• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, KOMPETENSI AUDITOR, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, KOMPETENSI AUDITOR, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

COMPETENCE AND PROFESSIONAL ETHICS TO THE CONSIDERATION OF MATERIALITY LEVEL IN AUDITING

Oleh

BASUKI WIBOWO

The research aimed at testing the extent of auditor professional skepticism, auditor competence and professional ethics’ influence on the consideration of materiality level in auditing process

The object of this research were auditors who work at Public Accounting Office . The data was analyzed by using multiple linear regression. The variable in the research were professional skepticism, competence and professional ethics as independent variables and consideration of materiality level as dependent variable.

The sample of this research werethe participants ofPendidikanProfesionalBerkelanjutan (PPL) that was held by Indonesian Institute of Certified Public Accountant (IICPA) in Bandung

The result of this research showed that individually auditor professional skepticism and professional ethics influenced significantly to the consideration of materiality level, and indivually competence auditor didn’t influence significantly to the considetration of materiality level.

(3)

ABSTRAK

PENGARUH SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, KOMPETENSI AUDITOR, DAN ETIKA PROFESI TERHADAP PERTIMBANGAN

TINGKAT MATERIALITAS DALAM PELAKSANAAN AUDIT

Oleh

BASUKI WIBOWO

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana skeptisisme profesional auditor, kompetensi auditor dan etika profesi berpengaruh terhadap pertimbangan auditor dalam menentukan tingkat materialitas pada saat pelaksanaan audit.

Objek penelitian ini dilakukan terhadap auditor yang aktif bekerja pada kantor akuntan publik. Analisis yang digunakan adalah analisis Regresi Linear Berganda, variabel dalam penelitian ini skeptisisme profesional, kompetensi dan etika profesi sebagai variabel independen dan pertimbangan tingkat material sebagai variabel dependen.

Sampel penelitiannya adalah peserta Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang diselenggarakan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) di Bandung.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara individual skeptisisme profesional auditor dan etika profesi berpengaruh signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, dan secara individual kompetensi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI 3.3.1. Skeptisime Profesional Auditor dan Pertimbangan Tingkat

(8)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang

Kebutuhan akan audit independen muncul ketika hadirnya pasar modal, dimana perusahaan dapat meningkatkan investasi modal yang dibutuhkan untuk

membiayai perluasan usahanya. Pasar modal memungkinkan perusahaan publik untuk menjual sebagian kecil dari kepemilikan (seperti saham) atau untuk memecah dana pinjaman ke pinjaman-pinjaman kecil (seperti obligasi) sehingga sejumlah besar modal dapat dihasilkan dari berbagai sumber investor dan kreditor. Perusahaan publik adalah perusahaan yang menjual saham atau obligasinya

kepada publik, memberikan kepada publik kepentingan yang nyata dalam penggunaan yang tepat, hak pengelolaan atas sumber daya perusahaan. Oleh karena itu, pertumbuhan korporasi modern akan menuju kelaziman atas ketidak hadiran pemilik (pemegang saham) dan penggunaan manajer profesional yang menjalankan roda operasi perusahaan sehari–hari.

(9)

2

Tujuan kedua belah pihak mungkin tidak sama, akan terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) yang alami antara manajer dan pemilik yang tidak hadir. Jika kedua pihak berusaha memaksimumkan kepentingan mereka sendiri, manajer tidak akan selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Oleh karena itu, peran informasi akuntansi yang dilandasi prinsip akuntansi yang disetujui adalah untuk menjadikan manajer bertanggung-jawab (accountable) kepada pemilik perusahaan. Sudah tentu, akuntansi tidak memecahkan masalah dengan sendirinya.

Karena manajer bertanggung jawab untuk melaporkan hasil dari tindakannya sendiri, dimana pemilik tidak dapat langsung mengawasi maka memungkinan manajer akan melakukan manipulasi laporan. Pemilik mengantisipasi

kemungkinan terjadinya manipulasi laporan oleh manajer dengan menunjuk auditor independen (akuntan publik) untuk memeriksa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen.

Manajemen berusaha dan berharap laporan keuangan yang diperiksa oleh Akuntan Publik yang independen mendapatkan opini yang terbaik yaitu wajar tanpa

pengecualian, sedangkan pemilik (pemegang saham) mengharapkan perusahaan diperiksa dengan teliti oleh auditor independen yang memiliki integritas yang tinggi, dan pemilik mengharapkan kepemilikan atas harta yang ada di perusahaan tidak berkurang dan jika mungkin meningkat.

(10)

pembayaran atau fee audit, tetapi lebih berkonsentrasi pada menjaga sikap sebagai auditor independen.

Keyakinan auditor atas laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen harus didasari atas bukti-bukti yang memadai. Auditor dituntut untuk menjaga

profesionalitasnya, mungkin saja manajemen merekayasa bukti yang seolah-olah valid, dalam kondisi seperti ini auditor harus menggunakan kemampuannya untuk dapat mendeteksi dan berfikir kritis.

Dalam Tuanakotta (IAI, SA seksi 230.08) menyatakan bahwa:

“Auditor tidak menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi”. Auditing atau pemeriksaan umumnya dimaknai sebagai tahap mencari kesalahan atau kelemahan dari suatu hal yang telah dilakukan, tetapi sebenarnya audit adalah pekerjaan jasa profesional independen yang tujuannya meningkatkan kualitas informasi sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Agar audit dapat dilakukan, harus tersedia informasi dalam bentuk yang dapat diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) yang dapat digunakan pemeriksa untuk mengevaluasi informasi tersebut .

Menurut Konrath (2002:5) dalam Sukrisno

(11)

4

Dalam memberi ciri ilmiah pada auditing Mautz dan Sharaf (Tuanakotta, 2011) menekankan postulat ini sebagai landasan berfikir dan menarik kesimpulan. Beberapa postulat tentatif tentang auditing.

Laporan dan data keuangan dapat diperiksa (are verifiable), tidak ada benturan kepentingan, tidak ada persekongkolan, adanya sistem pengendalian intern, penerapan prinsip akuntansi yang konsisten, dan profesionalitas auditor.

Menurut Messier (2006) detail konseptual dan prosedural dari audit laporan keuangan membangun tiga konsep mendasar : risiko audit, materialitas, dan bukti yang berkaitan dengan asersi manajemen. Penentuan risiko audit yang akan dilaksanakan (disebut dengan lingkup audit). Dalam menetapkan lingkup audit, auditor harus membuat keputusan mengenai sifat, saat, dan luas bukti yang akan dikumpulkan dalam rangka mengevaluasi asersi manajemen.

Konsep penting yang pertama yang terlibat dalam audit adalah risiko audit (audit risk) yang artinya bahwa auditor mungkin tanpa sepengatahuannya gagal untuk

memodifikasi secara benar pendapatnya atas laporan keuangan dengan salah saji yang material .

Konsep penting yang kedua yang terlibat dalam audit adalah materialitas. Pertimbangan auditor atas materialitas adalah pertimbangan profesional

(professional judgment) dan terpengaruh oleh apa yang dirasakan auditor sebagai pandangan orang yang bergantung pada laporan keuangan .

