• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

 

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memproduksi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu dalam jumlah yang cukup besar. Selain hasil hutan utama yaitu kayu, hasil hutan non kayu juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu perlu adanya pengolahan hasil hutan non kayu, mengingat potensi Indonesia dari segi hasil hutan non kayunya cukup besar, misalnya getah, rotan dan kulit.

Agathis spp. merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki potensi tinggi. Selain hasil kayunya, Agathis spp. juga salah satu pohon penghasil getah dimana hasil olahan getah (resin) disadap dari batang pohon yang biasa disebut kopal. Kopal sebagai hasil hutan non kayu merupakan salah satu komoditi yang cukup penting dalam dunia perdagangan dan sangat berguna untuk keperluan industri. Kopal dapat digunakan untuk berbagai industri cat, vernis, tekstil dan lain-lain.

Proses keluarnya getah Agathis spp. umumnya dibantu oleh bahan perangsang getah (stimulansia). Tujuan dari penggunaan stimulansia tersebut adalah untuk meningkatkan produksi getah. Pada umunya, stimulansia yang banyak digunakan untuk memaksimalkan keluarnya getah yaitu stimulansia anorganik yaitu H2SO4. Namun pada kenyataannya penggunaan stimulansia

anorganik ini memberikan dampak negatif bagi kayu yaitu batang menjadi kering, kesehatan pekerja dan lingkungan sekitar.

(2)

bagian dalam. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai cara pemberian ETRAT 1240 yang tepat agar stimulansia dapat diserap pohon dengan baik sehingga getah yang dikeluarkan dapat maksimal.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan ETRAT 1240 pada penyadapan kopal selama ini baru pertama kali dilakukan. Stimulansia organik berupa asam sitrat yang terkandung dalam ETRAT 1240 bekerja mempengaruhi pohon agathis dari luar sedangkan ethylene

mempengaruhi pohon agathis dari dalam. Perlu dilakukan penelitian agar dapat diketahui cara pemberian yang sesuai agar asam sitrat dan ethylene dapat menyerap dan bekerja dengan baik sehingga getah yang dihasilkan dapat meningkat.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pemberian ETRAT 1240 yang efektif agar diperoleh produktivitas penyadapan kopal yang tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

(3)

 

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Salah satu kelompok hasil hutan yang dikenal di Indonesia adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu semua hasil hutan baik berupa makhluk hidup nabati (kecuali kayu pertukangan dan kayu bakar) dan hewani, maupun jasa dari kawasan hutan (Sumadiwangsa 1998). Menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2010) produksi kopal setiap tahun mengalami peningkatan. Data terakhir produksi kopal mencapai 414 ton pada tahun 2009.

2.2 Agathis

2.2.1 Ciri Pohon Agathis

Agathis spp. merupakan tanaman dari famili Araucariaceae. Pohon ini berukuran sedang hingga sangat besar, berumah satu, tingginya hingga 60-65 m, batang utamanya lurus, berbentuk silinder, diameter hingga 150 cm, tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan yang melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil-kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir, mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal. Pohon agathis tumbuh dalam hutan primer pada tanah berpasir, berbatu-batu atau tanah liat yang selamanya tidak digenangi air, pada ketinggian 2-1.750 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 2005).

(4)

menyatu dengan dasarnya, diameter melintang microsporophyl berukuran hingga 2 mm, bagian ujung membulat. Kerucut jantan berwarna hijau sampai hijau cerah dan berubah menjadi coklat saat masak dan pelepasan serbuk sari. Serbuk sari tidak bersayap berdiameter 20,16-50,4 mikron (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Kayu agathis diklasifikasikan agak kuat namun tidak awet dan tidak tahan terhadap pembusukan. Kayunya terutama digunakan untuk korek api, perabot rumah tangga, finir bermutu baik, bahan kertas, kayu lapis dan pulp. Bagian dalam kulit kayu mengeluarkan resin bening (kopal), yang merupakan bagian penting dalam pembuatan pelitur dan dahulu digunakan dalam pembuatan minyak pelapis lantai, pernis, dupa, cat dll (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Menurut Salverda (1937) dalam Manuputty (1995), saluran-saluran getah pada agathis terdapat dalam kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Jika ditampang, kulit bagian dalam agathis terlihat saluran-saluran damar yang lebar dan terang. Jalannya saluran-saluran damar membujur tetapi hubungan melintang dalam lapisan-lapisan tangensial juga terdapat. Lapisan masing-masing tidak berhubungan satu sama lain. Jika dilukai, tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran damar yang terpotong. Jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik, kopal mengalir keluar dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mulai mengeras, saluran damar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil.

2.2.2 Penyebaran dan Habitat

(5)

tahun pertama. Setelah bebas dari kompetisi dengan semak belukar, pertumbuhannya menjadi cepat, seperti terlihat pada sebagian besar hutan hujan primer. Sistem perakaran sensitif terhadap kekurangan oksigen dan pohon tidak tahan genangan air. Jenis ini ditanam sebagai hutan tanaman, penanaman sulaman dan reboisasi di berbagai wilayah sebaran alaminya. Di luar sebaran alaminya, telah di tanam di Jawa. Agathis memerlukan drainase yang baik dan tumbuh pada kondisi tanah dengan pH 6,0-6,5 serta tahan terhadap tanah berat (heavy soil) dan keasaman.

2.3 Struktur Anatomi Kayu Konifer

Mandang dan Pandit (1997) menyatakan kelompok kayu daun jarum, juga sering disebut kayu lunak atau kayu konifer. Struktur kayu daun jarum lebih sederhana bila dibandingkan dengan struktur kayu daun lebar. Oleh karena itu kelompok ini sering juga disebut sebagai kayu berstruktur homogen. Struktur anatominya meliputi:

1. Macam sel, fungsi dan susunannya

Berbeda dengan jenis-jenis pohon kayu daun lebar, jenis-jenis pohon kayu daun jarum tidak memiliki sel-sel pembuluh dalam kayunya. Yang ada hanya serat, parenkima aksial dan jari-jari. Fungsinya sama dengan sel-sel serupa pada daun lebar. Fungsi saluran air dan zat hara yang ada pada kayu daun lebar dijalankan oleh sel-sel pembuluh, pada kayu daun jarum dirangkap oleh serat. Tidak adanya pembuluh pada kayu daun jarum memudahkan untuk membedakannya dari kayu daun lebar secara makroskopik. Pada penampang bujur (tangensial/radial) kayu daun lebar terdapat goresan-goresan sel pembuluh, tetapi tidak demikian pada kayu daun jarum. Susunan sel-sel kayu daun jarum dalam batang pohon terdapat saluran interseluler, tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua kayu daun jarum mempunyai saluran interselular.

2. Trakeid

(6)

mencapai 10.000 mikron, 3-4 kali lebih panjang dari serat kayu daun lebar. Pada dindingnya terdapat noktah-noktah berhalaman.

3. Parenkima

Parenkima pada kayu daun jarum mempunyai bentuk dan fungsi yang sama dengan parenkima pada kayu daun lebar. Parenkima adalah sel-sel yang mirip kotak. Dinding selnya relatif tipis. Sel-sel inilah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara hasil fotosintesis, dan mungkin juga sebagai tempat pengolahan lebih lanjut untuk keperluan jaringan di sekitarnya. Parenkima tidak ada atau sangat jarang terlihat pada kayu agathis dan araukaria. Pada beberapa jenis kayu terdapat rongga-rongga antar sel yang berupa saluran-saluran sempit yang dikelilingi oleh parenkima, serta selaput yang terdiri atas sel-sel epitel. Ke saluran interseluler ini, parenkima mengeluarkan zat-zat damar pada jenis-jenis pohon Dipterocarpaceae dan Pinaceae atau zat-zat seperti balsam pada pohon sindur dan pada pohon kenari.

