• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI, PEMASARAN

DAN NILAI TAMBAH UBI KAYU

(Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)

SKRIPSI

RIZKI ROSYANNI POHAN H34086081

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

RIZKI ROSYANNI POHAN. Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan TINTIN SARIANTI).

Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan ketiga setelah padi dan jagung. Ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan makanan, bahan pakan, bahan baku industri, dan komoditi ekspor. Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumber daya manusia, dan tingkat adaptasi teknologi, maka tanaman ubi kayu dapat dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia.

Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas panen ubi kayu di Kecamatan Sukaraja pada tahun 2010 mengalami penurunan karena banyak petani yang beralih menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti pepaya dan jagung.

Penelitian ini bertujuan menganalisis keragaan usahatani ubi kayu, pendapatan usahatani ubi kayu, dan sistem pemasaran ubi kayu pada petani Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja serta menganalisis nilai tambah yang dapat diciptakan dengan adanya usaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar (aci). Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Februari 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Responden untuk analisis usahatani ditentukan dengan mengambil seluruh populasi petani ubi kayu yang tergabung dalam Gapoktan Sukaraharja. Jumlah responden usahatani adalah sebanyak 26 orang petani ubi kayu yaitu 13 orang petani pemilik dan 13 orang petani penggarap. Responden untuk analisis pemasaran ditentukan dengan metode snow ball sampling yaitu dengan cara mengikuti alur pemasaran ubi kayu dari produsen sampai ke konsumen. Responden untuk analisis pemasaran adalah sebanyak sembilan orang pengolah tapioka. Responden untuk analisis nilai tambah adalah sebanyak sembilan orang pengolah tapioka.

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang Gapoktan Sukaraharja, usahatani, pemasaran ubi kayu, dan kegiatan pengolahan yang dilakukan oleh pengolah tapioka di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis pendapatan usahatani, analisis R-C rasio, farmer’s share, dan analisis nilai tambah.

(3)

Saluran pemasaran ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja hanya terdiri dari satu saluran pemasaran yaitu dari petani sebagai produsen ke pengolah tapioka sebagai konsumen. Lembaga yang terlibat dalam pemasaran ubi kayu di lokasi penelitian adalah petani. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan dan fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko dan informasi harga. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani ubi kayu bersifat pasar oligopsoni.

Farmer’s share yang diterima petani dalam pemasaran ubi kayu adalah sebesar 100 persen. Nilai farmer’s share tersebut menunjukkan bahwa saluran pemasaran ubi kayu di Desa Cikeas sudah efisien, namun apabila dilihat dari tingkat harga jual yang diperoleh petani maka saluran pemasaran tersebut belum mampu memberikan jaminan harga jual bagi petani ubi kayu.

Hasil analisis nilai tambah ubi kayu menunjukkan bahwa rata-rata nilai tambah ubi kayu per proses produksi yang dihasilkan oleh pengolah tapioka di Desa Cikeas adalah sebesar Rp 359,00 per kilogram bahan baku ubi kayu atau sebesar 26,52 persen dari nilai output. Rata-rata keuntungan yang diperoleh dari proses pembuatan aci dan onggok yaitu sebesar Rp 194,76 per kilogram atau sebesar 54,25 persen dari nilai tambah produk, artinya setiap satu kilogram ubi kayu yang dihasilkan mampu memberikan keuntungan sebesar Rp 194,76.

Usahatani ubi kayu memberikan keuntungan bagi petani. Petani juga dapat langsung memasarkan hasil produksinya kepada pengolah tapioka tanpa perlu mengeluarkan biaya pemasaran. Ubi kayu yang dihasilkan petani merupakan bahan baku pembuatan aci bagi pengolah tapioka. Pengolahan ubi kayu menjadi aci dapat memberikan keuntungan bagi pengolah tapioka.

(4)

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI, PEMASARAN

DAN NILAI TAMBAH UBI KAYU

(Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)

RIZKI ROSYANNI POHAN H34086081

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)

Nama : Rizki Rosyanni Pohan NRP : H34086081

Menyetujui, Pembimbing

Tintin Sarianti, SP, MM NIP. 19750316 200501 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan, Sumatera Utara pada tanggal 27 Maret 1986. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Muallim Pohan dan Ibu Juliana Lubis.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 10 Padangsidimpuan pada tahun 1998 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Padangsidimpuan. Penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Padangsidimpuan pada tahun 2004.

Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Diploma III Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi pada Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif sebagai pengurus MT An Nahl Program Diploma III Teknologi Benih pada tahun 2006 hingga 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah Ubi Kayu (Kasus Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor)”.

Penelitian ini bertujuan menganalisis keragaan usahatani ubi kayu, pendapatan usahatani ubi kayu, sistem pemasaran ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, dan menganalisis nilai tambah yang dapat diciptakan dengan adanya usaha pengolahan ubi kayu menjadi aci.

Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan secara optimal dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi berbagai pihak yang terkait dan bagi pembaca pada umumnya.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen evaluator pada seminar proposal dan dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah meluangkan waktunya serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Suprehatin, SP, MAB atas kesediaannya menjadi dosen komite akademik dalam sidang skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Heny K Daryanto, MEc yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis.

5. Petugas Penyuluh Lapangan dan seluruh responden yang telah banyak membantu penulis selama pengumpulan data dan memberikan informasi yang sangat berguna dalam penelitian ini.

6. Ayah, Ibu, Kakakku (Nurhalimah Pohan) dan Adek-adekku (Azrul Sulaiman Karim Pohan, Nurhasanah Pohan dan Fitri Hidayah Laila Pohan) yang selalu mendoakan, memberi semangat, mendukung penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tiada henti.

7. Aris Setyowiyono atas semua kasih sayang, semangat, dan doanya.

8. Dinar Asteria P. S. atas kesediaannya menjadi pembahas seminar hasil penelitian.

9. Sahabat-sahabatku tersayang atas perhatian serta pengertiannya selama ini. 10. Rekan-rekan Ekstensi Agribisnis angkatan 3, 4 dan 5 atas kebersamaannya,

serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuannya.

(10)
(11)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 42

5.1.Keadaan Umum dan Geografis ... 42

5.2. Keadaan Kependudukan dan Mata Pencaharian ... 43

5.3. Gambaran Umum Gapoktan Sukaraharja ... 46

5.4. Karakteristik Petani Responden ... 46

5.5. Karakteristik Responden Pengolah Tapioka ... 50

5.6. Gambaran Umum Proses Produksi Aci ... 52

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

6.1. Keragaan Usahatani Ubi Kayu ... 54

6.1.1. Penggunaan Input Usahatani Ubi Kayu ... 54

6.1.2. Teknik Budidaya Ubi Kayu ... 57

6.1.3. Output Usahatani Ubi Kayu ... 60

6.2. Analisis Usahatani Ubi Kayu ... 60

6.2.1. Penerimaan Usahatani Ubi Kayu ... 61

6.2.2. Biaya Usahatani Ubi Kayu ... 61

6.2.3. Pendapatan Usahatani Ubi Kayu ... 63

6.3. Analisis Pemasaran Ubi Kayu di Desa Cikeas ... 65

6.3.1. Saluran Pemasaran Ubi Kayu di Desa Cikeas ... 65

6.3. 2. Fungsi-fungsi Pemasaran Ubi Kayu di Desa Cikeas . 65 6.3.3. Struktur Pasar Ubi Kayu di Desa Cikeas ... 66