Konsep penting ketiga dalam audit adalah bukti mengenai asersi manajemen. Kebanyakan pekerjaan auditor dalam mencapai pendapat atas laporan keuangan terdiri atas mendapatkan dan mengevaluasi bukti.

(12)

berhubungan dengan asersi manajemen yang spesifik telah diuji. Keandalan mengacu pada pengdiagnosisan bukti

Dalam Tuankotta, 2011 hal 54, konsep-konsep dalam auditing,

Mautz dan Sharaf mengembangkan beberapa konsep yang mereka pandang sebagai konsep utama dalam auditing, yaitu evidence, due audit care, fair presentation, independence, dan ethical conduct.Secara umum ada tiga jenis

evidence atau bukti, yakni natural evidence, created evidence, dan rational

argumentation.

Natural evidence adalah bukti yang paling meyakinkan seperti ketika auditor

mengamati persediaan di gudang, auditor yakin persediaan itu eksis.

Created evidence merupakan bukti yang diciptakan, misalnya faktur pejualan,

catatan piutang, bukti tersebut merupakan bukti yang harus dibuktikan

kebenarannya oleh auditor, untuk faktur penjualan auditor harus mencocokkan dengan bukti penerimaan kas atau melakukan konfirmasi atas piutang.

Rational argumentation misalnya auditor menemukan transaksi yang tidak wajar,

tetapi setelah diteliti lebih dalam lagi, auditor memperoleh “rational argumentation” atas ketidak wajaran suatu transaksi bisa terjadi.

Evidence atau bukti memberikan kepada auditor cara untuk mencapai keyakinan

melalui “mengetahui (knowing), dan bukan sekedar “mempercayai” (believing). “Pengetahuan” ini merupakan kunci menuju “kebenaran” (truth), dan kebenaran disini diartikan sebagai “sesuai dengan kenyataan”.

Dalam audit banyak hal penting yang harus diperhatikan, selain auditor harus memiliki sikap skeptisisme profesional, dan kompetensi yang harus dimiliki auditor dalam pelaksanaan audit, auditor dalam menjalankan tugas auditnya harus mentaati etika profesi, juga ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu

(13)

6

dalam hubungannya dengan kondisi sekitarnya, memungkinkan bahwa

pertimbangan seseorang yang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh dengan penghapusan atau salah saji tersebut.

Dalam Tuanakotta hal 194, 2011 menjelaskan, ada dua ekpektasi masyarakat atau publik terhadap auditor, yakni dialah yang pertama-tama harus:

dapat mengetahui jika perusahaan akan mengalami gagal bisnis (business failure), karenanya auditor diharapkan berada dalam posisi untuk mengingatkan

masyarakat mengenai potensi gagal bisnis;

Kedua diharapkan dapat mendeteksi fraud yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan kliennya, karyawan kliennya, dan pihak ketiga yang bertransaksi dengan kliennya.

Ekspektasi pertama berkenaan dengan gagal bisnis yang tidak berhubungan dengan fraud. Dalam audit, seorang auditor tidak memberikan pendapat tentang Dalam Tuanakotta hal 194, 2011 menjelaskan, ada dua ekpektasi masyarakat atau publik terhadap auditor, yakni dialah yang pertama-tama harus:

dapat mengetahui jika perusahaan akan mengalami gagal bisnis (business failure), karenanya auditor diharapkan berada dalam posisi untuk mengingatkan

masyarakat mengenai potensi gagal bisnis;

Kedua diharapkan dapat mendeteksi fraud yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan kliennya, karyawan kliennya, dan pihak ketiga yang bertransaksi dengan kliennya.

prospek bisnis meskipun memiliki pengetahuan umum tentang hal tersebut. Disinilah timbul kesenjangan antara apa yang menjadi ekspektasi masyarakat dengan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab auditor. Ekspektasi yang pertama tidak menimbulkan masalah dalam litigasi di pengadilan, namun

(14)

Pelajaran dari ekspektasi pertama adalah bahwa auditor berupaya tidak

mengasosiasikan namanya dengan publikasi yang bersifat promosional, misalnya dalam IPO (initial public offering) suatu saham. Promosi besar-besaran tentang saham yang akan diluncurkan sering meningkatkan ekspektasi publik tentang keuntungan yang bakal diraihnya. Dan ketika harapan ini pupus, publik kecewa dan mencari kambing hitam yang dapat menutup kerugian.

Ekspektasi kedua berkenaan dengan terjadinya fraud. Umumnya auditor

mendapat kecaman berkenaan rekayasa laporan keuangan yang dilakukan klien. Salah saji (misstatement), baik yang tanpa sepengatahuan auditor, atau dengan sepengetahuannya, apalagi salah saji yang „direstuinya”, akan menyudutkan

auditor. Masyarakat melihat auditor sebagai ahli yang seharusnya mampu mendeteksi fraud, apalagi kalau jumlahnya material.Oleh karena itu, dalam menghadapi jenis kesenjangan ekspektasi kedua, pembelaan dari segi hukum adalah (sekurang-kurangnya) bahwa ia sudah memenuhi standar audit yang ditetapkan profesi atau otoritas yang bersangkutan (misalnya otoritas pasar modal, otoritas pasar uang, Badan Pemeriksa Keuangan, dan lain-lain).

(15)

8

Dalam kedua kesenjangan ekspektasi, reputasi auditor dan kantor akuntan publiknya menjadi pertaruhan. Dalam semua kasus audit, reputasi adalah segala-galanya. Arthur Andersen dengan kasus seperti Enron, menunjukkan bahwa merosotnya reputasi diikuti dengan pindahnya klien ke kantor akuntan publik lain, keluarnya staff dan partner, dan hancurnya operasional global.Oleh karena itu, pencegahan terhadap gagal audit (audit failure) merupakan kunci utama dalam mempertahankan reputasi.

Reputasi kantor akuntan publik sangat dipengaruhi oleh kualitas auditornya terutama sikap profesionalisme auditor, auditor harus memiliki sikap skeptis dalam menjalankan tugas auditnya.

Dalam Tuanakotta, hal 77, 2011, salah satu penyebab gagal audit (audit failure) adalah rendahnya skeptisisme profesional (professional scepticism). Skeptisisme profesional yang rendah menumpulkan kepekaan auditor tehadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (red flags, warning signs) yang mengindikasikan adanya kesalahan (accounting error) dan kecurangan (fraud).

Skeptisisme profesional merupakan suatu sikap yang harus dimiliki auditor, ada beberapa peneliti yang meneliti tentang skeptis, salah satu diantaranya adalah Suzy Noviyanti (2008).

Dalam penelitiannya juga menyebutkan peneliti lain yaitu Suraida (2005) yang melakukan penelitian dengan metode survey terhadap akuntan publik di

Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa etika, kompetensi,

(16)

baik secara parsial maupun secara simultan. Selain itu etika, kompetensi, pengalaman audit, resiko audit, dan skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian opini.

