i
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2013
ii
Biodiesel using Ultrasonic Instrument and Characteristics of Its Blending. Under direction of DWI SETYANINGSIH and DJENI HENDRA
Biodiesel is one of known alternative fuel, obtained by oil processing, for example from rubberseed oil and palm oil. Conventionally, biodiesel obtained by reacted oil with methanol for 1 hour at temperature of 65 oC with mechanical
stirring, using homogenous catalyst such as NaOH. Homogeneous catalysts dissolve fully in the glycerol layer and partially in the biodiesel layer during the triglyceride transesterification process. Heterogeneous (solid) catalysts, such as CaO, can prevent contamination, making product separation much easier. Moreover, the reaction time of conventional methods can be shortened by applying ultrasonic energy. This research consists of several stages, aimed to obtain biodiesel yield from transesterification using homogenous and heterogenous catalyst, to produce rubberseed biodiesel and palm biodiesel by applying ultrasonic energy, and then obtain the characteristics of palm biodiesel, rubberseed biodiesel, and mix of both. The result showed that the transesterification process using heterogenous catalyst need longer time and give the lower biodiesel yield than the transesterification using homogenous catalyst. Ultrasonic transesterification of palm oil gives a greater yield then the conventional stirring methods, which ultrasonic transesterification yield range between 96.52% to 98.03% and the acid number range from 0.50 mg KOH/g sample to 0.63 mg KOH/g sample. Ultrasonic esterification succeeded in reducing acid value of rubber seed oil in a shorter time, which is smaller than acid value by 30 minute conventional esterification. Ultrasonic transesterification only succeeded to form biodiesel from rubberseed oil that has gone through the 30 minutes ultrasonic esterification (78.84% yield) and through an 1 hour conventional esterification (91.55% yield). Rubberseed biodiesel, palm methyl ester, and a blended of both meets the SNI-04-7182-2006 on the characteristics of acid value, density, viscosity, and cloud point. The iodine number of rubberseed biodiesel was still above the standard, but blending palm methyl ester to rubberseed biodiesel can reduce the iodine number of blended biodiesel to meet the standards. Production cost analysis at biodiesel blended (25% palm methyl ester ini rubberseed biodiesel) resulted : ultrasonic methods still more expensive than conventional methods.
iii
dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan DJENI HENDRA.
Menipisnya jumlah bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi kebutuhan energi dunia menyebabkan peningkatan pada pengembangan penelitian mengenai pembuatan bahan bakar alternatif pengganti BBM. Salah satunya adalah pembuatan biodiesel sebagai pengganti solar, yang diperoleh dari reaksi transesterifikasi minyak nabati. Selama ini reaksi transesterifikasi antara minyak (trigliserida) dan metanol berlangsung secara konvensional menggunakan metode pengadukan mekanis, selama 1 jam, pada suhu 60-65 oC. Penggunaan pengaduk
mekanis yang memakan waktu cukup lama ini sebenarnya dapat diganti dengan menerapkan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik dapat memperkecil ukuran droplet minyak dan metanol menjadi lebih kecil daripada droplet yang dihasilkan dari metode konvensional menggunakan pengaduk mekanis. Ukuran droplet yang lebih kecil tersebut akan menyebabkan kontak yang lebih intens di antara kedua reaktan, sehingga dapat mempercepat waktu reaksi.
Katalis yang umum digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis homogen, seperti NaOH. Penggunaan katalis homogen ini menyebabkan biodiesel dan gliserol yang dihasilkan cenderung mengandung sisa-sisa NaOH (dianggap sebagai pengotor). Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba melakukan reaksi transesterifikasi menggunakan katalis heterogen (CaO) yang sifatnya lebih mudah dipisahkan pada tahap pemurnian biodiesel.
Sawit dan karet selama ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia. Kedua komoditas tersebut menjadikan Indonesia sebagai tiga besar eksportir sawit dan karet ke pasar global. Minyak biji karet dan minyak sawit yang produksinya cukup melimpah sangat potensial jika diolah menjadi biodiesel. Minyak biji karet mengandung asam-asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi sehingga jika diolah menjadi biodiesel akan memiliki titik tuang dan titik kabut yang rendah, sehingga lebih mampu bertahan untuk digunakan pada musim dingin. Namun, tingginya ester asam-asam lemak tidak jenuh tersebut juga menyebabkan rendahnya stabilitas oksidatif dan tingginya bilangan iod biodiesel biji karet (menjadi tidak sesuai standar SNI Biodiesel, SNI-04-7182-2006). Di sisi lain, selama ini kualitas biodiesel sawit telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI Biodiesel, tetapi biodiesel sawit memiliki titik kabut dan titik tuang yang cukup tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kelancaran aliran biodiesel sawit di dalam filter, pompa, dan injektor sehingga akan menyulitkan dalam pengoperasian mesin di musim dingin. Penurunan titik kabut biodiesel sawit dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya melalui pencampuran dengan biodiesel biji karet. Selain itu, adanya perlakuan pencampuran juga akan membantu dalam meningkatkan stabilitas oksidatif maupun penurunan bilangan iod biodiesel biji karet akibat meningkatnya jumlah ester asam-asam lemak jenuh yang diberikan dari biodiesel sawit.
iv
campuran biodiesel biji karet dan biodiesel sawit. Selain itu telah dilakukan pula analisis kelayakan terhadap pabrik pengolahan biodiesel (campuran biodiesel biji karet dan sawit) yang proses produksinya menggunakan metode ultrasonik.
Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, diperoleh hasil bahwa transesterifikasi dengan katalis CaO perlakuan kalsinasi 800 oC dan 900 oC
selama 2 jam berhasil membentuk biodiesel. Namun, biodiesel yang diperoleh memiliki rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan yang menggunakan katalis NaOH. Secara berturut-turut, rendemen biodiesel menggunakan CaO yang dikalsinasi selama 2 jam pada suhu 800 oC dan 900 oC adalah sebesar 81,32% dan
63,13%.
Penggunaan gelombang ultrasonik pada transesterifikasi olein sawit dengan parameter waktu dan amplitudo ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata (pada taraf α = 5%) terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel. Namun, dibandingkan dengan metode konvensional, aplikasi ultrasonik memberikan rendemen biodiesel yang lebih tinggi pada waktu yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan aplikasi ultrasonik mampu menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan energi mekanis yang dihasilkan dari metode konvensional.
Aplikasi gelombang ultrasonik pada esterifikasi minyak biji karet dengan faktor perlakuan waktu esterifikasi (15; 22,5; dan 30 menit) ternyata memberikan hasil bahwa waktu perlakuan 30 menit memberikan hasil penurunan bilangan asam dan ALB yang paling kecil. Nilai ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan esterifikasi metode konvensional selama 30 menit. Namun, ketika dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi ultrasonik, ternyata rendemen minyak biji karet hasil esterifikasi ultrasonik 30 menit masih terbilang cukup rendah (78,84%). Rendemen biodiesel biji karet yang diproses dari minyak biji karet yang telah melalui esteerifikasi konvensional 1 jam dilanjutkan transesterifikasi ultrasonik memberikan hasil yang lebih tinggi, yaitu 91,55%.
