang judicial review harus bersifat terbuka.

Sedangkan apabila dikaitkan dengan UUD 1945, pasal 24 ayat (1) mengenai kekuasaan kehakiman dijelaskan bahwa adanya kekuasaan kehakiman bagi badan peradilan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Apabila dikaitkan dengan PERMA No 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil maka PERMA bertentangan dengan UUD 1945. Dalam PERMA dijelaskan bahwa majelis hakim agung yang akan memeriksa dan memutus permohon keberatan tentang hak uji materiil tersebut dan pemeriksaan hanya bersifat administratif dimana dalam pemeriksaan dalam persidangan tidak melibatkan pihak pemohon dan termohon. Hal ini bertentangan dengan tujuan masyarakat mengajukan judicial review yaitu untuk memperoleh penegakkan hukum dan keadilan yang seadil-adilnya sehingga tidak memihak pihak tertentu.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari analisa saya adalah :

Dalam UU Mahkamah Agung tidak dijelaskan mengenai mekanisme beracara dalam sidang hak uji materiil (HUM) dan pengaturan beracara didelegasikan pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

25

(11)

Dalam Peraturan Mahkamah Agung tidak dijelaskan secara tertulis mengenai sifat sidang judicial review Mahkamah Agung, tetapi secara eksplisit dapat disimpulkan sifat sidang judicial review adalah tertutup berdasarkan pasal 5 PERMA No 1 Tahun 2011.

Ada 2 aspek yang menjadi permasalahan utama dalam sidang judicial review Mahkamah Agung. Pertama, proses pemeriksaan permohonan tidak melibatkan para pihak secara langsung dalam persidangan. Kedua, Penyelenggaraan Sidang Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang Dilakukan secara Tertutup.

Peraturan Mahkamah Agung tidak dapat menjadi acuan Mahkamah Agung apabila ada pasal dan ayat dalam PERMA bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya (UUD dan UU).

SARAN

Adapun saran dari penulis yaitu Mahkamah Agung segera merubah sifat persidangan judicial review dari tertutup menjadi terbuka. Hal ini dikarenakan materi perundang-undangan yang diujikan adalah peraturan perundang-perundang-undangan yang berupa peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, dan peraturan walikota yang merupakan kebijakan pemerintah dan berlangsungnya peraturan berdampak pada rakyat. Mahkamah Agung jangan materi judicial review bersifat administratif saja tanpa melibatkan pihak pemohon dan termohon dalam persidangan untuk menyampaikan pendapat dan menjadi pertimbangan hakim dan hakim agung mengambil keputusan.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ranggawidjaja, Rosjidi, Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara di Indonesia, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012.

Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Syahuri, Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,2014.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi., Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006.

Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang No 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

(13)

Andi Saputra, Ini 2 Ayat Pembenar Sidang Judicial Review di MA Tertutup untuk Umum, http://news.detik.com/read/2013/08/02/082219/2322088/10/ini-2-ayat-pembenar-sidang-judicial-review-di-ma-tertutup-untuk-umum

Agus Sabhani, Sidang HUM Terbuka atau Tertutup? Ini Argumentasi MA,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5506614c57843/sidang-hum-terbuka-atau-tertutup-ini-argumentasi-ma

LAINNYA

Referensi

Dokumen terkait

pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh badan pelaksana paling lambat

utama lainnya seperti bangunan dan konstruksi, maka akan makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan wilayah (Hidayat, 2011). Kemudian selanjutnya pada tahun 2012 pada

Hasil dari penelitian ini adalah terciptanya sebuah alat pemberi pakan ikan otomatis untuk membantu menyelesaikan masalah pemberian pakan pada pembudidayaan ikan

Dengan proses verifikasi peserta yang lebih kuat, diharapkan mereka yang menjadi peserta Kartu Prakerja 2021 adalah kelompok masyarakat 40 persen terbawah atau masyarakat

Inti dari permasalahan penelitian ini adalah PT. Salah satu penurunan kinerja karyawan adalah kurangnya kedisiplinan para karyawannya, hal ini dapat terlihat

Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah bahwa menempatkan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia, yang menjadi subjek utama dalam politik

Selama 2 tahun implementasi, penggunaan sistem e- filling dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan sudah berjalan dengan cukup baik, namun jika dilihat

postalo svakodnevna potreba i želja pojedinca - dobiti „ svježe “ informacije. Društvene mreže danas broje milijarde aktivnih korisnika. Najposjećeniji društveni medij