Dalam disertasinya Dr. Suzy Noviyanti mencoba melihat keeratan hubungan variabel trust (tingkat kepercayaan) auditor terhadap klien, fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan) dan karakteristik personal dengan

skeptisisme profesional. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh penaksiran risiko kecurangan yang diberikan oleh atasannya. Auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan tinggi secara signifikan lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang tidak diberi penaksiran risiko kecurangan dan secara signifikan lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan lebih rendah.

Auditor yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kliennya akan berakibat menurunnya tingkat skeptisime profesional auditor.

Selain masalah skeptisisme profesional auditor ada yang sama pentingnya yang harus dilakukan auditor dalam melaksanakan audit, yaitu pertimbangan tingkat materialitas. Pertimbangan tingkat materialitas ini berkaitan erat dengan opini audit, berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul:

“Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor, Kompetensi Auditor, Dan Etika Profesi Akuntan Publik Terhadap Pertimbangan Tingkat

(17)

10

Dalam kedua kesenjangan ekspektasi, reputasi auditor dan kantor akuntan publiknya menjadi pertaruhan. Dalam semua kasus audit, reputasi adalah segala-galanya. Arthur Andersen dengan kasus seperti Enron, menunjukkan bahwa merosotnya reputasi diikuti dengan pindahnya klien ke kantor akuntan publik lain, keluarnya staff dan partner, dan hancurnya operasional global.Oleh karena itu, pencegahan terhadap gagal audit (audit failure) merupakan kunci utama dalam mempertahankan reputasi.

Reputasi kantor akuntan publik sangat dipengaruhi oleh kualitas auditornya terutama sikap profesionalisme auditor, auditor harus memiliki sikap skeptis dalam menjalankan tugas auditnya.

Dalam Tuanakotta, hal 77, 2011, salah satu penyebab gagal audit (audit failure) adalah rendahnya skeptisisme profesional (professional scepticism). Skeptisisme profesional yang rendah menumpulkan kepekaan auditor tehadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (red flags, warning signs) yang mengindikasikan adanya kesalahan (accounting error) dan kecurangan (fraud).

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah:

 Apakah skeptisisme profesional auditor berpengaruh terhadap

pertimbangan tingkat materialitas dalam pelaksanaan audit.

 Apakah kompetensi auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat

(18)

 Apakah etika profesi auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat

materialitas dalam pelaksanaan audit.

 Apakah skeptisime profesional auditor, kompetensi auditor, dan etika

profesi auditor secara simultan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam pelaksanaan audit.

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besarnya pengaruh skeptisisme auditor, kompetensi auditor, dan etika profesi terhadap tingkat pertimbangan materialitas dalam pelaksanaan audit baik secara parsial maupun secara simultan.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan kontribusi bagi

(19)

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY)

Jika kita bicara masalah audit yang dilakukan oleh pihak independen, maka harus dibahas terlebih dahulu adalah teori keagenan.Oleh karena itu

Messier 2006 (hal 8), pertumbuhan korporasi modern akan menuju pada kelaziman atas ketidak hadiran pemilik (pemegang saham) dan penggunaan manajer profesional yang menjalankan perusahaan sehari-hari. Dengan latar belakang ini, manajer bertindak sebagai agen (agent) bagi pemegang saham dirujuk sebagai prinsipal (principal) dan memenuhi fungsi kepengurusan (stewardship) melalui manajemen aset-aset perusahaan.

Akuntansi dan audit memegang peranan penting dalam hubungan agen –prinsipal. Pertama, adalah penting untuk memahami bahwa hubungan antara pemilik dan manajer sering berakhir dengan informasi yang asimetris antara kedua belah pihak. Informasi asimetris (Information Asymmetry) berarti bahwa manajer secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan “yang sebenarnya” dan hasil operasi perusahaan dari pada pemilik yang tidak ditempat (absentee owner).

(20)

Dalam perusahaan, akuntansi memegang peranan penting sebagai dokumentasi mengenai aktivitas keuangan perusahaan tetapi sudah tentu akuntansi tidak memecahkan masalah dengan sendirinya. Karena manajer bertanggung jawab untuk melaporkan hasil tindakannya sendiri, dimana pemilik yang tidak ditempat tidak dapat mengawasi secara langsung, maka manajer berada dalam posisi untuk memanipulasi laporan. Pemilik melindungi diri terhadap kemungkinan ini dengan kembali berasumsi bahwa manajer akan memanipulasi laporan demi keuntungan pribadi. Pada keadaan seperti ini kebutuhan akan audit muncul. Jika manajer jujur, akan menjadi kepentingan manajer itu sendiri untuk menyewa auditor untuk mengawasi aktivitasnya.

Oleh karena itu, verifikasi auditor atas informasi keuangan menambah

kredibilitas laporan tersebut dan mengurangi risiko informasi, yang berpotensi menguntungkan baik pemilik maupun manajer. Jadi berdasarkan Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik, dalam penunjukan external

auditor disahkan saat dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Saham dan dalam pelaksanaannya tugas audit external auditor selalu mendiskusikan perencanaan audit dengan Komite Audit, juga jika ada temuan dan subsequent event (peristiwa setelah tanggal neraca) yang bersifat materil.

(21)

14

sebenarnya” dan hasil operasi perusahaan dari pada pemilik yang tidak ditempat (absentee owner).

Kedua, karena tujuan mereka mungkin tidak sama, akan terdapat konflik

kepentingan (conflict of interest) yang dialami antara manajer dan pemilik yang tidak ditempat.. Jika kedua belah pihak berusahan untuk memaksimumkan kepentingan mereka masing-masing, manajer tidak akan bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.

Hubungan teori keagenan dengan penurunan hipotesis.

Hubungan teori keagenan dengan penurunan hipotesis memang secara sepintas tidak terlihat tetapi jika dicermati lebih lanjut , untuk menengahi perbedaan kepentingan dan tujuan antara pemilik dan manajemen diharuskan laporan keuangan perusahaan untuk diaudit oleh pihak independen agar tidak terjadi keberpihakan dan bersifat netral, auditor yang independen saja jelas tidak cukup memadai untuk dapat melaksanakan audit yang berkualitas yang tidak ada salah saji yang material.

Hasil audit yang berkualitas akan terpenuhi jika diaudit oleh auditor yang

memiliki kompetensi secara profesional juga bersikap skeptis dan selalu menjaga etika profesinya.

2.1. Skeptisisme Profesional Auditor

(22)

mistake of my life, I put my trust with Bernard Madoff”, yang bisa diartikan dalam bahasa auditing: “Kesalahan terbesarku adalah tidak melaksanakan skeptisime profesional”.

Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2011:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s

behavior…”. Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional

yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan kecurangan material (Loebbeck, et al, 1984). Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (SPAP 2011 : 230.2)

Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor

menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Faktor-faktor kecondongan etika

Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan

(23)

16

(Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.

2. Faktor-faktor situasi

Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.