6.3.4. Perilaku Pasar Ubi Kayu di Desa Cikeas ... 68

6.3.5. Farmer’ Share ... 68

6.4. Analisis Nilai Tambah Ubi Kayu ... 69

6.4.1. Output, Input, dan Harga ... 69

6.4.2. Pendapatan dan Keuntungan ... 71

6.4.3. Balas Jasa untuk Faktor Produksi ... 72

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

7.1. Kesimpulan ... 73

7.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 78

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia

pada Tahun 2008-2009 ... 1

2. Konsumsi Ubi Kayu per Kapita di Indonesia pada Tahun 2004-2008 ... 2

3. Ekspor dan Impor Komoditi Ubi Kayu Indonesia pada Tahun 2005-2009 ... 3

4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu Indonesia pada Tahun 2005-2009 ... 4

5. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu di Sentra Produksi Ubi Kayu Jawa Barat pada Tahun 2009 ... 5

6. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu di Sentra Produksi Ubi Kayu Kabupaten Bogor pada Tahun 2009 ... 6

7. Lima Jenis Pasar pada Sistem Pangan dan Serat ... 27

8. Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu ... 38

9. Analisis Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami ... 40

10. Luas Lahan dan Persentase Berdasarkan Penggunaan di Desa Cikeas pada Tahun 2009 ... 42

11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Desa Cikeas pada Tahun 2010 ... 43

12. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Cikeas pada Tahun 2009 ... 44

13. Struktur Mata Pencaharian Penduduk di Desa Cikeas pada Tahun 2009 ... 45

14. Karakteristik Petani Responden pada Gapoktan Sukaraharja Tahun 2010 ... 47

15. Karakteristik Responden Pengolah Tapioka di Desa Cikeas Tahun 2010 ... 50

16. Rata-Rata Penggunaan Input Usahatani Ubi Kayu per Hektar Antara Petani Pemilik dan Petani Penggarap di Desa Cikeas MT 2009/2010 ... 54

(13)

18. Rata-Rata Nilai Tambah Ubi Kayu Satu Kali Proses Produksi

pada Pengolah Tapioka di Desa Cikeas ... 70

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu

Setiap Provinsi di Indonesia pada Tahun 2009 ... 79 2. Denah Lokasi Desa Cikeas ... 80 3. Karakteristik Petani Pemilik Anggota

Gapoktan Sukaraharja Tahun 2010 ... 81 4. Karakteristik Petani Penggarap Anggota

Gapoktan Sukaraharja Tahun 2010 ... 82 5. Karakteristik Responden Pengolah Tapioka

di Desa Cikeas Tahun 2010 ... 83 6. Rata-Rata Penggunaan Input Usahatani Ubi Kayu

Petani Pemilik per Hektar di Desa Cikeas

MT 2009/2010 ... 84 7. Rata-Rata Penggunaan Input Usahatani Ubi Kayu

Petani Penggarap per Hektar di Desa Cikeas

MT 2009/2010 ... 84 8. Biaya-Biaya Usahatani Ubi Kayu Petani Pemilik

per Hektar di Desa Cikeas MT 2009/2010 ... 85 9. Biaya-Biaya Usahatani Ubi Kayu Petani Penggarap

per Hektar di Desa Cikeas MT 2009/2010 ... 85 10.Analisis Usahatani Ubi Kayu Petani Pemilik Anggota

Gapoktan Sukaraharja per Hektar di Desa Cikeas

MT 2009/2010 ... 86 11.Analisis Usahatani Ubi Kayu Petani Penggarap Anggota

Gapoktan Sukaraharja per Hektar di Desa Cikeas

(16)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau lapangan usaha atas dasar harga berlaku menunjukkan peranan dan perubahan struktur ekonomi dari tahun ke tahun. Tiga sektor ekonomi utama Indonesia terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan. Dibandingkan dengan tahun 2008, pada tahun 2009 terjadi peningkatan PDB pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa, dan sektor konstruksi. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB sebesar 15,3 persen pada tahun 2009 menempati posisi kedua setelah sektor industi pengolahan (26,4 persen) (Tabel 1).

Tabel 1. Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia pada Tahun 2008–2009

No. Lapangan Usaha PDB (%) 2008 2009 1. Industri Pengolahan 27,9 26,4 2. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 14,5 15,3 3. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 14,0 13,4 4. Pertambangan dan Penggalian 10,9 10,5

5. Jasa-Jasa 9,7 10,2

6. Konstruksi 8,5 9,9

7. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 7,4 7,2 8. Pengangkutan dan Komunikasi 6,3 6,3 9. Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,8 0,8

Total PDB 100,0 100,0

Sumber : BPS, 2010 (Diolah)

(17)

yaitu sebesar 51,8 persen dari PDB sektor pertanian tahun 2009 (BPS 2010). Salah satu komoditas tanaman pangan yang penting adalah ubi kayu.

Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan ketiga setelah padi dan jagung (Ginting 2002). Ubi kayu dapat digunakan sebagai bahan makanan, bahan pakan, bahan baku industri, dan komoditi ekspor. Menurut Hafsah (2003) sebagian besar produksi ubi kayu di Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85–90 persen), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chips, dan tepung tapioka. Ubi kayu dikonsumsi sebanyak 71,69 persen sebagai bahan pangan (langsung atau melalui proses pengolahan), 13,63 persen untuk keperluan industri non pangan, 2,00 persen untuk pakan, dan 12,66 persen terbuang (sisa di lahan pertanian).

Sebagai bahan makanan, ubi kayu merupakan komoditas pangan tradisional yang dijadikan sebagai sumber karbohidrat, dan melalui diversifikasi konsumsi dimanfaatkan sebagai substitusi asal beras. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, konsumsi ubi kayu per kapita per tahun di Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami fluktuasi namun cenderung menurun. Konsumsi ubi kayu per kapita di Indonesia pada tahun 2004 sebesar 9,67 kilogram per tahun telah turun menjadi 8,29 kilogram per tahun pada tahun 2008 (Tabel 2).

Tabel 2. Konsumsi Ubi Kayu per Kapita di Indonesia pada Tahun 2004–2008 Tahun Konsumsi per Kapita (Kg/Thn)

2004 9,67

2005 9,10

2006 7,93

2007 7,72

2008 8,29

Sumber : Susenas BPS, 2009

Sebagai bahan makanan, ubi kayu mempunyai peranan dalam pemenuhan bahan pangan langsung, tetapi tidak memberikan peranan yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Ubi kayu mempunyai peranan yang lebih besar sebagai bahan baku industri dan ekspor non migas. Beberapa produk olahan ubi kayu yang utama di Indonesia meliputi gaplek, pellet, dan tapioka. Produk olahan ubi

(18)

kayu memiliki potensi permintaan yang cukup tinggi dan cenderung meningkat karena selain dapat dikonsumsi secara langsung oleh rumah tangga, produk olahan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan baku industri dan sebagai bahan dasar industri lanjutan, seperti industri tekstil, kertas, dan farmasi.

Menurut Saleh dan Widodo (2007) ubi kayu pada sektor industri dapat diolah melalui proses dehidrasi (chips, pellet, tepung tapioka), hidrolisa (dekstrose, maltose, sukrose, sirup glukose), dan proses fermentasi (alkohol, butanol, aseton, asam laktat, sorbitol). Ubi kayu juga dapat digunakan dalam ransum pakan ternak maupun unggas dalam bentuk tepung tapioka, pellet, dan limbah industri ubi kayu (onggok).