Ada dua macam saluran interseluler jika dilihat dari arah bentangannya. Saluran interseluler yang membentang searah dengan sumbu batang dinamakan saluran aksial dan saluran yang membentang searah dengan jari-jari dinamakan saluran radial. Kehadiran saluran interseluler pada suatu jenis kayu mungkin akibat sifat keturunan, seperti yang terdapat pada kayu tusam, atau karena kombinasi faktor keturunan dengan faktor luar, misalnya serangan hama seperti yang sering dijumpai pada kayu dari pohon-pohon suku Dipterocarpaceae dan yang kadang-kadang dijumpai pada pohon sindur dan palapi. Saluran yang hadir karena faktor keturunan dinamakan saluran normal sedangkan saluran yang timbul karena faktor luar disebut saluran traumatik. Pada damar dapat dijumpai saluran radial, kehadiran saluran ini ditandai dengan getah yang berwarna putih ketika disayat (Yayan 1992).

2.4 Kopal

(7)

lama semakin keras setelah terkontaminasi dengan udara. Schuitmaker dan Koppel (1988) dalam Lempang (1997) menunjukan bahwa di Indonesia kopal hanya diartikan untuk damar yang berasal dari pohon Agathis spp. yang termasuk pohon konifer. Sedangkan dammar adalah semua damar-damar lainnya yang didapat dan utamanya berasal dari Dipterocarpaceae.

Menurut Manupputy (1995), istilah kopal sering dikacaukan dengan istilah damar, yaitu getah yang dihasilkan dari pohon-pohon famili Dipterocarpaceae dan Burceraceae. Adapun perbedaan-perbedaan yang tampak pada keduanya adalah pada kopal tidak terdapat lubang-lubang udara, sukar dihaluskan, dan mempunyai sifat larut dalam alkohol, tetapi tidak larut dalam minyak tanah atau terpentin serta akan terjadi nyala yang besar bila terbakar. Sedangkan damar mempunyai sifat-sifat kebalikan dari kopal, yaitu mempunyai banyak lubang udara, bisa dihaluskan, dan tidak larut dalam alkohol tetapi larut dalam minyak tanah atau terpentin, serta akan meleleh dan menetes bila terbakar.

Partadiredja dan Koamesakh (1973), menyebutkan bahwa kopal menurut asal dan cara dihasikannya ada dua jenis yaitu kopal sadap dan kopal galian. Kopal sadap yaitu kopal yang diperoleh dengan cara melukai pohon. Sedangkan kopal galian yaitu kopal yang diperoleh dalam tanah, berasal dari sekresi pohon damar yang tertimbun dalam tanah. Jenis kopal ini tanpa disadap, menetes dari pohon damar secara alami. Jenis-jenis kopal yang tergolong dalam kopal sadap adalah kopal loba, dan kopal melengket, sedangkan kopal yang tergolong dalam kopal galian adalah kopal bua. Secara umum kopal digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Kopal loba yaitu kopal yang dipungut dari pohon setelah satu atau beberapa bulan disadap, keadaannya lebih keras dan tidak mudah melengket. Berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan tergantung lamanya pembersihan.

(8)

3. Kopal bua yaitu kopal yang tidak disadap, kopal keluar secara alami, sering terjadi setelah bertahun-tahun tertimbun di dalam tanah dan tercampur dengan kotoran sehingga berwarna coklat kehitam-hitaman.

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopal

Menurut Riyanto (1980), potensi kopal secara kuantitatif pada dasarnya dipengaruhi dua faktor pokok, yaitu:

1. Faktor pasif yang terdiri dari kualitas tempat tumbuh, umur pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik dan ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut

2. Faktor aktif yang terdiri dari kuantitas dan kualitas tenaga sadap, perlakuan kimia, dan pelakuan mekanis, seperti penutupan luka dengan plastik.

Lempang (1997) menyatakan bahwa kelas ukuran diameter batang memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata. Semakin besar diameter batang semakin besar hasil kopal. Hal ini dapat dimengerti karena semakin besar diameter batang, maka lebar dan ketebalan kulit batang akan juga semakin besar. Dengan demikian semakin besar diameter batang akan semakin banyak jumlah jaringan epitel pada kulit batang yang memproduksi getah.

Selain pada faktor alat sadap, produksi kopal juga dipengaruhi oleh kondisi iklim pada lokasi penelitian, dimana kopal akan meningkat pada saat hari tidak hujan atau keadaan iklim yang relatif cerah. Hal ini diduga dengan kondisi iklim yg cerah atau hari tidak hujan maka proses keluarnya kopal menjadi lancar sehingga kopal akan tertampung sepenuhnya pada gelas penampung. Hal ini berbeda ketika kondisi hari hujan, kopal yang keluar dari jaringan kulit batang mengalir tidak tertampung pada gelas penampung melainkan meluap hingga jatuh ke permukaan tanah akibat gelas penampung terpenuhi oleh air hujan. Hal ini akan memberikan hasil yang berbeda pada saat dilakukan penimbangan dimana berat kopal cenderung jadi berkurang (Wratsongko 2005).

(9)

menyebabkan produksi tersebut menjadi berbeda. Produksi getah paling banyak diperoleh bila penyadapan dilakukan pada pagi hari dan ditutup dengan plastik hitam. Hasil rata-rata produksi perpohon dengan cara ini mencapai 17,41 gram. Hal ini disebabkan kelembaban yang masih tinggi serta suhu udara rendah pada pagi hari dan sinar matahari belum mampu menembus kekebalan kabut yang ada, sehingga getah tidak cepat beku dan produksi getah lebih banyak.

2.6 Penyadapan Getah Agathis spp.

Pohon Agathis yang diambil getahnya harus diambil dari pohon yang sehat. Pohon-pohon yang tidak sehat atau tidak normal (busuk batang, kanker batang, dan terpuntir 30%) sebaiknya tidak disadap walaupun menghasilkan getah yang lebih banyak, karena akan lebih mudah terserang penyakit sehingga akan menurunkan kualitas kayunya. Pohon Agathis yang diambil getahnya adalah pohon yang berdiameter 30 cm ke atas. Penyadapan getah juga dilakukan pada pohon yang telah berumur 21 tahun (Hidayati 2005).

Menurut Riyanto (1980) bahwa ada beberapa cara penyadapan kopal, diantaranya:

1. Cara primitif

Cara ini dilakukan dengan memukul kulit kayu menggunakan kayu atau alat pemukul pada batang setinggi 1-1,5 meter. Kulit yang terluka samar mengeluarkan getah dan mengalami peradangan. Cara ini menyebabkan pembusukan batang atau kanker batang.

2. Cara tradisional

(10)

3. Cara baru

Cara ini menggunakan perlukaan-perlukaan tertentu, baik dalam pembuatan luka sadap, penutupan luka sadap, maupun pemberian bahan-bahan kimia untuk memperlambat penutupan luka sadap. Bentuk luka sadap yang pernah digunakan adalah:

a. Luka sadap bentuk vertikal dan sempit. Pembuatan luka sadap bentuk vertikal dan sempit, aliran getah baik dan luka cepat kering sehingga harus dilakukan pembaharuan luka. Karena luka yang dibuat sempit mengakibatkan getah akan mengalir melalui kulit sehingga mudah menjadi kotor.

b. Luka sadap potongan miring. Pada penyadapan pola miring dapat meningkatkan hasil kopal sebesar 15% dibandingkan dengan pola datar. c. Luka sadap bentuk V dan V terbalik. Bentuk luka V meningkatkan hasil

getah 85% daripada bentuk V terbalik (Sumantri dan Endom 1985). 4. Cara perum perhutani

Pelukaan awal dibuat 10 cm di atas permukan tanah dengan lebar 10 cm dan dalam 1 cm, banyaknya koakan perpohon tergantung dari keliling pohon. Bagian-bagian sadap pada suatu pohon tidak boleh terlalu rapat, jarang satu dengan yang lainnya sekurang-kurangnya 0,8-1 cm, sedalam 1 cm dan lebar 10 cm dilakukan bersama dengan pemungutan getah.

2.7 Peranan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh

Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respons fisiologis (Frank & Cleon 1995).