Penelitian diakhiri dengan melakukan penambahan metil ester sawit ke dalam biodiesel biji karet (dengan persentase penambahan metil ester sawit sebesar 25%, 50%, dan 75%). Setelah itu dilakukan analisis terhadap beberapa karakteristik biodiesel, dan diperoleh hasil bahwa biodiesel biji karet murni, metil ester sawit murni, dan campuran kedua biodiesel tersebut memiliki karakteristik bilangan asam, densitas, viskositas, dan titik kabut yang memenuhi standar SNI-04-7182-2006. Bilangan iod biodiesel biji karet murni masih berada di atas standar, tetapi adanya penambahan metil ester sawit ke dalam biodiesel biji karet berhasil menurunkan bilangan iod campuran biodiesel menjadi sesuai standar.
v
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjuauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
SERTA KARAKTERISTIK CAMPURANNYA
SABINAZAN MUSADHAZ
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
ix NIM : F351090051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si Ir. Djeni Hendra, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
x
rahmat dan segala karunia-Nya sehingga penulis dapat membuat dan menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini adalah biodiesel, dengan judul Pembuatan Biodiesel Karet dan Biodiesel Sawit dengan Instrumen Ultrasonik serta Karakteristik Campurannya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si serta Bapak Ir. Djeni Hendra, M.Si yang telah banyak memberikan saran, arahan, dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP, MT sebagai penguji luar komisi atas segala saran atas perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan pula kepada ibu Dr. Titi Candra Sunarti, M.Si atas masukannya untuk perbaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada para dosen, teman-teman sesama mahasiswa Pasca Sarjana, laboran dan teknisi laboratorium, serta kepada Bapak Ali (Puslit Kehutanan) yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang dalam penulis sampaikan
kepada Ayahanda Muhammad Sadik Aziz dan Ibunda Bibinoor atas segala do’a,
nasehat, dan motivasi yang selalu diberikan sepanjang hidup penulis. Kepada suamiku Dito Cahya Renaldi serta ananda Muhammad Ghazwan Ar-Rasyid dan Muhammad Azfar Aziz atas segala pengertian dan kasih sayangnya selama penulis menempuh perkuliahan. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada saudaraku Alperizada dan Medhanita, serta Papa Totok Darussalam dan Mama Lilik Hertantini atas dukungannya kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
xi
Ir. M. Sadik Aziz, MM dan ibu Bibinoor. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
xii
2.6 Stabilitas Oksidatif Biodiesel ... 26
3 BAHAN DAN METODE ... 28
3.1 Bahan dan Alat ... 28
3.2 Metode Penelitian ... 28
3.2.1 Penyiapan Minyak Biji Karet ... 28
3.2.2 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis NaOH dan Katalis Heterogen CaO ... 30
3.2.3 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 31
3.2.4 Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 32
3.2.5 Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 33
3.2.6 Aplikasi Metil Ester Sawit ke dalam Biodiesel Biji Karet ... 35
3.3 Rancangan Percobaan ... 35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1 Penyiapan Minyak Biji Karet ... 38
4.2 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis Homogen NaOH dan Katalis Heterogen CaO ... 40
4.3 Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 43
4.4 Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 47
4.5 Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 48
4.6 Aplikasi Metil Ester Sawit pada Biodiesel Biji Karet ... 50
xiii
4.6.5. Stabilitas Oksidatif ... 56
4.6.6. Titik Tuang dan Titik Kabut ... 58
4.7 Perhitungan Harga Pokok Produksi Biodiesel Karet dengan Aplikasi Metil Ester Sawit menggunakan Metode Ultrasonik dan Metode Konvensional ... 60
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 62
5.1 Kesimpulan ... 62
5.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
xiv
beberapa negara ... 11
2 Standardisasi biodiesel ... 12
3 Penelitian terdahulu tentang biodiesel biji karet ... 14
4 Ekstraksi dan pengolahan minyak dari biji karet ... 15
5 Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dan minyak sawit ... 16
6 Karakteristik minyak biji karet ... 16
7 Produksi dan pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain ... 17
8 Karakteristik minyak sawit, biodiesel sawit dan Petrodiesel (Diesel No.2) ... 19
9 Penelitian terdahulu tentang biodiesel sawit ... 20
10 Sifat masing-masing metil ester asam lemak ... 25
11 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO ... 41
12 Bilangan asam dan ALB minyak biji karet hasil esterifikasi ... 47
13 Hasil transesterifikasi ultrasonik minyak biji karet hasil esterifikasi ... 49
xv
1 Reaksi transesterifikasi dengan bantuan katalis basa ... 8
2 Pohon karet dan biji karet ... 14
3 Pie chart pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain ... 17
4 Penampang biji sawit ... 18
5 Pengaruh faktor waktu dan amplitudo terhadap input energi ... 22
6 Transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO dan NaOH .... 31
7 Pembuatan biodiesel karet dan biodiesel sawit dengan metode ultrasonik dan konvensional ... 34
8 Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap besar energi (J) yang dihasilkan ... 44
9 Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap rendemen biodiesel sawit ... 45
10 Pengaruh faktor % amplitudo dan waktu transesterifikasi ultrasonik terhadap bilangan asam biodiesel sawit ... 46
11 Bilangan asam biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 52
12 Viskositas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 53
13 Densitas biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 54
14 Bilangan iod biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 56
15 Stabilitas oksidatif (jam) biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 57
16 Titik tuang biodiesel karet pada beberapa persentase penambahan metil ester sawit ... 59
xvi
1 Prosedur Analisis ... 73
a. Analisis kadar asam lemak bebas ... 73
b. Perhitungan rendemen biodiesel ... 73
c. Analisis bilangan asam biodiesel ... 74
d. Analisis bilangan iod ... 74
e. Analisis viskositas kinematik biodiesel pada 40oC ... 75
f. Analisis titik kabut dan titik tuang biodiesel ... 76
g. Analisis stabilitas oksidatif biodiesel metode Rancimat ... 80
2 Biji karet utuh yang belum dikupas ... 82
3 Biji karet setelah dikupas ... 82
4 Ekstraksi dan degumming minyak biji karet ... 83
5 Kadar air biji karet setelah dua kali penjemuran ... 84
6 Persentase minyak biji karet hasil pengempaan ... 84
7 Bilangan asam dan kadar asam lemak bebas (ALB) minyak biji karet setelah dikempa ... 84
8 Proses dekantasi setelah degumming minyak menggunakan asam fosfat ... 85
9 Proses pencucian pada proses degumming ... 85
10 Alat sentrifugasi untuk memisahkan gum ... 86
11 Nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas minyak biji karet hasil degumming dan sentrifugasi ... 86
12 Rendemen minyak biji karet setelah degumming dan sentrifugasi ... 86
13 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO yang telah dikalsinasi ... 87
14 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis NaOH ... 87
15 Reaksi transesterifikasi menggunakan instrumen ultrasonik ... 88
16 Data perhitungan energi pada transesterifikasi ultrasonik olein sawit ... 88
17 Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan Ultrasonic Probe Instrument ... 89
18 Hasil esterifikasi minyak biji karet menggunakan Ultrasonic Probe Instrument dengan amplitudo sebesar 40% ... 89
xvii
ester sawit per hari menggunakan metode konvensional ... 92
22 Asumsi banyaknya biji karet yang mampu dihasilkan per hari dari Desa Nanga Jetak, Sintang, Kalbar ... 94
23 Perhitungan biaya produksi minyak biji karet ... 94
24 Neraca massa pengolahan minyak biji karet ... 95
25 Asumsi untuk analisis harga pokok produksi campuran biodiesel ... 96
26 Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 97
27 Biaya investasi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 98
28 Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 99
29 Biaya penyusutan untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 100
30 Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 100
31 Biaya variabel untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 101
32 Biaya tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 102
33 Biaya tetap untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 103
34 Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 104
35 Biaya operasional untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 104
36 Perhitungan harga pokok produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode ultrasonik ... 105
37 Perhitungan harga pokok produksi untuk pembuatan campuran biodiesel dengan metode konvensional ... 105
38 Spesifikasi instrumen ultrasonik merk Hielscher Tipe UIP500hd ... 106
xviii
SERTA KARAKTERISTIK CAMPURANNYA
SABINAZAN MUSADHAZ
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahan Bakar Fosil (BBF) berupa minyak bumi, batu bara, dan gas alam telah menjadi kebutuhan energi global terbesar. Konsumsi terhadap BBF tersebut diperkirakan oleh Energy Information Administration (bagian dari Departemen Energi AS) akan meningkat 57% dari tahun 2002 hingga 2025. Padahal, di sisi lain ternyata cadangan minyak sumber BBF semakin berkurang. Berdasarkan laporan dari Congressional Research Service (CRS) kepada Komisi Energi, jika tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 30-50 tahun lagi (Prihandana & Hendroko 2007).
Berangkat dari hal tersebut, pemerintah di seluruh dunia menjadi semakin peduli pada upaya-upaya mengurangi penggunaan BBF. Salah satu alternatif yang telah dilakukan adalah dengan menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai pengganti BBF, yang sifatnya lebih terbarukan karena diproduksi dari tanaman. BBN tersebut dapat dibagi menjadi biodiesel, bioetanol, biogas, dan biobriket.