Industri tapioka merupakan salah satu industri yang banyak menyerap bahan baku ubi kayu. Tepung tapioka yang diusahakan di Indonesia tidak hanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri tetapi juga untuk diekspor ke luar negeri. Selain mengekspor ubi kayu, Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam bentuk tapioka dan pati untuk berbagai keperluan industri (lem, sirup glukose, maltose, dan fruktose) (Saleh & Widodo 2007). Data ekspor dan impor komoditi ubi kayu Indonesia pada tahun 2005–2009 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Ekspor dan Impor Komoditi Ubi Kayu Indonesia pada Tahun 2005–

Tabel 3 menunjukkan bahwa volume dan nilai ekspor ubi kayu mengalami fluktuasi tetapi cenderung menurun. Penurunan volume dan nilai ekspor ubi kayu

1

http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/VOLUME%20DAN%20NILAI%20EKS POR%20DAN%20IMPOR%20TAN%20PANGAN%202004-2010.pdf (Diakses tanggal 27 Juli 2011)

(19)

terbesar terjadi antara tahun 2005 sampai 2006. Penurunan volume dan nilai ekspor ubi kayu antara tahun 2005 sampai 2006 masing-masing sebesar 173.544 ton dan US$ 24.346.000. Volume dan nilai impor ubi kayu juga mengalami fluktuasi tetapi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan volume dan nilai impor ubi kayu terbesar terjadi antara tahun 2005 sampai 2006. Peningkatan volume dan nilai impor ubi kayu antara tahun 2005 sampai 2006 masing-masing sebesar 202.196 ton dan US$ 45.652.000. Volume ekspor dan impor ubi kayu berfluktuasi setiap tahunnya tergantung kepada produksi ubi kayu, musim, serta permintaan dalam negeri dan luar negeri. Berdasarkan kondisi tersebut ubi kayu merupakan komoditas yang prospektif dan harus dikembangkan secara lebih serius untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan luar negeri.

Pengembangan ubi kayu dapat dilakukan dengan cara peningkatan areal tanam, peningkatan produktivitas, dan diversifikasi usahatani (sistem tumpangsari). Data perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas ubi kayu Indonesia pada tahun 2005–2009 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu Indonesia pada Tahun 2005-2009

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 2005 sampai tahun 2009 berfluktuasi setiap tahun dan cenderung menurun, sedangkan produksi dan produktivitas ubi kayu selalu menunjukkan peningkatan.

2

http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0 (Diakses tanggal 20 Oktober 2010)

(20)

Luas panen ubikayu pada tahun 2005 sebesar 1.213.460 mengalami penurunan menjadi 1.175.666 hektar pada tahun 2009. Rata-rata pertumbuhan luas panen ubi kayu per tahun sebesar -0,8 persen. Produksi ubi kayu pada tahun 2005 sebesar 19.321.183 ton meningkat menjadi 22.039.145 ton. Produktivitas ubi kayu selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yaitu dari 15,9 ton per hektar menjadi 18,7 ton per hektar. Peningkatan produksi ubi kayu lebih banyak disebabkan oleh peningkatan produktivitas ubi kayu. Rata-rata pertumbuhan produktivitas ubi kayu per tahun sebesar 4,2 persen.

Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumber daya manusia, dan tingkat adaptasi teknologi, maka tanaman ubi kayu dapat dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. Data produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat empat provinsi yang merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar di Indonesia, yaitu Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi keempat terbesar setelah Provinsi Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Lampiran 1).

Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang merupakan sentra produksi ubi kayu di Provinsi Jawa Barat. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor pada tahun 2009 sebesar 160.728 ton dengan luas panen 8.342 hektar dan produktivitas 19,3 ton per hektar (Tabel 5).

Tabel 5. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu di Sentra Produksi Ubi Kayu Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2009

No. Kabupaten Luas Panen Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2010

(21)

Ubi kayu di Kabupaten Bogor ditanam di beberapa kecamatan diantaranya Kecamatan Citereup, Sukaraja, Babakan Madang, Ciampea, dan Cibinong. Tabel 6 menunjukkan bahwa Kecamatan Sukaraja merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar kedua setelah Kecamatan Citereup, tetapi memiliki produktivitas yang paling tinggi di antara lima kecamatan sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor. Produksi ubi kayu di Kecamatan Sukaraja adalah sebesar 22.767 ton dengan luas panen sebesar 1.121 hektar dan produktivitas sebesar 20,3 ton per hektar. Produktivitas ubi kayu di Kecamatan Sukaraja lebih tinggi dibandingkan produktivitas rata-rata di Provinsi Jawa Barat dan nasional yaitu masing-masing sebesar 19,3 dan 18,7 ton per hektar.

Tabel 6. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu di Sentra Produksi Ubi Kayu Kabupaten Bogor pada Tahun 2009

No. Kecamatan Luas Panen (Ha) Produksi

(Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 1. Citeureup 1.672 31.922 19,1 2. Sukaraja 1.121 22.767 20,3 3. Babakan Madang 646 12.029 18,6 4. Ciampea 543 10.841 20,0 5. Cibinong 486 8.122 16,7 Sumber: Dispertanhut Kabupaten Bogor, 2009

Kecamatan Sukaraja memiliki 13 desa yang setiap desa terbentuk kelompok tani (poktan). Desa Cikeas merupakan salah satu daerah produksi ubi kayu di Kecamatan Sukaraja. Ada dua poktan di Desa Cikeas yaitu Poktan Tani Raharja dan Poktan Parung Aleng yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sukaraharja. Komoditas utama yang ditanam oleh anggota Gapoktan Sukaraharja adalah ubi kayu, pepaya, dan jagung. Komoditas ubi kayu merupakan komoditas yang paling banyak dibudidayakan oleh anggota Gapoktan Sukaraharja. Keputusan petani untuk menanam ubi kayu antara lain didasarkan oleh kondisi alam yang sesuai untuk budidaya ubi kayu, sifat usaha yang turun temurun, serta teknik budidaya dan sistem pemeliharaan yang relatif murah.

Ubi kayu yang umumnya ditanam oleh petani adalah varietas Manggu. Ubi kayu varietas Manggu menghasilkan ubi kayu yang mengandung kadar pati

(22)

tinggi sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan tapioka. Petani ubi kayu dapat menjual hasil panennya langsung kepada para pengolah tapioka yang terdapat di Desa Cikeas. Pengolah tapioka mengolah ubi kayu menjadi tapioka kasar (aci). Kegiatan pengolahan yang dilakukan oleh pengolah tapioka mengakibatkan bertambahnya nilai komoditas ubi kayu.

1.2. Perumusan Masalah

Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat dijadikan berbagai macam bahan makan olahan diantaranya keripik singkong, singkong rebus, kerupuk singkong, comro, dan misro. Selain itu ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku industri. Industri pengolahan tepung tapioka merupakan salah satu industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku. Industri pengolahan tepung tapioka tersebar di beberapa daerah sentra produksi ubi kayu, salah satunya adalah di Kabupaten Bogor.

Industri pengolahan tepung tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas pengolah tapioka dan pabrik penggilingan tapioka. Pengolah tapioka umumnya mengolah ubi kayu menjadi aci, sedangkan pabrik penggilingan tapioka mengolah aci menjadi tapioka halus. Industri tepung tapioka di Kabupaten Bogor pada saat ini semakin kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Salah satu penyebabnya adalah semakin menurunnya produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor.

Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 198.597 ton pada tahun 2008 menjadi 160.728 ton pada tahun 2009. Luas panen dan produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor juga mengalami penurunan. Luas panen ubi kayu di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 adalah 10.073 hektar menurun menjadi 8.342 hektar pada tahun 2009. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 19,7 ton per hektar pada tahun 2008 menjadi 19,3 ton per hektar pada tahun 2009 (BPS Provinsi Jawa Barat 2009, 2010)

Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor yang juga mengalami penurunan luas panen. Luas panen ubi kayu di Kecamatan Sukaraja pada tahun 2008 adalah sebesar 2.452 hektar menurun menjadi 1.121 hektar pada tahun 2009 (Dispertanhut Kabupaten Bogor 2008, 2009). Penyebab berkurangnya luas panen ubi kayu di Kecamatan Sukaraja diantaranya adalah alih fungsi lahan menjadi perumahan dan

(23)

berkurangnya minat petani untuk menanam ubi kayu, padahal budidaya ubi kayu tergolong mudah. Harga ubi kayu yang rendah merupakan salah satu penyebab berkurangnya minat petani untuk menanam ubi kayu. Petani banyak yang beralih menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti: pepaya dan jagung.

Desa Cikeas merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kecamatan Sukaraja. Terdapat satu gapoktan di Desa Cikeas yaitu Gapoktan Sukaraharja yang sebagian besar anggotanya merupakan petani ubi kayu. Petani ubi kayu di Desa Cikeas menanam ubi kayu sepanjang tahun. Lahan yang baru dipanen akan ditanami kembali dengan komoditas ubikayu. Sebagian besar petani ubi kayu di Desa Cikeas menggunakan varietas Manggu. Umur panen optimal ubi kayu varietas Manggu adalah sembilan sampai 12 bulan. Petani di Desa Cikeas menanam ubi kayu secara monokultur.

Petani ubi kayu di Desa Cikeas mengalami kendala dalam usahatani ubi kayu. Kendala yang dihadapi petani yaitu keterbatasan modal serta adanya serangan hama putih dan tungau merah. Keterbatasan modal menyebabkan usahatani ubi kayu masih dilakukan secara sederhana, khususnya dalam hal pemupukan. Petani umumnya belum melakukan pemupukan sesuai dengan dosis yang dianjurkan, sehingga produktivitas ubi kayu tidak optimal. Serangan hama putih dan tungau merah juga akan mempengaruhi produktivitas ubi kayu. Produktivitas ubi kayu yang terserang hama putih dan tungau merah akan mengalami penurunan. Kendala-kendala yang dihadapi oleh petani ubi kayu akan berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan dan akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani.

Pendapatan yang diperoleh petani juga dipengaruhi oleh biaya produksi yang dikeluarkan dan harga output yang diterima petani pada saat panen. Biaya produksi ubi kayu cenderung semakin meningkat terutama peningkatan biaya pemupukan dan tenaga kerja. Harga pupuk urea pada tahun 2009 sebesar Rp 1.600 per kilogram meningkat menjadi Rp 1800 per kilogram pada tahun 2010. Harga pupuk kandang juga meningkat dari Rp 150 per kilogram menjadi Rp 200 per kilogram. Upah tenaga kerja pria di Desa Cikeas pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 12.500 per hari meningkat menjadi Rp 20.000 per hari pada tahun 2010. Upah tenaga kerja wanita di Desa Cikeas juga meningkat dari Rp 6.500 per

(24)

hari pada tahun 2009 menjadi Rp 10.000 per hari pada tahun 2010. Peningkatan harga pupuk dan upah tenaga kerja menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan akhirnya akan mengurangi pendapatan yang diperoleh petani.

Harga ubi kayu yang diperoleh petani pada saat panen berkisar antara Rp 700 sampai Rp 1.100 per kilogram umbi kupas. Harga tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas ubi kayu yang dihasilkan petani dan kebutuhan pengolah tapioka. Pada musim hujan, kualitas ubi kayu akan menurun sehingga harga yang diperoleh petani akan rendah, dan permintaan ubi kayu juga menurun karena banyak pengolah tapioka yang tidak melakukan kegiatan pengolahan. Pengolah tapioka tidak melakukan kegiatan pengolahan pada musim hujan karena kegiatan pengeringan dalam produksi aci sangat bergantung pada sinar matahari sebagai sumber tenaga pengeringan. Penurunan harga ubi kayu akan berdampak sangat besar bagi petani yang memproduksi ubi kayu. Penurunan harga ubi kayu akan menyebabkan berkurangnya pendapatan yang diperoleh petani ubi kayu.

Ubi kayu segar yang dihasilkan oleh petani dari kegiatan budidaya memiliki sifat mudah rusak (perishable), volume besar (voluminous), dan mengambil ruang yang banyak (bulky). Sifat fisik ubi kayu tersebut menyebabkan biaya pengangkutan ubi kayu segar relatif tinggi. Tingginya biaya pengangkutan menyebabkan sebagian besar petani menjual hasil panennya langsung kepada pengolah tapioka dengan sistem borongan. Dalam sistem penjualan tersebut harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pengolah tapioka, tetapi dalam kenyataannya posisi petani lebih lemah sehingga harga akhir lebih ditentukan oleh pengolah tapioka. Sifat ubi kayu yang mudah rusak juga akan mempengaruhi saluran pemasaran yang terbentuk.

Biaya pengangkutan ubi kayu segar di Desa Cikeas mengalami peningkatan dari Rp 3.000 per pikul pada tahun 2009 menjadi Rp 5.000 per pikul pada tahun 2010. Satu pikul ubi kayu memiliki berat sebesar 72 kilogram. Peningkatan biaya pengangkutan akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan pengolah tapioka dalam kegiatan produksinya. Pengolah tapioka mengolah ubi kayu menjadi aci. Kegiatan pengolahan yang dilakukan oleh pengolah tapioka akan meningkatkan nilai tambah ubi kayu.

(25)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana keragaan usahatani ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

2. Berapa besar pendapatan usahatani ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

3. Bagaimana sistem pemasaran ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

4. Berapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dengan adanya usaha pengolahan ubi kayu menjadi aci ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis keragaan usahatani ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

2. Menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

3. Menganalisis sistem pemasaran ubi kayu pada petani Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor ?

4. Menganalisis nilai tambah yang dapat diciptakan dengan adanya usaha pengolahan ubi kayu menjadi aci ?

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa kegunaan, antara lain :

1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi petani anggota Gapoktan Sukaraharja di Desa Cikeas dalam upaya peningkatan pendapatan dan pengambilan keputusan dalam kegiatan usahatani ubi kayu.

2. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pengolah tapioka terutama dalam peningkatan pendapatan dan pengambilan keputusan bisnis ke depan.

3. Sebagai bahan informasi dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

4. Sebagai sarana bagi penulis untuk melatih kemampuan dalam menganalisa masalah berdasarkan fakta dan data.

(26)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Ubi Kayu

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilissima) memiliki nama lokal yang cukup bervariasi seperti: ketila, keutila, ubi kayee (Aceh), ubi parancih (Minangkabau), ubi singkung (Jakarta), batata kayu (Manado), bistungkel (Ambon), huwi dangdeur, huwi jendral, kasapen, sampeu, ubi kayu (Sunda), katela mantri, ubi kayu, tela pohung (Jawa), dan kasibi (Ternate). Ubi kayu berasal dari Benua Amerika, tepatnya dari Brazil. Ubi kayu menyebar ke hampir seluruh wilayah dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok (Purnomo & Purnamawati 2010).

Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah dikenali karena memiliki ciri khas, yaitu: batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata tunas), daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif. Umbi ubi kayu umumnya mengandung 10-490 miligram HCN per kilogram umbi basah (tergantung varietasnya). Senyawa HCN berbahaya jika dikonsumsi lebih dari 1 miligram HCN per kilogram bobot tubuh per hari. Umbi ubi kayu dengan kadar HCN kurang dari 50 miligram per kilogram bobot umbi dinyatakan aman untuk dimakan. Kadar HCN yang lebih dari 100 miligram per kilogram bobot umbi hanya diperkenankan untuk industri, seperti tepung tapioka (Purnomo & Purnamawati 2010).

Ubi kayu termasuk tanaman tropis yang tumbuh di daerah sekitar 300 LU sampai 300 LS, tetapi kebanyakan ditanam di daerah 200 LU sampai 200 LS. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ubi kayu antara 1.500-2.500 milimeter per tahun. Kelembapan udara optimal untuk tanaman ubi kayu antara 60-65 persen. Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ubi kayu sekitar 100 C. Pertumbuhan tanaman akan sedikit terhambat (tanaman menjadi kerdil) jika suhu udara di bawah 100 C. Tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Sinar matahari yang dibutuhkan tanaman ubi kayu sekitar 10 jam per hari.

(27)

kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8. 2.2. Usahatani Ubi Kayu

Ubi kayu merupakan salah satu komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani. Penelitian mengenai usahatani ubi kayu telah dilakukan oleh berbagai peneliti diantaranya dilakukan oleh Situmorang (1999), Niftia (2005), Asnawi (2007), dan Darwis et al. (2009). Situmorang (1999), Niftia (2005), Asnawi (2007), dan Darwis et al. (2009) menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio dalam penelitiannya.

Niftia (2005) menggunakan analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio untuk menganalisis usahatani ubi kayu di Desa Mekarwangi Kecamatan Tanah Sareal. Analisis pendapatan usahatani dan R-C rasio dilakukan secara umum yaitu dengan menyatukan usahatani pemilik dan penggarap. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu di Desa Mekarwangi memberikan keuntungan kepada petani sebesar Rp 1.096.500 per hektar. Usahatani ubi kayu di Desa Mekarwangi juga layak untuk dijalankan karena nilai R-C rasio atas biaya total lebih besar dari satu, yaitu 1,3.

Darwis et al. (2009) melakukan analisis usahatani dengan lokasi yang berbeda dengan Niftia (2005), yaitu Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu memberikan keuntungan bagi petani. Pendapatan total petani ubi kayu di Kabupaten Pati adalah sebesar Rp 15.000.000 per hektar dengan R-C rasio sebesar 1,67.

Analisis usahatani ubi kayu yang dilakukan oleh Niftia (2005) dan Darwis

et al. (2009) sebenarnya dapat dikembangkan lebih lanjut tergantung dari tujuan penelitian. Analisis usahatani dapat dilakukan berdasarkan status pengusahaan lahan dan musim tanam (MT) (Situmorang 1999), serta perbedaan sistem tanam (Asnawi 2007).

Situmorang (1999) melakukan analisis usahatani berdasarkan status penguasaan lahan dan musim tanam. Analisis usahatani dalam penelitian tersebut dibedakan antara petani pemilik dan petani penggarap karena 36,67 persen dari jumlah responden dalam penelitian tersebut merupakan petani penggarap. Perbedaan status pengusahaan lahan menyebabkan adanya perbedaan biaya lahan,

(28)

dimana petani pemilik membayar pajak dan sewa lahan yang diperhitungkan, sedangkan petani pemilik membayar sewa lahan berdasarkan sistem bagi hasil yang telah disepakati dengan pemilik lahan. Analisis usahatani dalam penelitian tersebut juga dibedakan antara MT 1997/1998 dan MT 1998/1999, karena diantara kedua MT tersebut terdapat perbedaan biaya produksi dan penerimaan dalam usahatani ubi kayu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penurunan harga ubi kayu dan peningkatan biaya produksi (biaya tunai dan biaya diperhitungkan) menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan pada petani pemilik dan petani penggarap.

Pendapatan total per hektar petani pemilik turun dari Rp 4.376.679 pada MT 1997/1998 menjadi Rp 115.329 pada MT 1998/1999, sedangkan pendapatan total per hektar petani penggarap turun dari Rp 4.124.812 pada MT 1997/1998 menjadi Rp 1.228.995 pada MT 1998/1999. Nilai R-C rasio juga mengalami penurunan pada petani pemilik dan petani penggarap. R-C rasio atas biaya total bagi petani pemilik turun dari 1,97 pada MT 1997/1998 menjadi 1,02 pada MT 1998/1999, sedangkan R-C rasio atas biaya total bagi petani penggarap turun dari 1,87 pada MT 1997/1998 menjadi 1,32 pada MT 1998/1999.

Penelitian Situmorang memberikan informasi bahwa penurunan harga dan peningkatan biaya produksi memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap usahatani ubi kayu petani pemilik. Usahatani ubi kayu petani pemilik mengalami penurunan pendapatan dan R-C rasio yang lebih besar dibanding usahatani petani penggarap. Usahatani ubi kayu petani penggarap pada MT 1998/1999 lebih efisien dibandingkan dengan usahatani ubi kayu petani pemilik.

Asnawi (2007) melakukan analisis usahatani untuk membandingkan sistem tanam double row dan teknologi petani dalam kegiatan budidaya ubi kayu di Lampung. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa sistem tanam

double row mampu meningkatkan penerimaan petani karena produktivitas ubi kayu meningkat lebih dari 100 persen. Peningkatan penerimaan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan usahatani ubi kayu dengan sistem tanam double row adalah Rp 12.714.000, sedangkan dengan teknologi petani hanya Rp 3.742.500. Sistem tanam double row juga lebih layak untuk digunakan karena nilai R-C rasio atau biaya variabelnya lebih besar dari R-C rasio

(29)

atas biaya variabel dari teknologi petani. Nilai R-C rasio atas biaya variabel dari sistem double row adalah 2,55 sedangkan teknologi petani adalah 1,65.

Dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa usahatani ubi kayu memberikan keuntungan dan layak untuk dijalankan di berbagai daerah. Status pengusahaan lahan dan sistem tanam yang berbeda dapat mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani dan nilai R-C rasio. Penggunaan pola tanam dan sistem tanam yang tepat merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ubi kayu.

2.3. Struktur Biaya Usahatani Ubi Kayu

Pengeluaran atau biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Pengeluaran usahatani juga mencakup biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tetap diantaranya adalah sewa lahan, pajak, penyusutan alat, dan bangunan pertanian. Biaya tidak tetap terdiri dari pembelian faktor produksi seperti benih, pupuk, dan tenaga kerja.

Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani ubi kayu diantaranya adalah biaya bibit, biaya pupuk, biaya tenaga kerja, sewa lahan, dan pajak. Hal tersebut dinyatakan oleh Situmorang (1999), Niftia (2005), Asnawi (2007), dan Darwis et al. (2009). Biaya yang juga dikeluarkan oleh petani adalah biaya penyusutan peralatan (Situmorang 1999, Niftia 2005), herbisida (Asnawi 2007), transportasi (Asnawi 2007, Darwis et al. 2009), dan biaya rafaksi atau potongan timbangan (Asnawi 2007).