(11)

senyawa-senyawa yang kaya akan ikatan karbon seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Tanaman memproduksi etilen melalui proses metabolisma selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut. Buah yang dalam proses pemasakan memproduksi etilen dalam jumlah yang sangat tinggi. Selain iu etilen juga diproduksi pada jaringan-jaringan dan organ tanaman lainnya seperti bunga, daun, batang, akar, umbi dan biji. Jumlah etilen yang normal di dalam jaringan tanaman adalah rendah, biasanya kurang dari 0,1 ppm. Tetapi secara lokal konsentrasi etilen dapat meningkat tinggi pada sesuatu waktu tertentu di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wattimena 1988).

Menurut Moore (1979), ethylene dapat menstimulasi pemasakan buah, absisi daun, menghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas batang, merangsang pembentukan bunga, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Wattimena (1988) fungsi lain dari ethylene adalah merangsang eksudasi atau pengeluaran getah.

Fahutan IPB (1989) menyatakan bahwa getah atau resin terbentuk sebagai akibat proses metabolisme sekunder dalam pohon. Getah berfungsi untuk melindungi sel-sel yang sedang tumbuh, memacu aktivitas pertumbuhan untuk penutupan luka mekanis jika terjadi serangan hama serta penyakit. Mengenai proses pembentukan getah, ada beberapa pendapat yang mencoba mengungkapkan, antara lain bahwa resin dibentuk untuk menyeimbangkan aktivitas hormon. Hormon pada pohon yang berpengaruh pada getah yaitu etilen. Hormon ini aktif bila ada kerusakan mekanis, stress dan terjadinya infeksi contohnya perlukaan. Suatu tahap pembentukan resin yang polanya cukup konsisten adalah adanya dehidratasi jaringan diikuti pembentukan etilen. Peranan etilen tersebut terutama mereorganisasi peranan enzim dalam sistem sel untuk sintesa grup polyphenol sehingga dapat mendorong terbentuknya resin dalam pohon. Oleh karena itu senyawa yang dapat merangsang pembentukan etilen dalam pohon sering dipergunakan sebagai stimulansia bagi peningkatan produksi resin. Sebagai contoh misalnya penggunaan 2-Chloro ethyl-phosponic acid (CEPA-Ethrel).

(12)

Bahan-bahan yang dapat berfungsi memberi rangsangan tadi bisa berupa bahan-bahan kimiawi atau bentuk perlakuan mekanis pada pohon. Peranan stimulansia dalam hal ini adalah membantu produksi resin sehingga jumlahnya dalam pohon meningkat, namun adakalanya stimulansia tersebut menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan baik terhadap jumlah dan kualitas resin yang keluar maupun terhadap kondisi jaringan sel-sel penghasil resin itu sendiri (Fahutan IPB 1989).

Etilen merupakan senyawa yang larut di dalam lemak sedangkan membran dari sel terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu etilen dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila mitokondria pada fase klimakterik diekrasi kemudian ditambah etilen, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan meningkatkan permeabilitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim pematangan. Produksi etilen juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan oksigen. Suhu rendah maupun suhu tinggi dapat menekan produksi etilen. Pada kadar oksigen di bawah 2% tidak terbentuk etilen, karena oksigen sangat diperlukan. Oleh karena itu suhu rendah dan oksigen rendah dipergunakan dalam praktek penyimpanan buah-buahan, karena akan dapat memperpanjang daya simpan dari buah-buahan tersebut (Ratna 2008).

(13)

2.8 Penggunaan Etilen di berbagai bidang

Bahan yang melepaskan etilen, yang dinamakan Ethrel (nama dagang) atau etepon (nama umum) tersedia di pasaran. Bahannya adalah asam 2-kloroetilfosfonat (C1-CH2-CH2-PO3H2) yang dengan cepat dapat terurai dalam air pada pH netral atau basa menjadi etilen serta sebuah ion Cl- dan H2PO4-. Biasanya digunakan sebagai pemacu pembungaan dan pemasakan buah dalam berbagai aspek hortikultura. Etepon sering pula digunakan dalam penelitian sebagai sumber etilen. Etilen dapat dianggap sebagai hormon stres sebab diproduksi dalam jumlah jauh lebih besar saat tumbuhan mengalami berbagai keadaan rawan. Etilen akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih dan akan melepaskan etillen pada jaringan tanaman. Sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 etepon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika etepon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan etilen pada jaringan tanaman (Manuputty 1995).

Efek etilen pada buah terlihat dari proses pemasakan yang cepat, diikuti oleh pengguguran. Pada bunga, akibat yang lazim adalah pengerutan, warna memudar, hara bergerak keluar, layu kemudian gugur. Pada daun, terjadi kehilangan klorofil, RNA dan protein, pengangkutan hara lalu gugur (Manuputty 1995).

(14)

Bahan stimulan yang umum digunakan pada perkebunan karet ialah Ethrel Latex Stimulant yang mengandung bahan aktif 2 chloroethylphosphonic acid atau etefon. Etefon jika bercampur dengan air atau cairan tanaman di dalam sel tanaman akan berurai antara lain menjadi etilen. Etilen inilah yang berfungsi menginduksi produksi di dalam jaringan tanaman (Lukman 1995).

(15)

 

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21 Februari sampai dengan 9 April 2011. Lokasi penelitian yaitu di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

3.2 Alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pita ukur, kudikoni, talang sadap, paku, palu, golok, kuas, sprayer, sendok, pisau, kantong plastik ukuran 12 x 25 cm, GPS, kalkulator, timbangan digital, software SPSS 16, kamera digital, dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan antara lain cat kayu warna putih, spidol permanen, dan produk dari CV. Permata Hijau Lestari berupa ETRAT 1240.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data secara tidak langsung dan secara langsung.

3.3.1 Pengumpulan data secara tidak langsung

Penelitian ini menggunakan data-data yang berasal dari data sekunder. Data sekunder yaitu berupa kondisi umum lokasi penelitian, meliputi sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat, letak dan luas areal, topografi, iklim, tanah, vegetasi dan penduduk, serta sifat, fungsi asam sitrat dan ethylene.

3.3.2 Pengumpulan data secara langsung

(16)

 

Gambar 1 Bagan alir tahapan kegiatan penelitian.

Memilih 20 pohon contoh Agathis loranthifolia dengan kondisi pohon yang sama (sehat/tidak berpenyakit) dan memiliki diameter minimal 38 cm.

Masing- masing pohon dibuat empat koakan untuk empat perlakuan.

Menandai pohon contoh dengan cat kayu berwarna putih sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan.

Membuat pelukaan awal dengan metode quarre pada pohon contoh untuk setiap perlakuan, diikuti dengan pemasangan talang sadap dan penyemprotan

ETRAT 1240 sebanyak 1 cc/ koakan (satu kali semprotan).

Melakukan pemanenan getah setiap 3 hari sekali disertai dengan memperbarui luka sadapan setinggi 1 cm dan penyemprotan cairan stimulansia sebanyak 1

cc/ koakan/ 3 hari. (Pemanenan dilakukan sebanyak 15 kali).

Menimbang hasil panen getah dengan timbangan digital.

(17)

 

Penentuan arah sadapan untuk masing-masing perlakuan disajikan dalam Gambar 2.

U

Pohon 1 Pohon 2

Gambar 2 Arah pemberian perlakuan pada pohon contoh. Keterangan gambar:

A. Kontrol

B. Penyemprotan pada kayu

C. Penyemprotan pada luka sadapan D. Penyemprotan pada kulit

Parameter yang di uji yaitu banyaknya hasil sadapan dari masing-masing perlakuan dengan penggunaan ETRAT 1240. Tahapan pada 4 perlakuan yang digunakan yaitu :

1. Kontrol (A)

Tahapan penyadapan dengan menggunakan metode quarre yaitu: 1. Pembersihan Kulit

Kulit bagian batang yang akan disadap terlebih dahulu dibersihkan setebal 3 mm, lebar 20 cm dan tinggi 70 cm pada ketinggian 20 cm di atas tanah. 2. Pembuatan Bidang Sadap dan Luka Sadapan Pertama

Bidang sadapan pertama dibuat pada ketinggian 20 cm di atas tanah dengan menggunakan kapak, di dalam pola sadap dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Dalam luka sadapan 2 cm tidak termasuk kayu dengan lebar sadapan 10 cm. 3. Pemasangan Talang Sadap dan Penampung Getah

   A 

   C 

  B 

  D     A 

  B 

  C 

(18)

 

Talang sadap diletakkan di bawah luka sadapan pertama dengan cara dipaku. Talang sadap berguna sebagai penampung getah.