3. Pengalaman

Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas

profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee & Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Michael K. Shaub dan Janice E.

(24)

International Federation Of Accountants (IFAC) mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti. Menurut

IFAC :

“skepticism means the auditor makes a critical assessment, with a questioning mind, of the validity of audit evidence obtained and is allert to audit evidence

that contradicts or brings into the reliability of documents and responses to

inquiries and other information obtained from management and those charged with governance” (ISA 200.16).

Unsur-unsur professional skepticism dalam definisi IFAC: (Tuanakotta, 78) - acritical assessment – ada penilaian yang kritis, tidak menerima begitu

saja;

- with a question mind – dengan cara berfikir yang terus menerus bertanya dan mempertanyakan;

- of the validity of audit evidence obtained – keabsahan dari bukti yang diperoleh;

- allert to audit evidence that contradicts – waspada terhadap bukti yang kontradiktif;

- brings into question the reliability of documents and responses to inquiries and other information – mempertanyakan keandalan dokumen dan

jawaban atas pertanyaan serta informasi lainnya;

- obtained from management and those charged with governance – yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan (perusahaan).

AICPA mendefinisikan;

Professional skepticism in auditng implies an attitude that include a questioning

mind and a critical assessment of auditing evidence without being obssesively

suspicious or skeptical. The auditors are expected to exercise professional

skepticism in conducting to audit, and in gathering evidence sufficient to

(25)

18

Secara spesifik berarti adanya suatu sikap kritis terhadap bukti audit dalam bentuk kerraguan, pertanyaan atau ketidak setujuan dengan pernyataan klien atau

kesimpulan yang dapat diterima umum.

Auditor menunjukan skeptisisme profesionalnya dengan berfikir skeptis atau menunjukan perilaku meragukan . Audit tambahan dan menanyakan langsung merupakan bentuk perilaku auditor terhadap klien. Kee & Knox’s (1970) dalam

model “Professional Skepticism Auditor” dalam penelitian Zuraida menyatakan bahwa pertimbangan individu, pengalaman audit terdahulu serta faktor situasi berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor.

Evaluasi kritis atas bukti audit terhadap informasi yang ditemukan atau kondisi-kondisi lainnya yang mengidentifikasikan adanya salah saji material yang

disebabkan oleh kecurangan mungkin telah terjadi, auditor harus menginvestigasi masalah-masalah yang ada secara menyeluruh, mendapatkan bukti tambahan jika diperlukan, dan berkonsultasi dengan anggota tim lainnya. Auditor harus berhati- dan mempertimbangkan apakah salah saji lainnya mungkin juga telah terjadi. hati untuk tidak membenarkan atau mengasumsikan suatu salah saji merupakan suatu insiden yang terpisah. Sebagai contoh, katakanlah seorang auditor menemukan adanya penjualan ditahun berjalan yang seharusnya secara tepat diakui sebagai penjualan pada tahun berikutnya. Auditor harus mengevaluasi alasan salah saji tersebut, menentukan apakah hal tersebut disengaja atau tidak,

(26)

Risiko audit (audit risk) adalah risiko yang timbul bahwa auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya atas suatu laporan kecurangan yang mengandung salah saji material.

Standar audit tidak memberikan arahan atau pedoman yang secara khusus

mengenai sampai mana tingkat risiko audit dapat diterima. Penentuan risiko audit memerlukan pertimbangan matang dan pengalaman profesional auditor, dan yang bertanggung-jawab untuk menentukan risiko audit biasanya level supervisor atau tidak menutup kemungkinan pada level incharge.

Dalam istilah yang sederhana, risiko audit adalah risiko bahwa seorang auditor akan menerbitkan opini unqualified opinion terhadap laporan keuangan yang mengandung salah saji yang material.

Auditor harus melaksanakan audit untuk mengurangi risiko audit sampai pada level yang cukup rendah, yang menurut pertimbangan profesional auditor tepat untuk menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian.

Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas Auditor memang bukan merupakan hubungan langsung, beberapa peneliti sebelumnya seperti Zuraida menjelaskan bahwa skeptisisme profesional auditor mempengaruhi opini audit, dan opini audit sangat dipengaruhi oleh salah saji material.

Dalam disertasinya Dr. Suzy Noviyanti mencoba melihat keeratan hubungan variabel trust (tingkat kepercayaan) auditor terhadap klien, fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan) dan karakteristik personal dengan

(27)

20

profesional auditor dipengaruhi oleh penaksiran risiko kecurangan yang diberikan oleh atasannya.

2.3. Kompetensi Auditor

Dalam standar umum yang pertama disebutkan audit harus dilakukan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kecakapan teknis yang memadai sebagai seorang auditor.

Pelatihan dan kecakapan teknis yang memadai biasanya diinterprestasikan sebagai keharusan bagi auditor untuk memiliki pendidikan formal dibidang audit dan akuntansi, pengalaman praktik yang memadai bagi pekerjaan yang sedang dilakukan, serta mengikuti pendidikan profesional yang berkelanjutan. Standar umum pertama menegaskan bahwa betapapun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksud dalam stadar auditing, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam bidang

auditing.

Dalam PSA No 4: mengenai Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertidak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalan praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus

(28)

Auditor independen yang memikul tanggung jawab akhir atas suatu perikatan, harus menggunakan pertimbangan matang dalam setiap tahap pelasanaan supervisi dan dalam review terhadap hasil pekerjaan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat asistennya.Pada gilirannya, para asisten harus juga memenuhi tanggung jawabnya menurut tingkat dan fungsi pekerjaan mereka masing-masing.

Pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesioanalnya saling melengkapi satu sama lainnya. Setiap auditor independen yang menjadi

penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya.

Perlu disadari bahwa yang dimaksud dengan pelatihan seorang profesional mencakup pula kesadarannya untuk secara terus menerus mengikuti

perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Ia harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditng yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia. Dalam menjalankan praktiknya sehari-hari, auditor independen menghadapi berbagai pertimbangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan yang sangat bervariasi, dari yang benar-benar objektif sampai kadang-kadang secara ekstrim berupa pertimbangan yang disengaja menyesatkan.

Ia diminta untuk melakukan audit dan memberikan pendapatnya atas laporan keuangan suatu perusahaan karena, melalui pendidikan, pelatihan, dan

(29)

22

serta memiliki kemampuan untuk menilai secara objektif dan menggunakan pertimbangan yang tidak memihak terhadap informasi yang dicatat dalam pembukuan perusahaan atau informasi lain yang berhasil diungkapkan melalui auditnya.

Harus dipahami bahwa pelatihan adalah terus menerus, untuk memenuhi syarat auditor tetap terjaga pengetahuannya mengenai peraturan akuntansi dan audit terbaru. Auditor harus tetap mengikuti perkembangan dunia bisnis yang mungkin mempengaruhi kliennya. Kemahiran profesional standar umum yang ketiga menyangkut kemahiran profesional dalam semua aspek audit. Secara sederhana, kemahiran profesional berarti bahwa auditor bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dengan tekun dan seksama.