Biodiesel merupakan BBN yang diolah dari minyak/lemak. Indonesia sebagai negara agraris memiliki beberapa tanaman penghasil minyak/lemak, misalnya tanaman sawit dan karet. Sawit dan karet selama ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia. Kedua komoditas tersebut menjadikan Indonesia sebagai tiga besar eksportir sawit dan karet ke pasar global. Tahun 2011, Indonesia memproduksi 2,8 juta ton karet/tahun dengan luas areal 3,4 juta hektar (Kementan 2011). Menurut Suparno et al. (2010), produksi biji karet Indonesia adalah sebesar 1500 kg/ha/tahun, sehingga dapat dihitung potensi biji karet Indonesia tidak kurang dari 5,1 juta ton per tahun. Menurut Soerawidjadja et al. (2005), biji karet mengandung 40-50% minyak, sehingga dapat dihitung potensi minyak biji karet Indonesia adalah sekitar 2,04 - 2,55 juta ton per tahun. Namun, potensi minyak biji karet sebesar itu masih belum termanfaatkan secara maksimal.
digunakan pada musim dingin. Namun, karena tingginya ester asam-asam lemak tidak jenuh yang dikandungnya, menyebabkan stabilitas oksidatif biodiesel biji karet menjadi lebih rendah, serta bilangan iod-nya menjadi cukup tinggi (di atas standar SNI Biodiesel) (Prihandana & Hendroko 2007).
Selama ini kualitas biodiesel sawit telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI Biodiesel (SNI-04-7182-2006). Namun, permasalahan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan ekspor biodiesel sawit adalah titik kabut yang tidak sesuai jika biodiesel tersebut diekspor ke negara bermusim dingin. Berbeda dengan minyak solar yang memiliki titik kabut mencapai -16 oC hingga -31 oC
(Dunn 2005), biodiesel sawit memiliki titik kabut sekitar 12 oC dan titik tuang
sekitar 8-9 oC (Sundaryono 2011; Aziz et al. 2011). Hal ini dapat mempengaruhi
kelancaran aliran biodiesel sawit di dalam filter, pompa, dan injektor sehingga akan menyulitkan dalam pengoperasian mesin di musim dingin (Dunn 2005).
Penurunan titik kabut biodiesel sawit dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya melalui pencampuran dengan solar ataupun dengan biodiesel lain. Pencampuran biodiesel sawit dengan biodiesel biji karet diharapkan dapat meningkatkan komposisi ester asam lemak tidak jenuh di dalam biodiesel sawit hasil pencampuran. Tingginya komposisi ester asam lemak tidak jenuh berikatan rangkap akan membantu biodiesel sawit menjadi lebih tahan terhadap kristalisasi atau pemadatan pada suhu dingin. Hal ini berimbas pada penurunan titik kabut biodiesel sawit. Selain itu, adanya perlakuan pencampuran juga akan membantu dalam meningkatkan stabilitas oksidatif maupun penurunan bilangan iod biodiesel biji karet akibat meningkatnya jumlah ester asam-asam lemak jenuh yang diberikan dari biodiesel sawit.
semakin kecil ukuran droplet reaktan, sehingga meningkatkan jumlah area antar muka metanol-minyak (Wu et al. 2007).
Metode konvensional menggunakan pengadukan mekanis umumnya memakan waktu cukup lama (sekitar 1 jam) dan sebenarnya dapat dipersingkat dengan bantuan energi ultrasonik. Menurut Wu et al. (2007), gelombang ultrasonik yang dirambatkan pada cairan akan menimbulkan peregangan dan pemampatan pada ruang antar cairan, yang selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya gelembung mikro. Gelembung mikro bersifat sangat tidak stabil, berumur sangat singkat (kurang dari 1 x 10-7 detik), dan ketika gelembung
tersebut pecah, proses pecahnya gelembung mikro ini membantu mengecilkan ukuran droplet metanol maupun droplet minyak menjadi lebih kecil (42% lebih kecil daripada droplet hasil metode pengadukan konvensional). Hal ini menyebabkan jumlah area antar muka kedua fase reaktan (metanol dan minyak) bertambah banyak, sehingga membantu proses emulsifikasi dan transfer massa yang sangat cepat di antara kedua reaktan tersebut (Sampayo & Javier 2005; Ji et al. 2006; Wu et al. 2007). Selanjutnya akan menyebabkan proses pembentukan metil ester (biodiesel) yang lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh jenis katalis (homogen dan heterogen) terhadap rendemen biodiesel sawit
2) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh suhu dan waktu kalsinasi CaO terhadap rendemen biodiesel sawit
3) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh waktu dan persentase amplitudo pemaparan gelombang ultrasonik pada transesterifikasi olein sawit terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel yang dihasilkan
4) Mendapatkan informasi mengenai pengaruh waktu pemaparan gelombang ultrasonik dan pada esterifikasi-transesterifikasi minyak biji karet terhadap rendemen dan bilangan asam biodiesel yang dihasilkan
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari :
1) Perbandingan proses transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis NaOH dan katalis CaO yang telah dikalsinasi pada suhu dan waktu tertentu
2) Pengaruh amplitudo dan waktu pemaparan gelombang ultrasonik pada reaksi transesterifikasi olein sawit
3) Pengaruh waktu pemaparan gelombang ultrasonik pada reaksi esterifikasi ultrasonik minyak biji karet
4) Analisa rendemen, bilangan asam, dan ALB biodiesel biji karet yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi ultrasonik
5) Karakterisasi biodiesel biji karet, metil ester sawit, dan campuran keduanya.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiesel
Biodiesel (fatty acid methyl ester / FAME) merupakan bioenergi, atau bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel atau solar, yang diproduksi dari minyak nabati maupun hewani. Minyak nabati umumnya lebih sering digunakan karena lebih murah dan lebih cepat diperbaharui. Minyak nabati bersifat lebih kental dan angka setananya lebih rendah dibandingkan dengan solar, sehingga lebih sulit untuk diaplikasikan langsung ke dalam mesin diesel. Oleh sebab itu, perlu diubah menjadi biodiesel, sehingga viskositasnya menjadi lebih rendah daripada minyak nabati, serta angka setananya menjadi meningkat (Gerpen & Knothe 2005).
Proses umum yang digunakan untuk mengubah minyak nabati menjadi biodiesel adalah dengan melakukan reaksi transesterifikasi, baik menggunakan katalis asam maupun katalis basa, tergantung dari kandungan asam lemak bebas dalam minyak. Selain itu, telah dikembangkan beberapa metode baru dalam produksi biodiesel. Diantaranya dengan proses non-katalitik (menggunakan metanol superkritik), proses in-situ, serta penggunaan katalis biologis / enzimatis (Joelianingsih et al. 2006).
Menurut Kinast (2003), berdasarkan kandungan asam lemak bebas (ALB / free fatty acid) di dalamnya, minyak nabati dapat dibagi menjadi tiga, sebagai berikut :
- Refined oils, yaitu minyak nabati yang telah dimurnikan sehingga kandungan ALB-nya turun mencapai kurang dari 1,5%.
- Minyak nabati yang kandungan ALB-nya kurang dari 4%. - Minyak nabati dengan kandungan ALB lebih tinggi dari 20%.
ALB
ALB
menggunakan katalis asam, atau biasa disebut reaksi esterifikasi (Gerpen & Knothe 2005).
Metode esterifikasi menggunakan katalis asam bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas (ALB) dari minyak menjadi metil ester, dan kemudian mengkonversi trigliserida (reaksi lambat) menjadi metil ester. Hal ini dapat terjadi, karena ALB bereaksi dengan metanol membentuk metil ester dan air.
Jika metode ini tidak dilakukan (melainkan dengan melangsungkan transesterifikasi berkatalis basa), ALB yang ada akan bereaksi dengan katalis basa sehingga akan menurunkan aktivitas katalitik. Selain itu, reaksi antara ALB dengan katalis basa akan membentuk emulsi sabun, bahkan pada konsentrasi ALB >5% akan terjadi pembentukan gel (Canacki & Gerpen 1999). Emulsi sabun tersebut akan menyulitkan dalam proses pemisahan metil ester dengan gliserol sehingga mengurangi yield biodiesel yang dihasilkan. Selain itu, jika ALB masih terdapat di dalam biodiesel, akan meningkatkan nilai bilangan asam di atas standar, sehingga dapat mengakibatkan korosi pada mesin diesel.
(Reaksi konversi asam lemak bebas menjadi alkil ester)
(Reaksi penyabunan)
Katalis yang digunakan pada metode esterifikasi adalah katalis asam, misalnya H2SO4 ataupun HCl (Gerpen & Knothe 2005; Hambali et al., 2007a).
rendah dibandingkan transesterifikasi menggunakan katalis basa (Freedman et al. 1984).