Biaya terbesar yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani ubi kayu berbeda-beda. Situmorang (1999) dan Darwis et al. (2009) menyatakan bahwa biaya terbesar dalam usahatani ubi kayu adalah sewa lahan. Hasil penelitian Situmorang menunjukkan bahwa pada MT 1997/1998, biaya diperhitungkan oleh petani pemilik untuk sewa lahan adalah sebesar Rp 20.000.000 per hektar atau 45,55 persen dari keseluruhan biaya usahatani. Biaya sewa lahan untuk petani pemilik tersebut nilainya tetap pada MT 1998/1999 tetapi persentasenya menurun menjadi 40,29 persen dari keseluruhan biaya usahatani. Sedangkan sewa lahan yang dikeluarkan oleh petani pemilik nilainya menurun dari Rp 2.521.866 per

(30)

hektar (53 persen dari biaya keseluruhan usahatani) pada MT 1997/1998 menjadi Rp 1.156.333 per hektar (30 persen dari biaya keseluruhan usahatani) pada MT 1998/1999. Hasil penelitian Darwis et al. (2009) juga menyatakan bahwa biaya sewa lahan merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh petani ubi kayu di Kabupaten Pati, yaitu sebesar 66,59 persen dari keseluruhan biaya usahatani.

Niftia (2005) dan Asnawi (2007) menyatakan hal yang berbeda dengan hasil penelitian Situmorang (1999) dan Darwis et al. (2009). Hasil penelitian yang dilakukan Niftia (2005) menunjukkan bahwa biaya terbesar dari usahatani ubi kayu adalah biaya untuk bibit ubi kayu yaitu sebesar Rp 1.000.000 atau 27 persen dari keseluruhan biaya usahatani. Hasil penelitian Asnawi (2007), menunjukkan bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan petani adalah biaya tenaga kerja, yaitu sebesar 60,28 persen dari biaya keseluruhan dengan sistem double row dan 62,15 persen dengan teknologi petani.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas diketahui bahwa struktur biaya usahatani ubi kayu berbeda-beda untuk setiap kasus usahatani. Struktur biaya tersebut akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan usahatani ubi kayu.

2.4. Pemasaran Ubi Kayu

Penelitian mengenai pemasaran diantaranya dilakukan oleh Situmorang (1999) dan Darwis et al. (2009). Jenis produk ubi kayu yang dipasarkan di beberapa daerah di Indonesia diantaranya adalah berupa ubi kayu dan gaplek. Perbedaan jenis produk tersebut membedakan saluran pemasarannya.

Sebagai bahan baku pabrik tepung tapioka, saluran pemasaran ubi kayu relatif pendek, hal ini terkait dengan sifat ubi kayu segar yang mudah rusak. Ubi kayu segar untuk tujuan pengolahan tapioka hanya dapat disimpan selama 48 jam. Saluran pemasaran ubi kayu di Desa Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara hanya terdiri dari satu saluran, yaitu petani – pabrik tapioka kasar (PTK) – pabrik tapioka halus (PTH) (Situmorang 1999). Saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Pati terdiri dari tiga saluran, yaitu (1) petani – pedagang pengumpul atau penebas – pabrik atau perusahaan makanan ringan, (2) petani – pedagang pengumpul atau penebas – perusahaan pengrajin tapioka atau krosok – pabrik atau perusahaan makanan ringan, (3) petani – pedagang pengumpul atau penebas –

(31)

makelar – perusahaan pengrajin tapioka atau krosok – pabrik atau perusahaan makanan ringan (Darwis et al. 2009).

Menurut hasil penelitian Situmorang (1999), stuktur pasar yang terjadi antara petani dan pabrik tapioka kasar adalah pasar oligopoli, sedangkan struktur pasar yang terjadi antara pabrik tapioka kasar dan pabrik tapioka halus adalah pasar monopsoni. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa struktur pasar ubi kayu didominasi oleh pabrik tapioka kasar.

Efisiensi pemasaran merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran ubi kayu dapat dianalisis dengan menggunakan alat analisis marjin pemasaran, farmer’s share dan analisis keuntungan terhadap biaya. Situmorang (1999) menggunakan analisis marjin dan menghitung share masing-masing lembaga pemasaran.

Situmorang (1999) melakukan analisis marjin pemasaran berdasarkan harga-harga dan biaya-biaya yang berlaku. Harga serta biaya tersebut dihitung dalam satuan yang setara dengan satu kilogram ubi kayu untuk setiap tingkat lembaga pemasaran. Marjin pemasaran total dalam penelitian tersebut adalah sebesar Rp 188,66 yang terdiri dari biaya pemasaran sebesar Rp 57,64 dan keuntungan pemasaran sebesar Rp 131,02. Total marjin tersebut merupakan penjumlahan marjin yang diperoleh Pabrik Tapioka Halus (PTH) yaitu Rp 129,37 dengan yang diperoleh Pabrik Tapioka Kasar (PTK) yaitu sebesar Rp 59,29. Situmorang (1999) juga menganalisis share masing-masing lembaga pemasaran.

Share tertinggi diperoleh oleh petani yaitu sebesar 59,31 persen, kedua oleh PTH sebesar 27,9 persen, dan share terendah yaitu sebesar 12,79 persen diterima oleh PTK. Pembagian keuntungan diantara lembaga yang terlibat tidak adil, sebab PTK yang lebih banyak mengeluarkan biaya justru memperoleh keuntungan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan yang diterima oleh PTH. Berdasarkan hasil analisis share maka sistem pemasaran ubi kayu di Desa Cimahpar dapat dikatakan tidak efisien.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa saluran pemasaran ubi kayu di setiap daerah berbeda-beda. Saluran pemasaran ubi kayu juga berbeda untuk setiap jenis produk yang dipasarkan. Pemasaran ubi kayu

(32)

dalam bentuk gaplek lebih menguntungkan bagi petani dibanding pemasaran dalam bentuk ubi kayu segar.

2.5. Analisis Nilai Tambah

Penelitian mengenai analisis nilai tambah diantaranya dilakukan oleh Purba (2002), Asnawi (2003), Mulja (2006), Tunggadewi (2009), dan Sari (2011). Metode yang umumnya digunakan peneliti terdahulu dalam menganalisis nilai tambah adalah metode Hayami.

Purba (2002) menggunakan metode Hayami untuk menganalisis nilai tambah pada industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kecamatan Bogor Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri kecil tapioka mampu memberikan nilai tambah sebesar Rp 98,753 per kilogram ubi kayu. Rasio nilai tambah sebesar 24,115 persen dari total nilai output. Nilai tambah Rp 98,753 merupakan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 69,000 dan keuntungan sebesar Rp 29,753. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan tenaga kerja.

Asnawi (2003) meneliti tentang nilai tambah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Penelitian dilakukan pada Industri Tepung Tapioka Rakyat (Ittara) di Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengolah satu kilogram ubi kayu membutuhkan tenaga kerja per hari orang kerja (HOK) sebesar Rp 13.000. Nilai tepung tapioka yang dihasilkan dari setiap kilogram ubi kayu sebesar Rp 218,50, sedangkan nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka sebesar Rp 57,91 per kilogram. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yaitu 30,07 persen, yang menunjukkan bahwa setiap Rp 100 produk akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 30,07. Keuntungan yang didapat dari tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram bahan baku, sedangkan bagian keuntungan dari nilai tambah sebesar 88,13 persen. Keuntungan tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar 11,87 persen, yang menandakan keuntungan sebesar Rp 57,91 per kilogram bahan baku ubi kayu hanya dinikmati pemilik dan pengelola Ittara sedangkan petani belum mendapatkan bagian.