Kecermatan mencakup pertimbangan mengenai kelengkapan dokumentasi audit, kecukupan bukti audit, serta ketepatan laporan audit. Sebagai profesional, auditor tidak boleh bertindak ceroboh atau dengan niat buruk, tetapi mereka tidak juga diharapkan selalu sempurna.

Dalam SPAP ( Standar Profesional Akuntan Publik) seksi 130 mengenai prisip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional .

Dalam seksi 130.1 prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional mewajibkan setiap praktisi untuk:

(30)

(b) Menggunakan kemahiran profesionalnya dengan seksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya.

Dalam seksi 130.2 pemberian jasa profesional yang kompeten membutuhkan pertimbangan yang cermat dalam menerapkan pengetahuan dan keahlian

profesional. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi dua tahap yang terpisah sebagai berikut:

(a) Pencapaian kompetensi profesiaonal; dan (b) Pemeliharaan kompetensi profesional.

Banyak hal yang berhubungan dengan kompetensi, tetapi dalam tesis ini kompetensi dikaitkan dengan auditor. Dalam standar umum yang pertama disebutkan audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

Dari kalimat diatas dimaknai dengan bahwa auditor dapat disebut kompeten jika memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup. Auditor dapat dikatakan kompeten jika sebelum melaksanakan pekerjaannya, harus merencanakan pekerjaan tersebut dengan sebaik-baiknya dan juga jika digunakannya asisten, asisten tersebut harus disupervisi pekerjaannya dengan semestinya. Jadi disini dapat kita simpulkan bahwa seorang auditor yang kompeten tersebut tidak akan membiarkan asistennya bekerja tanpa pengawasan dan supervisi.

(31)

24

menggunakan kemahiran profesionalnya dengan secara cermat dan seksama untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji yang material.

Kompetensi auditor tidak bisa lepas dari perencanaan audit, auditor harus selalu menggunakan kemahiran profesionalnya dalam menyusun perencanaan audit seteliti mungkin agar auditor dapat mendeteksi segala kemungkinan yang dapat menyebabkan gagal audit, atau auditor dapat menekan serendah mungkin risiko audit.

Dalam PSA No.70.02 berfokus kepertimbangan auditor atas kecurangan dalam audit terhadap laporan keuangan, manajemen bertanggung jawab untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan.

Tanggung jawab tersebut dijelaskan dalam; SA Seksi 110 (PSA No. 01) paragraf 03,

“Manajemen bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat dan untuk membangun dan mempertahankan pengendalian intern yang akan, antara lain, mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan transaksi yang konsisten dengan asersi manajemen yang terkadung dalam laporan keuangan”. Sebagai bagian dari kompetensi auditor adalah tanggung jawab auditor,

Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen, menyatakan bahwa “Auditor bertanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan audit untuk

memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan dan kecurangan”.

(32)

keuangan yang dilaksanakn berdasarkan standar audit yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia.

Dalam SPAP juga dijelaskan menyangkut salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan.

Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti: - Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen

pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan

- Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan

- Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

Salah saji yang timbul karena penyalahgunaan atau penggelapan berkaitan dengan aset entitas yang berakibat pada penyajian laporan keuangan tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

Perlakuan terhadap aset yang tidak semestinya dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aset, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas.

Perlakuan tidak semestinya terhadap aset dapat disertai dengan catatan atau dokumen yang dipalsukan atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga. Sumber SPAP 2011 (hal 316.2)

(33)

26

kehati-hatian profesional, dan yang dapat memenuhi kewajiban tersebut adalah auditor yang memiliki sikap skeptisisme profesional.

Berdasarkan uraian mengenai skeptisime profesional dan kompetensi auditor adalah dua hal yang berhubungan. Seorang auditor dituntut untuk memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugasnya, yang artinya bahwa auditor harus menunjukkan kemahiran profesionalnya untuk dapat menekan risiko audit pada tingkat yang dapat ditolerir, sedangkan hal ini dapat tercipta jika auditor tersebut dalam melaksanakan auditnya harus tetap terjaga skeptisisme profesionalnya.

2.4. Etika Profesi

Etika Profesi merupakan aturan perilaku yang tidak boleh dilanggar oleh akuntan publik dalam menjalankan profesinya. Hal ini dapat dilihat dalam mukadimah Anggaran Dasar Institut Akuntan Publik Indonesia Revisi 2012,

mukadimah;

Kegiatan perekonomian yang transparan, akuntabel, responsibel, efisien, dan bersih membutuhkan informasi keuangan yang berkualitas dan kredibel yakni apa adanya, lengkap dan sesuai dengan standar yang berlaku. Akuntan Publik sebagai suatu profesi memiliki karakteristik dan fungsi untuk mendukung tersedianya informasi keuangan tersebut.

Karakteristik profesi Akuntan Publik meliputi karakteristik utama sebagai suatu profesi yakni sikap independen, mengutamakan perlindungan kepentingan publik, iontegritas, objektivitas, berperilaku profesional, menjaga informasi yang

diperoleh, bersikap cermat dan kehati-hatian profesional, dan memliki kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan profesi Akuntan Publik.

(34)

sendiri dan bersama-sama dan oleh berbagai pihak agar profesi Akuntan Publik berada pada karakteristiknya sehingga dapat menjalankan fungsinya secara sehat di Indonesia.Upaya tersebut meliputi pengembangan , pembinaan, perlindungan, dan advokasi Akuntan Publik.

(Sumber AD/ART IAPI revisi 2012)

Kesungguhan daripada Institut Akuntan Publik Indonesia untuk menjaga

anggotanya agar mematuhi etika profesi terlihat dalam Anggaran Dasar Pasal 10 tentang Pakta Integritas.

“Setiap anggota menanda tangani pakta integritas”. Sedangkan Pakta Integritas itu

sendiri dijelaskan dalam Anggaran Rumah Tangga revisi 2012 pasal 8 .

Pakta Integritas

1.Untuk dapat ditetapkan sebagai Anggota Asosiasi seorang harus menanda tangani Pakta Integritas dan mengucapkannya pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan pengurus setiap tahunnya.

2. Bunyi Pakta Integritas sebagai berikut ;

Saya anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), dengan ituikad baik dan tanpa paksaan menyatakan:

a. Mematuhi Kode Etik Profesi Akuntan Publik, Standar Profesional Akuntan Publik, dan ketentuan Institut Akuntan Publik Indonesia, b. Tidak akan menerima, memberikan, atau menjanjikan untuk menerima,

atau memberikan hadiah, atau imbalan berupa apapun dan atau kepada siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga berpengaruh terhadap independensi,

(35)

28

d. Senantiasa jujur dan memelihara keahlian profesional,

e. Tidak akan melakukan perbuatan/tindakan yang dapat merendahkan martabat profesi Akuntan Publik,

f. Apabila saya melanggar hal-hal yang telah saya nyatakan dalam Pakta Integritas, saya bersedia dikenakan sanksi dari asosiasi.