4. Pembaharuan luka dilakukan 3 hari setelah luka pertama dibuat. Pembaharuannya ke arah atas dengan lebar 10 cm dan tinggi 1 cm dari luka sadapan pertama. Begitu seterusnya sampai 15 kali pengulangan.

10 cm Pembaharuan luka sadapan 1 cm

10 cm

Gambar 3 Perlakuan A (kontrol).

2. Penyemprotan pada kayu (B)

Tahapan yang dilakukan sama seperti perlakuan A. ETRAT 1240 disemprotkan dengan menggunakan alat semprot (sprayer) pada bidang sadapan atau kayu yang letaknya di bawah luka sadapan.

10 cm

1 cm Luka sadapan

Kayu yang disempotkan ETRAT 1240

(19)

 

3. Penyemprotan pada luka sadapan (C)

Metode quarre yang dilakukan sama seperti perlakuan A dan B namun pemberian ETRAT 1240 disemprotkan pada luka sadapan yang telah diperbaharui.

Luka sadapan yang 1 cm disemprot ETRAT 1240

Gambar 5 Perlakuan C (penyemprotan pada luka sadapan).

4. Penyemprotan pada kulit (D)

Metode quarre yang dilakukan sama dengan perlakuan sebelumnya, tetapi di atas bidang sadap dibuat pengikisan kulit sampai mencapai kulit bagian dalam dengan ukuran 10 x 2 cm dan jarak dengan sadapan utamanya yaitu 5 cm. Pemberian ETRAT 1240 disemprotkan pada kulit terebut. Pembaharuan lukanya terus menerus ke arah atas dengan ukuran 10 x 1 cm. Bila sudah mencapai bagian kulit yang disemprot ETRAT 1240, maka harus dibuat pembaharuan selanjutnya di atas sadapan tersebut. Jadi pembaharuan luka yang dibuat tidak mengenai sadapan yang telah diberi ETRAT 1240.

2 cm Kulit yang disemprotkan 5 cm ETRAT 1240

Luka sadapan

(20)

 

3.4 Rancangan Percobaaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (completely randomize design) dimana respon diperoleh dari 4 perlakuan cara pemberian ETRAT 1240. Pemilihan pohon contoh dilakukan berdasarkan pohon-pohon yang berada di Petak Penelitian Permanen Teknologi Penyadapan Getah Agathis. Pohon contoh yang digunakan sebanyak 20 pohon dengan pengambilan getah (panen) sebanyak 15 kali.

Untuk pertimbangan diameter yang sesuai, diperoleh dengan cara perhitungan jumlah lebarnya sadapan dalam satu pohon. Lebar pola sadapan metode quarre yaitu 10 x 10 cm dengan interval antar sadapan yaitu 20 cm atau 2 kali lebar sadapan, maka diameter minimal untuk setiap pohon yaitu 38 cm. Bagan rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Bagan rancangan percobaan

Pohon Contoh

Perlakuan

Kontrol Kayu Luka Sadapan Kulit

1 YI1k YII1k YIII1k YIV1k

Yijk = Produktivitas kopal pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan periode panen ke-k

i = I, II,III dan IV

I : Tanpa perlakuan (kontrol)

II : Penyemprotan ETRAT 1240 pada kayu

III : Penyemprotan ETRAT 1240 pada luka sadapan IV : Penyemprotan ETRAT 1240 pada kulit

j = Pohon contoh (1,2,3,…,20)

k = frekuensi panen kopal (1,2,3,…,15)

3.5 Analisis Data

(21)

 

Tabel 2 Analisis of variance (ANOVA)

Sumber Keragaman Derajat

bebas (dB)

Perlakuan (t-1) JKR KTR KTR/KTS

Sisa (r-1) JKS KTS

Total (Tr-1) JKT

Hipotesis:

Pengujian terhadap pengaruh metode penyadapan H0 : τ1 = τ2 = …….τi = 0

H1 : sekurangnya ada satu τi ≠ 0

Terima H0 : Perbedaan taraf perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05). Terima H1 : Sekurangnya ada taraf perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).

Hasil uji F-hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan kaidah:

1. Jika F-hitung < F-tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga perlakuan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).

2. Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima sehingga perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).

Selanjutnya, setelah uji F apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas kopal, maka dilakukan uji lanjut berupa uji Duncan dengan menggunakan Software SPSS 16 untuk mengetahui pengaruh nyata antar perlakuan berdasarkan produktivitas rata-ratanya.

(22)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

Pada Tahun 1951 kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951-1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar

basecamp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai hutan pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

(23)

Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993. Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan oleh diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan (Badan Eksekutif HPGW 2009).

4.2 Letak dan Luas Areal

HPGW terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor (desa segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi.

Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomas) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Badan Eksekutif HPGW 2009).

4.3 Topografi dan Iklim

HPGW terletak pada ketinggian 460-715 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29°C dan minimum 19°C di malam hari (Badan Eksekutif HPGW 2009).

4.4 Tanah dan Hidrologi

(24)

beberapa gua alam karst (gamping). HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri (Badan Eksekutif HPGW 2009).

4.5 Vegetasi

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), Gliricidae sp., Shorea sp., dan mangium (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis.

Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar, 9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, 132 m3 sengon, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (Badan Eksekutif HPGW 2009).

4.6 Penduduk

Penduduk di sekitar HPGW umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry

HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap. Hasil pertanian dari lahan

(25)

Penyadap getah kopal sebanyak 15 orang dengan karakteristik yang beragam baik dari segi pendidikan dan umur. Mayoritas penyadap berdomisili di desa sekitar HPGW yakni Desa Nangerang, Desa Citalahap, Desa Cipereu dan Desa Cijati. Penghasilan rata-rata yang diperoleh penyadap dari hasil menyadap kopal adalah Rp 400.000-Rp 500.000/bulan (Badan Eksekutif HPGW 2009).

(26)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Penyadapan kopal dilakukan di Petak Penelitian Permanen Teknologi Penyadapan Getah Agathis yang letaknya berdekatan dengan base camp. Petak penelitian ini mempunyai luasan 2,5 Ha dengan topografi landai dan didominasi oleh tegakan Agathis loranthifolia. Diameter pohon agathis yang ada di lokasi penelitian berkisar antara 40-80 cm dengan kondisi pohon sehat walaupun ada sedikit pohon yang ditemui terserang jamur.

(27)

5.2 Produktivitas Kopal Menggunakan ETRAT 1240

ETRAT merupakan formulasi terbaru dimana dalam satu larutan mengandung Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan stimulansia organik. Dengan demikian ETRAT mempunyai 2 fungsi yaitu meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah (Santosa 2011). ETRAT 1240 yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari CV. Permata Hijau Lestari. ETRAT 1240 merupakan produk yang diimplementasikan pada hutan dengan komposisi 100 ppm ethylene dan 150 ppm asam sitrat. Penelitian ini menguji pengaruh ETRAT 1240 terhadap produktivitas penyadapan kopal dengan berbagai cara pemberian.  

Bahan kimia yang terkandung dalam ETRAT 1240 tidak berbahaya baik bagi kesehatan para penyadap, kondisi pohon yang disadap dan lingkungan sekitar. Penggunaan stimulansia organik sebelumnya pernah dilakukan pada pohon pinus berupa ekstraksi lengkuas dan jeruk (Azis 2010). Pada penyadapan getah pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat sudah digunakan ETRAT 1240 dengan cara disemprotkan namun untuk penyadapan kopal baru pertama kali dilakukan setelah sekian lama menggunakan stimulansia anorganik berupa Cairan Asam Sulfat.

ZPT yang digunakan dalam ETRAT 1240 adalah ethylene. Aplikasi ethylene telah banyak digunakan di bidang pertanian untuk pengelolaan pasca panen buah. Ethylene memiliki fungsi di berbagai proses fisiologis seperti menstimulasi pemasakan buah, absisi daun, menghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas batang, merangsang pembentukan bunga dan lain sebagainya. Selain fungsi-fungsi yang disebutkan sebelumnya, salah satu fungsi ethylene adalah merangsang eksudasi atau pengeluaran getah (Wattimena 1988).