Mulja (2006) melakukan penelitian dengan studi kasus yang sama dengan yang dilakukan Purba (2002) yaitu pada pengrajin tepung tapioka di Desa Ciparigi Kecamatan Bogor Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan ubi

(33)

kayu menjadi tepung tapioka memberikan nilai tambah sebesar Rp 619,23. Rasio nilai tambah yang diperoleh sebesar 70,76 persen, yang menunjukkan bahwa pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memberikan nilai tambah sebesar 70,76 persen dari nilai produk. Imbalan atau pendapatan tenaga kerja langsung adalah sebesar Rp 80,5 per kilogram bahan baku. Persentase imbalan tenaga kerja terhadap nilai tambah adalah sebesar 13,00 persen. Imbalan terhadap modal dan keuntungan adalah sebesar 87,00 persen dari nilai produk.

Tunggadewi (2009) melakukan penelitian mengenai nilai tambah usaha tahu dan tempe. Tunggadewi menganalisis nilai tambah usaha tahu dan tempe dengan menggunakan metode Hayami. Hasil perhitungan analisis nilai tambah pengolahan kedelai terhadap kedua usaha tersebut menunjukkan bahwa usaha tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan usaha tempe, dimana nilai tambah untuk usaha tahu adalah sebesar Rp 6.881 sedangkan usaha tempe sebesar Rp 4.947.

Sari (2011) melakukan penelitian mengenai nilai tambah agroindustri chip ubi kayu sebagai bahan baku pembuatan mocaf (modified cassva flour) di Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembuatan

chips memberikan nilai tambah sebesar Rp 172,37 per kilogram. Rasio nilai tambah yang diperoleh sebesar 19,32 persen, yang menunjukkan bahwa proses pembuatan chips memberikan nilai tambah sebesar 19,32 persen dari nilai produk. Pendapatan tenaga kerja adalah sebesar Rp 99,73 per kilogram (37,45 persen dari nilai tambah), sedangkan tingkat keuntungan adalah sebesar Rp 72,64 per kilogram (62,55 persen dari nilai tambah).

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat diketahui bahwa proses pengolahan yang dilakukan pada satu komoditi akan menciptakan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan akan berbeda pada setiap kegiatan pengolahan suatu komoditi.

(34)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah usahatani, penerimaan usahatani, pengeluaran usahatani, pendapatan usahatani,

return cost ratio (R-C rasio), pemasaran, saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi pemasaran, dan nilai tambah. 3.1.1. Konsep Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah 2008). Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2002).

Soekartawi et al. (1986) mengemukakan bahwa tujuan usahatani dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan pengeluaran. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk memperoleh keuntungan maksimum. Konsep meminimumkan pengeluaran berarti bagaimana menekan pengeluaran produksi sekecil-kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu. Menurut Rahim dan Hastuti (2008), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi pertanian, yaitu :

1. Lahan Pertanian

(35)

tersebut. Pengusahaan pertanian selalu didasarkan pada luasan lahan pertanian tertentu, walaupun akhir-akhir ini pengusahaan pertanian tidak hanya didasarkan pada luasan lahan tertentu, tetapi juga pada sumberdaya lain seperti media air atau lainnya. Pentingnya faktor produksi lahan tidak hanya dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan, tetapi juga dari segi yang lain, misalnya aspek kesuburan tanah, jenis penggunaan lahan (tanah sawah, tegalan, dan sebagainya), dan topografi (tanah dataran pantai, rendah, dan dataran tinggi).

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja harus mempunyai kualitas berfikir yang maju seperti petani yang mampu mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga nilai jual tinggi. Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai.

Usahatani yang mempunyai ukuran lahan berskala kecil disebut usahatani skala kecil, dan biasanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Lain halnya dengan usahatani skala besar, selain menggunakan tenaga kerja luar keluarga juga memiliki tenaga ahli. Ukuran tenaga kerja dapat dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK). Analisis ketenagakerjaan memerlukan standardisasi tenaga kerja yang biasanya disebut dengan hari kerja setara pria (HKSP).

3. Modal

Setiap kegiatan membutuhkan modal dalam mencapai tujuannya, terutama dalam kegiatan proses produksi komoditas pertanian. Modal dalam kegiatan proses produksi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap terdiri atas tanah, bangunan, mesin, dan peralatan pertanian dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan modal yang tidak tetap terdiri dari benih, pupuk, pestisida, dan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja.

Besar kecilnya skala usaha pertanian atau usahatani tergantung dari skala usahatani, jenis komoditas, dan tersedianya kredit. Skala usahatani sangat menentukan besar kecilnya modal yang dipakai. Semakin besar skala usahatani

(36)

maka semakin besar modal yang dipakai, begitu juga sebaliknya. Jenis komoditas dalam proses produksi komoditas pertanian juga menentukan besar kecilnya modal yang dipakai. Tersedianya kredit sangat menentukan keberhasilan usahatani.

4. Manajemen

Faktor produksi manajemen menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan efisiensi. Produksi yang diharapkan tinggi tidak akan tercapai apabila tidak dilakukan pengelolaan yang baik terhadap faktor produksi tanah, tenaga kerja dan modal. Variabel manajemen jarang digunakan dalam analisa karena pengukuran variabel tersebut sulit dilakukan. Manajemen memiliki peranan yang sangat penting dalam usahatani modern. Manajemen diperlukan dalam mengelola produksi pertanian mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan evaluasi (evaluation).

5. Pupuk

Seperti halnya manusia selain mengkonsumsi makanan pokok, dibutuhkan pula konsumsi nutrisi vitamin sebagai tambahan makanan pokok. Tanahpun demikian, selain air sebagai konsumsi pokoknya, pupuk juga sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Jenis pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik dan anorganik.

6. Pestisida

Pestisida sangat dibutuhkan tanaman untuk mencegah serta membasmi hama dan penyakit yang menyerangnya. Pestisida merupakan racun yang mengandung zat-zat aktif sebagai pembasmi hama dan penyakit pada tanaman. 7. Bibit

Bibit menentukan keunggulan dari suatu komoditas. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit, hasil komoditasnya berkualitas tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga dapat bersaing di pasar.

8. Teknologi

Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap tanaman dan dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Sebagai contoh, tanaman padi dapat dipanen dua kali dalam setahun, tetapi dengan adanya

(37)

perlakuan teknologi terhadap komoditas tersebut, tanaman padi dapat dipanen tiga kali setahun.

3.1.1.1. Penerimaan Usahatani

Penerimaan kotor atau pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi et al. 1986). Istilah lain dari pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani yang dibedakan menjadi penerimaan tunai dan tidak tunai.

Penerimaan tunai adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Penerimaan tunai tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda yang dikonsumsi. Penerimaan tidak tunai merupakan penerimaan berbentuk benda, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan di gudang.

3.1.1.2. Pengeluaran Usahatani

Pengeluaran atau biaya total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai di dalam produksi (Soekartawi et al. 1986). Pengeluaran usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable cost) (Soekartawi et al. 1986; Hernanto 1989). Pengeluaran tetap adalah pengeluaran yang relatif tetap jumlahnya dan tidak berpengaruh terhadap besarnya produksi, misalnya: sewa lahan, pajak, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, dan pemeliharaan pompa air. Pengeluaran variabel merupakan pengeluaran yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, misalnya: biaya untuk pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja upahan, dan biaya panen (Soekartawi

et al. 1986; Hernanto 1989; Mubyarto 1995).

Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai atau biaya diperhitungkan (Soekartawi et al. 1986). Pengeluaran tunai

(38)

adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran tunai dari biaya tetap dapat berupa air dan pajak tanah, sedangkan untuk biaya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga luar keluarga. Pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Pengeluaran tidak tunai dari biaya tetap dapat berupa biaya untuk tenaga keluarga, sedangkan untuk biaya variabel antara lain biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai (Hernanto 1989).