(sumber AD/ART IAPI)

Prinsip-prinsip dasar etika profesi Prinsip integritas.

- Setiap praktis harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya.

Prinsip objektivitas.

- Setiap praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain mempengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya. - Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional (professional competence and due care).

- Setiap praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara kesinambungan, sehingga klien atau pemberi kerja dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap Praktisi harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. Prinsip kerahasiaan.

- Setiap Praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasi dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk

(36)

Prinsip perilaku profesional.

- Setiap praktisi wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.

SPAP 2011 (hal 1,2.)

Dalam penelitian Zuraida (2005) menyimpulkan bahwa etika profesi, kompetensi, pengalaman audit, risiko audit dan skeptisisme profesional berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini akuntan publik baik secara simultan maupun parsial. Secara parsial pengaruhnya kecil tetapi secara simultan besar. Dari kelima variabel tersebut hanya risiko audit dan skeptisisme profesional auditor yang berpengaruh paling signifikan.

2.5 Materialitas

Dalam Financial Accounting Standards Board (FASB) Statement of Financial Accounting Concept No.2, Qualitative Characteristics of Accounting

Information, materialitas didefinisikan sebagai berikut.

The magnitude of an omission or misstatement of accounting information that, in the light of surrounding circuntances, makes it probable that the

judgment of a reasonable person relying on information would have been changed or influenced by the omission or misstatement”.

Pertimbangan auditor atas materialitas (materiality) adalah masalah pertimbangan profesional (professional judgment) dan terpengaruh oleh apa yang dirasakan auditor sebagai pandangan orang yang bergantung pada laporan keuangan. Dewan Standar Akuntansi Keuangan dengan mengadopsi dari Finacial

(37)

30

Materialitas adalah tingkat penghapusan atau salah saji informasi yang dalam hubungannya dengan kondisi sekitarnya, memungkinkan bahwa pertimbangan seorang yang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh dengan penghapusan atau salah saji tersebut. Jika ditelaah mengenai definisi materialitas tersebut, maka yang terpenting adalah orang yang menggunakan informasi tersebut untuk mengambil keputusan dalam bisnis.

SA Seksi 312.10

Tingkat materialitas mencakup tingkat yang menyeluruh untuk masing-masing laporan keuangan pokok, namun, karena laporan keuangan saling berhubungan, dan sebagian besar prosedur audit dengan lebih dari satu jenis laporan keuangan, agar efisien, untuk tujuan perencanaan, auditor biasanya mempertimbangkan materialitas pada tingkat kumpulan salah saji terkecil yang dapat dianggap material untuk salah satu laporan keuangan pokok.

SPAP 2011 hal 312.5.19

Konsep materialitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep risiko dan merupakan unsur penting dalam merencanakan audit dan merancang pendekatan yang akan digunakan dalam melaksanakan audit. Konsep materialitas adalah faktor yang penting dalam mempertimbangkan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam keadaan tertentu.

Ariffudin, 2002 (Jurnal Bisnis dan Akuntansi) menjelaskan konsep materialitas dapat digunakan tiga tingkatan dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat:

- Salah saji jumlah yang tidak material dianggap tidak material karena tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan.

(38)

mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi secara keseluruhan laporan keuangan tersaji dengan benar sehingga tetap berguna.

- Jumlah sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat tertinggi jika terjadi para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan.

Dengan demikian menurut Taylor, 2000 materialitas berhubungan dengan pertimbangan (judgment), dan ketika dikaitkan dengan evaluasi risiko,

pertimbangan inilah yang akan mempengaruhi cara-cara pencapaian tujuan audit, ruang lingkup dan arah pekerjaan terperinci serta disposisi kesalahan dan

kelalaian. Masih menurut Taylor, 2000 dalam penetapan materialitas ada lima langkah yang akan dilakukan antara lain:

(1) tentukan pertimbangan awal mengenai materialitas,

(2) alokasi pertimbangan awal mengenai materialitas kedalam segmen, (3) estimasikan total salah saji dalam segmen,

(4) estimasikan salah saji gabungan dan

(5) bandingkan estimasi gabungan dengan pertimbangan awal mengenai materialitas.

(39)

32

Namun, pada saat merencanakan audit, biasanya tidak mungkin bagi auditor untuk mengantisipasi semua keadaan yang mungkin, yang akhirnya akan mempengaruhi pertimbangannya tentang materialitas dalam mengevaluasi temuan audit pada tahap penyelesaian audit, karena keadaan yang melingkupi mungkin berubah dan tambahan informasi mengenai masalah akan akan selalu ada selama periode audit.

Dengan demikian, pertimbangan awal tentang materialitas akan berbeda dengan pertimbangan yang digunakan dalam mengevaluasi temuan audit.

(40)

METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Penentuan Sampel

Populasi merupakan keseluruhan pengamatan yang menjadi perhatian penelitian. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kantor Akuntan Publik yang berdomisili di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten yang terdaftar dalam buku Directory 2013 yang disusun oleh Institut Akuntan Publik Indonesia.

Populasi Kantor Akuntan Publik yang terdaftar dalam buku Directory 2013 untuk wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten jumlahnya adalah 65 KAP.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi, jumlah sampel yang diambil berdasarkan kuisioner yang disebar sebanyak 40 eksemplar dan yang mengembalikan kuisioner dan dianggap memenuhi syarat berjumlah 30 eksemplar.

3.2. Desain Penelitian

Kerangka penelitian yang menunjukkan hubungan antara variabel penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut :

ss

Skeptisisme Profesional

Kompetensi

Etika Profesi

(41)

34

3.3. Operasional Variabel.

3.3.1. Skeptisisme Profesional Auditor dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003).

Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi.

Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan seperti

dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan, pembentukan asosiasi profesional dan

pembentukan kode etik.

(42)

yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang professional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu;

Pertama, pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap

melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.

Kedua, kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut.

Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesame profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut.

Kelima, hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.

Hastuti dkk. (2003) meneliti tentang hubungan profesionalisme dengan

(43)

36

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat pertimbangan materialitas. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut:

Ha 1: S k e p t i s i s m e Profesionalisme Auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

3.3.2. Kompetensi Auditor dan Pertimbangan Tingkat Materialitas Kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki oleh karyawan untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan bidang pekerjaannya. Kompetensi merupakan perpaduan antara kematangan pekerjaan (kemampuan), kematangan psikologi (kemauan), dan pengalaman kerja yang dapat mengarahkan perilaku diri sendiri.

Adanya keahlian dan kemampuan dalam melaksanakan pemeriksaan akan dapat mengetahui kekeliruan serta penyimpangan yang merupakan salah satu bagian dari kompetensi seorang auditor. Unsur kedua dari kompetensi adalah kemauan, yang menunjuk pada kesediaan karyawan dalam menjalankan tugas yang

(44)

Jadi kompetensi merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah profesi yang membutuhkan profesionalisme yang sangat tinggi seperti akuntan publik, karena kompetensi akan mempengaruhi pertimbangan tingkat materialitas dalam

pelaksanaan audit .

Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis alternatif penelitian ini adalah: Ha 2 = Kompetensi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

3.3.3. Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas

Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan seperangkat prinsip–prinsip moral yang mengatur tentang perilaku profesional (Agoes 2004). Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya (Murtanto dan Marini 2003).

(45)

38

Agoes (2004) menunjukkan kode etik IAPI dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik, Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) dan standar pengendalian mutu auditingprinsip etika yang dirumuskan IAPI dan dianggap menjadi kode etik perilaku akuntan Indonesia adalah (1) tanggung jawab, (2) kepentingan masyarakat, (3) integritas, (4) obyektifitas dan independen, (5) kompetensi dan ketentuan profesi, (6) kerahasiaan, dan (7) perilaku profesional. Semakin tinggi akuntan publik menaati kode etik maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut:

Ha 3 = Etika profesi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Ha 4 = Skeptisisme profesional auditor, kompetensi auditor, dan etika profesi secara simultan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

3.4. Metode Penelitian

3.4.1. Data dan Tehnik Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama baik dari individu atau perseorangan (Umar, 2009). Pada penelitian ini data primer didapat dari pengisian kuesioner oleh auditor yang bekerja di KAP wilayah Jawa Barat dan Banten.

(46)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002), teknik ini memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menyatakan pendapatnya terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan.

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adopsi. Kuesioner ini akan dicoba dilakukan Pilot Test kepada Mahasiswa PPA UNILA. Setelah dilakukan Pilot Test, maka kuesioner ini akan disesuaikan pada kalimatnya dengan tujuan agar lebih mudah dimengerti oleh responden.

3.4.2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor dari tingkatan partner, manajer, dan auditor yang bekerja di KAP yang menjadi anggota IAPI. Sampel yang diambil adalah anggota IAPI pada saat IAPI sedang mengadakan PPL ( Pendidikan Profesi Berkelanjutan ) .

3.4.3. Operasionalisasi Variabel Penelitian 3.4.3. 1 Variabel Dependen

Dalam penelitian ini, variabel dependen nya adalah pertimbangan tingkat materialitas. Materialitas itu sendiri adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji , dilihat dari keadaan yang

(47)

40

Definisi tersebut mengakui pertimbangan materialitas dilakukan dengan memperhitungkan keadaan yang melingkupi dan perlu melibatkan baik pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif.

3.4.3.2 Variabel Independen a. Skeptisisme Profesional

Skeptisisme Profesional artinya adalah kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Variabel Skeptisisme Profesional akan diukur dengan aspek-aspek Skeptisisme Profesional yaitu sikap skeptis dan keyakinan yang memadai.

b. Kompetensi

Kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam melakukan tugasnya dengan baik. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

c. Etika Profesi

Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya (Murtanto dan Marini 2003).

3.5. Alat Analisis

3.5.1 Uji Regresi Linier Berganda

(48)

profil dan jawaban responden, uji asumsi klasik dan menguji hipotesis dengan analisis regresi berganda. Persamaannya adalah sebagai berikut :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + e Keterangan :

Y : Pertimbangan Tingkat Materialitas β1β2β3β4 : koefisien regresi

β0 : intersep model

X1 : Skeptisisme Profesional

X2 : Kompetensi

X3 : Etika Profesi

e : error

3.5.2. Uji Kualitas Data

Penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu, tiap item pertanyaan dalam kuesioner tersebut harus memenuhi kualitas data yang valid dan reliabel.

a. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh koesioner tersebut (Ghozali, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas dengan

Confirmatory Factor Analysis (CFA). Uji ini digunakan untuk menguji apakah

(49)

42

variabel. Jika masing-masing indikator merupakan indikator pengukur konstruk maka akan memiliki nilai loading factor yang tinggi.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu koesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu koesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil. Pada penelitian kali ini, pengukuran reliabilitas menggunakan One Shot atau pengukuran sekali saja.

Disini pengukurannya hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain atau mengkur korelasi antar jawaban pertanyaan. SPSS versi.16 memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha (α).

Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,60 (Nunnally, 1967 dalam Ghozali, 2006).

3.5.3.Uji Asumsi Klasik

Dalam penelitian ini tidak semua asumsi model regresi tersebut akan diuji.

Asumsi yang tidak akan diuji adalah autokorelasi. Autokorelasi tidak diuji dengan alasan karena data yang akan dikumpulkan dan diolah merupakan data cross section bukan data time series yang merupakan penyebab terjadinya autokorelasi.

(50)

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel dependen,

independen, atau keduanya berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik hendaknya berdistribusi normal atau mendekati normal. Mendeteksi apakah data berdistribusi normal atau tidak dapat diketahui dengan menggambarkan penyebaran data melalui sebuah grafik. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonalnya, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas (Umar, Husein, 2009).

b. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke

pengamatan lain.

Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas (Umar, Husein, 2009). Ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dari pola yang

terbentuk dalam grafik scatter plot, bila membentuk pola tertentu maka telah terjadi heteroskedastisitas.

Terkadang pengujian heteroskedastisitas dengan metode grafik masih

(51)

44

nilai signifikansi > 0,05 maka tidak mengalami gangguan heteroskedastisitas, dan sebaliknya, jika nilai signifikansi < 0,05 maka mengalami gangguan

heteroskedastisitas. c. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas berarti antara variabel independen yang satu dengan variabel independen yang lain dalam model regresi saling berkolerasi linear. Biasanya korelasinya mendekati sempurna atau sempurna (koefisien korelasinya tinggi atau bahkan satu). Adanya multikolinearitas mengakibatkan pengaruh masing-masing variabel independen tidak dapat dideteksi atau sulit dibedakan (Singarimbun dan Sofian E, 1989). Pengujian atas kemungkinan terjadinya multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan metode pengujian Tolerance Value atau Variance Inflation Factor (VIF).

Pedoman regresi yang bebas dari multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF

di bawah “10” dan mempunyai angka Tolerance di bawah “1” (Ghozali, 2001

dalam http://www.damandiri.or.id/file/prantiyaunmuhsolobab3.pdf ).

3.5.4. Pengujian Hipotesis

3.5.4.1. Uji T (Uji Parameter Individual)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dan signifikansi dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Simpulan uji T ini dilakukan dengan membandingkan tingkat signifikansi (Sig.t) dari hasil pengujian dengan alpha (α) = 5%. Apabila tingkat signifikansi (Sig.t) < (α = 5%) maka Ha1,

(52)

skeptisisme profesional, kompetensi, dan etika profesi berpengaruh secara parsial terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

3.5.4.2. Uji F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Apabila tingkat signifikansi (Sig.t) < (α = 5%) maka Ha.4 diterima artinya skeptisisme profesional, kompetensi, dan etika profesi berpengaruh secara parsial terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

(53)

BAB V

SIMPULAN dan SARAN.