Menurut Rachmaniah (2004) penggunaan katalis asam klorida pro-analis (5% b/b) pada reaksi esterifikasi minyak dedak padi (yang tinggi kandungan asam oleat dan asam linoleat-nya) dengan ALB tinggi (15%, 60%, dan 70%) akan membantu dalam mempercepat reaksi esterifikasi asam lemak menjadi metil ester. Di sisi lain, konversi trigliserida menjadi metil ester pada minyak tersebut berlangsung lebih lambat. Keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan esterifikasi terhadap minyak dedak padi menggunakan katalis asam klorida tersebut hanya 60 menit, dengan konversi ALB menjadi metil ester mencapai 98% dengan semakin tingginya jumlah ALB di dalam minyak (ALB mencapai 70%).
Metode transesterifikasi bertujuan untuk mengkonversi trigliserida menjadi alkil ester. Reaksi ini berlangsung lambat tanpa bantuan katalis. Hal ini disebabkan sifat metanol dan minyak yang tidak dapat bercampur (immiscible), oleh sebab itu dibutuhkan katalis yang bertindak dalam menyediakan ion untuk pertukaran ion antara kedua fase metanol dan minyak serta menurunkan energi aktivasi, sehingga reaksi berlangsung lebih cepat (Altic 2010). Katalis basa yang umum digunakan dalam transesterifikasi adalah NaOH dan KOH. Katalis NaOH lebih mudah diperoleh dan lebih murah, serta menghasilkan waktu reaksi yang lebih singkat dibandingkan penggunaan katalis KOH (Vicente et al. 2004). Secara skematis reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Singh (2008), reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester terbagi menjadi tiga reaksi, dengan monogliserida dan digliserida sebagai hasil reaksi parsial. Pertama-tama, trigliserida bereaksi dengan metanol membentuk digliserida dan metil ester pertama. Hal ini dapat terjadi diawali dengan pembentukan katalis yang telah terprotonasi (BH+) dan metoksida (RO-) hasil
molekul metil ester dan 1 molekul gliserol dari reaksi 1 molekul trigliserida dan 3 molekul metanol.
Gambar 1 Reaksi transesterifikasi dengan bantuan katalis basa (Singh 2008).
Selain katalis homogen yang sudah dijelaskan di atas, terdapat jenis katalis heterogen yang sifatnya berbeda fase dengan reaktan maupun produk, serta dapat digunakan berulang kali. Katalis heterogen tersebut umumnya berasal dari senyawa kimia Golongan IIA pada unsur periodik kimia, seperti Mg, Ca, Sr, dan Ba. Kekuatan ion yang disumbangkan oleh senyawa oksidanya berturut-turut meningkat mulai dari yang paling lemah adalah oksida Mg < Ca < Sr < Ba (D’Cruz et al. 2007). Penggunaan katalis heterogen memungkinkan output dari proses produksi biodiesel lebih ramah lingkungan, tidak membutuhkan banyak air pencuci, dan menghasilkan gliserol yang lebih bersih.
Serio et al. (2006) melakukan transesterifikasi minyak kedelai pada suhu 100 oC, dan menghasilkan rendemen lebih dari 45% untuk katalis MgO dan lebih
pagar sebesar 93% dari hasil 3,5 jam transesterifikasi suhu 70 oC, rasio molar
metanol : minyak 9:1, menggunakan 1,5% katalis CaO yang direndam ammonium nitrat dilanjutkan kalsinasi 900 oC. Nazir (2011) memperoleh rendemen biodiesel
jarak sebesar 95% dari hasil transesterifikasi selama 2 jam pada suhu 65 oC, rasio
molar metanol : minyak (12:1), dan menggunakan 2,5% katalis CaO (hasil pembakaran batu kapur CaCO3 selama 1,5 jam pada suhu 900 oC). Reaksi
transesterifikasi menggunakan katalis CaO dapat dilihat seperti di bawah ini (Sari et al. 2011) :
...(1)
...(2)
... (4)
Alkohol digunakan sebagai pereaksi untuk membentuk alkil ester. Alkil ester yang terbentuk dapat berupa metil ester, etil ester, dan sebagainya tergantung dari jenis alkohol yang digunakan. Jika alkohol yang digunakan adalah metanol (metil alkohol) maka biodiesel / alkil ester yang terbentuk berupa metil ester. Kelarutan minyak di dalam alkohol meningkat dengan semakin panjangnya jumlah atom karbon alkohol, namun jenis alkohol yang umum digunakan dalam produksi biodiesel adalah alkohol rantai pendek, yaitu etanol dan metanol. Kedua jenis alkohol tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Penggunaan metanol mampu menghasilkan biodiesel dengan rendemen dan kemurnian yang paling tinggi karena reaktivitasnya yang tinggi (disebabkan rantainya paling pendek dibandingkan jenis alkohol yang lain), lebih cepat bereaksi dibandingkan etanol, murah, dan dapat dengan mudah dipisahkan dari gliserol (Sivakrasam & Saravanan 2007; Özgul-Ÿucel & Turkay 2003; Joshi et al. 2010). Selain itu, metanol memiliki afinitas yang rendah terhadap penyerapan uap air udara, serta kadar airnya mudah dipisahkan melalui distilasi sederhana sehingga lebih mudah diperoleh dalam bentuk anhidrat. Namun, metanol bersifat lebih toksik dibandingkan etanol, serta kurang ramah lingkungan dibandingkan etanol (Singh 2008).
gliserol dari fase etil ester, lebih sensitif dalam menyerap uap air, serta tingkat konversi yang lebih rendah dibandingkan metanol (Singh 2008).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, biodiesel dapat diolah dari beragam jenis minyak nabati. Menurut Mittelbach (1996), jenis minyak yang digunakan akan mempengaruhi beberapa parameter biodiesel, seperti densitas, bilangan setana, dan kandungan sulfur. Oleh karena itu, untuk menjamin keseragaman kualitas biodiesel yang dihasilkan, dan agar tidak mengganggu kinerja mesin diesel, pemerintah beberapa negara telah menerbitkan standar biodiesel (lihat Tabel 1). Standar yang mengatur parameter mutu biodiesel di Indonesia dijelaskan dalam SNI Biodiesel (SNI-04-7182-2006). Standar tersebut mengacu pada standar biodiesel internasional yaitu ASTM D6751 dan EN 14214, (lihat Tabel 2).
Tabel 1 Parameter umum kualitas biodiesel yang diatur oleh standar beberapa negara (Meher et al. 2006)
No. Parameter Austria Republik
Tabel 2 Standardisasi biodiesel
Belerang ppm (mg/kg) Max. 100 Total belerang max. 0,05
Ns = bilangan penyabunan, mg KOH/gr biodiesel, metode AOCS Cd 3-25 NA = bilangan asam, mg KOH/gr biodiesel, metode AOCS Cd 3d-63 Gttl = gliserol total, % mass, AOCS Ca 14-56
Sumber : a BSN (2006)
2.2. Karet (Hevea brasiliensis)
Karet alam (lateks) merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia. Pada tahun 2011, Indonesia memproduksi 2,8 juta ton karet/tahun (dengan luas areal 3,4 juta hektar), berada di peringkat kedua setelah Thailand, dan disusul Malaysia pada peringkat ketiga (Kementan 2011). Ketiganya memasok 70% dari kebutuhan karet alam dunia (Prihandana dan Hendroko 2007).
Walaupun produksi karet Indonesia termasuk ke dalam tiga besar dunia, harga karet saat ini sangat rendah, yaitu mencapai 5,5 kali lebih murah dibandingkan tahun 1960. Hal ini menyebabkan pendapatan petani karet menjadi sangat kecil (Prihandana dan Hendroko 2007). Selama ini para petani hanya mengandalkan pada produksi getah, padahal bagian-bagian karet yang lain dapat pula diolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomi, antara lain kayu yang dapat diolah menjadi perabotan dan meubel, serta biji karet sebagai bahan baku biodiesel.