3.1.1.3. Pendapatan Usahatani

Pendapatan bersih usahatani merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani (Soekartawi et al. 1986). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan bersih merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat digunakan untuk membandingkan beberapa penampilan usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai. Pendapatan tunai usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani.

3.1.1.4. Return Cost Ratio (R-C Rasio)

Menurut Soekartawi (2002), analisis return cost ratio merupakan selisih perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Rasio penerimaan atas biaya produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif usahatani, artinya dari angka rasio penerimaan atas biaya tersebut dapat diketahui apakah suatu usahatani menguntungkan atau tidak (Soeharjo & Patong 1973). Secara teoritis R-C rasio menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R-C rasionya dikurangi satu. Suatu usahatani dikatakan efisien dan menguntungkan apabila nilai R-C rasio lebih besar dari satu dan sebaliknya suatu usahatani dikatakan belum menguntungkan

(39)

atau tidak efisien apabila R-C rasio kurang dari satu (Soeharjo & Patong 1973; Soekartawi et al. 1986).

3.1.2. Konsep Pemasaran

Pemasaran adalah kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen (Mubyarto 1995). Dahl dan Hammond (1977) menekankan definisi pemasaran kepada serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun output produk mulai dari titik produksi primer sampai konsumen akhir.

Pemasaran merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran dari produk-produk dan jasa-jasa dimulai dari tingkat produksi pertanian sampai di tingkat konsumen akhir (Limbong & Sitorus 1985; Kohls & Uhl 2002). Sistem pemasaran dapat dianalisis melalui lima pendekatan (Kohls & Uhl 2002), yaitu : 1. Pendekatan fungsi (functional approach) adalah pendekatan studi pemasaran

dari aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi atau perlakuan yang ada pada proses dalam sistem pemasaran. Pendekatan ini terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan), dan fungsi fasilitas (standardisasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar).

2. Pendekatan kelembagaan (institutional approach), yang terdiri dari pedagang perantara, agen perantara, spekulator, pengolahan dan pabrikan, serta organisasi.

3. Pendekatan sistem perilaku (behavioral system approach) merupakan pelengkap dari kedua fungsi di atas, yaitu menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran seperti perubahan dan perilaku lembaga pemasaran. Pendekatan perilaku ini terdiri dari pendekatan input-output,

power, communications, dan adaptive behavioral system. 3.1.2.1. Saluran Pemasaran

Saluran pemasaran adalah himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong & Sitorus 1985). Menurut Kotler (2005) saluran pemasaran adalah

(40)

beberapa organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses mengupayakan agar produk atau jasa tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi.

Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan petani produsen untuk menyalurkan hasil pertanian dari produsen sampai konsumen (Rahardi et al.

2007). Saluran pemasaran suatu komoditi pertanian sangat bervariasi baik dalam penyaluran satu jenis komoditi maupun dengan lain jenis komoditi (Limbong & Sitorus 1985). Saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Menurut Limbong dan Sitorus (1985) dan Kotler (2005), setiap perantara yang melakukan usaha menyalurkan barang kepada pembeli akhir membentuk suatu tingkatan saluran. Saluran nol-tingkat (saluran pemasaran langsung) terdiri dari produsen yang menjual langsung ke konsumen. Saluran satu-tingkat mempunyai satu perantara penjualan, yaitu pengecer. Saluran dua-tingkat mempunyai dua perantara, yaitu grosir atau pedagang besar dan sekaligus pengecer. Saluran tiga-tingkat mempunyai tiga perantara, yaitu pedagang besar, pemborong, dan pengecer.

3.1.2.2. Fungsi-Fungsi Pemasaran

Pendekatan fungsi (functional approach) menurut Kohls dan Uhl (2002) adalah pendekatan studi pemasaran dari aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi atau perlakuan yang ada pada proses dalam sistem pemasaran. Pendekatan ini untuk menganalisis dan mempelajari berbagai gejala dalam proses pemasaran untuk beberapa aspek fungsional pokok, sehingga seluruh proses pemasaran dapat memberikan gambaran yang ringkas dan lengkap. Fungsi tersebut terdiri dari : 1. Fungsi pertukaran (exchange functions), merupakan aktivitas dalam

perpindahan hak milik barang atau jasa. Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan.

2. Fungsi fisik (physical functions), merupakan aktivitas penanganan, pergerakan, dan perubahan fisik dari produk atau jasa dan turunannya. Fungsi ini terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan.

3. Fungsi fasilitas (facilitating functions), merupakan fungsi yang mungkin memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Aktivitasnya tidak langsung di dalam proses fungsi pertukaran dan fisik, tetapi memperlancar

(41)

aktivitas fungsi tersebut. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standardisasi, dan fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar.

Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama belum dikonsumsi atau menunggu untuk diangkut ke daerah pemasaran. Selama pelaksanaan penyimpanan dilakukan beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Semua biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan yang dilaksanakan adalah biaya penyimpanan termasuk biaya pemeliharaan fisik gudang, risiko kerusakan selama penyimpanan, dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama barang-barang tersebut masih disimpan.

Fungsi pengangkutan bertujuan untuk menyediakan barang di daerah konsumen yang sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah, dan mutunya. Adanya keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang tidak sesuai dengan sifat barang yang akan diangkut dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.

Fungsi standardisasi adalah suatu ukuran atau penentuan mutu suatu produk dengan berbagai ukuran warna, bentuk, kadar air, kematangan, rasa, dan kriteria lainnya. Grading adalah tindakan menggolongkan suatu produk menurut standardisasi yang diinginkan oleh pembeli. Kedua fungsi ini memberikan manfaat dalam proses pemasaran, yaitu mempermudah pelaksanaan jual-beli serta mengurangi biaya pemasaran terutama biaya pengangkutan.

3.1.2.3. Struktur Pasar

Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar merupakan suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk atau penguasaan pasar, dan sebagainya. Struktur pasar digunakan untuk menganalisis jenis pasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai perilaku pelaku pemasaran serta keragaan dari suatu pasar.

Gambar

Tabel 5.  Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Ubi Kayu di Sentra Produksi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 8. Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu
Tabel 13. Struktur Mata Pencaharian Penduduk di Desa Cikeas pada Tahun 2009
+5

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata Biaya Tetap dan Biaya Variabel Usahatani Ubi kayu dalam Satu Kali Musim Tanam di Desa Mojo Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati, 2012... dkk.,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran pemasaran ubi kayu mulai dari produsen sampai ke konsumen, besarnya marjin, biaya dan keuntungan pemasaran ubi kayu antar

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kelayakan usahatani dan pengolahan ubi kayu serta bagaimana meyusun strategi pengembangan agribisnis ubi kayu tersebut..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi bahan mentah keripik singkong, efisiensi dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran pemasaran ubi kayu mulai dari produsen sampai ke konsumen, besarnya marjin, biaya dan keuntungan pemasaran ubi kayu antar

Tujuan penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi pola kemitraan usahatani ubi kayu antara petani dengan PT Panca Agung Sejati di Desa Gajah Mati Kecamatan Sungai

Tujuan penelitian ini adalah: mengetahui alasan petani memilih usahatani monokultur ubi kayu dan usahatani tumpangsari ubi kayu-kacang tanah, mengetahui perbedaan pendapatan

Rerata pendapatan usahatani ubi kayu Desa Tungkaran No Penerimaan kg Biaya eksplisit Rp Pendapatan Rp 1 2.468.142,86 961.413,50 1.506.729,36 Sumber : Pengolahan Data Primer 2021