(28)

Tabel 3 Produktivitas rata-rata penyadapan kopal dengan berbagai perlakuan (g/quarre/hari)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa produktivitas kopal yang paling tinggi yaitu pada perlakuan C atau ETRAT 1240 yang disemprotkan pada luka sadapan dengan rata-rata produktivitas kopal sebesar 5,89 g/quarre/hari dan yang paling rendah adalah perlakuan kontrol dengan rata-rata produktivitas kopal sebesar 3,31 g/quarre/hari. Rata-rata produktivitas kopal perhari dari masing-masing perlakuan dibandingkan terhadap kontrol sehingga diperoleh persentase peningkatan produktivitas getah. persentase peningkatan produktivitas kopal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Persentase peningkatan produktivitas kopal

Perlakuan Rata-rata produktivitas kopal (g/quarre/hari)

Berdasarkan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase peningkatan kopal yang paling tinggi adalah penyemprotan ETRAT 1240 pada luka sadapan yaitu

Panen ke- Kontrol Penyemprotan pada Penyemprotan pada Penyemprotan

(29)

sebesar 177,95 % diikuti oleh penyemprotan ETRAT 1240 pada kayu sebesar 165,86% kemudian yang paling kecil yaitu penyemprotan ETRAT 1240 pada kulit sebesar 132,33%. Untuk mengetahui grafik kecenderungan produktivitas rata-rata penyadapan kopal dalam setiap panennya, dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Produktivitas rata-rata penyadapan kopal berdasarkan perlakuan (g/quarre/hari).

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa produksi kopal yang disemprotkan ETRAT 1240 pada luka sadapan mengalami peningkatan yang paling tinggi dibandingkan cara pemberian yang lain, kemudian diikuti dengan penyemprotan ETRAT 1240 pada kayu, penyemprotan ETRAT 1240 pada kulit dan yang paling kecil yaitu kontrol.

Pada panen pertama produktivitas getah yang dihasilkan dari semua perlakuan tinggi, ini karena deposit getah yang ada di dalam pohon keluar akibat pelukaan. Keluarnya getah merupakan respon dari pohon ketika ada bagian tanaman yang tersakiti, terinfeksi atau mengalami suhu yang ekstrim. Setelah itu pada panen kedua mengalami penurunan karena pada rentang waktu ini pohon belum stabil untuk membentuk getah sehingga belum bisa mengisi deposit getah. Pada panen ke tiga dan panen ke empat, ethylene sudah dapat mempengaruhi pohon sehingga laju produktivitasnya sudah mulai stabil dan meningkat. Sampai akhirnya pada panen ke lima mengalami penurunan kembali. Hal ini disebabkan

(30)

karena faktor eksternal yaitu hujan. Aliran batang pada saat hujan dapat meluruhkan ETRAT 1240 yang telah disemprotkan. Selanjutnya untuk panen ke enam sampai panen ke sembilan, kembali mengalami peningkatan. Namun pada panen selanjutnya sampai panen terakhir, grafik bergerak secara fluktuatif dikarenakan hujan yang tidak menentu.

5.3 Mekanisme ETRAT 1240 Menyerap ke dalam Batang Pohon

Pelukaan pada pohon agathis merangsang keluarnya getah karena ini merupakan respon dari pohon bila ada bagian pohon yang terluka atau terinfeksi. Letak saluran getah antara pohon pinus dan pohon agathis berbeda. Menurut Salverda (1937) dalam Manuputty (1995), saluran-saluran getah pada agathis terdapat dalam kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Jika ditampang, kulit bagian dalam agathis terlihat saluran-saluran damar yang lebar dan terang. Jalannya saluran-saluran-saluran-saluran damar membujur tetapi hubungan melintang dalam lapisan-lapisan tangensial juga terdapat. Lapisan masing-masing tidak berhubungan satu sama lain. Jika dilukai, tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran damar yang terpotong.

Jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik, kopal mengalir keluar dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mulai mengeras, saluran damar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil.

(31)

Pada perlakuan C atau penyemprotan pada luka sadapan mempunyai produktivitas yang paling tinggi. Hal ini disebabkan, saat dilakukan penyemprotan ETRAT 1240 tidak semuanya mengenai luka sadapan, namun otomatis mengenai bagian kayu juga. Asam sitrat yang terdapat di dalam ETRAT 1240 bekerja di luka sadapan untuk membuka saluran getah sehingga getah dapat keluar dengan lancar. Sedangkan ETRAT 1240 masuk ke dalam jaringan kayu secara difusi. Kayu batang agathis mempunyai pH lebih dari 4 sedangkan ethylene mempunyai pH kurang dari 3, keadaan ini memungkinkan ethylene eksogen berubah dari cair menjadi gas sehingga dapat merangsang aktifnya ethylene endogen. Ethylene endogen dan ethylene eksogen akan bersama-sama mempengaruhi pohon untuk melakukan metabolisme sekunder sehingga terbentuklah getah. Selanjutnya getah masuk ke dalam saluran resin.

Jadi bila ETRAT 1240 disemprotkan pada luka sadapan, maka fungsi dari asam sitrat dan ethylene dapat bekerja dengan baik. Menurut Santosa (2006), ZPT mempengaruhi proses metabolisme sekunder di dalam pohon untuk memproduksi getah lebih banyak. Sedangkan asam organik mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah keluar dari saluran getah dengan lebih mudah dan lancar.

Menurut Frank & Cleon (1995), ethylene yang terdapat pada pohon merupakan hormon stres sebab diproduksi dalam jumlah jauh lebih besar saat tumbuhan mengalami berbagai keadaan rawan. Sedangkan menurut Winarno (2002) mengatakan bahwa asam sitrat bersifat sebagai chelating agent (komponen penghambat) yaitu senyawa yang dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator (senyawa yang membantu mempercepat suatu reaksi) dalam reaksi-reaksi biologis. Karena itu reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat, dimana asam sitrat dapat berperan seperti asam sulfat yaitu mampu menghambat getah untuk membentuk rantai siklik dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer. Hal inilah yang menyebabkan pada pemukaan bidang koakan perlakuan C selalu lengket karena getah terus menerus mengalir.

(32)

baik ke dalam jaringan kayu sehingga getah yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan perlakuan C. Namun asam sitrat hanya sedikit mengenai luka sadapan dan hanya mengenai bagian sisi kiri dan kanan koakan saja. Selain itu luka yang berada di pinggir koakan tidak pernah diperbaharui sehingga banyak saluran getah yang sudah tertutup sehingga asam sitrat tidak dapat menyerap dengan baik. Pada perlakuan ini hanya ethylene yang dapat berfungsi dengan baik. Ini yang menyebabkan getahnya lebih sedikit dari perlakuan C.

a. Perlakuan A c. Perlakuan C

b. Perlakuan B d. Perlakuan D

(33)

Pada perlakuan D atau penyemprotan pada kulit dihasilkan kopal sebesar 4,38 gram/quarre/hari. Pembuatan bagian yang disemprot ETRAT 1240 berada di atas bidang koakan dengan cara mengikis bagian kulit sampai terlihat kulit bagian dalam. Hal ini dilakukan karena diduga ETRAT 1240 akan bekerja secara maksimal bila langsung disemprotkan pada penampang kulit yang telah dikikis karena kulit agathis bagian dalam mengandung banyak saluran getah. Namun ternyata kerja ethylene tidak akan terbentuk bila hanya di kulit karena sulit untuk menyerap ke dalam kayu. Sedangkan fungsi asam sitrat juga tidak bekerja karena adanya jarak antara penyemprotan dengan luka sadapan. Inilah yang menyebabkan produktivitas perlakuan D mendekati kontrol.