Biji karet merupakan hasil produksi dari pohon karet kelompok umur menghasilkan. Umumnya pohon karet berbuah setelah umur 4-5 tahun dan berbuah sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu buah pertama pada bulan Januari hingga Maret, dan buah kedua pada bulan Oktober hingga Desember. Bobot biji karet berkisar antara 2-4 gram dan berukuran 2.5 cm hingga 3 cm, tergantung varietas, umur biji, dan kadar air. Menurut (Ramadhas et al. 2005), biji karet berbentuk bulat telur, dan rata pada salah satu sisinya (lihat Gambar 2). Menurut Nadaradjah (1969) diacu dalam Aliem (2008), biji karet terdiri atas 45-50% kulit biji dan 50-55% daging biji.
Gambar 2 Pohon karet dan biji karet.
Selama ini potensi biji karet sebanyak itu hanya dibuang begitu saja, padahal biji karet mengandung minyak sebesar 40-50% dari berat kering (Soerawidjadja et al. 2005). Minyak dari biji karet tersebut belum potensial untuk dijadikan sebagai minyak makan. Hal ini dikarenakan adanya asam linolenat yang cukup tinggi sehingga menimbulkan bau yang tidak enak (Fachrie 2010). Oleh karena itu, minyak biji karet tersebut sangat potensial jika diolah menjadi biodiesel.
Tabel 3 Penelitian terdahulu tentang biodiesel biji karet
Peneliti Metodologi Katalis Suhu Hasil
Darismayanti diperoleh melalui esterifikasi pada suhu 60oC dengan konsentrasi metode superheated metanol dapat langsung dilakukan transesterifikasi.
Minyak yang diperoleh dari biji karet cenderung mengandung gum. Gum merupakan suspensi koloid serupa getah, yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan resin. Sebelum dilakukan esterifikasi maupun transesterifikasi, gum tersebut perlu dihilangkan dari minyak dengan cara degumming. Hal ini dikarenakan gum tersebut dapat menghambat kelancaran proses esterifikasi-transesterifikasi.
Pengaruh gum terhadap proses esterifikasi-transesterifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika setelah dilakukan proses esterifikasi ternyata masih terdapat sejumlah asam lemak bebas yang belum terkonversi menjadi alkil ester, maka asam lemak bebas tersebut akan bereaksi dengan katalis basa dan membentuk sabun. Sabun yang terbentuk akan menyerap gum sehingga menambah jumlah partikel emulsi (Ketaren 2008). Akibatnya, proses pemisahan sabun dari biodiesel akan semakin terhambat serta rendemen biodiesel yang dihasilkan akan semakin berkurang.
Tabel 4 Ekstraksi dan pengolahan minyak dari biji karet
Tahap Perlakuan Input Output Tujuan
1. Penjemuran Biji karet Biji karet
rangkap (lihat Tabel 5). Hal ini menyebabkan minyak biji karet memiliki stabilitas oksidatif yang rendah dan bilangan iod yang cukup tinggi, yaitu sebesar 142,6 g I2/100g, sehingga biodiesel yang diolah dari minyak biji karet akan memiliki
angka iodium yang tidak memenuhi SNI Biodiesel (Ikwuagwu et al. 2000; Prihandana & Hendroko 2007).
Tabel 5 Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dan minyak sawit
Asam Lemak Minyak biji karet* Minyak sawit**
Palmitat (16 : 0) 8,56 41 – 47
Stearat (18 : 0) 10,56 3,7 - 5,6
Total asam lemak jenuh 19,12 45,3 - 55,4
Oleat (18 : 1) 22,95 38,2 – 43,5
Linoleat (18 : 2) 37,28 6,6 – 11,9
Linolenat (18 : 3) 19,22 0 – 0,5
Total asam lemak tak jenuh 79,45 44,8 – 57,3 Sumber : *Abdullah & Salimon (2009)
**Crabbe et al. (2001)
Tabel 6 Karakteristik minyak biji karet (Ikwuagwu et al. (2000))
Karakteristik Hasil
Densitas (15 oC, g/cm3) 0,918
Viskositas (30 oC, mm2/s) 37,85
Bilangan asam (mg KOH/g) 1
Bilangan iod (g I2/100 g) 142,6
Titik kabut (oC) -1,0
Ekuador
Lainnya
2.3. Sawit
Sawit merupakan komoditas perkebunan primadona Indonesia, yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak sawit nomor satu di dunia. Kementerian Pertanian tahun 2011 menyebutkan, Indonesia menguasai 44,5% pasar sawit dunia dengan volume produksi mencapai 19,1 juta ton pada 2010, mengungguli Malaysia yang menempati posisi kedua dengan pangsa 41,3% dengan volume produksi 17,73 juta ton (Tim Redaksi 2012). Sebanyak 90% minyak sawit Indonesia diekspor dalam bentuk CPO (crude palm oil)dan 10% dalam bentuk produk-produk turunan dari sawit sebagai bahan baku industri oleokimia (Pardamean 2008).
Gambar 3 Pie chart pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain (Tim Redaksi 2012).
Tabel 7 Produksi dan pangsa pasar sawit Indonesia dibandingkan negara lain (Tim Redaksi 2012)
Negara Volume (per 1000 ton) Persentase (%)
Indonesia 19100 44,5
Malaysia 17735 41,3
Thailand 1160 2,7
Nigeria 860 2,0
Kolombia 800 1,9
Ekuador 420 0,9
Papua Nugini 400 0,9
Cote d’Ivoire 330 0,8
Lainnya 2100 4,9
Menurut Pahan (2008) dan Sunarko (2009), buah kelapa sawit dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu eksokarp (kulit buah), mesokarp (sabut), endokarp (cangkang biji), mesosperm (daging biji/inti/kernel), dan embrio (lembaga). Minyak dapat diperoleh dari bagian sabut dan dari bagian inti (kernel). Soerawidjaja et al. (2005) menyatakan, hasil pengepresan minyak dari sabut sawit akan menghasilkan minyak sawit kasar (crude palm oil / CPO) sebesar 45-70% (% berat kering) sedangkan bagian inti/kernel sawit akan menghasilkan minyak inti sawit (palm kernel oil / PKO) sebesar 45-54% (% berat kering). Selama ini, yang lebih umum diperdagangkan sebagai minyak sawit adalah CPO, bukan PKO.
Eksokarp (kulit buah) Mesokarp (sabut) Endokarp (cangkang) Mesosperm (inti/kernel)
Gambar 4 Penampang biji sawit.
Minyak sawit (CPO) memiliki kandungan asam-asam lemak penyusun yang dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan kandungan asam lemak penyusunnya, minyak sawit mengandung asam lemak jenuh yang sebagian besar tersusun oleh asam palmitat dan asam stearat, sedangkan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit sebagian besar tersusun oleh asam oleat dan asam linoleat.
Tabel 8 Karakteristik minyak sawit, biodiesel sawit dan Petrodiesel (Diesel No.2)
Karakteristik Minyak
sawit Biodiesel sawit Diesel No.2 a
Densitas (kg/m3) 889,6 – 891
(50 oC)b 864,42
a (25 oC)
853,97 (25 oC)
Viskositas (mm2/detik) 36,8-39,6
(38oC)c 4,71
a (40 oC)
4,33 (40 oC)
CFPP (oC) 1d 12a -6
Titik kabut (oC) 13d 16a -5
Bilangan iod (g I2/100 g) 50-55b 45-62e -
Sumber : aBenjumea et al. (2008); bKnothe (2002); cMittelbach (1996);
dMittelbach & Remschmidt (2006); eHambali et al. (2007b);
Adanya asam lemak jenuh mencapai 45,3 – 55,4% dari total penyusun minyak sawit akan mengakibatkan alkil ester (biodiesel) dari minyak sawit tersebut turut mempunyai kecenderungan memadat pada suhu rendah, dan berimbas pada tingginya titik kabut biodiesel sawit tersebut. Menurut Benjumea et al. (2008), biodiesel sawit memiliki titik kabut sebesar 16 oC, yakni lebih tinggi
Tabel 9 Penelitian terdahulu tentang biodiesel sawit
Peneliti Metode Hasil
Crabbe et al. (2001) Esterifikasi dengan katalis H2SO4 pada beberapa variabel
Kalam dan Masjuki (2002) Variabel campuran minyak diesel pada 100% biodiesel,
Benjumea et al. (2008) Transesterifikasi konvensional biodiesel sawit (60 oC, rasio
Suirta (2009) Esterifikasi (metanol & katalis H2SO4 dengan pengadukan tanpa pemanasan selama 1 jam kemudian didiamkan 24 jam)-transesterifikasi (suhu 55 oC,
2.4. Ultrasonik
Ultrasonik merupakan gelombang bunyi yang termasuk gelombang longitudinal, dengan frekuensi di atas 20.000 Hz. Frekuensi tersebut tidak dapat didengar oleh telinga manusia, karena manusia hanya mampu mendengar suara dengan frekuensi di antara 20 – 20.000 Hz. Gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi yang dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas, serta menyebabkan vibrasi/getaran molekul-molekul zat yang saling beradu satu sama lain (Bueche 1986; Resnick & Halliday 1992).