A. Simpulan

Setelah dilakukan penelitian melalui media kuesioner terhadap 30 orang auditor yang aktif bekerja pada Kantor Akuntan Publik di wilayah Porvinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Variabel Skeptisisme Profesional terhadap Tingkat Materialitas mempunyai pengaruh yang signifikan. Berarti faktor Skeptisisme Profesional berpengaruh secara positif terhadap Tingkat Materialitas. Hal ini dapat dibuktikan dengan koefisien independensi yang positif dan berhubungan searah dengan Tingkat Materialitas, sehingga untuk hipotesis yang pertama dalam penelitian ini diterima.

2. Pengujian untuk variabel kompetensi terhadap Tingkat Materialitas secara .Pengujian uji parameter individual menyatakan hasil yang tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa kompetensi tidak memiliki pengaruh terhadap Tingkat

Materialitas, maka hipotesis kedua yang diajukan peneliti pun ditolak.

(54)

4. Pengujian untuk variabel Skeptisisme Profesional, kompetensi, dan Etika profesi terhadap Tingkat Materialitas secara bersama-sama memberikan hasil yang signifikan, berarti Skeptisisme Profesional, kompetensi, dan Etika profesi mempengaruhi Tingkat Materialitas.

B. Keterbatasan dan Keunggulan Penelitian B.a. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu :

1. Penelitian ini hanya menggunakan sampel peserta lokakarya (PPL) anggota IAPI yang memiliki pengalaman bekerja sebagai auditor yang beragam, dan waktu dan jadwal yang ada dalam lokakarya tersebut sangat padat sehingga dalam pengisian kuisioner belum sepenuhnya diisi secara baik.

2. Beberapa indikator dalam kuisioner mengenai variabel skeptisisme masih kurang dipahami oleh responden, sehingga jawaban responden belum sepenuhnya sesuai yang diharapkan.

B.b. Keunggulan Penelitian

Penelitian ini meneliti sesuatu hal yang berbeda dengan peneliti sebelumnya, yaitu dalam penelitian sebelumnya Skeptisisme Profesional Auditor dijadikan variabel yang dipengaruhi (dependent variable) tetapi dalam penelitian ini penulis

(55)

63

C. Saran

Dari hasil penelitian tentang pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor, Kompetensi Auditor, dan Etika Profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi para auditor untuk dapat menjadi auditor profesional mau tidak mau harus memiliki sikap skeptisisme, dengan memiliki sikap tersebut seorang auditor akan lebih berhati-hati dan akan selalu berfikir kritis dalam melaksanakan tugas profesinya.

2. Walaupun kompetensi auditor berdasarkan hasil penelitian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas, tetapi auditor profesional tetap harus menjaga kompetensinya, dengan terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan terutama tentang auditing, akuntansi dan juga perkembangan dunia bisnis.

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno Agoes. Auditing, Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh akuntan publik. (Salemba Empat 2012, Edisi 4)

AD / ART Institut Akuntan Publik Inddonesia.

Dajan, Anto. 1987. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. LP3ES: Jakarta. Directory 2013 Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik ( disusun oleh: Indonesian Institute of Certified Public Accountant / IAPI)

Effendy,Muh. Taufiq. 2010.Pengaruh kompetensi, independensi, dan motivasi Terhadap kualitas audit aparat inspektorat Dalam pengawasan keuangan daerah (studi empiris pada pemerintah kota gorontalo).Tesis.Program studi magister sains akuntansi Program pascasarjana.Universitas

Diponegoro.Semarang.

Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Semarang.

KODE ETIK Profesi Akuntan Publik, IAPI ( cetakan ke 2, Salemba Empat 2009) Hastuti, Theresia Dwi. Stefani L. I., dan Clara S. “Hubungan Antara

Profesionalisme Auditor dengan Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan”. SNA VI. Univesitas Airlangga. Surabaya. 2003. Lekatompessy, J.E. 2003. Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan

Keinginan Berpindah (studi empiris di lingkungan Akuntan Publik) . Jurnal Bisnis dan akuntansi, Vol 5, No. 1, April, hal. 69-84.

Kee, H. W. And R. E. Knox 1976. “Conceptual and Metoda Logical

Consideration in The Study of Trust and Suspicion” Journal of Conflict Resolution 14 Hal 357- 366.

Jusuf, Amir Abadi Jusuf, Randal J Elder, Mark S. Beasley, Alvin A. Arens. Auditing and Assurance services .... An Integrated Approach – An Indonesia Adaptation. (Penerbit Salemba Empat, 2011)

(57)

65

Mautz & Sharaf , R.K. Mautz Ph.D., C.P.A and Hussein A. Sharaf .Ph.D. 1993. The Philosophy Of Auditing . ( American Accounting Association ). Noviyanti, Suzy. Skeptisme profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan untuk Mencapai Prosedur Audit yang Efektif (disertasi, Universitas Diponegoro, 2008).

Standar Profesi Akuntan Publik , Institut Akuntan Publik Indonesia 31 Maret - 2011 . (Salemba Empat 2011 ).

Suraida , Ida Suraida 2005 . Pengaruh Etika , Kompetensi , Pengalaman Audit dan Resiko Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor & Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik . (Sosiohumaniora Vol 7 no 3 November 2005).

Shaub, K. Michael and Jenice E. Lawrence 1996. “Ethic Experience and

Professional Skepticism: A Situational Analysis” behavioral Research in Accounting Vol 8, 124 – 157.

Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.

Tuanakotta , Theodorus M . Tuanakotta , Berpikir Kritis dalam Auditing , penerbit Salemba Empat 2011.

Tim Penyusun. 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Penerbit Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 2012 tentang Akuntan Publik. (Penerbit Salemba Empat 2012)

Referensi

Dokumen terkait

AMBIGUITAS MUHAMMADIYAH Dalam bidang politik, sering dipertanyakan sikap ambiguitas Muhammadiyah sewaktu mengha- dapi problem politik, satu sisi Muhammadiyah memiliki sikap yang

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penempatan karyawan yang dilakukan oleh Ivan Custom tidak efektif, dibandingkan dengan penempatan karyawan

Selain tipe kelapa Dalam dan Genjah, beberapa jenis kelapa yang dianggap unik adalah (1) kelapa Hibrida, adalah jenis kelapa hasil persilangan antara tipe kelapa Genjah dan

The data used are secondary data, such as archives (company annual reports and government policies) that contain information about the social and environmental.

Permohonan Pemisahan Harta Perkawinan dal am Penetapan i ni di l akukan setel ah perkawinan dilakukan. Permohonan Penetapan ini kemudian dikabulkan / ditetapkan oleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduga statistik area kecil untuk data cacahan yakni penduga resiko relatif Bayes empirik dari model Poisson-Gamma dengan peubah

Perkalian di atas dapat diselesaikan dengan cara berikut. Jadi, banyak benih yang dimasukkan paman ke kolam 1.000 benih E. Penilaian Sikap : Satun, peduli dan tanggung jawab. Pada

+engunjung yang menginap, yaitu orang yang menggunakan asilitas akomodasi hotel sebagai tempat untuk menginap dan beristirahat. !dapun kegiatan3kegiatan tamu dalam