Menurut Soenarno dan Idris (1987), produksi kopal dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain: iklim mikro di sekitar lokasi penelitian, unsur hara yang terkandung di dalam tanah dan kerapatan tegakan. Semakin tinggi kerapatan tegakan maka intensitas cahaya matahari sebagai sumber energi dalam fotosintesis lebih rendah, sehingga kopal yang dihasilkan lebih kecil bila dibandingkan kerapatan tegakan yang mempunyai jumlah pohon yang optimal persatuan luas. Kerapatan tegakan di lokasi penelitian yaitu 1.150 pohon/Ha.

Sedangkan faktor internal yang berpengaruh pada produktivitas getah adalah besarnya diameter pohon dan tajuk pohon. Setiap pohon contoh memiliki diameter yang berbeda-beda, kisarannya yaitu 42-78 cm. Diameter pohon yang lebih besar pasti memiliki kulit yang lebih besar sehingga kemampuan menghasilkan getah menjadi besar pula. Menurut Doan dalam Azis (2010) pohon yang memiliki ukuran tajuk lebat dan lebar merupakan pohon yang menghasilkan getah banyak. Hal ini dikarenakan pohon mampu berfotosintesis lebih baik sehingga laju metabolismenya pun berjalan dengan baik.

(34)

untuk memberikan kesempatan yang sama untuk setiap perlakuan sehingga tidak hanya ke satu arah saja.

Untuk mengetahui pengaruh berbagai cara pemberian ETRAT 1240 terhadap produktivitas penyadapan kopal maka dilakukan pengolahan statistik terhadap data hasil pengukuran. Hasil pengujian analisis ragam menunjukkan bahwa berbagai cara pemberian etrat memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata produktivitas kopal yang dihasilkan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung sebesar 15,569 lebih besar dari pada F tabel pada tingkat nyata 5% yaitu sebesar 2,77. Analisis ragam pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 terhadap produktivitas penyadapan kopal dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis ragam pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 terhadap produktivitas penyadapan kopal selama 15 kali panen

Sumber keragaman db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah Fhitung F0,05 P-value

Perlakuan 3

Oleh karena cara pemberian ETRAT 1240 yang berbeda berpengaruh nyata terhadap produktivitas kopal, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji Duncan pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 terhadap produktivitas penyadapan kopal dilihat dari perlakuan yang berbeda

Perlakuan N Produktivitas rata-rata

(g/quarre/hari)

Keterangan : Huruf yang sama artinya perlakuan yang dilakukan mempunyai pengaruh yang tidak berbeda terhadap produksi kopal, sedangkan huruf yang berbeda artinya perlakuan cara pemberian etrat mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap produksi

kopal pada taraf α = 5%.

(35)

artinya cara pemberiannya mempunyai pengaruh yang tidak berbeda terhadap produktivitas kopal, yaitu perlakuan penyemprotan pada kayu (c) dan penyemprotan pada luka sadapan (c). Pada huruf yang berbeda seperti kontrol (a) dan penyemprotan pada kulit (b) artinya bahwa pengaruh cara pemberian keduanya memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap produktivitas kopal.

(36)

6.1 Kesimpulan

1. Penggunaan ETRAT 1240 yang mempunyai komposisi stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dapat meningkatkan produktivitas penyadapan kopal.

2. Cara pemberian ETRAT 1240 pada luka sadapan menghasilkan produktivitas penyadapan kopal paling tinggi yaitu sebesar 5,89 g/quarre/hari dan paling rendah adalah kontrol (tanpa stimulansia) sebesar 3,31 g/quarre/hari. Persentase peningkatan kopal sebesar 177,95% dibandingkan dengan kontrol. Penyemprotan ETRAT 1240 pada luka sadapan memberikan hasil yang optimal dan sangat sesuai dari segi kemudahan para penyadap di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

6.2. Saran

1. Dalam melakukan penyadapan kopal, pihak HPGW sebaiknya menggunakan ETRAT 1240 yang disemprotkan pada luka sadapan karena efektif menghasilkan getah lebih banyak dan ETRAT 1240 ini aman digunakan bagi kesehatan pekerja maupun pohon agathis.

(37)

PENGARUH CARA PEMBERIAN ETRAT 1240

TERHADAP PRODUKTIVITAS PENYADAPAN KOPAL

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT

IKA OCTAVIA ARYANI PUTRI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Azis F. 2010. Peningkatan produktivitas getah pinus melalui penggunaan stimulansia organik [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

[Badan Eksekutif HPGW]. 2009. Rencana Pembangunan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009-2013. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

[Fahutan IPB] Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 1989.

Penyempurnaan Cara Penyadapan Getah Pinus Untuk Peningkatan Produksi Getah. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Frank BS, Cleon WR. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Diah RL, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Plants Physiology Volume III.

Hidayati E. 2005. Pengaruh pemberian stimulansia pada penyadapan kopal dengan metode sayatan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Khaidir A. 2010. Info Padu Padan Teknologi Merajut Asa Ketangguhan Agribisnis Karet. Bogor: Balai Penelitian Sembawa. Pusat Penelitian Karet.

Lempang L. 1997. Uji beberapa pola sadap untuk menduga produksi kopal dari pohon Agathis spp. Buletin Penelitian Hasil Hutan 2(1) : 15-52.

Lukman. 1995. Pengaruh penggunaan bahan penutup stimulan yang dikombinasikan dengan sistem sadap HLE terhadap produksi karet. Jurnal Penelitian Karet 13(1): 9-13.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA Bogor. Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan.

Manuputty DN. 1995. Rimba Indonesia Tahun ke IV No 3-4-5. The Social Forester.

Martawijaya A, Kartasujana, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Moore TC. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. Berlin: Springer- verlag.

Nurhasybi, Sudrajat DJ. 2001. Informasi Singkat Benih: Agathis loranthifolia.

Bandung: Balai Teknologi Perbenihan.

(39)

Ratna I. 2008. Peranan dan Fungsi Fitohormon bagi Pertumbuhan Tanaman. Bandung: Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran Bandung.

Santosa G. 2006. Pengembangan metode penyadapan kopal melalui penerapan teknik sayatan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Setiawan H. 1997. Pengaruh bentuk, letak sadapan, dan pemberian tutup plastik hitam terhadap produksi getah pohon Agathis loranthifolia Salibs. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Siswandoyo M. 1999. Analisis biaya penyadapan getah Agathis spp. sistem koakan di KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Institut Pertanian Bogor.

Statistik Kehutanan Indonesia. 2010. Forestry Statistics of Indonesia. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Sumadiwangsa S. 1998. Karakteristik Hasil Hutan Bukan Kayu. Duta Rimba

Februari/212/XIII: 44-48.

Sumantri I, Endom W. 1985. Penyadapan getah Pinus merkusii dengan menggunakan beberapa pola dan tingkat konsentrasi zat perangsang.

Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(3):152-159.

Tistama R. 2005. Perkembangan penelitian stimulan untuk pengaliran lateks

Hevea brasiliensis. Warta Perkaretan volume ke-24. Bogor: Pusat Penelitian Karet. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.

Riyanto TW. 1980. Catatan kecil tentang kopal damar. Duta Rimba Edisi 42/VI/1980.

Uhaedi S, Kalima T, Purnadjadja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Di Indonesia. Bogor: Yayasan PROSEA Bogor. Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan.

Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Whitmore TC. 1977. A First Look of Agathis. Tropical Forestry Papers No 11.

Department of Forestry. Commonwealth Forestry Institute. University of Oxford.

Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M-BRIO PRESS.

Wratsongko B. 2005. Penerapan berbagai model alat sadap pada kegiatan penyadapan kopal dengan metode sayatan di HPGW [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

(40)

PENGARUH CARA PEMBERIAN ETRAT 1240

TERHADAP PRODUKTIVITAS PENYADAPAN KOPAL

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT

IKA OCTAVIA ARYANI PUTRI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(41)

PENGARUH CARA PEMBERIAN ETRAT 1240

TERHADAP PRODUKTIVITAS PENYADAPAN KOPAL

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT

IKA OCTAVIA ARYANI PUTRI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(42)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Ika Octavia Aryani Putri

(43)

Judul Skripsi : Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

Nama : Ika Octavia Aryani Putri NRP : E14070069

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Gunawan Santosa, M.S. NIP. 19641102 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S. NIP. 19630401 199403 1 001

(44)
(45)

RINGKASAN

IKA OCTAVIA ARYANI PUTRI. E14070069. Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh GUNAWAN SANTOSA.