Gelombang ultrasonik yang dirambatkan pada cairan akan menimbulkan gelombang ekspansi (tekanan negatif) dan gelombang kompresi (tekanan positif). Ekspansi dan kompresi secara berulang-ulang ini menimbulkan energi getaran (kavitasi) dan membentuk gelembung gas berukuran mikro (Singh 2008). Gelembung mikro menyimpan energi yang besar dalam bentuk tegangan permukaan, di mana besarnya tegangan permukaan berbanding terbalik dengan jari-jari gelembung. Semakin kecil diameter gelembung, semakin besar energi tegangan permukaannya (Susilo 2008).
Gelembung mikro bersifat sangat tidak stabil, berumur sangat singkat (kurang dari 1/10.000.000 detik), dan menghasilkan panas lebih dari 5000 K dengan tekanan berkisar 1000 atm ketika gelembung tersebut pecah (Darylianty 2007). Pecahnya gelembung mikro bertegangan tinggi juga membantu mengecilkan ukuran droplet metanol dan droplet minyak menjadi 42% lebih kecil dibandingkan ukuran droplet yang dihasilkan melalui metode pengadukan konvensional. Hal ini pada akhirnya menyebabkan jumlah area antar muka metanol-minyak akan bertambah, sehingga membantu proses transfer massa serta emulsifikasi di antara kedua cairan immiscible tersebut (Sampayo & Javier 2005; Ji et al. 2006; Wu et al. 2007).
diaplikasikan untuk produksi biodiesel sistem kontinyu (Mason 1999; Stavarache 2003; Wu et al. 2007).
Pengolahan biodiesel menggunakan gelombang ultrasonik pertama kali dilaporkan oleh Stavarache (2003), yaitu secara dramatis dapat mempersingkat waktu transesterifikasi dengan tetap menghasilkan rendemen yang tinggi. Altic (2010) menyatakan bahwa irradiasi ultrasonik memiliki kemampuan dalam memberikan input energi kinetik sehingga meningkatkan laju reaksi esterifikasi pada brown grease (ALB 85,35%). Menurut Singh (2008), besarnya energi yang dihasilkan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor amplitudo dibandingkan dengan faktor waktu pemaparan (lihat Gambar 7).
Gambar 5 Pengaruh faktor waktu dan amplitudo terhadap input energi (alat ultrasonik dijalankan pada frekuensi 24 kHz, daya 400 W (Singh 2008)).
Colucci et al. (2005) menghasilkan biodiesel minyak kedelai dalam waktu tiga sampai lima kali lebih singkat dibandingkan transesterifikasi metode pengadukan mekanis. Biodiesel minyak kedelai yang dihasilkan melalui metode ultrasonik menghasilkan rendemen >99% pada perlakuan 15 menit, suhu 40 oC,
dan katalis KOH 1,5%. Ultrasonik juga bekerja baik dan lebih singkat pada reaksi transesterifikasi menggunakan katalis enzim tanpa mengganggu karakteristik enzim (Shah et al. 2005; Wu & Zong 2005).
Waktu, menit
Amplitudo, %
In
pu
t
E
ne
rg
i
(W
.d
Hasil penelitian Susilo (2008) juga menunjukkan gelombang ultrasonik meningkatkan laju transesterifikasi minyak nabati menjadi biodiesel. Konversi minyak nabati menjadi biodiesel dengan penggunaan gelombang ultrasonik lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pengaduk mekanis. Konversi dapat mencapai 100% dengan waktu proses 1 menit (Susilo 2008). Konversi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pengaduk mekanis yang hanya mampu pada kisaran konversi sekitar 96% dengan waktu proses antara 30 menit hingga 2 jam. Menurut Susilo, peningkatan laju reaksi transesterifikasi tersebut tidak hanya disebabkan kenaikan suhu proses secara makro, tetapi juga karena adanya kavitasi dan timbulnya bintik panas (hot spot) akibat pecahnya gelembung mikro.
Armenta et al. (2007) telah mencoba melakukan penelitian penggunaan variasi instrumen ultrasonik (bath dan probe). Penelitian tersebut dilakukan pada beberapa konsentrasi katalis KOH, perbandingannya dengan katalis Sodium metoksida, dalam suhu 20 oC dan 60 oC, serta pada parameter waktu 10 – 90
menit. Hasilnya adalah, penggunaan instrumen ultrasonik tipe probe menghasilkan rendemen biodiesel dalam kisaran yang tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan dari tipe bath. Katalis sodium metoksida dalam konsentrasi yang lebih kecil mampu menghasilkan rendemen yang lebih besar. Penggunaan suhu 60
oC menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan suhu 20 oC, serta
semakin lama waktu ultrasonik, semakin besar rendemen yang dihasilkan.
2.5. Titik Kabut Biodiesel
Meskipun memiliki beberapa kelebihan sebagai pengganti bahan bakar diesel, biodiesel memiliki kelemahan terkait dengan cuaca dingin. Menurut Dunn (2005), biodiesel kedelai terbukti membentuk kristal ketika suhu mendekati 0-2oC. Kristalisasi tersebut mengakibatkan penyumbatan pada filter mesin sehingga
mempengaruhi aliran bahan bakar, yang kemudian akan mengakibatkan mesin diesel sulit dihidupkan.
Secara umum, pendinginan akan mengakibatkan pembentukan inti kristal, yang semakin membesar seiring penurunan suhu tersebut. Kisaran suhu dimana
kabut/titik awan (cloud point / CP). Disebut demikian karena adanya kristal tersebut menyebabkan penampakan menyerupai kabut atau awan. Jika penurunan suhu terus berlanjut, pada suhu tertentu (disebut sebagai titik tuang / pour point / PP) kristal akan mencapai diameter 0,5-1 mm. Kristal besar tersebut satu sama lain akan ber-aglomerasi, sehingga mampu menyumbat filter mesin (Dunn 2005).
Titik penyumbatan filter dingin (cold plugging filter point / CFPP) merupakan temperatur terendah dimana 20 mL bahan bakar masih dapat mengalir melalui filter tertentu selama 60 detik (Dunn 2005). CFPP umum digunakan di Eropa, khususnya Eropa Barat, sedangkan yang umum digunakan di Amerika Utara adalah LTFT / Low-Temperature Flow Test. LTFT digunakan untuk mengetahui suhu tertinggi dimana bahan bakar gagal melewati filter standar ketika dilakukan pendinginan. CFPP dan LTFT memiliki hubungan yang linear terhadap titik kabut. Penurunan titik kabut merupakan kunci untuk memperbaiki sifat-sifat aliran bahan bakar mesin diesel pada temperatur rendah.
Kekeruhan biodiesel pada titik kabut disebabkan oleh metil ester dari asam lemak jenuh yang berantai tunggal mengalami kristalisasi. Sifat-sifat masing-masing metil ester asam lemak, kaitannya dengan titik leleh dan beberapa parameter lain dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Sifat masing-masing metil ester asam lemak
Keterangan : † pada suhu ≥ 40oC berbentuk padat (bukan cairan) Sel yang kosong menunjukkan tidak/belum ada data Sumber : * Clements (1988) diacu dalam Joelianingsih et al. (2008)
**Soerawidjaja (2006)
Pencampuran (blending) antara biodiesel yang memiliki titik kabut tinggi (seperti biodiesel sawit) dengan biodiesel bertitik kabut rendah (seperti biodiesel biji karet) didasarkan pada sifat metil ester tersebut. Diharapkan dengan adanya pencampuran, terjadi penambahan kandungan metil ester berikatan rangkap (isomer cis) seperti metil oleat dan metil linoleat dari biodiesel biji karet ke dalam biodiesel sawit. Dengan demikian, metil ester jenuh dalam biodiesel sawit akan sulit membentuk kristal akibat adanya halangan dari struktur molekul metil ester tidak jenuh berikatan rangkap.