Salah satu hasil hutan non kayu yang penting dalam dunia perdagangan dan sangat berguna untuk keperluan industri adalah kopal. Kopal merupakan hasil olahan getah (resin) yang disadap dari pohon Agathis spp. Kopal dapat digunakan untuk berbagai industri cat, pernis, tekstil dan lain-lain. Proses keluarnya kopal pada saluran resin umumnya dibantu oleh bahan perangsang (stimulansia). Selama ini, dalam kegiatan penyadapan kopal digunakan stimulansia anorganik dari bahan cairan asam sulfat (H2SO4). Namun pada kenyataannya penggunaan H2SO4 memberikan dampak negatif bagi kayu yaitu batang menjadi kering, kesehatan pekerja dan lingkungan.

Penggunaan stimulansia yang tidak berbahaya dan aman bagi lingkungan sekitar adalah dengan menggunakan ETRAT 1240 yang mempunyai komposisi stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Sebelumnya ETRAT 1240 telah digunakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada penyadapan getah pinus dengan cara disemprot pada bagian kayu. Namun letak saluran getah antara pohon pinus dan pohon agathis berbeda dimana saluran getah pinus berada di kayu gubal sedangkan saluran getah agathis berada di kulit agathis bagian dalam. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui cara pemberian yang tepat agar ETRAT 1240 dapat menyerap dengan baik sehingga mampu meningkatkan produksi getah.

Stimulansia organik yang terkandung dalam ETRAT 1240 yaitu asam sitrat mampu membuka saluran getah sedangkan ZPT yang terkandung dalam ETRAT 1240 adalah ethylene mampu merangsang aktifnya ethylene endogen di dalam pohon sehingga dapat mempengaruhi pohon untuk melakukan metabolisme sekunder. Penelitian ini dilakukan pada pohon Agathis loranthifolia dengan teknik penyemprotan ETRAT 1240 pada kayu, penyemprotan pada luka sadapan, penyemprotan pada kulit dan kontrol (tanpa stimulansia) sebagai perlakuan. Pemanenan getah dilakukan 3 hari sekali sebanyak 15 kali panen dengan menggunakan pohon contoh sebanyak 20 pohon dengan masing-masing pohon diberi empat perlakuan.

Produktivitas kopal yang paling tinggi dihasilkan oleh penyemprotan ETRAT 1240 pada luka sadapan yaitu sebesar 5,89 g/quarre/hari. Sedangkan untuk kontrol, produktivitasnya sebesar 3,31 g/quarre/hari. Penyemprotan ETRAT 1240 pada kayu sebesar 5,49 g/quarre/hari dan penyemprotan ETRAT 1240 pada kulit sebesar 4,38 g/quarre/hari. Dari produktivitas yang dihasilkan dan dari segi kemudahan dan kebiasaan para penyadap di Hutan Pendidikan Gunung Walat, maka penyemprotan ETRAT 1240 yang paling baik harus disemprotkan pada luka sadapan.

(46)

SUMMARY

IKA OCTAVIA ARYANI PUTRI. E14070069. Influence of Spraying Technique by using ETRAT 1240 of the Copal Tapping Productivity in Gunung Walat University Forest Sukabumi West Java. Under Supervision of GUNAWAN SANTOSA.

One of non timber forest product that is important in trading world and very useful in industrial need is copal. Copal is a manufactured resin product which is tapped from Agathis spp. tree. Copal is raw materials for paint industry, varnish, textile, etc. The process of coming out of copal in resin canal is usually helped by stimulation substance. Up until now, copal tapping activity uses anorganic acid from sulphate acid (H2SO4). But in fact, using sulphate acid gives negative impact for wood that is make stem become dry, worker’s health and environment.

The using of harmless and environmentally safe stimulation is by using ETRAT 1240 which has organic acid composition and Plant Growth Regulators. Previously, ETRAT 1240 has been used in Gunung Walat University Forest for pine resin tapping by spraying it to the wood surface. But the resin canal location of pine and agathis is different which kind pine resin canal located in sapwood while agathis resin canal located in inner bark. Because of that, must to aimed research to know the appropriate method to give ETRAT 1240 so that it could absorb well in order to increase resin production.

Organic acid that consist in ETRAT 1240 is citrate acid which could open resin canal, while Plant Growth Regulators that consist in ETRAT 1240 is an ethylene which could stimulate activate of endogenous ethylene inside the tree so that it could influence the tree to do secondary metabolism. This research is done to Agathis loranthifolia tree by giving ETRAT 1240 that is sprayed to the wood surface, sprayed to the tap, sprayed to the bark and control (without stimulation) as the treatment. Harvest is done 15 times, once in 3 days by using 20 sample trees and every tree is given 4 different treatment.

The highest resin yield are produced by spraying ETRAT 1240 to the tap that is 5,89 g/quarre/day. Whereas for the control, the resin yield are 3,31 g/quarre/day. The resin yield of spraying ETRAT 1240 to the wood surface is 5,49 g/quarre/day and spraying ETRAT 1240 to the bark is 4,38 g/quarre/day. Based on the yield that is produced, the easy of using, and the habituality of the workers in Gunung Walat University Forest, it can be concluded that the best way of using ETRAT 1240 is by spraying it to the tap.

(47)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat” dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan program mayor minor Strata Satu di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Februari sampai dengan April 2011. ETRAT 1240 merupakan stimulansia yang tidak berbahaya dengan komposisi stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh. Penerapan ETRAT 1240 pada pohon Agathis loranthifolia dapat meningkatkan produksi getah dibandingkan dengan kontrol (tanpa stimulansia). Cara pemberian ETRAT 1240 yang disemprotkan pada luka sadapan menunjukkan peningkatan rata-rata produktivitas getah lebih tinggi dibandingkan bila disemprotkan pada kayu dan kulit.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2011

(48)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat”. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ayahanda Sugeng Priyono dan Ibunda tersayang Yulipah serta Bambang Ismono dan adik penulis yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral dan material, rasa kasih sayang dan do’anya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Gunawan Santosa, M.S. selaku dosen pembimbing atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc selaku ketua sidang yang telah memberikan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

4. Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MSc.F.Trop selaku dosen penguji atas nasehat dan arahannya terkait karya ilmiah ini.

5. Pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Ika Nugraha, Nurul Haqiqi, Rika Rizqy, Choirida Ema, Herlina, Melati, Diajeng Wiangga, Rahma Amalia, Tri Rohidayati, Nina, Indri, Santi, Ananda Puput, Mega Ari, Rani Ramayanti, Hikmat dan Bayu Adirianto atas bantuan, semangat dan dukungannya.

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 44 Departemen Manajemen Hutan. 8. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Bogor, Desember 2011

(49)

DAFTAR ISI

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopal ... 8 2.6 Penyadapan Getah Agathis spp ... 9

     3.3.1 Pengumpulan data secara tidak langsung ... 15

     3.3.2 Pengumpulan data secara langsung ... 15 3.4 Rancangan Percobaan ... 20 3.5 Analisis Data ... 20

(50)
(51)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Tabel rancangan percobaan ... 20 2. Tabel Analisis of variance (ANOVA)... 21

3. Produktivitas rata-rata penyadapan kopal dengan berbagai perlakuan

(g/quarre/hari) ... 28 4. Persentase peningkatan produktivitas kopal ... 28

5. Analisis ragam pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 terhadap

produktivitas penyadapan kopal selama 15 kali panen ... 34 6. Hasil uji Duncan pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 terhadap

(52)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

(53)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Produktivitas kopal pada perlakuan A (kontrol) ... 40 2. Produktivitas kopal pada perlakuan B (penyemprotan pada kayu) ... 41 3. Produktivitas kopal pada perlakuan C (penyemprotan pada

luka sadapan) ... 42 4. Produktivitas kopal pada perlakuan D (penyemprotan pada kulit) ... 43 5. Hasil uji Duncan pengaruh cara pemberian ETRAT 1240 pada

produktivitas kopal (g/quarre/hari) pada taraf 95% (α = 0,05) ... 44 6. Dokumentasi kegiatan di lokasi penelitian dan alat-alat/bahan yang

(54)

 

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memproduksi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu dalam jumlah yang cukup besar. Selain hasil hutan utama yaitu kayu, hasil hutan non kayu juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu perlu adanya pengolahan hasil hutan non kayu, mengingat potensi Indonesia dari segi hasil hutan non kayunya cukup besar, misalnya getah, rotan dan kulit.