2.6. Stabilitas Oksidatif Biodiesel
Semua bahan bakar, baik solar maupun biodiesel, mudah terdegradasi seiring waktu penyimpanan. Degradasi ini umumnya terjadi akibat reaksi oksidasi, yang terlihat dari peningkatan bilangan asam dan viskositas (akibat peningkatan jumlah gum dan sedimen) dari bahan bakar tersebut (Salley et al. 2011).
Proses oksidasi pada biodiesel dimulai dengan reaksi pembentukan hidroperoksida melalui adisi molekul oksigen pada ikatan rangkap atom karbon dalam asam lemak tidak jenuh. Selama reaksi oksidasi tersebut berlangsung, peroksida terpecah menjadi aldehid dan asam-asam berantai pendek. Peroksida juga dapat memicu terbentuknya radikal bebas, yang memudahkan terbentuknya polimerisasi dan crosslinking di antara sesama molekul karbon berikatan rangkap (C = C). Oleh karena yang dirusak dalam reaksi oksidasi ini adalah ikatan rangkap (C=C), maka banyaknya ikatan rangkap pada atom karbon penyusun ester asam lemak dapat dijadikan acuan mudahnya biodiesel tersebut teroksidasi. Sebagai contoh, molekul yang mengandung dua buah ikatan rangkap C=C akan mempunyai kestabilan oksidatif setengah kali dari molekul yang mengandung satu buah ikatan rangkap (Salley et al. 2011).
BAHAN DAN METODE
3.1. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet dari kebun karet milik PTPN XIII di Desa Nanga Jetak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu juga dibutuhkan olein sawit (merk Bimoli) untuk keperluan pembuatan biodiesel sawit.
Bahan lain yang dibutuhkan adalah bahan untuk proses ekstraksi dan degumming minyak (akuades dan H3PO4), bahan untuk reaksi esterifikasi minyak
biji karet (metanol dan HCl), serta bahan untuk reaksi transesterifikasi (metanol dan NaOH). Bahan-bahan lainnya dibutuhkan pula untuk melakukan analisis bilangan asam, bilangan iod, dan stabilitas oksidatif.
Alat yang dibutuhkan yaitu alat untuk ekstraksi dan degumming minyak biji karet (hot hydraulic press, wadah, dan corong pemisah). Kemudian alat untuk melangsungkan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi yaitu ultrasonic probe instrument, labu leher tiga, pengaduk magnetik, termometer, dan hot plate. Alat-alat lainnya juga diperlukan untuk melakukan analisis bilangan asam, bilangan iod, stabilitas oksidatif (menggunakan Metrohm Rancimat Model 743), titik tuang, titik kabut, viskositas, dan densitas.
3.2. Metode Penelitian
Tahap penelitian dimulai dengan melakukan persiapan minyak biji karet, kemudian melakukn pemilihan katalis (NaOH atau CaO) yang paling tepat untuk reaksi transesterifikasi, melakukan transesterifikasi minyak biji karet dan olein sawit dengan bantuan ultrasonic probe instrument, serta diakhiri dengan melakukan penambahan metil ester sawit ke dalambiodiesel biji karet.
3.2.1. Penyiapan Minyak Biji Karet
tahap yang sangat penting sebelum dilakukan ekstraksi minyak dari dalam biji karet yang bertujuan mengeluarkan air, sehingga mengurangi resiko terjadinya reaksi hidrolisis minyak. Biji karet yang dipanen dari kebun karet di Desa Nanga Jetak, Kabupaten Sintang, Kalbar dikeringkan oleh petani selama 7 hari, dari pukul 8 pagi hingga pukul 3 sore, dengan kondisi biji utuh (kulit biji belum dikupas) sebelum dikirim ke lokasi penelitian di Bogor. Setelah biji sampai di tempat penelitian (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor), biji dikupas dan dijemur kembali selama 2 hari.
Biji karet kering yang telah dijemur kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill. Selanjutnya, hancuran biji karet dikempa menggunakan hot hydraulic press bertekanan 20 ton/cm2 pada suhu 70 oC sehingga minyak dapat
keluar dari biji. Minyak biji karet yang dihasilkan selanjutnya ditimbang, sehingga diperoleh rendemen minyak kasar berdasarkan berat daging biji karet.
Minyak biji karet hasil pengempaan kemudian dibersihkan dari gum. Degumming minyak biji karet dilakukan dengan memanaskan minyak hingga tercapai suhu 80oC. Setelah itu dilakukan penambahan larutan 30% asam fosfat
(H3PO4) sebanyak 0,3% (v/b). Pemanasan terus dipertahankan pada suhu 80oC
selama 15 menit, sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya dilakukan dekantasi selama 24 jam menggunakan corong pemisah agar gum mengendap dan terpisah dari minyak.
Setelah 24 jam, dilakukan pemisahan gum dan pencucian dengan akudes bersuhu 60-70oC. Akuades akan turun dari bagian permukaan atas minyak sambil
3.2.2. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis NaOH dan Katalis
Heterogen CaO
Sebelum dilakukan transesterifikasi dengan bantuan Ultrasonic Probe Instrument, dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui katalis yang lebih tepat digunakan. Dua macam katalis yang dibandingkan adalah katalis homogen NaOH, dan katalis heterogen CaO.
CaO perlu dikalsinasi sebelum digunakan sebagai katalis. Proses kalsinasi dilakukan menggunakan tanur, dengan faktor waktu kalsinasi selama 1 dan 2 jam, dan suhu tanur yang digunakan adalah sebesar 600oC, 700oC, 800oC, dan 900oC.
Katalis CaO yang telah dikalsinasi kemudian didinginkan dan digunakan untuk proses transesterifikasi metode konvensional (menggunakan hot plate dan pengaduk magnetic stirrer, pada suhu 65 oC) pada olein sawit.
Proses transesterifikasi katalis heterogen mengacu pada metode yang dilakukan oleh Nazir (2011). Transesterifikasi tersebut dilakukan dengan cara melarutkan katalis CaO (2,5% berat minyak) ke dalam metanol (28:1) dan dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer (panjang 50 mm) selama 20 menit agar CaO larut sempurna, baru kemudian ditambahkan minyak goreng sawit (100 g) dan suhu dinaikkan hingga tercapai suhu 65oC. Suhu tersebut
dipertahankan selama proses reaksi (2,5 jam).
Biodiesel yang dihasilkan kemudian dipisahkan dari endapan katalis CaO menggunakan pompa vakum. Hal ini dilakukan dengan menambahkan kertas saring di corong porselen, sehingga diharapkan yang jatuh ke dalam erlenmeyer hanya campuran biodiesel dan gliserol. Selanjutnya campuran tersebut dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi sehingga biodiesel terpisah dari gliserol.
Adapun proses transesterifikasi minyak sawit menggunakan katalis NaOH (0,5% berat minyak) dilakukan dengan memanaskan minyak goreng sawit hingga 65oC, kemudian ditambahkan campuran larutan NaOH di dalam metanol (rasio
molar metanol : minyak 6:1). Setelah itu dipanaskan kembali hingga tercapai suhu 65 oC, dan dipertahankan selama 1 jam. Hasil yang diperoleh setelah pemanasan
CaCO3
dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi 24 jam sehingga biodiesel terpisah dari gliserol.
Gambar 6 Transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO dan NaOH.
3.2.3. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe
Instrument
Berdasarkan hasil analisa kadar asam lemak bebas (ALB) yang terkandung di dalamnya, olein sawit mengandung ALB sebesar 0,08% sehingga dapat langsung diproses menggunakan reaksi transesterifikasi. Reaksi tersebut dilangsungkan dengan bantuan Ultrasonic Probe Instrument merk Cole Palmer (daya 130 W, frekuensi 20 kHz) selama 10, 20, dan 30 menit, pada faktor amplitudo 30%, 35%, dan 40%.
tengah – tengah larutan, alat ultrasonik diatur pada faktor waktu dan amplitudo yang dikehendaki, lalu alat ultrasonik tersebut dijalankan.
Setelah mencapai waktu yang ditetapkan, campuran biodiesel dan gliserol yang dihasilkan dipindahkan ke corong pemisah, dan dilakukan dekantasi selama 24 jam. Biodiesel yang dihasilkan kemudian dicuci dengan akuades hangat beberapa kali hingga pH air pencucian terakhir sama dengan pH akuades. Selanjutnya dilakukan pengeringan sisa-sisa metanol dan air cucian menggunakan hotplate pada suhu 105 oC selama 10 menit. Biodiesel sawit yang dihasilkan selanjutnya dianalisis rendemen dan bilangan asamnya.
Energi yang dihasilkan untuk setiap faktor perlakuan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
� � =
�
� ... (1)
E = P.t ... (2)
Dengan : P = Daya (W) A = % Amplitudo E = Energi (W.det) t = waktu (detik)
Selain itu, dilakukan pula transesterifikasi olein sawit menggunakan metode konvensional sebagai bahan pembanding, pada suhu 65 oC selama 1 jam dan suhu
45 oC selama 30 menit di atas hot plate disertai pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Rasio katalis NaOH dan metanol yang digunakan pada metode konvensional persis sama seperti pada proses transesterifikasi ultrasonik. Biodiesel sawit yang diperoleh kemudian dianalisis rendemennya.
3.2.4. Esterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe
Instrument
biji karet. Waktu perlakuan esterifikasi ultrasonik ditetapkan pada 15 menit, 22,5 menit, dan 30 menit.
Reaksi esterifikasi minyak biji karet menggunakan bantuan ultrasonic probe instrument dilakukan dengan memanaskan minyak biji karet menggunakan hot plate hingga suhu 45 oC di dalam gelas piala ukuran 250 ml merk IWAKI Pyrex. Selanjutnya ditambahkan campuran larutan HCl (1% berat minyak) di dalam metanol (rasio 20 : 1 ALB), dan dilakukan pengadukan 1 menit menggunakan magnetic stirrer agar metanol, minyak, dan HCl menyebar serta suhu meningkat kembali mencapai 45 oC. Gelas piala berisi campuran ketiga bahan tersebut
kemudian diangkat dari hot plate, dan diletakkan di tempat datar. Selanjutnya probe ultrasonik dimasukkan ke tengah – tengah larutan, dan alat ultrasonik diatur pada amplitudo serta waktu yang dikehendaki, lalu alat ultrasonik tersebut dijalankan.
Setelah mencapai waktu yang ditetapkan, campuran minyak, metanol, dan HCl dipindahkan ke corong pemisah, lalu dilakukan dekantasi selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pemisahan minyak dari fase metanol, dan dilakukan analisis bilangan asam dari minyak biji karet yang dihasilkan.
Selain itu, dilakukan pula proses esterifikasi minyak biji karet menggunakan metode konvensional sebagai bahan pembanding. Proses konvensional tersebut dilakukan menggunakan rasio katalis HCl dan rasio metanol yang sama seperti yang diterapkan pada proses esterifikasi menggunakan ultrasonik. Pertama kali, minyak biji karet dipanaskan hingga 65 oC, kemudian ditambahkan campuran
larutan HCl di dalam metanol. Setelah itu campuran dipanaskan kembali hingga tercapai suhu 65 oC, dan dipertahankan selama 1 jam sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya campuran dipindahkan ke dalam corong pemisah, dan dilakukan dekantasi 24 jam sehingga fase metanol terpisah dari minyak biji karet. Minyak biji karet yang dihasilkan kemudian dianalisis bilangan asamnya.
3.2.5. Transesterifikasi Minyak Biji Karet Menggunakan Ultrasonic Probe
Instrument
di-transesterifikasi menggunakan ultrasonic probe instrument (suhu 45 oC, selama 15 menit, pada amplitudo 40%). Perlakuan ultrasonik tersebut dilakukan dengan memanaskan minyak biji karet menggunakan hot plate hingga suhu 45 oC di dalam gelas piala ukuran 250 ml merk IWAKI Pyrex. Selanjutnya ditambahkan campuran larutan NaOH (0,5% berat minyak) di dalam metanol (rasio molar 6:1), dan dilakukan pengadukan 1 menit menggunakan magnetic stirrer agar metanol, minyak, dan NaOH menyebar serta suhu meningkat kembali mencapai 45 oC.
Gelas piala berisi campuran ketiga bahan tersebut kemudian diangkat dari hot plate, dan diletakkan di tempat datar. Selanjutnya dimasukkan probe ultrasonik ke tengah – tengah larutan, alat ultrasonik diatur pada faktor waktu 15 menit, dan pada amplitudo sebesar 40%, lalu alat ultrasonik dijalankan.
3.2.6. Aplikasi Metil Ester Sawit ke dalam Biodiesel Biji Karet
Metil ester sawit ditambahkan ke dalam biodiesel biji karet pada persentase metil ester sebesar 25%, 50%, dan 75%. Metil ester sawit dan biodiesel biji karet sebelum dilakukan pencampuran, serta biodiesel biji karet yang telah ditambahkan metil ester sawit, dianalisis karakteristiknya. Karakteristik yang dianalisis berupa bilangan asam, titik tuang, titik kabut, stabilitas oksidatif, densitas (suhu pengukuran 15 oC dan 40 oC), viskositas (40 oC), dan bilangan iod.
3.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan pada penelitian pendahuluan penggunaan katalis CaO dilakukan dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Waktu kalsinasi (faktor W) dilakukan dalam dua taraf (W1 = 1 jam, dan W2 = 2 jam) sedangkan suhu kalsinasi (faktor S) dilakukan dalam empat taraf (S1 = 600 oC, S2 = 700 oC, S3 =
800 oC, dan S4 = 900 oC). Masing-masing taraf perlakuan akan diulang sebanyak
dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut :
Yijk = µ + Wi + Sj + εijk (i = 1,2 ; j = 1,2,3,4 ; dan k = 1,2)
Dengan :
Yijk = variabel respon (rendemen biodiesel)
µ = rataan umum rendemen biodiesel Wi = pengaruh waktu kalsinasi ke-i
Sj = pengaruh suhu kalsinasi ke-j
εijk = pengaruh acak (galat perlakuan) dari waktu kalsinasi ke-i, suhu kalsinasi
ke-j, dan ulangan ke-k
Rancangan percobaan pada penelitian transesterifikasi olein sawit dengan bantuan ultrasonik adalah rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor perlakuan dilangsungkan pada kombinasi faktor amplitudo ultrasonik sebesar 30% (A1), 35% (A2), dan 40% (A3) dan faktor waktu sebesar 10 menit (B1), 20 menit (B2), dan 30 menit (B3). Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut :
Dengan :
Yijk = variabel respon (rendemen biodiesel dan nilai bilangan asam)
µ = rataan umum rendemen biodiesel dan nilai bilangan asam Ai = pengaruh % amplitudo ke-i
Bj = pengaruh waktu ultrasonik ke-j
εijk = pengaruh acak (galat perlakuan) dari % amplitudo ke-i, waktu ultrasonik
ke-j, dan ulangan ke-k
Rancangan percobaan pada penelitian esterifikasi minyak biji karet dengan bantuan ultrasonik adalah rancangan acak lengkap satu faktor. Faktor perlakuan (waktu) dilangsungkan dalam tiga taraf (15 menit, 22,5 menit, dan 30 menit). Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak dua kali, dan dimodelkan sebagai berikut :
Yij = µ + Ti+ εij (i = 1,2,3 dan j = 1,2)
Dengan :
Yij = variabel respon (nilai bilangan asam)
µ = rataan umum bilangan asam Ti = pengaruh waktu ultrasonik ke-i
εij = pengaruh acak (galat perlakuan) dari waktu ultrasonik ke-i dan ulangan ke-j
Rancangan percobaan pada proses pencampuran biodiesel merupakan rancangan acak lengkap satu perlakuan yaitu faktor rasio biodiesel minyak biji karet terhadap biodiesel sawit, dan dilakukan dalam lima taraf rasio biodiesel sawit : biodiesel biji karet (R1 = 0:100, R2 = 25:75, R3=50:50, R4 = 75:25, dan R5 = 100:0). Setiap taraf akan diulang sebanyak dua kali. Pengaruh rasio campuran biodiesel terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan dimodelkan sebagai berikut :
Dengan :
Yij = variabel respon (karakteristik biodiesel hasil pencampuran)
µ = rataan umum karakteristik biodiesel sawit hasil pencampuran
Ri = pengaruh rasio biodiesel sawit terhadap biodiesel minyak biji karet ke-i εij = pengaruh acak (galat perlakuan) dari rasio biodiesel sawit terhadap biodiesel