Agathis spp. merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki potensi tinggi. Selain hasil kayunya, Agathis spp. juga salah satu pohon penghasil getah dimana hasil olahan getah (resin) disadap dari batang pohon yang biasa disebut kopal. Kopal sebagai hasil hutan non kayu merupakan salah satu komoditi yang cukup penting dalam dunia perdagangan dan sangat berguna untuk keperluan industri. Kopal dapat digunakan untuk berbagai industri cat, vernis, tekstil dan lain-lain.

Proses keluarnya getah Agathis spp. umumnya dibantu oleh bahan perangsang getah (stimulansia). Tujuan dari penggunaan stimulansia tersebut adalah untuk meningkatkan produksi getah. Pada umunya, stimulansia yang banyak digunakan untuk memaksimalkan keluarnya getah yaitu stimulansia anorganik yaitu H2SO4. Namun pada kenyataannya penggunaan stimulansia

anorganik ini memberikan dampak negatif bagi kayu yaitu batang menjadi kering, kesehatan pekerja dan lingkungan sekitar.

(55)

bagian dalam. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai cara pemberian ETRAT 1240 yang tepat agar stimulansia dapat diserap pohon dengan baik sehingga getah yang dikeluarkan dapat maksimal.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan ETRAT 1240 pada penyadapan kopal selama ini baru pertama kali dilakukan. Stimulansia organik berupa asam sitrat yang terkandung dalam ETRAT 1240 bekerja mempengaruhi pohon agathis dari luar sedangkan ethylene

mempengaruhi pohon agathis dari dalam. Perlu dilakukan penelitian agar dapat diketahui cara pemberian yang sesuai agar asam sitrat dan ethylene dapat menyerap dan bekerja dengan baik sehingga getah yang dihasilkan dapat meningkat.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pemberian ETRAT 1240 yang efektif agar diperoleh produktivitas penyadapan kopal yang tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

(56)

 

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Salah satu kelompok hasil hutan yang dikenal di Indonesia adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu semua hasil hutan baik berupa makhluk hidup nabati (kecuali kayu pertukangan dan kayu bakar) dan hewani, maupun jasa dari kawasan hutan (Sumadiwangsa 1998). Menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2010) produksi kopal setiap tahun mengalami peningkatan. Data terakhir produksi kopal mencapai 414 ton pada tahun 2009.

2.2 Agathis

2.2.1 Ciri Pohon Agathis

Agathis spp. merupakan tanaman dari famili Araucariaceae. Pohon ini berukuran sedang hingga sangat besar, berumah satu, tingginya hingga 60-65 m, batang utamanya lurus, berbentuk silinder, diameter hingga 150 cm, tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan yang melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil-kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir, mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal. Pohon agathis tumbuh dalam hutan primer pada tanah berpasir, berbatu-batu atau tanah liat yang selamanya tidak digenangi air, pada ketinggian 2-1.750 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 2005).

(57)

menyatu dengan dasarnya, diameter melintang microsporophyl berukuran hingga 2 mm, bagian ujung membulat. Kerucut jantan berwarna hijau sampai hijau cerah dan berubah menjadi coklat saat masak dan pelepasan serbuk sari. Serbuk sari tidak bersayap berdiameter 20,16-50,4 mikron (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Kayu agathis diklasifikasikan agak kuat namun tidak awet dan tidak tahan terhadap pembusukan. Kayunya terutama digunakan untuk korek api, perabot rumah tangga, finir bermutu baik, bahan kertas, kayu lapis dan pulp. Bagian dalam kulit kayu mengeluarkan resin bening (kopal), yang merupakan bagian penting dalam pembuatan pelitur dan dahulu digunakan dalam pembuatan minyak pelapis lantai, pernis, dupa, cat dll (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Menurut Salverda (1937) dalam Manuputty (1995), saluran-saluran getah pada agathis terdapat dalam kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Jika ditampang, kulit bagian dalam agathis terlihat saluran-saluran damar yang lebar dan terang. Jalannya saluran-saluran damar membujur tetapi hubungan melintang dalam lapisan-lapisan tangensial juga terdapat. Lapisan masing-masing tidak berhubungan satu sama lain. Jika dilukai, tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran damar yang terpotong. Jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik, kopal mengalir keluar dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mulai mengeras, saluran damar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil.

2.2.2 Penyebaran dan Habitat

(58)

tahun pertama. Setelah bebas dari kompetisi dengan semak belukar, pertumbuhannya menjadi cepat, seperti terlihat pada sebagian besar hutan hujan primer. Sistem perakaran sensitif terhadap kekurangan oksigen dan pohon tidak tahan genangan air. Jenis ini ditanam sebagai hutan tanaman, penanaman sulaman dan reboisasi di berbagai wilayah sebaran alaminya. Di luar sebaran alaminya, telah di tanam di Jawa. Agathis memerlukan drainase yang baik dan tumbuh pada kondisi tanah dengan pH 6,0-6,5 serta tahan terhadap tanah berat (heavy soil) dan keasaman.

2.3 Struktur Anatomi Kayu Konifer

Mandang dan Pandit (1997) menyatakan kelompok kayu daun jarum, juga sering disebut kayu lunak atau kayu konifer. Struktur kayu daun jarum lebih sederhana bila dibandingkan dengan struktur kayu daun lebar. Oleh karena itu kelompok ini sering juga disebut sebagai kayu berstruktur homogen. Struktur anatominya meliputi:

1. Macam sel, fungsi dan susunannya

Berbeda dengan jenis-jenis pohon kayu daun lebar, jenis-jenis pohon kayu daun jarum tidak memiliki sel-sel pembuluh dalam kayunya. Yang ada hanya serat, parenkima aksial dan jari-jari. Fungsinya sama dengan sel-sel serupa pada daun lebar. Fungsi saluran air dan zat hara yang ada pada kayu daun lebar dijalankan oleh sel-sel pembuluh, pada kayu daun jarum dirangkap oleh serat. Tidak adanya pembuluh pada kayu daun jarum memudahkan untuk membedakannya dari kayu daun lebar secara makroskopik. Pada penampang bujur (tangensial/radial) kayu daun lebar terdapat goresan-goresan sel pembuluh, tetapi tidak demikian pada kayu daun jarum. Susunan sel-sel kayu daun jarum dalam batang pohon terdapat saluran interseluler, tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua kayu daun jarum mempunyai saluran interselular.

2. Trakeid

Gambar

Gambar 1 Bagan alir tahapan kegiatan  penelitian.
Gambar 2.
Gambar 4 Perlakuan B (penyemprotan pada kayu).
Gambar 6 Perlakuan D (penyemprotan pada kulit).
+7

Referensi

Dokumen terkait

selama 15 hari Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan Artemia sp dengan dosis pengayaan Vitamin A yang berbeda tidak memberikan pengaruh

- metronidazole 500mg sehari 2 kali peroral selama 7 hari atau 2 gram peroral dosis tunggal.. - alternative: metronidazole gel 0,75%-1 aplikator

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi mahasiswa yaitu mahasiswa akuntansi strata-1 FEB USU dengan mahasiswa akuntansi FS IAIN SU tentang akuntasi

diatas telah dianulir oleh Surat Mahkamah Agung Nomor : 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 yang antara lain berisi bahwa ketentuan Pasal 84 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian asosiatif, karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara tiga variabel

[r]

Ketidaksesuaian dengan teori disebabkan karena secara teoritis apabila NPL menurun, artinya terjadi penurunan total kredit bermasalah dengan persentase lebih besar

Pem!inaan ekstra *aji! #apak Su&amp;i !agi kelas 1 dan 11 se&amp;ara klasikal. g.Peningkatan kegiatan :W